Part #4 : LIHAT LANGKAHKU
Cara terbaik untuk memulai sesuatu adalah dengan berhenti bicara dan mulai bekerja.
– Walt Disney
Panggung jalanan digelar. Nanto di sisi kiri, melawan tiga pemuda punk di sisi kanan.
Dari ketiga pemuda punk, si gondrong nampaknya yang paling gemas dengan tingkah tengil Nanto. Ia yang pertama merangsek ke depan. Langkahnya mantap, yakin dan percaya diri. Pemuda punk itu maju sampai suatu titik di mana ia berdiri tak jauh dari si bengal. Si gondrong pun mengambil ancang-ancang, ia mendengus saat melihat senyum Nanto yang baginya sangat menghina.
Asem! Sok banget orang satu ini! Ngremehke?
Cuh!
Si gondrong melepas ludah, antara menghina dan meradang karena diremehkan si pemuda bengal. Ia mencoba memperkirakan jarak antara dirinya dan Nanto. Cukup. Dari sini ia sudah dapat melontarkan tendangan mautnya.
Si gondrong dan Nanto saling menatap tanpa melepas pandangan. Tak perlu ada ucap kata karena masing-masing tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Si gondrong mencibir.
Dasar tengik! Munyuk! Malah cengengesan! Tendang pisan bubar dapurmu!! Sekali tendang hancur muka busukmu!
Dalam benaknya, si gondrong tengah menyusun skenario. Ia bersiap melancarkan serangan pertama yang akan mengakhiri senyum di wajah si bengal dengan sebuah tendangan memutar. Si gondrong akan memutar tubuhnya di posisi ini, lalu bak pegas dilepas ia akan mengayunkan kakinya ke atas demi menghancurkan kepala lawan. Si tengil itu tidak akan bertahan sedetik pun jika sudah terkena tendangannya. Si gondrong sangat yakin.
Si gondrong mengamati pose stance Nanto. Ia masih berdiri saja di situ, tegap dengan kaki ditekuk setengah dan tubuh turun sedikit. Lengan kanan Nanto ditarik ke tengah badan, sementara telapak tangannya menghadap ke atas dengan posisi sekitar 30 sentimeter di depan wajah dengan jempol ditarik ke dalam.
Bah, gek pose opo kuwi. Pose apaan itu! Ini sih mudah…
Si gondrong fokus, mencari celah.
Sekarang!
Kaki kirinya maju, tubuh diputar separuh, kaki kanan ditarik ke belakang, lalu dilecutkan bagai misil.
Modyaaaaar!
Si gondrong terdiam.
Lha?
Kok kakinya tidak bergerak? Si gondrong melihat ke kaki kanannya.
HGHHKKK!!
Kaki kiri Nanto sudah menahannya!!
Sebelum kakinya sempat naik tadi, ternyata Nanto sudah menginjak kaki kanannya dan menekan bak paku baja yang kencang, menahan, dan mengunci! Ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kakinya!!
Bangsaaaat!
Sejak kapan si bengal itu bergerak maju? Tidak mungkin! Bukankah tadi dia masih ada di sana!? Jarak mereka kan cukup jauh?! Bukan! Yang menginjaknya pasti bukan… Si gondrong menatap ke depan.
“Baa!”
Pemuda punk itu hampir terlontar ke belakang karena kaget namun tak sanggup mundur karena kakinya dikunci si bengal. Nanto benar-benar sudah di depannya! Gila! Sejak kapan dia berada di situ!? Di jarak sedekat ini!? Tidak mungkin ia tidak melihat gerakannya!
Si gondrong buru-buru menggunakan lengan untuk melindungi diri.
Tapi terlambat. Tangan kanan si bengal sudah lebih dulu terkepal, dan tinju dari tangan yang tak sampai sedetik sebelumnya ditarik ke belakang itu pun meluncur deras menghantam mulut si gondrong.
BLEDAAGG!!
Tubuh si gondrong terpental ke belakang, dan ambruk terlentang tepat di muka si rambut ungu dan temannya yang terkejut.
Rambut ungu dan pemuda yang memiliki leher bertato tribal menatap tak percaya ke arah Nanto. Lalu mereka saling bertatapan satu sama lain, bertanya tanpa kata. Apa yang baru saja mereka saksikan? Mereka tidak melihat apa-apa! Bagaimana mungkin Nanto bisa bergerak secepat itu? Mereka tidak berkedip terlalu lama, kan? Tidak…! Tidak mungkin secepat itu!
