Part #35 : Setelah Seminggu Liburan Yang Menyenangkan

Sudah seminggu ini aku balik kerja lagi setelah seminggu liburan yang menyenangkan di kampung halaman, di Sumatera Barat sana, sekaligus menghadiri dan menjadi wali nikah adik kandungku, Selvi. Di liburan itu aku dan keluargaku ditraktir berlibur di tiga tempat wisata oleh saudara sepupuku yang bernama ajo Mansur. Di Bukit Tinggi, danau Maninjau dan pulau Cubadak. Di dalamnya terselubung satu perjanjian rahasiaku dengan ajo Mansur untuk memerawani ketiga istri perawannya karena ketidak mampuannya untuk melaksanakan tugas enak itu. Katanya akan ada hadiah darinya kalo saja satu dari ketiga istrinya itu bisa hamil.

Iseng-iseng aku ngisi bensin di SPBU milik ajo Mansur yang ada di pusat kota Medan malam-malam sepulang kerja dengan Pajero-ku. Galon ini ramai pelanggannya karena ada di tengah kota dan galon terdekat cukup jauh jaraknya. Fasilitas SPBU ini cukup lengkap karena harus sesuai standar masyarakat kota besar. Ada 16 buah pompa yang beroperasi, terdiri dari pompa Premium, Pertamax dan Solar. Ada sebuah mini market, franchise ayam goreng dan pizza, mushola, gerai ATM dan bahkan arena bermain anak. SPBU ini tentunya banyak karyawannya yang dengan cekatan melayani setiap pelanggannya. Berapa ya pemasukan tiap harinya dari galon ini? Banyak pastinya.

Ngomong-omong soal Pajero, benar aja kak Sandra menyerahkan BPKB mobil itu padaku begitu aku masuk kerja di hari Senin itu. Dia gak mau tau alasanku menolak semua itu melainkan menunjuk perutnya aja. Aku disuruhnya ngobrol sama janin di perutnya kalo mau menolak mobil itu. Kalo janin itu bilang boleh dibalikin, aku boleh mengembalikan mobil mahal itu. Somplak aja aku disuruh ngobrol sama orok di perutnya. Yang ada aku disuruh menggenjot dia sekali pagi itu bareng sama Dani di ruang istirahatnya. Pagi-pagi udah kerja keras.

“Mulai sekarang lu harus kerja dan belajar yang lebih keras, Seng… Wa dah pasti resign begitu wa melahirkan bayi ini… Tidak ada tawar-tawar lagi… Tapi wa belum kasih tau sama siapapun selain lu orang… Bahkan Amek gak wa kasih tau soal resign ini… Koh Asui… koh Atam juga… Kalo lu nanya… lu mau tau… Lu gak bakalan bisa jadi pengganti wa kalo mereka tau sebelumnya karena mereka pasti akan mempersiapkan pengganti wa… Makanya wa didik lu orang selama beberapa bulan terakhir ini sampe wa melahirkan… semua skill dan pengetahuan yang lu butuhin buat jadi Factory Manager gantiin wa… Mulai sekarang pelan-pelan wa akan limpahin lu beberapa tugas yang biasanya wa kerjain dan handle… Lu siap, kan?”

Kepalaku terasa berat mendengar pemaparan kak Sandra itu. Selama ini aku gak pernah membayangkan akan mengambil alih tugas dan tanggung jawab kak Sandra. Seorang Factory Manager sebuah pabrik sebesar ini. Itu tanggung jawab yang sangat besar… Ia kembali mengingatkanku akan nominal yang akan kuterima untuk mendongkrak semangatku. Pelan-pelan pikiran yang membuatku tenggelam oleh beban berat itu ditarik oleh sebuah balon raksasa berbentuk pundi-pundi rupiah.

Apa yang sebenarnya kuinginkan? Karier yang cemerlang? Duit banyak? Harta berlimpah? Siapa yang gak mau itu semua. Pastinya semua orang mau. Makanya kita bangun pagi untuk mengejar itu semua. Baik belajar di sekolah dengan sungguh-sungguh. Merintis bekerja di sebuah perusahaan agar bisa cepat naik jabatan. Membanting tulang agar usaha binaan berkembang pesat. Kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala.

Jadilah mulai hari itu, pekerjaanku bertambah berat. Bekerja sambil belajar. Belajar barengan dengan kerja. Kak Sandra memberikanku beberapa buah buku Manajemen dari yang For Dummies sampe yang berat dengan banyak istilah njelimet untuk kubaca dan pelajari. Lah kapan aku ada waktu untuk membaca buku-buku tebal itu diantara waktuku yang keknya semakin pendek. 24 jam keknya kurang seharinya. Kalo aku membawa buku-buku itu untuk kubaca di daerah kekuasaan Menggala-ku, yang ada aku malah tidur karena kelelahan.

“Jadi… Papa bakalan sering pulang telat, maa…”

“Kak Sandra bakalan resign?” ulang istriku saat kuutarakan masalah yang bakal kami hadapi.

“Yaa… Abis melahirkan dia udah gak mau kerja lagi… Mau fokus ngurus anak aja katanya…” jelasku. Malam ini aku sampai rumah jam 9 lewat. Rio dan Salwa udah pada tidur. Kasian Salwa bakalan gak bisa rutin jalan-jalan lagi bareng papanya seperti yang selama ini kulakukan pagi dan sore.

“Hamil juga ya kak Sandra… Sukur deh…” Ya, istriku. Suamimu ini yang menghamilinya. “Tapi kenapa harus papa yang sering pulang telat jadinya?”

“Kak Sandra berencana… dia mau papa yang gantiin dia…” jawabku sebaik-baiknya. Kaget tentunya istriku mendengar pengakuanku itu. Menggantikan kak Sandra sebagai Factory Manager? Ia tidak bertanya apa-apa lagi setelah itu. Entah karena ia paham kondisinya ato konsekuensinya kalo aku menjadi pengganti kak Sandra. Ia diam dan menatap jauh ke langit malam. Lama kami saling diam malam itu. Duduk berdua di teras rumah yang sepi tanpa suara anak-anak kami.

Hari-hariku terus berlanjut. Pastinya penuh dengan kerja dan kerja. Tentunya sangat lelah apalagi pekerjaan ini memang berat. Luar biasa kak Sandra selama ini dapat melakoninya dengan baik dan sempurna. Entah apakah para bos besar nantinya akan percaya padaku untuk menggantikan fungsi dan peran yang selama ini sudah dijalankan oleh kak Sandra saat ia resign kerja nanti. Bekerja dan belajar bersama kak Sandra cukup keras. Ia bisa membedakan mana pekerjaan yang membutuhkan penangangan yang serius, pendalaman data, ketelitian administrasi dan intuisi pebisnis ditambah manajemen SDM dan waktu. Dan kapan pula waktu bersenang-senang. Saat hamil muda begitupun ia sempat-sempatkan untuk menikmati seks yang bombastis denganku. Malam-malam kami pulang telat lebih sering karena aku sedang menggenjot cepetnya yang bertambah semok saja karena keadaan hamil begini. Karena desakan perutnya, ada sejumlah tonjolan ketat di dalam cepetnya terasa saat diraba ato grepe. Aku tentu aja penuh kehati-hatian dalam menggaulinya di keadaan hamil muda begini. Apalagi andilku sangat besar dalam kehamilannya itu sebab aku yang menghamilinya. Walo bagaimana, janin di dalam perutnya itu adalah anakku.

