Part #34 : Cakar Mandalo Rajo
“Jadi apa maksud undangan Inyiak kali ini?” tanyaku.
“Tentu saja untuk merebut hakku…” senyumnya masih lebar.
“Baiklah… Inyiak Mandalo Lelo… Aku terima…” jawabku berdiri tegak menghadapnya. Aku dan dia menyatukan tangan dan membungkuk satu sama lain untuk penghormatan. Lalu langsung kulakukan kuda-kuda rendah khas silat harimau Mandalo Rajo. Lutut kiri di pasir dan kaki kanan menekuk di depan dengan tangan terbentang lebar. Di kedua tanganku aku sudah menyiapkan dua pedang daun Utara dan Selatan yang berasal dari daun pandan tapi tanpa beserta andalanku, bakiak Bulan Pencak di kedua kaki. Ini pertarungan dua pengguna silat harimau. Pertarungan dengan kuda-kuda rendah.
Inyiak Mandalo Lelo juga melakukan hal yang sama denganku kecuali ia bersenjatakan kuku-kuku panjang di tiap jarinya. Kuku-kuku itu lalu terbenam di pasir pertanda ia akan membuka serangan. “Shhaa!” serangan pembukaan jurus awal Mandalo Rajo diperagakan Inyiak Mandalo Lelo adalah langsung menohok lawan di ulu hati. Titik vital yang mematikan, salah satunya. Sesuai dengan prinsip silat dasar yang mengalir, serangan lawan tidak ditangkis melainkan dibelokkan.
Serangan itu kubelokkan ke samping hingga aku bisa mencacah lehernya yang terbuka dengan pedangku. Dengan liat Inyiak Mandalo Lelo memutar lehernya sebagaimana memutar cakarnya juga untuk mencakar mukaku. Sabetan cakar harimau di jari tangannya berkelebat cepat di depan mataku. Kalo kena kedua biji mataku akan terlepas dari lubangnya. Lututku terangkat dan mengarah pada kantong menyannya yang dengan lugas dibelokkannya ke samping dan mengarahkan tangannya yang lain untuk menghajar rahangku. Sikunya kutepuk dan berbeloklah pukulan penuh tenaga itu ke arah yang melenceng. Kalo sekedar diketik dan dibaca saja sudah mencapai 89 kata, padahal itu semua berlangsung hanya beberapa detik saja karena pertarungan jarak dekat ini berjalan sangat cepat dan mengalir.
Lompat dan bergulingan sudah biasa di ilmu silat harimau karena sejatinya begitulah kala dua harimau sedang bertarung. Seluruh sasaran adalah titik vital yang mematikan. Kami hanya mengincar titik yang bisa langsung mematikan lawan karena memang jurus-jurus silat harimau memang dirancang sangat berbahaya juga efektif. Tidak perlu membuang waktu menyerang bagian tubuh yang tidak perlu kalo bisa menyerang satu titik saja dan lawan langsung binasa. Gerakan lincah dan mengalir bersama arah serangan lawan untuk membalikkan serangan sama-sama kami peragakan. Inyiak Mandalo Lelo tentu saja jauh lebih paham jurus-jurus ini karena sejatinya ini adalah ilmu yang selalu diperebutkannya dengan Inyiek Mandalo Sati; dua orang seperguruan yang mendapat gelar hampir mirip.
Inyiek Mandalo Sati mendapatkan gelar ini langsung dari gurunya karena ia adalah murid pertama dan Inyiak Mandalo Lelo murid kedua. Lagipula titik berat keilmuan mereka berdua berbeda. Inyiek Mandalo Sati mempelajari Mandalo Rajo hanya untuk mempertahankan diri dan lingkungannya. Sedangkan Inyiak Mandalo Lelo lebih kepada mencari kejayaan. Pada prakteknya malah ia tidak bisa melakukan itu semua karena sifat keilmuannya yang terlalu buas dan kejam, ia banyak dihindari. Orang-orang malah lebih mengelu-elukan Inyiek Mandalo Rajo yang lebih membumi dengan hanya melindungi hutan Larangan. Berkat reputasinya, hutan itu masih lestari hingga kini. Tidak ada perambahan hutan yang semena-mena.
Auman dan geram Inyiak Mandalo Lelo mendengus-dengus keras tiap kerahan tenaga menyerangnya. Tentu saja aku kerepotan menghadapi semua serangan berbahaya itu. Aku memang sudah menguasai semua jurus-jurus Mandalo Rajo dari Inyiek Mandalo Sati, tetapi bukan itu saja yang kulakukan tiap waktunya. Aku masih punya kehidupan selain ilmu silat Mandalo Rajo. Ilmu beladiri-ku juga sudah tidak murni lagi karena bercampur dengan berbagai ilmu silat aliran lain. Dan yang paling menyebalkan adalah, di saat begini aku jadi menyesal karena tidak rutin berlatih untuk mempertajam ilmu silat yang hanya aku yang punya.
Jurus-jurus serangan Inyiak Mandalo Lelo kukenali mempunyai akar yang sama dengan jurus Mandalo Rajo karena sumbernya sama. Jurus Mandalo Rajo bersumber dari gabungan beberapa aliran silat hewan yang murni diciptakan di ranah Minang. Jurus ular, jurus elang, jurus kucing, dan jurus anjing. Gerakan-gerakan luwes khas seekor harimau ketika bertarung dengan lawannya kadang membingungkan dan mengejutkan karena cepat dan penuh tipuan. Dominan dengan gerakan menangkap dan juga kuncian maut. Apalagi bila dibekali senjata, jurus ini jadi mematikan. Leher dan tanganku kerap diperangkap Inyiak Mandalo Lelo, tetapi aku sebaik mungkin dengan ketangkasanku melepas semua kuncian itu dan aku balik menangkap anggota tubuhnya. Silih berganti kami melakukan kombinasi pukulan, cakaran, kuncian dengan cepat.
Inyiak Mandalo Lelo memelintir leherku dengan dua tangannya yang berkuku runcing, satu di dagu dan satunya di ubun-ubun, menjauhkan kepalaku dari tanganku yang memegang pedang daun, terkunci. Melepaskan kuncian mematikan ini, aku menyayat paha kanannya. Lalu memutarkan kepalaku searah puntiran itu, memutar tubuh hingga menaiki punggungnya. Menyilangkan kedua pedang daun Utara dan Selatan di depan lehernya, bersegera memenggal kepalanya. Tak dinyana, ia menepis pedang itu dengan kuku-kuku keras tangannya, membuka tanganku yang hendak menetak lepas kepalanya, badannya luwes berbalik dan menjulurkan kakinya, goresan dalam kuku kakinya membekas di dadaku.
