Part #7 : Please, for now just us
Haris perlahan membuka matanya. Dia merasa hari sudah bagi, cahaya sudah masuk menerobos jendela kamarnya. Dia ingin menggeliatkan badannya, tapi terasa berat. Dia buka semakin lebar matanya, sempat terkejut, tapi begitu menyadari, dia hanya tersenyum.
Tubuhnya sedang ditindih oleh seorang gadis. Tepatnya, lengan kirinya sedang dijadikan bantal oleh Lidya. Gadis itu masih tertidur dengan memeluk tubuh Haris. Keduanya masih sama-sama telanjang bulat, sisa-sisa pertempuran mereka semalam. Dengan posisi seperti ini, kedua buah dada Lidya yang bebas menempel di tubuh Haris. Haris bisa merasakan helaan nafas Lidya yang lembut. Kaki kiri Lidya juga berada di atas tubuhnya, tepatnya di selangkangannya, menyentuh penisnya yang sedang tegang. Bukan karena nafsu syahwatnya, tapi memang beginilah setiap bangun tidur.
Haris mengelus rambut Lidya perlahan, takut membangunkan gadis itu. Lidya terlihat nyaman dan nyenyak tidur di pelukannya. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak terjadi pada Haris. Terakhir kali seperti itu, adalah waktu pertemuan terakhirnya dengan gadis yang sekarang telah meninggalkannya.
Haris masih terus mengelus kepala Lidya, membelai rambut lurusnya yang panjang. Beberapa saat kemudian, dia mencium ubun-ubun Lidya. Hanya kecupan ringan dan sebentar saja. Dia melihat reaksi Lidya. Masih belum juga terbangun. Kemudian sekali lagi dia cium kepala Lidya, kali ini lebih lama. Hal itu rupanya membuat badan Lidya sedikit menggeliat.
Haris melepaskan ciumannya, kembali menunggu reaksi Lidya. Gadis itu sepertinya masih tertidur, tapi kakinya yang bersentuhan dengan penis Haris malah bergerak. Tak lama kemudian pelukan Lidya juga terasa semakin erat, membuat buah dada empuk Lidya semakin menekan tubuh Haris.
‘Ni cewek udah bangun belum sih? Kok kakinya gerak-gerak terus?’ batin Haris.
“Dasar mesum…”
“Eh, Lid, udah bangun?”
“Udah dari tadi, sebelum kamu nyium,” jawab Lidya, yang masih tak merubah posisinya.
“Hadeeh, kirain. Itu kakimu ngapain sih gerak-gerak? Geser dong.”
“Emang kenapa sih?”
“Yaa nggak enak aja Lid, buruan geser.”
“Entar dulu aah, masih pewe…”
“Liiid…”
“Apa sih Ris?”
“Geser kakinya.”
“Kenapa? Sange ya? Hihi.”
“Iya…”
“Bagus dong, masih normal kalau gitu, haha.”
Lidya kemudian menggeser kakinya, membuat penis Haris yang masih keras terbebas. Tapi dia masih tetap memeluk Haris, sepertinya masih merasa nyaman sekali.
“Lid, bentar, aku mau ambil minum dulu,” ucap Haris.
Lidya kemudian melepaskan pelukannya, dan menggeser tubuhnya. Dia masih berbaring tanpa berusaha menutupi tubuhnya. Buat apa? Toh Haris sudah melihat semuanya, dan menikmatinya semalam.
Haris kemudian beranjak dari kamar. Dia menuju pintu, tapi kemudian teringat kalau pintu itu semalam dikunci oleh Lidya, diapun kembali ke ranjang.
“Lid, kuncinya mana?”
Tanpa berkata Lidya hanya menggerakkan tangannya ke arah meja yang berada di samping pintu kamar. Haris melihat kuncinya tergeletak disitu.
‘Astaga, jadi dari semalam kuncinya ada disitu? Kok aku bisa nggak liat yaa, haduuuh.’
