Part #3 : DI ATAS NORMAL
Berubah dimulai dari dalam ke luar.
Kita memulainya dengan memperbaiki sikap kita,
bukan dengan mengubah kondisi di luar kita.
– Bruce Lee
Hanna Dwi Bestari tidak percaya kalau pria yang tadi membuat keributan dengannya sekarang sedang memegang ponselnya yang tertinggal. Bisa-bisanya orang ini…? Eh tunggu dulu, jadi sejak siang tadi dia menunggu di sini?
Wih, mantep juga .
“Iya. Itu hapeku. Terima kasih sudah menyimpannya.”
Nanto tersenyum, “sama-sama. Tapi aku harus pastikan dulu, takut kan kalau ponsel sebagus ini jatuh ke tangan yang tidak berhak.”
Hanna mencibir sinis, “Maksud kamu apa?”
“Nama kamu Hanna?”
Halah. Modus.
“Iya. Nama aku Hanna. Di situ pasti sudah tertera kan, Hanna Dwi Bestari. Apalagi yang ingin kamu ketahui? Aku masih kuliah. Fakultas Ekonomi, Universitas Sarjana Utama. Mau tanya apalagi? Nomer hape? Alamat rumah?”
“Hahaha. Tidak perlu sedetail itu.”
Hanna mendengus. Menunggu ponselnya diberikan, atau Jangan-jangan orang satu ini ada maunya? Ada udang di balik peyek?
“Oke… oke… berapa?”
“Maksudnya?”
“Terima kasih sudah balikin hape aku. Kamu minta imbalan berapa? Jangan banyak-banyak, aku bukan mesin ATM.” Hanna membuka tas jinjingnya, mengambil dompet, dan menghitung uang yang ada di lipatan dompetnya. Ia sudah siap menarik beberapa lembar uang.
Nanto tertawa. Ia mendekati Hanna, membuka telapak tangan gadis itu dan meletakkan ponsel sang dara di sana.
“Tidak perlu. Aku tidak butuh.”
Hanna menatapnya tanpa banyak bicara. Banyak kalimat terpikirkan, tapi tidak satu kata pun terucapkan. Orang ini…
Pemuda itu melangkah pergi dan melambaikan tangan tanpa membalikkan badan. ia hanya melangkah santai menuju ke arah motor Om Darno yang masih diparkir sejak siang. Sudah saatnya mengukur jalan lagi.
Hanna menarik napas. Dia agak malas berbasa-basi dengan orang asing, tapi orang ini tidak seperti yang ia perkirakan. Ia juga tidak seperti anggapan Glen – cowoknya yang di sepanjang jalan pulang tadi mengumpat dan mengucapkan nama-nama binatang yang ditujukan ke Nanto.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, si unik ini memang tidak seburuk yang ia perkirakan kok. Setidaknya ada tiga alasan yang membuat Hanna mengubah pendapatnya.
Pertama – siang tadi dia sudah minta maaf, meskipun kesalahan bukan sepenuhnya ada pada Nanto – dan mungkin justru dialah yang kurang berhati-hati. Kedua – pemuda ini tadi siang membersihkan lukanya tanpa diminta dengan cekatan. Tanda kalau dia sebenarnya bukan orang yang berwatak buruk. Ketiga – dia mengembalikan ponselnya yang tertinggal, bahkan hingga menunggunya datang, sampai sore pula, tanpa meminta imbalan.
Wow. Hari gini ternyata masih ada juga ya ksatria lontong di siang bolong.
“Tunggu!”
Nanto membalikkan muka dan menatap gadis jelita itu, “Ya?”
“Ka… kalau boleh aku mau minta tolong.”
“Minta tolong?”
“Iya.”
“Minta tolong apa?” Nanto berbalik badan dan menatap gadis yang wajahnya tiba-tiba saja memerah itu dengan curiga.
“Tolong antarkan aku pulang.”
“HAAAAHHHH!? Kok jadi aku yang nganterin kamu pulang!?”
“Yaa, abisnya… bapak ojeknya kan udah keburu pergi. Apa kamu tega membiarkan aku pulang sendiri seperti ini?”
“Ya kan bisa pesen ojek online! Kayak pas tadi kamu datang ke sini.”
“Hmm… ya udah, aku kan cuma minta tolong sama Masnya. Kalau si Mas ga mau ya tidak apa-apa. Yang penting kan udah usaha.”
Hanna meruncingkan mulut tanda cemberut. Biasanya kalau dia sudah manja begini, pertahanan para pria akan runtuh. Gadis-gadis cantik memang punya senjata pemusnah massal dahsyat yang dapat merontokkan pria paling tangguh sekalipun. Apalagi kalau secantik dan seseksi Hanna.
Gawatnya Nanto paling lemah kalau berhadapan dengan yang seperti ini.
Argh… kampret.
“Ya udah. Ayo.”
“Sip!!!” Hanna segera menghampiri Nanto.
Pemuda itu mengambil helm dan memberikannya pada Hanna. Karena tidak ada rencana untuk memboncengkan siapa-siapa, Nanto hanya membawa satu helm saja.
“Lho? Kok aku yang pakai? Kan Mas yang di depan. Kalau ada polisi bagaimana?”
