Part #36 : Petualangan Sexs Liar Ku
Aku terbangun cukup pagi dari tidur ku. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk karena semalam aku kurang tidur.
Aku berkali-kali terjaga saat Humaira tiba-tiba terbangun dan menangis, entah karena lapar atau popoknya sudah penuh.
Tapi Icha sama sekali tidak mengeluh saat dia harus bangkit dari tidurnya untuk memenuhi kebutuhan Humaira itu, sepertinya dia memang sudah biasa melakukannya.
Aku jadi kagum padanya. Dia selama ini melakukan hal itu dengan rasa sabar dan kasih sayang yang besar. Kalau dia tidak benar-benar menyayanginya sudah bisa dipastikan sekarang dia sudah dibuang.
Dan pada saat ini aku melihat dua mahluk cantik sedang terlelap tidur di samping ku.
Salah satu tangan Icha kini tengah melingkar memeluk pinggang ku. Nafasnya teratur menandakan dia sedang berada di alam mimpi.
Ku perhatikan wajahnya dengan seksama. Aku menjadi teringat dengan Icha saat pertama kali kita bertemu. Saat itu dia mengira bahwa aku adalah MABA di kampus tempat ia kuliah dulu.
Hubungan kami berlanjut ketika sebuah rencana yang ku buat dengan memanfaatkan dirinya untuk menjebak Reza.
Aku teringat kejadian malam itu. Malam liar dan panas di dalam kost milik Icha. Malam dimana kita diberi kenang-kenangan oleh tuhan berupa malaikat kecil yang sedang tertidur pulas di antara kita saat ini.
Sebuah hadiah yang pada awalnya tidak kami inginkan, namun pada akhirnya kini kami sama-sama tidak ingin kehilangannya.
Ku lihat dia sedang terlelap dengan salah satu payudaranya terekspose bebas karena semalam Humaira ingin menyusu kepadanya.
Aku rapatkan posisi ku dengannya memberikan kehangatan pada anak kami. Ku tarik tengkuknya sedikit ke arah ku dan ku cium puncak kepalanya.
Ternyata gerakan itu membuatnya terbangun. Dia tertegun mendapati wajah kami sangat dekat. Dia lalu memundurkan badannya.
“Randy, kenapa gak bangunin aku?”
Icha mengucek matanya belum sadar akan keadaan buah dadanya yang menjadi pemandangan segar di pagi hari.
“Tidur lu pules banget, gak tega gue banguninnya,” ucap ku seraya menopang kepala ku dengan telapak tangan.
Puting payudaranya berwarna kecoklatan dan besar khas ibu-ibu yang sedang menyusui, berbeda dengan milik Annisa yang berwarna pink dan kecil.
Sadar salah satu bagian sensitifnya jadi pemandangan ku, dia buru-buru memasukkannya lagi ke dalam kaos milik ku yang ia kenakan.
Wajahnya memerah menahan malu. Tapi itu hal yang sangat lucu mengingat dulu dia tanpa malu menyodorkan payudaranya untuk ku nikmati.
“Jangan kemana-mana dulu, gue mau beliin sarapan, mandinya nanti aja,” cegah ku ketika Icha akan bangkit.
Dia lalu mengurungkan niatnya. Aku yang kemudian turun dari ranjang dan bersiap untuk membelikan sarapan.
Tak jauh dari apartemen milik ku ada yang seorang penjual lontong opor. Yah, apa boleh buat karena hanya itu opsi untuk saat ini, atau bisa dibilang aku malas untuk cari yang lain, sedangkan biasanya aku sarapan di luar. Aku lalu kembali dengan cepat.
Di atas ranjang, Icha masih dalam posisi yang sama namun kali ini dia sedang menyusui Humaira.
“Nih dimakan lontong opornya.”
Icha mengganti puting payudaranya dengan empeng, lalu menyusul ku ke meja makan.
“Makasih,” ucapnya singkat.