Aku berguling menjauh dan disusul Inyiak Mandalo Lelo yang melompat menerjang tak memperdulikan luka di pahanya tadi. Tangannya mengacung ke atas dengan cakar terbuka lebar. “Whaaa!!” aumnya keras. Rendah aku bertahan dan menahan runtuhan tenaga keras ayunan cakar itu dengan kedua pedangku, memblok serangan dahsyat dengan lompatan penuh tenaga. Percikan bunga bahkan sampai menerangi benturan yang terjadi. Kuku berbentuk cakarnya seperti terbuat dari logam saat berbenturan dengan pedang daunku.
Patah! Kedua pedang daunku patah dua tepat di tempat benturan barusan. Cepat-cepat aku menghindar berputar bermaksud men-sleding kakinya dengan kuncian gunting agar ia jatuh. Hentakan tumitku bahkan mengait di luka di paha kanannya dengan sengaja. Inyiak Mandalo Lelo menahannya dengan merendahkan posisinya lalu bergulingan untuk mematahkan kuncianku ke arah kakiku yang terdepan. Kutusukkan pedang patah itu ke arah lehernya dari belakang punggungnya. Lincah lelaki tua itu memundurkan sebelah bahunya sedikit saja hingga lenganku malah membentur bahunya, gagal menusuk, lenganku ditahan malah ditekan dengan bobot tubuhnya. Ia akan mematahkan tanganku!
Pedang patah di tanganku kujatuhkan dan tubuhku kubenturkan dengan punggungnya agar kunciannya pada tanganku lepas dengan sedikit melenting melompat dan menyabetkan pedang satunya yang masih tersisa, walau juga patah. Inyiak Mandalo Lelo berkelit dan terpaksa melepas kuncian tangannya pada tanganku yang mengendur karena benturan sederhana tadi. Begitu terus pertarungan kami sekian lama karena terus mengeluarkan berbagai serangan-serangan mematikan tanpa ragu-ragu yang juga di-counter dengan serangan-serangan mematikan juga. Dua pemakai silat harimau bertarung secara close-combat cepat. Sejatinya indah dan mengalir dengan alami, tetapi mengancam nyawa.
Saling ukur dan jajal kami lakukan berulang-ulang dengan berbagai cara. Belasan jurus hingga puluhan mencapai ratusan sudah kami lakoni. Gestur rendah bak harimau kami peragakan. Tangan membentuk cakar karena aku tidak memakai senjata lagi. Aku berulang-ulang mempertimbangkan mengeluarkan cakar itu lagi dari tanganku untuk mengimbangi cakar yang sama milik Inyiak Mandalo Lelo. Tapi rasanya sangat-lah menyakitkan. Sakit sekali saat cakar-cakar itu merobek daging dan kulit tangan, menembus hingga mencuat sebagai senjata laten.
Luka-luka di tubuh kami semakin banyak. Dadaku sudah mengucurkan darah. Lengan kanan dan punggungku juga sudah luka sayatan. Selain luka di paha kanannya, aku juga berhasil menyayat leher Inyiak Mandalo Lelo, sayangnya masih jauh dari urat vitalnya–urat nadi. Inyiak Mandalo Lelo masih tersenyum lebar seakan sangat yakin bisa memenangkan pertarungan hidup dan mati ini. Apakah dia menganggapku dengan sepele? Tidak. Raut wajahnya memang begitu. Kek Joker yang selalu terlihat tersenyum. Senyum menyeramkan seperti demit kuburan. Inyiak Mandalo Lelo menelisipkan rambut panjang berubannya yang menghalangi pandangan ke balik penutup kepalanya. Setiap pesilat Minang selalu menggunakan penutup kepala, bisa peci, peci lebai, pengikat kepala khas Minang karena filosofi dasarnya adalah ibadah kepada Yang Maha Kuasa. Berlatih silat juga bagian dari ibadah. Entah Inyiak Mandalo Lelo masih mengingat prinsip dasar itu tidak.
Kami berkutat lagi dengan berputar mengitari lawan masing-masing. Mencari celah lalu menerjang. Sabetan-sabetan cakar Inyiak Mandalo Lelo semakin berbahaya saja dengan tak adanya senjata yang kuhunus. Sesekali aku masih bisa menyerang dan aku kian terdesak. Tak kupungkiri. keliahaian Inyiak Mandalo Lelo lebih tinggi dariku. Ia tentunya selalu berlatih dan mengasah ketajaman ilmu dan jurus-jurusnya dengan teratur. Aku hanya sekali-kali berlatih di daerah kekuasaanku. Dan itupun kulakukan sendiri tanpa lawan sparring. Mungkin karena itu Inyiak Mandalo Lelo mengangkat murid sebagai lawan berlatihnya karena ia juga tidak bisa sembarangan menyebarkan ilmu silat berbahaya ini. Tapi ia sudah kehilangan dua muridnya. Apakah masih ada murid-muridnya yang lain.
Luka baru menyayat pipiku, dua luka memanjang sampai di atas telinga. Lukanya terasa pedih dan mengucurkan darah. Aku sudah tidak punya jalan lagi. Rasa sakitnya sudah setara dengan luka ditembus cakar-cakar itu yang mencuat dari daging dan kulit tangan dan kakiku. Inyiak Mandalo Lelo tersenyum melihat luka baru yang disebabkannya. Sedianya sayatan itu menyasar leherku, memutuskan jalan nafasku. Aku sempatkan menghindar dan mengumpankan pipiku sebagai gantinya, lalu berputar dan memukul belakang lehernya sebagai balasan. Nafasku semakin berat dengan banyaknya luka yang kualami.
“Mandalo Rajo…” gumamku lirih dengan tangan terkepal kuat. Kutahan rasa sakitnya lagi. Lagipula rasa sakit di sekujur tubuhku sudah sama rasanya dengan sakit terkoyak-koyak ini. Tiga pasang cakar itu muncul di tangan dan kakiku. Darah kembali menetes dari luka baru ini. Inyiak Mandalo Lelo semakin lebar senyumnya melihatku sudah mengerahkan senjata andalan aliran Mandalo Rajo. Berdarah-darah tanganku menghunus senjata berbahaya ini. “RWAARRRGGHH!!”
Distorsi mengganggu itu kembali mendengung di telingaku. Rasa mengganggu inilah yang sering membuatku bertarung dengan kalap dan tak memikirkan apa-apa. Yang penting lawan tercabik-cabik. Seolah ada orkestra yang seluruh alat musik assemble-nya gitar listrik melulu. Ratusan gitar listrik sahut-menyahut meneriakkan suara berisiknya, mencabik-cabik rongga tengkorakku dengan rift-rift kasar di kunci tinggi melengking berdenging-denging storing. Aku berteriak-teriak nyaring tiap serangan berupa cakaran, sabetan, memotong dan menyayat-nyayat. Aku tak ingat lagi siapa lawanku ini. Hanya ada amarah di dalam kepalaku. Hanya ada kemurkaan. Kenapa aku harus memiliki ilmu mengerikan seperti ini? Kenapa Inyiek Mandalo Sati mengutukku dengan ilmu terkutuk ini? Kenapa?! KENAPAA??!!