Sesekali Dani juga ikut nimbrung dalam permainan kami itu. Dua perempuan cantik yang lagi hamil muda itu udah kek lesbi beneran kalo udah saling bugil bareng. Cumbuan keduanya udah ngalah-ngalahi pasangan hetero. Hot gilak pokoknya. Kalo aku lagi menggenjot doggie kak Sandra, Dani akan berciuman ato menyedot toket 36D milik panlok itu. Sebaliknya juga demikian, kak Sandra gak segan menyodorkan cepetnya ke mulut Dani yang disambut dengan senang hati penuh sruputan mesra.

Bagaimana binor-binor di sekitaran rumahku? Kelabakan aku tentunya. Lima binor itu selalu menodongku dengan berbagai ajakan dan tawaran menggiurkan setiap saat. Bulan-bulan awal aja mereka masih sering ‘mabuk’ sebab kehamilan muda yang mereka (Yuli, Pipit, dan Iva) alami bersamaan. Perkiraan dokter rata-rata mereka hamil pada waktu yang berdekatan dan perkiraan lahir yang juga berdekatan pula. Gang tempatku tinggal ini tentu saja saja heboh, heboh yang menurut beberapa kalangan menyenangkan, karena 3 perempuan yang tinggal berdekatan begitu bisa hamil bersamaan. Alangkah kebetulan yang sangat… sebetulnya biasa aja mengingat gang ini lumayan panjang dan luas. Jadi kemungkinan kebetulan ini terjadi sebenarnya sah-sah aja. Kalo satu gang ini, binornya hamil semua bersamaan, itu baru ajaib. Dan orang bisa bertanya-tanya bahkan berspekulasi ada ada apa-apanya. Ada udang di balik batu. Ada Aseng junior di balik sempak.

Aida yang hamil lebih dahulu belum lama lalu melakukan syukuran 7 bulanan. Yuli, Pipit dan Iva hadir di acara itu jadi kompak sekali berkumpul karena mereka kebetulan sekali bisa hamil dalam waktu yang sangat berdekatan. Ibu-ibu banyak mengerumuni mereka memberikan selamat karena sudah sabar menunggu sekian lama dan akhirnya kesampaian juga dari penantian panjang. Ada yang nanya tips dan juga triknya. Istriku yang selalu tertarik dengan pembicaraan seputar bayi antusias ngobrol dengan ketiga perempuan hamil itu. Tentu aja aku deg-degan menguping pembicaraan itu, takutnya, tips-nya ‘minta tolong buatin sama bang Aseng’. Kalau-lah kejadian semacam itu benar terjadi, entah apa yang akan terjadi padaku. Kan bisa di-bar-bar aku sama satu kampung.

Untunglah mereka membualkan cerita ngarang tentang daya upaya mereka untuk berhasil hamil. Ceritanya jadi pejuang dua garis pink dengan segala macam cara. Tentu saja tak ada yang tau sama sekali tentang apapun andilku pada kehamilan binor-binor itu. Sejauh ini merekapun tetap berpegang pada perjanjian kami pasal dua. Hanya ada dua pihak saja yang tau perihal skandal itu. Cara itu kurasa cukup efektif sampai saat ini. Bahkan antara merekapun masing-masing menyimpan rahasia yang dikiranya eksklusif untuk dirinya sendiri. Ada juga sih…

“Jangan-jangaaan… bu Yuli tetangga samping rumah abang itu juga… abang yang ngehamilin, ya?” sergah Iva malam itu setelah aku menyatroni rumahnya. Toni, suaminya pergi mancing lagi ke tepian dermaga Belawan bersama teman-temannya. Padahal itu liang kawinnya baru aja kuencrotin setoran sperma kental yang banyak. Gelagapan dan berusaha menyembunyikan mimik gugupku, kujejalkan Aseng junior yang masih ngilu-ngilu sedap ke mulut mungilnya agar ia tidak banyak omong lagi. “Mmlloohh… Bang Aseng-ih… Mmbb…” Begitu Aseng junior kembali pulih dan menegang keras di dalam mulutnya, kembali perempuan pemilik kede itu kusodok lagi di dalam kamarnya. “Aaahh… Enaaak, baanghh…”

“Pipit juga mungkin?” belum selesai juga dia. Aku curiga itu caranya untuk terus kuentot malam itu. Padahal aku belum pulang ke rumah malam itu. Motorku kuparkir saja di halaman karena pintu depan rumahku sudah tutup. Pikirku aku lebih baik ngilangin stres dengan bersenang-senang dengan binor cantik tersedia aja. Malah nambah stres karena pertanyaan kek gitu. Alhasil aku encrotin binor hamil muda itu tiga kali malam itu.

Apa kabar tiga istri cantik dan langsing, ukhti-ukhti istri ajo Mansur yang berhijab? Katanya sih baik dan sehat. Ada kabar bagus malah. Ajo Mansur bakalan datang ke Medan. Siang itu aku ditelponnya pas kerjaan lagi puncak hectic-nya. Bentar lagi ada meeting penting insidentil dan ia memberi kabar kalo ketiga istrinya positif hamil. Dalam waktu dua minggu sejak liburan bersama itu. Aku membuka ketiga segelnya dan langsung tekdung.

Bingung, kan? Bisa-bisanya ketiga perempuan itu hamil bersamaan? Ajo Mansur bakalan mendapat tiga bayi sekaligus. Suaranya disana sangat riang sekali. Kalo aku bertemu dirinya langsung kelak, pasti rona-rona bahagia ada dimana-mana. Katanya ia hendak menyampaikan janjinya waktu itu. Ia serius mengatakan kalo itu sudah menjadi nazar baginya untuk menyerahkan ato menghibahkan satu SPBU yang tersisa di Medan itu untukku. Tak ada nada keraguan di suaranya ketika meneleponku sama sekali. Ia tulus dan benar-benar ikhlas menghibahkan galon sebesar dan sementereng itu padaku.

Malam itu, sepulang dari pabrik aku meluncur lagi ke galon itu dengan mengendarai Supra X 125-ku yang selalu setia menemaniku walo sudah ada Pajero yang belum punya garasi di rumah. Malam-malam beginipun galon ini tetap aja rame. Aku parkirkan motorku di depan mini market dan memperhatikan kinerja para karyawan yang bakalan menjadi bawahanku kelak. Tau apa aku tentang mengelola SPBU? Aku sama sekali buta. Apalagi aku sudah cukup sibuk di pabrik. Hampir seluruh waktuku tercurah di sana saat ini. Apa nantinya aku pakai gaya pengelolaan ajo Mansur aja? Cuma terima beres dan sesekali mengontrol. Tau beres dan terima keuntungan aja karena SPBU ini punya manajemen sendiri yang berbentuk PT yang tentunya punya struktur organisasi yang jelas. Ada direktur, manager, supervisor, operator dan sebagainya.

“Rokok, bang?” tawar seorang pria padaku. Rokok? Bukannya di tempat beginian dilarang merokok, ya? Aku sedang berdiri-berdiri saja di depan bangunan utama bertingkat 3 SPBU yang merangkap kantor dan juga semacam penjualan berbagai produk oli dan tabung gas di lantai bawahnya.