Kami makan bersama dalam diam. Sesekali aku curi-curi pandang kepadanya hingga tak sengaja tatapan kita bertemu membuatnya salah tingkah.
“Ya udah, gue mau mandi dulu, mau berangkat latihan basket, lu di sini aja jangan kemana-mana, jangan lupa buahnya dimakan, vitamin sama susunya jangan lupa diminum, kalo ada apa-apa telepon gue aja ya, entar gue langsung pulang,” cerocos ku seraya menyentuh pundak kirinya.
Icha tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. Aku pun bersiap-siap untuk berangkat latihan seperti biasa.
Setelah semua ready, aku berpamitan kepada Icha. Sebelum pergi aku sempatkan untuk mencium bidadari kecil ku.
“Papah berangkat dulu yah, Aira jangan nakal sama mamah, Aira kan anak pinter.”
Cuppp…
Ku cium pipinya lama, setelah itu aku berbalik dan mendapati Icha tengah menahan sudut bibirnya agar tidak tertarik ke atas.
“Kenapa?” tanya ku heran.
“Gak papa kok, ya udah berangkat sana, nanti telat.”
Dia lalu mengulurkan tangannya yang ku sambut dengan uluran tangan ku. Tanpa diduga dia mencium punggung tangan ku layaknya seorang istri kepada suaminya.
Duh, kenapa hati ku jadi deg-degan begini? Perlakuan manis itu membuat ku menjadi baper. Begini kah rasanya punya istri? Hmm…
Latihan hari ini selesai, kembali aku menampilkan penampilan yang luar biasa. Namun kelemahan ku hanya satu, yaitu stamina. Coach Roy memberikan arahan kepada ku.
“Ran, kalo kamu bisa improve stamina mu lebih baik lagi, kamu bakal bisa tembus langsung ke squad utama loh.”
Sontak ucapan coach Roy membuat ku girang. Tapi tak dipungkiri aku tetap harus bekerja ekstra keras untuk meningkatkan stamina ku dan itu bukan hal yang mudah dan instan.
Di bench aku duduk sembari meregangkan tubuh ku yang mengeras setelah latihan yang cukup melelahkan. Tiba-tiba seorang pemain datang mensejajarkan duduknya di samping ku.
“Justin?!”
Ya, dia adalah Justin yang tampak cuek duduk sambil meminum air dari Tupperware yang dibawanya. Dia menoleh dengan tatapan datar lalu pandangannya kembali lurus ke depan.
“Selamat ya, lu masuk squad inti,” ujarnya tanpa melihat wajah ku.
Aku tertawa hambar tanpa menimpali perkataannya.
“Gimana hubungan lu sama Anes? Ada perkembangan?”
Justin hanya mengangkat kedua bahunya.
“Kemarin gue sempet ketemu sama dia,” ucapnya dijeda.
“Yah kita bicarain masalah ini dengan kepala dingin, bukan cuma tentang kita bertiga, tapi semuanya.”
“Terus?”
“Dan dari obrolan kita bisa gue simpulkan kalo gue sama dia emang udah beda prinsip.”
“Maksudnya?” tanya ku tak mengerti.
Dia menghela nafas sesaat.
“selama gue pacaran sama dia gue gak pernah yang namanya selingkuh atau sekedar main api sama cewek lain, meskipun gue punya kapabilitas untuk ngelakuin itu. Gue maunya berkomitmen sama dia, setia, dia cuma buat gue dan gue juga cuma buat dia.”
Secara tidak langsung ucapannya menyindir ku. Aku dan dia memang berbeda seratus delapan puluh derajat soal kesetiaan.
Aku yang sudah memiliki komitmen dengan kak Ranty justru sudah melakukan persetubuhan dengan beberapa wanita dengan tedeng aling-aling sebuah balas dendam.
Aku akui kalau aku kagum dengan Justin. Meskipun dia tampan, banyak wanita yang pastinya tergila-gila padanya tapi dia tetap setia pada Anes.