“Seperti yang kuharapkan dari Mandalo Rajo… Ilmu pamungkas yang akan kuambil untuk diriku sendiri… Kau belum menyempurnakannya, kan?” sayup-sayup terdengar ucapan Inyiak Mandalo Lelo. Aku bergerak mengitarinya seperti seekor harimau yang sedang mengintai mangsanya. Aku cenderung untuk berada di belakang lawan layaknya seekor harimau asli yang mengincar leher mangsa. Cakar di tangan dan kakiku terbenam di tanah berpasir pantai ini. “Aku sudah keduluan darimu, anak muda… Harusnya gelar itu untukku…”
Inyiak Mandalo Lelo rebah di tanah dengan tangan dan kaki mencecah bumi secara rata menopang tubuhnya. Terlihat ada hembusan kencang dari tubuhnya seperti lonjakan energi dari pusat Lini miliknya. Ia sepertinya sedang merapal suatu ajian yang tak kuketahui. Matanya membeliak melotot dan senyuman yang selalu terpatri di mulutnya menghilang. Brewok kasar di wajahnya semakin bertambah hingga seluruh mukanya tertutup rambut berwarna jingga dan putih kusam. Misai panjang muncul di sekitar pipi dan alisnya. Lengan dan tangannya bertambah besar dan gemuk, berbulu lebat… PUKIMAK! KAKEK TUA ITU MENJADI HARIMAU!!!
“ROOARRHHHGGHH!!” aum jelmaan Inyiak Mandalo Lelo yang seutuhnya berubah menjadi seekor harimau. Harimau jadi-jadian yang ukurannya tidak biasa dibanding harimau lazimnya. Dari ujung dihidung sampai ujung ekornya bisa mencapai 3.5 meter. Harimau Siberia terbesar yang pernah tercatat saja hanya sepanjang 305 cm (3 meter lebih sedikit). Inyiak Mandalo Lelo yang sudah seutuhnya menjadi harimau menggoyangkan tubuhnya dan semua pakaian dan aksesorisnya terlepas. Aku kini menghadapi seekor harimau sesungguhnya.
Kilau matanya yang ber-iris kuning dan korne hitam, lekat menatapku tajam. Mukanya serius memperhatikanku dengan mulut terkatup. Kepalanya tetap menghadap padaku sementara tubuhnya bergerak mengendap-endap mencari posisi. Cakar tanganku tetap membentang dengan gangguan konstan berdenging distorsi di telingaku. Kenapa aku harus mempunyai handicap dengingan ini? Apa memang seharusnya begini? Aku tidak pernah mendapat bimbingan mengenai hal ini. Dua ekor harimau saling intai menunggu kesempatan. Di saat aku melangkah rendah dengan bentangan tangan yang bersiap menyambut lawan, Inyiak Mandalo Lelo juga bergerak. Rasa takutku entah dimana. Padahal aku sedang menghadapi harimau besar sebagai lawan. Ia menghormati aku sebagai lawannya, sebagaimana aku juga harus menghormatinya.
Belum sempat kakiku mencecah tanah berpasir, Inyiak Mandalo Lelo berupa harimau itu melompat menerjang. Cakar besar miliknya mengayun cepat dari samping. Walau terganggu distorsi suara memekakkan ini, indraku yang lain berfungsi baik saat ini. Mungkinkah ini berfungsi untuk meningkatkan konsentrasiku? Mataku tetap awas melihat arah gerakan cepat itu. Ikut mengalir dan berkelit menunduk, aku sabetkan cakarku pada lengang gemuk berbulu jingga loreng hitam dan putih. Tak disangka, Inyiak Mandalo Lelo menggunakan kedua kakinya untuk menangkis seranganku dan meneruskan dengan dorongan dan tendangan sekaligus. Ia berputar sedikit ke belakang lalu menerjang lain dari sudut baru. Cakar besar menghempas keras di mukaku lalu ditarik menambahkan kerusakan berupa cakaran kuku panjang harimaunya. Untung aku sempat memblokirnya dengan melindungi kepalaku dengan cover tangan.
Walau begitu aku terdorong hingga terbanting karena kuat dan cepatnya serangan barusan. Tanpa ampun harimau jelmaan Inyiak Mandalo Lelo melompat lagi ke atas tubuhku dan membuka mulutnya lebar-lebar, memamerkan gigi geligi taring yang panjang runcing. Ia memantek tubuhku yang tadi sempat bergulingan dengan kedua kaki depannya yang luar biasa besar. Masing-masing kaki memaku bahuku. Aku meronta-ronta liar, melipat kakiku hingga menyentuh dada dan meluncurkan sekuat tenaga ke atas dengan momentum yang pas dan gerakan kepalanya yang akan mengganyang kepalaku. “DAAGGH!” tendangan dua kakiku tepat mendorong dan menghantam lehernya. Kalo bentuk manusia pasti itu bagian jakunnya. Tubuhnya hanya sedikit bergeming berkat bobot tubuhnya yang besar dan bongsor. Kaki depannya mengendur sehingga aku bisa berguling ke samping kanan. Kutarik leherku ke kiri sedikit karena cakar raksasanya menghempas tepat beberapa mili saja dari kupingku. Beberapa rambut kasarnya menggelitik kulitku. Ia tidak mau melepasku dari posisi kuncian tubuh seperti ini. Aku tetap dikurungnya di antara dua kaki depannya.
Entah karena insting atopun gak punya jalan lain, diluar kebiasaan aku malah memanggil bakiak Bulan Pencak. Dulu waktu berlatih silat harimau ini, aku dilarang memakai senjata andalanku ini dengan pengecualian pedang daun. Kembali kutendangkan ke atas jurus andalanku dengan memakai bakiak ini. “GUGUR GLUGUR!!”
Tubuh harimau besar jelmaan Inyiak Mandalo Lelo berjengit sedikit terangkat akibat hantaman dahsyat jurus Gugur Glugur-ku itu, bergeser sedikit memberiku ruang. Dengan bantuan hentakan tenaganya, aku meloloskan diri melesat menjauhinya, menyeser tanah lalu bergulingan bersiap lagi akan apapun karena harimau itu mengejarku lalu melompat lagi. Kupindah kedua bakiak di tanganku sebagai alat pukul dan menyongsong mahluk jadi-jadian itu. Stres akibat bising distorsi yang tak kunjung berkurang di telingaku membuatku menjadi sedikit gila. Cakaran besar harimau itu kusambut dengan melaga hantaman juga. Cakar besar melawan hantaman bakiak merah berstiker old skool ini. Membabi buta aku pukulkan berkali-kali bakiak itu ke cakar yang sama. Seharusnya itu akan memberi efek pada mahluk apapun yang memiliki indra perasa di tubuhnya. Bulu tebal yang melindungi sekujur tubuh harimau itu setidaknya meredam sekian persen benturannya. Ia meraung dan mengaum.
