Part #5 : DI BALIK AWAN
Bakat terbentuk dalam gelombang kesunyian,
watak terbentuk dalam riak besar kehidupan.
– Johann Wolfgang von Goethe
Nanto membuka mata dan menggeliat.
Sinar matahari masuk ke dalam kamar dan langsung menerangi sudut-sudut gelap. Udara lembab semalam terbias digantikan oleh segarnya udara pagi yang menyelinap melalui liang angin-angin. Kamar yang tidak begitu besar terasa menjadi lebih luas ketika pagi menjelang. Suara motor terpacu menderu dan langkah kaki berderap terburu di luar sana membuat pagi ini terasa…
Terasa…
Terasa… apa ya…?
Indah mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan pagi ini. Berbeda barangkali lebih tepat. Ya, pagi ini terasa berbeda. Biasanya Nanto merasakan pagi di kamar yang jauh lebih sederhana, dengan suara salak si Sagu rewel membangunkan, lenguhan sapi yang bahagia menantikan datangnya rerumputan, gemericik air terkucur, dan keciap anak ayam yang bermain-main menikmati luasnya pekarangan – semua itu bahkan ketika matahari belum benar-benar menggantikan pelukan rembulan, kala sang surya dan dewi bulan masih saling melepas rindu di ufuk, di antara mega.
Bangun tidur dengan badan yang masih terasa pegal karena lelahnya kesibukan seharian kemarin, Nanto kembali menggeliat dengan nyamannya, malas rasanya beranjak. Bau kasur dan bantal teramat sedap. Kemarin harinya begitu padat dengan kejadian-kejadian yang tidak ia duga akan terjadi. Bahkan semalam ia mengakhirnya dengan… ugh.
Nanto mencari-cari ponselnya. Ia menemukannya di dekat meja, kelupaan ia charge sampai pagi. Kebiasaan buruk memang. Ia sering lupa mencabut kabel charger gara-gara ketiduran. Mudah-mudahan saja ponsel ini tidak gampang kembung baterainya.
Sambil tiduran kembali, Nanto membuka aplikasi WhatsApp. Memilih salah satu nama, lalu scroll ke atas, membaca percakapan sejak awal.
Pesan pertama sih simpel: “Kamu lagi apa? Asty.”
Tapi efeknya dong. Mata berkunang-kunang, jantung deg-degan, dan si otong denyut-denyut.
Ya. Bu Asty menghubunginya. Bu Asty yang itu. Yang cantiknya bikin jakun naik turun, yang seksinya bikin joni berasa seperti batang kayu jati. Bertemu Bu Asty itu ibarat candu, memabukkan. Kenapa sih Bu kamu harus semempesona itu? Kenapa kulitmu harus seputih pualam dan bibirmu begitu mungil minta dikulum? Yang lebih penting lagi… kenapa kamu… berstatus… istri orang?
Ah, Nanto. Apa kamu sedemikian payahnya sampai-sampai harus menganggu rumah tangga orang? Apa ga bisa cari cewek lain? Ayolah, Nyuk. Tidak ada hal positif yang bakal kamu dapat kalau begini terus. Kamu meletakkan hatimu secara gegabah di atas arang, hanya akan terbakar.
Nanto menarik napas yang terasa berat dan melirik ke arah ponselnya, ia lantas membaca lanjutan percakapannya, mengulang apa yang semalam terjadi sesampainya di rumah.
“Maaf baru balas, Bu. Saya tadi di jalan. Baru pulang.”
Semalam pesan itu baru dibalas lima belas menit kemudian.
“Tidak apa-apa. Kok baru pulang? Jalan-jalan sama Tante sama Om kamu?”
“Sendirian, Bu. Dari pagi saya belum pulang kok.”
“Haaaah!? Dari pagi? Dari sejak kamu ke CB?”
“Iya. Banyak banget kejadian hari ini. Hahaha.”
“Ealah. Ini anak kok betah banget ya main seharian, ga risih ga mandi. Jadi curiga.”
“Maksud Ibu?”
“Kamu nggak berantem lagi kan?”
Butuh beberapa menit sebelum Nanto membalas pesan itu. “Ibu sudah makan?”
“Heh! Kok ngalihin pembicaraan?”
“Lho, kan bukan kejahatan kalau nanyain Ibu sudah makan belum. Kebetulan di sini ada martabak, Bu. Barangkali Ibu berminat.”
“Pokoknya nggak ada berantem-berantem lagi, ya. Jangan ya.”
“Kenapa memangnya?”
“Ya ntar kan ada yang khawatir.”
Nanto mengirim emoticon senyum meringis. “Hahaha. Siapa yang khawatir?”
