Part #6 : Haris dan Lidya

Sudah 2 hari berlalu sejak kejadian antara Haris dan Lidya. Mereka tetap masuk kerja seperti biasa, hanya saja Haris merasa ada yang berbeda. Bukan orang lain, tapi justru pada dirinya sendiri. Dia merasa malu dan sungkan tiap kali ketemu Lidya, meskipun kelihatannya Lidya bersikap biasa-biasa saja. Viona sendiri kalau sedang di kantor juga tidak pernah membahas hal itu lagi, tapi beda ceritanya kalau sedang di rumah, Haris tak lepas dari olokannya dan Aldo.

Haris sebenarnya sudah mencoba untuk bersikap biasa saja kepada Lidya, tapi tetap saja kalau bertatap muka dengan gadis itu membuatnya sungkan. Pernah kemarin mereka ditinggal berdua di ruangan karena Viona dipanggil untuk rapat. Selama Viona pergi itu Haris sama sekali tak mengucapkan apapun jika tidak diajak bicara oleh Lidya. Lagipula yang dibicarakan Lidya hanya seputar pekerjaan mereka. Haris tidak menangkap ada nada marah atau semacamnya dari Lidya, tapi hati orang siapa yang tahu.

Lidya sendiri, sebenarnya juga merasakan hal yang sama, hanya saja dia lebih bisa menyembunyikan perasaannya daripada Haris. Dia lebih pandai mengambil sikap. Meski diakui, saat sadar tangan Haris nemplok di payudaranya, ada sedikit desiran yang dia rasakan. Tapi dia tahu, Haris tidak sengaja dan tidak ada niat melakukan itu. Tapi mau tak mau, sentuhan itu tetap saja membuatnya berdesir.

“Hai hai, udahan nih pacarannya?” ucap Viona mengagetkan mereka berdua. Viona baru saja selesai rapat.

“Apaan sih mbak, siapa yang pacaran, orang kita kerja kok,” jawab Haris.

“Heh, masih jam kantor ini, masih kerja juga,” ucap Viona mengingatkan.

“Eh maaf bu.”

Viona kembali duduk di kursinya. Sejenak dia mengamati kedua juniornya ini, lalu tersenyum simpul. Dia tahu apa yang dirasakan oleh Lidya. Tanpa sepengetahuan Haris, dia menanyai Lidya lagi setelah hari itu, dan jawaban Lidya masih sama seperti penjelasannya yang pertama. Hanya saja Lidya menambahkan dengan menceritakan apa yang dia rasakan, dan hal itu membuat Viona berniat untuk mengerjai saudara suaminya itu.

“Oh iya Ris, weekend nanti aku sama mas Aldo ada acara lagi di Bogor.”

“Loh, acara apa lagi bu?”

“Yaa sama kayak kemarin, ada nikahan temen. Dan kami berangkatnya jumat malem, mungkin baru balik minggu siang.”

“Lha kok lama gitu? Aku ikut ya?”

“Nggak usah lah, kamu jaga rumah aja. Lagian aku sama mas Aldo kan mau ‘jalan-jalan’.”

Viona membuat tanda dengan jarinya saat mengucapkan kata jalan-jalan. Haris memahami apa maksud Viona, yang artinya dia hanya ingin pergi berdua saja dengan Aldo, tidak ingin diganggu.

“Lid, kamu weekend besok nggak ada acara kan?” tanya Viona.

“Nggak ada kok bu.”

“Baguslah. Bisa temani Haris nggak?”

“Loh bu, ngapain pake ditemenin segala? Aku bisa jaga rumah sendirian kok,” sahut Haris sebelum Lidya menjawab.

“Bisa kok bu, apa perlu saya nginep sana?” sahut Lidya.

“Hmm, kayaknya lebih bagus sih kalau kamu nginep. Kasihan adikku ini nanti kalau kelaparan lagi, hihihi.”

“Mbaaak, nggak usahlah, aku sendiri aja,” Haris merajuk.

“Lho, kan Lidyanya yang mau, iya kan Lid?”

“Iya bu, entar saya nginep aja disana.”

“Lid, nggak usah. Kalau kamu nginep aku yang pergi lho,” ucap Haris.

“Yaa terserah. Kan yang disuruh jaga rumah kamu. Kalau kamu pergi ya itu urusan kamu sama bu Viona dan pak Aldo,” jawab Lidya dengan cueknya.

