Part #35 : Petualangan Sexs Liar Ku

Aku mengendarai mobil ku kembali ke tempat acara reuni SMA milik Tante Dewi. Aku takut kalau saja Tante Dewi marah karena aku meninggalkannya begitu saja.

Setelah sampai ke lokasi ternyata acara sudah selesai dan hanya ada beberapa saja yang masih berada di sana menunggu hujan reda.

Aku celingak-celinguk mencari batang hidung Tante Dewi tapi tidak hasilnya nihil. Aku kemudian membuka ponsel untuk menghubunginya, namun ternyata ada sebuah pesan darinya beberapa menit yang lalu. Ku buka pesan itu.

“Ran, kamu gak usah jemput ya, Tante pulang sama temen Tante,” isi pesan tersebut.

Aku mengernyitkan dahi ku. Tak berselang lama melintas seorang wanita yang tadi sempat aku temui saat datang ke sini, langsung ku cegat.

“Ehh, maaf Tan, Tante liat Tante Dewi?” tanya ku kepada wanita berbadan oversize itu.

“Oh, tadi kalo gak salah udah pulang bareng si Pram deh,” jawabnya membuat aku terkejut.

“Apa? Bareng om Pram?”

Dia hanya menganggukkan kepala.

“Apa Tante Dewi ngambek ya gara-gara tadi aku tinggal, jadi dia minta anter om Pram?” batin ku.

“Ya udah makasih Tan.”

Setelah itu aku kembali ke dalam mobil. Ku jalankan mobil itu ke rumah Tante Dewi untuk menukar mobil itu dengan motor ku yang ku parkir di garasi rumahnya saat akan mengantarkan Tante Dewi ke acara reuni.

Yah, sekaligus minta maaf karena tadi aku dengan sembrononya meninggalkan dirinya di sana.

Ku coba kembali membuka aplikasi wa ku lalu mengirimkan sebuah pesan kepada Tante Dewi memastikan dirinya sedang tidak marah kepada ku.

Namun beberapa menit berjalan masih belum ada respon darinya, hanya centang dua yang tertera pada ponsel ku.

Bosan, aku buka-buka riwayat chat ku dengan teman-teman ku yang lain, tidak ada yang spesial.

Scroll ku berhenti di sebuah kontak yang bernama ‘my love’. Aku baru sadar kalau sudah lebih dari satu bulan aku tidak mengontak dirinya.

Aku seolah melupakan apa yang menjadi tujuan ku merantau ke kota ini. Dulu biasanya kak Ranty dulu yang mengirim pesan kepada ku untuk menanyakan kabar atau sekedar menyuruh ku makan.

Tapi sudah lebih dari sebulan dia bungkam.

“Kenapa yah, kok perasaan ku gak bisa enak.”

Aku merasakan kejanggalan, apalagi kini kak Ranty tidak menampilkan foto profil apapun di akun wa miliknya.

Biasanya dia selalu menampilkan foto jenik terbaiknya. Namun kali ini jangankan foto profil, status pun dia tak pernah update sama sekali belakangan ini. Ku coba telfon dirinya.

Tuuuutttt…

Tuuuutttt…

Tuuuutttt…

Beberapa kali nada sambung terdengar namun kak Ranty tidak juga mengangkat telepon ku. Apa jangan-jangan dia sudah tidur? Batin ku mencoba untuk berpikir positif.

Lalu ku coba kirimkan pesan kepadanya.

“Selamat malam sayang.”

Begitu isi pesan ku. Notifikasi menunjukkan centang dua yang berarti chat sudah sampai namun belum ia baca.

Ku letakkan ponsel ku kembali di saku. Pikiran positif tetap harus aku jaga karena ini menyangkut kepercayaan, dan aku memutuskan untuk percaya pada kak Ranty.

Aku kembali fokus ke kemudi ku. Sebelum sampai di rumah Tante Dewi aku teringat Icha dan Aira yang berada di apartemen ku.

