Part #49 : Petualangan Sexs Liar Ku
Pagi hari Randy terbangun di atas ranjang. Dilihatnya sekitar ada seorang wanita yang terlelap tidur sambil menelungkup. Itu adalah Anes yang semalam dihabisi oleh Randy dan Justin hingga pingsan.
Randy bergegas memakai celana bokser miliknya lalu keluar kamar. Justin ternyata sudah bangun bahkan sudah mandi. Dia sedang menggulir ponselnya sambil memakan sereal yang sebelumnya ia buat.
“Oyy Ran! Udah bangun, mandi sana habi itu siap-siap berangkat latihan!” suruh Justin.
“Gue langsung pulang aja. Berangkat dari apartemen. Oh ya itu si Anes belum bangun dia. Masih hidup kan ya?” celetuk Randy yang khawatir setelah kejadian semalam Anes belum juga bergerak.
“Lu tenang aja. Udah biasa kok dia kalo abis digarap pasti paginya bangun telat. Apalagi semalem dikeroyok dua orang,” jawab Justin sambil terkekeh.
“Ya udah gue pamit dulu.”
Randy langsung keluar dari rumah Justin setelah mendapatkan persetujuan darinya.
Dia bergegas memacu motornya. Semalam dia berjanji akan pulang kepada Icha tapi dia mengingkarinya. Ponselnya mati karena baterainya habis.
Sesampainya di apartemen, Randy masuk dengan berjinjit-jinjit seperti maling masuk ke rumah korbannya.
Di sana dia hanya melihat Aira yang tampak tertawa girang melihat ayahnya pulang. Randy menempelkan satu jarinya di depan bibir agar tidak membuat suara yang gaduh.
Randy tidak menyangka kalau ternyata Icha sudah berada di belakangnya sambil berkacak pinggang. Matanya menatap tajam ke belakang kepala Randy.
“Adadadawww…!!!” pekik Randy yang merasakan jeweran dari Icha.
“Semalam kemana?! Kamu tau gak kalo aku gak bisa tidur semalaman karena mikirin kamu? Aku tuh khawatir sama kamu!”
Kalimat itu hanya dijawab dengan cengiran oleh Randy. Aira tertawa lebar melihat kelakuan kedua orang tuanya. Aira mengira bahwa orang tuanya sedang melawak.
“Tuh Aira aja gak protes kok, jangan marah ya,” ucap Randy seraya mendekap tubuh Icha lalu mengecup puncak kepalanya.
Icha yang tadi sedang emosi langsung melunak mendapatkan perlakuan dari Randy.
“Ya udah, besok-besok kalo mau gak pulang ngabarin dulu. Jadinya aku gak khawatir.”
“Iya sayang,” balas Randy sembari mengecup bibir Icha dalam.
Setelah itu Randy pergi untuk mandi dan bersiap untuk pergi latihan basket. Icha menyiapkan segala kebutuhan Randy selayaknya istri kepada suaminya.
Siang hari Annisa sedang termenung di salah satu meja kantin yang ada di kampusnya. Dia sudah diperbolehkan masuk oleh Adibah dengan catatan dia tidak boleh menemui Randy.
Rasa rindu menyeruak di dalam hatinya. Dia ingin bertemu dengan pria itu tapi dia tidak kunjung menampakkan batang hidungnya sedangkan akses Annisa sangatlah terbatas. Dia hanya diperbolehkan ke kampus lalu pulang ke rumah.
Sebenarnya Annisa sudah membeli testpack di dalam tasnya tapi dia belum memeriksanya. Dia takut dan belum siap untuk mengetahui hasilnya, dia ingin ada seseorang yang mendampinginya.
“Kenapa kok sendirian Nis?”
Arif datang sambil membawakan dua mangkuk siomay yang baru dibelinya dari salah satu tenan. Melihat siomay yang sangat menggiurkan itu, mata Annisa menjadi berbinar-binar. Akhir-akhir ini memang nafsu makannya melonjak drastis. Itu membuat badannya agak membengkak.
“I…ini buat aku?” tanya Annisa penuh harap.
Arif hanya tersenyum lalu mengangguk pelan.
“Makasih!”
Annisa kemudian menyambut makanan itu dan memakannya dengan lahap.
Pria yang telah lama memendam perasaan cinta kepada Annisa itu pun hanya memperhatikan sikap Annisa sambil memangku dagunya sendiri.
“Kamu kelihatan agak gemukan ya sekarang?”
Pertanyaan itu mendapatkan delikan tajam dari Annisa. Namun dia masih terus memakannya tanpa menjawab Arif .
“Kamu gak lagi hamil kan?”
Sontak makanan yang masih tertahan di tenggorokannya kembali naik ke atas mendengar perkataan itu.
“Uhukkk…uhukkk…”
Annisa tersedak lalu dengan panik Arif menyodorkan botol minum miliknya kepada Annisa. Wanita itu langsung menyambar botol itu dan meminumnya dengan cepat.
“M..maaf cuma becanda kok,” sesal Arif.
Sesaat Annisa gugup. Wajahnya seperti seseorang yang ketahuan telah melakukan sesuatu yang terlarang.
“Ehh ya udah aku tinggal dulu ya. Siomaynya udah aku bayar kok.”