“Oke kalau gitu. Haris kamu jaga rumah, ditemenin sama Lidya. Nggak boleh ngebantah.”

“Mbaaaakk…”

“Sssttt, nggak boleh ngebantah.”

Haris sudah mau protes lagi, tapi kemudian Viona langsung sibuk dengan laptopnya. Dia melihat ke arah Lidya, gadis itu juga sibuk. Wajah mereka berdua datar-datar saja. Sedangkan Haris malah jadi bingung. Lidya mau menginap, itu artinya bakal 2 malam dia bersama dengan Lidya, serumah dengannya. Haris mulai berpikir bagaimana baiknya, diapun punya rencana untuk mengajak Lidya jalan-jalan saja. Entah kemana, yang penting tidak menghabiskan waktu di rumah. Karena bisa jadi, khilaf dan bego benar-benar akan terjadi nantinya.

Lidya

Hari jumat sore, Viona dan Aldo sedang bersiap-siap untuk pergi. Lidya juga sudah ada disana, membawa sebuah tas berisi pakaian ganti dan perlengkapan lainnya selama dia menginap di rumah itu. Aldo sebenarnya baru tahu rencana ini 2 hari lalu. Sebenarnya tidak ada temannya atau teman Viona yang menikah, itu semua hanya akal-akalan Viona saja. Awalnya Aldo keberatan dengan ide Viona itu, bukan apa-apa, meskipun kerap kali menggoda Haris dan Lidya, tapi bagaimanapun Lidya sudah punya pacar. Tapi setelah diberi penjelasan oleh Viona, Aldopun ikut saja.

Lidya sedang menonton TV sendirian di ruang tengah, sedangkan Haris sejak Lidya datang tadi hanya berada di kamarnya terus. Aldo lalu memanggil Haris, karena dia dan Viona sudah akan berangkat. Terilat Haris seperti ogah-ogahan menghampiri mereka. Ekspresi Haris ini kembali membuat Aldo geli dan menahan tawanya.

“Ris, aku sama Viona mau berangkat dulu. Kalian baik-baik ya di rumah.”

“Iya mas.”

Aldo dan Viona kemudian beranjak ke mobil, diikuti oleh Lidya dan Haris. Setelah memasukkan tasnya ke bagasi, Aldo tak langsung masuk ke mobil, dia menghampiri Haris dan Lidya lagi.

“Kami pergi sampai hari minggu, mungkin sore baru nyampe. Itu di kulkas banyak bahan kalau kalian mau masak, nggak usah banyak-banyak jajan.”

“Iya mas, hati-hati ya.”

“Iya, kamu juga hati-hati. Main aman, kalau perlu kondom, itu ada di laci samping TV, haha.”

“Maaass!!!”

“Hahahaha…”

Aldo langsung pergi, tak peduli dengan Haris yang jengkel dengan kata-katanya tadi. Tak lama kemudian mobil itupun beranjak meninggalkan rumah. Tinggal Haris dan Lidya berdua saja sekarang. Haris sempat bingung. Dia menatap Lidya, tapi Lidya langsung berbalik, masuk lagi ke dalam rumah. Haris menyusulnya.

“Ris.”

“Iya Lid?”

“Entar malam aku tidur dimana?”

“Eh, hmm, di kamar mbak Viona aja ya?”

Tak menunggu jawaban Lidya, Haris menuju ke kamar Viona dan Aldo. Dia mencoba membuka pintunya, tapi terkunci.

“Loh kok dikunci sih,” ucap Haris lirih.

“Kenapa Ris?”

“Hmm, enggak. Ternyata kamar mbak Viona dikunci.”

“Terus? Aku tidur dimana?”

“Ya udah, di kamarku aja.”

“Kamu?”

“Gampang, aku bisa tidur di sofa aja entar.”

“Hmm, ya udah.”

Sialan mbak Viona sama mas Aldo, kayaknya emang niat ngerjain aku ini. Tapi maksud mereka apaan sih?’ gerutu Haris dalam hatinya.

Karena sudah sore, dan sudah terasa penat, Harispun kemudian mandi. Setelah itu giliran Lidya yang mandi. Selesai mereka mandi, mereka hanya duduk sambil menonton TV saja. Haris sebenarnya ingin mengajak Lidya keluar, tapi dia tak tahu mau kemana.