“Gak, bang… Awak gak merokok…” jawabku menolak.

“Gak pa-pa… Aku yang tanggung jawab di galon ini…” katanya lalu menghisap dalam rokok yang barusan disulutnya. “Sedang nunggu teman, bang?” tanyanya mungkin aku dianggapnya sedang menunggu teman yang ngisi bensin pake motor di antara banyaknya antrian disana. Aku masih pake baju yang tadi kupakai kerja ditutup sama jaket bonus showroom motor.

“Eh… he he he…” aku cuma cengengesan aja. “Menejer-nya abang, ya?” tanyaku menilik pakaiannya yang lumayan necis. Kemeja lengan panjangnya bermerk mahal, celana panjang dan sepatu kulit hitam mengkilap.

“Iya-lah… Udah mau dijual galon ini, bang… Tapi belum laku juga… Mahal kali orang Padang itu bukak harganya… Cina-Cina disinipun mikir mau belik harga segitu…” kata sang manager sambil terus ngebul pongah dengan rokoknya. Ia juga sibuk mencet-mencet HP mau ngubungin seseorang. “Alo, lek? Kapan tangki (truk tangki pembawa BBM cair) klen datang?… Solar kami dah mau abis tuh… Besok kosong pulak tangki timbun kami jadinya…” ia sedang menghubungi orang Pertamina ato apalah gitu. “Tengah malam? Pasti itu, kan? Nanti kusuruh anggotaku aja yang nerima, ya? Aku dah mau pulang,nih…” katanya setengah tereak-tereak. Aku menangkapnya kek pamer gitu. Mungkin diliatnya aku kek supir angkot ato cemana, ya? Sepele kali dia sama orang-ah! Cam betol aja.

“Mahal ya harga galon ini, bang?” tanyaku bego. Aku memang belum tau harga appraisal pasaran SPBU seperti ini kalo memang diperjual-belikan.

“Ih… Mahal kali-lah… Nenekmu sama oppung-mu sama semua cucu-cucu… cicit-cicitnya kalok dijual dikali enam-pun belom bisa belik galon ini… Mahal kali-lah pokoknya…” bualnya melebih-lebihkan. Kami sama-sama tertawa mendengar bongak (bual)-nya itu. Kalo ber-kombur (ngobrol gak tentu arah) sama orang kek gini bisa panjang ceritanya. Jadi kumanfaatkan untuk ngorek informasi. Tak lama orang itu permisi pulang katanya ada janji dengan orang rumahnya. Belum sempat melangkah ada telpon masuk ke HP mahalnya. “Iya, dek… Abang udah mau pulang nih… Sabar ya, dek… Tadi pesan apa? martabak Bangka, ya? Iya-iya, dek… Abang beliin, yaa…” ia menutupi bagian mic HP-nya dan ngomong lirih agar gak kedengaran sama aku. Tadi garang kali ngobrolnya. Ditelpon orang rumahnya langsung menciut jadi bucin.

Duduk di depan mini market sambil nyeruput teh manis kemasan, aku teringat percakapanku sore tadi dengan kak Sandra. “Apa pendapat kakak?”

“Wah… Seng? Wa gak bisa ngasih lu nasehat apa-apa kalo gini ceritanya… Lu nanti jadi Factory Manager dengan gaji wa sekarang ini aja masih belum seberapa dengan omset galon itu sehari… Beneran lu mau dihibahkan… (*glek) galon itu? Lu gak lagi ngayal, kan?” tanya kak Sandra. Ia sudah kuceritakan tentang masalah hibah SPBU itu tapi tidak tentang detail penyebabnya.

“Beneran-lah, kak… Sori, kak… Awak maksud nanya gini ke kak Sandra bukannya mau nyombong, kak… Tapi awak bingung kali, kak? Gimana cara nerima ini semua? Kakak tau sendiri aku gimana… Awak ini orang yang biasa susah, kak… Kerja di sini baru awak bisa memperbaiki taraf hidup awak… Takutnya dengan uang sebanyak itu… awak bisa meledak gak terkendali, kak” kataku saat itu menyampaikan ganjalan di kepalaku.

Dipandanginya aku cukup lama dan kami tatap-tatapan. Aku gak ragu menatapnya balik karena kuanggap dengan begitu ia bisa menilaiku dengan lebih logis dan realistis. Kak Sandra sudah banyak pengalaman dan sudah kuanggap guru. “Istrimu udah tau tentang galon ini?” tanyanya. Aku menggeleng. “Lebih baik tetap rahasiakan…” ungkapnya.

“Kenapa, kak?” tanyaku heran.

“Anggap aja sebagai tabunganmu… Tabungan yang besar sekali jumlahnya…” ia memainkan jari-jarinya kek tentakel ubur-ubur. (*tari ubur-ubur! tet teet tet te-et) “Karena selama ini-pun galon itu hanya sesekali aja kan ditengokin saudara sepupumu itu… Pertahankan aja seperti itu terus… Tetap bekerjalah disini seperti biasa dan terus belajar… Trus belajar… Kalo perlu lu kuliah… Kan ada kelas untuk pekerja tuh… Belajar… Pasti akan banyak manfaatnya untuk masa depan lu… Terutama keluarga lu…”

Kuliah? Udah bangkotan begini disuruh kuliah. Aku yang tamatan SMA aja udah sukur kali bisa lepas dari yang namanya bangku sekolahan. Sekarang disuruh balik lagi untuk kuliah?

“Wa yang nyuruh lu kuliah wa kasih lu pulang cepat… Asal kerjaanmu lu selesai…” lanjutnya malah memberiku kemudahan jalan. Itu salah satu kendalanya. Waktu. “Nanti wa cariin kampus yang bagus buat lu orang kuliah… yang buat pekerja gitu…” lanjutnya malah memutuskan begitu. Aku menganggapnya sebagai tanda perhatiannya yang tak pernah henti untukku.

“Makasih, kak…” ucapku lirih.

————————————————————————————-
Hari ini aku permisi gak masuk karena akan menyambut ajo Mansur yang mendarat di Medan jam 10 pagi ini. Sekaligus ia akan meresmikan semuanya secara legal dan formal di notaris perihal hibah SPBU itu padaku. Ajo Mansur datang sendirian aja tanpa satupun istrinya atopun pendamping. Tanpa banyak basa-basi, aku diarahkannya untuk menuju ke notaris kepercayaannya.

Sengaja aku mengarahkan Pajero ini untuk melintas di depan galon yang sedang sibuk-sibuknya di jam traffic begini agar ajo Mansur bisa melihat SPBU itu lagi, mana tau ia berubah pikiran melihat ramenya ladang usahanya itu. “Gak Seng… Tekad ajo sudah bulat… Ajo sudah pikirkan ini masak-masak… Sudah bagian dari nazarku, kan? Kalau aku mendapatkan anak… galon itu untukmu… Ajo gak berani bilang juga kalo anak itu anakmu tapi kau-lah yang membuka jalannya… Kalau ajo gak minta tolong padamu waktu itu… ini semua mungkin tidak akan terjadi dan ajo masih aja usaha kesana-kemari untuk berobat medis sama alternatif yang gak jelas… Denganmu… langsung ada bukti dan berhasil… Ajo sembuh…” katanya seperti membaca pikiranku. Ia sudah kenyang makan asam garam kehidupan dan bertemu dengan banyak orang. Tak sulit baginya mengetahui maksudku.

