Part #48 : Petualangan Sexs Liar Ku
Mata Sari nanar menatap Pram yang sedang membatu. Meskipun hatinya sudah remuk tapi dirinya mencoba untuk tidak tersulut emosi.
Walau sesulit apapun keadaan, dia harus mengatasi masalahnya dengan kepala dingin. Itu adalah prinsipnya sejak dahulu.
“Aku bisa jelaskan,” ujar Pram lantang.
“Baiklah. Adek tunggu di ruang tengah,” balas Sari sambil melangkahkan kakinya yang gontai.
Dia harus kuat. Dia tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan di saat hati dan pikirannya sedang kacau. Paling tidak dia dengarkan dulu penjelasan dari sudut pandang suaminya itu.
“Jelaskan sekarang mas!” sergah Sari yang sudah duduk di sofa.
Mendadak Pram jadi ragu-ragu. Dia tidak punya alasan yang kuat untuk mendukungnya dalam posisi ini. Apapun yang dia katakan tetap akan menyakiti perasaan istrinya.
“Baik. Pertama-tama mas mau minta maaf sama kamu karena udah menjalin hubungan dengan wanita lain.”
Satu kalimat itu saja sudah mewakili semua pertanyaan yang ada di benak Sari. Pram telah mengakui kalau dirinya memang selingkuh.
Tapi menghadapi dengan emosi bukanlah jalan yang akan dipilih oleh Sari. Paling tidak dia harus mengetahui latar belakang mengapa suaminya bisa melakukan hal itu.
Pram lalu menjelaskan tentang siapa itu Iqbal OB yang dimaksud, tentang asal-usulnya, tentang kisah masa lalu yang selama ini selalu ia tutupi dari Sari maupun keluarganya.
Sari dengan seksama memperhatikan penjelasan dari Pram. Pria itu menceritakan secara detail semuanya tanpa ada yang ditutupi.
Pram menghela nafas panjang saat berhasil menyelesaikan kalimat terakhirnya. Dia bisa melihat raut wajah istrinya yang hancur dan sangat kecewa. Tapi itulah yang terjadi saat ini. Dia masih beruntung memiliki istri yang pengertian dan bisa mengendalikan emosinya. Kalau wanita lain mungkin dirinya sudah diusir dari rumah itu.
“Jadi apa keputusan mas?” ujar Sari agak lemas.
“Keputusan?”
“Apakah mas akan menceraikan ku seperti yang mas ucapkan di chat dengan Dewi?”
“Enggak! Mas berubah pikiran. Mas gak akan menceraikan kamu. Mas nyesel! Itu lah sebabnya mas abaikan telepon darinya,” balas Pram tanpa ragu.
Meskipun dia mencintai Dewi tapi dia benar-benar tidak mau kehilangan Sari. Wanita itu lah yang selama ini menemani hari-harinya.
“Itu karena mas lagi emosi aja, ya kan? Kalo emosi mas udah tenang mungkin mas akan menemuinya lagi.”
“Kenapa kamu bilang kaya gitu?”
“Kalo seandainya Dewi mau, mas pasti akan melakukannya kan? Menceraikan ku dan menikahi dia?”
Pram masih belum merespon apapun. Pria itu belum memikirkan sampai sejauh itu. Sari menatap mata Pram dalam meskipun bulir air matanya sedikit mengaburkan pandangan.
“Kalo mas mau mempertahankan pernikahan ini, aku minta mas akhiri hubungan mas dengan Dewi sekarang juga,” pinta Sari membuat bola mata Pram membulat sempurna.
“Sekarang mas telpon Dewi dan bilang kalo mas tidak ingin melanjutkan hubungan kalian dan berhenti sampai di sini,” lanjutnya lagi.
Pram menunduk sambil menggigit bibir bawahnya panik. Ia tekan-tekan layar ponselnya sendiri tanpa melakukan apapun. Dirinya bimbang untuk memilih jalan yang tepat. Ini bukan sesuatu yang bisa diputuskan secara mendadak.
Di satu sisi dia mencintai Dewi dan ingin terus melanjutkan hubungannya meskipun harus dibalik layar. Di sini lain dia tidak mau kehilangan Sari yang juga ia cintai. Kalau bisa memilih, dia ingin keduanya menjadi miliknya selamanya. Tapi keadaan tidak seindah yang dibayangkan.