“Rumah kamu di mana?”
Hanna menyebutkan nama sebuah perumahan terkenal yang juga diketahui Nanto, pemuda itu pun mengingat-ingat jalan menuju ke sana. Ah ya, sudah terbayang rutenya.
“Tidak masalah,” ujar Nanto. “Aku nanti lewat jalan tikus. Kita bisa sampai ke tempat itu tanpa melewati pos polisi atau perempatan besar.”
“Kalau ada polisi?” Hanna tetap teguh bertanya.
“Ya sudah, ditilang aja gak apa-apa. Helm itu kan bukan aksesoris pelengkap, aku mau kamu yang pakai bukan karena masalah polisi tilang menilang. Aku mau kamu yang pakai, supaya di jalan nanti kamu aman.” Nanto menunduk malu.
Sompret, yang begituan kenapa harus pakai dijelasin sih? Si bengal itu mengenakan jaket yang sejak tadi ia letakkan.
Hanna tersipu. Wajahnya kembali memerah. “Oh gitu…”
Nanto naik ke motor dan menyalakannya dengan menekan tombol starter. Hanna segera naik ke posisi belakang.
“Sudah siap?”
“Eh tunggu sebentar.”
“Apa lagi sekarang?”
“Aku belum tahu nama kamu, Mas.”
Nanto menarik napas panjang, “Nanto. Namaku Nanto.”
“Hahaha. Oke deh, Mas Nanto. Aku sudah siap.”
Motor itu pun melesat melalui gang demi gang dengan hati-hati, sudah berapa lama ya, Nanto tidak memboncengkan cewek seperti ini? Sudah terlalu lama. Di desa sih beberapa kali ada cewek yang kecantol, tapi tidak ada yang seperti Hanna. Beberapa kali kepala-kepala orang yang melihat keduanya berboncengan menengok karena penampilan Hanna yang memang memukau. Gadis seperti dia mungkin hanya pernah terbayangkan, bukan ditemui, apalagi diboncengkan.
Setiap kali ada polisi tidur, sebisa mungkin Nanto mengerem motor dari jarak jauh. Agar tidak kaget dan menahan agar posisi duduk Hanna tidak melorot ke depan mendadak. Jaim dikit lah jadi orang. Meski sempat beberapa kali gundukan gunung sempurna di dada sang dara itu nemplok bak telur ceplok memeluk wajan teflon di punggung Nanto.
Argh. Yang begini nih.
“Mas Nanto kerja jadi sales?”
“Ha?” suara angin mengaburkan pertanyaan Hanna.
“Mas Nanto sales? Bajunya putih item.”
“Oooh, nggak. Baru nyari-nyari kerja malah.”
“Oh gitu. Memang Mas Nanto lulusan mana?”
“Aku cuma lulusan SMA. SMA-nya di kampung pula.”
“Pantesan, kirain lulusan kampus mana gitu tapi kok masih muda banget.”
Jiah. Dibilang muda banget. Untung Hanna tidak melihat perubahan pipi Nanto yang membulat merah seperti tomat.
“Fresh graduate?”
“Nggak, sempat menganggur setahun. Ya bukan menganggur sih benernya, bantuin kakek di kampung.”
“Oh ya ya…”
“…tang…nya…” sekarang giliran suara Nanto yang tidak terdengar.
Eh? Apa? Kutangnya?
Hanna meneguk ludah. “Ha? Apa Mas? Aku ga denger.”
“Tangannya.”
Oh tangan… kirain.
“Kenapa tanganku?” Hanna membuka kaca helm supaya suara Nanto lebih terdengar.
“Sebenarnya tidak perlu diberi xxxPlast tidak apa-apa karena itu hanya luka kecil saja, malah kalau ditutup takut keringnya lama.”
“Oh ya ya.”
Wah, sejak kapan Nanto mengamati telapak tangan Hanna? Gadis itu hanya tertawa kecil. Ciee, perhatian juga ya.
Oh iya, tadi pas ngasih hape.
Karena suara keduanya tertelan angin, tidak ada percakapan penting lain yang terjalin selama perjalanan. Nanto hanya menjelaskan bahwa ia datang dari desa setelah beberapa tahun tinggal di sana untuk memulai hidup baru di kota ini. Ia juga bilang kalau sebentar lagi akan mulai kuliah di kampus UAL.
Sementara Hanna menjelaskan kalau pria yang datang bersamanya tadi bernama Glen, dan mereka sudah berpacaran sejak lama. Ia juga menceritakan bagaimana Glen marah-marah sepanjang perjalanan pulang dari Warung Mbah Wig.
Tidak lama, keduanya sampai di depan rumah Hanna yang cukup apik. Untuk sampai kesini, keduanya harus melalui pos satpam yang curiga dengan wajah tengik Nanto. Sejak kapan Non Hanna yang super cakep itu kenal laki-laki model remahan kapur barus begini? Ini ojek online bukan sih? Kok tidak pakai jaket hijau?
“Okeeeee. Sudah sampai. Terima kasih banyak, Mas Nanto.” Ujar Hanna ceria sembari turun dari motor. Ia melepas helmnya dan menyerahkannya ke Nanto.
