Part #3 : Chat Session In The Office
Hari-hari pertama bekerja dilalui Haris dengan penuh semangat. Bukan hanya Haris saja sebenarnya, tapi teman-teman barunya juga. Dan semakin mengetahui kondisi di kantor ini, Haris juga bisa melihat para karyawan lain yang lebih seniorpun juga terlihat selalu semangat bekerja setiap harinya. Dia berpikir, apakah ini semua karena kebijakan perusahaan yang membebaskan untuk menikah dengan sesama karyawan, atau membolehkan saudara dari mereka yang sudah bekerja disini, untuk ikut bekerja disini juga. ‘Ya, mungkin itu salah satunya sih,’ batin Haris.
Sekarang setiap pagi Haris berangkat dengan Aldo dan Viona. Memang benar, kantor Aldo searah jadi setiap hari mereka bisa berangkat bareng tanpa membuat Aldo harus memutar arah. Kantor Aldo juga kebetulan tak begitu jauh dengan kantor Haris dan Viona, jadi mereka juga sempat beberapa kali makan siang bareng.
Di kantor, semangat Haris semakin bertambah karena dia satu ruangan dengan 2 wanita cantik, Viona dan Lidya. Bukan hanya cantik, tapi mereka berdua juga baik dan pintar. Viona tak pernah pelit membagi ilmunya, apapun pertanyaan dari Haris ataupun Lidya, dia jawab seperti apa yang dia tahu. Lidya sendiri juga begitu, kadang dia terlibat diskusi seru dengan Haris membicarakan masalah yang sedang mereka pelajari. Kebetulan, saat masih kuliah Lidya beberapa kali magang di kantor ini, jadi punya sedikit lebih banyak ilmu dan pengalaman untuk dibagi dengan Haris.
Di ruangan yang mereka tempati ini ada 2 buah meja, satu untuk Viona dan satu lagi yang sebelumnya kosong ditempati oleh Lidya. Nantinya, antara Haris atau Lidya lah yang akan menempatinya. Tapi mulai saat ini Haris sudah bersiap-siap. Karena status Lidya yang merupakan anak pak Doni, kemungkinan besar Lidyalah yang akan ditempatkan di kantor pusat ini, sedangkan Haris akan ditempatkan di kantor cabang, entah dimana.
Hari ini, sejak pagi hanya Haris dan Lidya yang berada di ruangan itu, Viona ikut rapat dengan pak Doni. Haris dan Lidya yang memang statusnya masih karyawan training belum bisa diikutikan di rapat resmi seperti itu. Tidak masalah bagi Haris, karena kalau diajakpun dia juga belum siap, jadi tak tahu harus melakukan apa di ruang rapat.
Sekitar setengah jam sebelum jam makan siang, Viona sudah kembali lagi ke ruangan. Dia kembali dengan membawa setumpuk kertas, yang dia letakkan begitu saja di mejanya.
“Wuiih, berkas apaan tuh bu? Banyak banget?”
“Biasa Ris, rekap untuk gaji karyawan bulan ini. Sebelum masuk ke bagian keuangan, kita cek dulu, masalah absensi dan lain-lain, apakah sudah sesuai apa belum.”
“Lho bukannya semua sudah terkomputerisasi?”
“Iya emang, tapi kan ada baiknya kita cek manual. Karyawan memang rutin absen datang dan pulangnya, tapi kinerjanya juga dilihat, dan itu bagian kita untuk mengawasi.”
“Mengawasi semua karyawan?”
“Iya, tapi maksudnya bukan kita yang terjun langsung. Kita dapat laporan dari masing-masing kepala bagian, ya yang ada di berkas ini. Setelah kita cek, ditanda tangani sama kepala bagian, baru kita serahkan ke bagian keuangan untuk proses penggajiannya.”
“Oooh gitu…”
“Oh iya, ada satu lagi informasi buat kalian.”
“Informasi apa bu?”
“Ini tentang penempatan kalian selanjutnya.”
Haris dan Lidya menghentikan kegiatan mereka. Kabar ini yang sudah ditunggu-tunggu, terutama oleh Haris. Dia tahu akan ditempatkan di cabang, tapi di cabang yang mana itu yang belum dia ketahui.
