Part #33 : Ternyata bahagia itu mudah
Kami cabut dari penginapan bungalow itu sekitar jam 10 pagi dan langsung menuju Padang. Sayangnya ibuku dan besannya sudah lelah dan tak jadi ikut sampai ke pulau Cubadak. Lagipula katanya dirinya dan besannya gak pantas ada di pulau begituan. Jadi yang pergi adalah keluargaku, keluarga kak Dedek, sepasang pengantin baru itu dan tentu saja keluarga ajo Mansur dengan tiga istrinya.
Dari Padang lanjut menyusuri pesisir hingga mencapai daerah Painan menuju pantai Carocok untuk naik speedboat untuk mencapai pulau dengan jarak tempuh kira-kira 15 menit saja. Pantai Carocok ini termasuk pantai yang cukup ramai dikunjungi masyarakat di masa libur. Karena ini bukan hari libur ato weekend, suasananya agak lengang siang ini. Hanya ada beberapa pengunjung dan kebanyakan sejoli yang sedang memadu kasih saja. Perjalanan menumpang speedboat berjalan lancar, pulau Cubadak tujuan kami sudah terlihat di horizon.
Kami disambut oleh pengelola resort pulau nan rancak ini. Pulaunya tidak terlalu luas tapi memiliki resort dengan kelas bintang 5 yang dikelola warga asing yang sempat menjadi polemik kalo lokasi ini sudah dibeli para ekspatriat. Sejauh mata memandang, hanya turis asing berbikini saja yang sedang leyeh-leyeh berjemur atau sedang ngobrol ke sesamanya. Mereka sempat melihat heran tiga wanita berhijab lebar, apalagi bercadar memasuki tempat ini. Kami diarahkan berkeliling mengitari pulau sesuai apa yang dipesan ajo Mansur. Dia bilang tempat kami menginap tidak akan bercampur dengan turis-turis bule itu sehingga kami tidak akan saling mengganggu. Lokasinya ada di belakang pulau karena bisa dibilang sekeliling pulau ini sama amazingnya. Pantai dengan pasir putih dan air biru nan jernih sepanjang mata memandang.
Resort ini bersistem village hingga tempat kami menginap berupa bangunan-bangunan rumah panggung mungil terbuat dari kayu beratap nipah di tepi pantai agar serasi dengan alam tropis pantai dan pulau. Para turis mancanegara menyebut tempat ini sebagai surga. Cam dah pernah aja klen mati trus masuk surga.
Total ada 5 bangunan yang kami tempati di sini. Masing-masing untuk satu keluarga dengan pengecualian keluarga ajo Mansur yang terdiri dari 3 istri, yang menggunakan dua bangunan. Jarak antar bangunan cukup berjauhan dan bervariasi. Pokoknya tiap bangunan memiliki pantai pribadi di depan halamannya. Sekeren apa itu? Keren kali! Muantabbbb!
Yang paling heboh tentu saja anak kak Dedek yang sudah beranjak remaja. Anak kak Dedek ada 3 dan semuanya cewek. Satu berumur 13 tahun dan 10 tahun dan yang terkecil sebaya dengan anakku Salwa karena mereka kembaran. Mereka bersama anakku Rio langsung menyerbu pantai yang asik sekali untuk bermain air. Air yang jernih dan dangkal cocok untuk anak-anak seperti mereka. Para orang tua hanya perlu mengawasi saja agar tidak bermain terlalu kebablasan.
Dikejauhan sana, dibagian pantai yang lain, sayup-sayup aku bisa melihat ajo Mansur sedang bercengkrama dengan tiga istrinya di pantai juga. Keadaan Ratih dan Mila tidak memungkinkan keduanya untuk bermain bebas di pantai umum. Tetapi di pantai semacam ini, keduanya bisa bebas karena hanya ada kami disini. Sepertinya mereka juga sudah menganggap kami seperti keluarga dekat setelah sekian hari bersama-sama liburan di beberapa lokasi. Mereka dengan riangnya bermain pasir dan air. Siram-siraman dan berlari berkejaran. Aku tak perlu iri melihat itu. Aku punya keluarga sendiri di sini.