Haris beranjak lagi, membuka pintu dan keluar dari kamar. Beberapa saat kemudian dia sudah kembali ke kamar dengan membawa sebotol air mineral dan 2 buah gelas. Dia tuangkan air itu ke masing-masing gelas.
“Nih Lid, minum dulu,” ucap Haris sambil menyerahkan gelas ke Lidya.
Lidya terlihat masih malas beranjak. Dia bangkit dengan ogah-ogahan, lalu meraih gelas dari tangan Haris dan meminum habis isinya. Gelas itu dikembalikan ke Haris, yang kemudian diletakkan di meja. Haris duduk bersandar di ranjang, Lidya bergerak menggelendot ke dadanya. Dia menarik tangan Haris meminta untuk dipeluk, Haris menurutinya.
“Lidya…”
“Hemm? Kenapa?”
“Apa ini, nggak papa?”
“Apanya?”
“Ya ini, yang kita lakuin semalam.”
“Emang kenapa? Kamu nggak suka? Atau belum puas?”
“Bukan gitu. Mana mungkin aku nggak suka, buktinya semalem kita main sampai 3 kali kan.”
“Ya terus, masalahnya apa?”
“Kamu kan, udah punya pacar Lid…”
Lidya tak segera menjawab. Dia yang tadinya masih agak malas untuk bangun, kali ini membuka matanya lebar-lebar. Dia menarik nafas panjang, lalu bergeser, bersandar persis di samping Haris, tidak lagi di dadanya.
“Untuk saat ini, nggak usah bahas yang lain ya?”
“Kenapa?”
“Aku cuma mau nikmatin saat-saat ini aja Ris. Jadi please, nggak usah bawa-bawa orang lain, untuk saat ini, cuma kita aja, bisa?”
“Yaa, bisa sih. Tapi kenapa Lid?”
“Apa kamu masih butuh alasan?”
“Kurasa, iya…”
“Setelah yang kita lakuin semalem, kamu masih belum ngerti juga alasannya apa?”
Haris diam. Dia hanya bisa menduga-duga saja. Sikap Lidya kepadanya memang sering berubah-ubah sejak mereka semakin dekat. Kadang begitu dekat, tapi kadang terasa Lidya sedikit menarik diri. Haris tak bisa dengan pasti menyimpulkan, tapi ada sedikit perkiraan di dalam hatinya.
“Apa kamu…”
Belum sempat melanjutkan ucapannya, Lidya sudah memotongnya.
“Kadang ada sesuatu yang nggak perlu dikatakan, tapi cukup dirasakan. Benar atau salah, bukan itu masalahnya. Yang terpenting saling tahu dan saling memahami, juga saling merasakan. Buat sebagian orang, itu sudah lebih dari cukup. Dan aku adalah salah satu dari sebagian orang itu.”
“Termasuk yang semalam?”
“Iya, termasuk yang semalam.”
“Kalau ternyata hanya sepihak? Apa nggak akan membuat pihak yang satunya menyesal?”
Lidya menggelengkan kepalanya.
“Asalkan si pria tahu, udah cukup buat si wanita. Dia tidak meminta balasan yang sama, karena memang sudah punya orang lain. Hanya saja, dia tak bisa membuang begitu saja apa yang dia rasakan kepada si pria yang sekarang ada di sampingnya.”
“Kenapa harus pria itu?”
“Entahlah, si wanita juga tak tahu alasan pastinya. Tapi dia juga tidak mau memikirkannya, hanya ingin menikmatinya saja.”
Haris kembali terdiam. Pembicaraan yang tidak terarah dan sulit untuk dimengerti, tapi bagi Haris, dia sudah bisa paham maksud dari Lidya. Hanya saja, dia masih belum yakin benar, meskipun mereka sudah sebegitu intimnya semalam.
“Jadi, menurutmu, apa yang dirasain sama si pria itu?” tanya Lidya.
“Hhhh, pria itu sebenarnya masih bingung Lid. Dia masih merasa kalau ini salah. Ada yang masih menjadi ganjalan di hatinya. Dia memang menikmati saat-saat yang dilewati dengan wanita itu, tapi…”
“Nggak perlu bingung, dan nggak perlu merasa salah. Lagipula semua sudah terjadi, dan si wanita itu benar-benar menikmatinya.”