“Lid.”

“Kenapa?”

“Kamu nggak pengen keluar?”

“Keluar kemana?”

“Yaa, kemana gitu, kan weekend ini.”

“Nggak ah Ris, aku capek. Besok aja ya keluarnya?”

“Gitu ya? Ya udah deh kalau gitu. Kamu udah laper belum?”

“Huuu, dari tadi kek tanyanya, udah laper banget tahu!”

“Lha kamu kok nggak bilang?”

“Kan yang tuan rumah kamu Ris? Masak iya aku minta makan? Harusnya kan tuan rumah yang nawarin..”

“Hehe, maaf. Ya udah, makan yuk?”

“Makan apa?”

“Hmm, bentar, lihat dulu di dapur.”

Haris menuju dapur, Lidya mengikutinya. Tak ada makanan yang bisa mereka makan. Harispun membuka kulkas. Memang banyak sih isinya, tapi bahan mentah semua, dan mereka harus masak dulu.

“Haduuh, cuma ada ini Lid, kita harus masak dulu deh kayaknya.”

Lidya ikutan melihat ke kulkas.

“Ya udah, biar aku masak dulu aja.”

“Lho, tapi kamu bilang kamu nggak bisa masak?”

“Bukannya nggak bisa sama sekali. Dikit-dikit bisalah. Beberapa hari ini aku juga udah belajar kok. Lebih tepatnya, dipaksa belajar sama mama.”

“Ooh gitu. Ya udah, jadi mau masak apa nih?”

Lidya tak menjawabnya. Dia langsung mengambil beberapa bahan di kulkas. Dia meminta Haris untuk menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Haris terus menemani Lidya memasak. Dia heran juga, karena Lidya pernah mengaku tidak bisa masak, dan tadi baru saja bilang kalau bisa sedikit-sedikit, dan juga baru saja belajar masak. Tapi dilihat dari cara Lidya masak, dia tidak terlihat seperti orang yang baru belajar. Caranya mengiris bawang, caranya menumis, terlihat kalau dia sudah sering dan jago masak. Bahkan seingat Haris, Viona saja tidak sampai seperti itu.

Setelah menunggu beberapa saat, masakan Lidya sudah siap. Haris kembali membantu menyiapkan piring, Lidya yang menghindangkannya. Dari aromanya Haris sudah mengira kalau masakan itu enak sekali. Tapi meskipun sedang lapar, dia tak mau buru-buru mengambilnya, tidak enak pada Lidya yang sudah bersusah payah memasaknya. Setelah Lidya juga siap, merekapun makan malam berdua.

“Wuiih, masakan kamu ternyata enak banget Lid, kamu ternyata pinter masak ya? Gitu kok ngomongnya nggak bisa masak sih?”

“Hehe, cuma kebetulan aja Ris.”

“Apanya yang kebetulan? Ini sih jago namanya. Kelihatan kok dari caramu masak tadi.”

“Ah, kamu terlalu berlebihan.”

“Serius Lid, ini enak banget, dan cara masak kamu tadi, jago banget. Masakan mbak Viona aja nggak seenak ini lho.”

“Ini muji apa ngeledek ya?”

“Loh, aku serius. Emang kamu belum pernah makan masakan mbak Viona?”

“Belum.”

“Ya udah, kapan-kapan deh kamu kesini, makan masakan mbak Viona.”

“Ooh, jadi kamu minta aku buat datang lagi kesini? Kemarin nolak nolak?”

“Hehe, yaa bukan gitu. Kalau main ya main aja, tapi kan ini beda, kamu pake nginep segala.”

“Jadi keberatan nih aku nginep?”

“Yaa mau gimana lagi, mau keberatan juga kamu udah disini. Nggak mungkin kan aku ngusir kamu? Hehe.”

“Udah ah, selesain dulu makannya, entar baru ngobrol lagi.”

Haris dan Lidya kembali melanjutkan makan mereka. Haris benar-benar tak menyangka, gadis yang ada di hadapannya itu sepintar ini memasak. Lidya sendiri, tentu saja senang karena masakannya dipuji. Haris bukan orang yang pertama memujinya, sudah pernah ada beberapa orang lagi yang melakukannya. Tapi biar bagaimanapun, dipuji untuk sesuatu yang kita lakukan, itu pasti menyenangkan.

