Part #4 : Mistaken or Stupid

“Ris, weekend besok mau kemana?”

“Hmm, nggak ada acara Lid, nggak kemana-mana, paling di rumah aja. Kenapa emang?”

“Nonton yuk?”

“Nonton? Wah boleh tuh, udah lama nih nggak nonton. Ayok dah, sama siapa aja?”

“Yaa, berdua aja, gimana?”

“Loh, berdua? Lha cowokmu?”

“Cowokku lagi ke luar negeri, dari kemarin berangkatnya, mana sebulan lagi disana, kan bete, huft…”

“Hahaha kasian amat, baru jadian udah ditinggal. Kering dong Lid? Haha.”

“Hiih, kering apaan, nggak usah sembarangan deh. Jadi gimana? Mau nggak?”

“Duh gimana ya? Masa cuma berdua? Ajakin siapa gitu? Nggak enak aku kalau cuma berdua doang Lid.”

“Yaa sama siapa? Hmm, coba ajak mbak Viona sama suaminya aja, gimana?”

“Ya udah deh, entar aku bilang sama mereka.”

“Oke deh. Tapi kamu harus mau lho, ada atau nggak ada mereka!”

“Iya iya bawel…”

Itu percakapan Haris dan Lidya 2 hari yang lalu. Saat itu Haris mengiyakan karena merasa yakin Aldo dan Viona mau diajak ikut nonton. Tapi ternyata, hari ini mereka berdua harus pergi ke luar kota, menghadiri pernikahan salah satu kerabat Viona. Haris yang sudah berjanji kepada Lidya, mau tak mau harus berangkat juga. Dia sudah ingin membatalkan, tapi Lidya memaksa, bahkan sampai membawa nama papanya juga. Harispun mengalah, meskipun masih ada rasa tidak enak jika harus pergi berdua dengan Lidya.

Ya udahlah, nggak ada salahnya juga. Kan cuma nonton, itung-itung cari hiburan, bosan juga jaga rumah sendirian. Lagian, cowoknya Lidya juga nggak disini, jadi amanlah,’ pikir Haris.

Lidya

Tiiin tiiin…

Suara klakson mobil Lidya terdengar oleh Haris. Dia yang sedang menunggu di teras rumah pun segera beranjak mendekatinya, setelah memastikan semua pintu dalam kondisi terkunci.

“Hai Ris, sorry yaa nunggu lama ya? Hehe.”

“Iya nih, kamu ngapain aja sih lama banget? Aku udah mau masuk lagi tadi,” keluh Haris.

“Yaelah namanya cewek ya dandan dulu lah, kayak nggak pernah punya cewek aja kamu tuh.”

“Lha ngapain pake dandan segala? Orang perginya juga cuma sama aku, cuma nonton juga.”

“Heh, namanya cewek ya kemana-mana harus tampil cantik dong, kapanpun, dimanapun, dengan siapapun, biar jadi pusat perhatian, hehe.”

“Iya iya, terserah kamulah, ya udah yuk berangkat.”

Harispun masuk ke mobil. Lidya tetap yang menyetir. Bukan karena Haris tidak bisa, tapi Lidya sendiri yang meminta, lagipula Haris masih jengkel karena terlalu lama menunggu Lidya. Dia sudah lebih dari 1 jam menunggu, padahal rumah Lidya tidak terlalu jauh dari tempatnya, dan jalan yang dilalui bukan termasuk jalanan yang macet parah, meskipun weekend sekalipun.

Mereka kemudian menuju ke salah satu mall besar di kota ini. Setelah parkir, mereka tidak langsung naik ke bioskop, tapi mencari makan dulu. Selain karena film yang akan mereka tonton masih sekitar 2 jam lagi, perut mereka sudah keroncongan, terutama Haris. Dia dari siang hanya makan snack seadanya, karena sudah sejak pagi Viona dan Aldo pergi. Di kulkas sebenarnya banyak bahan yang bisa dimasak, tapi Haris tak bisa masak. Mau pesan delivery, malas, karena itulah dia saat ini benar-benar kelaparan.