Si leher tato melirik ke arah si gondrong yang sekuat tenaga berusaha berdiri, tubuhnya masih bergoyang karena tumpuannya tak seimbang. Mulutnya berdarah.
Puih!
Ada gigi si gondrong yang tanggal. Jingan. Kepalanya puyeng banget kena hantam mendadak tadi.
Si leher tato memalingkan pandangan untuk melihat ke arah Nanto yang masih berdiri santai. Pemuda bengal itu kini hanya menggoyangkan tinju kanannya dan menatap ketiga preman tanpa ekspresi. Si leher tato menatap kepalan tangan Nanto. Pukulan tadi sangat cepat dan kencang, apapun tinju yang baru saja bersarang di muka si gondrong, jelas itu bukan pukulan main-main.
Lalu sekali lagi si leher tato melirik ke arah temannya yang baru saja kehilangan gigi. Ia tak percaya ada yang sanggup bergerak sangat cepat dan melayangkan pukulan teramat keras seperti ini. Benar-benar telak. Siapa sebenarnya orang ini? Bagaimana mungkin dia bisa…
Wssh.
Eh?
Tiba-tiba si leher tato menyadari sesuatu, ada semilir angin di belakangnya – terasa menegakkan bulu kuduknya.
Bangsat! Gagal fokus!!
Ketika ia menengok, benar saja Nanto sudah berada di sana. Ia tidak sempat bereaksi apa-apa karena kaki kanan Nanto secepat kilat terhambur ke dadanya dengan tanpa ampun dan tanpa aba-aba.
BLEDAAAGG!!
Hghhkkk!
Si leher tato terjengkang ke belakang, menubruk sebuah tong sampah besi dan membuat isinya berserakan. Ia terlentang tak berdaya dengan tubuh belepotan sampah. Punggung dan dadanya terasa sakit sekali! Kampreeet!
Melihat Nanto sudah berada di dekat mereka, Si rambut ungu dan si gondrong menyerang bersamaan. Tak ada ampun!
Si gondrong yang belum benar-benar dapat mengenyahkan pening di kepalanya menjadi sasaran pertama Nanto, Si bengal itu bergerak dengan sangat cepat. Hentakan kakinya mendarat tepat di lutut si gondrong. Hentakan yang kembali menghentikan laju gerakannya. Saat pemuda punk itu terkejut, sepasang kepalan dari kedua tangan Nanto sudah terlontar deras menghajar dadanya berulang kali bergantian.
BGG! BGG! BGG! BGG! BGG! BGG! BGG! BGG! BGG! BGG!
Hghhkkk!
Derasnya serangan Nanto membuat si gondrong kembali terdorong ke belakang. Pertahanannya buyar. Tubuh Nanto menyeruak masuk. Satu serangan dari sikut si bengal menerjang kencang ke dada!
Hghhkkk!
Disusul dengan satu sentakan ke bagian bawah dagu!
BLETAAAGG!!
Tubuh si gondrong terlempar dan jatuh berdebam kembali dengan mulut tersedak-sedak.
BGG! BGGG!
Karena fokus pada si gondrong, dua pukulan rambut ungu yang datang dari sisi kiri masuk ke wajah Nanto, membuatnya bergeser ke kanan dan terhuyung.
“Modyaaaar!!”
Pekik si rambut ungu sambil melepaskan satu pukulan dengan cepatnya. Nanto mundur ke belakang dan menerima serangan itu dengan hempasan sisi luar punggung tangan yang menahan dan mengubah arah. Serangan si rambut ungu pun hanya mengenai ruang kosong.
Meski terkejut karena serangannya dimentahkan, si rambut ungu tak menunggu waktu lama untuk menerjang kembali, hujan pukulan dari kedua tangannya dilontarkan ke arah Nanto sambil bergerak maju.
BGG! BGG! BGG! BGG! BGG!
Kiri, kanan, atas, bawah, tengah, kanan, kiri, atas, bawah, tengah, tengah, kanan, atas.
Semua serangan si rambut ungu dimentahkan dengan cepatnya oleh Nanto yang mengubah arah setiap pukulan dan tendangan rambut ungu dengan punggung tangan dan kaki sambil bergerak mundur. Tiap kali ia berhasil mementahkan satu serangan, Nanto membalas dengan pukulan atau serangan sikut cepat yang menerjang badan si rambut ungu.