Inyiak Mandalo Lelo mode harimau itu melompat menerjang lagi tanpa ampun, aku sudah lebih bersiap dengan senjata pukulku ini. Belum tau kau kehebatan senjataku ini. Kali ini aku langsung menyasar rahangnya yang kuat, yang ditumbuhi bulu-bulu lebat dan panjang. Bakiak Bulan Pencak kuhantamkan di rahang kirinya setelah bersusah payah bermanuver menghindari serangan sapuan cakar besar berkuku tajam itu dengan langkah cepat dan gerakan akrobatik. Berkelit sana dan sini, aku berhasil menaiki punggungnya seolah sedang menunggangi harimau besar ini. Dua bakiak Bulan Pencak kuhantamkan lagi ke kupingnya.
Harimau itu mengaum gusar setara jeritan yang menggetarkan gendang telinga merasakan sakit hantaman di bagian yang sangat sensitif bagi hewan karnivora ini. Di sana pusat keseimbangannya. Ia mencakar membabi buta sementara aku bergulingan menjauhi serangannya dan selalu memposisikan diriku di belakangnya. Inyiak Mandalo Lelo membalik badannya dan menyerang lagi, ekspresi muka kucing besar itu terlihat kesakitan dan gusar. Beberapa seranganku mulai terasa cederanya mengganggu gerakan yang biasanya lincah dan gesit. Menghindar dan sesekali menyerang dengan memukul kaki belakangnya dengan bakiak Bulan Pencak untuk memperlambat kekuatan lompatnya yang luar biasa.
Mamalia berkaki empat berukuran besar melebihi biasanya itu mulai kesulitan bergerak. Ia merenggangkan kaki belakang kirinya yang sudah kuhajar berulang-ulang dengan bakiak andalanku. Gerakannya setara dengan menggeretakkan sendi yang kaku. Kami kembali saling ukur menakar lawan dengan saling berputar dengan waspada penuh. Tanganku terbuka lebar di bawah dengan memegang sepasang bakiak, setengah berjongkok di tanah yang sudah kupak-kapik karena pergelutan kami sebelumnya. Pertarungan mengadu jurus. Aku melawan perwujudan seekor harimau yang sangat buas. Dulu aku juga pernah menghadapi harimau seperti ini kala berlatih Mandalo Rajo dengan Inyiek Mandalo Sati. Rasa itu kembali kurasakan. Debaran itu. Bercampur dengan distorsi menyebalkan yang mengisi kepalaku akibat menggunakan tenaga penuh ilmu Mandalo Rajo.
Bertarung dengan hewan buas semacam harimau ini adalah hal yang sangat mengerikan apabila tidak tau karakteristik hewan ini. Hewan ini sangat bangga akan kekuatannya tetapi ia juga tidak meremehkan mangsanya. Sering juga harimau gagal dalam berburu akibat keteledorannya sendiri dan juga kegesitan mangasanya. Biasanya sang harimau hanya akan berburu mangsa berikutnya. Tetapi kali ini adalah pertarungan dua harimau. Aku menggunakan silat harimau dan Inyiak Mandalo Lelo sudah menjadi harimau sesungguhnya. Hikayat orang-orang dahulu mengatakan, kalo terlalu dalam mempelajari silat harimau ini, sang pendekar bisa berubah benar-benar menjadi seekor harimau. Ada benarnya di level Inyiak Mandalo Lelo. Aku belum pantas mendapatkan gelar Inyiak yang berarti ‘kakek’.
Tangan yang memegang bakiak Bulan Pencak tetap pada bentuk cakar seiring dengan cakar melengkung yang mencuat dari buku-buku jariku tetap mengarah pada lawan. Rasa pedih dan sakit dari luka-lukaku sedikit terlupakan dengan terus suara distorsi bising di telingaku yang tak kunjung selesai. Sukak kali yang maen gitar listrik sembrenget itu di kupingku ini. Entah cam mana menghilangkan suara berisik itu. Kalo kutarik balik Mandalo Rajo, aku ragu bisa mengimbangi Inyiak Mandalo Lelo dalam bentuk harimaunya.
Inyiak Mandalo Lelo mulai bergerak lagi… Tapi gerakannya tidak biasa. Ia menepuk kaki belakang kirinya yang terluka dan paha kanannya yang tersayat hingga tubuh harimau itu berdiri tegak. Gak pantas membandingkannya dengan Tigger, teman Winnie the Pooh yang bisa berdiri dan melompat-lompat dengan ekor per-nya, tapi itu yang sedang dilakukan harimau itu. Ia berdiri tegak seperti manusia raksasa berbulu harimau. Ia menatapku tajam seperti akan memuntahkan sesuatu. Apa ada bola bulu di perutnya seperti kucing-kucing kebanyakan.
NO WAY! Ini tidak mungkin! Tubuh harimau itu perlahan membentuk tubuh humanoid yang jelas. Ada dada bidang, tangan yang kekar dan juga kaki yang kokoh untuk menopang tubuhnya. “Sutan Mandalo Nasrul Chaniago…” suara serak yang pertama kali keluar dari Inyiak Mandalo Lelo harimau humanoid itu. “Belum pernah ada yang mencapai taraf ini… Bahkan guru besar kami… Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh… Karena itu… aku mau meminta hakku yang sudah kau rebut sebelum waktunya…” ia mengutarakan maksud utamanya.
“Tapi Inyiak Mandalo Lelo sudah dikeluarkan dari hutan Larangan sebelum aku datang belajar Mandalo Rajo… Inyiak sudah dilarang untuk menggunakan Mandalo Rajo selamanya… Inyiak sudah tidak bisa lagi untuk menyebutnya sebagai hak!” sergahku. Harimau yang melanggar aturan di hutan Larangan akan mendapat hukuman diusir selamanya dari hutan dan tak boleh memakai embel-embel nama yang berasosiasi dengan hutan Larangan lagi. Inyiak Mandalo Lelo melakukan kesalahan yang sangat berat dengan memangsa hewan ternak dan membunuh beberapa warga penggembala yang bermukim di pinggiran hutan. Ini adalah cerita yang pernah dikisahkan oleh guruku Inyiek Mandalo Sati.