“Jangan gitu-la, joo… Nanti jadi syirik jadinya kalo ngomongnya kek gitu… Cem apa kali-la awak ni…” kataku merendah sambil terus berkendara di belakang setir sementara ajo Mansur di sampingku.

“Tau… Ngerti, Seng… Semua ini usaha aja… ikhtiar… Serahkan semuanya sama yang di atas…” jawabnya memandang lurus setelah sekilas melirik ke atas sebentar tadi. “Kaset handycam-nya masih kau simpan, kan?” tanyanya sekonyong-konyong menyinggung rekaman di pulau Cubadak kemaren.

“Masih, jo… Ajo mau ambil lagi?” tanyaku. Padahal itu bahan bacolku paling berharga. Tiga pemeran cewek dalam rekaman itu kelas wahid semua sehingga sayang untuk dibuang.

“Enggak, Seng… Ajo punya barang aslinya… untuk apa rekamannya… Sekarang kami tinggal serumah berempat… Gak terpisah-pisah lagi… Kau gak iri, kan?” tanya ajo Mansur malah mirip membanggakan. Ia patut membanggakan ketiga tropi berharganya itu. Ia punya tiga bidadari cantik di satu atap rumahnya. Selama dua minggu ini, entah udah apa saja yang mereka eksplor berempat.

“Iri sih, jo… Tapi apa daya… tangan tak sampai…” kelakarku dan kami berdua tertawa bersamaan di dalam mobil ini. Mengukur jalanan kota Medan yang macet dan mulai panas menjelang siang ini. Tak seberapa lama kami sudah memasuki sebuah kantor notaris yang dipilih ajo Mansur sebagai perwakilannya selama ini untuk mengurus urusan legal usahanya. Sebagai klien besar, kami sudah ditunggu dan segera menemui sang notaris yang sudah menyiapkan semua berkas-berkas untuk urusan hibah ini. Aku dimintai KTP sebagai pelengkap data-data penerima hibah dari ajo Mansur dan banyak tanda tangan sana sini untuk melegalkan semua prosedur ini. Terlalu banyak sehingga aku tidak tau sudah berapa kali aku tanda tangan.

“Nah… Pak Nasrul… sekarang SPBU ini sudah resmi atas nama anda setelah anda menerima hibah seluruh aset dan kepemilikannya… Berikutnya akan ada perubahan kepengurusan PT ini karena dengan ini anda juga menggantikan pak Mansur selaku pemilik sebelumnya sebagai direktur… bla bla bla…” aku gak terlalu fokus dengan semua ocehan formal lelaki tua notaris itu yang didampingi rekannya. Kepalaku agak kosong ‘meratapi’ jalan hidupku yang tak dinyana dan tak diduga menjadi seperti ini. Aku menjadi seorang direktur sebuah PT yang mengelola sebuah SPBU besar di tengah kota Medan.

“Silahkan, pak Nasrul… Ini aktenya…” rekan notaris yang masih terhitung muda sebagai Associate itu, menyerahkan sebuah map berisi akte pendirian perusahaan itu padaku. “Silahkan dibaca dahulu untuk memastikan semuanya…” suaranya sangat halus. Perhatianku jadi teralihkan pada perempuan itu. Kenapa aku baru ngeh kalo ada perempuan di ruangan ini? Padahal tadi aku sudah salaman dan kenalan dengan kedua orang ini.

“Udah…” cuma jawaban singkat itu aja yang keluar dari mulutku yang tiba-tiba kering karena langsung neguk ludah dalam-dalam. Cleguk-cleguk! Cantik kali, mak! Dah kek pemain sinetron di tipi-tipi kutengok perempuan ini dari dekat gini. Siapa tadi namanya. Vony? Sony? Ah… Ada pulak nama cewek Sony.

“… dan yang ini adalah sertifikat dan surat-surat pendukung untuk obyek hibah kedua… yang berada di Perumahan XXX Blok YY nomer 556 di jalan Cemara Medan…” imbuhnya lagi menyerahkan satu folder map lainnya padaku. Sertifikat? Di perumahan jalan Cemara? Kok ada rumahnya juga? “Sementara rumah itu masih ditempati oleh penyewa saat ini yang kebetulan akan berakhir dua bulan lagi…” ia menunjukkan beberapa dokumen yang memang benar adalah sertifikat hak milik. Ada foto sebuah rumah mewah bertingkat dua tercantum di dalam kumpulan dokumen itu.

Otomatis aku berpaling pada ajo Mansur yang duduk tak jauh dariku. Ia hanya mengangguk dan tersenyum simpul. Ia tidak mengatakan apa-apa karena ada dua orang asing ini di sini. Aku tidak mungkin bertanya lebih jauh. Ajo Mansur kemudian menggidikkan bahu trus menggerakkan kepalanya, menunjuk dengan dagu ke satu arah. Arah cewek cantik itu.

“Berikutnya adalah obyek hibah ketiga atau terakhir… Sebidang tanah dengan total luas 20.285 meter persegi yang berlokasi di Kabupaten Langkat kota Stabat… Ini sertifikatnya… Silahkan dicek pak Nasrul…” diserahkan folder map ketiga padaku. Hanya harum parfumnya yang kuingat karena kepalaku mendadak puyeng dengan semua informasi ini. Prosesor Pentium keluaran awal yang menjadi penggerak otakku belum pernah bekerja sekeras ini seumur hidupku. Jadi tadi yang kutanda tangani sampe banyak itu untuk ini semua. Terasa tangan ajo Mansur menepuk-nepuk bahuku. Aku kehilangan kata-kata.

———————————————————————————
“Jangan di-perli (goda), ya pak Nasrul… pak Mansur… Vony ini dulu mahasiswi terbaik saya… Saya tarik jadi rekan di kantor notaris ini karena saya kan udah gak muda lagi… Udah banyak kurangnya… Perlu tenaga baru untuk meneruskan kantor ini nantinya… Saya juga dulu yang menjodohkannya dengan anak salah satu klien… Udah kek anak saya dia ini…” jelas pak Alex sang notaris tua perihal mahluk cantik di ruangan kantor yang mendadak meriah berkat kehadirannya.

“Pak Alex melebih-lebihkan itu, bapak-bapak… Saya dulu yang memohon-mohon supaya diterima magang di kantor ini, kok…” mahluk cantik itu merendah. Apapun yang dikatakannya, indah-indah aja di mataku. Kalo lagi ngupil sekalipun masih cantik kali dia. Kalo kentut mungkin wangi gas buangnya. Kek motor dua tak pake oli samping campur Channel no. 5.

“Ya enggaklah, pak Alex… Kami ini berdua laki-laki beristri… Mana berani ngegangguin istri orang… Ya nggak, Seng?” sikut ajo Mansur pada lenganku.

“Iya…” jawabku irit terus curi-curi memperhatikan Vony cantik yang senyum manis mengikuti pembicaraan.

“Nama artis pak Nasrul ini Aseng… Jadi mungkin kalau mau akrab dengannya panggil Aseng aja… Kek Cina dia, kan?” jelas ajo Mansur gak perlu. Malu-maluin aja ini ajo pake ngasih tau nama tenarku. Gak sekalian gelar Sutan-nya disebut. Hu-uh.