Sekali lagi butuh beberapa menit sebelum ada balasan dari sana. “Aku.”
Detak jantung Nanto bagai terhenti saat kata itu dikirim semalam, sekarang pun ia merasakan hal yang sama. Bahagia banget rasanya. Nanto mengirim emoticon hati.
Tidak ada balasan chat ataupun emoticon. Berapa lama pun ditunggu, tidak ada balasan. Padahal Bu Asty masih di posisi online. Setelah menunggu beberapa saat lamanya, Nanto lantas mengirim pesan berikutnya.
“Boleh tidak menanyakan sesuatu, Bu?”
Semalam, pesan itu dijawab tak lama berselang. “Boleh. Mau nanya apa?”
“Boleh tidak menyatakan perasaan ke orang yang disayangi meski lama tak bertemu?”
“Kenapa tidak? Boleh lah. Kamu lagi naksir seseorang?”
“Meski yang disayangi lebih tua?”
“Hmm. Tidak ada yang melarang. Tidak ada masalah. Cewekmu lebih tua?”
“Meski yang disayangi berstatus istri orang?”
Kembali tidak ada balasan. Nanto bahkan sampai mau tertidur semalam menunggu balasan dari Bu Asty. Balasan yang datang hampir seperempat jam kemudian, tapi Bu Asty tidak menjawab pertanyaannya. Guru muda jelita itu hanya membalas dengan pesan singkat berikutnya.
“Janji ya. Jangan berantem lagi.”
“Asal tidak ada yang cari masalah, saya tidak akan berantem kok, Bu. ibu tenang saja.”
“Ya sudah lain kali di sambung lagi. Aku mau tidur. Kamu jaga kesehatan ya.”
Yaaah. Kok udahan? Nanto ingin ngobrol lebih lama lagi. Coba dipancing.
“Suami sudah tidur?”
“Sudah.”
“Yakin nih tidak mau martabak?”
“Hahaha… lain kali, anak bengal. Tidur!”
Tidak ada percakapan lanjutan meski Nanto berharap lebih.
Nanto mendesah. Ya gimana ya. Gimana tidak tergoda, Nyuk. Bu Asty memang bikin kepala atas bawah pusing. Yang atas pikirannya pengen meluk, yang bawah blingsatan pengen masuk. Tapi dia itu istri orang, binor. Boleh lihat, ga boleh pegang. Punya etika dikit lah jadi orang.
Langit-langit ruangan yang berwarna putih ibarat langit cerah yang tersembunyi di balik awan. Bagaimana? Tambah ngilu baca chat itu? Salah sendiri memaksakan. Nanto menutup WhatsApp dan rasanya ingin sekali kembali mendekap bantal dan terlelap sampai malam.
Tapi ini sudah pagi, Nyuk! Ayo bangun, pemalas! Jadikan hari ini seseru kemarin!
Kamar yang berada di lantai dua ini sebenarnya tidak luas, dulunya tempat ini dipakai sebagai ruang setrika oleh Tante Susan dan Asisten RT-nya. Kini tempat ini disulap menjadi kamar sederhana yang memang sudah disiapkan untuk ditempati Nanto. Statusnya memang menjadi kamar pemuda itu meski hanya untuk sementara waktu, sampai dia mendapatkan kerja dan bisa menyewa kos atau kontrakan sendiri.
Pada kamar berukuran kecil itu, terdapat sebuah jendela swing. Nanto membuka jendela yang tanpa gorden dan mengamati pemandangan dari balik teralis. Udara segar masuk dan menyeruak ke dalam ruang paru-paru si bengal. Tidak sesegar udara di desa, itu pasti. Tapi setidaknya memberikan harapan akan hari yang menjelang.
Pagi yang akan berbeda dari pagi-pagi sebelumnya.
“Nantooo. Kamu sudah bangun? Turun ke bawah ya, le. Sarapan dulu, seadanya ini.”
Terdengar suara Tantenya memanggil Nanto dari ruang bawah, mungkin Tante mendengar suara jendela atas dibuka barusan. Agak terasa asing dan canggung memang mendengar suara tantenya, apalagi mengetahui istri Om Darno itu sudah menyiapkan sarapan untuknya. Suatu hal yang menjadikan hari ini… sekali lagi… sangat berbeda. Sebelum-sebelum ini mana pernah ia dibikinin sarapan oleh siapapun.
Boro-boro sarapan. Subuh-subuh sudah bangun dan jalan bersama Kakek dan Sagu ke hutan.
Sembari menekuk dan meregangkan badan, pemuda itu mengenakan kaos yang ia gantungkan di belakang pintu dan mengambil ponselnya.