“Mungkin kalian, terutama Haris udah bisa mengira, siapa yang bakal tetep di kantor pusat kan?”
“Iya bu, pasti Lidya kan?”
“Iya Ris, kamu bener. Terus, kamu sendiri gimana?”
“Yaa nggak masalah sih bu buat saya. Lagian saya cowok, jadi pasti lebih diprioritaskan untuk ke cabang kan?”
“Iya, bener banget. Nah, sekarang, tentang dimana kamu ditempatkan Ris.”
Haris menunggu informasi selanjutnya dari Viona. Kantor ini memiliki beberapa cabang yang tersebar di berbagai kota. Tapi yang di Jawa, hanya ada di Jogja dan Surabaya. Dia orang Solo, dan kuliahnya di Jogja, sudah pasti lebih berharap ditempatkan di Jogja. Tapi dimanapun keputusan dari manajemen menempatkannya, dia sudah siap, dan pasti akan dia jalani.
“Jadi, nanti kamu akan ditempatkan di kantor cabang kita yang ada di Jogja Ris.”
“Wah, beneran bu?”
Viona mengangguk. Haris langsung girang. Rupanya harapannya terwujud. Jogja adalah kota yang sudah cukup dia kenal, lagipula tidak jauh dari kota asalnya. Tentu saja ini menjadi tujuan yang benar-benar dinantikannya.
“Sebenernya, memang sejak awal kamu udah diproyeksikan untuk ditempatkan disana, itulah kenapa kamu yang dipilih.”
“Hmm, maksudnya bu?”
“Jadi gini, waktu tes seleksi tahap akhir, ada 5 orang yang memenuhi syarat untuk lolos, salah satunya kamu, dan juga Lidya. Lidya sudah pasti kita ambil, bukan karena dia anak pak Doni, tapi karena nilai dia sejak awal tes adalah yang tertinggi. Nah, sementara itu kita butuh 1 orang lagi. Dari 4 orang yang tersisa, cuma kamu yang cowok, dan cuma kamu yang pernah di Jogja.” Viona mulai menjelaskan kepada Haris.
“Di perusahaan kita ini, untuk rekrutmen memang kita prioritaskan untuk putra-putra daerahnya terlebih dahulu, artinya jika ada beberapa pilihan, jika ada yang berasal dari kota dimana kantor cabang kita butuh, orang itu yang didahulukan.”
“Lho tapi kan saya bukan dari Jogja, cuma emang kuliahnya disana aja.”
“Itu udah cukup, karena selain kamu, 3 orang lainnya berasal dari luar Jawa, dan mereka nggak kuliah di Jogja. Lagian memang kalau di ranking, kamu di urutan kedua setelah Lidya.”
“Ooh gitu ya. Emang itu yang milih siapa bu?”
“Yang milih pak Doni sendiri, tapi atas rekomendasi dari aku juga sih, haha.”
“Loh kok?”
“Heh, jangan salah sangka dulu. Sebelumnya kan aku nggak kenal sama kamu, jadi pilihanku murni karena domisili dan penilaian kamu aja. Eh ternyata, pas mas Aldo kemarin cerita tentang kamu, aku cek lagi data di kantor, ternyata Haris yang aku pilih itu adalah kamu, sepupunya suamiku, hehe.”
“Walah, kebetulan banget dong ya? Haha.”
“Kalau gitu harus dirayain ini Ris,” ucap Lidya tiba-tiba.
“Loh, apanya yang dirayain Lid? Ini kan cuma pindah tugas, belum pasti lulus juga kan?”
“Hmm, yaa nggak masalah, pindah tugas juga harus tetep dirayain. Kan jadinya, kamu lebih deket sama rumah, sama keluarga, itu yang harus disyukuri, iya nggak?”
“Hmm, iya juga sih. Ya udah deh, aku traktir makan siang kalau gitu, hehe.”
“Asyiiik, kapan? Hari ini ya?”
“Hari ini? Dimana? Kan belum booking tempat. Tau sendiri kan kalau jam makan siang dimana-mana rame?”