“Sama-sama.” Nanto tersenyum dan menerima helm itu.
Hanna kembali hendak membuka dompetnya. “Sedikit ya, buat ganti bensin.”
“Eits, nggak ah. Kan aku sudah bilang tadi. Aku tidak butuh uangmu. Aku masih bisa cari uang sendiri.”
“Apaaan!! Kan katanya belum kerja!”
“Bukan berarti aku tidak punya uang to. Sudah, tidak perlu dirisaukan. Aku tidak pernah minta diberi imbalan.”
“Ya udah. Yakin nih tidak mau dibayar? Bahkan setelah mengantarkan ke rumah? Kan sesuai aplikasi?”
Nanto tertawa. “Nggak. Nggak usah. Dapet kenalan teman baru dengan cara unik seperti ini saja sudah jadi imbalan buat aku. Aku toh bukan ojek online, eh… ehmm… belum. Siapa tahu nanti banting stir jadi ojek online kalau ga dapat kerjaan.” Kata Nanto sambil mengenakan helmnya kembali. “Ya sudah, aku jalan lagi, ya. Mudah-mudahan suatu saat nanti ketemu lagi.”
“Eh iya, tunggu! Pokoknya tunggu sebentar.”
Sekali lagi Hanna membuat Nanto bertanya-tanya dengan sikapnya. Gadis itu merogoh tasnya, mengacak-acak, dan menarik kertas post-it note berwarna kuning. Hanna lalu mengambil pena dan menuliskan sebuah nama. Ia membuka ponselnya, mencari satu nama, dan menulis nomer ponsel seseorang di kertas kuning itu.
“Ini.” Hanna menyerahkan kertas itu pada Nanto.
“Apa ini?”
“Aku tahu Mas tidak mau diberi imbalan, tapi Mas Nanto kan sedang butuh kerjaan. Nama di situ adalah teman kuliahku yang sedang buka usaha, mungkin dia butuh karyawan baru. Tentu saja usahanya masih kecil, tapi barangkali bisa jadi batu pijakan buat Mas nantinya cari kerjaan yang lebih baik.”
Nanto manggut-manggut dan tersenyum, ia melipat kertas itu dan melesakkannya ke dalam dompetnya sendiri, “wah, makasih banyak ya. Kalau info yang seperti ini aku terima.”
“Nggak, aku yang terima kasih, Mas Nanto. Maaf kalau tadi siang sikap aku kasar ya.”
“Aku juga minta maaf untuk yang siang tadi.”
Keduanya lantas saling senyum dan bersalaman. Sekali lagi Nanto menyentuh tangan halus gadis jelita itu, memang asli mulus dan lembut. Mana wangi banget pula cewek ini.
Nanto pun memencet tombol starter dan menarik gas perlahan, membawa motor itu meninggalkan sang dewi jelita yang entah kapan akan ditemuinya kembali. Mungkin tidak akan pernah? Motor Nanto melaju dengan kecepatan yang meningkat, membawanya pergi dari rumah Hanna, sementara gadis itu tak melepas kepergian Nanto sebelum pemuda itu benar-benar hilang dari pandangan.
Nanto membuka kaca helm dan tersenyum saat wajahnya terkena angin malam.
Hari ini ternyata hari yang seru.
.::..::..::..::.
Asty mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan melangkah ringan menuju kamarnya. Di sana sang suami tengah duduk di ranjang sambil menonton TV. Di rumah Asty dan Adrian, memang ada dua TV, satu di ruang tamu dan satu lagi di kamar tidur.
Adek sudah tidur di kamarnya, jadi Asty pun menutup pintu kamar. Guru muda jelita itu lalu melepas handuk dan duduk di sebelah Adrian tanpa busana. Sang suami tentu saja meneguk ludah melihat keindahan tubuh istrinya terpampang jelas di sebelahnya. Lekak-lekuk tubuh bak Dewi Venus yang secara sah ia miliki itu memang membuat Adrian tak henti-hentinya bersyukur. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?
“Kok nonton TV-nya ga pakai baju?”
“Lebih adem begini.” Kata Asty sambil tersenyum menggoda.
“Wadidaw.”
“Ga ada lembur kerjaan?”
“Udah barusan selesai, ga sabar pengen ngerjain istri aja.”
“Ish!” Asty mencubit suaminya dengan genit.
“Hei! Siapa yang godain duluan, coba.” Adrian mengecup pipi sang bidadari. “Kalau aku perhatiin, toket kamu kok sepertinya jadi lebih gedean ya, sayang?”
“Masa sih?”
“Coba sini aku ukur lagi.”
Yeee. Bilang aja mau grepe-grepe.
Tanpa babibu, Adrian segera menggerakkan tangannya untuk meremas-remas dada montok Asty. Sejak kenal pertama, Adrian memang kesengsem berat dengan dada sempurna sang bidadari. Wajahnya yang jelita ternyata dilengkapi pula dengan tubuh seksi menggoda, semua itu tersembunyi di balik kerudung penutup aurat yang membuatnya menjadi satu-satunya lelaki paling beruntung di dunia yang secara sah dapat melakukan hal apa saja pada tubuh molek Asty.