“Aku satu-satunya Inyiak Mandalo yang tersisa… Cuma aku berhak menyandang gelar itu dibanding dirimu yang bukan apa-apa…” sulit untuk membayangkan seekor harimau tersenyum. Tetapi itu yang sedang kupandangi. Wajah seekor harimau humanoid yang sedang tersenyum seperti yang selalu ditampilkan Inyiak Mandalo Lelo saat bertemu orang-orang. Gigi-gigi bertaring panjang bertonjolan di sudut mulutnya. “Aku akan membangun kejayaan silat harimau Mandalo Rajo yang dulu sangat disegani kembali ke tempatnya yang sepantasnya… Kemana kau selama ini? Kau tidak melakukan apa-apa… Hanya bersembunyi dan menghilangkan silat paling hebat ini untuk mengalahkan semut-semut yang tak ada faedahnya… Dukun-dukun cabul itu… Siluman-siluman rendahan itu… Itu yang kau sebut pertarungan? Mandalo Rajo seharusnya menguasai… bukan bersembunyi seperti yang kau lakukan… Memanfaatkannya hanya untuk mengawini bini orang…”
Sampai di kalimat terakhir itu aku sudah sangat marah. Ceramahnya udah kek Naruto kurasa. Cam betol kali dia nyeramahin aku. Bukannya betol kali orang satu ini. Kebetulan aja-nya kao lahir duluan dariku hingga kao tua dan berpredikat kakek-kakek ato Inyiak. Apa urusanmu ngata-ngatain aku yang ngawini binik orang?
“Kalera muncuang wa’ang, yo?” (Kimak mulut kao, ya?) kulempar tak perduli apapun satu bakiak Bulan Pencak ke mukanya dan menyusul yang sebelah lagi. Ia mengelakkannya dengan mudah. Satu bakiak itu membentur sebuah pohon kelapa hingga tumbang ke arah laut. Kuterjang tubuh humanoid harimaunya. Aku jadi tak perduli apapun lagi. Denging distorsi di kepalaku semakin mengganggu. Itu membuatku tak dapat berpikir dengan jernih. Hanya menerjang dan terjang saja. Inyiak Mandalo Lelo dengan mudah mengelakkan semua serangan serampanganku. Tubuh harimau besar berpostur manusia itu dengan mengejutkan bisa bergerak dengan sama gesitnya dengan bentuk hewannya. Dan dengan keuntungan fleksibelitas menggunakan jurus silat harimau sepenuhnya.
Sebuah cakaran penuh mengoyak mukaku. Empat jarinya yang berkuku harimau merobek mukaku. Aku meraung-raung kesakitan dan meradang mengamuk sejadi-jadinya. Malah sabetan luka baru bersarang kembali di tubuhku. Robek di perut, betis kiri dan lengan kanan. Tertatih-tatih aku berusaha memposisikan diriku untuk membalasnya. Rasa sakit merajai tubuhku. Darah sudah sangat membasahi tubuhku. Pandanganku-pun sudah bertabir darah yang mengucur dari luka memanjang dari pipi kiri hingga dahi. Inyiak Mandalo Lelo tertawa-tawa senang melihatku sudah sangat kepayahan dan mengejekku. Itu harusnya trademark-ku. Aku yang harusnya selalu memprovokasi lawan. Kali ini aku kena batunya.
Urat besar di belakang tumitku diputuskannya hingga aku limbung dan tak mampu berdiri dengan benar. Mataku nanar menatap gelapnya langit tak berbenda angkasa ini. Merah oleh darah dan bising oleh distorsi. Inyiak Mandalo Lelo menginjak kedua bahuku hingga aku terlentang tak berdaya. Untuk beberapa saat dipandanginya mukaku dengan wajah harimau tersenyumnya lalu ia menunduk agar dapat dengan lekat menatapku. Mungkin ini kata-kata terakhirnya sebelum ia mematahkan leherku, memutus kepalaku atau menghancurkan jantungku.
“Mandalo Rajo tidak cocok untukmu… Aku… Inyiak Mandalo Lelo akan mengambilnya darimu… Kau boleh beristirahat…. selamanya… CRASSHH!!” ujarnya lalu membenamkan cakar-cakar di tangannya ke arah punggung tanganku. Aku menjerit sakit sejadi-jadinya. Rasanya jari-jariku sudah terputus semua karenanya. Inyiak Mandalo Lelo mengincar cakar harimau yang menjadi penanda sakral keilmuan Mandalo Rajo di tanganku. Simbolisnya, ia melepas gelar Mandalo Rajo dari tanganku.
“AAAARRRHHHHH!!!” jeritku sangat pilu. Rasanya sangat luar biasa sakit. Sakit saat cakar itu tumbuh mencuat kalah oleh rasa pemutusan paksa ini. Kehilangan jari-jari tangan tak terlalu kuhiraukan. Kehilangan nyawa yang sangat mengerikan. Kehidupan yang pernah kulalui silih berganti berkelebat di depan mataku. Memori-memori masa lalu mencuat keluar seperti ledakan kembang api di akhir tahun. Teringatku pada anak-anakku yang masih kecil, pada istriku yang kucintai, ibuku yang sudah merawatku sejak kukecil, adik dan kakakku. Begini rasanya sekarat…
Suara distorsi mengganggu itu hilang lenyap dari kepalaku. Mati ternyata terasa mendingan kalo begini. Sebentar lagi, rohku akan melayang-melayang dan aku bisa menyaksikan jasadku yang terbujur kaku mulai dingin. Aku hanya melihat putih dan putih saja. Katanya bakalan ada lorong panjang dengan sinar di ujungnya. Semoga aku bisa melihat bidadari-bidadari cantik di tempat nantinya. Ah ha ha ha… Apa mungkin orang yang mesum sepertiku ini akan mendapat kehormatan seperti itu? Sudah seberapa banyak dosaku, sok ngarep dapat bidadari cantik. Seng-Seeng? Mimpi kao!
“Uy… Paja pakak!” (Uy… orang paok!) panggil satu suara. Kenapa ada orang yang sedang mancing di sini? Orang itu sedang memancing dengan sebatang bambu sebagai jorannya. Ia berjongkok memancing pada sebuah lubang berair. Tanah berwarna putih itu berlubang. Ini tanah ato apa? Kok kek awan gitu? Kudekati orang itu yang masih tekun memperhatikan pelampung pancingannya.
“Inyiek?” buru-buru aku berlutut dan menghaturkan hormatku pada orang tua itu. “Hng?” heranku. Tanganku yang tadi berdarah-darah kini normal-normal saja. Juga dengan luka-luka lainnya di tubuhku. Mukaku yang sobek tidak terasa sakit lagi. Di hadapanku kini adalah guruku, Inyiek Mandalo Sati. Bukannya dia sudah lama tiada. Kenapa ia ada di sini? Apakah ini alam barzah itu itu? Alam kubur. Dimana semua roh-roh mahluk yang sudah mati menunggu sebelum hari Hisab.
“Bingung, wa’ang?” katanya sambil garuk-garuk pantat. Ini guru yang memang slebor. Bisa-bisanya ngomong sambil garuk-garuk sembarangan. Nah, kan… garuk kontolnya dia sekarang. Tangannya masuk ke dalam celana dan garuk-garuk. Abis itu diciumnya aroma bekas ngegaruk tadi lalu disapukannya kain celananya beberapa. Inyiek Mandalo Sati hanya memakai celana panjang sebetis dan ikat kepala serba hitam. “Sudah datang si Lelo kalera (kimak) itu minta Mandalo Rajo?”
“Iya, Inyiek… Saya kalah darinya… Dan saya mati… di sini bersama Inyiek…” simpulku.