Arif bangkit dan hendak bergegas pergi.
“Loh ini siomay kamu belum dimakan.”
“Buat kamu lagi aja. Aku buru-buru.”
Annisa lalu tersenyum sambil mengangguk tanda menerimanya dengan senang hati.
Arif kemudian pergi ke dalam toilet. Diambilnya botol minuman yang tadi dipakai oleh Annisa. Dia usap bagian ujungnya yang masih tersisa air liur Annisa. Dia hirup jarinya sendiri lalu menjilatnya.
“Ohh Annisa! Ludah mu enak banget. Baru ludah aja udah enak gimana yang lain,” desah Arif yang sedang mengemut jarinya sendiri.
Dia kembali jilat ujung botolnya hingga bersih. Dia buru-buru ke toilet agar saliva Annisa tidak keburu mengering.
“Ohh Annisa, kenapa kamu gak jadi istri ku aja sih? Pasti bahagia kamu sama aku. Kita punya anak yang banyak yah,” ucap Arif berkhayal.
Di rumah, Sari tampak gelisah. Berkali-kali dia mengecek ponselnya berharap ada pesan yang masuk dari Randy dan mengatakan akan ke sana secepatnya.
Dia duduk bersimpuh di depan meja ruang tamu dan merebahkan kepalanya di sana. Rasa rindunya membuncah. Ingin menghubunginya lebih dahulu tapi dia takut akan mengganggu acara Randy.
Padahal dia sudah memasakkan makanan yang spesial untuk pemuda itu. Bahkan urusan rumah ia abaikan semua demi menunggu sang pujaan hati.
Tak berselang lama ponselnya berdering. Sari melonjak kegirangan. Namun saat netranya melihat nama yang tertera di layar ponsel itu hatinya kembali berangsur normal.
“Annisa? Kenapa dia telepon ya?” batin Sari.
Perlahan rasa bersalahnya muncul. Dia sadar kalau saat itu dia sedang menunggu calon adik iparnya datang untuk bertemu berdua saja. Sari lantas mengangkat telepon itu.
“Halo assalamualaikum!”
“Waalaikumusalam,” jawab Annisa dari seberang sana.
“Ada apa Annisa?”
“Kak, Nisa pengin ketemu kakak.”
“Ya udah datang aja ke rumah kakak.”
“Tapi gimana kalo bunda tau? Dia pesannya Nisa harus langsung pulang setelah selesai kuliah.”
“Tenang aja, kakak yang tanggung jawab. Masa Dateng ke rumah kakaknya sendiri gak boleh,” respon Sari.
“Ya udah kak. Nisa ke situ sekarang ya.”
“Iya. Hati-hati di jalan yah.”
Setelah mengucapkan salam penutup mereka berdua lalu memutuskan sambungan telepon. Pandangan Sari menerawang ke atas.
“Annisa, apa kamu mau dimadu sama kakak? Ahh…”
Sari buru-buru menggelengkan kepalanya. Tidak! Dia tidak boleh berpikiran begitu. Sangat memalukan apabila dia berpikir untuk menjadi istri kedua Randy setelah Annisa. Apalagi dalam agama juga dilarang.
Sari masuk ke kamar mandi untuk membasuh mukanya agar terlihat lebih segar dan untuk menjernihkan pikirannya. Lelaki itu bisa-bisanya membuat dirinya hampir gila.
Sejak semalam bayangan pria itu tidak pernah lepas dari kepalanya. Sebelum tidur ia membayangkannya setelah tidur ia memimpikannya. Setelah bangun ia merindukannya.
Sosok Randy benar-benar membuatnya tersiksa. Saat Randy pulang seakan-akan ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.
Hal yang baru pertama kali dirasakannya. Dalam hati dia bertanya-tanya kenapa bisa begitu? Saat dia jatuh cinta dengan Pram dahulu rasanya tidak sekuat perasaannya terhadap Randy sekarang.
Sekitar dua puluh menit kemudian Annisa tiba di rumah Sari. Dia langsung dipersilahkan masuk.
“Gimana Nis? Udah dicek?” tanya Sari saat keduanya sudah duduk di sofa ruang tamu.
“Belum kak, Nisa takut. Nisa udah beli sih alatnya.”
“Ya udah tunggu apalagi?”
“Tapi kak, gimana kalo hasilnya positif?”
“Tenang aja. Kalo hasilnya positif kamu jadi punya alasan kan untuk nikah sama Randy.”
“Gak semudah itu kak. Kakak kaya gak tau aja bunda itu gimana. Bisa-bisa malah Nisa dipaksa nikah secepatnya sama kiai Jamal,” ucapnya dengan nada parau.
“Memangnya kamu benar-benar gak mau sama kiai Jamal?”
Pertanyaan itu membuat bola mata Annisa membulat sempurna.
“Kakak gimana sih? Kok jadi ngomong kaya gitu? Ya enggak lah. Nisa gak mau nikah sama kiai Jamal,” jawab Annisa sambil memonyongkan bibirnya beberapa senti.
“Nisa, kita hanya bisa berusaha tapi takdir dan jodoh tetap ada di tangan Tuhan. Bagaimana kalau jodoh mu memang ditakdirkan bersama Kiai Jamal?”