Akhirnya makan malam selesai. Mereka berdua membereskan meja makan dan juga alat-alat yang tadi dipakai untuk memasak bersamaan. Setelah itu keduanya kembali ke ruang tengah, menonton TV sambil ngobrol. Sebenarnya hanya ngobrol sih, karena mereka tak peduli dengan tayangan yang diputar oleh TV.

“Pacarmu masih di luar negeri Lid?”

“Iya, kan aku bilang dia kesananya sebulan, ini baru dapet seminggu.”

“Oooh…”

“Kenapa emang?”

“Nggak sih. Cuma, kok dari tadi kamu disini, kayaknya kamu nggak ada ngehubungin dia?”

“Dia lagi sibuk ngurusin kerjaannya. Biar dulu deh, entar malah aku ngeganggu lagi.”

“Hmm, gitu yaa…”

“Iya. Kamu sendiri, gimana?”

“Aku? Gimana apanya?”

“Yaa, udah dapet pengganti cewek pembuat galau itu belum?”

“Haha, belum. Kapan mau nyarinya coba, aku kan nggak pernah kemana-mana. Lagian, itu dipikirin entar aja deh, yang penting fokus sama kerjaan dulu.”

“Atau, kamu mau nyari disana sekalian ya Ris?”

“Yaa, bisa jadi sih. Entahlah, aku lagi nggak mikirin masalah itu sekarang.”

“Ooh gitu. Terus, yang sekarang dipikirin apa dong?”

Haris terdiam sejenak. Sebenarnya dari tadi, dia sedang berpikir untuk mencari kesempatan meminta maaf kepada Lidya tentang kejadian minggu lalu, tapi dia masih bingung bagaimana memulainya. Dan mungkin sekarang adalah saat yang tepat.

“Lid?”

“Apa sih? Ditanya malah Lad Lid Lad Lid…”

“Hehe. Hmm, enggak, ini, aku, aku mau minta maaf.”

Lidya mengernyitkan dahinya.

“Minta maaf? Untuk?”

“Untuk, yang minggu kemarin.”

“Minggu kemarin? Yang mana?”

“Yaa, semuanya.”

“Semuanya itu, apa aja?”

Haduuuh ini cewek… masak iya aku harus omongin apa-apanya, huft.’

“Hmm, yaa mulai dari aku udah bikin kamu repot dateng-dateng kesini bawa makanan. Terus, yang gelitikin kamu juga, terus, pas aku megang, hmm, itu kamu…”

“Ooh itu. Hmm, pasti waktu itu kamu sengaja pegang-pegang ya? Kamu pasti nyuri-nyuri kesempatan kan? Dasar jomblo nakal, mesum.”

“Loh enggak Lid, sumpah aku nggak sengaja. Aku emang niatnya cuma gelitikin kamu, tapi badan kamu gerak-gerak, jadi tanganku, yaa gitu…”

“Oooh jadi kamu mau bilang kalau aku yang salah? Gitu?”

“Eh enggak, bukan gitu Lid. Haduuh gimana yaa. Iya deh aku yang salah.”

“Kamu yang salah? Jadi kamu ngakuin kalau kemarin sengaja pegang punyaku?”

“Ya ampun Lid, bukan gitu. Haduuh gimana sih…”

Haris bingung. ‘Ini salah, itu salah, lha terus yang bener apa? Dasar cewek, makhluk yang nggak pernah mau disalahkan, huh!!!

“Jadi intinya apa?”

“Yaa intinya, aku mau minta maaf sama kamu.”

“Ya udah, aku maafin.”

“Kok jutek gitu sih Lid?”

“Lah, terus kamu maunya gimana? Kamu mau aku bilang, ‘iya Haris sayang, Lidya udah maafin kamu kok’, gitu?”

“Yaa nggak gitu juga.”

“Lha terus gimana?”

Ya Tuhaan, apa salahkuuu???’ Haris sudah tak tahu lagi mau menjawab apa. Dia tak mau mendebat, bisa makin panjang urusannya. Akhirnya mereka pun terdiam kembali. Tapi Lidya masih terus melihat kearah Haris, yang membuat Haris salah tingkah.

“Tapi sekarang aku jadi tau,” ucap Lidya.

“Tau apaan?”

“Tau segimana khilaf dan begonya kamu, haha.”