Berleha-leha di pantai pribadi ini sangat… apa ya namanya? Gak ada pulak perbendaharaan kata-ku yang pas untuk menggambarkannya. Aku ini orang yang sudah terbiasa hidup susah dari kecil. Keluarga kami hanya keluarga sederhana yang menggantungkan semua nafkah hidup dari orang tuaku yang punya usaha kedai kopi pinggir jalan. Yang kek-kek gini cuma pernah kuliat di brosur-brosur ato sinetron. Melihat Salwa bergembira mandi di ember di kamar mandi aja sewaktu mamanya lagi nyuci sebenarnya udah sama bahagianya kek bermain air di waterboom mahal. Melihat Rio maenan pasir di halaman rumah yang mungkin kecampur sama e’ek kucing udah sama bahagianya kek bermain di pantai pribadi ini.
Ternyata bahagia itu mudah…
Sehabis makan siang di restoran resort yang berada menjorok ke tengah laut, kami duduk-duduk di bar sepi di salah satu sudut pulau. Ketiga istri ajo Mansur sedang ngobrol-ngobrol sesama perempuan di sudut sana sementara aku mojok bareng ajo Mansur di sini. Memandangi laut lepas yang biru dan tenang siang ini. Menurut salah satu staff resort, pasang akan terjadi sekitar sore hari. Angin berhembus sejuk dan segar. Ada keseruan dari obrolan para emak-emak di sana yang dimotori kak Dedek dan istriku yang lebih senior dalam masalah rumah tangga beserta asam garamnya. Kedua iparku entah ada dimana, mungkin mancing ato malah tidur. Duduk malas-malasan di kursi rotan dengan couch lembut bisa-bisa membuat mata redup.
“Enak ya, jo… jadi orang kaya?” tanyaku ngelantur dengan mata kriyep-kriyep 5 watt.
“Ah… ha ha ha… Ada-ada aja kau, Seng… Bukannya kerjaanmu lagi bagus… Buktinya bisa punya Pajero…” kata ajo Mansur teliti juga. Ia tentunya tau kalo mobil itu bukan rental di Padang melainkan kubawa dari Medan berdasarkan plat nomornya yang BK.
“Punya kantor itu, jo… Mana mungkin kuli bisa punya mobil mahal kek gitu…” kataku merendah. Padahal pulang dari liburan ini, aku yakin kak Sandra akan menyerahkan BPKB mobil itu padaku sesuai janjinya. Aku bingung gimana nanti ngomongnya sama istriku. Gak mungkin kan terus kubilang itu mobil inventaris kantor kalo buku hitamnya kupegang.
“A-lah… Gak usah kayak gitu-lah, Seng… Apalagi nanti kalau galon itu jadi kuberikan padamu… Kau gak usah kerja lagi jadi.. apa?… Kuli? Keluar aja dari pabrik itu… Hidupmu udah makmur dari situ…” katanya mengejutkan. Ia benar-benar serius mau menyerahkan SPBU itu padaku? Tapi kalo istrinya ada yang hamil, kan? Masa one night stand gitu bisa langsung hamil? Yakin sekali dia. Aku aja yang subur begini gak segitu yakinnya.
“Heh? Gak usah bejanda gitu-ah, jo… Awak ni apa-la?” kembali aku merendahkan diri. “Enak jadi pengusaha ya, jo? Waktunya lebih fleksibel…” kataku ngelantur lagi. “Mau liburan tinggal terbang… Mau kemana tinggal terbang… Apalagi kalo duitnya banyak kek ajo…”
“Temanmu kan ada itu yang pengusaha… Siapa namanya?” tanya ajo tiba-tiba.
“Kojek, jo? Dia usaha ternak babi, jo…” kataku agak ngenes dengan pilihan usaha sahabatku itu. Aku pernah ditawarinya untuk invest di usahanya itu bareng Iyon juga. Promosinya gila-gilaan. Katanya balik modal-nya cepat karena babi kalo beranak langsung banyak, bisa 10-12 ekor sekali lahiran. Gedenya cepat, makannya gak susah. Katanya aku juga gak usah keluar zakat harta dari usaha itu karena binatangnya haram. Dibanding melihara sapi ato kambing lebih untung babi katanya. Muke gile itu orang. Aku dan Iyon guling-guling ketawa mendengar pemaparannya itu semua.