Ku putuskan untuk membeli beberapa barang kebutuhan untuk mereka berdua di sebuah mini market yang tidak terlalu besar namun cukup lengkap.

Setelah keluar dari mini market itu dengan membawa dua buah kantong plastik berukuran besar yang terisi penuh, aku lalu melanjutkan perjalanan pulang.

Sesampainya di rumah Tante Dewi aku langsung memasukkan mobil yang aku bawa ke dalam garasi.

Aku masuk ke dalam rumah untuk menemui Tante Dewi dan meminta maaf karena kejadian di dalam gedung.

Saat aku akan mengetuk pintu kamar Tante Dewi tiba-tiba Bu Lastri datang menghampiri ku.

“Heh, Randy lagi ngapain?!”

Aku menoleh ke arahnya.

“Mau ketemu Tante Dewi, dia lagi di dalam kan?” tanya ku kepadanya.

“Loh bukannya nyonya berangkat bareng kamu, dia belum pulang kok.”

Aku terkejut, padahal saat aku berada di gedung tempat acara temannya bilang dia sudah pulang, dan sebelum sampai di sini aku sempat berbelanja yang memakan waktu agak lama, seharusnya Tante Dewi sudah berada di rumah sekarang.

Aku menatap Bu Lastri bingung, dia pun menatap ku dengan tatapan yang sama. Aku kemudian membuka ponsel ku untuk menelponnya.

Tuuuutttt…

Tuuuutttt…

Tuuuutttt…

“H…halo Randy?!” jawab Tante Dewi dari seberang sana.

“Halo tan, lagi dimana? Kok belum sampe rumah?”

“Ehmm…inih Tante pulang bareng Mirna…iya bareng Mirna terus ini ehmm…lagi…apa namanya itu sshhh…aduh…lagi mampir bentar di rumahnya Mirna…iya maksudnya itu…”

Entah kenapa Tante Dewi berbicara dengan gugup begitu. Lalu apa dia bilang? Pulang bareng Tante Mirna? Jelas-jelas tadi aku bertanya pada salah satu temannya dia pulang bareng om Pram.

“Apa mau Randy jemput sekarang di rumah Tante Mirna? Udah malem loh Tan, takutnya ada apa-apa kalo Tante pulang kemaleman,” tawar ku kepadanya.

“Enggak uss…awhhh…ssstttt…!!! lagi telpon,” balas Tante Dewi lirih di dua kata terakhirnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang berbisik-bisik dari arah telepon tapi aku tidak dapat mendengarkannya dengan jelas. Mungkin karena gagang ponsel Tante Dewi yang ia tutup dengan telapak tangan.

“Kamu gak usah jemput Ran, Tante nginep di rumah Mirna,” imbuhnya lagi.

“Tapi Tante gak marah kan, maaf Randy tadi pergi gitu aja.”

“Gak papa Ran, udah dulu ya, Tante mau ngobrol lagi sama Mirna.”

Tuuuutttt…

Telepon langsung dimatikan oleh Tante Dewi. Aku heran dengannya, aku yakin kalau dia sedang dengan om Pram. Apa dia juga akan tidur bersamanya?

Arkhhh…memikirkan itu membuat ku jadi cemburu. Padahal dia sedang mengandung anak ku tapi bisa-bisanya dia berduaan dengan lelaki lain.

Tapi tunggu dulu, bagaimana ya jika istri om Pram tahu kalau suaminya selingkuh dengan mantannya dulu? Seketika otak jahat ku kembali bekerja, meski di lubuk hati ku yang paling dalam aku merasa tidak rela berbagi Tante Dewi kepada orang lain.

Baik lah untuk saat ini aku diam kan saja dulu. Aku harus mendapatkan bukti yang cukup atas perselingkuhan mereka berdua, baru lah setelah itu aku memikirkan tentang istri om Pram sekaligus anak pertama teh Adibah.