Mungkin aku dapat belajar sesuatu padanya. Tapi yang namanya orang pasti memiliki hal positif dan negatif. Tidak mudah untuk merubah karakter seseorang.
“Tapi dia punya pemikiran lain,” lanjut Justin meneruskan penjelasannya.
“Dia maunya kita easy going, nikmati hidup, gak mau buru-buru punya komitmen, bahkan mungkin dia sama sekali gak mikirin soal nikah, dia lebih nyaman tinggal bareng kaya sebelumnya.”
Dia melirik ke arah ku.
“Dan dia mikir selama dia gak berhubungan seks dengan laki-laki lain, itu belum bisa dikategorikan sebagai selingkuh, termasuk sama lu.”
Penjelasannya berakhir, aku termangu sesaat. Ternyata ini alasan kenapa Anes mau melakukan apapun dengan ku selain seks.
“Apa dia juga pernah ngelakuin itu sama cowok lain?”
Justin mengangkat kedua bahunya.
“Who knows? Gue gak bahas soal itu sama dia, yang jelas kiat udah beda jalan dan gak bisa bersatu lagi. Jadi kita mutusin buat berteman aja mulai dari sekarang.”
Lagi-lagi aku terkesan dengan kedewasaan Justin. Aku tahu hal itu sangat pahit tapi dia masih bisa bersikap tenang.
Kejadian itu mengingatkan ku pada drama antara aku dan Lisa dulu. Padahal dulu saat aku menangkap basah Lisa dan Dimas tengah berhubungan intim, status ku bukan siapa-siapa Lisa, tapi aku bersikap seolah Lisa telah melakukan perselingkuhan dari ku dan aku yang bersikap kekanak-kanakan memusuhi dirinya selama beberapa minggu.
Rasa bersalah kembali hinggap di dada ku. Aku telah merebut pacar dari seseorang yang berjasa bagi jalan ku menjadi pemain basket.
“Maafin gue Tin, gue nyesel banget udah nusuk lu dari belakang. Gue harap lu bisa maafin gue dan hubungan kita balik lagi kaya dulu,” sesal ku.
Justin tertawa kecil seraya memukul bahu ku agak keras.
“Gue udah maafin lu kok. Yah, paling enggak ada hal positif yang bisa gue petik karena masalah ini. Gue jadi tau apa yang Anes mau, kita gak perlu lagi hidup dalam kepalsuan ini. Sekarang hati gue udah plong, kita juga masih berhubungan meski dalam status yang beda yaitu teman. Tapi lu tau kan status ‘teman’ yang dia maksud?” cetusnya sembari mengangkat kedua alisnya beberapa kali dengan menekankan kata ‘teman’.
Aku terkekeh mendengar perkataannya. Ternyata dia tidak mau rugi setelah putus dengan Anes.
“Kalo lu mau coba sama dia ya cobain aja,” celetuk Justin sekali lagi.
“Cobain apa nih maksudnya?”
“Coba pacaran sama dia lah, emangnya cobain apalagi? tapi lu harus tau konsekuensinya yang tadi udah gue bilang, dia gak mau punya komitmen.”
“Oh, gue kirain cobain lubangnya, wkwkwk…”
“Kalo itu sih nanti kita cobain bareng-bareng.”
“Hah?!” Aku tercengang mendengar kata-katanya.
Tanpa penjelasan lebih rinci dia sudah beranjak dan meninggalkan ku begitu saja. Aku garuk-garuk kepala tidak habis pikir.
Setelah kepergian Justin, ponsel ku tiba-tiba berbunyi. Ada notifikasi pesan wa. Aku terkejut ternyata itu adalah pesan balasan dari kak Ranty yang semalam aku kirim pesan.
“Iya ada apa?” Isi pesan itu.
Aku membuka mulut ku. Kenapa responnya dingin begitu? Aku kira dia akan langsung menelpon ku dan menumpahkan rasa rindunya pada ku.