“Eeh, jangan salah, itu belum ada apa-apanya lagi.”

“Ooh, jadi yang bener yang mana? Bisa lebih khilaf? Apa bisa lebih bego?”

“Kamu mau tau?”

“Aku mau tidur,” tiba-tiba Lidya membelokkan pembicaraan.

“Eh, apa Lid?”

“Aku mau tidur.”

Haris bingung dengan perubahan sikap Lidya yang mendadak. Padahal tadi sedang bercanda, kok sekarang bisa tiba-tiba jadi serius.

“Aku mau tidur,” ucap Lidya, mengulanginya lagi.

“Eh, oh iya, ayo ke kamarku.”

Haris berdiri, beranjak menuju kamarnya. Lidya mengikutinya. Begitu masuk, ternyata kamar Haris masih berantakan, dia memang belum membereskannya tadi. Jadi mau tak mau, Haris harus membereskannya dulu. Sekalian dia semprotkan wewangian, agar Lidya merasa nyaman tidur disini.

“Maaf ya Lid, aku belum beresin tadi. Agak bau juga sih, hehehe. Tapi udah kusemprot pengharum ruangan, moga-moga bikin kamu nyaman.”

“Iya, makasih yaa.”

“Ya udah, aku keluar dulu, kamu istirahat yaa.”

Lidya tak menjawab, dia membiarkan saja Haris berjalan menuju pintu. Haris mau keluar, tapi saat dia membuka pintu, tidak bisa. Pintunya terkunci. Diapun berbalik menatap Lidya yang duduk di ranjang, tatapannya seolah menanyakan, ‘mana kuncinya?’, tapi Lidya menggeleng.

“Lid, mana kuncinya? Kamu jangan bercanda gitu deh, nggak lucu.”

Lidya kembali tak menjawabnya. Dia malah berjalan mendekati Haris, meraih tangannya, dan menariknya menuju ranjang. Haris sempat menolak, tapi Lidya memaksa, hingga dia menurut saja. Lidya duduk di pinggiran ranjang, sementara Haris masih berdiri. Tak ada kata yang terucap dari keduanya. Lalu Lidya menarik tangan Haris, memintanya untuk duduk juga.

“Lid…”

“Temenin aku malem ini.”

“Tapi Lid…”

“Nggak ada tapi-tapian. Aku nggak bisa tidur sendirian di tempat baru. Kamu harus temenin aku.”

“Oke oke, tapi aku kunci pintu sama pagar dulu. Mana kuncinya?”

Lidya menggeleng.

“Nggak usah, aku udah kunci semuanya tadi.”

“Hah? Udah dikunci? Kapan?”

“Tadi, waktu kamu mandi.”

“Kamu udah rencanain ini?”

Lidya mengangguk.

“Kenapa?”

“Aku mau nagih janji kamu.”

“Janji? Janji apaan?”

“Minggu lalu kan kamu udah janji mau nemenin aku tidur. Dan aku juga udah bilang, aku penasaran sama khilaf dan begonya kamu.”

“Eh, tapi itu kan…”

Ucapan Haris terhenti saat jari telunjuk Lidya ditempelkan di bibirnya. Haris masih tetap terdiam waktu Lidya menarik kembali jarinya. Kini, terasa wajah Lidya mendekat ke wajah Haris. Kedua mata mereka saling tatap. Semakin dekat, dan semakin dekat, hingga akhirnya bibir mereka bersentuhan.

Aku menciumnya. Lidya, aku mencium Lidya.’

Lidya memejamkan matanya, membiarkan bibirnya tetep menyentuh bibir Haris. Dia diam saja, dia hanya menunggu pemuda itu yang mengambil alih. Haris yang sudah pengalaman, tahu apa yang harus diperbuat. Dengan lembut, dia mulai melumat bibir Lidya. Lidya meresponnya dengan sedikit membuka bibirnya. Keduanya tampak menikmati sekali momen ini. Cukup lama mereka berciuman, bahkan sekarang sudah saling memeluk.

Haris menarik tubuh Lidya untuk rebah di ranjang. Keduanya masih saling berciuman, dan tangan mereka juga sudah tak tinggal diam lagi. Saling mengelus, saling meraba. Saat meraba punggung Lidya, Haris baru menyadari sesuatu. Gadis itu tak memakai bh. Sama seperti minggu lalu. Hanya saja karena kaos yang dipakai Lidya agak longgar, membuat Haris baru menyadarinya sekarang.