Seperti halnya si gondrong, kali ini pun si bengal menjadikan bagian dada si rambut ungu sebagai sasaran utama hantamannya.
Tukar pukulan terjadi dengan cepatnya. Leher tato dan si gondrong menatap adegan itu dengan mulut menganga. Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menahan serangan si rambut ungu?! Selama ini mereka mengira si rambut ungu adalah penyerang tercepat mereka!
BGG! BGG! BGG! BGG! BGG!!
Bangsaaaaat!
Hujan tinju dari si rambut ungu tak menemui sasaran, semuanya mentah!
Sekali lagi! Lebih kencang!!
Masuuuk!!
Eh!?
Tidak.
Pukulan kencang yang dilontarkan si rambut ungu memang melesak memasuki pertahanan Nanto, namun sekali lagi berhasil ditepis oleh sisi luar pergelangan tangan si bengal. Sembari lengannya menahan, jemari si bengal berputar dan menarik pergelangan tangan si rambut ungu sehingga tubuhnya doyong ke depan ke arah Nanto. Si bengal itupun lantas mendorong sikutnya ke depan, menghantam dada dengan telak, sikut yang sama kemudian digerakkan secepatnya ke atas untuk menghentak rahang si rambut ungu.
BEGG!! BLETAAAGG!!
Rambut ungu terhuyung dengan rahang nyeri dan emosi memanas.
Ia belum selesai.
Pemuda punk berangasan itu mencoba melontarkan satu tendangan cepat, namun saat itu pula kaki Nanto sudah mendorong lutut kaki yang terangkat dan menggagalkan serangannya. Pemuda punk itu memaki dalam hatinya.
Waaaaasu!
Siapa sebenarnya orang ini? Dengan siapa mereka berhadapan?
Setaaaaaan!!! Modyaaaaar!!!
Rambut ungu tidak tahan lagi, ia kembali menyerang membabi buta, dan lagi-lagi semua serangannya dimentahkan oleh Nanto yang justru sanggup menekan balik. Meski sudah berpengalaman bertarung, tak urung rambut ungu pun kewalahan menahan serangan dengan kecepatan tinggi seperti ini. Napasnya kembang kempis karena terhanyut dalam badai adu pukulan.
Ini sebenarnya siapa yang menyerang siapa!?
Meski rambut ungu bergerak maju dan melontarkan serangan demi serangan, justru pukulan dari Nanto-lah yang beberapa kali telak mengenai sasaran. Kalah cepat, kalah napas, dan kalah tenaga, konsentrasi rambut ungu buyar. Pemuda punk itu akhirnya gagal menahan laju deras serangan dari Nanto. Rantai pukulan dari tinju kanan dan kiri si bengal itu semuanya masuk.
BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!
Di tengah dada, tengah dada, dada, dada, dada, dada, dada.
Sang pemuda punk terhuyung ke belakang, namun Nanto tak menghentikan hujan pukulan cepatnya. Tubuhnya tegap berdiri dan konsisten pada satu posisi, sementara kedua tangannya bergerak cepat bak kesetanan dan terlontar begitu saja. Nanto seakan-akan hanya butuh memutar pinggulnya ke kanan dan kiri saja untuk melontarkan serangan yang semakin tajam dan menyengat.
Tentu saja rambut ungu tidak mau menyerah dan pasrah menerima pukulan demi pukulan. Ia tetap mencoba menghindar, menangkis, dan menyerang si bengal, namun tiap kali ia menyerang, justru pukulan dari Nanto yang masuk. Dari manapun arah serangan si rambut ungu.
Kiri, kanan, atas, bawah, tengah, kanan, kiri, atas, bawah, tengah, tengah, kanan, atas.
Semua mentah.
Rantai pukulan dari Nanto kembali menyerbu.
BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!
Di tengah dada, tengah dada, dada, dada, dada, dada, dada.
Tubuh rambut ungu goyah, pertahanannya terbuka lebar.
Si bengal menarik kepalan tangan kiri ke belakang untuk sepersekian detik dan dengan satu sentakan melontarkan sambaran kencang ke rahang si rambut ungu.
BLETAAAGGG!
Si rambut ungu pun terlempar dan jatuh terlentang, wajahnya terasa panas bagai dibenturkan ke tembok.