“Haha, Ris, makannya santai aja lagi. Filmnya masih lama kok,” ucap Lidya saat melihat Haris yang makan, terlalu lahap, kesetanan.

“Ahhuu lavvhaarr Lidd…” jawab Haris dengan mulut penuh makanan, membuat Lidya semakin lebar tawanya.

“Ya udah lah, terserah kamu aja.”

Setelah menghabiskan makanannya, mereka berpindah menuju ke sebuah kedai kopi yang tempatnya tak jauh dari bioskop. Mereka ngobrol-ngobrol dulu, menunggu studio yang memutar film yang akan mereka tonton dibuka.

“Heh Lid, kamu ini lahir disini kan? Asli sini kan?” tanya Haris.

“Iya, kenapa emang?”

“Enggak, cuma aku penasaran aja, kok gaya bicara kamu beda sama orang-orang ya?”

“Beda gimana?”

“Yaa, banyakan orang sini kan ngomongnya lu gue lu gue, kok kamu nggak? Malah aku kamu gitu?”

“Ooh itu. Hmm, nggak tahu juga sih Ris. Tapi gini, aku emang lahir disini, tapi beberapa kali pindah tempat juga, ikut kemana papa kerja. Papaku kan sebenarnya awalnya nggak kerja di perusahaan ini, baru sekitar 10 tahun yang lalu dia direkrut. Jadi ya karena sering pindah itu, lidahku jadi kayak gini.”

“Ooh, jadi pak Doni bukan dari awal di PT Dwiputra?”

“Iya, dulu masih pindah-pindah kerjanya, nyari yang menantang katanya. Terus pas udah direkrut sama PT Dwiputra, papa mutusin buat menetap aja, lumayan soalnya gajinya, udah nyaman juga disini, sesuai sama passion papa katanya.”

“Hmm gitu ya. Eh tapi kan, kalau gitu SMA dan kuliah kamu disini? Apa nggak kebawa arus pergaulan sama temen-temen kamu?”

“Yaa kalau masalah kebawa arus pergaulan sih, bisa dibilang kebawa juga. Buktinya, sekarang aku kayak gini. Yaa nggak perlu aku ceritain kan? Intinya, sama lah kayak yang kamu lakuin sama cewek-cewek kamu. Tapi soal gaya bicara, lidahku udah terlanjur gini Ris, kurang nyaman aja ngomong pake lu-gue, kayaknya bukan aku banget. Dan itu ternyata bawa cerita lucu.”

“Cerita lucu apaan?”

“Jadi gini, kan kalau disini, terutama yang muda mudi dan lagi pedekate nih, waktu kita ngomong aku-kamu, dikira kita ada sesuatu sama dia. Nah, ada beberapa orang cowok yang dulu ngedeketin aku, terus kegeeran pas aku ngomongnya aku-kamu, dikira aku juga suka sama mereka, langsung deh mereka nembak.”

“Terus terus? Kamu terima?”

“Yaa enggaklah, orang kenal aja juga baru, gimana mau diterima. Rata-rata yang kayak gitu, malah orang dari luar sekolahku, yang belum bener-bener kenal sama aku, makanya mereka kegeeran.”

“Haha, bisa gitu ya?”

“Iya lho Ris, dan itu nggak cuma 1-2 orang, ada beberapa orang yang kayak gitu, haha.”

“Wah, teganya kamu Lid, ternyata kamu suka PHPin cowok ya, haha.”

“Haha, yaa nggaklah, salah mereka sendiri kegeeran. Mungkin kalau mereka pedekate lebih lama, udah saling kenal satu sama lain, kan bisa beda ceritanya. Lha ini, masak baru sekali dua kali jalan, udah nembak, kan lucu.”