Tampaknya Sari dapat melihat keraguan di dalam diri Pram. Suaminya itu belum juga mengambil keputusan atau sekedar memberikan opini.
“Tapi kalo mas lebih mencintai Dewi, aku ikhlas mas. Kejar lah cinta sejati mas, kalo memang pernikahan ini adalah suatu kesalahan, mas bisa menceraikan ku.”
Pram memutar bola matanya cepat.
“Enggak Sari! Selamanya mas gak akan menceraikan kamu.”
“Gimana kalo aku yang minta cerai mas?”
Jlebbb…
Dada Pram mendadak nyeri mendengar pertanyaan dari Sari. Seperti sebuah busur panah menembus jantungnya bahkan mengoyaknya.
“Gak! Mas gak mau cerai sama kamu! Kamu mikir dong gimana nasib Keelan nanti kalo kita cerai,” tegas Pram tidak rela kehilangan Sari.
“Lalu kenapa mas gak ngabulin permintaan ku?”
“Permintaan apa?” kata Pram pura-pura tidak tahu.
“Telepon Dewi mas. Bilang kalo hubungan kalian sudah berakhir.”
Pram menghembuskan nafas berat. Sejujurnya dia tidak rela mengakhiri hubungannya dengan Dewi. Dia baru saja merasakan cinta yang hampir mati dulu.
“Sudah lah kita gak usah bahas masalah ini. Mas cape pengin istirahat. Kamu harusnya ngerti itu.”
Pram segera bangkit dan pergi meninggalkan Sari menuju kamarnya. Istrinya hanya menatap punggung Pram hingga menghilang di balik pintu.
Begitu menyakitkan pengkhianatan ini bagi Sari. Apalagi mengetahui suaminya tidak mau meninggalkan selingkuhannya itu demi dirinya.
Sari kembali meringkuk di atas sofa dengan derai air mata yang tak kunjung usai. Setegar apapun dirinya pasti akan ada saatnya jatuh hingga membuatnya rapuh.
Celakanya di saat-saat seperti itu dia justru merindukan sosok Randy. Hanya dia yang mampu menenangkannya. Sari ingin membagi beban masalahnya pada Randy. Dengan mencurahkan isi hatinya kepada Randy membuat dirinya menjadi lebih baik.
“Randy! Bolehkah mbak minta kamu ke sini lagi? Mbak ingin mengadu padamu!” ucap Sari dalam hati.
Di lain tempat Randy tengah duduk di sofa panjang bersama Anes. Mereka mengobrol ringan seputar kehidupan mereka masing-masing setelah berpisah karena insiden itu.
Tak berselang lama Justin datang dari arah dapur membawa botol minuman beralkohol dan tiga gelas. Randy terkejut melihat itu.
“That’s a party!” ucap Justin seraya duduk di sebelah Randy sambil merangkul bahu Anes mesra.
Posisinya kini Justin berada di tengah antara Randy dan Anes.
“Gue kira lu gak minum,” pikir Randy dengan memutar bola matanya ke arah mereka berdua.
“Cuma sesekali boleh lah.”
Justin menuangkan minuman itu di ketiga gelas yang berada di atas meja. Justin lalu menyalakan tv flat yang terpasang di dinding.
“Lu udah nonton film ini belum?” tanya Justin sambil meneguk cairan di dalam gelasnya.
“Belum. Gue gak suka film action.”
“Sukanya film apa?”
“Romantis,” jawab Randy asal.
“Hahaha…sok feminim lu!” canda Justin yang dibarengi oleh Anes.
Randy hanya mengangkat alisnya singkat lalu fokus ke layar tv itu. Dia masih tidak mengerti kenapa Justin mengundangnya tanpa alasan yang jelas.
“Minum Ran!” bujuk Anes sembari meminum miliknya sendiri.
Randy mengikutinya. Beberapa teguk telah berhasil mengalir di tenggorokan Randy. Justin sedang sibuk mengelus-elus paha mulus Anes yang tidak tertutup apapun.
“Enghhh…” desah Anes saat jari-jari Justin memijat bagian pangkal pahanya.
Anes memiringkan tubuhnya ke arah Justin. Tangannya ia lingkarkan di leher pria yang pernah menjadi kekasihnya itu.
