Part #5 : Ini semua gara-gara Lidya
Matahari sudah cukup tinggi, dan Haris sedang duduk di ruang tengah rumahnya. Dia dari tadi memegangi perutnya menahan lapar. Di dapur tidak ada makanan, karena Viona dan Aldo memang belum pulang. Di kulkas, adanya bahan-bahan mentah, dan Haris tidak bisa masak. Dia bisa saja pesan delivery, tapi dia sedang ingin makan masakan rumahan saja. Alhasil, dia harus menunggu Viona dan Aldo pulang.
‘Ini semua gara-gara Lidya. Ngapain sih dia bangunin aku pagi-pagi banget? Kan hari ini harusnya bangun agak siangan, nunggu mbak Viona pulang biar dia masakin. Kalau udah gini, mau makan apa? Mana roti udah abis lagi,’ keluh Haris dalam hatinya.
Dia memang kesal pada Lidya. Tadi pagi gadis itu menelponnya, hanya untuk membangungkannya, bahkan sampai 3 kali. Setelah yang ketiga, Haris sudah benar-benar tidak bisa melanjutkan tidurnya. Sedang melamun, tiba-tiba terdengar handphonenya di kamar berbunyi. Diapun segera ke kamar, berharap Viona atau Aldo yang menelpon. Tapi kembali dia harus kecewa, karena yang menelpon ternyata adalah Lidya.
“Iya hallo Lid, kenapa?”
“Ooh udah bangun beneran. Kirain tidur lagi, hehehe.”
“Haduuuh kamu tuh ya, pake bangunin aku pagi-pagi banget lagi. Dan sekarang aku lapar, mana mbak Viona belum pulang lagi.”
“Lha emang nggak ada makanan?”
“Nggak ada, di kulkas cuma ada bahan-bahannya, aku kan nggak bisa masak.”
“Yaa udah, pesen aja kalau gitu.”
“Pesen apaan?”
“Ya pesen makanan lah, masak kemoceng?”
“Ah males Lid, pengen makan masakan rumahan aja.”
“Ya terus siapa yang mau masakin? Kan mbak Viona belum pulang. Bisa-bisa kelaparan kamu entar.”
“Huft. Ya kalau gitu kamu aja lah yang masakin.”
“Lha kok aku?”
“Iyalah, kamu tanggung jawab, kan udah bangunin aku tadi.”
“Ya udah kalau gitu.”
Tuut tuut tuut…
“Loh kok ditutup? Wah jangan-jangan marah lagi dia, haduuuh gimana sih…”
Haris jadi bingung sekarang. Mungkin memang dia yang salah berkata seperti itu, tidak seharusnya dia menyalahkan Lidya. Tapi Haris tak mencoba menghubungi Lidya, kalau memang gadis itu beneran marah, percuma juga minta maaf sekarang, mungkin besok saja kalau sudah tidak marah lagi.
Haris kembali ke ruang tengah, duduk disana sambil memainkan handphonenya. Dia sudah mau menghubungi Viona atau Aldo, menanyakan kapan pulang, tapi rasanya kurang enak juga. Haris hanya berharap mereka berdua cepat-cepat pulang.
Setelah menunggu beberapa saat, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Haris langsung melompat kegirangan. Dia mengira itu adalah Viona dan Aldo. Dengan semangat 45 dia berlari menuju pagar dan membukakan gerbang. Tapi ternyata yang datang bukanlah Viona dan Aldo, melainkan Lidya. Lidya tidak memasukkan mobilnya, tetap memarkirkannya di pinggir jalan. Takutnya nanti kalau Aldo dan Viona pulang, mobil mereka malah tidak bisa masuk.
“Loh, kamu Lid?”
“Iya, hehe.”
“Mau ngapain?”
“Lha tadi katanya suruh masakin? Gimana sih?”
“Loh, beneran tho? Aku kan cuma bercanda Lid. Tadi aku kira kamu marah, main tutup telpon aja.”
“Yee siapa yang marah. Aku tuh tadi mau makan, terus pas kamu bilang gitu, aku batalin. Aku buru-buru kesini, takutnya kamu keburu laper. Nih aku bawain makanan dari rumah, aku juga nggak bisa masak soalnya, hehe.”