“Yaa iyalah Lid, ceweknya secantik kamu, jadi ya kalau bisa secepat mungkin disikat, daripada keduluan orang, haha.”

“Haha, sialan kamu Ris.”

“Eh tapi, kalau kakakmu, ngomongnya juga sama kayak kamu gini?”

“Nggak sih, kakak sama adekku ngomongnya juga tetep lu-gue. Mungkin akunya aja kali yang kelainan, haha.”

“Haha, tapi nggak papalah Lid, malah enak aku, nggak harus nyesuain pake lu-gue. Kagok rasanya.”

“Yaa nggak usah dipaksain Ris, senyamannya kamu aja. Lagian kan yang penting maksudnya sama, meskipun gaya ngomongnya beda.”

“Iya juga sih. Untung aku ketemunya sama kamu, punya partner kayak kamu, jadi nggak harus terlalu banyak berubah cuma buat nyesuain diri. Coba bayangin, kan lucu kalau aku ngomongnya lu-gue, tapi logat jawanya masih kental, haha.”

“Haha, eh jangan salah Ris. Temen kuliahku yang kayak gitu banyak lho. Mereka kan dari mana-mana ya, Batak, Sunda, Jawa, dari daerah lain juga. Dan mereka ngomongnya lu-gue, tapi masih kebawa sama logat asli mereka. Yaa mungkin maksudnya mencoba untuk gaul, tapi kalau menurutku sih, nggak perlu sampai segitunya juga.”

“Yaa biarin aja. Mungkin mereka punya prinsip, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mencoba beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara mereka masing-masing. Bukan masalah sih menurutku, asal yang diambil yang positifnya aja, yang negatifnya jangan.”

“Iya bener. Tapi sayangnya, masih banyak yang akhirnya keseret hal-hal negatif juga. Yaa, sama kayak aku lah dulu, yang bikin jadi kayak sekarang.”

“Sekali lagi, itu bukan masalah, selagi kamu punya niat memperbaiki diri. Yang jadi masalah kan kalau ternyata kamu punya niat untuk lebih rusak lagi dari ini, nah itu yang repot.”

“Haha, iya, makasih wejangannya pak ustad.”

“Yee, malah ngeledek, haha.”

“Hahahaha…”

Obrolan mereka terhenti saat terdengar pengumuman studio yang memutar film yang akan mereka tonton sudah dibuka. Lidya yang sudah memegang tiket langsung mengajak Haris. Sebelumnya mereka sempatkan membeli minuman dan popcorn dulu. Setelah itu mereka masuk ke studio. Masih belum ramai. Mereka kemudian menuju ke tempat duduk mereka. Spot yang sempurna untuk menonton film di bioskop. Posisinya di tengah, tidak terlalu ke atas, tidak terlalu ke bawah.

Setelah menunggu beberapa saat film pun mulai berputar. Untung saja Lidya mengajak Haris menonton film action, karena itu adalah favoritnya. Kalau saja menonton film genre lain, drama misalnya, bisa-bisa Haris ketiduran di dalam bioskop. Itu pernah dialaminya dulu, waktu masih berpacaran dengan gadis yang kemarin-kemarin membuatnya galau.

Tak terasa waktu berjalan cepat. Serunya film itu membawa penonton tak terasa kalau sudah mendekati ending. Haris tampak antusias, begitu juga Lidya. Beberapa kali mereka saling berbisik, mengomentari jalannya film itu. kebanyakan kometar positif, hanya beberapa kali saja Lidya menanyakan hal yang dia kurang mengerti dari adegan-adegan di film itu, dan Haris dengan sabar menjelaskannya. Haris cukup senang, karena rupanya mereka memiliki selera film yang sama.