Randy menelan salivanya melihat adegan itu, tapi dia masih bisa menguasai diri. Apakah ini maksud Justin mengundangnya datang kemari? Hanya untuk memamerkan kemesraannya dengan Anes. Sesuatu yang bisa dilakukannya dan tidak bisa dilakukan Randy.
Merasa kesal, Randy kembali meminum segelas minuman beralkohol itu sekali teguk. Matanya sudah berkunang-kunang, badannya terasa hangat dan ringan.
Dia menengok ke samping. Dilihatnya Justin dan Anes sudah berpagutan mesra. Wanita itu sudah berada di pangkuan Justin sambil mencium bibirnya dengan buas.
“Shit!” umpat Randy dalam hati.
Kini Justin sedang meremas payudara Anes yang sebesar buah melon. Anes mendesah semakin keras hingga memenuhi ruangan.
“Ouhhh…Justin…therusss…enghhh…”
Mereka sudah larut dalam birahi dan mengaruh alkohol. Randy menjadi begitu jengah. Mereka benar-benar tidak menghargainya di sana.
Kalau mereka ingin bercinta kenapa harus mengajaknya untuk menonton? Apakah Justin ingin membalaskan perbuatan Randy waktu itu?
Sesaat kemudian pagutan di antara bibir mereka terlepas. Anes kemudian turun dari pangkuan Justin ke sebelah kirinya. Sekarang posisinya Anes dihimpit oleh dua orang lelaki. Justin bangkit dari duduknya.
“Gue ke kamar bentar,” ucapnya kemudian berlalu.
Sekarang tinggal menyisakan Randy dan juga Anes. Wajah wanita itu sudah memerah menahan birahi. Dia tiba-tiba menyandarkan kepalanya di bahu Randy sambil mengapit tangannya di kedua pahanya sendiri.
“Ran!” panggil Anes lirih.
“Hmm?”
“Kita masih pacaran kan?”
“Apa maksudnya?” balas Randy yang tidak mengerti maksud Anes.
“Lu lupa ya? Kita pernah janji waktu malam itu kalo kita jalin hubungan pacaran.”
Randy mengernyitkan dahinya. Dia benar-benar lupa akan hal itu.
“Kita pernah sepakat jalin hubungan tanpa seks, karena dulu gue masih punya Justin,” terang Anes lagi.
Kini tangannya sudah mendarat di atas batang keperkasaan Randy yang sudah setengah menegang. Sontak Randy menepis tangan Anes.
“Lupain aja, anggap hal itu gak pernah kejadian. Gue gak mau hubungan Justin dan gue memburuk lagi.”
Anes justru tersenyum simpul. Dengan cepat dia langsung menghempaskan pantatnya di pangkuan Randy. Itu membuat mata Randy membulat sempurna.
Dia sempat berontak, tapi pengaruh alkohol di dalam tubuhnya membuat sentuhan kulitnya dan Anes menjadi meningkat seribu kali lebih sensitif.
Apalagi saat dada besar dan bulat milik Anes menempel erat di dada Randy. Tanpa aba-aba Anes langsung mencium bibir Randy dengan begitu liar. Randy pun terpancing. Dia membalas ciuman Anes dengan begitu bernafsu.
Tangan Randy sudah berada di pinggang Anes sambil memijatnya membuat Anes bergoyang kegelian.
“Achhh Ran, aku basahhh…”
Tiba-tiba Justin keluar dari kamarnya. Randy panik hendak mendorong Anes tapi langsung ditenangkan oleh Justin.
“Santai aja Ran. Nikmati malam ini,” celetuk Justin sambil melemparkan dua bungkus kecil berwarna merah.
Setelah perkataan itu Randy menjadi lebih rileks. Bahkan dia menurut ketika Anes menarik baju Randy hingga terlepas. Justin duduk di sebelah mereka sambil mengamati aktivitas seksual yang mereka lakukan.
Anes menatap Randy dengan senyuman nakal. Dia mengedipkan salah satu matanya lalu menjangkau pengait bra di belakang punggungnya dan…
Blusss…
Melon yang sedari tadi tertahan di sana langsung menyembul menampakkan ukuran yang sesungguhnya.
“Monster!” batin Randy.
Anes menyipitkan matanya lalu menggigit bibir bawahnya secara sensual.