“Ishh…kakak nih, kok malah dukung aku sama kiai Jamal sih.”
Annisa mendengus kesal karena Sari yang semula mendukungnya untuk lepas dari kiai Jamal malah sekarang oleng.
“Maaf Nis, bukan gitu maksud kakak. Ya udah sekarang coba kamu tes dulu. Apapun hasilnya nanti kita pikirkan sama-sama ya.”
Annisa hanya mengangguk pelan. Lalu dirinya dituntun untuk masuk ke dalam kamar mandi. Sebelumnya ia sudah mengantongi sebuah benda panjang yang pipih.
Dengan perasaan berdebar-debar Annisa mencelupkan benda itu ke dalam urinnya yang sudah dia tampung di dalam wadah kecil. Dia tunggu lima sampai sepuluh detik.
Matanya terbelalak melihat hasil yang tertera pada alat itu. Di luar kamar mandi Sari juga menunggu dengan was-was. Dia mondar-mandir ke sana kemari di depan pintu.
Setelah pintu terbuka Sari langsung menoleh. Annisa keluar dengan menundukkan kepalanya.
“Gimana Nis? Hasilnya gimana?”
Annisa tidak menjawab dengan kata melainkan hanya menyodorkan testpack itu kepada Sari.
Mulut Sari terbuka ketika melihat dua garis tertera pada alat itu.
“Kamu hamil Nis!” lontar Sari terperangah kaget.
Annisa masih bungkam. Tangan kanannya bergetar mengelus perutnya sendiri yang datar.
“Ada bayinya di sini kak.”
Matanya menerawang ke salah satu petak lantai yang ada di sana. Di satu sisi dirinya merasa bingung apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Di sini lain ada kebahagiaan tersendiri mengetahui dirinya telah menjadi wanita yang sempurna.
Annisa tidak menyangka akan menjadi seorang ibu diusianya yang masih muda. Dia akan mempertahankan bayi itu apapun yang terjadi. Sekarang harapan satu-satunya adalah Randy.
“Randy harus tau secepatnya!”
Annisa lalu melirik ke arah Sari.
“Kakak akan telepon dia sekarang juga,” lanjutnya lagi.
Sari kemudian mencari kontak Randy yang ada di ponselnya. Sejenak Annisa menahannya.
“Jangan dulu kak! Aku takut dia syok. Kita gak pernah merencanakan ini sama sekali,” cegah Annisa.
“Memangnya semua ini ada yang direncanakan? Udah kamu diem aja biar kakak yang kasih tau. Apa kamu gak pengin tau reaksinya? Walau bagaimana pun dia itu bapaknya. Dia harus tau semuanya.”
Annisa sudah tidak mencegahnya lagi. Namun berbagai kemungkinan buruk bersarang di kepalanya. Bagaimana kalau Randy tidak mau bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya? Dia memang telah berjanji untuk bertanggung jawab untuk menikahinya tapi tidak dengan seorang bayi.
“Halo, assalamualaikum Ran!”
Mata Annisa tertuju pada kakaknya ketika nama itu disebut.
“Kamu bisa ke rumah kakak gak sekarang? Ada sesuatu yang harus dibicarakan!”
“Apa ini soal semalam?” respon Randy dari seberang tanpa bisa didengar oleh Annisa.
“Bukan, bukan soal semalam. Ini lebih penting.”
“Soal apa?”
“Udah, kamu ke sini aja. Nanti mbak kasih tau.”
Setelah mengakhiri percakapan telepon ditutup. Tiba-tiba saja perasaan Annisa menjadi gugup sekaligus bahagia. Dia akan bertemu lagi dengan Randy setelah cukup lama. Apalagi membayangkan respon Randy mengetahui dirinya tengah mengandung anaknya.
Perutnya seolah berputar-putar sebagai reaksi kegugupannya.
“Aduh kak! Nisa jadi mual dan mules!”
Annisa bergegas masuk kembali ke dalam kamar mandi yang di dalamnya terdapat toilet. Di dalam Annisa memuntahkan seluruh isi perutnya termasuk siomay yang sebelumnya ia makan.
Sambil menunggu Randy datang, perut Annisa diolesi minyak kayu putih oleh Sari agar mengurangi rasa mual yang menyerang.
Saat mereka mendengar suara motor milik Randy, Annisa benar-benar nervous. Mereka lalu mendengar pintu diketuk.
Tokkk…tokkk…tokkk…
Sari sudah bangkit dari duduknya namun ditahan oleh Annisa.
“Kak!” desis Annisa gugup.
“Ssstttt…”
Sari meletakkan satu jarinya di depan bibir kemudian melepaskan genggaman tangan Annisa.
Kakaknya itu berjalan untuk membukakan pintu rumah. Saat pintu itu dibuka darah seolah berhenti mengalir di tubuh Annisa. Dia melihat sosok yang selama ini ia rindukan. Tangannya bergetar, sendinya kaku, keringat mengucur deras dari dahinya.
Randy yang disapa oleh Sari sontak netranya langsung menangkap sosok wanita yang berada beberapa langkah di belakang Sari.
“Annisa!” Panggil Randy dengan raut wajah sumringah.