Akhirnya film itupun selesai. Haris dan Lidya merasa sangat puas, tidak rugi menghabiskan waktu sekitar 2 jam untuk menontonnya. Tapi malam ini mereka tak langsung pulang. Lidya masih mengajak Haris untuk jalan-jalan berkeliling mall. Haris sebenarnya sudah ingin pulang, tapi toh di rumahpun tak ada siapa-siapa. Tak apalah sesekali jalan-jalan, karena selama berada di kota ini belum sekalipun dia jalan-jalan. Tak ada yang mengajak, dan tak ada yang bisa dia ajak.

“Ris, gimana kerja di kantor? Kamu nyaman nggak?” tanya Lidya, saat mereka saat ini sudah berada di sebuah kafe.

“Weh, kenapa nih tiba-tiba nanya masalah kerjaan? Weekend lho ini Lid, mbok ya ngomongin yang lain.”

“Yaelah, emang mau ngomongin apa? Pacar? Kamu aja nggak punya, haha.”

“Yaa apa kek, selain kerjaan.”

“Nggak mau, aku maunya ngomongin itu.”

“Hadeeh, ya udah deh. Hmm, yaa aku seneng bisa kerja disitu, nyaman apalagi dapat partner kayak kalian. Mbak Viona, kamu, papa kamu. Asyik kok. Apalagi gajinya gede, hehe.”

“Yaa bagus deh kalau kamu bisa nyaman. Aku kemarin denger dari papaku, kita semua yang karyawan baru, dapat penilaian yang bagus dari masing-masing mentor, dan kemungkinan, kalau kayak gini terus, presentasi akhir nanti cuma formalitas.”

“Oh ya? Eh, tapi kan ini belum setengah jalan Lid, masih jauh. Lagian, yaa kalau kamu, atau yang lain yang ditempatin di pusat, bisalah kayak yang dibilang sama papa kamu. Nah yang kayak aku, yang harus disebar ke kantor cabang? Kan belum tentu?”

“Iya sih, tapi kan kalau kita bisa pertahanin ritme kerja tetep kayak gini, yang dibilang papaku bisa aja kejadian kan?”

“Iya. Tapi, ah entahlah. Beda tempat, pasti beda orangnya kan, beda kebiasaan dan cara kerja juga. Moga-moga di kantor cabang nanti, orang-orangnya juga asyik, sama kayak disini.”

“Harusnya sih gitu Ris. Kata papa, di kantor cabangpun orang-orangnya nggak beda jauh kok sama yang di pusat. Kan emang dari awal dididik kayak gitu. Udah jadi kayak semacam budaya di perusahaan kita.”

“Itukan selama pendidikan training, tapi setelah bener-bener kerja, siapa tahu bisa berubah kan?”

“Tapi kata papa, beberapa kali dia kunjungan ke beberapa cabang, masih kayak gitu kok.”

“Lid, namanya juga dikunjungi orang dari pusat. Semua itu bisa diseting kan? Hmm, mungkin kamu belum tau soal ini, karena selama ini pengalamanmu, termasuk magangmu, cuma di kantor pusat aja.”

“Maksud kamu?”

“Dulu waktu aku masih kuliah, aku kan juga pernah beberapa kali magang disana. Rata-rata tempat yang kubuat magang itu, kantor cabangnya. Nah, pas ada kunjungan dari orang pusat, semuanya sibuk, rapi-rapi, beres-beres, semua harus seperfect mungkin. Dan ketika orang itu bener-bener dateng, sikap kita tuh jadi berubah banget, bener-bener penjilat lah kalau aku bilang.”

“Oh ya? Sampai segitunya?”

“Iya, menurut pengalamanku sih gitu. Tapi tentunya nggak semua. Biasanya yang sampai kayak gitu karena punya tujuan tertentu. Bisa jadi karena nutupin kerjaannya yang berantakan, atau mau ambil hati orang pusat biar bisa dapat keuntungan pribadi, misalnya promosi atau naik gaji.”

“Hmm gitu ya. Yaa aku cuma pernah denger aja sih Ris, tapi belum pernah lihat langsung.”