“Lalu gimana kalau ternyata si pria itu merasakan hal yang sama, dan bahkan ingin yang lebih?”
“Itu yang nggak boleh.”
“Kenapa nggak boleh?”
Lidya tersenyum, menolehkan wajahnya memandang Haris.
“Kan udah ada yang punya, lagian dia nggak mau nantinya menjalani hubungan jarak jauh.”
“Lha kalau gitu, perasaan itu?”
“Yaa, biarlah seperti itu saja, nggak usah dimacem-macemin lagi.”
Haris dan Lidya kembali saling senyum, lalu saling mengecup bibir, hanya sebentar saja.
“Kalau gini sih, kamu udah main api Lid.”
“Sebenarnya iya juga sih Ris. Aku udah selingkuh, udah mengkhianati pacarku.”
“Atau jangan-jangan, kamu hobi ya selingkuh gini? Hehe,” canda Haris.
“Haha sialan. Nggak lah. Jujur Ris, ini pertama kalinya aku selingkuh dari pacarku. Sebelumnya, nggak pernah sampai kayak gini.”
“Waduuh, lha terus Lid?”
“Udah nggak usah terlalu dipikirin. Kan aku udah bilang tadi, cukup dinikmati aja.”
Kembali keduanya terdiam. Kali ini Lidya kembali menyenderkan kepalanya di dada Haris, dan mendapat sambutan berupa usapan lembut di kepalanya.
“Sejak kapan Lid?”
“Apanya?”
“Yaa sejak kapan kamu, suka sama aku?”
“Loh, emang aku tadi bilang kalau suka sama kamu? Geer banget sih? Haha.”
“Yaelah, lha kalau bukan itu terus inti omongan nggak jelas kita tadi apaan?”
“Haha iya iyaa, aku ngaku deh. Hmm, terus terang ya, sejak pertama kali kita ketemu. Sejak kamu nyebutin alasan kenapa nama kamu ada Nagoya-nya. Dari situ aku mulai tertarik sama kamu.”
“Ooh gitu. Terus, kenapa malah jadian sama orang lain?”
“Yaa karena waktu itu aku udah deket sama pacarku yang sekarang. Lagian kan setelah itu aku tau, kamu bakalan dipindah ke Jogja. Aku nggak mau aja kalau jadian sama kamu, terus jauh-jauhan gitu. Makanya, aku terus menjaga perasaanku, hanya untuk sekedar suka, nggak lebih sampai akhirnya muncul rasa ingin memiliki.”
“Terus, kalau misalnya aku yang kayak gitu gimana? Kalau aku jadi suka sama kamu, dan pengen milikin kamu?”
“Udah dibilang nggak boleh ih, masih ngeyel aja.”
“Haha, namanya juga usaha, boleh dong?”
“Nggak, nggak boleh.”
Haris terdiam, tak ingin mendebat lagi. Meskipun saat ini sebenarnya dia masih bingung, tapi mungkin dia akan mengikuti keinginan Lidya. Yang penting, menikmati saat-saat ini saja.
“Ris, aku punya permintaan.”
“Permintaan apa?”
“Apa yang terjadi diantara kita, biar aja tetep seperti ini. Mungkin selain kita, cuma mbak Viona dan mas Aldo yang tau, selebihnya nggak perlu tau. Aku tau banget kalau ini salah, perasaanku ke kamu, apa yang kita lakuin semalam, itu emang salah banget. Tapi aku cuma nggak pengen nyesel aja Ris.”
“Nyesel?”
“Iya, nyesel karena aku nggak sempet ngungkapin ini sama kamu sebelum kamu nantinya pindah ke Jogja.”
“Tapi kan, ngungkapin perasaan kamu nggak harus sampai sejauh ini Lid.”
“Iya, aku tahu, makanya aku tadi bilang kalau yang udah kita lakuin itu salah. Tapi, kita sama-sama menikmatinya kan?”
“Hmm, iya sih.”