Huff. Huff. Huff.
Ia mengira akhirnya bisa menarik napas.
Sial baginya, Nanto ternyata tidak berhenti menyerang. Si bengal itu mengejar, berdiri di atas si rambut ungu, dan kembali melontarkan pukulan beruntun bak laju kereta api bertenaga uap; cepat, kuat, ganas, dan tanpa ampun.
Kali ini semua laju kepalan ditujukan ke arah satu titik target: rahang kanan si rambut ungu yang baru diterjangnya.
BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!
Si rambut ungu bahkan tak mampu mengangkat kepalanya! Ia mencoba menggunakan tangan untuk melindungi wajahnya yang menjadi sasaran serangan bertubi-tubi dari Nanto. Namun Nanto tak memberi jeda dan tangan rambut ungu tak sanggup menghadang. Pukulan demi pukulan akhirnya terlepas dan si rambut ungu kian tak berdaya menerima hujan pukulan dari si bengal.
Tangan rambut ungu terkulai, tak lagi menghadang. Ia tersengal-sengal, wajahnya lebam dan darah mengucur dari mulutnya.
Nanto siap melontarkan satu pukulan pamungkas, namun terhenti ketika ia melihat rambut ungu sudah benar-benar lemas. Si bengal berhenti sesaat sebelum ia benar-benar menuntaskan nyawa rambut ungu yang sudah tak mampu lagi mengucapkan suara. Mulut pemuda punk itu tersedak-sedak dengan darah buyar dari mulutnya.
Dua bayangan mendekati Nanto dan Si rambut ungu.
“Baaang! Cukup, Bang! Jangan, Bang. Kami mohon ampun, Bang. Kami minta maaf.”
Ucap si gondrong yang buru-buru menghampiri Nanto sambil mengeluarkan uang dari dompet dan kantong celananya. Begitu pula si leher tato, ia juga mengeluarkan uangnya. Mereka meletakkannya di samping si rambut ungu.
Mereka tidak mau mati di sini.
“Ini Bang, ini semua uang kami. Yang ini dua ratus benar-benar uang yang kami punya. Bukan hasil ambil setoran keliling.”
Nanto mengatur napas yang terengah usai mengeluarkan hujan pukulan yang membuat rambut ungu tak berdaya. Ia berdiri dan melangkah pelan untuk mengambil uang dari para preman. Pemuda berambut cepak itu menunjuk ke arah si rambut ungu tanpa menatap ke si gondrong dan si leher tato.
“Yang… dari… dia. Ambil!”
Buru-buru si leher tato merogoh dompet dan kantong yang ada di pakaian si rambut ungu dan menyebar semua uang yang ia dapatkan di depan Nanto. Uang ratusan ribu tersebar begitu saja di tanah lapangan malam itu. Bangsat, banyak juga kompasan tiga babi guling ini.
Apalagi sekarang?
Baik si gondrong maupun leher tato menunggu reaksi Nanto.
Nanto melirik. “Ngapain kalian masih di sini? Minggat!!”
Kembali si leher tato dan si gondrong tergopoh-gopoh, kali ini mereka berdua mengangkat si rambut ungu untuk meninggalkan tempat itu. Darah berkucuran dari ketiga sosok preman yang baru saja kena hajar. Entah apakah mereka akan mengacau lagi di tempat ini atau tidak, yang jelas urusan mereka dengan si bengal hari ini sudah usai.
Nanto mengumpulkan uang yang berserakan dan mengambil dua lembar uang ratusan yang tadi dibilang uang para pemuda punk itu sendiri. Mudah-mudahan cukup untuk membenahi motor Om Darno. Sisanya yang masih sangat banyak ia serahkan ke Bapak Tukang Ronde.
“Pak-e. Ini nitip ke Bapak ya. Ambil saja kalau tadi uang Bapak ada yang diambil.” Pemuda bengal itu lantas berucap lantang, “buat yang tadi dikompas preman-preman. Uangnya ada di bapak ini, ya.”
“Iya, Mas.”
“Makasih, Mas.”
“Baik… baik, Mas.”
“Makasih banyak, Mas!”
“Ka-kalau saya minta uang saya yang tadi dikompas boleh, Mas?”
“Saya juga, Mas. Modal saya tadi habis diambil mereka bertiga.”