Nanto kemudian menuruni tangga yang menghubungkan kamarnya di atas dengan ruangan makan di bawah yang mirip seperti joglo berukuran kecil. Di sekitar tempat makan apik tersebut terdapat kolam ikan mengitari, pohon dan taman yang asri, dan sebuah dapur tertutup. Kreasi ruang yang seperti itu membuat tempat yang sebenarnya sempit menjadi terlihat luas dan hijau, menyegarkan pandangan mata. Om Darno memang paling bisa kalau urusan dekor-dekor.
“Itu tinggal kamu yang belum makan, le. Sudah Tante siapin ya. Om sudah sejak tadi berangkat nganterin bocah-bocah sekolah. Tante sebentar lagi juga mau pergi.”
Di meja makan sudah terhidang nasi putih dan soto ayam dalam mangkuk terpisah. Ada juga tempe goreng garing, sate usus, telur asin dan sambal kecap. Behh… sedep kih.
“Kamu rencana hari ini ngapain? Mau nyari-nyari kerja lagi atau di rumah aja?”
“Hari ini hari apa ya, Te?” Nanto yang sudah duduk di meja makan melirik ke arah kalender tembok yang tak jauh darinya. “Oh, hari ini harus ke kampus. Ada pendaftaran ulang mahasiswa baru, ngumpul berkas-berkas gitu lah, Te.”
“Oh ya… ya… motor kamu pake, kan?”
“Iya, te.”
“Katanya kamu mau ke bengkel kan? Di atas kulkas ada amplop dari Om. Ambil aja kalau-kalau nanti kurang.”
“Iya, te. Itu motornya ada penyok sedikit di bagian tangkinya. Kemarin kejatuhan motor di parkiran, paling nanti aku bawa ke ketok magic. Aku masih ada uang sih, te. Biar aku aja yang…”
“Wes to, manut wae. Mumpung Om kasih rezeki kamu nurut aja.” Tante Susan tertawa.
Nanto menunduk, asli ga enak banget kan kalo begini. Malah jadi ngrepotin Om dan Tante terus. Dia beneran harus buru-buru cari kerjaan, supaya bisa cepat mencari tempat tinggal. Bukan karena di sini tidak nyaman, tapi karena sungguh tidak enak merepotkan Om dan Tantenya yang teramat baik ini. Suatu saat nanti, dia harus membalas budi pada mereka. Bukan karena mereka minta, tapi karena dia tahu diri.
“Sudah yaaa. Tante berangkat.”
“Iya Te, hati-hati di jalan.”
“Haaaaai.”
Hanna tampil ayu siang itu, dengan kemeja putih bermotif kotak abu-abu kecil yang bagian lengannya digulung sesiku, serta bawahan celana jeans biru tua ketat yang seakan-akan ingin membungkus kakinya seerat mungkin dan tak ingin lepas. Para pria yang saat itu berdiri di depan gerbang Universitas Sarjana Muda juga enggan melepas Hanna yang baru saja dijemput. Baru juga liat yang seger-seger, udah ada aja monyet mlipir.
Hanna membuka pintu mobil Glen dan masuk di sisi penumpang. Glen hanya mengangguk sembari menunggu Hanna benar-benar rapi duduk di sampingnya. Kekasih Hanna yang sedang mengenakan kacamata hitam juga tidak mengucapkan apa-apa saat Hanna mengecup pipinya.
Glen memasukkan gigi dan menginjak gas untuk menjalankan mobilnya.
“Uf. Panas banget hari ini. Tumben agak telat jemputnya, Mas.”
“Ada urusan tadi.”
Hanna mencium bau yang tidak ia suka saat mengecup pipi sang kekasih tadi. Gadis itu pun menarik napas panjang. Sungguh? Di siang bolong begini? Bisa-bisanya.
“Kamu minum, Mas?”
Glen terdiam.
“Mas.”
Glen masih diam.
“Mas! Jawab kenapa sih?!!”
“Apaan sih kamu!? Rewel banget! Dikit aja!!”
“Ya ampun, Mas! Siang-siang begini…” Hanna mendesah, “Aku kan sudah bilang jangan minum kalau mau nyetir! Bahaya tau!”
Glen mencibir. “Aku minum. Bukan mabuk. Tau bedanya?”
“Udah ah. Ayo gantian! Biar aku aja yang nyetir!”
“Apaan sih! Rewel aja dari tadi!”
“Maaassss! Please deh. Ini bahaya! Ayo gantian. Sini, aku aja yang nyetir. Kita mampir cafe aja ya. Aku yang traktir deh. Oke?”
“RIBUUUT!!”