“Kamu boleh kok nganggap aku cewek yang nggak bener, atau gimanapun. Tapi apa yang aku bilang tadi bener-bener jujur, sebelum ini aku nggak pernah selingkuh, sekalipun. Dan aku mau hubungan kita ya sekedar gini aja, nggak ada komitmen, ngga ada perasaan lebih, apalagi rasa ingin memiliki, karena kamu juga kan bakalan pergi.”
“Jadi maksud kamu, kita sekedar have fun aja gitu?”
Lidya menggeleng.
“Lebih dari sekedar have fun. Saling sayang, tapi nggak saling cinta. Saling menikmati, tapi nggak saling memiliki.”
Haris tak langsung menjawabnya. Dia sedang bingung, mengartikan keinginan dari Lidya. ‘Saling sayang tapi nggak saling cinta, saling menikmati tapi nggak saling memiliki?’
“Bingung?” tanya Lidya karena Haris terdiam.
“Iya. Maksudnya gimana sih Lid?”
“Gini lho sayang, kalau cuma buat sekedar have fun doang, yaa kamu cukup cari cewek panggilan atau bispak, atau yang kamu pernah ceritain, main ke panti pijat plus plus. Tapi aku nggak mau kita cuma sekedar kayak gitu. Aku mau kamu melakukannya dengan rasa sayang, bukan seperti mereka yang setelah kamu crot main pergi aja, paham?”
“Hmm, ya ya ya, aku mulai paham sih Lid. Jadi, maksud kamu TTM gitu ya?”
“Yaa, sejenis itulah.”
“Haha, haduuh…”
“Kenapa? Kok malah ketawa?”
“Baru kali ini aku punya TTM, secantik ini lagi, haha.”
“Halah gombal, nggak mungkin.”
“Beneran Lid. Oke, jujur aja ya, dulu waktu masih kuliah, waktu pacaran, aku emang nggak bisa dibilang setia setia banget sama cewekku. Tapi bukannya aku selingkuh sama yang kayak TTM gini, selingkuhku ya main ke tempat-tempat pijat itu, hehe.”
“Haha, dasar ya, kami ini beneran nakal ternyata.”
“Yaa tapi itu kan dulu, udah lama Lid. Aku udah nggak mau kayak gitu lagi. Mungkin kedepannya, kalau emang ketemu orang yang spesial lagi, aku bakal serius, nggak mau macem-macem lagi.”
“Yaa harus itu. Udah bukan waktunya main-main lagi kan? Udah waktunya buat mikirin masa depan.”
“Iya, tapi itu nanti.”
“Lha kok nanti sih Ris?”
“Ya iyalah, masak sekarang? Nih lihat, kita aja lagi pelukan telanjang gini, gimana bisa serius mikirin masa depan?”
“Haha iya ya.”
“Eh udah dulu yuk, laper nih. Kamu masak lagi dong.”
“Iyaa. Ayo kalau gitu.”
Lidya kemudian bangkit dari tubuh Haris, turun dari ranjang dan berjalan keluar.
“Loh Lid, nggak pake baju?”
“Ah kan cuma kita berdua di rumah ini. Sekali-sekali nyobain gini ah, berani nggak kamu?”
“Haduuh kamu itu ada-ada aja sih. Ya udah deh, ngikut aja.”
Akhirnya hari ini Haris dan Lidya melakukan kegiatan mereka di dalam rumah tanpa memakai pakaian sama sekali. Meskipun tubuh Lidya yang benar-benar indah itu terpampang bebas, anehnya Haris sama sekali tak terpancing birahinya. Begitupun dengan Lidya. Selain telanjang, tak ada lagi perilakunya yang sengaja memancing atau menggoda Haris. Mereka seperti sudah biasa saja, padahal baru semalam mereka saling telanjang dan saling tahu tubuh polos masing-masing.