Lidya udah bener-bener merencanakan ini. Dia udah nyiapin semuanya. Dan dia juga yang menginginkan ini. Baiklah kalau begitu,sikat coeg!

Tangan Haris mulai semakin aktif bergerak, menelanjangi tubuh Lidya. Gadis itupun tak mau tinggal diam, dia juga balas menelanjangi Haris, hingga kini mereka berdua tak memakai sehelai benangpun. Haris menghentikan ciuman mereka, menarik tubuh Lidya, mencari posisi yang enak. Sejenak dia mengamati tubuh mulus rekan kerjanya itu.

Cantik, putih, mulus, seksi. Sempurna.

Haris kembali mencium bibir Lidya. Kali ini bukan hanya saling melumat bibir, tapi lidah mereka berdua mulai ikut aktif ambil bagian. Nafas Haris maupun Lidya sudah tak teratur lagi, nafsu birahi perlahan merambat memenuhi tubuh mereka.

Tangan Lidya turun, meraih penis Haris yang sudah tegang. Dengan lembut dia usap dan dikocok penis itu. Haris tak mau kalah, kedua tangannya beraksi, satu di dada, satu lagi di bibir vagina Lidya. Nafas mereka saling memburu, membuat ciuman mereka semakin ganas. Lidah mereka saling membelit, saling menghisap dan sesekali disertai gigitan kecil.

Terasa sekali oleh Haris vagina Lidya sudah semakin basah, sedangkan penisnya pun semakin mengeras. Tapi dia tidak ingin buru-buru. Dia ingin benar-benar menikmati malam ini, siapa tahu ini hanya terjadi sekali, tidak terjadi lagi di hari-hari berikutnya.

Lidya sepertinya juga tidak ingin buru-buru, dia masih dengan lembut mengocok penis Haris. Tapi tak lama kemudian dia melepaskan ciumannya. Dia mendorong tubuh Haris hingga terlentang, lalu dia memposisikan dirinya di depan selangkangan Haris.

“Besar juga punyamu Ris.”

“Hehehe, standar kok.”

Hap, sluuurrpp…

“Oouuhhh Liiiid…”

Lidya langsung melumat penis Haris. Dijilati dan dikulumnya penis itu, membuat pipinya terlihat kembang kempis. Haris tak menyangka Lidya begitu hebat dalam melakukan hal ini, dan dia sangat menikmatinya. Cukup lama Lidya melakukannya, dan Haris mati-matian menahan agar tak sampai keluar duluan. Tapi kalau tidak segera dihentikan, dia bisa benar-benar kalah. Permainan mulut Lidya terlalu nikmat untuknya.

“Liid, udaahh…”

“Hehe, kenapa? Nggak tahan ya?”

“Iya, kulumanmu luar biasa, nikmat banget, bisa keluar duluan aku nanti.”

“Yang bener? Sama mantan-mantanmu?”

“Nggak ada yang sehebat kamu Lid, bener.”

Lidya tersenyum mendengarnya. Haris memang bukan lelaki pertama yang memuji permainan mulutnya. Mantan pacarnya dulu juga begitu, suka tidak tahan jika dikulum penisnya oleh Lidya.

Lidya melanjutkan permainan ke tahap selanjutnya. Tubuh Haris yang terlentang pasrah saja dengan yang dilakukan Lidya. Dengan tangannya, Lidya membimbing penis Haris untuk memasuki lubang surgawinya. Pelan-pelan dia melakukannya, karena sudah lama sekali dia tidak melakukan ini.

“Ssshhh… aaahhhh…”

“Ouuuhh Liiidd…”

Desahan mereka terdengar bersamaan saat penis Haris sudah masuk semua di vagina Lidya. Lidya diam dulu, membiarkan vaginanya beradaptasi dengan penis Haris. Haris sendiri juga masih diam, menikmati pijatan dinding kemaluan Lidya di penisnya.

Setelah menunggu beberapa saat, Lidya mulai menggerakkan badannya naik turun, dengan perlahan. Desahan erotis mulai keluar dari bibir tipisnya. Tubuhnya yang indah terlihat begitu sensual di mata Haris. Kulit putihnya, dengan sepasang daging kenyal yang tumbuh di dadanya, benar-benar sempurna.