Sari dengan sadar diri menyingkir dari pandangan keduanya. Annisa sudah tidak tahan lagi. Dia bangkit lalu berlari menghambur ke pelukan Randy yang disambut hangat oleh pria itu.
Randy tak memungkiri bahwa dirinya juga rindu dengan Annisa. Tangis Annisa pecah di dada bidang Randy. Sari terkejut melihat reaksi Annisa yang dikenal dingin terhadap semua lelaki yang mendekatinya namun dengan Randy, dia dapat memberikan pelukan hangatnya begitu saja.
Sari tidak menghadangnya walaupun itu sebenarnya dilarang oleh agama. Dia tahu kalau adiknya sedang dalam mode merindu.
Dia hanya membuang muka menghindari pemandangan itu. Ada rasa sesak di dada seperti rasa cemburu walau dia tidak tahu kenapa rasa itu bisa hinggap di hatinya.
“A…aku kangen sama kamu,” ucap Annisa lirih.
“Aku juga.”
Randy mengelus punggung Annisa berusaha memberikan rasa nyaman yang maksimal. Itu terbukti ampuh karena Annisa belum juga melepaskan pelukannya yang melingkar di pinggang Randy.
“Udah pelukannya. Keburu pagi lagi kalo nunggu kalian lepas,” sindir Sari dengan kekehan.
Mereka terpaksa melepaskan pelukan itu. Randy dan Annisa dipersilahkan duduk berdampingan dengan Sari yang yang duduk di kursi tunggal sebagai moderator.
“Jadi ada yang mau disampaikan Annisa sama kamu Ran. Tapi mbak minta kamu harus siapin mental dulu sebelum mendengar apa yang mau Annisa katakan.”
Randy mengernyitkan dahinya. Sepertinya urusan itu sangat serius. Randy hanya mengangguk sebagai tanda dia siap untuk mendengarkannya.
“Ayo Annisa! Katakan sekarang sama Randy tentang keadaan mu!”
Annisa masih terdiam ragu. Randy menangkap sebuah firasat. Dia seperti merasakan de Javu. Dia pernah mengalami situasi seperti ini saat bertemu dengan Icha dahulu waktu mereka masih di Jakarta walaupun tidak semencekam ini.
“Ayok Nis! Bilang aja yang jujur,” desak Sari lagi.
“A…aku…”
“Aku…”
Kata-katanya tertahan di tenggorokan.
“Aku hamil Ran!” ungkap Annisa pada akhirnya.
Dia harap-harap cemas melihat reaksi Randy. Di lain pihak Randy terkejut setengah mati. Mulutnya terbuka lebar sebelum ditutup oleh tangannya sendiri.
“Kamu serius?!” ujarnya memastikan.
Annisa mengeluarkan hasil testpack yang dipakainya. Mata Randy membulat. Dia tidak menyangka Annisa bisa hamil hanya dengan dua kali bersenggama.
“Gimana Ran?!” tanya Sari.
“Gimana apanya mbak?”
“Gimana tanggapan kamu tentang kehamilan Annisa?” ucap Sari yang sedikit kesal dengan respon Randy yang lemot.
Jujur saja otaknya yang masih spek Pentium itu mendadak hang. Dia butuh untuk me-restart ulang otaknya agar dapat bekerja lagi.
“Ya kita pertahankan anak yang dikandung Annisa. Randy akan bertanggung jawab atas anak ini,” jawab Randy dengan yakin.
Annisa perlahan menarik sudut bibirnya ke atas. Dia bahagia karena Randy mau menerima anaknya.
“Bukan itu masalahnya Ran. Kamu harus secepatnya meyakinkan ibunya Annisa. Kamu gak mau kan membiarkan anak itu lahir tanpa ayah?!”
Randy merenung membenarkan perkataan Sari.
“Iya Randy tau. Randy akan berusaha keras untuk meyakinkan teh Adibah.”
Mendengar perkataan Randy, baik Annisa maupun Sari merasa lega. Mereka lalu menyusun rencana untuk memberitahu Adibah mengenai kehamilan Annisa.
Setelah selesai, Randy kemudian mengantarkan Annisa untuk pulang. Sebenarnya Annisa sudah menolak karena kalau ibunya tahu pasti dirinya akan dikurung lagi dan tidak boleh pergi kuliah tapi Randy ngotot.
Sebelum pergi Sari sempat berbisik kepada Randy untuk datang ke rumahnya nanti malam. Randy hanya mengangguk lalu pergi mengantar Annisa.
Di perjalanan Annisa tidak pernah melepaskan pelukannya kepada Randy. Rasa nyaman menjalar di tubuhnya membuat hormon stress yang ada di badan Annisa menguap.
Sesampainya di depan komplek pesantren Annisa meminta turun.
“Sampe sini aja Ran!”
“Kenapa? Aku mau ngomong sama teh Adibah soal keham…”
Tiba-tiba Annisa membungkam mulut Randy.
“Ssstttt…!!! Jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar,” larang Annisa.
“Ini bukan waktu yang tepat Ran! Kamu tau kan gimana bencinya bunda sama kamu? Ditambah dia tau tentang kondisi ku sekarang. Aku takut dia malah semakin gak merestui hubungan kita.”