Siang itu Haris mengajak Lidya untuk keluar jalan-jalan. Haris ingin memenuhi janjinya mentraktir Lidya. Diapun juga ingin menonton film karena kebetulan minggu ini ada film baru di bioskop. Lidya menurut saja. Daripada hanya menghabiskan waktu di rumah, yang nantinya lama-lama bakal bosan juga, diapun memilih untuk mengikuti ajakan Haris jalan-jalan.
Hari ini sebuah pusat perbelanjaan besar di tengah kota menjadi tujuan mereka. Tempat ini cukup besar, cukup untuk menghabiskan waktu mereka dengan mengelilinginya. Beberapa kali Lidya masuk ke stan-stan pakaian bermerk, dia membeli beberapa setel pakaian untuk kerja. Haris hanya mengantarnya saja, sambil sesekali ikut memilihkan karena diminta oleh Lidya.
“Kamu nggak sekalian beli Ris?”
“Nggak deh Lid, entar aja kalau di Jogja.”
“Lha emang kenapa? Paling harganya nggak beda jauh kan?”
“Bukan masalah harga. Cuma kan kalau aku banyak beli sekarang, pas pindahan nanti kebanyakan barang yang harus dibawa, malah repot jadinya. Jadi ya sekalian pas udah disana aja baru beli-beli.”
“Oh iya juga ya. Ya udah, kalau gitu kamu nemenin aku aja, sekalian pilihin, hehe.”
“Tapi, nggak minta dibayarin juga kan?”
“Haha nggak kok. Kalau makan sama nonton, harus, soalnya kamu udah janji. Tapi kalau belanja baju sama sepatu nggak usah, biar aku sendiri aja.”
Haris hanya mengangguk. Paling tidak dia bisa lega karena hanya perlu mentraktir nonton dan makan saja. Bisa langsung habis gaji yang diterimanya kemarin kalau diminta membelikan pakaian dan sepatu kerja juga. Sebenarnya Haris juga sempat tertarik untuk membeli beberapa pakaian setelah beberapa kali keluar masuk toko, tapi sekali lagi, mengingat repotnya nanti kalau dia pindahan, dia mengurungkan niatnya. Lagipula, dia ingin tahu dulu kondisi di kantor cabangnya nanti, agar bisa menyesuaikan diri, termasuk dengan cara berpakaiannnya, biar tidak dicap sok eksklusif, padahal hanya anak baru.
Setelah beberapa kali masuk toko untuk menuntaskan hasrat belanja Lidya, mereka kemudian menuju ke bioskop di lantai atas. Kedua tangan Haris tampak membawakan tas-tas belanjaan Lidya. Cukup banyak juga yang dibeli. Haris sempat mengingatkan Lidya agar tak belanja terlalu banyak, tapi Lidya beralasan dia jarang-jarang belanja, jadi sekalian saja mumpung ada Haris yang menemani. Harispun mengalah saja, tidak ada gunanya mendebat belanjaan wanita.
Sesampainya di bioskop rupanya antrian sudah cukup panjang, dan sekali lagi Haris yang harus mengantri. Dia menyuruh Lidya untuk duduk menunggu saja. Setelah cukup lama, akhirnya Haris kembali dengan membawa 2 tiket.
“Yuk cabut dulu Lid.”
“Lho mau kemana? Emang filmnya masih lama ya?”
“Iya, aku ambil yang jam terakhir aja, soalnya yang sebelum-sebelumnya udah penuh. Ada juga duduknya paling depan, nggak enak nontonnya.”
“Oh gitu. Ya nggak papa sih. Terus kita mau kemana?”
“Hmm, terserah. Mau cari makan, atau ngopi-ngopi aja?”
“Ngopi aja deh, masih lama kan filmnya?”
“Iya. Ya udah yuk.”
Kembali Haris membawakan belanjaan Lidya. Mereka menuju ke sebuah kafe yang tak jauh dari situ. Beruntung Haris dan Lidya mendapatkan tempat duduk yang cukup nyaman, karena kafe ini belum terlalu ramai.
“Lid, ada yang mau aku tanyain sama kamu deh.”
“Hem? Tanya apa?”
“Soal mbak Viona.”
“Mbak Viona? Kenapa emangnya?”