“O-ya? Padahal bapak-bapak berdua sepupu, kan? Kok gak mirip, ya?” kata pak Alex. Vony lebih banyak diam dan mengikuti pembicaraan kami sebagai pengamat. Hanya sesekali menimpali. Tapi ada sedikit mimik berbeda tadi yang ditunjukkan Vony saat mendengar nama bekenku disebut-sebut ajo Mansur. Keningnya sedikit berkerut. Mungkin kaget orang awak (Minang) sepertiku punya nama panggilan ‘Aseng’.

“Aseng ini ngikut sama ibunya, pak Alex… Jadi putih gini kek Cina… Kami ini sepupu dari garis ayah… Ayah kami abang beradik… Ayah saya yang sulung dan ayah Aseng yang paling bungsu… Saya lebih mirip ke ayah saya… jadi kek Arab-Arab-an gitu, ya? Agak gelap sedikit… Ada juga darah Aceh… Tengku-tengku gitulah ceritanya… Jadi kalo digabung jadi tengku-rab (*bad pun. Tengku-Arab. Orang Medan pasti pernah dengar joke garing ini)…” kami tertawa mendengar kelakar ajo Mansur ini. Bahkan Vony yang cantik begitu juga tertawa sampe memegang perutnya. Ada titik air mata di sudut matanya sangking gelinya. Pak Alex tertawa sambil menepuk-nepuk meja kacanya.

“Jadi saya tentunya kaget-yah… Pak Mansur nyuruh saya menyiapkan semua surat hibah ini dalam waktu singkat… Vony sampe harus kerja lembur sampe tengah malam menyiapkan semua dokumen ini karena harus diselesaikan hari ini… Benar kan, Vony?” ujar pak Alex. Vony hanya mesem-mesem aja membenarkan. Duh… Kacian cantik… Lembur sampe begadang ya buat nyelesaikan semua dokumen ini? Sini abang Aseng pijetin. Mananya yang capek? Mananya yang pegel? Mau dielus-elus aja? Iya? Plak! Halu kao, paok!

“Sebenarnya begini, pak Alex… Saya bermaksud untuk lebih fokus usaha saya semuanya dipusatkan di Sumatera Barat sekitarnya saja… Terlalu repot kalau saya harus keliling-keliling beda provinsi untuk memantau semua lini usaha… Bukan cuma di sini aja… Di tempat lain aset-aset saya di sana saya lepas juga… Hanya saya pertahankan beberapa properti di Ibukota negara dan Bali kalo saya pengen liburan di sana…” ungkap ajo Mansur dengan alasan logisnya akan maksud semua ini. Pak Alex dan Vony manggut-manggut. “Lagipula saya juga baru menikah… Jadi fokus juga pada keluarga… Iya gak, Seng?”

“Iya…” lagi-lagi jawabanku irit karena aku sedang asik menaksir-naksir bentuk penuh kaki Vony yang tertutup rok span di atas lutut. Pahanya padat berkulit putih nan mulus kinclong kek granit mushola. Kira-kira cewek cantik seperti ini kalo di ranjang menjeritnya gimana, ya? Ngeres kali otakku jadinya. Puas kali-lah lakikmu menjamahmu tiap hari, Von. Aduh… Lipatan kakinya berpindah dari kiri ke kanan. Kelebatan cepat transisi-nya masih kalah dengan latihan silat harimau Mandalo Rajo yang kulakoni akhir-akhir ini. Pe-de kukatakan kalo celana dalamnya warna kuning gading berenda hitam tipe G-String senada dengan blazer kuning dengan lis hitam dipadu padan dalaman kemeja lengan panjang berkerah lebar warna putih. Umpan lambung fan-service yang sangat baik dari seorang Vony, saudara-saudara…

“Mm… Begitu-yah… Jadi untuk seterusnya bagaimana, pak… Proses pengalihan PT SPBU tadi akan memakan sedikit waktu… Apakah pak Mansur akan lama di Medan? Ikut mengawasi?” tanya pak Alex hati-hati.

“Malam ini saya terbang pulang ke Padang, pak Alex… Saya serahkan semuanya pada bapak aja… Nantinya akan lebih banyak berurusan dengan Aseng tentunya… Nanti segala biayanya… kirimkan tagihannya ke saya aja… Saya yang bereskan…” jelas ajo Mansur datar kembali dan duduk bersandar dengan tenang di kursinya. Pak Alex dan Vony manggut-manggut kembali.

“Nah… Vony… Karena kamu udah repot-repot menyiapkan semua ini… Tuntaskan semua dan urus perombakan susunan AD/ART PT SPBU ini sampai selesai, ya?” delegasi pak Alex menugaskan kembali Vony untuk menyelesaikan semuanya.

“Baik, pak Alex… Pak Nasrul… eh pak Aseng… Kita akan sering berhubungan untuk mengurus perusahaan baru bapak hingga selesai…” katanya dengan senyum yang sangat profesional padaku. Pancaran senyumnya tidak terlihat profesional padaku saat ini hingga apapun yang dilakukannya jadi erotis di mataku. Sampai-sampai aku berharap ia berbisik menambahkan kata ‘badan’ setelah kata ‘berhubungan’ tadi. Ahh… Andai halu-ku ini menjadi nyata.

“Bang Aseng aja… Gak usah pake pak… Awak gak biasa… *badaaan…” kataku dan kata akhir tadi kubisikkan pelan sekali sebagai gumaman sableng.

“Oh… Begitu? Boleh manggil bang Aseng aja, ya?” kata si mahluk cantik itu. Manggil abang sayang pun boleh kali. *Aseng kena upper cut! Aku mengangguk-angguk kek aksesoris mobil yang kepalanya goyang-goyang karena ada per-nya. Boneka doggy itu, ya? Kimak! Aku menyamakan diri sendiri sama itu asu.

“Mm… Jadi gini pak Mansur… Dalam pendirian PT tempo hari kan ada penyertaan modal yang sudah bapak setorkan di rekening PT… Apakah bapak akan menarik dana itu dan bang Aseng yang menggantikannya?” tanya Vony. Apa itu? Penyertaan modal?

“Tidak perlu… Saya kan sudah hibahkan semua… Ya sudah termasuk penyertaan modal itu juga…” kata ajo Mansur. Vony menyerahkan copy dokumen yang dimaksudnya itu. Sebuah bukti setoran bank pembukaan rekening atas nama PT yang dulunya milik sepupuku itu. Jumlahnya ratusan juta rupiah. Mendadak kakiku dingin. “Lagipula itu bisa menjadi cadangan dana kalo Aseng mau melakukan penambahan apapun…”

————————————————————————————————-
Setelah makan siang bersama pak Alex dan Vony, kami menuju SPBU itu. Ajo Mansur bermaksud memperkenalkanku pada seluruh jajaran pekerja di tempat yang sekarang secara sah menjadi milikku. Kami langsung aja masuk ke bangunan utama berlantai 3 itu dan langsung naik ke lantai 2 dimana operasi manajemen berada. Pria yang kemarin dulu itu mengaku sebagai manager SPBU ini juga ada disana. Ia seperti mencoba mengingat-ingat pernah melihat aku dimana gitu.