“Udah Ris tenang aja, Mas Aldo udah booking tempat kok, entar kita makan disana, tapi kamu yang bayarin,” sahut Viona.
“Oh gitu ya, oke deh, siap.”
Haris yang sedang gembira mengiyakan saja. Dia benar-benar tak tahu, kalau semua ini sudah dipersiapkan oleh Viona. Sejak awal Viona sudah tahu dimana Haris akan ditempatkan, dan dia memang merencanakan untuk memberi tahu Haris hari ini, dan dia juga sudah meminta suaminya untuk membooking tempat di salah satu rumah makan yang tak jauh dari kantor mereka. Tapi Haris tak perduli, karena dia memang benar-benar sedang senang.
Tak terasa jam makan siangpun tiba. Haris bersama dengan Viona dan Lidya sudah berada di lobby kantor, menunggu Aldo yang sedang terjebak macet. Untung saja jarak antara kantor Aldo, kantor Haris dan rumah makan tujuan mereka tak terlalu jauh, sehingga tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di jalan.
“Tuh mas Aldo nunggu di seberang, yuk berangkat,” ucap Viona. Haris dan Lidyapun mengikutinya.
Sesampainya di rumah makan mereka langsung menuju ke meja yang telah dipesan. Merekapun memesan makanan masing-masing. Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka ngobrol dan saling bercanda.
“Wah, kayaknya kalian berdua ini cocok ya? Udah jadian aja, sama-sama belum punya pacar kan?”
“Hadeeh mulai deh mas Aldo… Yaa nggak gitu lah, yang penting kerja dulu yang bener,” sanggah Haris.
“Yaelah nggak papa kali Ris. Mulai dari sekarang kan juga bisa, kan nggak papa nikah sesama karyawan di kantor kalian, iya kan yank?” tanya Aldo pada Viona.
“Iya sih, asal mereka mau jarak jauhan nantinya,” jawab Viona.
“Nah itu dia mas, 3 bulan lagi kan Haris pindah ke Jogja, masak iya mau jauh-jauhan,” ucap Lidya.
“Ooh jadi kalau deket mau nih? Tuh Ris, Lidya udah kasih kode, haha.”
“Eh, ya nggak gitu maksudnya mas, haduuuh,” Lidya menyesalkan perkataannya tadi.
“Haha udah ah, nggak usah bahas ginian. Lagian Lidya pasti juga udah punya pacar, iya kan Lid?” tanya Haris.
“Hmm, belum sih,” jawab Lidya tersipu.
“Ah masak sih? Cantik-cantik gini nggak punya pacar?” tanya Haris lagi.
“Yaa emang belum punya, tapi kan yang deket ada. Kamu juga tuh, ganteng-ganteng kok nggak punya pacar?” Lidya bertanya balik.
“Yaa, kalau itu kan, hmm, anu…”
“Ciyeee, belum belum udah saling muji aja nih, pake bilang cantik ganteng segala, haha.”
“Eh, hmm…”
Haris dan Lidya langsung salah tingkah menyadari kesalahan dan kebodohan mereka. Padahal tadinya mereka berniat saling sindir, tapi malah disambar dan jadi bahan olokan oleh Aldo. Viona yang melihatnya tak mampu menahan tawanya. Aldo dan Viona tertawa lebar, sedangkan Haris dan Lidya diam saling tatap, saling menyalahkan.
“Udah jadian aja, nggak papalah 3 bulan, daripada sama-sama nganggur kan, haha aduuh duh duh yank, yank sakit yank…” Aldo yang masih mengolok Haris dan Lidya tiba-tiba berteriak karena Viona mencubit pinggangnya. Cubitannya kecil, tapi yang pasti sakit sekali.
“Yaa lagian, ngomong apaan itu tadi? Jadian 3 bulan daripada nganggur? Maksudnya apa yang dianggurin hah? Dasar mesum…”
“Haha sukurin, rasain…”
Haris dan Lidya gantian menertawakan Aldo yang sedang dimarahi istrinya. Ya, tentu saja mereka tahu apa yang dimaksud oleh Aldo. Mereka bukan anak-anak lagi, dan mereka juga sudah pernah melakukannya, dulu, dengan mantan mereka masing-masing.