Tak perlu waktu lama aku langsung mencoba menghubunginya melalui video call. Namun entah mengapa dia justru menolak panggilan itu.
Beberapa detik kemudian kak Ranty menelpon ku dengan voice call.
“Halo?” sapanya singkat.
“Halo kak?!”
“Oh Randy, emm…ada apa?”
Aku berhenti sejenak. Kok dia baru tau kalo aku yang menelpon? dan juga responnya benar-benar datar.
“Kok kakak baru tau kalo aku yang telpon?”
“Iya, kakak gak liat namanya tadi,” balasnya.
Deggg…
Bohong. Itulah kata yang pertama kali terucap ketika mendengarkan penjelasannya.
“Kakak lagi ngapain sekarang?”
“Lagi di kampus nih, lagi mau bimbingan skripsi.”
“Oh, udah lagi ambil skripsi?”
“Iya dong, biar cepet-cepet wisuda, hehehe…”
“Emm…biar apa cepet-cepet wisuda? Hehehe,” goda ku.
“Biar cepet bisa kerja.”
Tiba-tiba senyum ku hilang.
“Biar cepet nyusul pacar ku yang lagi merantau di kota orang, hehehe…” timpalnya lagi membuat senyum kembali terpancar di bibir ku.
“Kak!” panggil ku.
“Iya sayang?” jawabnya berubah mesra.
“Maafin Randy udah jarang kasih kabar sama kakak, Randy lagi sibuk buat menata masa depan kita, semoga kakak masih sabar ya,” celoteh ku diiringi rasa sesal.
“Iya kakak tau kok kamu lagi sibuk, makannya kakak jarang hubungi kamu takut ganggu aktivitas mu.”
Prasangka ku ternyata salah. Kak Ranty jarang menghubungi ku karena takut mengganggu ku dan bukan karena sudah tidak peduli dengan ku.
“Kak!”
“Iya?”
“Video call dong!” pinta ku.
“Emm…lagi gak bisa sayang, ini kakak lagi di kampus, lagi nunggu dosen pembimbingnya lama,” keluh kak Ranty.
“Kok sepi?”
Aku yang merasa heran tidak ada suara lain selain kak Ranty dari arah telepon itu.
“Iya ini lagi di perpus soalnya, lagi nyari referensi buat skripsinya kakak,” dalih kak Ranty.
“Oh gitu yah, ya udah kalo gitu dilanjut lagi. Kakak jaga kesehatan ya, jangan lupa makan, Randy sayang kakak.”
“Kakak juga sayang Randy!”
Telepon pun lalu ditutup. Tak berselang lama foto profil kak Ranty kembali hadir di dalam kontak wa-nya. Timbul pertanyaan dalam hati ku.
Apa jangan-jangan kak Ranty menghapus kontak ku? Atau tidak sengaja terhapus? Tapi kenapa tadi dia tidak mengatakan apapun tentang itu?
Berbagai pikiran berkecamuk di hati ku. Ternyata masalah ku banyak banget yah. Aku memegang pelipis ku yang nyeri. Perasaan ku tidak enak tapi aku harus tetap berpikir positif.
Belum selesai lamunan ku, ponsel ku sudah berbunyi kembali. Aku melihat nama Annisa di layar ponsel.
“Halo say?” sapa ku.
“Waalaikumusalam.”
Aku tersenyum dalam hati. Aku lupa siapa yang sedang menelepon ku itu.
“Assalamualaikum,” ulang ku.
“Waalaikumusalam, Randy bisa jemput?”
Annisa memanggil ku dengan suara lembut.
“Bisa kok, jemput sekarang?”
“Iya di kosan temen, nanti aku share lokasinya.”
“Oke deh kalo gitu.”
Aku kemudian beranjak dari duduk ku dan bersiap untuk menjemput Annisa. Tumben sekali dia minta dijemput, apa jangan-jangan?
“Ahh, udah lah.”
Aku sedang tidak ingin menambah pikiran lagi.
Bersambung