“… jadi bapak Nasrul ini yang sekarang mengambil alih SPBU mulai hari ini menggantikan saya… Kalian semua bertanggung jawab kepadanya dan melapor padanya sesuai kapasitas masing-masing… Dia orang Medan sini juga… Tinggal di Mabar… Jadi akan lebih sering mengontrol operasional SPBU ini dari pada saya sebelumnya…” ajo Mansur memperkenalkanku pada semua manajemen yang ada di lantai 2 ini. Lantai seluas ini hanya ada satu ruangan saja bersekat kaca grafir karena staffnya tidaklah banyak. Selain sang manager yang duduk di singgasananya, meja terpisah dari yang lain, ada 3 orang perempuan yang membidangi keuangan, pembelian dan administrasi. Seorang lagi pria muda yang mengurus masalah segala tetek bengek tagihan masuk dan keluar.

“Selamat siang… Nama saya Nasrul… Tapi panggil saja saya Aseng agar lebih akrab… Sebenarnya saya buta sama sekali tentang dunia minyak-minyak ini… Sama sekali gak tau apa-apa… Tapi itu bisa dipelajari… Saya akan belajar dari kalian semua… Saya sebenarnya masih bekerja juga di pabrik di KIM Mabar sana… Jadi karyawan biasa aja… seperti kalian-kalian… Saya tau rasanya ada di posisi kalian… Jadi sepertinya kita bisa saling mengerti karena kebetulan saja saya yang menjadi bos kalian semua… Tetap pertahankan kerja baik selama ini… Kita akan bekerja lebih baik lagi untuk kesejahteraan kita semua tentunya…” kataku memberi sambutan sambil memandangi semua karyawan-karyawan kini berada di bawah naunganku. Si Manager itu sepertinya mulai gemetar badannya dengan muka memelas mau nangis. Matanya berbinar-binar. Eh! Berkaca-kaca. Sepertinya ia baru teringat siapa aku. Ia meremas-remas jarinya sendiri dengan gelisah.

“Kenalin diri masing-masing… Biar bos baru kalian ini kenal nama kalian…” kata ajo Mansur.

“Na-nama saya Suhendra, pak Aseng… Saya manager operasional SPBU ini…” kata sang manager itu gugup. Untung dia ingat hierarki kedudukannya hingga ia yang mulai memperkenalkan diri. Pastinya dia enggan.

“Panggilannya Hendra, ya?” tanyaku.

“Iya pak… Hendra…” jawabnya agak nunduk-nunduk gitu, inferior.

“Kamu merokok?” tunjukku pada kantong depan celananya yang menggembung berbentuk kotak rokok filter.

“Iya, pak…” ia buru-buru mengeluarkan kotak rokok itu dari kantong celananya beserta geretannya yang terlihat bermerek elegan. “Sa-saya akan berhenti merokok, pak Aseng…” katanya menambahkan. Lah? Tiba-tiba dapat pencerahan orang ini untuk hidup sehat. Kapan aku nyuruh dia berhenti merokok?

“Bagus itu… Saya bukan nyuruh kamu berhenti merokok… Cuma kalo merokok baiknya jauh-jauh dari galon, ya? Takutnya kenapa-kenapa gitu… Lagian ada banyak tanda dilarang merokok di sini, kan? Masa manager-nya sendiri yang melanggar…” kataku. Aku gak anti sama perokok. Teman-temanku banyak yang perokok aktif dan aku fine-fine aja dengan pilihan mereka. Tapi ini SPBU, loh. Kalo mledug! Bahaya, kan? Dan berikutnya teman-teman sejawatnya yang lain juga memperkenalkan diri dan jabatannya.

Kemudian kami melihat-lihat satu-satunya ruangan bersekat kaca grafir yang dulunya merupakan ruangan ajo Mansur berkantor selama mengontrol tempat ini. Pengaturannya hanya simpel saja meliputi sebuah meja kerja dan beberapa kursi serta sebuah lemari filling cabinet ada di sudut ruangan kaca ini. Ajo Mansur mengambil beberapa barang pribadi miliknya yang tertinggal di atas meja dan laci. Aku masih enggan duduk di kursi peninggalan ajo Mansur lebih karena orangnya masih ada di sini. Nanti-nanti ajalah, jo. Sogan pulak awak jadinya.

“Bisalah kau tengok-tengok galon ini malam abis pulang kerja, Seng… Biar tambah maju galon ini… Ajo kemarin cuma sekedar liat sebulan sekalipun belom tentu…” kata ajo Mansur disaksikan pak Alex, Vony dan Hendra. “Kau bantulah si Hendra ini untuk operasional galon supaya makin banyak keuntungan yang didapat… Berapa laba bersih tahun buku kemarin?” tanya ajo Mansur pada Hendra.

“Satu koma tiga em, pak Mansur…” jawabnya lancar sekarang. Ia menatap kami berdua bergantian dengan ekspresi yang aku gak ngerti maksudnya apa. Sebelumnya ia baru saja memegangi HP-nya seperti sedang chatting dengan seseorang gitu. Sekarang ia hanya memegangi alat komunikasi itu menunggu balasan. BUSET! 1.3M! Itu duit semua?

“Nah… Di tanganmu, Seng… Seharusnya bisalah jadi dua kali lipat… Satu hari omset 300-350 juta seharusnya bisa tercapai angka segitu…” kata ajo Mansur. Gila aja omsetnya 300-350 jeti! O em ji.

“Akan kuusahakan, jo…”

Selesai ramah-tamah, Suhendra memberi aku sedikit penjelasan detail SPBU yang baru aku miliki ini seperti kapan mulai berdirinya, berapa jumlah karyawannnya, jumlah pompa BBM-nya, produk BBM apa saja, berapa buah tangki timbunnya, fasilitasnya, jumlah tenant yang menyewa di kios-kios yang tersedia dan lain sebagainya. Kami melakukan itu semua sambil berdiri di depan dinding kaca yang menghadap langsung ke pelataran luas semua itu berada. Suhendra menunjuk langsung arah posisi yang dimaksudkannya. Mobil dan motor mengantri mengular untuk mengisi BBM di jalurnya masing-masing.

“… jadi antrian untuk kereta dan mobil tidak disamakan, pak Aseng… Mobil lebih lambat bergeraknya sehingga untuk mobil disediakan dua station kanan-kiri… Jadi ada 4 buah pompa untuk mobil yang beroperasi sekaligus… Untuk kereta cukup 2 saja karena pergerakannya lebih cepat… Tetapi bisa ditingkatkan menjadi 4 juga bila sedang crowded… Unggulan kita adalah BBM jenis Pertamax, pak… Jalurnya lebih luas agar konsumen lebih lega dalam mengantri… Kita sediakan juga 4 pompa dan sisanya adalah untuk solar…” demikian sebagian presentasi Suhendra menjelaskan pelayanan utama SPBU ini. Ia lugas menceritakan semua keadaan galon ini karena ia sudah bertugas di sini sejak awal berdirinya, bahkan dari sebelum dulu dibeli ajo Mansur. Tidak heran ia yang dipercaya sebagai manager operasional.