Glen justru menekan gas semakin kencang, memacu sang kebanggaan semakin cepat, mengikuti jalur bak sirkuit, menahbiskan diri sebagai raja, memuaskan diri saat emosi menangkup jiwanya, marah merengkuh batinnya.
Glen tidak melihat seorang bapak penjaja cilok menyeberang jalan.
.::..::..::..::.
Ahhh!
Siapa yang menyangka setelah pagi yang demikian segar, siangnya panas mentari justru amat menyengat? Sinar surya yang tak ramah laksana pisau-pisau mikroskopik yang mampu merobek dan menyayat jaringan kulit dengan sadisnya. Angin bahkan enggan berhembus siang ini, bagai bergurau dengan dataran pertiwi mempermainkan manusia yang terpapar supaya tersengat panas hingga bermandikan peluh.
Nanto sedang menyusuri jalur setapak menuju ke jalan raya.
Hahahaha. Kutukupret.
Ide siapa sih membuat gedung sedemikian jauhnya dari jalan besar?
Untung Nanto hanya perlu menyerahkan berkas-berkas saja jadi tak perlu berlama-lama di UAL, karena hari ini dia berencana mengambil motor Om Darno di bengkel. Kesananya naik angkot aja lah.
Untuk bisa sampai ke jalan raya, Nanto harus melalui taman belajar, kantin luar, gedung pertemuan, lapangan basket, tempat parkir motor, dan jalan setapak. Di sebelah lapangan basket yang berbatasan langsung dengan parkir motor terdapat satu tanah lapang luas yang rencananya akan menjadi lokasi didirikannya climbing wall atau dinding panjat tebing dan track-track permainan skateboard.
Untuk sementara, melalui tanah lapang itu, para mahasiswa bisa mempersingkat jarak antara lapangan basket dan tempat parkir. Di sisi kanan dan kiri terdapat pepohonan rindang yang membuat jalur ini biasanya menjadi jalur favorit menuju jalan raya. Biasanya tentu, tapi tidak hari ini. Karena hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar di kampus, jalur setapak yang Nanto lalui terlihat lengang dan sepi.
Sekilas Nanto melihat pembangunan track permainan skateboard dan area Wall Climbing. Wah, pasti seru kalau sudah jadi. Nanto mungkin bisa menjajal kemampuannya bermain keyboard. Skateboard woi skateboard! Bukan keyboard!
Nanto merogoh kantong celananya untuk mencari uang receh yang akan digunakannya untuk membayar angkot. Ahh… ini ada dua ri…
BUAAAGGGGG!
Satu tendangan kencang tiba-tiba saja mendarat di punggung Nanto. Melontarkan tubuh si bengal itu cukup jauh.
Nanto yang jatuh tengkurap meregang kesakitan sebelum akhirnya bangkit dan memutar badan untuk melihat siapa penyerangnya. Ia bersungut-sungut sambil memegangi punggungnya yang terasa panas dan dadanya yang terhempas tanah.
Endi kih munyuke? Mana monyetnya?
Nanto melihat sebuah wajah menyeringai. Inikah penyerangnya?
Rambut gondrong, kacamata hitam, dan jaket bomber. Dengan sebatang rokok terselip di mulut, sang penyerang menatap sengit ke arah Nanto. Ia maju ke depan dengan langkah arogan.
Pria dengan luka memanjang di dahinya.
Asty melangkahkan kaki dengan gembira saat meninggalkan kantin sekolah. Entah kenapa hari ini dia begitu gembira. Sebentar-sebentar melongok ke ponselnya, menunggu-nunggu seseorang menghubungi atau sekedar mengirimkan pesan chat padanya hari ini. Pesan yang dinantikan sejak semalam. Dih, kayak anak SMA yang lagi dilanda kasmaran aja kamu, Asty.
“Aaahhh! Kebetulan sekali!” sebuah tangan tiba-tiba saja menepuk pundak sang guru muda.
Kadal biawak kampret makan lontong!! Kaget monyoooong!!
Pak Suratman dengan sumringah mensejajari langkah Asty yang lengah dan jengah. Kepala sekolah bertubuh gemuk, kepala botak, kumis tebal dan perut buncit itu menyunggingkan senyum yang tak nyaman dilihat. Bagai sosok badut di film horor.
“Siang, Bu Asty. Saya nyariin lho sejak pagi tadi. Susah banget ditemui! Asli! Beneran!”
Asty menganggukkan kepala dengan kaku. Ia diam seribu bahasa, tak ingin melanjutkan percakapan ini. Duh, harus kemana dia melangkah agar bisa lepas dari si bandot tua ini? Lihat ke kanan, ke kiri. Kemana teman yang lain? Aduuuh. Males banget nih.