Setelah itu aku pun pamit kepada Bu Lastri. Aku masih ingat ada yang menunggu ku di apartemen sedang kelaparan.

Aku pulang dengan menggunakan motor membawa barang belanjaan yang cukup banyak.

••

Aku sedang tiduran di atas ranjang apartemen milik Randy sembari menyusui anak ku. Ku coba untuk memejamkan mata ku sambil menahan lapar karena aku belum makan sejak tadi pagi.

Aku bukanlah orang yang tidak tahu diri untuk meminta makan kepada Randy. Mendapatkan tempat berteduh untuk Humaira saja aku sudah sangat bersyukur. Untuk masalah perut ku, entahlah sampai kapan aku dapat bertahan.

Saat mata ku terpejam tiba-tiba ponsel ku berdering. Ternyata itu adalah Annisa, mungkin dia khawatir kepada kami. Setelah berpikir sejenak tentang alasan yang akan aku berikan, aku langsung mengangkatnya.

“Halo Nis?”

“Halo kak? Kakak lagi dimana? Pulang dong kak, please!” pintanya dari arah ponsel.

“Kakak gak bisa pulang ke rumah teteh, mungkin teteh benar kalo kakak cuma jadi beban keluarga kalian aja.”

“Enggak kak, itu gak bener, tadi bunda cuma lagi emosi aja, barusan bunda bilang kalo dia nyesel udah ngomong gitu ke kakak.”

“Enggak papa Nisa, kakak juga lagi butuh waktu buat sendiri dulu.”

“Terus kakak lagi dimana sekarang?”

Aku berpikir sejenak tidak langsung menjawab.

“Emm…kakak lagi mau pulang ke rumah orang tua kakak, ini kakak lagi di terminal,” jawab ku bohong.

“Gitu ya kak, ya udah hati-hati di jalan yah, titip salam sama orang tua kakak.”

“Iya Nis, titip salam juga sama bundanya Nisa, bilang kakak minat maaf atas semua kesalahan dan kekhilafan kakak selama ini.”

“Iya kak nanti Nisa sampein sama bunda.”

“Makasih Annisa, ya udah kalo gitu kakak pamit dulu, assalamualaikum.”

“Waalaikumusalam.”

Telepon pun ditutup. Untung saja Annisa tidak curiga kalau aku sedang berbohong. Ku letakkan ponsel ku di meja kecil di sebelah ranjang.

Ku rebahkan kembali tubuh ku di samping Humaira. Aku memejamkan mata seraya menekan bagian perut ku untuk mengurangi rasa perih akibat perut kosong.

Tak lama berselang pintu apartemen terbuka dan menampakkan seorang pria maskulin dengan membawa dua tas plastik penuh.

Dia tersenyum pada ku penuh arti, tapi aku tidak dapat mengartikannya. Dia meletakkan tas plastik tersebut di meja kerja yang terdapat di ruangan itu.

“Apa itu?” tanya ku penasaran.

“Kebutuhannya Aira.” jawabnya singkat.

Aku lalu membuka salah satu kantong plastik. Di sana terdapat popok bayi, bedak, minyak kayu putih, sabun, dan lain-lain.

Aku putar bola mata ku ke arahnya, tanpa sadar aku menyunggingkan senyum hangat. Hati ku tersentuh, Randy benar-benar sangat menyayangi Humaira. Akhirnya Aira dapat merasakan kasih sayang seorang ayah yang belum pernah ia dapatkan sejak lahir.

Lalu aku buka plastik yang satunya. Aku mengernyitkan dahi ku melihat isinya. Di sana ada vitamin, madu, buah-buahan. Aku geleng-geleng kepala melihat apa yang dibelinya itu.

“Ya ampun Ran, Aira belum bisa makan makanan yang kaya gini,” sergah ku sembari tersenyum geli.