“Makanya ini aku kasih tahu. Kamu kan nanti jadi orang pusat, dan mungkin sesekali bakal ada kunjungan ke cabang. Jadi yaa hati-hati aja kalau sikap orang cabang udah terlalu manis dan nggak wajar, berarti mereka ada maunya.”

“Haha, iya deh, bisa itu jadi referensiku Ris. Tapi, ngomong-ngomong, seneng ya kamu kalau dipindahin ke Jogja?”

“Gimana ya, dibilang seneng sih, emang iya. Aku kan sebelumnya kuliah disana, yaa udah paham lah sedikit sedikit tentang kehidupan disana. Dan dengan gaji yang sekarang, aku bisa nabung banyak tiap bulannya.”

“Lha tapi kan nanti kalau disana kamu masih harus bayar kost, belum buat makan sehari-hari, terus, buat kendaraan juga, pengeluaran jadi lebih banyak dong? Disini kan kamu tinggal dan makan numpang mbak Viona dan mas Aldo. Pulang pergi ngantor, sama mereka juga.”

“Iya sih, tapi kan aku udah bilang tadi, aku udah paham kondisi disana. Masalah cari kost, gampang lah itu, bisa disesuaikan. Kalau makan, aku masih hapal kok tempat-tempat makan yang murah tapi enak. Kalau motor, untungnya sih motorku kemarin nggak jadi dijual, jadi bisa kupakai lagi, paling tinggal biaya pertamaxnya aja.”

“Kok motor sih? Pake mobil dong, haha.”

“Yaa nggak secepet itu juga kali Lid. Mobil sih aku ada, tapi ya masak mau langsung dibawa? Apa kata orang kantor entar, anak baru udah main bawa mobil aja? Yaa intinya, nyesuain diri lah sama lingkungan, yang jelas masih bisa nabung banyak aja, hehe.”

“Iya, nabung yang banyak, kumpulin modal. Biar kalau ketemu jodoh, langsung nikahin. Jangan kayak yang kemarin.”

“Hahaha iyalah, yang kemarin itu, khilaf aku.”

“Khilaf kok sampai setahun lebih. Itu khilaf apa bego?”

“Yaa, dua duanya sih, hahaha.”

Obrolan mereka masih terus mengalir. Tak terasa waktu sudah cukup larut. Meskipun kehidupan di kota metropolitan ini belum akan berakhir, tapi Haris maupun Lidya merasa sudah waktunya mereka pulang. Dan kali ini tetap Lidya yang menyetir mobilnya. Haris sih menurut saja, jadi dia bisa bebas melihat-lihat sekitar. Cukup lama mereka menghabiskan waktu di jalan, karena memang kondisinya lumayan macet. Tapi jadi tak terasa karena sepanjang jalan mereka isi dengan obrolan yang asyik.

“Mampir dulu Lid?” ucap Haris berbasa-basi, saat mobil sudah sampai depan rumah.

“Mbak Viona sama mas Aldo udah pulang belum?”

“Belum, besok mereka baru pulang. Kosong nih rumah, hehe.”

“Ooh kosong ya? Nggak deh kalau gitu, takut aku Ris.”

“Takut apaan?”

“Yaa takutlah, ada cowok yang udah setahun jomblo, nggak dapet belaian. Ada cewek secantik aku, bisa-bisa diterkam entar.”

“Yaelah, pede amat sih mbak? Lagian siapa bilang setahun ini aku nggak dapet belaian?”

“Nah lho, ngapain aja dong kalau gitu? Pasti nakal ya? Sama siapa hayoo?”

“Lah, kok jadi kepo? Haha.”

“Iyalah. Hayoo sama siapa? Ngaku? Jajan ya pasti?”

“Ihh nggak lah, ngapain jajan. Tapi, hmm, cuma ke panti pijat aja kok, ngeluarin yang harus dikeluarin, haha.”

“Sama aja dodol, itu mah jajan juga. Tuh kan, Haris nakal deh, makin takut aku, kena penyakit entar, haha.”