“Mas…”
“Mas…”
“Mas…”
Bapak ronde yang mengenal teman-teman penjaja makanan mengembalikan uang hak masing-masing dengan senyum terkembang. Seakan ada beban yang terlepas dari tubuhnya malam ini. Ia bersyukur sekali.
“Ono opo iki? Ono opo iki? Kok rame men ono opo? Ada apa ini kok ramai sekali?”
Seorang polisi memasuki arena, orang-orang yang berkumpul pun menunjuk ke arah jauh, menunjuk para preman berpakaian punk yang meninggalkan lapangan dengan tubuh dan wajah tak karuan. Sang polisi terkejut saat melihat ketiganya melangkah pergi. Ia tahu dan kenal pemuda-pemuda punk itu. Mereka memang sering dibawa ke kantor polisi karena berbagai masalah dan kasus pelanggaran. Sepertinya mereka membuat masalah lagi dan kali ini ketemu batunya.
Siapa yang bisa membuat mereka babak belur seperti itu?
Kepalanya berputar ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari sosok orang yang sekiranya mampu melakukan ini semua. Yang mana orangnya?
Orang-orang yang berdiri mengelilingi bapak ronde juga melihat sekitar, mencari dan menelisik.
Tak ada.
Mereka memang tak akan menemukannya.
Karena saat itu Nanto sudah tak ada di situ.
.::..::..::..::.
Syukurlah motor Om Darno masih bisa dipakai tanpa masalah. Dengan napas tersengal-sengal, Nanto mengendarai motor itu secepat yang ia bisa. Kampret, pertarungannya yang barusan bikin ngos-ngosan aja. Ia butuh minum dingin, haus banget rasanya. Wajahnya juga terasa linu karena pukulan si kunyuk berambut ungu tadi sempat masuk beberapa kali.
Bajinguk. Kunyuk yang satu itu ternyata bisa juga bikin pegel di wajah. Nanto menggerak-gerakkan pipi untuk menghilangkan rasa linu. Tentu saja tidak ada efeknya. Paling banter cuma merubah wajahnya menjadi lebih elastis seperti jin-nya Aladin versi kartun.
Belum sampai satu kilometer ia melaju dari lokasi pertarungannya tadi, Nanto belok ke arah ruko Indom@ret. Dia harus minum, hausnya kebangetan. Isi tenggorokan dengan yang seger-seger biar tidak kering begini. Air minum putih dingin aja cukup. Beli yang botol kecil aja kali ya?
Setelah memarkir kendaraan, Nanto lantas masuk dan membeli minuman yang ia inginkan.
Di depan mart terdapat kursi dan meja yang memang sudah disediakan jika ada yang ingin beristirahat. Di situlah Nanto kemudian duduk, menghela napas, memejamkan mata dan menempelkan air minum kemasan dingin berukuran kecil ke pipinya yang linu. Nyesss.
Ah enak sekali rasanya.
Nanto membuka tutup minuman kemasan itu dan segera melepas dahaganya.
Uaaahh! Seger, Nyuk! Nek ngene lak mantep to. Kalau begini kan mantap. Ia jadi bisa…
Bisa…
Bisa…
Hmm…
Badalah. Lha kok wes entek banyune, Nyuk? Kok sudah habis aja nih air minumnya?
Mana masih haus lagi. Kenapa juga tadi dia beli ukuran kecil. Sok hemat sih. Jadinya nyesel, kan? Haeh. Apa ya harus beli lagi? Tahu gini kan tadi ambil saja yang ukuran medium atau large. Masih belum membuka mata dan mencoba beristirahat sejenak, Nanto meletakkan botol minum yang kosong ke meja.
Terasa angin bergerak.
“Keren tadi, Mas. Akhirnya ada yang bisa menghajar preman-preman itu.”
Nanto terhenyak. Saat membuka mata ia baru sadar ada seorang gadis yang duduk di kursi yang ada di sebelah meja di sampingnya. Di atas meja yang tadinya hanya terdapat botol kosong, kini terdapat minuman pengganti ion yang hilang, coklat SilverKing, dan sepotong roti coklat Dariroti Roti Dariroti.
“Itu buat Mas. Ucapan terima kasih. Atas semua yang Mas lakukan pada preman-preman di lapangan tadi dan mengembalikan uang yang mereka tarik paksa. Maaf cuma bisa seadanya ya, Mas. Sekali lagi terima kasih dari kami.”