“Waduuh, kok malah repot gini sih?”
“Udah ah, ayo masuk, makan. Aku juga udah laper ini.”
“Eh iya iya, ayo masuk Lid.”
Haris tak mengira ternyata Lidya malah benar-benar datang kesini. Padahal dia sudah mengira kalau Lidya marah kepadanya, tapi ternyata dia tadi menutup telpon dan buru-buru kesini. Haris hanya menggelengkan kepalanya saja. Dia kemudian mempersilahkan Lidya menyiapkan makan untuk mereka. Lidya membawa rantang yang berisi makanan dari rumahnya. Cukup banyak yang dia bawa, cukup untuk mengobati rasa lapar mereka berdua.
Meskipun pada awalnya merasa tak enak dengan Lidya, tapi begitu melihat makanan yang sudah disiapkan, apalagi dengan kondisi perut sangat lapar, Haris langsung saja menyerbunya. Dia makan lahap sekali, seperti sudah berhari-hari tidak makan. Awalnya Lidya kaget, tapi terus tersenyum, dan malah tertawa. Dua kali sudah dia melihat Haris makan kesetanan seperti itu.
“Pelan-pelan aja Ris makannya, ini masih banyak kok.”
Haris tak menjawab, hanya mengangguk saja. Tapi tetap, kecepatan makannya tak berkurang. Lidya masih tersenyum, maklum dengan teman barunya itu. Tak perlu waktu lama, makanan itupun langsung tandas. Lidya tak begitu banyak makan, karena dia memang sengaja membawakan makanan itu untuk Haris. Setelah selesai makan, Haris berinisiatif untuk membereskan semuanya, termasuk rantang Lidya. Tadi Lidya sudah membawakan makan dan menyiapkannya, jadi sekarang giliran dia yang mencuci piring.
Setelah selesai mencuci piring, termasuk rantang milik Lidya, Haris kembali ke ruang tengah, menemani Lidya yang sedang menonton TV. Mereka berdua masih terdiam, membiarkan makanan yang telah mereka makan dicerna oleh perut mereka, terutama Haris, yang tadi makannya banyak sekali.
“Ris, kamu ini kok suka nyiksa diri sih?” tanya Lidya, setelah cukup lama mereka berdua terdiam.
“Nyiksa diri gimana?”
“Yaa kayak tadi itu. Kalau emang udah terlanjur lapar, kenapa nggak pesen dulu aja, apa kek, yang penting perutnya keisi, sambil nunggu mbak Viona pulang. Coba kalau ternyata mbak Viona pulangnya sore atau malem, masak ya mau nahan terus?”
“Yaa, bukan gitu sih Lid. Gimana ya, aku tuh kalau misalnya beli makan di luar, ya sekalian keluar aja, nggak mau aku pesen-pesen gitu. Kita kan jadi nggak tahu soal makanan yang kita pesen, kalau nggak lihat langsung.”
“Yaa nggak segitunya juga kali Ris. Yang orderan online ini kan juga udah terjamin, sama aja kayak yang kamu beli di tempatnya. Malah lebih praktis kan, kita cukup nunggu di rumah, mereka datang, kita bayar, kelar urusan.”
“Nggak terbiasa kayak gitu sih Lid, hehe. Kamu sering ya kayak gitu?”
“Nggak juga sih sebenarnya. Kadang-kadang aja, kalau lagi pengen sesuatu dan aku males keluar.”
Haris terdiam, tak mau lagi mendebat, karena memang dia yang salah sampai harus merepotkan Lidya yang harus datang kesini membawakan makanan untuknya.
“Tapi, makasih banget lho Lid, dari semalem udah nraktir aku, eh pagi ini malah repot-repot dibawain makanan, hehe.”
“Udah santai aja, tapi minggu depan gantian ya, kamu traktir aku?”
“Oke, siap boss.”
“Ya udah. Hmm, aku numpang mandi ya Ris?”
“Loh, emang kamu belum mandi?”
“Belum, kan buru-buru kesini tadi, haha.”