Kami lalu bergerak turun ke lantai dasar untuk meninjau fasilitas-fasilitas lain. Tetapi Suhendra mencegatku, lebih tepatnya ingin bicara berdua saja denganku. Aku sepertinya tau apa maksudnya. “Pak Aseng… Maaf pak… Sa-saya boleh bicara sebentar, pak?” ia menghentikanku sebelum menuruni tangga. Ajo Mansur, pak Alex dan Vony sudah di pertengahan tangga menuju turun.

“Ya… Ada apa, Ndra?” tanyaku.

“Saya mau minta maaf, pak… Soal kejadian tempo hari itu… Sa-saya tidak tau, pak?” katanya agak membungkuk-bungkuk mengatakan itu semua.

“Kejadian tempo hari yang mana?” kataku bernada riang-riang aja.

“Malam-malam itu, pak… Yang saya nawarin rokok di depan itu…” katanya lalu menunjuk depan gedung dimana aku sedang mengawasi SPBU ini dengan jaket hadiah showroom.

“Ah… Gak pa-pa itu… Cuma jangan diulangi aja merokok di galon… Bahaya tau… Periuk nasimu bisa terbakar juga, kan?” kataku menasehatinya dan menepuk-nepuk bahunya. “Yuk kita turun… Mereka udah di bawah itu…” tunjukku. Aku turun duluan mendahuluinya. Beberapa langkah menuruni anak tangga aku merasakan ada beberapa kali kilasan lampu flash. Sepertinya ada orang yang sedang memfotoku dari belakang. Udah kek artis aku rasanya.

————————————————————————————————-
“Jo… Kenapa ada rumah sama tanahnya juga, jo?” tanyaku ketika kami hanya tinggal berdua saja. Aku sudah menahan-nahan pertanyaan ini sejak dari kantor notaris tadi siang. Ini sudah sore karena aku mengantar ajo Mansur ke bandara lagi. Ia segera bertolak pulang ke Padang lagi.

“Kan ajo udah bilang dulu… Akan ada hadiah tambahan kalo lebih dari satu istri ajo yang hamil… Tiga-tiganya hamil… Galon, rumah dan tanah… Rasanya sudah cukup…” katanya santai saja sambil memandangi jalanan di depan. “Kalo cuma satu aja… cukup galon itu… Ajo senang sekali malah… Ketiga istri ajo sudah hamil… Ajo akan langsung punya tiga anak dari tiga istri ajo… Ajo belum pernah merasa sebahagia ini… Bahkan lebih bahagia dari saat kalapiah ajo sembuh bisa tegang lagi… Tiga harta itu… galon, rumah dan tanah itu gak ada-pun tak apa-apa… Makanya itu semua ajo berikan pada mu, Seng… Hadiah dari ajo… Bagian dari nazar ajo… Semoga di tanganmu bisa lebih bermanfaat…”

Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Entah itu kesal atau berat hati. Ajo Mansur jelas tidak akan menerima penolakan dariku karena semua proses hibah sudah selesai. Kepalaku malah kosong hanya bisa konsentrasi ke jalan. Gimana aku menjelaskan ini nanti ke istriku? Gimana caranya? Apa yang akan kukatakan padanya? Ma… kita jadi horang kayah sekharang… Kita gak usah tinggal di kampung bernama Mabar ini lagi. Yuk kita pindah ke rumah mewah baru kita di komplek XXX jalan Cemara. Lah itu gak kosong lagi. Ada rencana begitu.

Sebelum kami beranjak ke bandara ini, ajo Mansur mengarahkanku ke rumah yang menjadi objek hibah nomer dua itu. Rumah itu sangat besar dan mewah. Aslinya itu dua buah rumah komplek yang dipugar kembali dan digabung menjadi satu dengan arsitektur Mediterania berwarna putih. Saat ini tinggal sisa dua bulan lagi sewa yang aku masih bingung akan diteruskan atau kutempati sendiri. Kami hanya sebentar berhenti di depan rumah itu, tidak turun sama sekali. Hanya memandangi bagian depannya saja. Aku sudah bisa mengira-ngira isi dalamnya dari denah rencana pembangunan yang ada di dokumen hibah. Seorang ekspatriat dari Timur Tengah yang menempati rumah itu sekarang.

Aku sempat membayangkan betapa bahagianya anak-anakku kalo tau mereka punya rumah besar dan mewah seperti ini. Rio pasti akan gembira berenang di kolam renang yang ada di samping rumah, berair biru dan sejuk. Bisa bermain-main di kamar yang sejuk dan luas. Istriku tidak perlu repot-repot mengurus rumah karena sudah diurus oleh semua ART-nya. Lalu aku membayangkan istriku yang merepet kesel karena gak bisa ngumpul sama ibu-ibu perwiridan-nya yang rempong. Gak bisa ngerumpi sama tetangga-tetangga seperti yang biasa dilakukannya di gang. Apa ada wirid Yasin di komplek ini, ya? Isinya mayoritas orang kita Cina semua gini. Bahkan kak Sandra rumahnya ada di komplek XXX ini juga, cuma bloknya jauh di ujung sana.

Kalo kami pindah kemari… pasti pergaulan kami akan berubah drastis. Itu pasti. Struktur masyarakat di komplek mewah seperti ini sangat berbeda dengan keadaan gang di Mabar yang selama ini kami tinggali. Aku tidak tau apakah aku siap? Apalagi istri dan anak-anakku. Opsi lain adalah merenovasi rumah kami sekarang ini agar sesuai dengan kebutuhan kami sekarang. Apalagi yang mendesak adalah harus ada garasi untuk Pajero ini. Kasian dia kepanasan dan kehujanan di luar. Perlu renovasi abis-abisan…

Ajo Mansur kulepas pergi setelah kami bro-hug sebentar. Aku tentunya sangat berterima kasih sekali padanya telah memberikanku sangat-sangat banyak. Aku gak mau sampai berpikir kalau bayi tukar harta, karena ajo Mansur menganggapnya sebagai hadiah telah membukakan jalan rejeki untuknya. Anak adalah bagian rejeki yang baru untuknya, bahkan melebihi harta. Lagian hartanya masih banyak. Pesawatnya take-off, membawanya pulang, kembali ke ketiga istri cantiknya yang menunggu manis di rumah. Siap melimpahinya dengan segala kasih sayang.

————————————————————————————————-
“Maa… Kita renovasi rumah, ya? Nambah kamar sama garasi…” kataku abis ngos-ngosan.

“Nambah kamar?” ulang istriku juga ngos-ngosan. Ia menghadapkan wajah dan tubuhnya dari menelentang ke arahku. Aku juga menghadapnya. Kepalanya berbantalkan tanganku. Kupermainkan sebentar payudaranya yang masih mengeluarkan ASI untuk Salwa. Ia bergidik geli karena putingnya kupilin-pilin agar ia gak terlalu banyak tanya. Sukur-sukur minta nambah ronde. “Kalo garasi oke-lah… Tapi nambah kamar untuk apa dulu? Itu kamar Rio aja sampe sekarang belum dipakai anaknya… Buat Salwa?”

“Yaa… nambah aja… Untuk tamu mungkin… Kalo ibu atau ada saudara yang datang bisa buat kamar tamu, kan?” kataku berkilah.