“Kamu, sama mbak Viona ngerencanain ini bareng-bareng ya?”
Lidya yang tadi memainkan handphonenya kemudian tersenyum, memasukkan kembali handphonenya dan menatap Haris.
“Kok kamu bisa mikirnya gitu?”
“Yaa kepikiran aja. Mulai dari waktu mbak Viona bilang kalau dia mau pergi ke Bogor, terus nyuruh kamu nginep di rumah, dan kamunya mau mau aja. Udah gitu, mbak Viona kayak maksa aku banget biar ditemenin sama kamu.”
“Haha, emang bener sih. Mbak Viona sebenarnya nggak ada acara apa-apa kok ke bogor. Dia dan mas Aldo cuma lagi refreshing aja, mereka nginap di villa keluargaku di puncak.”
“Nah kan. Pantesan, aku udah curiga.”
“Haha, tapi kok curigamu telat sih Ris?”
“Yaa nggak tau ya, baru kepikiran aja, hehe. Emang, gimana ceritanya sih kok sampai mbak Viona mau kerjasama sama kamu?”
“Hmm, kepo ya? Haha.”
“Lid, serius. Ada apa diantara kalian? Atau jangan-jangan kamu ngancem dia ya?”
“Ih, nuduhnya gitu. Pasti kamu mikir aku manfaatin posisi papaku ya?”
Haris mengangguk, “Iya.”
“Nggaklah, ngapain aku pake ngancem-ngancem segala.”
“Lha terus?”
“Ya udah deh, aku cerita, tapi janji ya, jangan bilang ini sama siapapun, termasuk mbak Viona dan mas Aldo.”
“Kok pake rahasia-rahasiaan gitu? Apalagi sama mereka berdua lagi?”
“Udah deh, mau denger ceritanya nggak? Kalau nggak mau ya nggak papa.”
“Iya iya, aku janji deh. Buruan cerita.”
“Hmm, sebenarnya gini, intinya, mungkin mbak Viona pengen balas budi aja.”
“Hah? Balas budi? Emang dia hutang budi apa sama kamu?”
“Aku sih nggak pernah anggep itu sebagai hutang budi, tapi yaa mungkin aja mbak Viona nganggepnya gitu. Ceritanya gini Ris, aku kenal mbak Viona itu udah lama, sejak dia belum kerja di kantor kita.”
“Oh ya? Emang kamu kenalnya dimana?”
“Di kampus. Kami satu alumni, dia kakak tingkatku.”
“Loh, bukannya selisihnya agak jauh ya Lid? Emang sempet ketemu?”
“Iya, emang selisih jauh, 5 tahun kalau sama aku. Kami masih ketemu karena kebetulan satu dosen pembimbing. Mbak Viona lulusnya telat. Aku kenal dia waktu sama-sama nunggu buat bimbingan sama dosen pembimbing kami. Yang aku tau waktu itu, selain pembimbing akademik, dosen itu juga ngebimbing mbak Viona lagi ngerjain skripsi.”
“Ooh gitu ya? Terus terus?”
“Yaa dari situ kami jadi sering ngobrol. Lebih banyaknya aku sih yang nanya-nanya ke dia, karena dia kan senior. Lama-lama kami jadi deket, dan obrolan kami akhirnya nggak cuma urusan kuliah dan kampus, tapi mulai ke arah pribadi masing-masing. Lama-lama akhirnya aku tau kenapa mbak Viona lulusnya telat.”
“Emang kenapa?”
“Dia salah pergaulan.”
“Hah? Salah pergaulan gimana?”
“Iya, dia dijerumusin sama temennya buat pake narkoba. Biasalah, awalnya dipaksa nyobain, dikasih barang gratis. Tapi setelah kecanduan, akhirnya disuruh beli. Dari situ mbak Viona mulai akrab bergaul sama teman-teman barunya itu. Yaah, sering ikut pesta-pesta gitu.”
“Pesta drugs?”
“Iya, drugs and sex party.”
“What???”
“Nggak usah kaget gitu. Di kalangan mereka, itu udah jadi hal yang biasa kan?”