“Seperti kata kak Sari tadi. Kamu harus bisa meyakinkan bunda kalo kamu juga punya ilmu agama yang kuat. Minimal kamu udah lancar mengaji,” imbuhnya lagi.
Randy hanya menghembuskan nafas dalam seraya mengangguk.
“Ya udah kalo gitu. Tapi kalo ada apa-apa hubungi aku ya. Lagian di sini kan ada anak aku,” pungkas Randy mencoba mengelus perut Annisa.
Namun buru-buru ditepis oleh kekasihnya itu.
“Jangan ahh, malu.”
Randy terkekeh melihat rona merah di wajah Annisa. Dia jadi terlihat sangat menggemaskan. Setelah itu Randy benar-benar pamit.
“Aku pergi dulu ya, jaga diri baik-baik.”
“Iya. Hati-hati di jalan yah.”
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumusalam,” balas Annisa lalu Randy memacu motornya pergi meninggalkan Annisa yang masih berdiri di sana.
Annisa pulang dengan senyum di wajahnya. Entah apa yang akan terjadi nanti. Bersama Randy, dia yakin mampu melawan semua rintangan yang menghadang.
Randy menepati janjinya untuk datang ke rumah Sari pada malam hari. Setelah memarkir motornya dia dipersilahkan masuk.
“Gimana rasanya Ran?” tanya Sari sambil senyum-senyum.
“Rasa apa mbak maksudnya?”
“Gimana rasanya mau jadi calon ayah?”
Sari memangku dagunya dengan kedua tangan sambil menatap Randy dengan wajah innocent.
“Aku udah jadi ayah dari dulu mbak!” batinnya.
Randy menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya nervous sih. Gak nyangka bisa punya anak secepat ini. Ehh…tapi, kenapa mbak gak marah waktu tau Annisa hamil?”
“Marah bukan solusi. Lagian gak ada manusia yang sempurna, pasti mereka pernah melakukan kesalahan. Tidak terkecuali Annisa. Yah awalnya memang mbak kecewa sama dia. Tapi setelah lihat kamu, mbak juga ragu bakal bisa bertahan dengan godaan kalo mbak ada di posisi Annisa,” jelasnya dengan wajah yang memerah.
“Hahaha…emangnya Randy godain gitu?” canda Randy.
Sari mendekatkan posisi duduknya ke arah Randy hingga posisi wajah mereka semakin dekat.
“Pasti kamu memperlakukan Annisa dengan lembut yah?” tanyanya sambil meletakkan telapak tangannya di bahu Randy dan sedikit memijat.
“Iya lah, semua wanita emang harus diperlakukan dengan lembut. (Kecuali Adibah, karena dia bukan wanita tapi iblis!)”
“Maksud mbak bukan soal itu.”
“Terus?!”
Sari menaruh dagunya di atas punggung tangannya yang berada di bahu Randy sehingga bibirnya berhadapan langsung dengan telinga Randy. Hembusan nafas Sari yang pelan menerpa leher pria itu.
“Soal seks!” bisik Sari di depan telinga Randy.
Randy menoleh dengan cepat hingga kedua pandangan mereka bertemu. Sari hanya tertegun mendapati wajah Randy yang begitu dekat dengannya.
Perlahan Randy mendekatkan bibirnya ke bibir Sari. Melihat itu Sari langsung mengatupkan bibirnya rapat.
“Ran! Ran! Ran!” panggil Sari berkali-kali sambil menepuk pipi pria itu lirih.
Randy sontak kembali memundurkan wajahnya. Sari tertawa lirih melihat wajah Randy yang memerah.
“Maaf Ran. Mbak cuma nanya kok. Bukan berarti mbak ingin melakukannya sama kamu,” ungkap Sari sambil mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bukan tidak ingin, tapi Sari sekuat tenaga berusaha untuk menghindari hal itu. Walau bagaimana pun Randy adalah kekasih adiknya. Dia tidak boleh bergerak terlalu jauh. Tujuan utamanya adalah meyakinkan ibunya untuk menerima Randy sebagai menantunya.
Sejenak suasana menjadi canggung. Namun Sari kemudian bangkit dari duduknya.
“Mending kita belajar ngaji dulu. Biar cepet lancar. Sekarang bukan waktunya mengulur-ulur waktu.”
Sari kemudian pergi mengambil peralatan yang digunakan untuk mengajari calon adik iparnya itu. Randy hanya mendehem singkat.
Setelah itu mereka lalu mulai belajar. Semakin lama Randy semakin mahir. Itu juga karena ketelatenan Sari dalam mengajarinya.
Situasi yang sempat canggung berangsur mencair. Mereka sudah kembali membalas candaan-candaan yang ringan. Dengan Randy, Sari dapat melupakan masalah yang menimpa rumah tangganya.
Seperti biasa mereka larut dalam belajar hingga lupa waktu. Sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Tokkk…tokkk…tokkk…
Pintu rumah Sari diketuk dari luar. Sari menghentikan bicaranya dengan Randy kemudian bangkit untuk membukakan pintu karena suara yang sama kembali terdengar. Ternyata itu adalah Pram.
“Darimana mas? Jam segini baru pulang?” tanya Sari kepada suaminya.