Nanto melihat ke sekeliling, seakan-akan jika ia menemukan sesuatu ia akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang ia sendiri bingung apa pertanyaannya. Mulut pemuda itu terbuka. Apakah gadis ini mengikutinya sejak tadi? Sejak dari lapangan?
“Sejak kapan…?”
“Apanya yang sejak kapan?” gadis itu mengejapkan matanya yang bulat.
Badalah. Kok manis men, cah. Pertahanan Nanto langsung runtuh kalau menghadapi makhluk yang manisnya kebangetan seperti ini. Gawat, bisa-bisa diabetes.
Nanto mulai mengamati. Wajah gadis ini seperti yang tadi sudah ia pastikan, amat manis. Ia terlihat dewasa meski rasanya masih seumuran dengan Nanto. Kulitnya putih, suaranya merdu, rambut panjangnya indah, dan tubuhnya langsing. Kelihatannya seperti seorang gadis yang sporty dan mungkin sedikit tomboy. Ia mengenakan baju jersey bola dari tim Manchester merah dan celana jeans ketat yang membungkus sepasang kaki jenjang. Gadis itu juga mengenakan topi snapback yang dipasang terbalik.
Duh, anake sopo ikih? Anak siapa nih nyasar di sini?
“Apakah kamu mengikuti aku sejak dari lapangan?”
“Hah? Oh nggak. Aku nggak mengikuti Mas-nya dari sana. Asli, Mas. Aku jujur kok.” Gadis itu pun tersenyum.
“Lalu dari mana…?”
“Dari mana aku tahu apa yang terjadi tadi? Aku mengenali Mas-nya dari ini.”
Si gadis muda membuka hape, menarik-narik layar dan memencet aplikasi WhatsApp. Dibukanya grup bertuliskan Paguyuban Lapangan Aselole. Ada sebuah pesan video di sana. Gadis itupun memencet tombol play dan menunjukkannya ke Nanto.
Nanto mengernyitkan dahi dan terbelalak saat melihat aksinya menghajar tiga orang preman direkam oleh salah satu penonton pertarungannya tadi. Sial! Gimana nih kalau viral dan ketahuan polisi? Bisa-bisa diciduk! Mana wajahnya beberapa kali terlihat jelas pula. Hadeh.
Sang gadis sepertinya mampu membaca wajah terkejut Nanto. Ia tertawa geli.
“Hahaha, jangan khawatir, Mas. Kami ga akan menyebarkan video ini kemana-mana kok, hanya untuk konsumsi informasi kelompok penjaja makanan di lapangan saja, grup WhatsApp ini adalah grup paguyuban kami. Jangan khawatir, videonya tidak akan tersebar. Begini-begini kami juga punya rasa setia kawan. Kami tidak akan mengkhianati orang yang sudah susah payah membantu dan berjuang untuk kami. Jadi… sekali lagi terima kasih, Mas. Sungguh kami berterima kasih.”
Nanto menarik napas panjang, dia memang kurang berpikir panjang tadi. Oke paguyuban entah apa ini berjanji untuk tidak menyebarkan rekaman mereka, tapi bagaimana seandainya tadi ada banyak yang merekam aksinya? Siapa yang dapat menjamin rekaman itu tetap aman? Tidak ada kan. Bisa saja tetap akan tersebar. Lain kali ia harus benar-benar memperhatikan lingkungan jika terulang hal yang sama. Tidak boleh gegabah!
Wooi! Termos bocor!! LAIN KALI? Lain kali apaan!!! Memangnya mau berantem terus sampai tua!? Kamu itu siapa? The Undertaker? Barry Prima? Cukup lah! Jangan kecewakan Om Darno dan Tante Susan dengan kebengalanmu!
Nanto mengangguk-angguk mengikuti kata hatinya, iya ya. Sudah cukup berkelahinya! Sudah cukup! Dia pulang ke kota untuk belajar! Bukan untuk tampil di Wrestlemania! Dia kembali ke kota ini untuk meraih masa depan yang lebih cerah! Bukan untuk mengulangi lagi gelapnya kehidupannya yang lama! Sudah ya? Cukup tadi yang terakhir, ya?
Gadis di samping Nanto tertawa geli dengan manisnya saat melihat pemuda itu mengangguk-angguk sambil ngelamun sendiri. Nanto jadi salah tingkah. Duh cewek ini. Sudah aduhai, nggemesin pula. Jadi berasa pengen ngremes-ngremes.