“Ealah. Ya udah sana, udah tau kan dimana kamar mandinya?”
“Iya udah tau, tapi pinjem handuk dong.”
“Lha emang kamu nggak bawa?”
“Enggak, aku kan tadi cuma bawa rantang itu aja. Dompet aja aku nggak bawa, untung nggak ada razia, bisa kena tilang aku, haha.”
“Busyet deh ni anak. Terus apa lagi Lid? Pinjem sabun juga? Shampo? Sikat gigi?”
“Ya semualah, udah dibilang aku nggak bawa apa-apa juga.”
“Semua? Berarti, baju sama daleman juga gitu?”
“Emang ada? Kalau ada sih boleh deh, aku kan lagi nggak pake daleman ini,” jawab Lidya dengan polosnya.
“Eh, serius?”
Otomatis mata Haris tertuju pada dada Lidya. Hari ini Lidya memakai sweater yang agak longgar, jadi dia tak bisa memastikan apakah Lidya benar-benar tidak memakain pakaian dalam.
Plaak…
“Haduuh duhh Lid…”
“Hayoo matanya yaa, baru dibilang kayak gitu udah jelalatan aja. Yaa mana mungkin aku keluar nggak pake daleman? Emangnya aku bego?”
“Iya nggak papa kan Lid, siapa tahu aku jadi khilaf, haha.”
“Haha, rese ih. Udah buruan mana handuknya?”
“Iya iya bentar, aku ambilin dulu.”
“Yang bersih lho, yang wangi. Jangan yang bekas kamu pake.”
“Iya baweeell…”
Haris beranjak menuju kamarnya untuk mengambilkan handuk Lidya. Ada-ada saja gadis itu, kalau memang belum mandi kenapa tidak langsung pulang saja, malah mandi disini, apalagi dia tidak membawa apa-apa kesininya. Haris mengambilkan handuk yang sudah dicuci, kemudian kembali dan menyerahkannya kepada Lidya.
“Hey, jangan ngintip lho ya!”
“Busyeet, siapa juga yang mau ngintip Lid? Daripada ngintip sih, mending mandi bareng, haha.”
“Haha dasar mesum. Janganlah, entar khilaf sama bego beneran lho.”
“Haha, udah sana mandi, entar gantian.”
Tak menjawab lagi, Lidya sudah langsung menuju kamar mandi. Haris melanjutkan menonton TV. Cukup lama juga dia menunggu giliran untuk mandi. ‘Yah maklumlah, cewek.’
Sebenarnya ada satu kamar mandi lagi di belakang, tapi Haris tak menggunakannya karena sabun dan peralatan mandi lainnya ada di kamar mandi yang sekarang dipakai Lidya. Harusnya memang tadi dia mengambilnya dulu, jadi tak perlu menunggu Lidya selesai mandi.
“Eh…”
Tiba-tiba Haris tersentak mengingat sesuatu.
‘Wuasuu, sempakku kan masih nggantung di kamar mandi itu? Duh gimana kalau Lidya lihat ya? Eh tapi pasti lihat sih, kan dia juga pasti ngegantungin pakaiannya disitu. Waduuh, kenapa tadi nggak aku cek dulu kamar mandinya???’
Kleek… Kriieeekk…
Pintu kamar mandi terbuka, bersamaan dengan itu Lidya keluar dari kamar mandi. Terlihat dia sudah lebih segar. Dia terlihat masih mengeringkan rambutnya dengan handuk pinjaman dari Haris. Harispun berdiri, menghampirinya. Bukan berhenti disitu, dia melangkah melewati Lidya, lalu melongok ke dalam kamar mandi.
‘Nah bener kan, masih ada disitu,’ batin Haris waktu melihat celana dalamnya masih tergantung di tempat yang sama seperti kemarin, dia menepuk keningnya.
“Makanya lain kali kalau ada cewek mau numpang kamar mandi, pastiin dulu barang-barang kamu udah aman,” ucap Lidya, tahu apa yang dipikirkan oleh Haris.
“Haha, maaf Lid, itu sempakku kemarin, lupa belum diambil lagi.”