“Ada sesuatu yang ingin saya diskusikan dengan Bu Asty perihal keamanan dan ketertiban di sekolah kita ini. Tentu saja orang paling tepat untuk membicarakan hal ini adalah Bu Asty selaku guru BK.”
Asty mengeryitkan dahi. “Apa yang ingin didiskusikan dengan saya, Pak?”
“Begini lho, Bu” kata Pak Man menjelaskan, “Sejak saya masuk ke sekolah ini, saya selalu menekankan diperlukannya pengawasan lebih pada sekolah karena adanya pandangan masyarakat yang tak nyaman dan menganggap bahwa sekolah ini merupakan biangnya anak-anak bandel. Walaupun secara prestasi baik akademik maupun non akademik sekolah ini sudah membuktikan sebaliknya. Benar begitu kan, Bu?”
“Iya benar sekali, Pak.”
“Nah dengan berbagai prestasi yang berhasil kita peroleh, saya bangga sekali lho. Asli. Beneran. Berkat kerja keras kita, sekolah ini menjadi teratur, rapi, dan berprestasi. Itu semua tentunya karena sekolah terutama melalui BK berhasil memberikan pengawasan dan masukan bagi siswa-siswinya dengan tepat sasaran.”
Asty tersenyum, “semua guru dan staf, Pak. Bukan hanya BK saja.”
“Ah ya. Semua guru dan staf.”
Pak Man lalu menatap Asty dan mendekatkan diri pada si jelita itu. Bau rokok membuat Asty mengernyit tak nyaman. Ia hendak menjauh namun Pak Man terus mendekat. Pait. Pait. Pait.
Begitu dekatnya sampai-sampai suara bisikan dari sang kepala sekolah bisa terdengar jelas di telinga sang guru muda yang jelita. “Karena pentingnya pengawasan, minggu kemarin saya memerintahkan pemasangan CCTV baru di koridor, selasar, kelas, tempat parkir, dan ruangan-ruangan lain yang sekiranya membutuhkan pengawasan berlebih. Ibu tahu sendiri bagaimana ulah anak-anak kita yang bandel-bandel ya, Bu. Ada kasus vandalisme, ada kasus bullying, mencontek, membolos, pencurian, macam-macam lah. Itu sebabnya saya bersikeras diperlukannya CCTV.”
Asty mengangguk-angguk, “Wah sampai harus memasang CCTV ya, Pak?”
“Eh ternyata penting lho, Bu. Asli. Beneran. Saya sudah menemukan banyak pelanggaran terjadi di sekolah ini, dan semuanya langsung saya berikan teguran. Langsung. Ga bohong. Banyak banget pelanggaran.”
“Yayasan sudah tahu perihal ini, Pak?”
“Sudah, Bu. Aman pokoke. Yayasan justru mendukung. Saya jelas hanya berani melakukan instalasi CCTV ketika persetujuan dari yayasan sudah turun. Nah, kebetulan minggu yang lalu persetujuan disampaikan, maka saya buru-buru pasang di hari sabtu-minggu kemarin. memang sengaja memasangnya di akhir pekan sewaktu semua orang libur agar hanya saya, beberapa satpam, dan beberapa guru saja yang tahu.”
“Oh gitu. Monitor pengawasnya di mana, Pak? Ruang satpam?”
“Monitor untuk pengawasan saya letakkan di dekat meja saya. Supaya yah… saya dapat mengawasi semua kejadian dan secara bijak menentukan keputusan berdasarkan pelanggaran yang terjadi. Begitu lho, Bu. Begitu. Asli.”
“Iya deh, Pak. Iya.”
“Nah salah satu CCTV saya letakkan di ruang BK.”
Eh?
Jantung Asty berderap terpacu, dan langkah kakinya terhenti. Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba saja menyeruak muncul dan membuatnya gugup. Mudah-mudahan ini hanya perasaan tak nyaman saja. Ibu guru muda jelita itu menatap Pak Man dengan takut-takut.
“Di… di ruang BK?”
“Iya. Heheh.”
Gawat!! Kemarin kan…! Jangan-jangan…
Seluruh dunia Asty berasa diputar-putar di kepala dan perutnya. Ia mual sekali. Tidak… tidak mungkin ada yang tahu. Jangan sampai. Jangan sampai ada yang…
“Saya sejujurnya terkejut lho, Bu. kemarin ada kejadian yang membuat saya shock. Asli. Beneran. Ga bohong. Saya tidak menyangka saja ada seorang oknum guru yang bisa berbuat seperti itu di sekolah. Kalau sampai tersebar ke pihak luar, wah bayangkan aib-nya! Bayangkan keluarganya! Bayangkan nama sekolah! Bayangkan…”
“P-Pak!!”
“Eh, iya. Gimana Bu?”