Kepala Adrian maju dan menyelinap di leher harum sang istri, mengendus, mencium, menjilat, menikmati tiap jengkal rasa nyaman yang disediakan bidadarinya yang molek. Laki-laki itu membuka kaos dan celana pendeknya, lalu melepas celana dalam dan akhirnya bugil di hadapan Asty.
Sang guru muda jelita melihat suaminya sudah bersiap, badannya yang gempal dan perutnya yang besar terpampang jelas di atas benda tumpul mengacung tegak, siap dilesakkan. Adrian memang bukan laki-laki paling atletis di dunia, tapi dia telah memberikannya kehidupan yang menyenangkan dan seorang buah hati yang lucu. Asty pun membuka lebar-lebar kakinya agar penis sang suami bisa secepatnya disangkarkan.
Tapi tidak semudah itu dong. Adrian terkekeh, ia melebarkan kaki Asty agar ia bisa menyelipkan kepala di antara selangkangan sang istri. Pria itu juga membuka dua bibir pintu surgawinya dengan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah. Tanpa perlu basa-basi, tukar pikiran, atau brainstorming, Adrian menjulurkan lidah menyentuh bibir kemaluan Asty. Menciptakan sensasi ledakan energi bak setrum mengalir di sekujur tubuh indahnya.
Suami Asty itu mulai menjilati daerah sela paha sang istri, menyapu bibir vaginanya ke atas bawah, bawah atas, atas bawah, balik lagi bawah atas. Bolak-balik terus menerus, membuat Asty melenguh dan mencengkeram seprei untuk mengarungi rasa nikmat tak tertahankan yang menginvasi bibir liang cinta paling rahasianya.
“Terussss, sayaaaaang. Aaaaaahhhmmm… enaaaaakgghk.” Erang si cantik itu.
Makin lama, Adrian semakin terpompa birahinya dan melahap bibir liang cinta Asty dengan buas. Ia tenggelam di sela paha putih mulus Dewi Venus-nya dan makin kencang menggerakkan lidah. Geli bercampur birahi membuat kaki Asty bergerak secara reflek, mengatup dan menjepit kepala sang suami.
Adrian tertawa karena kepalanya terkatup, ia pun mendorong dan memposisikan kaki Asty supaya kedua kaki jenjang itu berada di samping kepala sang bidadari dan bagian selangkangannya tertarik ke atas tepat ke posisi strategis Adrian. Dengan posisi ini sang suami bisa dengan mudah memainkan liang cinta Asty.
Si cantik itu mengerang dan melenguh tanpa daya karena setelah posisinya seperti itu, bertubi-tubi serangan dilancarkan oleh Adrian, mulai dari ciuman, jilatan, hingga gigitan yang dikombinasikan dengan permainan jari yang membuat bibir vagina sang bidadari bagai diacak-acak kenikmatan.
“Aaaaaahhhhh…. aaahhhhh… ahhhhh…” erangan demi erangan keluar dari mulut mungil sang Dewi Venus. “Masssshhhh…”
Oke, cukup posisi seperti ini. Adrian pun lantas berbaring terlentang dan menarik tubuh Asty supaya naik ke badannya. Kini selangkangan Asty tepat berada di atas mulut Adrian. Pria beruntung itu melanjutkan niatnya, mencium dan menjilat kemaluan sang istri.
Asty sendiri merem-melek keenakan, ia memaju mundurkan tubuh dan menggesek-gesek bibir cintanya ke mulut sang suami. Ada cairan yang mengalir dari sela-sela liang vagina Asty, entah itu cairan apa. Tapi Adrian dengan penuh nafsu menyeruputnya tanpa sisa, seperti anak kecil yang membersihkan sisa-sisa eskrim di mangkoknya.
“Mhaaaaassshh… ooooohhh…!! Haaaaaahhhh!!” dengan napas tersengal-sengal Asty memutar badannya, kali ini meski ia tetap mengangkang di atas wajah sang suami, namun Asty dapat bertemu langsung dengan batang kejantanan Adrian.
Dengan vagina masih dijelajahi lidah Adrian, Asty gerak cepat menjilati batang kemaluan sang suami dari atas ke bawah, bawah ke atas, melingkar, ke pucuk, melingkar, ke bawah, melingkar di kantong zakar, turun hampir ke bagian terujung bawah.
“Hmmmmm… essssttt… enaaaaakggghhh!!” Adrian ganti mengerang dan menggigit klitoris Asty dengan gemas.
Ketika sang suami mulai bermain di klitorisnya, maka seluruh jiwa Asty seakan tercabut terbang tanpa tahu jalan pulang kembali ke badan. ini nikmat sekali! Cairan makin deras mengalir dari memek sang Dewi Venus. Adrian pun menjilatinya, bagaikan menghabiskan satu mangkok kuah ternikmat yang pernah ia rasakan. Apalagi saat itu lidah Asty juga bermain dan melingkar-lingkar di ujung gundul penis sang suami.
Setelah beberapa saat menikmati tubuh masing-masing dengan posisi yang katanya 69, Adrian membalik badannya sehingga wajahnya dan Asty bertemu.
Adrian mencium dan melumat bibir sang istri yang sungguh nikmat seperti surga dunia. Lidahnya bergerak, menjelajah, menuntut, dan berkuasa di rongga mulut Asty. Sang istri pun tak mau kalah, ia memainkan lidahnya untuk membelit lidah Adrian.