“Jangan ngelamun ah, Mas. Takut disamber setan iseng, ntar kerasukan lho. Mending kalau setannya lulusan S2 jadinya pinter, kalau setan bencong gimana? Kan jadi melambai.” Kembali gadis itu tertawa renyah. Lebih renyah dari keripik kentang berselimut bumbu seaweed. Ia pun segera mengulurkan tangannya dan tersenyum manis. “Lebih baik kenalan aja yuk. Aku Nuke, Nuke Kurniasih, mahasiswi Fakultas Komunikasi, Universitas Daya Guna.”
Ada cewek manis ngajak kenalan. Mosok ya mau ditolak?
“Nanto. Calon mahasiswa UAL.”
“Heh? Calon? Kirain udah kuliah, Mas.”
“Hahaha. Baru mau kok.”
“Jadi baru mau masuk ya? Mudah-mudahan semua lancar, Mas. UAL bagus kok. Banyak temenku di sana. Di UAL ambil apa, Mas?”
“FTI. Amin. Makasih ya, Nuke.”
Nanto tersenyum. Ada apa hari ini ya? Rasanya kok seru banget sedari pagi. Pagi tadi dia mencium Bu Asty, sore dia nganterin Hanna pulang, dan malamnya dia kenalan dengan Nuke. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Ah, berasa ganteng banget deh dia hari ini. Serasa tokoh utama.
“Video ini tadi yang ngirim pacar aku, Mas.”
Kampret.
Jebul wes duwe pacar. Ternyata sudah punya pacar.
“Yang ngirim pacar kamu?”
“Iya, dia buka usaha kentang tornado di lapangan. Biasanya sih yang jalanin anak buahnya, tapi malam ini pas kebetulan anak buahnya sakit jadi dia yang jalanin sendiri. Dia salah satu yang sering dikompasin anak-anak preman itu, Mas.”
“Oh gitu… Mereka sering datang ya? Kasihan kalau yang kena kompas kayak bapak-bapak tukang ronde seperti tadi. Seharusnya ada cara yang lebih patut untuk mencari rezeki.”
“Yes. Nah itu, Mas Nanto. Kami sudah sering mengajukan protes baik ke mereka ataupun ke polisi terdekat karena cara-cara yang mereka lakukan kadang keterlaluan. Tapi hasilnya zonk, Mas. Mungkin polisi juga takut karena mereka berasal dari jaringan yang besar – jadi bukan cuma mereka bertiga saja anggota komplotan ini, Mas. Mereka anggota gang yang lebih besar yang sepertinya juga punya backing di kepolisian. Jadi ya gitu deh. Kami memang harus selalu menyiapkan dana lebih hanya untuk membayar mereka. Aslinya mereka bertiga itu cuma kroco, Mas. Remahan rengginang di kaleng Khong Gu@n.”
Nanto mengangguk-angguk, lalu berucap. “Mudah-mudahan yang tadi itu cukup memberi efek jera, supaya mereka bertindak lebih sopan atau lebih beradab lain kali. Kalau untuk menghentikan mereka selamanya sepertinya memang tidak mungkin.”
“Amin, Mas. Mudah-mudahan ya. Pokoknya terima kasih banget Mas Nanto sudah bantuin kami tadi.” Kata Nuke. Tiba-tiba saja wajah gadis itu memerah. Semerah tomat tersegar di pasar pagi. “Mas Nanto… kira-kira kalau aku minta nomernya Mas boleh ga? Mungkin kapan-kapan kita bisa ngobrol di WhatsApp.”
Awalnya Nanto ragu-ragu, namun dia tersenyum dan meletakkan ponselnya ke atas meja. “Duh, maaf banget, bukan bermaksud tidak ingin memberikan nomer. Tapi hapeku batereinya habis. Padahal aku lupa nomerku sendiri. Maklum, nomer baru.”
Gadis itu nampak kecewa, namun setelah beberapa lama terdiam tiba-tiba saja wajahnya berubah menjadi cerah, “Ya udah… gini aja.” Sejenak kemudian Nuke merogoh kantong jaketnya, ia mengeluarkan kotak elektronik kecil yang disertai dengan sebuah kabel menjulur. “Ini powerbank aku.”
“Ya?”