“Busyeet, ngapain pake dikasih tahu segalaaaa??? Dasar jorok!!!”
Lidya sudah mau menghampiri Haris tapi keburu Haris masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Masih terdengar omelan Lidya oleh Haris, diapun tertawa keras yang juga terdengar oleh Lidya, mau tak mau diapun ikut tertawa juga dengan kelakuan temannya itu.
Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Haris sudah mulai mandi, dan tiba-tiba senyum Lidya semakin lebar. Beberapa saat kemudian, terdengar makian Haris dari kamar mandi.
“Jancuukk…”
Senyum Lidyapun semakin lebar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi sedikit terbuka, kepala Haris muncul disitu.
“Lid…”
“Apa?”
“Minta tolong dong?”
“Minta tolong apa lagi kamu hah?”
“Hmm, itu… duh, tolong ambilin handukku dong, hehe.”
“Dimana?”
“Di belakang, di jemuran.”
“Nggak mau ah, pake ini aja ya?”
“Yaah masak pake itu? Itu kan bekas kamu pakai Lid.”
“Yaa terserah, kalau nggak mau, kamu ambil aja sendiri.”
“Yaah Lid, ayo dong pliiss. Lidya cantik deh.”
“Udah dari dulu kali, kok baru muji sekarang?”
“Yaa kan abis mandi, cantiknya makin nambah, hehe. Lid, buruan dong ambilin handuk.”
“O.. gah…”
Lidya malah menghampiri Haris, lalu melemparkan handuk yang tadi dia pakai ke Haris. Haris masih terus memohon-mohon, tapi Lidya tak bergeming. Malah tetap berdiri di tempatnya, sambil menahan tawa. Harispun menyerah. Dia tutup lagi pintu kamar mandi. Tak lama kemudian dia keluar, hanya dengan tubuh berbalut handuk dari perut sampai ke lututnya. Handuk bekas pakai Lidya, yang terpaksa dia pakai. Lidyapun tertawa lebar melihatnya.
“Awas kamu yaa Lid…”
Tiba-tiba Haris menyerbu ke arah Lidya. Lidya yang tak siap mencoba berlari, tapi dengan mudah ditangkap oleh Haris. Tubuhnya dipeluk Haris dari belakang, kemudian Haris menggelitiki pinggang gadis itu. Lidya yang memang tak tahan digelitikin seperti itu terus meronta, tapi Haris tak mau melepaskannya.
“Hariiis udaaah, geliii Riss.. ampuunnn…”
“Nggak ada ampun buatmu. Salah sendiri ngerjain aku tadi, nih rasain.”
===
+++
Disaat yang bersamaan, sebuah mobil di depan rumah itu. Di dalam mobil itu ada Viona dan Aldo yang baru pulang. Tapi karena ada mobil yang ternyata posisinya agak menghalangi, Aldo jadi tak bisa memasukkan mobilnya.
“Ini bukannya mobil Lidya ya yank?” tanya Aldo.
“Iya yank, ini mobilnya Lidya.”
“Wah wah wah, ada kemajuan nih si Haris. Mentang-mentang kita lagi pergi, main bawa cewek aja ke rumah. Mereka lagi ngapain ya? Haha.”
“Hush, jangan gitu ah. Mungkin aja Lidya cuma main yank.”
“Iya, tapi main apa dulu nih? Main-main enak kayaknya yank, hehe.”
“Haduuh kamu tuh ya, pikirannya ngeres mulu. Udah parkirin dulu mobilnya yang.”
“Iya iya.”
Aldo kemudian memarkirkan mobilnya di depan mobil Lidya. Setelah itu mereka berdua turun, dan mengambil barang-barang mereka di bagasi. Kemudian mereka berjalan masuk ke rumah. Tapi belum sampai di pintu, Viona berhenti, Aldo juga ikut-ikutan berhenti.
“Kenapa yank?” tanya Aldo.
“Eh, tapi gimana kalau ternyata mereka lagi asyik-asyikan ya yank? Kalau kita masuk, ganggu mereka dong?”