“Siapa bilang yang ini buat Aira.”

Aku kembali mengerutkan kening ku tidak paham.

“Yang itu buat lu kok.”

Aku sedikit memundurkan kepala ku seraya melongo tidak percaya kalau dia membelikan semua itu untuk ku. Randy terkekeh melihat ekspresi ku.

“Jangan GeEr dulu, gue ngelakuin itu juga buat Aira kok, lu kan sumber makanan bagi Aira jadi lu harus sehat biar bisa ngehasilin kualitas ASI yang baik.”

Alasan Randy membuat hati ku menghangat. Tanpa sadar aku menarik sudut bibir ku ke atas. Ku sembunyikan senyuman ku di balik telapak tangan yang ku tempelkan di depan mulut ku.

Randy si lelaki brengsek tapi penuh perhatian. Terlebih lagi dia menyayangi anak ku, tepatnya anak kami.

Aku keluarkan satu buah dus berukuran sedang dari dalam tas plastik tadi. Aku tergelak menahan tawa saat membaca tulisan di dus itu.

“Ini apa Ran?” tanya ku sembari terkekeh.

“Itu susu lah buat lu.”

“Ini susu buat ibu hamil Ran, sedangkan aku gak lagi hamil.”

“Hah?! Emang beda ya? Susu hamil sama susu menyusui?”

“Ya beda lah Ran, ada-ada aja kamu tuh.”

Aku tergelak menahan tawa. Randy mencebikkan bibirnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya udah deh,” ucapnya seraya beranjak dari tempatnya berdiri.

“Mau kemana?”

“Beli susu buat lu lah.”

“Gak usah.”

“Ssstttt…!!!”

Randy menempelkan jari telunjuknya di depan bibir memberikan isyarat pada ku untuk tidak banyak bicara.

Kruyukkk…

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam perut ku. Sontak aku tekan bagian itu, bagian yang belum diisi sejak pagi.

“Laper ya? Emang sebelum minggat gak sempet makan?”

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ku cepat.

“Mau makan apa? Entar sekalian gue beliin.”

“Kalo bisa bakmi goreng,” jawab ku sekenanya.

“Oke, tunggu ya.”

Sesaat kemudian dia sudah menghilang di balik pintu. Aku terpaku menatap pintu yang baru saja dilalui oleh pria itu. Senyum tersungging di bibir ku.

Baru kali ini aku mendapatkan perhatian dari seseorang. Baru kali ini aku merasa memiliki seorang suami meski kenyataannya dia bukan siapa-siapa, hanya pria yang berstatus sebagai ayah biologis dari anak ku.

Perlahan aku mendekati Humaira yang sedang terlelap tidur. Aku rebahkan tubuh ku di sampingnya.

“Papah baik yah? Papah sayang sama Aira,” monolog ku seraya mencium keningnya.

•••​

Sekitar tiga puluh menit berlalu. Randy datang dengan membawa dua bungkus bakmi goreng dan satu dus susu lactating.

Randy kemudian mengajak ku untuk duduk di kursi meja makan sedangkan dia menyiapkan dua piring untuk kami berdua.

Dengan lahap aku memakan bakmi tersebut. Entah kenapa Randy hanya melipat kedua tangannya di atas meja sembari melihat ku makan.

Dalam waktu singkat aku sudah memindahkan seluruh isi piring itu ke dalam perut ku.

“Alhamdulillah,” ucap ku penuh syukur karena akhirnya ada sesuatu yang bisa aku makan.

Seketika aku sadar kalau sedari tadi Randy masih setia memandang ku tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang ada di depannya.

“Gak dimakan mienya? Entar melar loh,” ujar ku memperingatinya.

Dengan senyum tersungging di bibirnya, dia menggeser pelan makanan yang belum disentuhnya sama sekali ke arah ku.

“Punya gue buat lu, kayaknya lu laper banget ya.”