Ketika bibir mereka berpisah, ludah keduanya terpaut dan menempel.
“Sekarang?” bisik Adrian perlahan sambil tersenyum.
“Iya sekarang.” Asty membalas senyumannya.
“Boleh bikin dedek baru?”
Asty tersenyum. “Selamat ulang tahun, sayang.”
Adrian melebarkan kedua paha sang istri, dan dengan hati-hati sekali ia memasukkan kontolnya memasuki vagina Asty. Batang kejantanan kencang bagai batang kayu itu bergesekan dengan dinding kewanitaan sang bidadari, inchi demi inchi penis sang suami menguasai liang lentur penuh nikmat milik Asty. Menguasai, merenggangkan, merengguk eratnya cengkraman.
“Mmmhhh…” desah Asty manja.
Memek si cantik itu terasa penuh, namun tidak perih, justru malah nikmat sekali. Adrian menggerakkan pinggulnya, sementara sang istri melingkarkan kaki di pinggangnya. Sang suami pun memompa perlahan, memberikan ketenangan dan membiasakan vagina Asty dengan batang kejantanannya.
“Emmmhh… ooohhh.” Kembali Asty mendesah manja.
Guru muda jelita itu masih memejamkan mata dan menerima begitu saja kontol sang suami yang masuk dan keluar dengan sangat perlahan. Tidak hanya begitu saja, Adrian juga mencium dan melumat bibir sang istri bagaikan ingin memakannya sampai habis tak tersisa, lalu turun ke bawah, ke buah dada sempurnanya. Bekas ciuman membekas di sekujur balon payudara montok milik Asty.
Si cantik itu menikmati tanpa dapat melawan, desahan demi desahan meluncur dari bibir mungilnya, terasa cairan cinta Asty mulai membanjiri liang Venus-nya, menenggelamkan batang kemaluan sang suami dalam tsunami kenikmatan.
“Mau ganti posisi?”
Asty meneguk ludah dan hendak mengucapkan kata, tapi kelu sekali lidahnya. Nafsu sudah menguasai tubuh guru muda itu dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Asty hanya mengangguk.
Melihat istrinya bersedia, Adrian menarik kontolnya dan berbaring terlentang. Asty pun menaiki kemaluan sang suami dan menurunkan tubuhnya. Si cantik itu menggapai kontol Adrian dan memasukkannya ke dalam liang cintanya perlahan-lahan.
Aaah. Enaaakghh.
Asty bergerak naik turun, sementara suaminya mendesak ke atas. Dengan begitu kontol Adrian laksana ditumbuk masuk memenuhi liang cinta Asty, membuat sensasi kenikmatan tak terperi. Sedikit membungkuk ke depan, Asty menyodorkan payudara montoknya untuk dilumat oleh bibir gemas sang suami.
Untuk beberapa lamanya, keduanya asyik dengan posisi ini. Saling menghentak, saling menuntut, saling memberikan kenikmatan paripurna. Maju mundur maju mundur maju mundur, goyang. Maju mundur maju mundur maju mundur, goyang
Huff huff huff.
Sampai Adrian dan Asty akhirnya sama-sama berhenti bergerak, mencoba menggapai udara yang terasa sesak karena tersengal-sengal. Keduanya basah oleh keringat. Asty mencium sang suami dan merubah posisi tubuhnya. Ia menungging di depan Adrian, pantat bulat sempurnanya diangkat menggoda, tidak perlu istirahat kan?
“Be… begini boleh?” tanya guru muda jelita itu.
“Begini justru aku paling suka, sayang.”
Adrian tidak menunggu jeda waktu terlalu lama dan menancapkan kontolnya ke dalam memek sang istri dengan kencang, bahkan terasa hingga sampai mentok di dalam. Dengan bertumpu pada kedua tangan, Asty memejamkan mata dan merasakan kenikmatan dari setiap sodokan tanpa ampun dari sang suami. Kali ini Adrian bergerak maju mundur dengan lebih cepat dan lebih dalam. Begitu nikmatnya serangan Adrian kali ini sehingga Asty tak mampu lagi bertahan untuk tidak berteriak.
“Teruuuuuuus Masss, entotin akkuuuuuuhhhh teruuuuussshhh, jangan berhentiiii… ayo bikin adeeeek lagiii..”
Bagai bensin tersiram api, Adrian menambah cepat memompa liang cinta sang bidadari, ditekannya secara kuat penisnya dalam-dalam, lalu ditarik hingga keluar dari vagina sang istri. Dilesakkan kembali, sampai ujung, lalu ditarik lagi keluar, masuk, keluar, masuk, keluar. Begitu terus sampai Asty mengerang tanpa daya dibanjiri birahi tak terkira.
“Aaaaawwwhhh”
Erang Asty kencang yang mulai tak tahan dengan permainan yang sangat nikmat ini. Ia melenguh tiap kali Adrian menghunjamkan penisnya ke dalam liang cintanya. Ia hanya dapat bertumpu pada kedua tangannya sembari memejamkan mata.