“Mati?” ia menjepit joran pancing itu di paha dan betis kanannya lalu mengambil sesuatu di atas permukaan tanah putih ini. Ini beneran tanah apa awan ato apa, ya? Ada yang bisa menjelaskannya padaku. Benda itu? Itu sebuah console game portable Gameboy Advance. Ia sedang memainkan sebuah game. Dari cartridge-nya terlihat tulisan 5in1 Best GBA Games. DEPAKK? Inyiek Mandalo Sati sedang maen game Mario Bros yang sempat di-pause! “Siapa yang mati?” ulangnya.
“Saya, Nyiek…” jawabku tetap berusaha sopan walo seslebor apapun guruku ini.
“Ang kira ini alam kubur apa?” katanya ngegantung kentang dan tetap memainkan game portable itu sambil sesekali tetap melirik pada pelampung pancingnya. Ini bukan alam kubur? Jadi ini tempat apa? Masa ini cuma daerah kekuasaan Inyiek Mandalo Sati? Hah? Jadi selama ini Inyiek Mandalo Sati tidak mati? Belum meninggal? Selama ini berada di sini? Dimana jasadnya?
“Saya gak paham, Nyiek… Apakah ini daerah kekuasaan Inyiek? Ini berbeda dari yang biasanya…” daerah kekuasaan Inyiek Mandalo Sati setahuku tidak berbeda rupanya dengan keadaan hutan Larangan yang dikuasai dan dijaganya. Aku pernah beberapa kali masuk karena undangan beliau. Bahkan terakhir kali juga aku ada di dalam sana…
“Wa’ang gak usah paham apa-apa… Gak ada gunanya paja pakak macam wa’ang dikasih tau juga… Uhh… DAPAT!” kaget aku dibuatnya karena ia tiba-tiba teriak ‘dapat’ dan melemparkan begitu saja console game portable lawas itu. Aku jungkir balik berusaha menangkap benda itu. Tunggang-langgang akhirnya aku dapat menangkapnya. Ini, kan Gameboy-ku dulu! Aku tanda kali sama benda ini karena aku menggores bagian belakangnya dengan inisial namaku NS, Nasrul Aseng. Jadi selama ini hilang ada di tangan Inyiek Mandalo Sati ternyata.
“Nyiek? Ini kan gem… Huh?” kagetku berhenti ngeluh pada Inyiek Mandalo Sati demi melihat apa yang sudah dipancingnya keluar dari dalam air. Bukan ikan ataupun belut apalagi sebelah sepatu bekas, bentuknya seperti seekor kucing akar atau anak harimau ditilik dari loreng-loreng bulunya. Leher mahluk itu terjerat oleh benang pancing yang menegang akibat berat tubuhnya. Inyiek Mandalo Sati memegangi pangkal joran bambu dan memperhatikan tangkapannya. “Anak harimau?”
“Ini si Lelo kalera itu…” jelasnya. Apa?? Anak harimau ini adalah Inyiak Mandalo Lelo? Kenapa jadi harimau kecil gini?
“Apa yang terjadi, Nyiek? Saya gak paham, Nyiek…” tentu saja aku gak ngerti dengan semua yang terjadi saat ini. Dimulai dari aku masuk ke tempat ini, kenapa Inyiek Mandalo Sati ada di sini, kenapa luka-lukaku sudah sembuh, kenapa Inyiak Mandalo Lelo dipancing menjadi seekor anak harimau.
“Perhatikan mulutnya…” tunjuk Inyiek Mandalo Sati pada moncong anak harimau itu. Hewan malang yang terlihat masih imut itu menggeliat-geliat berusaha melepaskan jeratan benang pancing pada lehernya dengan gerakan-gerakan mengusap. Moncong anak harimau itu tidak biasa karena seperti sedang tersenyum menampakkan gigi-gigi mungil di dalam mulutnya. Mengingatkan pada perangai Inyiak Mandalo Lelo yang selalu tersenyum. Jadi dari kecil ia sudah seperti ini. Tunggu dulu… Aslinya Inyiak Mandalo Lelo itu harimau sungguhan! “Sudah paham?”
“Inyiak Mandalo Lelo adalah harimau asli…” simpulku.
“Nah… Itu baru pandai… Jadi si Lelo itu adalah harimau yang lahir di hutan Larangan… Usianya sudah ratusan tahun… Ada sedikit cacat di bagian mulutnya hingga ia seperti terlalu tersenyum… Sebagai seekor harimau di hutan Larangan… tentunya ia memiliki majikan yang membebaskannya hidup di hutan dan sesekali dipanggil… Majikannya adalah guru besar kami Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh… Guru besar kami mengembangkan silat harimau Mandalo Rajo ini berkat bermain-main dengan harimau-harimau peliharaannya… Lelo adalah harimau terkuat di hutan Larangan saat itu… Jadi saat Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh kelihatan sedang bermain dengan para harimau itu… sebenarnya ia sedang berlatih Mandalo Rajo langsung pada harimau… Bagi masyarakat awam… mereka seperti berkelahi…” jelas Inyiek Mandalo Sati lalu melepaskan jeratan benang pancing itu dari leher si harimau kecil. Harimau imut itu menggaruk-garuk lehernya yang sudah terbebas.
“Lelo adalah harimau terkuat yang sangat bangga dengan kehebatannya… Kalau ia bertemu dengan harimau lain yang berusaha masuk ke hutan Larangan… Lelo akan mengusir harimau itu… Sampai suatu hari ia diperdaya oleh satu siluman dari daerah yang jauh… Lelo kalah dalam pertarungan itu… Ia ditangkap dan diculik oleh siluman itu… Lelo diangkat menjadi murid oleh sang siluman dan mendapatkan ilmu untuk berubah menjadi manusia… seperti siluman yang sudah mengalahkannya itu… Satu ciri yang tak bisa hilang darinya adalah senyum di wajahnya itu… Lelo yang kembali ke hutan Larangan setelah menghilang selama 20 tahun dan minta diajari Mandalo Rajo kepada Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh…” Inyiek Mandalo Sati terus menceritakan sejarah Mandalo Rajo yang belum pernah kudengar ini. Harimau kecil perwujudan Inyiak Mandalo Lelo berlari-lari mengekplorasi tempat serba putih ini.
“Kau tau aturannya, kan? Hanya ada satu murid yang diajari Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh… Itu aku… Saat itu Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh sudah mengangkatku menjadi murid… Karena silat harimau ini sangat berbahaya… Tidak boleh ada lebih dari satu penguasa ilmu ini di satu masa… Lelo ditolak menjadi murid oleh Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh… karena hatinya berubah menjadi culas… Merasa kalau dialah yang paling berhak menyandang ilmu ini… karena berkat andilnya-lah ilmu ini tercipta, ia berbaur lagi dengan para harimau di hutan Larangan dan mencuri belajar dari kejauhan latihan-latihanku… bersama Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh… Lelo mempelajari Mandalo Rajo secara sembunyi-sembunyi dan bahkan mengembangkannya sendiri hingga tersesat…” Inyiek Mandalo Sati terdiam sesaat mengingat-ingat semua kejadian itu.