Pram tidak menghiraukan perkataan Sari namun buru-buru masuk ke dalam kamar bahkan dia tidak sadar kalau di sana ada Randy yang sedang duduk di sofa.
Sari yang curiga pun menyusul suaminya. Dirinya kaget ketika melihat Pram sedang memasukkan beberapa setel pakaiannya ke dalam koper.
“Mas, mau kemana lagi?”
Pram mengabaikan pertanyaan istrinya malah justru sibuk mencari sesuatu di dalam lemari.
“Mas jawab!”
“Mas ada urusan ke luar kota! Mendadak!” ujar Pram sedikit membentak.
Sari pun tidak percaya begitu saja. Sampai dia menemukan sebuah tanda merah di leher suaminya itu.
“Mas pasti habis ketemu sama perempuan itu ya?!” terka Sari.
Kepala Pram berputar ke arah Sari.
“Jangan sembarangan nuduh kamu!”
“Itu apa di leher mas?!”
Sontak Pram menutupi tanda itu.
“Ini cuma digigit nyamuk!” kilah Pram dengan ekspresi wajah datar.
“Mana mungkin digigit nyamuk bentuknya seperti cap bibir!”
Mata nanar Sari menatap Pram geram.
“Apa jangan-jangan mas mau pergi sama wanita itu ya?!” tebak Sari.
“Kamu jadi istri gak percayaan banget sih! Gak tau apa kalo mas cape banting tulang buat kamu! Mas ada dinas mendadak keluar kota! Sebenarnya mas juga malas pergi, tapi ini tugas!” sergah Pram penuh emosi.
“Bohong! Pokoknya mas gak boleh pergi!”
Sari berusaha menahan suaminya agar tidak pergi malam itu. Namun hal itu malah membuat Pram kalap.
Didorongnya Sari hingga terjatuh di atas lantai. Matanya membulat menatap istrinya yang sudah tersungkur itu.
“Mas, kalo memang mas udah gak cinta lagi sama adek dan lebih memilih selingkuhan mas itu. Mas bilang aja! Adek gak akan nahan kalo memang mas gak bahagia hidup sama adek! Ceraikan saja adek mas!”
Sari melontarkan kata penuh getir. Dadanya sesak, suaminya telah berubah. Padahal kemarin dia berjanji untuk memilihnya tapi sekarang kenapa dia berubah pikiran? Apakah wanita yang bernama Dewi itu kembali memberikan dia kesempatan?
“Kamu dari kemarin bilang cerai, cerai, cerai terus! Mas pusing tau gak! Kerjaan di kantor bikin pusing, sekarang di rumah ditambah kamu yang bikin pusing!”
Pram dengan kalap mengambil lampu kamar yang ada di sebelah ranjang mereka lalu melemparkannya tepat ke arah Sari.
Wanita itu membuang wajah ke samping saat menerima benda keras itu lalu..
Prankkk…!!!
Sari menatap lantai kamar itu heran. Jelas-jelas dia mendengar sebuah benda pecah di dekat telinganya yang tidak lain adalah lampu kamar yang dilemparkan Pram barusan ke arahnya. Tapi mengapa tidak ada rasa sakit sedikit pun di badannya. Seolah benda itu menabrak perisai yang melindungi dirinya.
Saat kepalanya berputar ke arah sumber suara, dirinya terkejut dengan keberadaan Randy yang sudah ada di depannya.
Randy menatap Pram datar dengan darah mengucur di pelipisnya. Sorot matanya benar-benar membuat semua orang bergidik ngeri. Kepribadian Randy yang lain telah merasuki jiwanya.
“Ja…jangan ikut campur kamu ya!” ancam Pram dengan ketakutan.
Randy melangkahkan kakinya tak gentar dengan ucapan Pram barusan. Rasa perih di pelipisnya sama sekali tidak terasa. Dia sudah bersiap untuk memangsa siapapun yang melukai wanitanya.
“Hey om, saya udah pernah peringatkan anda untuk tidak menyakiti mbak Sari. Kalo sampai itu terjadi saya yang akan turun tangan!”
“Dasar bocah ingusan! Tau apa kamu dengan keluarga saya?!”
Pram yang melihat Randy tidak memasang pertahanan apa pun mencoba menyerangnya. Pram juga pernah belajar beladiri semasa muda dulu. Jadi dia tahu teknik untuk melumpuhkan lawan yang awam terhadap pertahanan diri. Dia tendang bagian lutut samping Randy. Cara itu biasanya membuat pijakan lawan akan goyah.
Bughhh…!!!
Pram melotot melihat kaki Randy tidak bergeser sama sekali, justru kakinya sendiri yang terasa sakit.
“Apa ini?! Terbuat dari apa kakinya?!” batin Pram.
Selain Randy menguasai taekwondo, dia juga rajin fitness yang membuat otot kakinya menjadi kuat.
Pram kembali melancarkan serangannya ke arah perut Randy.
Bughhh…!!!
Pram seakan meninju sebuah samsak berjalan. Dia kembali mengarahkan tinjunya ke arah wajah Randy. Namun kali ini Randy tidak tinggal diam. Dia tangkis serangan itu lalu dengan gerakan memutar dia lancarkan spinning back first miliknya yang mendarat tepat di rahang samping Pram.