Setelah beberapa lama, Adrian mendorong dan menarik batang kejantanannya seperti sebelumnya, namun dengan ritme yang bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Pertanda kalau sebentar lagi suami Asty itu akan segera mencapai klimaksnya.
Benar saja…
“Harrrghhhhh!! Aku keluaaarrrrghhhh!!”
Erang kenikmatan Adrian terdengar di ruangan bersamaan dengan muntahnya cairan cinta kental di dalam liang kewanitaan sang bidadari. Pada saat yang bersamaan, Asty juga tersengal-sengal dan mengeluarkan cairan cinta kenikmatannya. Tercampur dan teraduk di dalam rahim sang guru muda yang jelita.
Adrian dan Asty sama-sama ambruk lemas. Adrian pun pindah posisi sedikit ke atas mensejajari posisi Asty. Ia memeluk, mencium dan menjilati wajah Asty dari posisi belakang, sementara sang istri meringkuk pasrah. Ia menunggu Adrian memenuhi liang cintanya dengan cairan cinta. Semprotan demi semprotan terasa dalam liang cinta sang bidadari. Satu kali, dua kali, tiga kali. Aaahhh.
Sembari mengatur tarikan napas yang tersengal-sengal, batang kejantanan Adrian mengecil hingga ke ukuran yang paling mini. Pria itupun menarik kontolnya dari dalam liang cinta sang istri dan disodorkan ke wajah Asty. Asty tahu apa yang diminta oleh sang suami. Tanpa membalikkan badan dan hanya memutar kepala, Ia pun mengulum dan menjilat batang penis yang sudah lemas itu dengan sebersih-bersihnya.
Huff.
Akhirnya kedua insan itu benar-benar terbaring lemas tanpa daya.
Masih dalam kondisi telanjang dan berkeringat, Adrian memeluk Asty dari belakang. Mengecup pundak serta pipi sang istri dan memejamkan matanya.
“Terima kasih sayang, kamu… luar biasa. Sungguh yang tadi nikmat sekali. Enak tidak?”
“Sama-sama, Mas. Iya, enak sekali. Kamu memang hebat, Mas.”
Adrian tersenyum dan memejamkan mata.
Kini justru Asty yang tidak bisa memejamkan matanya.
Ia sengaja membalik badan agar sang suami tidak melihat wajah cemasnya.
Kenapa… kenapa tiap kali ia memejamkan mata ia teringat wajah Nanto? Kenapa setiap kali ia mencium suaminya, yang ia ingat adalah ciumannya dengan mantan muridnya itu? Kenapa saat bersetubuh tadi ia justru membayangkan bocah bengal itu?
Kenapa?
Maafkan aku, Mas.
.::..::..::..::.
“Ada seribuan, Mas?”
“Bentar-bentar, Pak…”
Pulang malam-malam begini rasanya tidak enak kalau tidak membawakan oleh-oleh untuk Tante Susan dan Om Darno. Agak merasa bersalah juga Nanto membawa motor sang Om seharian, sehingga akhirnya ia memutuskan berhenti sebentar di kios Martabak R@hayu. Salah satu kios martabak yang disukai Ibu-nya bertahun-tahun lalu. Kalau beli martabak asin di sini tempatnya, martabak manis – atau terang bulan? Di sini juga. Kalau beli sate? ya di tukang sate lah.
Seribuan ya? Kantong celana kanan, tidak ada. kantong celana kiri, tidak ada. jaket? Tidak ad… saat Nanto merogoh kantong jaketnya. Ia mengernyitkan dahi.
Eh? Kok ada duit di sini?
Ketika menarik tangan, Nanto ikut menarik juga selembar uang seratus ribu. Dari mana uang ini? Ia kan tidak pernah menaruh uang di kantong ja…
Ah. Hanna.
Gadis itu pasti memasukkan uang ini ke kantong jaketnya saat ia tidak menyadarinya tadi, saat mereka berdua berboncengan. Ucapan terima kasih karena telah mengembalikan ponselnya. Haeh, apaan sih mesti pake ginian segala. Nanto kan tidak berharap imbalan apapun.
Ya sudahlah, tidak baik menolak rezeki, apalagi yang datang dari seorang bidadari.
“Maaf Pak, tidak ada seribuan.”
“Kembaliannya receh ga apa-apa ya, Mas.”
“Mboten nopo-nopo, Pak. Tidak apa-apa. Yang penting duit, Pak.”
“Hahaha, kalau seribuannya kacang nggak mau ya, Mas?”
“Hahaha.”
Wew. Garing.
.::..::..::..::.
Hanna meletakkan ponselnya di depan meja kaca riasnya, ia sudah selesai mandi dan berbenah. Dara itu kini sedang menyisir rambut panjangnya di depan cermin dengan pikiran yang melayang tak tentu rimba.
Secara reflek gadis itu mengelus pipinya.
Ia masih ingat betul tamparan di wajahnya saat ia secara ceroboh meninggalkan ponsel pemberian Glen di kampus dua bulan yang lalu, untung kemudian hape itu dikembalikan oleh salah satu teman yang menemukannya. Glen benar-benar marah besar saat itu. Ya, Hanna tahu harga ponsel itu sangat tinggi, tapi ia tidak pernah menyangka Glen akan menamparnya lagi.