“Papa aneh, deh… Duitnya dari mana?… Tunggu dulu… Itu kereta baru buat mama… Cash… Trus kasur latex mahal gak ketulungan gini… Ngasih buat pesta Selvi kemarin itu… Ongkos pesawat bolak balik Medan-Padang itu duitnya dari mana semua, pa? Mama kok jadi aneh ceritanya, nih… Papa korupsi di pabrik, ya?” katanya tembak langsung dan menepis tanganku dari puting payudaranya yang dari tadi kupermainkan.

“Astaga, mama…” DHAR! Kaget kami berdua mendengar suara ledakan dari luar rumah. Buru-buru kami memakai pakaian kembali. Istriku hanya memakai dasternya tanpa bra. Aku hanya memakai celana boxer. Dari suaranya seperti ada ledakan trafo listrik yang meledak. Tetapi listrik tidak mati yang berarti bukan ledakan trafo. Istriku hanya berani mengintip dari gorden jendela depan sedang aku tentu aja langsung buka pintu dan keluar. Jangan sampe mobilku yang tak berkandang lecet. Tak sate orangnya nanti.

Pucuk daun pohon kelor yang ada di sudut depan rumahku terbakar. Kobarannya sudah berhenti dan menyisakan kepulan asap tipis. Alhasil daun-daun pucuk teratasnya meranggas gosong. Positif ini serangan supranatural. Yang terdekat denganku adalah rumpun tumbuhan sereh dan kupetik sebatang daunnya. “Maa… Masuk ke dalam! Jangan ngeliat!” teriakku pada istriku yang pasti masih mengintip dari balik jendela. Sibakan gorden menutup kembali dari kaca jendela. Ia menurut dan kembali ke kamar.

Sereh yang kuubah menjadi senjata menjelma menjadi sebatang tombak pendek yang segera kulemparkan pada sisa pucuk terbakar pohon kelor setinggi 3 meter itu. Tombak sereh itu meluncur cepat dan segera membentur apapun yang masih ada disana. Blitz-blitz energi membuat bentuk seekor burung besar dengan bentangan sayap lebar dengan total lebih dari 90 cm. Burung itu berusaha menembus pagar ghaib tepat di sudut segi empat yang tercipta akibat posisi empat pohon kelor yang kutanam di empat sudut rumahku. Kekuatannya dahsyat karena berhasil membakar ujung tanaman berkhasiat kuat itu. Bahkan para jin menjauhi tanaman itu.

Tombak sereh yang baru kulempar memperkuat pagar ghaib yang berusaha ditembus mahluk mistis itu. Aku asing dengan bentuk burung itu di kegelapan malam begini. Seluruh tubuhnya berbulu hitam legam. Awalnya kukira gagak yang berukuran raksasa, tetapi ada semacam mahkota di kepalanya yang menonjol dengan paruh panjang. Burung gagak tidak seperti itu bentuknya. Ia terus berusaha mencakar dengan kakinya, menghantam dengan kepakan sayapnya dan mematuk dengan paruh panjangnya. Ini burung apa?

Kubiarkan ia terus berusaha. Aku tidak mau terpancing dan keluar dari pagar ghaib yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari ini. Mahluk kiriman itu sangat percaya diri langsung menyerang di tiang penyangga pagar ghaib. Biasanya penyerang akan menghantam tepian terlemah dari pagar ghaib seperti kasus penyerangan Agus, suami Aida dahulu di atas pohon mangga Golek.

“TUUUTT-TUUUUT-TUUUTT-TUUKK!!”

KIMAK!! Burung itu berhasil menelusupkan kepalanya masuk dan meneriakkan suaranya. Suaranya nyaring dan keras. Bagaimana mungkin ada entitas burung ini ada di Sumatera? Itu burung endemik Kalimantan! Enggang Gading! Ternyata ia memecah pelindung pagar ghaib-ku dengan gading keras di atas paruhnya. Siapa yang mengirim burung sakral suku Dayak ini padaku? Siapa yang menyalah gunakan burung suci ini?

Aku gak mau berburuk sangka dulu pada siapapun, tetapi yang namanya serangan tetaplah serangan. Pantang bersurut setelah layar terkembang. Aku gak sempat lagi melakukan ritual pengundangan mahluk penyerang pagar ghaib rumahku ini ke daerah kekuasaanku. Disinipun tidak masalah kalo kalian mau bertarung! Bakiak Bulan Pencak kusiapkan di kedua kakiku. Dua buah batang sereh menjadi dua buah tombak baru menyusul sebatang tombak yang sudah kulempar tadi.

Burung Enggang Gading itu kembali bersuara keras menggerakkan leher panjangnya dan mengepakkan sayapnya kuat-kuat bermaksud semakin merusak pagar ghaib-ku. Burung langka yang terancam punah itu sepertinya tidak bisa melaju lebih jauh lagi, kepalanya terjerat di lubang yang dibuatnya sendiri. Hmm… Itu salahmu sendiri mencari mati di sini. Mengancamku… Lebih-lebih lagi membahayakan keluargaku. Aku gak perduli kalo kau itu hewan langka sekalipun!

“HEAAA!!!” Dengan sontekan tenaga bakiak Bulan Pencak yang mampu melambungkan tubuhku untuk melompat tinggi hingga puncak pohon kelor itu. Aku bersiap menghujamkan kedua tombak sereh itu menyate kepala burung Enggang Gading itu. WUSSHHH!! “Huh?” Kemana burung itu? Burung sebesar itu tiba-tiba menghilang begitu saja belum sempat kutembusi dua buah tombak sereh ini. Lubang yang sempat dibuatnya pada sudut pagar ghaib-ku perlahan memperbaiki diri dan menutup rapat kembali.

Aku mendarat lagi di depan halaman rumahku masih penasaran. Kemana lawan yang tadi berani-beranian menantangku di sini? Sampai beberapa saat kutunggu tak ada tanda-tanda kemunculan gangguan lain. Aku bahkan menunggu sampai jam 3 pagi. Melek tetap waspada di teras rumahku. Tak kunjung datang apapun lagi. Kimak memang pengganggu ini. Siapa kira-kira penyerang ini? Musuh baru ataukah musuh lama. Setauku semua sudah kubereskan. Apa ini yang dimaksud Inyiek Mandalo Sati waktu itu? Masih banyak musuh-musuh lain yang lebih berbahaya daripada Inyiak Lelo.

Bersambung

Foto Memek Mulus Tembem Masih Perawan Asli
suster cantik bugil
Ngentot Dengan Suster Yang Merawatku Di Rumah Sakit
Pembantu binal
Seorang Pembantu Binal Yang Haus Sexs
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
tante hot
Tante Sexy Yang Merenggut Keperjakaan Ku
dukun cantik
Ceritaku waktu ritual dengan dukun sakti yang cantik dan montok
tetangga hot
Ngentot dengan tetangga yang body nya oke banget
kembang desa
Cerita dewasa petualangan sex geng joni bagian 3
mahasiswi cantik
Mahasiswi cantik terkena hipnotis di entot di mobil
Cerita dewasa ngentot di toilet
Foto bugil jepang susu jumbo Satomi katayama
rekan kerja sange
Menolong Teman Kerja Yang Pengen Merasakan Orgasme
Cerita sexs ibu guru liar suka colmek
Petualangan Sexs Liar Ku Season 1
Foto Tante Ngangkang Memek Masih Sempit
mertua hot
Gairah sexs membara mertuaku tersayang