“Yaa ampun yank, siapa yang mesum sih. Ini realita lho, coba aja tanya mereka, iya kan aduuh duuh duh yank udah yank, ampun…”
“Sekali lagi bahas itu seminggu nggak dapat jatah!”
“Hah kok seminggu yank? Aduuh iyaa iyaa ampuun, nggak bahas lagi deh…”
“Hahahaha…”
Viona tak merasa canggung mengucapkan kata-kata itu, karena menganggap Haris dan Lidya sudah cukup dewasa untuk menanggapinya. Apalagi dia dan Lidya sebenarnya sudah kenal cukup lama karena sudah beberapa kali Lidya magang di kantor itu, sehingga sudah cukup dekat dengan Lidya. Sedangkan Haris, yang adalah saudara dari Aldo, juga sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri, meskipun baru sekitar seminggu mereka kenal.
Tak terasa waktu makan siang sudah hampir berakhir. Mereka juga sudah menyelesaikan makan siang mereka. Aldo kembali mengantarkan Viona, Haris dan Lidya ke kantor mereka, sebelum kemudian kembali ke kantornya sendiri. Sampai di kantor, Haris dan kedua wanita itu langsung kembali ke ruangannya, melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda.
===
+++
Jika kita mengerjakan sesuatu yang kita sukai, atau paling tidak mengerjakannya dengan senang, maka pekerjaan itu tak akan terasa berat, dan waktupun akan berlalu dengan cepat. Itulah yang kini dirasakan oleh Haris. Tak terasa sudah sebulan dia bekerja. Semua yang perlu dia pelajari dalam waktu sebulan ini, sudah bisa dia kuasai semua. Tentu saja hal itu tak lepas dari bantuan Viona, yang selalu siap jika Haris menanyakan soal pekerjaan di rumah.
Apalagi dengan suasana kantor yang sangat menyengangkan. Memang di kantor ini tak terlalu mengenal istilah senior junior. Semua dipandang sama, asalkan kerjaan mereka bisa diselesaikan dengan baik. Tidak ada senior yang dengan seenaknya menyuruh junior untuk melakukan hal-hal di luar pekerjaan. Tidak ada junior yang juga seenaknya bekerja meskipun memiliki keluarga yang posisinya sudah tinggi di perusahaan ini. Semua sadar diri. Dan itu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan.
Di kantor ini juga kebanyakan karyawannya cepat bergaul dan mudah akrab, karena itulah Haris sudah langsung merasa seperti sudah sangat lama bekerja disini. Hanya saja yang sedikit menganggunya, beberapa orang, terutama pak Doni dan teman-temannya sesama karyawan baru, lebih sering memanggilnya ‘Jepang’ daripada nama aslinya. Gurauannya di ruang rapat kemarin rupanya berbekas di kepala mereka. Tapi meskipun begitu, Haris tak keberatan, malah geli sendiri.
Haris juga sudah sangat akrab dengan Viona dan Lidya yang seruangan dengannya. Hari-hari di kantor tak lagi melulu hanya membahas pekerjaan. Jika pekerjaan sudah selesai, mereka membahas hal lain, soal kehidupan pribadi mereka. Dari situ Haris dan Viona tahu kalau beberapa hari yang lalu Lidya baru saja jadian dengan pria yang selama ini gigih mengejarnya. Lidya juga sudah mentraktir mereka, hitung hitung sebagai pajak jadian.
Hari sudah sore, Haris dengan Viona dan Lidya masih berada di ruangan mereka. Pekerjaan mereka sudah selesai dari tadi, dan kini mereka menunggu waktu pulang dengan mengorek cerita kehidupan Haris. Karena merasa sudah sangat dekat dan nyaman dengan kedua wanita itu, Harispun menceritakan beberapa hal tentang dirinya, termasuk gadis yang membuatnya galau setahun belakangan ini.
“Jadi setelah terakhir kamu tengok kesini, kalian langsung lost contact gitu Ris?” tanya Viona.
“Iya mbak. Sepulang aku dari sini, aku hubungi dia mau ngabarin kalau udah sampai, tapi nomernya nggak aktif. Kupikir HPnya mati. Beberapa jam kemudian aku hubungi lagi, tetep nggak aktif. Terus aku cek sosmednya dia, eh nggak tahunya semua udah non aktif, satupun nggak ada yang tersisa.”