Haris tak tahan lagi untuk sekedar diam. Dia tarik tubuh Lidya hingga menimpanya, dan langsung dia ciumi dengan ganas. Lidyapun membalasnya tak kalah ganas. Bersamaan dengan itu goyangan Lidya mulai dipercepat, dan direspon dengan Haris yang juga mulai menggoyangkan pinggulnya. Kedua tangan Haris yang berada di dada Lidya tak tinggal diam, meremasi kedua buah dada itu dengan sedikit kasar. Tapi Lidya tak protes ataupun terlihat kesakitan, bahkan terlihat sangat menikmatinya.

Haris menghentikan gerakan mereka, memaksa penisnya keluar dari vagina Lidya. Dia lalu menggeser posisi, membuat Lidya merangkak, dan dia sendiri bergeser ke belakang. Lidya tahu apa yang diinginkan Haris, diapun mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi.

Haris dengan mudah kembali melesakkan penisnya ke lubang vagina Lidya. Dia mulai menggoyangkannya kembali, dengan irama yang pelan. Kembali, desahan keduanya memenuhi kamar ini. Keringat mulai membasahi tubuh keduanya. Haris yang melihat punggung Lidya yang berkeringat, jadi tambah semangat untuk menggenjot rekan kerjanya itu.

“Aaahh Riisshh aahhh yang cepheettt… aahhhh aaahhh…”

Plok plok plok plok plok…

Gerakan Haris semakin dipercepat. Dia merasakan dinding vagina Lidya mulai berkedut. Dia tahu, wanitanya ini akan segera orgasme, karena itulah tempo genjotannya dia percepat. Semakin cepat dia memompakan penisnya, semakin sering dan semakin keras desahan Lidya terdengar.

“Aaaaaaaaahhhh…”

Akhirnya tubuh Lidya mengejang, disertai dengan desahan panjang, dia orgasme. Haris menghentikan gerakannya, membiarkan Lidya menikmati gelombang birahinya. Penisnya juga terasa hangat oleh cairan orgasme Lidya.

Setelah beberapa saat, Haris kembali menggoyangkan pinggulnya, dan kali ini langsung dengan tempo yang cepat. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya Lidya mendapatkan orgasmenya kembali. Posisi ini memang kelemahan Lidya. Dia gampang sekali orgasme jika disetubuhi dengan posisi seperti ini.

Tubuh Lidya rebah. Kepala dan dadanya menempel ke kasur, sementara pinggulnya masih naik, karena penis Haris masih berada di dalamnya. Harispun kemudian merubah posisi kembali. Masih dengan penis yang berada di vagina Lidya, dia buat tubuh Lidya tengkurap sempurna, dan dia peluk dari belakang.

“Aku goyangin lagi ya?”

“Iya sayang, puasin aku… aahh aaahhhh… teruusss Riiiss, enaakk…”

Haris memompa kembali penisnya. Dalam posisi itu, vagina Lidya terasa lebih sempit, lebih menggigit. Haris meraih kepala Lidya, memalingkannya, lalu diciumi kembali bibirnya. Lidya membalasnya dengan ganas, seganas penis Haris menyetubuhinya. Di posisi ini kembali Lidya mendapatkan klimaksnya, dan Haris masih bisa bertahan. Nafas Lidya sudah benar-benar terengah-engah, tenaganya terkuras. Tapi dia salut dengan Haris, tak disangka lelaki itu akan bertahan selama ini.

“Kamu hebat sayang, kamu bener-bener hebat…”

“Hehehe, masih kuat kan Lidya sayang?”

“Eitts, masih lah, ayo buruan goyang lagi sayang.”

“Siaap… nihhh..”

“Aaahhh aahhh terusss yaaaankk, aakkhh…”

Kembali Haris menggoyangkan penisnya. Kali ini temponya benar-benar cepat, sampai-sampai bunyi tumbukan pantat Lidya dan pinggangnya terdengar semakin jelas. Lidya kembali mendapatkan orgasmenya dengan cepat, tapi kali ini Haris tak berhenti. Lidya tahu lelakinya itu juga akan sampai ke puncak kenikmatannya, karena itu dia membiarkan saja, bahkan mengencangkan otot-otot di dinding kemaluannya untuk membuat Haris semakin tak tahan.