“Sa-saya boleh izin? Saya hendak ke kamar kecil dulu. Sebentar lagi ada siswa yang akan datang ke BK untuk konsultasi.”
“Oh ya ya. Bu Asty. Silahkan saja. Jangan ditahan-tahan lho kalau mau pipis itu. nanti jadi penyakit. Asli. Beneran. Jadi penyakit nanti.”
“Terima kasih, Pak.”
“Bu Asty cantik. Pulang kerja nanti saya tunggu di ruangan saya, ya.” Kata Pak Man sambil tersenyum simpul penuh arti, ia bahkan mengedipkan mata ke Asty dengan genitnya.
Keringat sebesar jagung mulai membasahi dahi indah Asty yang menatap ngeri ke arah Pak Man. Laki-laki itu berjalan menjauh dengan langkah bahagia.
.::..::..::..::.
“Nanto… Nanto… Nanto…”
Sesosok pemuda dengan senyum sinis berdiri di hadapan si bengal. “Selamat datang kembali di kota ini, Nyuk. Piye kabarmu? Baik-baik saja kan? Tidak menyangka kita akan reuni begini ya. Sayang banget sih balik ke kota terus masuk ke kampus ini cuma buat ketemu aku. Kalau aku jadi kamu, mending sekalian ga usah balik. Percuma. Itu namanya nganter nyawa.”
Nanto mencoba mengamati sosok yang di hadapannya yang ngebacot wagu tur ra mutu. Ga asing sih wajahnya. Sepertinya kenal, bukankah… ini kan… sebentar-sebentar… oh ya ya!
Sopo kae jenenge, siapa sih namanya… Roti? Kopi? Kecapi?
Ah ya.
Jovi. Anak SMA 11. Alumni SMA 11.
“Ternyata kamu. Mau apa kam…”
BLETAAAGGG!!!
Satu pukulan membuat Nanto terhuyung mundur beberapa tapak. Entah siapa tadi yang melontarkannya, yang jelas bukan pukulan main-main. Cepat, ganas, dan keras. Sial! Baru menatap mesra Jo malah ada kunyuk gangguin! Cemburu banget to, Nyuk?
Di samping Jo, muncul beberapa sosok pemuda berandalan yang juga menatapnya galak dan siap memacu adrenaline. Padahal ini baru pertama kalinya Nanto bertemu dengan mereka. Kesan pertama yang tak terlupakan. Oalah Nyuk… nyuk…! Iki gek sopo wae to ikih? Ini siapa aja yang dibawa Jo? Kenal juga nggak maen tampol aja.
“Nanto!”
Suara Jo menyadarkan si bengal bahwa dia harus fokus pada yang satu itu.
“Ingat tidak?” Jo mengelus luka jahit memanjang di jidatnya. “Ini kenang-kenangan dari kamu yang tak akan pernah hilang seumur hidupku. Aku harus berterima kasih dan membalas kebaikanmu meninggalkan kenang-kenangan yang tak ternilai harganya ini. Wes suwe tenan aku nggoleki kowe, Su. Sudah lama banget aku mencari kamu.”
Nanto mengamati luka yang ditunjukkan sang lawan, ingatannya kabur perkara detail karena kejadiannya sudah cukup lama. Tapi ia teringat pertarungan terakhirnya melawan Jo, saat itu tentu ia masih sekolah di SMA CB. Pertarungan di mana Jo menyerangnya dengan menggunakan pisau. Singkat cerita, senjata makan tuan.
Si bengal menarik napas panjang. Urusan seperti ini kalau tidak diakhiri akan panjang urusannya. Harus ada yang mengalah, dan Jo sepertinya bukan orang seperti itu. Nanto tersenyum kecut. Kalau kemarin adalah hari yang seru, hari ini sepertinya adalah hari yang sial buatnya.
Nanto melangkah pelan menuju Jo dan mengulurkan tangan hendak bersalaman. “Oke Jo. Aku minta maaf. Kalau tidak salah waktu itu aku sedang mabuk. Tidak sadar kalau apa yang aku lakukan akan menyakitimu sampai seperti itu. Sungguh aku benar-benar menyesal dan minta maaf. Bagaimana kalau kita sudahi saja yang dulu-dulu?”
“TAE KOCHENG!!” bentak Jo sebal sambil menepis uluran salam dari Nanto. Apa-apaan sih ini orang!? Banci! “Aku tidak perlu ucapan maafmu! Aku… dan kelima kawanku ini, akan membuatmu jera dengan perbuatanmu yang dulu dan memperingatkanmu supaya tidak main-main di kampus ini! Kamu sekarang tidak hanya berhadapan denganku saja! Kamu juga akan berhadapan dengan DoP! Paham!?”