Ya, menampar lagi. Kali itu bukanlah pertamakalinya Glen menampar Hanna. Sudah beberapa kali ia melakukannya, terutama kalau Hanna melakukan kecerobohan baik yang disengaja maupun tidak.
Entah berapa kali pula Hanna menutupi perlakuan kasar Glen di hadapan orangtuanya.
Itu sebabnya tadi Hanna memutuskan untuk kembali ke Warung Mbah Wig saat Glen sudah pulang ke rumah tanpa curiga, karena ia bisa dengan bebas datang ke warung simbah tanpa ancaman kekerasan dari kekasihnya. Harus diakui Hanna sempat khawatir ponsel itu sudah lenyap, ia sudah tahu resikonya. Itu sebabnya Hanna sudah mempersiapkan kartu kreditnya untuk membeli ponsel baru yang sama persis agar Glen tidak curiga dan lagi-lagi main tangan.
Wajah Hanna meredup di depan cermin. Akankah seperti ini terus, Hanna? Akankah kamu hidup dalam ketakutan, dan menikah dengan pria yang seperti itu? Bahkan sebelum kalian menjalin hubungan di bawah satu atap dia sudah bersikap sekasar itu.
Kenapa kamu pertahankan hubunganmu dengan Glen?
Glen adalah anak dari relasi ayahnya dan mereka berdua sudah bersama-sama sejak beberapa tahun yang lalu. Sebetulnya Glen adalah pria yang penyayang dan baik terhadap keluarga, entah sudah berapa kali keluarga Hanna diajak Glen liburan ke kota bahkan negara lain. Dari semua pacar yang pernah dibawa ke rumah, hanya Glen yang disetujui Ayah dan Bunda Hanna untuk menjadi pendampingnya. Apakah itu sudah cukup sebagai jawaban kenapa hubungan mereka masih bertahan?
Sebentar lagi mereka akan menyelanggarakan pesta pertunangan, meski Hanna dan Glen masih sama-sama kuliah dan belum bekerja. Namun Glen hanya tinggal menunggu waktu untuk mewarisi usaha Om David dan Hanna juga akan meneruskan bekerja di kantor ayahandanya.
Hanna tahu, hidupnya kini hanya untuk Glen.
Siapa yang dapat menghalangi takdir itu?
.::..::..::..::.
Nanto bersiul-siul sembari membawa bungkusan berisi martabak asin telor dua yang masih hangat ke parkiran motor yang berada di samping lapangan. Selain martabak, di tempat itu banyak penjual-penjual lain menjajakan dagangannya. Nanto happy juga. Lumayan juga nih, beli martabak bukannya duitnya berkurang – eh, malah nambah cepek. Hahaha. Makasih, bidadari cantik. Ga nyangka galak-galak baik juga tu cewek.
“MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!”
Terdengar suara teriakan dari sebuah gerobak yang menjajakan wedang ronde. Melalui cahaya lampu teplok remang-remang, seorang bapak pedagang ronde yang kurus merunduk ketakutan saat tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobak rondenya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.
“Den, gimana saya bisa bayar, Den… hari ini saja belum balik modal. Rondenya belum laku.”
“Ya bukan urusan kami, Pak! Uang keamanan belum dibayar! Kalau tidak bayar ya jangan jualan di sini! Laku tidak laku bukan urusan kami, Pak!”
“Woooo! Ngerti ora je!”
“Wes tuwo ra ngerti toto! Sudah tua kok tidak tahu aturan!”
Salah satu pemuda itu menendang roda gerobak ronde sehingga bergoyang keras. Bapak tua itupun berusaha menahan goyangan agar dagangannya tidak tumpah-tumpah.
“Jangan, Den… iya nanti saya bayar, Den…”
“Nanti ki kapaaaan? Sampeyan sudah jualan dari jam lima enam tadi, Pak. Dikira kami ga liat apa? Pokoknya gini, wes. Kalau hari ini ga bayar, gerobaknya ditinggal! Besok baru boleh dibawa kalau sudah ada duit!”
“Lhaaaa, saya jualannya gimana, Den? Jangan seperti ini lah, Den…”
“Lha ya embuh! Mana saya peduli sampeyan jualannya gimana! Memangnya keamanan itu ga penting apa? Kita di sini kerja, Pak! Bukan minta duit sembarangan! Semua yang jualan di sini juga bayar ke kami!!” pemuda punk yang rambutnya dicat warna ungu mendengus marah. Dia sepertinya yang dijadikan ujung tombak, karena dia yang sejak awal bacot melulu. “Pokoknya nanti jam 10 teng, saya balik ke sini lagi sudah ada duit! Ga peduli dari mana!”
“Oaalaaah, Den… dari mana uangnya Den…”
Teman si rambut ungu yang gondrong nanggung bercat merah melirik ke salah satu kaleng roti yang ada di gerobak ronde. Di sela-sela tutup kaleng terselip warna hijau uang dua puluh ribuan. Dengan tangannya yang panjang ia pun menarik kaleng itu dan membawanya pergi.
“Yang ini aku bawa dulu, Pak. Ini jaminan biar sampeyan nggak kabur.”