“That’s so sexy baby!” ucap Randy seraya mencaplok puting payudara Anes bagian kiri.
“Enghhh…come on baby. Make me fly!” erang Anes yang sudah terbuai dalam nafsu.
Randy dengan buas menyerang dua buah melon itu. Dia memagut puting kirinya dan memijat toket kanan Anes yang tidak muat di genggaman Randy.
Anes memutar kepalanya ke arah Justin. Pria itu ternyata sedang merekam percumbuan antara Randy dan mantan kekasihnya.
“Lakukan saja! Bukannya ini impian mu selama ini? Menikmati tubuh Randy?”
Anes mengangguk lalu beringsut ke bawah. Kini dia berlutut di depan Randy. Dia buka gesper Randy kemudian melorotkan celana jeans-nya ke bawah.
Kepala kontol Randy sudah menyembul di atas cd-nya, membuktikan betapa panjang batang itu apabila masuk ke rongga kenikmatan Anes yang sudah tidak tahan ingin digali.
Anes lalu melepaskan celana dalam Randy hingga kini pria itu telanjang bulat. Kemaluan Randy dan Justin tidak terlalu berbeda jauh secara ukuran. Randy memiliki ukuran yang lebih panjang sedangkan Justin sedikit lebih besar diameternya.
Digenggamnya batang perkasa itu dengan tangan kanannya. Anes menempel lubang hidungnya di batang kontol Randy kemudian dihirupnya ke atas dan ke bawah. Aroma maskulin begitu menggugah gairah Anes untuk segera menikmatinya.
“Ouhhh…shhh…” desah Randy.
Anes lalu jilat bagian kepala kontol Randy sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Dikulum batang itu naik turun. Wanita itu terlihat sangat mahir dalam melakukannya, tidak seperti Annisa dulu.
Setelah puas melumasi kejantanan Randy dengan air liurnya, Anes kemudian berdiri dengan kaki kiri tegak lurus dan kaki kanan sedikit ditekuk ke depan.
Dia lalu berbalik hingga memunggungi Randy. Kepala menoleh ke belakang seraya memegang kedua ujung celana dalamnya sendiri. Randy dapat melihat tatto Anes yang memenuhi punggungnya itu
Dengan senyum nakal Anes menurunkan celana sambil menunduk. Jadi gerakan itu melepaskan penutup terakhir di tubuhnya sekaligus meregangkan kedua bongkahan pantatnya yang besar.
Randy yang disuguhi pemandangan seperti itu tidak tinggal diam. Dia langsung mencaplok buah pantat Anes lalu meremasnya seraya menjilati kedua lubang yang ada di sana.
Lenguhan demi lenguhan keluar dari bibir Anes. Dia masih bertahan dalam posisi itu sehingga dia bisa menikmati lidah Randy yang sedang bermain di sana.
Randy mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang bagian sensitif itu sehingga Anes hampir saja kalah kalau saja dia tidak mendorong kepala Randy menjauh.
“No! Gue gak akan biarin berakhir secepat itu.”
Anes kembali berbalik. Randy dapat melihat tubuh Anes yang polos tanpa sehelai benangpun. Wanita itu mengambil dan membuka bungkusan yang tadi dibawa Justin yang ternyata adalah sebuah kondom. Anes pasang benda itu di kemaluan Randy dengan sangat mahir.
Wanita itu lalu mencium dan menjilati bagian depan badan Randy hingga mengkilap. Bibirnya berakhir di ceruk leher Randy. Dia duduki paha pria itu hingga celah vaginanya menggesek batang kontol Randy.
Mereka saling bertatapan dengan mata sayu. Tangan Anes sudah berada di kontol Randy untuk mengarahkannya di lubang kenikmatan itu. Ditempelkan hingga kepalanya sedikit membelah celah sempit itu.
“Are you ready?!” goda Anes dengan kerlingan yang sangat nakal.
“Harusnya gue yang tanya begitu,” timpal Randy dengan notasi yang sama.
Dengan menggigit bibir bawahnya, Anes menurunkan pinggulnya perlahan membuat tombak perkasa itu melesak masuk ke rahim Anes secara perlahan.
“Achhh…!!!” desah Anes saat lubang rahimnya dipenetrasi oleh kepala kontol Randy.
“Dalem banget, enghhh…” lanjutnya lagi.