Nanto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “DoP? Opo kuwi DoP? Dop motor? Ap…”
BGGG!!
Seorang kawan Jo bergerak dengan sangat cepat dan melayangkan tinju kanannya ke pipi Nanto. Si bengal yang tidak mengira panggung akan dibuka secepat itu pun tersungkur. Tubuhnya ambruk berdebam ke tanah.
Bazeeeeng! Mau berapa kali sih nyerang tanpa aba-aba begini?
Panas menyergap rahang Nanto. Ia menatap sang penyerang; rambutnya dicukur sampai nyaris botak dan hanya menyisakan rambut tipis model jarhead. Tingginya mungkin sama seperti Jo, tapi lengannya panjang. Itu menjelaskan cakupan raihan pukulannya yang mampu mencapai ke sini meski tadi ia berdiri tak jauh dari Jo. Kalau melihat gerakan dan kemampuannya, orang yang satu ini juga pasti sangat gesit.
Nanto berdiri dan menggerakkan rahangnya yang linu. Oke… oke… baik. Ini semua bermula dari kesalahan yang pernah ia lakukan dulu, yang membuat Jo dendam setengah mati. Nanto berdiri tanpa kuda-kuda dan melirik si botak jarhead.
“Awas hati-hati, B.” Kata Jo memperingatkan. Nanto jelas bukan lawan yang main-main. Bekas luka di dahinya menjadi bukti.
Si botak yang nama aslinya Bondan menarik tangan kanan dan kiri bergantian sembari menggerakkan pundak seperti seorang petinju dan mengatupkan kepalan untuk melindungi dada dan wajah, Bondan mencari celah untuk menyerang. Gerakan kakinya maju mundur dengan lincah.
Tapi Nanto hanya diam tanpa memasang kuda-kuda. Ia mengalihkan pandangan dari Bondan dan menatap Jo. “Baiklah. Aku tidak tahu harus bagaimana supaya kamu mau memaafkan aku karena kesalahan yang sudah lalu, ataupun apakah aku seharusnya minta maaf. Tapi yang sudah ya sudah. Begini saja, aku janji tidak akan melawan sekalipun kalian menghujani aku dengan sepuluh pukula…”
“BACOOOOOT!!!”
BLETAAAAGGG!!
Sekali lagi straight kilat dari Bondan melesak. Kembali ke rahang Nanto, menyungkurkan si bengal itu ke tanah. Melihat Nanto sudah jatuh, keempat kawan si botak jarhead bergerak bersamaan menyerang Nanto yang tak berkutik. Hujan tendangan dan injakan pun terjadi.
Kaki, lutut, pundak, punggung, lengan, dada, wajah, dada, kaki, lengan.
DGG! DGGG! DGG! DGGG! DGG!! DGGG!! DGGG!!
Nanto sama sekali tak melawan, ia hanya menggunakan lengan untuk melindungi kepala dan kaki untuk melindungi bagian vital.
Nanto bersikap pasif, dihajar begitu rupa ia diam saja. Begitupun saat Bondan memegang lengan Nanto, lalu mengangkat tubuh si bengal itu ke atas. Keempat kawan yang lain membantu supaya Nanto tak bergerak dan terkunci. Jo maju dan langsung mengincar wajah si bengal.
Setengah berlari, Jo menarik kepalan tangan kanannya ke belakang, dan meluncurkannya deras ke wajah Nanto.
BLETAAAGKKK!!
“Jagoan eh? Kamu jagoaaan!!??? Makaaaan ituuuu!!!”
Bagai ada tombol start yang ditekan, Jo kesetanan. Dengan cepat Ia meluncurkan pukulan dari kedua tangannya. Bergantian, mengincar si bengal yang tak meronta. Mampus! Mampus! Mampus!!
Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Dada. Rahang. Pipi. Dada.
“Manaaaaa!!?? Katanyaaa jagoaaaan!!?? Manaaaa!???”
BGGG!! BGGG!! BGGG!! BGGG! BGG!
Darah mengucur dari bibir Nanto. Wajahnya bengap dan lebam. Jo tak menghentikan serangan dan terus meluncurkan pukulan ke arah si bengal yang sudah kepayahan namun tetap diam, tak meronta, tak melawan. Semua rangkaian serangan itu masuk.
“LEPASSSSS!!” perintah Jo pada kawan-kawannya yang kemudian melepaskan tubuh Nanto yang terhuyung-huyung.
Jo bergerak mundur dua langkah sambil mengatur napas, lalu dengan satu gerakan cepat maju ke depan sambil melontarkan hook kanan. Tidak mungkin Nanto dapat menepis atau mengelak dari serangan itu.