Brugghhh…!!!
Sontak Pram langsung tersungkur di lantai dengan mulut terbuka dan mata berkunang-kunang. Kepalanya terangkat sedikit namun pandanganya kosong. Pram melihat bintang-bintang mulai berkumpul di dalam kamarnya dan berputar-putar di atas kepalanya.
Melihat suaminya tergeletak, Sari sempat panik. Dirinya berniat untuk menolongnya tapi takut akan sosok yang berada di depannya. Dia merasa bahwa itu bukan Randy yang dia kenal. Auranya jauh berbeda.
Saat Pram mulai bisa menguasai dirinya, Randy berlutut di atas tubuh Pram lalu satu tangannya mencengkram erat kerah baju pria itu sambil mengayunkan tangannya ke belakang.
“Stop Ran!”
Sari yang tidak ingin perkelahian kembali terjadi lalu beringsut memeluk Randy dari belakang kemudian menariknya.
“Mas! Kalo memang mas lebih mencintai wanita itu. Lebih baik mas pergi sekarang juga. Jemput dia! Jemput cinta sejati mas!” kelakarnya sambil terisak menahan tangis.
“Maafkan mas!”
Pram dengan tertatih tanpa pikir panjang mengambil kopernya lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Setelah kepergian Pram, Sari terduduk bersandar di bibir ranjang sambil menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Dia menangis meratapi nasib rumah tangganya yang hancur karena seorang pelakor.
Beberapa saat tenggelam dalam kesedihan tiba-tiba dia dikagetkan oleh sebuah tangan yang mendarat di bahu kirinya. Sesaat Sari menengadah ke depan.
Dia lihat wajah pria muda dan tampan sedang menatap dirinya dengan senyum yang mengembang. Sudah tidak ada lagi aura mencekam dari tubuh Randy. Dia kembali pada sedia kala.
“Jangan nangis mbak! Pria seperti itu tidak pantas untuk ditangisi,” ujar Randy dengan lembut.
“Kamu bikin mbak takut tau gak! Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti itu?! Mbak gak mengenali kamu tadi,” balas Sari dengan sungutan di bibirnya.
“Maaf. Kadang Randy suka lupa diri kalo orang yang Randy sayangi disakiti,” jelasnya dengan santai.
“Apa kamu bilang?!”
Sari tidak menyangka Randy mengucapkan kalimat itu. Rasa sedih dan kecewa saat itu ditimpa dengan perasaan berbunga-bunga kala mendengar kata-kata Randy.
“Bukan apa-apa kok,” balas Randy santai.
Sejenak netra mata Sari terfokus pada luka di pelipis Randy yang mengeluarkan darah.
“Ran, kamu berdarah!”
Sari buru-buru menyentuh pipi Randy lalu memeriksa lukanya.
“Biar mbak ambilkan obat. Kamu duduk dulu di kasur.”
Sari kemudian bangkit untuk mengambil obat merah dan kapas lalu hansaplast. Dia kembali dengan kotak p3k. Sari mengobati luka di pelipis Randy dengan sangat hati-hati. Dia tidak sadar kalau sedari tadi tatapan Randy selalu mengarah ke wajahnya yang mengeluarkan peluh.
“Awww!!! Sakit mbak! Ishhh…” pekik Randy kesakitan.
“Kamu ini gimana sih? Tadi perasaan kamu biasa aja, kok sekarang baru kesakitan?!” ujar Sari tidak mengerti.
Randy tidak menjawab dan hanya menarik sudut bibirnya ke atas.
“Mbak gak papa kan?” tanya Randy balik.
“Harusnya mbak yang tanya ke kamu. Kamu gak papa?”
“Selama mbak gak papa. Randy juga akan baik-baik aja kok.”
Mendadak wajah Sari merona merah. Ada kupu-kupu yang hinggap di dadanya. Berusaha mengobati hatinya yang sedang terluka.
Sari sudah selesai menempelkan hansaplast di pelipis Randy. Kedua mata mereka bertemu. Dilihatnya detail lekuk wajah pria yang ada dihadapannya itu.
Tangan Randy terulur ke depan menggenggam kedua bahu Sari. Wanita itu diam saja tidak melakukan apapun.
“Jadi ini yang buat mbak kemarin malam nangis?”
Sari membuang mukanya kala ditatap dengan intens oleh Randy.
“Gak papa kalo mbak gak mau cerita. Tapi kalo mbak bersedia, Randy siap dengerin keluh kesah mbak. Dan ini…”
Randy menepuk-nepuk bahu kanannya.
“Bahu ini siap untuk jadi sandaran mbak kapan aja,” ucap Randy sambil tersenyum manis.
Hal itu membuat hati Sari luluh. Seperti yang ditawarkan oleh Randy, Sari kemudian merebahkan kepalanya di bahu Randy. Tangan kanan Randy merespon dengan merangkul punggung Sari.
Sari mulai mencurahkan seluruh isi hatinya kepada Randy. Cerita Sari mengalir begitu saja. Beberapa kali Randy mengusap-usap serta memijat pundak Sari yang dia rangkul, membuat si empunya merasakan kenyamanan yang maksimal.