“Lelo secara tidak sah menyandang nama Mandalo di namanya… Lelo menantang Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh untuk mengambil nama Mandalo Rajo untuk dirinya sendiri… Sesuai namanya… Mandalo Rajo… Hanya ada satu raja Mandalo yang menyandang nama itu di dunia… Itu dirimu, Sutan Mandalo Nasrul Chaniago…” lanjutnya. Inyiak Mandalo Lelo menantang Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh? “Tentu saja Lelo kalah mudah dari Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh… pencipta ilmu ini… Ia lari dan menghilang untuk mengembangkan dirinya lagi… Mandalo Rajo yang dikuasainya adalah Mandalo Rajo palsu yang tidak punya ruh murni sebuah keinginan untuk melindungi… Ia hanya mau merusak… Keinginan untuk merusaknya lebih besar daripada sebuah membangun kemajuan…” Inyiek Mandalo Sati lalu menunjuk ke arah harimau kecil itu. “Liatlah betapa kerdil jiwanya sesungguhnya… Ia tidak lebih dari harimau kecil yang tidak tau apa-apa walau sudah sebanyak itu berlatih dan seberapa lama ia hidup… Lihatlah dirimu… Kau adalah gambaran jiwa seperti apa yang ada di luar sana… Di dunia…” tuntasnya. Ternyata ini adalah versi lengkap tentang kisah seekor harimau bernama Inyiak Mandalo Lelo.
“Mm… Nyiek… Aku bukan orang baik…” sadarku langsung merasa malu. Dia pastinya tau apa saja yang telah kulakukan di luar sana.
“Kau orang baik, Sutan… Aku tidak salah memilihmu untuk dilimpahkan silat harimau Mandalo Rajo ini… Kau menyembunyikannya dan hanya memakai gerakannya saja… Lelo pasti sudah melakukan kerusakan di muka bumi kalau ia mendapatkan Mandalo Rajo sedangkan kau tidak… Aku tau apa saja yang sudah kau lakukan selama ini… Satu nasehatku sebagai gurumu… Berhati-hatilah… Ada banyak musuh yang lebih berbahaya dari pada Lelo di luar sana…” katanya.
“Terima kasih, Nyiek… Saya berhutang sangat banyak pada, Inyiek… Tapi saya sudah menyebabkan Inyiek…”
“Kau liat aku baik-baik saja, kan?” ia memotong ucapanku. “Aku bersenang-senang di sini… Lagian aku gak sendirian… Aku punya segalanya disini…” tiba-tiba ia mengangkat sebelah tangannya seperti sedang mencoba menarik perhatian seseorang di kejauhan. Apa benar ada orang lain di sini? “Kau liat… Itu Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh…” Mataku hampir melotot ditunjukkan pada sosok seseorang di kejauhan sana yang merupakan guru besar yang telah menciptakan Mandalo Rajo. Pria tua yang masih terlihat gagah itu mengendarai sebuah chopper Harley Shovelhead dengan mengenakan jaket kulit lengkap dengan helm dan google-nya. Ini alam apa, sih sebenarnya? Kenapa benda-benda seperti itu ada di sini? Ada Gameboy, ada Harley. Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh menghampiri kami dengan deru suara motor Harley kerennya. Inyiak Mandalo Sati menepuk-nepuk bahuku. Aku masih bingung.
—————————————————————————-
“Mandalo Rajo tidak cocok untukmu… Aku… Inyiak Mandalo Lelo akan mengambilnya darimu… Kau boleh beristirahat…. selamanya… CRASSHH!!” Aku dengan mudah menghindari hujaman kuku-kuku runcing Inyiak Mandalo Lelo yang menancap di tanah pasir. Koreksi, cukup Inyiak Lelo saja.
Aku kembali ke beberapa detik sebelum Inyiak Lelo memutus cakar-cakar di tanganku dengan cara menendang punggung bawahnya. Ia terlalu pongah berdiri menginjak kedua bahuku saat mengunciku di tanah tadi. Ia kaget karena seranganku barusan. Tubuhku masih berdarah-darah tetapi hanya sekedar darah yang menempel saja tanpa ada luka yang menganga sama sekali. Tendanganku barusan juga bersamaan dengan cakaran menggunakan kuku cakar kakiku, melukai punggungnya. Aku bersiap kembali dengan kuda-kuda rendah. Dan o-ya… Sudah tidak ada lagi distorsi berisik di telingaku lagi. Yes!
Babak baru akan segera dimulai.
Aku melompat cepat ke arah tubuh besarnya, merayap cepat dan nangkring di atas pundaknya. Kakiku bersilang dari balik ketiaknya. Tanganku mengunci lehernya yang tebal juga kekar. Kucoba untuk memelintir, mematahkan leher itu. Inyiak Lelo gesit melontarkan tubuhnya berputar searah dengan putaran pelintir leherku ke tanah untuk menggagalkan, dengan maksud membantingku ke tanah dengan submission. Kakiku yang mengapit di ketiaknya ditahan agar aku tidak bisa lari dari kunciannya.
Dengan salto, melentingkan badan ke belakang, tanganku dahulu yang mencecah tanah alih-alih kepalaku. Walau kakiku masih terkunci di ketiaknya, aku malah membanting tubuhnya menggunakan tumpuan tangan seolah sedang menjadikannya sebuah martil raksasa. Kaget setengah mati Inyiak Lelo kepalanya terbentur kuat di tanah keras tetapi berkat liat tubuhnya, membuatnya kembali sigap dan menerjang kembali.
Sebuah gerakan menghindar sederhana kulakukan, mundur satu langkah dari tempatnya mendarat lalu menjegal ala sliding tackle satu kakinya yang mencecah mendarat. Tubuh besarnya tak siap menerima benturan itu dan jatuh berdebum. Aku bersiap dengan teknik dasar lainnya, lutut dan sikuku menyambut rubuhnya tubuh Inyiak Lelo ke bumi. Lututku membentur ulu hatinya sedang sikuku telak di tenggorokannya. Inyiak Lelo mengalami kerusakan parah. Ia berguling-gulingan di tanah merasakan rasa sakit yang luar biasa. Satu tangan memegangi perutnya dan satu di leher. Suara parau serak kesakitannya membahana.
Waktu ia bergulingan, pilih waktu yang tepat saat ia menelungkup dan seranganku masuk lagi. Kutindih punggungnya dengan tubuhku yang jauh lebih kecil dan ringan. Tangannya yang memegangi lehernya yang rusak kuteruskan melingkari lehernya ke arah kuping. Tangannya yang satu lagi, yang memegangi perutnya tertindih tubuhnya sendiri. Kutarik sejadi-jadinya tangan yang melingkari leher itu untuk menghentikan jalan nafasnya. Jari-jari berkuku tajam itu kuplintir sebagai pengunci.
“Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh juga Inyiek Mandalo Sati kirim salam…” ekspresi muka dari wajahnya yang selalu tersenyum itu tidak bisa kulupakan. Ada titik air mata yang mewakili suaranya yang sudah tak dapat mengeluarkan suara jelas lagi. Jurus ini yang dulu dipakai untuk mengalahkannya saat menantang Inyiak Mandalo Panglimo nan Sadareh. Tentunya ia percaya kata-kataku. Ia harus percaya. Dan KRAK!
Tubuh besar bentuk humanoid harimau itu terkulai lemas. Ini ilmu sesat yang dipelajarinya dari siluman itu. Ia mengubah tubuh hewannya menjadi setengah manusia dan juga manusia utuh demi kerakusannya. Kini ia terkulai tak bernyawa. Ini tugas yang diberikan dua guruku saat bertemu tadi. Aku harus menumpas bibit kejahatan yang mendeskreditkan Mandalo Rajo ini dengan jurus Mandalo Rajo yang sesungguhnya. Sebagai seorang pewaris sah dari Mandalo Rajo. Aku Sutan Mandalo Nasrul Chaniago membasmimu.
—————————————————————————-
Aku menggeletakkan tubuhku di pasir pantai sembarangan. Butir-butir pasir menempel tak kupedulikan. Menempellah sesuka kalian. Pilih aja bagian tubuhku yang kalian suka. Tapi jangan digigit!
Ini ceritanya kok jadi ribet begini, ya? Kenapa urusannya jadi semakin jauh begini. Kukira ini hanya urusan santet menyantet aja. Ternyata aku memang sengaja di target oleh Inyiak Lelo untuk memancingku keluar untuk hadir di ranah Minang ini kembali. Tau kalo ajo Mansur saudaraku, Inyiak Lelo menyuruh murid-muridnya untuk menerima permintaan santet dari orang-orang itu. Ratih, terkait harta warisan adat yang juga ternyata diinginkan oleh keluarga yang lain. Ambil jalan pintas menggunakan bantuan dukun, anak muda dengan keahlian silat harimau Mandalo Rajo palsu. Suli, dari seorang pemuda yang tak tersampaikan hasratnya. Sakit hati Suli keburu dipinang seorang yang terpandang sekelas ajo Mansur, jalan pintas juga diambil lewat dukun lain, dukun tua dengan Menggala harimau. Yang terakhir adalah pesaing bisnis ajo Mansur yang langsung ditangani oleh Inyiak Lelo sendiri. Tujuannya adalah menjatuhkan mental ajo Mansur lewat tak mampunya ia menggauli istri atau perempuan manapun. Kalo mentalnya jatuh, kinerjanya menurun tak mampu kerja dan implikasinya bisa kemana-mana. Tebakanku adalah main proyek ato pekerjaan yang gagal dilaksanakan hingga menyebabkan wanprestasi berujung perdata ato bisa apa saja. Fiuh…
Kok bisa Inyiak Lelo nemu orang-orang yang tepat untuk menghubungkanku dengannya? Indikasinya ia sudah menungguku sejak berbulan-bulan lalu dimana rencana pernikahan ajo Mansur sedang digodog. Tertunda karena ternyata aku tidak datang ke pesta pernikahannya. Hanya ibu dan adikku yang datang menghadiri acara tersebut. Tetapi santet dan teluh sudah terlanjur disebar hingga ajo Mansur dan ketiga istrinya kena getahnya. Paranormal terkemuka di negri ini bahkan tak sanggup mengatasi kejahatan yang digawangi Inyiak Lelo dan murid-muridnya ini. Aku gak bisa komen tentang kemampuan mereka, sih. Lanjut malah sekarang ini karena aku menghadiri pernikahan adikku di kampung sini. Kenapa dia, Inyiak Lelo tidak langsung saja mendatangiku di Medan? Aku yakin dia sanggup datang padaku langsung ke Medan. Kenapa harus di daerah ini? Ranah Minang? Mungkin karena preferensi aja secara legenda harimau-harimau dengan status Inyiak ato Datuk lebih kental di sini. Kalo dibawa ke Medan mungkin akan kurang gregetnya. Kalo di ranah Minang sini, hampir rata semua suku mengakui kedigdayaan mereka bahkan sampai ke pesisir yang notabene bukan habitat harimau.
Ajo Mansur sekarang sudah sembuh harusnya dari santet ato teluh yang dikirimkan Inyiak Lelo yang menyerang kejantanannya. Harusnya, yaa… Udah bisa harusnya ajo Mansur mencoblos ketiga istrinya sekarang. Entah apa yang sedang dilakukan ajo Mansur di kamar itu bersama Mila. Apa ia sudah menyadari kalo Mansur junior-nya sudah sembuh dari penyakit tak wajarnya itu. Mudah-mudahan aja ia belum tidur saat ini.
Nah… Itu dia. Berlari-lari cepat ke arahku dari bangunan Resort yang ditinggalinya bersama istrinya, Mila selama di pulau Cubadak. Aku bangkit dari goler-goleran gak jelas di pasir, menantinya sampai menghampiriku. Cahaya malam menerangi siluet tubuhnya yang gak berbaju, hanya bersarung awut-awutan. Aku menghindari cipratan pasir dari tendangan kakinya.
“Seng! Seng! Udah bisa tegang! Keras! Liat!” heboh ajo Mansur memamerkan Mansur junior-nya yang sudah benar-benar tegang ngaceng dengan perkasanya seperti dulu.
“Ya-elah, jo… Gak usah dipamerin juga ke aku-laa… Aku gak selera-la liat kalapiah ajo walo udah ngaceng kek gitu…” gidikku jijik karena ia menyodor-nyodorkan kemaluan tegangnya padaku. “Iyaa… Ajo udah sembuuh!” lanjutku memalingkan muka menghindari pemandangan horor itu.
“Jadi… ini udah bisa dipake, Seng?” tanya ajo Mansur jumawa sekali sambil mengocok-ngocok penisnya tanpa malu apapun di depanku. “Tapi Mila udah tidur… Dia kecapekan… Gimana, yaa?” sadarnya. “Apa Suli aja? Ratih mungkin?” bingungnya. Mungkin ia teringat dengan giliran jatah yang diaturnya.
“Bebasss… sss… sss…” aku angkat tangan apapun yang dipilihnya. Istri-istrimu, jo… Suka-suka kao aja mau yang mana… Capek aku… Mo tidur dulu aku puas-puas…
“Makasih, Seng…” ajo Mansur berlari kembali ke bangunan Resort miliknya dengan riang gembira. Ia bahkan melompat-lompat kek anak kecil nemu rental PS gratisan. Aku masuk ke bangunan dimana anak dan istriku tidur. Mau tidur juga.
Bersambung