BLETAAAGKKK!!
Nanto jatuh berdebam sekali lagi. Ia tersungkur ke bawah dan ambruk bagai balon kehabisan angin. Hanya napas satu dua yang membuat pemuda itu terlihat masih hidup.
Jo terengah-engah melihat lawan yang selama ini ia nanti-nantikan ternyata tak melawan. Pukulan kencang dari Jo tadi sepertinya benar-benar merobohkan Nanto yang diam tanpa kata tanpa suara. Sudah pingsankah? Apa-apaan ini!? Sudah seperti ini saja?
Jo muak! Muak sekali! “Kenapa tidak kau balaaaass!! Ayooo balaaass!!”
Tapi Nanto masih terdiam beribu bahasa, sembari mengatur napas yang tersengal-sengal, si bengal kembali bangkit dengan bertumpu pada satu kaki, duduk bertongkat lutut. Napasnya satu dua. Wajahnya tak karuan, darah mengucur dari hidung dan mulutnya.
“Anggap… impas…” kata Nanto lirih di sela-sela mengatur napas.
Jo mendengus dan menggelengkan kepala, ini benar-benar tidak seperti yang ia harapkan. Nanto yang dulu tidak lembek seperti ini. Nanto yang dulu tidak akan diam saja saat dipukul dan selalu membalas dengan berangasan seperti layaknya seorang petarung. Kalau Nanto yang ini? Cuh. Nanto yang ini cuma kayak sempolan sisa kemarin. Jo menghampiri dan menjambak rambut Nanto. Ia mendongakkan wajah si bengal dan menatapnya tajam dari balik kacamata hitam.
“Kamu sudah berubah, Nyuk. Bukan lagi orang yang dulu aku kenal. Kamu yang sekarang lebih mirip banci yang menjajakan diri di ruas-ruas gang samping stasiun. Malu aku punya luka yang ada di jidatku ini kalau yang bikin orangnya cuma kayak kamu.” Jo menggelengkan kepala. “Payah. Mending balik desa aja. Di sini bukan tempat kamu.”
Jo melepaskan jambakannya dengan kasar. Muka lebam Nanto membuatnya muak. Sudahlah. Tidak ada pantas-pantasnya mengeroyok orang sehina ini. Habis-habisin tenaga. Satu hal yang membuat Jo kecewa adalah Nanto yang dulu begitu garang sudah tak lagi layak dijadikan rival seperti yang selama ini ia bayangkan.
“Ayo kita pergi!”
Jo dan kawan-kawannya pun melangkah pergi, meninggalkan ruang terbuka di dekat tempat parkir itu. Tapi belum sampai beberapa langkah mereka berjalan, terdengar satu kekehan ringan dan suara Nanto yang terdengar jelas.
“Kok kalian pergi? Sudah cukup segitu aja? Jalaknya justru sedang siap-siap berkicau.”
Jo dan kelima kawannya membalikkan badan secara hampir bersamaan. Mereka menatap percaya tak percaya ke arah Nanto. Pemuda itu masih pada posisi semula, duduk bertongkat lutut. Orang ini… sudah seperti itu masih bisa menghina mereka? Memangnya dia punya berapa nyawa? Mau diobral?
Menatap satu-persatu kawanan Jo, Nanto nyengir. Baiklah kalau harus begini caranya.
Huff. Cuh.
Nanto membuang darah yang berkumpul terkumur di mulut. Nyengir dengan mulut runyam nyeri juga rasanya. Ia menghapus darah yang menetes dengan punggung tangan.
Si bengal berdiri seperti seakan-akan tidak ada apa-apa yang terjadi padanya, dengan santai Nanto kemudian menepuk-nepuk celana untuk membersihkan debu. Tubuhnya tetap tegap, sikapnya tenang, dan tidak terlihat kesakitan.
Jo dan kelima orang yang ada di hadapan Nanto pun saling berpandangan. Lho? Kok kayak tidak apa-apa begini? Badalah! Apa pukulan mereka tadi tidak ada efeknya? Masa sih semua yang mereka kerahkan tadi tidak membuat orang ini takluk? Jinguk! Iki wong opo cagak listrik? Ini manusia atau tiang listrik?
“Urusan lama dengan Jo aku anggap impas. Urusan dengan kalian belum.”
Nanto menekuk kepalanya ke kanan dan kiri, lalu menggemeretakkan jemarinya dengan tangkupan tangan. Ia menundukkan kepalanya sedikit dan menatap tajam ke arah Jo. Tatapan yang membuat Jo meneguk ludah.
“Ayo. Pukuli aku lagi.”
Senyum mengembang di mulut si bengal.
Bersambung