Haris sudah memanggil Viona mbak karena meskipun masih di kantor, sudah tidak ada lagi urusan dengan pekerjaan, lagipula Viona sendiri yang memintanya.
“Kok bisa gitu ya? Apa pas kalian terakhir ketemu itu, kalian ada masalah? Ribut-ribut gitu?”
“Nggak ada mbak, aku merasa semuanya baik-baik aja. Dia bahkan nganterin aku ke stasiun, dan pas kita mau pisah, dia masih senyum senyum aja. Yaa pokoknya masih kayak biasanya lah, nggak ada yang berubah.”
“Mungkin ada sesuatu yang nggak kamu sadari Ris,” sahut Lidya.
“Sesuatu apa Lid?”
“Yaa nggak tahu. Mungkin dari selama kamu disini, ada pembicaraan kalian yang bikin dia jadi kayak gitu, yang kamu nggak sadar itu.”
“Hmm, apa yaa. Kayaknya nggak ada deh. Kita tuh beneran kayak biasanya, semua normal-normal aja.”
“Kalian seumuran Ris?” tanya Viona.
“Iya mbak.”
“Waktu kalian ketemu itu, kalian bahas tentang nikah nikah gitu nggak?”
“Nggak ada sih mbak. Nggak ada omongan kearah sana.”
“Kalian udah berapa lama jadian? Sampai saat itu?”
“Udah 3 tahun mbak, dari sejak kami kuliah. Terus pas lulus, dia kan langsung keterima kerja, sedangkan aku masih nganggur setahunan.”
“Hmm sorry Ris, agak vulgar. Kalian, ngeseks?”
“Iya.” Haris mengangguk. Dia merasa tak perlu canggung lagi, mereka sudah sama-sama dewasa.
“Waktu kalian ngeseks pas terakhir ketemu itu, gimana rasanya?”
“Rasanya? Maksudnya?”
“Gini, bukan gimana rasa ngeseksnya, tapi lebih ke, hmm apa yaa, feelnya. Kamu ngerasa dapat feelnya nggak waktu itu? Atau menurut kamu, dia dapat feelnya nggak?”
Haris terdiam, tak langsung menjawab. Dia mencoba mengingat-ingat kembali waktu terakhir bersama gadis itu. Apa saja yang mereka lakukan, dan apa saja yang dia rasakan.
“Hmm, kayaknya, agak beda sih mbak. Gimana ya, mungkin bisa dibilang, dia agak dingin. Tapi waktu itu aku nggak terlalu ngeh soal itu sih.”
Viona menatap Lidya. Sepertinya mereka sepemikiran.
“Gini ya Ris, ini mungkin lho. Cewekmu itu ngerasa kalau kalian itu harusnya udah waktunya nikah, apalagi hubungan kalian udah sejauh itu, tapi ternyata kamu nggak ada bahas kearah sana. Mungkin sebenarnya dia berharap waktu itu kamu membahasnya. Ya meskipun nggak harus nikah saat itu juga, karena kan kamu emang belum kerja, tapi siapa tahu, di tempat kerjanya, atau di lingkungannya dia, ada orang lain yang deketin dia, dan menyatakan keseriusannya, jadi dia butuh kepastian dari kamu,” ucap Viona, mencoba menjelaskan apa yang dia pikirkan.
“Nah, karena waktu ketemu itu dia pengen tahu kepastian dari kamu, tapi kamu nggak membahasnya, dan akhirnya dia milih orang lain. Ini masih kemungkinan sih, tapi aku, sama Lidya, sebagai sesama cewek, pasti punya pikiran kearah sana.”
“Yaa tapi, kalau emang kayak gitu, kenapa dia nggak bahas duluan mbak? Minimal tanya kek.”