“Enggak kok, udah cukup punya ku,” tolak ku.

“Udah lu makan lagi gih.”

Randy bangkit dan berjalan menuju dapur. Karena sudah diberi izin, ku makan jatah miliknya karena aku masih belum kenyang.

Kembali aku makan dengan lahap. Ketika aku menyelesaikan porsi ku yang kedua, Randy datang dengan membawa segelas susu lalu ia letakkan di samping piring yang sudah kosong.

“Minum!” Perintahnya.

Aku tertegun. Perhatian macam apalagi ini? Apakah dia ingin menyiksa ku dengan rasa nyaman yang ia berikan?

Di satu sisi aku bahagia karena mendapatkan perhatian darinya tapi di sisi lain aku khawatir jika perlakuannya membuat diri ku jatuh cinta kepadanya.

Hal itu tidak boleh terjadi karena mau bagaimana pun aku tidak dapat memilikinya. Di antara aku dan dia terdapat dinding besar yang memisahkan.

Aku yang sudah bersuami dan Randy yang akan menikah dengan Annisa.

“Anggap aja gue ngelakuin ini demi Aira.”

Seolah mengerti apa yang aku pikirkan, Randy berkata demikian. Aku mengangguk singkat lalu meminum susu yang dibuatkan oleh Randy tanpa banyak protes.

“Kalo udah langsung tidur, udah malem. Biar gue tidur di sofa.”

Aku menjadi tidak enak kepadanya. Padahal dia pemilik apartemen itu tapi dia malah mengalah dan memilih tidur di sofa.

“Emm…Ran, kamu tidur di ranjang aja, kamu pengin kan tidur bareng Aira?”

Randy tersenyum sambil mengangguk. Tampak dia senang diberi kesempatan untuk tidur di samping anak kandungnya.

“Makasih,” pungkasnya lalu pergi menghampiri Humaira di kamarnya.

Beberapa saat kemudian aku menyusul mereka setelah mencuci piring bekas makan ku tadi.

Hati ku kembali menghangat kala melihat pemandangan di atas ranjang. Randy tengah memeluk Humaira yang saat itu tengah tidur miring ke arah Randy.

Baiklah itu adalah serangan yang cukup telak di hati ku. Mungkin aku akan gagal menahan gejolak ini. Hati ku benar-benar luluh terhadap sikap Randy itu.

Pantaskah saat ini jika aku berharap agar Randy menjadi milik ku sepenuhnya?

“Pantaskah namanya ku sebut dalam setiap doa yang ku panjatkan kepada mu ya tuhan?” batin ku.

Bersambung

tante sexy
Ngentot tante sexy selingkuhan bule kaya raya
Pembantu binal
Seorang Pembantu Binal Yang Haus Sexs
ngentot tante
Ngentot dengan tante tersayang ketika om keluar rumah
ttm hot
Hubungan sexs meskipun tanpa status
cewe pantai parangtritis
Cerita sex di pantai parangtritis yang tak terlupakan
ibu kost hot
Cerita sex pelampiasan nafsu ibu kost yang kesepian
ngentot mertua
Menikmati tubuh mulus ibu mertua bagian satu
abg nakal
Ngentot dengan dua gadis ABG yang ku kenal di mall
Wanita Panggilan Pelanggan Setia Ku Bagian Dua
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dokter Cantik
Foto Bugil Bintang Porno Jepag Seragam SMA
ngentot mam
Mengobati Rasa Kesedihan Mama Bagian Dua
Cewek cakep
Ku gadaikan kesetiaan ku hanya karena ingin terpenuhi kebutuhan bathinku
ngentot tante
Aku Menjadi Kekasih Gelap Tetangga Ku Bagian Dua
Foto Bugilin Tante Sedang Tidur Ngangkang dan Dientot
Tante hot suka ngentot
Pemuda Perkasa Yang Bisa Memuaskan Hasrat Sexs Ku