“Yaa paling, mereka lagi di kamarnya Haris. Udah nggak papa, kita masuk aja, tapi diem-diem biar mereka nggak keganggu. Entar kita nunggu di ruang tengah aja, sampai mereka keluar. Aku jadi penasaran, gimana ekspresi mereka kalau tau ternyata kita udah pulang, haha.”
“Haha, kamu tuh ya yank, saudara sendiri lho, dikerjain mulu.”
“Ya biarin aja, habisnya dia itu kadang-kadang masih suka lugu sih yank, gampang banget dikerjainnya.”
“Ya udah, kalau gitu kita masuk aja, tapi pelan-pelan, kayak kata kamu.”
“Oke.”
Merekapun melanjutkan langkah sampai ke pintu. Tapi lagi-lagi keduanya berhenti karena mendengar suara dari dalam.
“Hariiis udaaah, geliii Riss.. ampuunnn…”
“Nggak ada ampun buatmu. Salah sendiri ngerjain aku tadi, nih rasain.”
Viona dan Aldo saling tatap, kemudian mereka tersenyum.
“Tuh kan yank, pasti lagi asyik-asyikan deh. Gimana? Jadi masuk nggak?”
“Yaa jadilah, kayak yang tadi aku bilang, kita masuk pelan-pelan, kita duduk aja di ruang tengah, tungguin mereka keluar kamar.”
“Oke deh.”
Viona kemudian dengan sangat perlahan membuka pintu. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat suara. Perlahan pintu itu dibuka, dan betapa terkejutnya dia melihat apa yang ada di dalam rumah.
===
+++
Lidya terus meronta dan memohon ampun, tapi Haris yang memang sudah jengkel terus saja menggelitik pinggang Haris. Rontaan Lidya membuat posisi tubuh mereka sedikit berubah. Tubuh Lidya jadi sedikit turun, membuat tangan Haris tak lagi berada di pinggangnya, tapi perlahan mulai naik. Mereka sama-sama tak menyadari itu. Lidya terus meronta, dan Haris terus menggelitik Lidya, sampai akhirnya…
“Eh…”
Haris terdiam. Dia baru sadar tangannya sudah berada di dada Lidya, sedikit meremasnya. Sedangkan Lidya juga langsung terdiam, tidak lagi berontak, tapi wajahnya memerah. Dari telapak tangannya, Haris bisa merasakan sesuatu. Dia sudah berpengalaman, sehingga dia tahu, kalau di balik sweaternya, dan mungkin kaos dalamnya, Lidya tidak memakai bh. Jelas sekali terasa di tangannya.
“Yaa ampuuun, kalian ngapain???”
Haris dan Lidya tersentak. Tatapan mereka langsung mengarah ke pintu, yang ternyata, Viona dan Aldo sudah berdiri disana, menatap ke arah mereka sambil melongo. Haris dan Lidya benar-benar mematung, terkejut ternyata sepasang suami istri itu sudah pulang.
“Ris Ris, kalau mau gituan mbok ya di kamar, masak di luar gitu?”
“Loh, gituan apaan mas? Kita nggak ngapa-ngapain kok.”
“Nggak ngapa-ngapain? Lha itu tanganmu ngapain disitu?”
“Eh…”
Kembali Haris terkejut. Tangannya masih berada di dada Lidya. Lidya yang wajahnya tadi sudah memerah, kini semakin merah.
“Hariiiiisss lepaaaasss…”
Teriakan histeris Lidya membuat Haris melompat ke belakang. Baru saja Lidya berbalik ke arahnya dengan tatapan membunuh Haris langsung berlari melewatinya, menuju ke kamarnya. Sementara itu, Viona dan Aldo saling bertatapan dengan wajah heran, tapi tak lama kemudian mereka tertawa. Dan Lidya masih berdiri di tempatnya, karena saking malunya, bingung harus gimana.
Tak berapa lama kemudian Haris keluar dari kamarnya. Dia sudah berpakaian. Dia menuju ke ruang tengah, dimana Aldo, Viona dan Lidya sudah duduk disana. Wajah Lidya menunduk, menahan malu. Harispun menghampirinya, dan duduk di sampingnya. Mereka masih diam, seolah sedang menunggu untuk disidang oleh Viona dan Aldo.