“Enak aja kena penyakit, nggaklah, kan pake pengaman.”

“Tuh kan ngaku. Makanya makin nggak mau aku Ris, takut khilaf.”

“Khilaf apa bego?”

“Haha, dua duanya lah.”

“Haha, ya udah kalau gitu. Makasih ya udah ngajak jalan-jalan.”

“Iya, sama-sama, aku makasih juga kamu udah mau nemenin. Jangan kapok ya? Masih ada 3 weekend aku bebas nih.”

“Iya, beres. Ya udah aku turun dulu, kamu hati-hati pulangnya, sampai rumah jangan lupa kabarin aku.”

“Ceileeh, perhatian amat mas sama pacar orang? Haha.”

“Haha, biarin, kan pacar orangnya lagi kesepian, sampai ngajakin aku jalan-jalan berdua, haha.”

“Haha sialan, malah ngeledek terus. Udah sana turun, aku mau pulang, kemaleman entar.”

“Iya iya, tapi inget lho, kabarin kalau udah di rumah.”

“Iya baweeel.”

Harispun turun, dan mobil Lidya pun berlalu meninggalkannya. Dia menunggu sampai mobil Lidya menghilang dari pandangannya. Setelah mobil itu tak lagi terlihat, dia masuk ke dalam rumah, mengunci kembali pintunya, dan langsung menuju ke kamar. Dia sudah cukup mengantuk. Tapi belum mau tidur, masih menunggu, siapa tahu Lidya benar-benar mengabarinya. Dan ternyata benar, hampir setengah jam kemudian masuk pesan di whatsappnya. Dari Lidya.

from : Lidya Wijaya said:

Aku udah nyampe rumah dengan selamat, tak kurang suatu apapun
Sekarang udah rebahan di ranjang, mau istirahat, kamu juga istirahat ya, jomblo nakal

Haris tersenyum, lalu membalasnya.

to : Lidya Wijaya said:

Iya pacar orang yang lagi kesepian, malam ini bobo sendiri ya, lain kali deh, (mungkin) aku bakal temenin

Tak berapa lama kemudian, datang balasan dari Lidya.

from : Lidya Wijaya said:

Bener lho ya? Aku tagih pokoknya

Harispun kembali membalasnya.

to : Lidya Wijaya said:

Lha katanya tadi takut khilaf dan bego?

Lidya langsung membalasnya.

from : Lidya Wijaya said:

Iya sih, tapi aku jadi penasaran, gimana jadinya kalau khilaf dan bego sama kamu, haha
Ya udah, aku bobo dulu yaa..

Haris tak membalasnya, hanya tersenyum. Beberapa detik selanjutnya, diapun terlelap.

Bersambung

berbagi kasih sayang
Berbagi kehangatan dengan wanita lain
mama muda hot
Memuaskan nafsu Siska yang gak pernah puas dengan suaminya sendiri
Cerita Dewasa Selingkuh Sama Tante Sampai Hamil
Jepitan Susu Lydia Yang Tiada Tanding
Foto Bugil Artis Bokep Jepang (JAV)
rekan kerja
Menikmati Lubang Surga Rekan Kerja Ku
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
sustwr abg
Cerita hot perjakaku di ambil oleh perawat sexy yang merawat ku
Foto tante telanjang colok memek putih bersih
Cerita Seks Anuku Di Kocok Mbak Irma
Skandal SMA pakai seragam pamer memek tembem
buruh pabrik cantik
Menikmati Tubuh Buruh Pabrik Yang Cantik Dan Montok
cewek binal cerita dewasa
Bercinta Dengan Cewek Binal Di Rumah Ku
teman cantik
Teman wanita ku yang seorang hyper sexs
istri cantik
Cerita hot tukar pasangan dengan teman lama yang tak terlupakan
Pose Bugil Abg Jilbab Cantik Tidak Perawan