“Mas Nanto pakai dulu biar bisa mengisi batere hapenya sampai penuh.” Nuke dengan cekatan menancapkan ujung kabel power dari powerbank ke lubang pengisi daya di ponsel Nanto yang kebetulan saat itu berada di atas meja. Setelah ditunggu beberapa saat, Nuke menyalakan tombol power hape Nanto.
Logo perusahaan ponsel asal Tiongkok muncul.
“Yess!” Nuke nampak ceria melihat usahanya berhasil. Gadis itu lantas mengambil spidol dari tas ranselnya, lalu menulis nomer di sebuah kertas yang juga ia ambil dari dalam tas. “Ini nomerku, disimpen ya. Pokoknya aku minta Mas Nanto suatu saat nanti hubungi aku, biar bisa balikin powerbank-nya langsung ke aku. Gitu ya! Yes! Ide cemerlang!”
“Heh! Apaan! Nggak ah! Kita kan baru kenal! Masa iya aku dikasih powerbank begini! Nggak ah! Aku ga bisa ambil. Ini sebentar lagi aku juga pulang kok. Aku pasti hubungi nanti.” Nanto melesakkan kertas berisi nomer milik Nuke ke kantong celananya. “Nih aku bawa nomernya.”
“Ga boleh bilang nggak, Mas. Pokoknya aku tunggu powerbank-ku dikembalikan suatu saat nanti. Kalau perlu ngembaliinnya di lapangan, pasti banyak yang senang dengan kehadiran Mas Nanto. Kami traktir kentang tornado wes. Daaaah, Mas Nanto! Aku tunggu WhatsApp-nya yaaaaa!”
“Nuke!”
Gadis itu sudah berdiri dan berlari meninggalkan Nanto.
Apa-apaan sih ini? Kok jadi begini urusannya? Nanto memasuk-masukkan barangnya ke dalam tas plastik dan sudah bersiap mengejar Nuke ketika ponselnya yang sudah menyala tiba-tiba saja berbunyi.
Ding!
Dengan rasa penasaran Nanto membuka kunci layar smartphone yang diberikan oleh Tante Susan. Jangan-jangan Om Darno dan Tante Susan mencarinya? Duh, bagaimana ya caranya menjelaskan soal motor yang penyok?
Tuh kan, ada satu pesan WhatsApp masuk.
“Kamu lagi apa? Asty.”
Nanto meneguk ludah.
.::..::..::..::.
Nanto terdiam beberapa saat lamanya sembari memandangi layar ponselnya, ia tidak berbuat apa-apa dan tidak mengejar Nuke. Nanto hanya berjalan ke parkir, menaiki motornya, mengenakan helm, menekan tombol starter, bersiap, lalu meninggalkan Indom@ret ke sebuah arah.
Ia tidak melihat Nuke yang masih mengawasinya dari suatu tempat.
Saat motor Nanto hilang dari pandangan, Nuke meraih ponsel di kantongnya. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan mencari satu nama. Saat menemukan nama yang dicari, Nuke memencet tombol telepon untuk melakukan panggilan.
Connecting. Ringing.
Klik.
Tidak perlu waktu lama sebelum telponnya diangkat.
Terdengar suara dari seberang sana.
“Halo Bang, sudah aku dapat nama dan orangnya.” Kata Nuke. “Kebetulan banget aku ketemu di Indom@ret deket pengkolan Tugu Bebek.”
Terdengar kembali balasan.
“Ya. Dia yang menghajar Eben dan dua yang lain di lapangan. Aku yakin sekali ini orang yang sama, pakaian, wajah, dan sosoknya persis seperti yang dikirim di video WhatsApp.”
Terdengar kembali balasan.
“Ya. Kalau Abang mau balesin dendam Eben, aku tahu di mana kita dapat menemukan orang ini. Dia mahasiswa. Baru masuk kuliah, katanya di UAL. Kalaupun tidak ketemu, aku sudah foto nomor plat motornya. Backing Abang di pusat bisa ngelacak alamatnya kan? Ada kemungkinan juga suatu saat nanti dia mengontak nomerku.”
Kali ini terdengar tawa lantang. Lalu kembali terdengar balasan dan telpon pun ditutup dari sisi sana.
Gadis itu tersenyum, dan meletakkan ponselnya kembali ke kantong celana.
Maaf, Mas Nanto.
Sekarang gilliran kami yang akan menghajar kamu.
Bersambung