“Mana aku tau urusan begitu. Terus terus, gimana jadinya?”
“Yaa karena akhirnya terjerumus itu, kuliah mbak Viona jadi berantakan. Padahal aslinya dia itu pinter lho, cuma yaa gitu deh. Temen-temennya, yang tau mbak Viona itu dari keluarga kaya, akhirnya memanfaatkan dia, buat biayain pesta-pesta mereka. Akhirnya orang tua mbak Viona tau hal itu. Ngamuklah mereka. Mbak Viona dimasukin ke panti rehab selama setahun. Untung sih kecanduannya masih tahap awal lah, jadi lebih gampang buat disembuhin.”
“Ooh gitu yaa. Wah aku bener-bener nggak tahu soal itu.”
“Ya jelaslah, jangankan kamu, mas Aldo aja aku kira juga nggak tau kok.”
“Oh ya?”
“Iya. Nah terus, abis keluar dari panti rehab itu, ternyata temen-temen mbak Viona masih suka ngejar-ngejar dia. Mereka nggak mau ngelepasin mbak Viona gitu aja. Waktu ketemu aku pas dia lagi bimbingan skripsi itu, dia masih dikejar-kejar lho. Nah dari situ aku mulai bantuin dia.”
“Bantuin gimana?”
“Bantuinnya lewat kakakku sih. Kakakku kan polisi, aku cerita sama kakakku, dan dia mau bantu. Aku ajak mbak Viona ketemuan sama kakakku, terus mbak Viona cerita semua, termasuk siapa-siapa aja yang selama ini ngejar dia, termasuk bandar narkobanya juga. Nah dari situlah polisi mulai nangkepin mereka satu-satu. Mulai saat itulah mbak Viona terbebas dari mereka, dan semakin deket sama aku.”
“Ooh gitu.”
“Iya, terus setelah mbak Viona lulus, aku rekomendasiin sama papa biar ditarik ke perusahaan. Papa sih setuju aja, tapi tetep mbak Viona harus tes. Karena hasilnya dia emang bisa lolos, ya jadilah sampai sekarang mbak Viona kerja disana.”
“Yaa, kalau emang ceritanya kayak gitu, wajarlah kalau mbak Viona ngerasa punya hutang budi sama kamu dan keluarga kamu Lid.”
“Kalau itu aku nggak tau, yang jelas aku nggak pernah punya tujuan apa-apa selain nolongin dia.”
“Terus, urusannya sama kita ini?”
“Hehe, kalau itu, setelah kejadian minggu lalu, aku cerita sama mbak Viona, tentang perasaanku ke kamu. Aku juga minta, bisa nggak berduaan sama kamu. Dia awalnya ragu, alesannya samalah kayak kamu dan mas Aldo, karena aku udah punya pacar. Tapi akhirnya mbak Viona dan mas Aldo setuju.”
“Tapi kok mas Aldo ikutan setuju juga sih?”
“Mas Aldo itu kan nurut banget kalau sama mbak Viona Ris, jadi ya wajar aja. Lagian, maaf ya, bukannya bermaksud menyinggung, tapi, karena mbak Viona juga kan mas Aldo bisa kayak gini sekarang. Kamu tau kan maksudku?”
“Ooh, maksudmu, rumah dan mobil itu?”
“Iya.”
“Ya ya, aku ngerti sekarang kenapa mas Aldo nurut banget sama mbak Viona, mungkin kalau aku ada di posisinya dia, pasti juga kayak gitu, haha.”
“Yaa begitulah ceritanya. Inget lho, jangan bilang siapa-siapa.”
“Iya iya beres. Ya udah yuk, kita ke bioskop, nunggu disana aja.”
Lidya mengikuti ajakan Haris. Tak terasa memang waktu berjalan cepat saat dia bercerita tentang Viona tadi. Dia sebenarnya ingin terus menjaga rahasia itu, tapi menurutnya, Haris adalah orang yang bisa dipercaya, dan tak akan membocorkan ini kepada siapapun, termasuk Viona sendiri.
Bersambung