Ini adalah pertama kalinya tubuh Anes dan Randy bersatu. Anes mulai menggoyangkan pinggulnya membuat kontol Randy bekerja menggali setiap detail goa lendir milik Anes.
Plokkk…plokkk…plokkk…
“Enghhh…ouhhh…fuckkk…me…babyyy…”
Anes mengerang-erang tak terkendali. Tubuhnya yang naik turun mengguncangkan toketnya yang besar. Benda itu menjadi perhatian Randy. Dia kembali menyerang bagian itu dengan tangan dan mulutnya.
Melihat dua orang saling berpacu dalam birahi, Justin pun tidak tahan lagi. Apalagi lirikan mata Anes mengundangnya untuk bergabung dengan mereka.
Justin lalu mendekati keduanya. Dia memegang kedua pipi Anes kemudian mencium bibirnya dengan ganas. Randy yang berada di bawahnya melihat kejadian itu.
Itu adalah pengalaman pertamanya melihat wanita yang sedang ia setubuhi bercumbu dengan pria lain. Bukannya cemburu, Randy justru semakin terpacu untuk meningkatkan intensitas gerakannya hingga melebihi limit.
Dihentakkan pinggul Anes dengan kasar ke arah kontolnya. Kalau saja kemaluan mereka terpeleset mungkin kontol Randy bisa patah. Namun seolah mereka sudah sangat berpengalaman sehingga hal itu tidak terjadi.
Cairan kemaluan Anes sudah meluber mengalir di pangkal paha Randy. Hingga akhirnya Anes mengalami pelepasan yang pertama kali pada malam itu.
Serrr..serrr…serrr…
“Ouhhh…babe…aku…sampeee…!!!”
Tubuh Anes ambruk di pelukan Randy. Nafasnya tersengal-sengal. Tapi itu baru permulaan. Dia masih memiliki satu lawan lagi yang masih segar.
Posisi kini berubah. Anes mengambil posisi merangkak di atas karpet. Justin melepaskan seluruh pakaian yang ia kenakan. Tubuhnya lebih berotot dari Randy dan batang kemaluannya sudah sangat tegang. Randy sedikit jengah melihat ketelanjangan Justin karena baru pertama kali telanjang bersama pria lain dalam satu ruangan.
Dia berlutut di hadapan mantan pacarnya itu. Tanpa menunggu lama Anes langsung mengulum kontol Justin yang terlihat tidak muat di mulutnya.
Randy bereaksi dengan menekan batang kejantanannya ke dalam memek Anes.
Jlebbb…
Kontol itu melesak dengan mudah. Dia langsung genjot memek Anes dengan kekuatan penuh sehingga badannya menyentak-nyentak ke depan yang membuatnya tersedak kontol Justin.
Justin menatap Randy sambil tersenyum seolah-olah mengatakan “Rasanya nikmat bukan menggarap satu wanita bersamaan.”
Beberapa menit kemudian Anes mendapatkan klimaksnya yang kedua. Badannya ambruk, wajahnya sudah acak-acakan tapi Randy masih belum bisa dikalahkan juga.
“Masih lama kan Ran? Buruan gue juga pengin,” ujar Justin yang kini berdiri karena Anes sudah tepat.
“Ya udah sok lu duluan. Gue belakangan aja.”
Randy kemudian menyingkir dan posisinya digantikan oleh Justin. Sebelumnya Justin memakai pengaman terlebih dahulu sebelum memasukkannya.
Randy duduk di sofa sambil menonton dua orang yang pertama kali ia temui saat sampai di Bandung sedang bergumul. Saat itu pengaruh alkohol sudah tidak begitu terasa.
Randy kemudian mengecek ponselnya. Ada beberapa panggilan dari istri tidak sahnya. Ternyata Icha mengawatirkan Randy yang sejak tadi tidak mengangkat teleponnya. Randy hanya membalas kalau dia baik-baik saja dan akan pulang larut.
Di antara pesan itu ada yang menarik perhatian Randy. Itu adalah pesan yang dikirimkan oleh Sari beberapa menit yang lalu. Dia kemudian membukanya.
“Ran, kamu sudah sampe apartemen? Perasaan mbak kok jadi gak enak tiba-tiba ingat kamu.”