Tapi rupanya Haris tak mau keluar dalam posisi itu. Dengan cepat dia cabut penisnya, dibalikkan tubuh Lidya hingga terlentang, lalu dibuka lebar-lebar kedua kaki Lidya. Kembali dia masukkan penisnya, dan langsung di goyang dengan kecepatan tinggi. Tubuh Haris ambruk menimpa tubuh Lidya, yang langsung disambut dengan pelukan erat oleh gadis itu.

“Sayaang, aku mau keluaar…”

“Keluariin aja yang, aku aman kok, keluarin di dalem ajaa…”

“Aaah aahhh iya yang, aaahh Lidyaaa, aku keluaaaarrrr…”

“Aaaahhh Riiiisshhh…”

Tubuh Haris mengejat-ngejat. Dia tusukkan dalam-dalam penisnya, dibarengi dengan semprotan lahar panas di dalam vagina Lidya. Lidya yang mendapatkan semprotan sperma dari Haris ikut juga kembali merasakan orgasme. Semakin erat dia memeluk tubuh Haris.

Untuk beberapa saat, posisi mereka bertahan seperti itu. Mereka terlihat masih sama-sama meresapi kenikmatan yang baru saja mereka dapatkan. Nafas mereka terengah-engah, tapi senyuman di wajah mereka cukup untuk menandakan betapa puasnya mereka. Tak lama kemudian penis Haris mulai mengecil, dan keluar dari vagina Lidya. Diapun menggeser tubuhnya dan terlentang di samping Lidya.

“Banyak banget Ris keluarnya?”

“Hehe, iya. Maklum, udah lama nggak dikeluarin.”

“Waah, kalau gini ceritanya aku bisa hamil dong?”

“Loh, katanya kamu aman Lid?”

“Hmm, kayaknya sih gitu, hehe.”

“Haduuh yang bener dong Lid, entar kalau kamu hamil gimana?”

“Yaa tinggal kamu nikahin aku lah, repot amat.”

“Yaa tapi kaan…”

“Haha, udah nggak usah khawatir gitu. Aku aman kok.”

“Serius?”

“Iya sayang, serius. Aku tadi udah minum pil juga, hehehe.”

“Waah, kamu ini, bener-bener deh. Sampai segitu persiapannya Lid?”

“Hehe iyalah, aku kan malam ini mau bulan madu sama kamu. Kalau nggak kayak gitu, kamu mana mau keluar di dalem, iya kan?”

“Hehe, iya sih, kalau gini kan, lega aku jadinya, hehe.”

“Huu, dasar cowok, mau enaknya, nggak mau repotnya…”

“Haha, iya dong sayang.”

“Hmm, manggil sayang ya sekarang. Pasti ada maunya nih.”

“Iya dong, lagi yuk Lid?”

“Haha, tadi nggak mau, sekarang minta?”

“Haha, abisnya kamu sih, terlalu sempurna untuk dianggurin. Mana puas kalau cuma sekali aja. Jadi gimana? Masih kuat kan?”

“Yee jangan menghina ya, sampai besok aku juga kuat kok.”

“Jadi?”

“Jadi, apa?”

“Lanjut lagi?”

“Ayo, siapa takut.”

Bersambung

Foto melihat belahan memek sempit anak sma
tante hot
Tante Sexy Yang Merenggut Keperjakaan Ku
Ibu guru sexy
Ku gadaikan tubuh ku untuk melunasi hutang suami ku
stw hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian dua
mertua hot
Gairah sexs membara mertuaku tersayang
Mandi Bareng Dengan Tante Dewi
sustwr abg
Cerita hot perjakaku di ambil oleh perawat sexy yang merawat ku
Wanita Panggilan Pelanggan Setia Ku Bagian Dua
ngentot mama
Aku menikmati setiap kali bersetubuh dengan mama dan tante kandung ku sendiri
gadis perawan di perkosa
Memperkosa Gadis Perawan Sampai Berak
gadis berjilbab
Menyibak gamis ibu dan menikmati tubuh nya
dukun cabul
Cerita sex menikmati cumbuan dukun yang menyembuhkan penyakitku
Istriku yang Soleha
gadis hamil
Menikmati Vagina Sepupu Ku Yang Sedang Hamil
bercinta dengan ttm
Sabrina, TTM Ku Tersayang
teman ngentot
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 1