“Hey boy, yang cowok itu siapa? Ya harusnya kamulah yang punya inisiatif. Gini ya Ris, siapa tahu ada cowok lain yang ngajakin cewekmu nikah, dan dia belum jawab karena pengen tahu kamu nganggap hubungan kalian itu kayak gimana, tanpa harus dia tanya atau dia pancing. Dan disitu, mungkin dia bisa lihat kalau kamu nggak ada pandangan ke depan dengan hubungan kalian, makanya dia ninggalin kamu,” kali ini Lidya yang menanggapi.
“Tapi hal kayak gitu kan bukan kepentingan satu pihak aja, tapi untuk kedua belah pihak, jadi harusnya dibahas bareng dong, nggak asal ambil keputusan kayak gitu secara sepihak?” Haris masih kukuh dengan pendiriannya.
“Iya emang bener, itu untuk kepentingan 2 pihak. Tapi, masak kamu mau cewekmu yang inisiatif? Kalau misalnya lamaran, siapa yang ngelamar? Cewek apa cowok?”
“Yaa, cowok sih mbak.”
“Terus, kalau pas nikah, siapa yang ngucapin ijabnya? Cewek apa cowok?”
“Iya iya, cowok. Tapi gini deh mbak, kalau emang ada yang deketin dia, ngajakin dia nikah, atau apapun itulah, harusnya kan dia bilang sama aku. Aku ini kan cowoknya, dengan dia nggak bilang, artinya dia nggak nganggep aku dong? Dia yang nggak pengen nerusin hubungan sama aku dong kalau kayak gitu?”
“Kalau itu aku juga nggak tahu Ris. Kamu yang lebih tahu cewekmu itu kayak gimana, dan dari situ, harusnya kamu bisa, yaah minimal nebak lah jalan pikiran cewek kamu tuh arahnya kemana.”
Haris terdiam. Dia ingin membantah, tapi benar juga yang dikatakan oleh Viona. Viona dan Lidya hanya memberikan pendapat mereka, sebagai seorang wanita. Dan kalau memang hal itu benar, ada yang mengganjal pikiran Haris. Kalau memang ada pria lain yang mendekati gadis itu, kenapa dia tidak memberi tahunya? Apakah memang gadis itu lebih memilih laki-laki lain daripada dia? Ataukah, ada kejadian yang membuat gadis itu terpaksa memilih laki-laki lain?
“Mbak, Lid…”
“Iya, kenapa?”
“Hmm, apa mungkin ya, dia berpaling karena terpaksa?”
“Maksud kamu?”
“Ya maksudku, dia ada dalam kondisi dimana harus milih laki-laki itu, dan terpaksa ninggalin aku…”
“Maksudmu dia hamil sama cowok lain?” tanya Viona, to the point.
“Yaa, something like that lah.”
“Haduh Ris, mikirmu jangan kejauhan kayak gitu dong, ngeri. Hmm, tapi, yaa bisa jadi sih, ada kemungkinan kearah sana. Menurutmu gimana Lid?”
“Yaa, gimana yaa. Bisa aja sih kayak gitu mbak.”
“Coba deh kalian sebagai cewek, apa sih hal yang bisa bikin kalian berpaling sebegitu mudahnya, secepat itu, dari cowok yang bener-bener kalian cintai?”
“Ada beberapa hal Ris. Pertama, mungkin yang kamu bilang tadi. Kedua, dijodohin sama orang lain. Ketiga, ada cowok lain yang bener-bener bisa bikin aku yakin sama dia. Nah sekarang pertanyaannya, apa kamu yakin, cewek itu bener-bener cinta sama kamu?” tanya Lidya.
“Eh, maksudmu?”
“Apa kamu yakin dia secinta itu sama kamu, sampai kamu mikir dia ninggalin kamu karena terpaksa?”
“Yaa, yaa yakin lah…” jawab Haris dengan ragu-ragu.
“Tuh, kamu sendiri aja nggak yakin jawabnya Ris.”
Haris terdiam sejenak. Dia merasa tertohok dengan pertanyaan Lidya. Tapi dia seolah dibuat tersadar oleh wanita itu. Benar apa yang ditanyakan Lidya, apakah gadis itu benar-benar mencintainya? Apakah gadis itu meninggalkannya karena terpaksa? Atau jangan-jangan, justru gadis itu lebih mencintai pria lain ketimbang dirinya?