“Wah ternyata hebat juga kamu ya Ris, kami tinggal semalam aja udah bisa ngedapetin Lidya, haha.”
“Mas, tunggu dulu mas. Ini nggak seperti yang kalian pikirin.”
“Lho, kalau gitu emang apa dong?”
“Bener mas, kita tadi nggak ngapa-ngapain kok,” Lidya ikut menambahkan, membela diri.
“Nggak ngapa-ngapain? Oke, sekarang gini, kalian, sepasang cewek dan cowok, berduaan di dalam rumah. Sama-sama abis mandi, masak ya nggak ngapa-ngapain. Terus, tadi posisi kalian, itu nggak ngapa-ngapain juga?”
“Beneran mas, sumpah. Tadi tu sebenarnya gini…”
Lidya kemudian menceritakan kejadian sejak awal. Mulai dari dia menelpon Haris, kemudian Haris bilang belum makan dan tidak ada makanan, sehingga Lidya buru-buru datang membawakannya makanan karena Haris tidak mau pesan delivery. Lidya juga menceritakan betapa lahapnya Haris makan. Tentang numpang mandi juga diceritakan. Bahkan, Lidya juga menceritakan tentang celana dalam Haris, yang menjadi sumber keisengan mereka berdua, sampai akhirnya terlihat oleh Viona dan Aldo dalam posisi seperti itu. Mendengar itu Viona dan Aldo malah semakin melongo. Tapi tak lama kemudian tawa mereka meledak.
“Buahahahaha… taktik kamu bener-bener jitu Ris.”
“Loh loh, taktik apa sih mas?”
“Iya, taktik nggak mau pesen makanan dari luar, biar Lidya bisa datang kesini kan? Tapi sayang kami berdua buru-buru pulang, kalau nggak, yaa nggak tahu kan tadi kelanjutannya seperti apa, haha.”
“Loh nggak gitu mas, beneran aku tadi cuma bercanda nyuruh Lidya masakin, ternyata dia malah beneran datang kesini. Aku nggak ada niat apa-apa sama dia, beneran, sumpah.”
“Yaa berarti kamu yang bego Ris.”
“Lho kok malah ngatain bego sih mas?”
“Iya lah, masak ada cewek secantik Lidya kamu nggak ada niat buat ngapa-ngapain sama dia? Kan rugi? Iya nggak yank? Eh…” Aldo langsung terdiam tak melanjutkan ucapannya karena saat menoleh ke arah Viona, dia disambut dengan tatapan sangat tajan dari istrinya.
“Aduuuh duuh yaank sakit yang, jangan cubit lagi…” tanpa ampun jari-jari Viona langsung melancarkan serangan andalannya di pinggang Aldo.
“Makanya jangan sembarangan ngomong kamu yank.”
Haris dan Lidya kali ini tidak tertawa. Meskipun geli melihatnya, tapi mereka tahan-tahan karena masih merasa sungkan, tak enak dengan kejadian tadi yang dilihat langsung oleh Viona dan Aldo. Mereka masih menunggu dulu, perang antar suami istri ini. Lebih tepatnya, serangan cubitan Viona yang amat ditakuti oleh Aldo. Setelah beberapa saat, serangan Viona berhenti. Dia lalu menatap Haris dan Lidya bergantian.
“Haris, Lidya, lihat mbak.”
Kedua orang itupun mengangkat kepalanya, menatap Viona yang terlihat serius sekali ekspresinya.
“Bener kalian nggak ngapa-ngapain?”
“Iya mbak, bener. Sumpah kami nggak ngapa-ngapain,” jawab Lidya.
“Ris?” Viona menatap Lidya.
“Iya mbak, bener kok. Kamu nggak ngapa-ngapain.”
Viona terdiam. Haris dan Lidya juga, menunggu reaksi dari Viona. Lidya mungkin terlihat lebih rileks, tapi wajah Haris tampak sekali dia ketakutan.
“Huahahahahaha, bener banget. Rugi banget sih kalian nggak ngapa-ngapain? Apa kami perginya kurang lama? Hahaha…”
Bersambung