Sungguh Sari belum pernah merasakan perasaan senyaman ini. Dirinya merasa diperhatikan oleh Randy. Dia diperlakukan bagai seorang ratu.
“Mbak lebih baik tinggalkan om Pram. Dia gak pantas mendapatkan wanita sesempurna mbak.”
“Entah lah, mbak bingung Ran. Sebenarnya apa yang kurang dari diri mbak? Kenapa suami mbak mencari dari wanita lain?” pungkasnya resah.
“Gak ada yang kurang dari diri mbak. Mbak adalah istri idaman semua lelaki. Om Pram aja yang dibutakan cinta masa lalu. Buktinya dia rela ninggalin mbak demi wanita lain.”
Sejenak Sari menghela nafas.
“Mbak bingung Ran. Bercerai tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus dipertimbangkan. Apalagi Keelan masih kecil. Dia masih butuh figur seorang ayah.”
“Kalo masalah itu mbak gak usah khawatir. Seperti kata Randy barusan, mbak adalah sosok istri idaman. Randy yakin banyak yang antri untuk mendapatkan cinta mbak.”
“Termasuk Randy,” lanjutnya dengan suara diperkecil.
Sari sontak memukul paha Randy lemah.
“Kamu ini Ran. Becanda melulu bikin hati mbak jadi deg-deg ser. Tapi makasih ya udah menghibur mbak. Sekarang masalah mbak jadi jauh berkurang.”
Tanpa permisi Randy menggenggam tangan Sari lalu mengarahkannya ke dadanya.
“Rasakan detak jantung Randy mbak. Apa mbak bisa merasakan sebuah candaan di sana?”
Detak jantungnya memang berdebar sangat kencang. Mirip seseorang yang sedang berada di dekat orang yang dia sukai.
“Apa maksud kamu serius?”
Tangan Randy kemudian bergerak menuntun dagu Sari ke atas hingga pandangan mereka bertemu.
“Maaf mbak, jangan marah ya. Tapi Randy mau jujur. Sejak kita bertemu dan menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama, Randy merasakan sesuatu yang lain di hati Randy. Pikiran Randy selalu terbayang-bayang wajah mbak Sari.”
Sari masih menatap mata Randy. Di sana dia tidak menemukan secuil pun kebohongan.
“Di saat seperti ini Randy merasa nyaman dan di saat pulang Randy merasa kehampaan di hati Randy.”
“Iya, mbak juga merasakan hal yang sama,” ucap Sari dalam hati.
Sejenak Randy memejamkan mata lalu menghembuskan nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Mbak, kalau seandainya om Pram gagal memenuhi tanggung jawab untuk menjaga hati mbak. Ijinkan Randy yang mengambil alih tempatnya.”
Deggg…
Jantung Sari nyaris berhenti kala itu. Desiran aneh menjalar di seluruh tubuhnya.
“Randy sudah jatuh cinta sama mbak.”
Darah Sari seolah berhenti mengalir. Dadanya seperti sedang ditonjok-tonjok dari dalam. Entah kenapa dirinya merasa sangat bahagia mendapati pernyataan cinta darinya. Sari tanpa sadar mungkin juga sudah jatuh cinta kepada Randy.
“Ta…tapi bagaimana dengan Annisa? Dia sedang mengandung anak mu. Apa kamu tidak mencintainya?”
“Randy cinta sama kalian berdua. Mungkin itu terdengar egois tapi itu kenyataannya.”
Sari menunduk sesaat. Berdosa kah apabila dia menginginkan Randy untuk menjadi pengganti suaminya yang telah pergi bersama wanita lain?
“Maaf kan mbak, Annisa! Tapi mbak benar-benar mencintai Randy,” batinnya merasa bersalah.
Pria itu kembali mengangkat kepala sari hingga tatapan mereka kembali bertemu.
“Meskipun kita gak bisa bersatu, tapi ijinkan Randy untuk memberikan sesuatu yang sempat dilewatkan oleh suami mbak.”
Entah beberapa detik Sari tersadar dengan kata-kata Randy yang dia cerna barusan, bibir mereka sudah saling bertautan.
Rasa nikmat dan nyaman langsung menjalar melalui bibirnya dan mengalir ke seluruh tubuh melepaskan hormon stress yang belakangan ini muncul.
“Achhh…Ran. Mbak terima cinta kamu. Sekarang mbak menginginkannya!” kata Sari dengan mata sayu.
Perlahan Randy merebahkan tubuh Sari di atas ranjang dengan kaki masih menjuntai ke bawah.
“Dilepas jilbabnya yah,” pinta Randy yang langsung dikabulkan oleh Sari.
Untuk pertama kalinya Randy melihat Sari tanpa penutup di kepalanya. Rambutnya ia gerai hingga menunjukkan ukuran panjang yang sesungguhnya.
“Mbak, mau jadi istri ku malam ini?” goda Randy dengan nada manja.
Sari menggigit bibir bawahnya seraya mengangguk penuh semangat.
“Lakukanlah Ran! Tubuh mbak sepenuhnya milik mu malam ini. Buat mbak terbang melayang ke angkasa.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, tubuh mereka langsung melilit menjadi satu. Lalu permainan pun dimulai.
Bersambung