“Pertanyaanku selanjutnya Ris. Seberapa kenal kamu sama cewekmu itu? Seberapa dalam kamu tahu dia? Tahu isi hatinya?”
Haris kembali terdiam. Pertanyaan yang diberikan oleh Lidya ini benar-benar menusuknya. Bukan dalam artian membuatnya sakit, tapi membuatnya tersadar, dan terpaksa mengingat-ingat kembali. Dia membuka lagi memorinya tentang gadis itu. Hampir setiap hari, saat masih pacaran dulu sewaktu kuliah, mereka bersama. Tapi, jika diingat lebih jauh lagi, dia ternyata tidak benar-benar mengetahui dan mengenal gadis itu.
Harispun menggeleng, “Aku nggak tahu Lid, aku nggak tahu apa-apa tentang dia.”
“Aku nggak bener-bener tahu tentang keluarganya. Aku nggak bener-bener tahu tentang apa yang dia suka dan nggak suka. Aku nggak pernah bener-bener tahu pergaulannya seperti apa. Dia tahu persis apa aja isi handphone dan laptopku, tapi aku nggak tahu apa-apa punya dia. Aku nggak tahu dia Lid.”
Lidya dan Viona terdiam. Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan dari Lidya, tapi dia tahan. Dia memberikan waktu kepada Haris untuk berpikir, dan merenung. Memberikan waktu kepada Haris untuk memahami situasi yang sebenarnya.
Haris sendiri, sebelumnya tak pernah mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, baik dari dirinya sendiri, maupun dari teman-temannya. Kali ini, dia seperti baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya. Dia benar-benar dibuka matanya tentang gadis yang selama ini membuatnya galau tak berujung.
“Ris, pertanyaan terakhirku, kalau kamu nggak keberatan,” ucap Lidya.
“Apa Lid?” Haris menatap Lidya, langsung di matanya.
“Apa kamu yakin, kamu satu-satunya orang yang spesial untuk cewek itu?”
Haris tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. Dulu, jika ditanya seperti itu, dia pasti akan dengan yakin menjawab iya. Bahkan mungkin akan marah kepada yang bertanya. Tapi kali ini dia sendiri malah meragukannya. Meragukan cinta dari gadis itu, meragukan hubungan yang dia jalani dengan gadis itu, meragukan 3 tahun yang dia habiskan dengan gadis itu.
Melihat senyum Haris, membuat Lidya dan Viona ikut tersenyum.
“Kalau gitu, nggak perlu kamu pikirin lagi. Atau untuk memastikannya, kamu cari dia, untuk yang terakhir kalinya. Untuk mendapat kepastian. Bukan tentang kepastian hubungan kalian, tapi kepastian kenapa dia ninggalin kamu. Setelah itu, ya sudah, lupain. Kubur dalam-dalam. Waktunya kamu buat move on.”
“Iya, makasih ya Lid, mbak. Kalian bener-bener ngebuka mataku sekarang. Mataku udah ketutup sama cinta buta, yang bikin aku membenarkan semua yang aku pikirin. Entahlah, aku perlu cari dia lagi atau nggak, aku nggak tahu harus nyari kemana, karena jujur, selama aku ngunjungin dia, dia nggak pernah ngajak aku ke kost-kostannya.”
“Lha terus, kalian kemana dong?”
“Yaa, nginep di hotel mbak, hehehe.”
“Hadeeeh. Ya ya ya, paham lah paham, hahaha.”
Mereka bertiga pun kini tertawa. Haris juga. Dia bisa tertawa lepas. Menertawakan kebodohannya selama ini. Semuanya memang belum pasti, semua masih kemungkinan. Tapi kemungkinan itu rasanya mendekati 100%, hanya tinggal melihat kondisi yang sebenarnya saja. Tapi Haris rasa, itu sudah cukup. Setahun lebih menghilang tanpa kabar, apalagi yang harus dia cari? Tidak ada.
‘Bener yang dibilang Lidya. Sekarang wakutnya aku buat move on. Nggak perlu mikirin dia lagi. Yang penting sekarang, aku kerja yang bener. 2 bulan lagi juga bakal dipindah kan? Siapa tahu aku ketemu jodoh disana.’
Bersambung