Entah kenapa membaca pesan itu membuat Randy senang bukan main. Dia langsung beringsut ke pojokan ruangan meninggalkan Justin dan Anes yang sedang bergulat.
Tanpa ragu Randy menghubungi Sari. Lama Sari mengangkat teleponnya, tapi akhirnya diangkat juga.
“Assalamualaikum?!” sapa Sari nada seperti ditahan.
“Waalaikumusalam, Alhamdulillah mbak Randy udah sampe apartemen ini,” jawabnya berbohong.
“Oh syukur deh kalo gitu.”
“Mbak kenapa? Kok suaranya kaya habis nangis gitu?”
“Iya emang mbak habis nangis.”
“Loh kenapa nangis mbak?”
“Mbak gak mau cerita di sini ahh. Mbak mau ketemu kamu aja,” ucap Sari jujur.
“Sekarang mbak? Randy otewe ya.”
“Gak usah, besok aja. Kasian kamu udah malem kalo harus ke sini lagi.”
“Gak papa kok. Kayaknya sekarang mbak butuh bahu buat bersandar deh, hehehe.”
Di seberang telepon Sari yang beberapa menit lalu sedang sedih dan galau kini tampak menyunggingkan senyum manis. Hanya dengan mengobrol lewat telepon saja dirinya merasa jauh lebih baik apalagi kalau bertemu dan mencurahkan isi hatinya secara langsung, pasti bebannya terangkat semua.
“Mbak emang butuh bahu kamu. Tinggalin dong di sini, jangan dibawa pulang. Biar mbak bisa bersandar terus-terusan,” balasnya balik bercanda.
“Wah kalo mbak jadi istri Randy sih jangankan bahu, jantung pun akan Randy kasih buat mbak, hehehe,” gombal Randy yang terdengar garing namun tidak bagi Sari.
“Mau dong jadi istrinya Randy, hihihi.”
Tanpa sadar Sari senyum-senyum sendiri sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Saat itu Sari sedang rebahan di sofa ruang tamu. Dia sejenak melupakan masalahnya dengan Pram.
“Hahaha, siapa sih yang mau nolak kalo diajak nikah sama wanita secantik dan sebaik mbak.”
Perlahan senyum Sari mengendur diganti dengan wajah yang memerah menahan malu.
“Mbak juga mau kok jadi istri mu, serius deh.”
Kata-kata itu ingin dia ucapkan namun tertahan di tenggorokannya. Dia sadar bukan kapasitasnya untuk berbicara demikian karena pada kenyataannya Randy adalah kekasih adiknya.
Tapi harapan itu muncul begitu saja saat mereka menghabiskan waktu bersama. Andai saja Randy memiliki kembaran yang mempunyai paras dan sifat yang sama persis dengannya. Tapi itu harapan yang konyol.
“Halo mbak?” celetuk Randy karena tidak mendapatkan respon apa-apa dari seberang.
“I…iya Ran?”
“Hahaha, pasti ngelamun ya? Randy cuma bercanda kok,” kilah Randy sambil tertawa.
Entah kenapa kata-kata itu membuat Sari kecewa. Walaupun itu memang tidak mungkin terjadi, tapi paling tidak Sari ingin mengetahui kalau Randy serius mengatakannya.
“Enggak lah, ada-ada aja kamu ini. Ya udah besok mbak tunggu kamu ya di rumah,” tukas Sari mengelak.
“Mbak besok kirim pesan wa aja kalo om Pram udah pulang.”
“Ahh gak usah, sesempatnya kamu aja. Gak usah ada mas Pram juga gak papa.”
Nada bicara Sari berubah ketika menyebut nama suaminya. Randy merasakan hal itu namun dia memutuskan untuk tidak membicarakannya.
“Oke deh mbak, kalo gitu Randy pamit dulu ya. Besok Randy hubungi lagi kalo mau ke sana. Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam.”
Telepon kemudian ditutup. Randy kembali ke ruang tengah tempat mereka bertiga tadi bertamasya menuju puncak kenikmatan.
Saat itu Justin dan Anes sedang dalam posisi missionary. Randy kembali bergabung dengan mereka.
Malam itu Anes benar-benar dihabisi oleh kedua lelaki perkasa itu sampai dirinya tidak bisa berjalan. Tapi dibalik itu semua Anes merasa sangat puas.
Bersambung