“Den!! jangan Den! Cuma tinggal itu uang saya, Den!!”
Ketiga pemuda punk itupun berlari meninggalkan gerobak ronde milik sang bapak sambil tertawa-tawa kasar. Tawa terbahak yang dibuat-buat, serak beriak didengar pun tidak enak. Bapak penjual ronde mencoba mengejar kaleng yang dibawa si gondrong nanggung, namun tiap kali si bapak mendekat, kaleng itu dilempar ke teman yang lain, begitu berulang-ulang. Banyak orang yang menggelengkan kepala melihat ulah ketiga pemuda urakan itu.
Satu ketika, kaleng yang dilemparkan hampir jatuh ke tangan sang bapak yang tangannya meraih-raih udara. Melihat hal tersebut, si rambut ungu pun mendorong sebuah motor yang diparkir untuk menutup jalur sang bapak.
Motor yang didorong si rambut ungu malah jatuh mengenai motor lain, dan motor itu jatuh ke motor yang lain lagi, dan jatuh mengenai motor yang lain lagi. Bagaikan domino berbunyi nyaring. Sang bapak yang tidak awas terdorong oleh salah satu motor dan terjerembab ke tanah, sementara kalengnya terbuka dan uang-uang hasil jualannya berceceran.
Mulut Nanto menganga melihat motor Om Darno jatuh dan penyok terkena gagang stang motor di sebelahnya. Pemuda berambut cepak itu segera berlari dan mencoba mengangkat motor yang menumpuk agar bisa mengangkat motor Om Darno.
Ketika motor Om Darno terbebas dan diangkat, Nanto memeriksanya.
Asem ik! Penyok cah!! Wuaaasu! Jingaaaan!!
Gimana nanti Nanto menjelaskan ini sama Om Darno dan Tante Susan? Bangsat-bangsat sok jagoan itu perlu sedikit dikasih obat murus-murus sepertinya!
Orang-orang yang motornya ikut jatuh ngomel-ngomel, namun tidak ada yang berani protes pada ketiga pemuda punk.
Setelah motor Om Darno disandarkan kembali dengan standar samping, Nanto mendatangi orang-orang yang sedang membantu sang Bapak Penjual Ronde berdiri dan mengumpulkan uang-uangnya. Nanto menarik selembar uang sepuluh ribu yang terselip di bawah ban sebuah motor dan memasukkannya ke kaleng si Bapak.
“Bapak mboten nopo-nopo? Bapak tidak apa-apa, kan?” tanya pemuda berambut cepak itu.
“Tidak apa-apa, Den.”
Wajah Bapak itu nampak bingung dan tegang. Ia takut dianggap bertanggungjawab terhadap motor-motor yang jatuh. Tapi tidak satupun pemilik motor yang menyalahkan si Bapak, termasuk Nanto. Karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri kejadian apa yang terjadi.
Ketiga orang pemuda berbaju punk itu malah duduk-duduk di dekat motor-motor yang jatuh dengan wajah yang tidak menunjukkan penyesalan atau kesalahan. Padahal salah satu dari mereka tadi mendorong motor itu dengan sengaja.
Oke sih, mereka mengucapkan minta maaf meskipun tidak ikhlas.
“Sori, Mas. Ra sengojo ki mau. Tidak sengaja beneran. Rapopo ya.” Cakap mereka pada setiap pemilik motor. Tapi mereka mengucapkannya sambil terkekeh-kekeh geli.
Mereka tahu tidak akan ada yang berani menyalahkan mereka. Seakan-akan mereka adalah penguasa seluruh lapangan dan para penjaja di tempat ini.
Nanto mendengus dan menggesek hidung dengan punggung tangannya.
Si bengal itu pun mendatangi ketiga babi guling berpakaian punk yang seenak wudel mereka itu dengan wajah tenang. Pemuda itu tahu ia sebenarnya tidak ingin hal seperti ini sampai terjadi, tapi ketiga orang itu sudah keterlaluan.
Apalagi motor Om Darno sampai penyok. Wes ra umum nek kuwi. Sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Ketiganya jelas menatap Nanto dengan pandangan sengit, siapa lagi orang ini? Orang sok jagoan dari belahan bumi mana yang berani-beraninya berhadapan dengan mereka di tempat ini?
“Oke. Pertama, yang tadi itu agak kurang ajar, ya. Yang muda seharusnya berlaku sopan dan hormat sama orang tua, bukan malah semena-mena. Jangan mentang-mentang kalian lebih kuat, lebih jago, lebih sehat, terus sok-sokan sama orang yang lebih lemah. Cari uang bukan begitu caranya.” Kata Nanto dengan santai, “Kedua, gara-gara kalian motor yang aku pakai penyok. Padahal itu motor pinjaman. Jadi itu artinya, aku minta ganti rugi dari kalian. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kalian memberi uangnya.”
“Wooooo! Wong gemblung! Orang gila! Kowe ki sopo–e, Su! Kamu itu siapa? Bisa-bisanya minta uang sama kami. Cah! Maju! Wong gemblung ini perlu dikempesin otaknya!”
Nanto tersenyum. Ia menekuk kepala ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jemarinya dengan tangkupan tangan.
Hari ini memang hari yang seru.
Bersambung