“Bukan yang itu… Yang kembar itu, loh…”
“Oh… Ron sama Buana-nya BSCA (Bhumi Surya Chandra Awan Group)?” ingatku akan pasangan kembar yang menjadi pengusaha sukses hingga hitungannya sudah konglomerat Indonesia. Mereka berdua alumni sukses yang pernah belajar silat bareng kami bertiga. Bahkan Iyon bekerja pada salah satu dari mereka.
“Yahh… itu… Kalo dibanding mereka… usaha ajo ini gak ada apa-apanya… Cuma seujung kuku aja dengan mereka berdua… Awalnya mereka sama denganmu, kan? Sama-sama maen sana… maen sini… Tapi mereka memilih jadi pengusaha dan sukses… Bukan jadi karyawan… Kalo karyawan… yaa… begini-begini aja trus nasibnya…” nasehat ajo Mansur untuk menggerakkanku menjadi wirausaha. “Ya tapi gak usah langsung drastis-lah… Mulai saja dari kecil-kecil dulu… Dari hobi mungkin… kuliner… jasa… apa saja…” katanya memberi contoh sebab ia punya berbagai jenis usaha yang memberinya banyak keuntungan. Ia punya usaha rumah makan, jasa travel, supermarket dan juga beberapa yayasan pendidikan. Saat ini ia sedang fokus merintis sebuah rumah sakit.
Lama kami berbincang-bincang yang tak kalah seru dengan pembicaraan kelompok emak-emak di sebelah sana dan tak terasa sore mulai menjelang. Kami balik ke bangunan-bangunan kayu eksotis yang berada di tepian pantai. Para anak-anak masih riang bermain air sampe kulit mereka mulai agak gosong terlalu lama terpapar sinar matahari. Salwa dan kembarannya, anak kak Dedek tertidur pulas di teduhan pohon beralaskan tikar, kelelahan puas bermain.
Resort yang minimal disewa dua malam ini sungguh memanjakan para tamunya. Berbagai pilihan servis dapat dipilih sesuai harganya yang bertaraf bintang 5. Tentu saja agar tidak berbaur dengan turis mancanegara yang terbilang sangat provokatif pakaiannya, yang bisa membuat jakun turun naik, otong turun naik, kami memilih untuk mendapatkan pelayanan tersendiri. Atas kemurahan hati dan dompet ajo Mansur tentunya. Makan malam kami lakukan di sebuah bangunan mini di sudut tersendiri pulau Cubadak yang berarti nangka ini. Ini pengalaman yang tak terlupakan.
Ajo Mansur menepi di sudut sana dengan ketiga istrinya. Candlelight Dinner ala-ala pantai di meja petak dikelilingi ketiga istrinya dengan suguhan romantis. Ini bulan madu tersendiri bagi mereka berempat. Aku dan istriku tentu aja gak bisa maen romantis-romantisan lagi karena direpotkan dengan badungnya Rio dan rewelnya Salwa. Kami menciptakan kericuhan tersendiri di tempat ini. Begitu juga dengan keluarga kak Dedek. Yang agak mirip mungkin Selvi dan suaminya, pengantin baru gituh loh. Suap-suapan dan ngobrol berbisik lirih.
Malam ini, kalo sesuai dengan rencana, ajo Mansur akan meneruskan prosesi belah duren ketiga untuk Mila, istri keduanya. Mila dari tadi banyak tersenyum-senyum sendiri. Mungkin ia sudah berekspektasi, malam ini suamiku akan mendapatkan kesucian yang selama ini kujaga dengan sebaik-baiknya. Dua saudaranya telah mendapatkan kehormatan itu dan ia yang terakhir. Ajo Mansur ternyata membuat giliran satu, dua dan tiga terhadap ketiga istrinya ini sehingga keliatannya seperti gak teratur. Kebetulan sewaktu di hotel Bukit Tinggi dua hari lalu itu bertepatan dengan giliran Suli sehingga seolah istri ketigalah yang mendapat prioritas pertama kali. Padahal bukan seperti itu ceritanya.
Dan bukan seperti itu juga ceritanya seperti yang diketahui dan diharapkan ketiga istri ajo Mansur bahwa suami mereka-lah yang telah dan akan melakukan prosesi belah duren itu, ternyata dilakukan oleh pemeran pengganti; Aseng. Sejauh ini aku sudah memerawani dua dari tiga istri ajo Mansur. Suli pertama kali dan Ratih kedua. Tersisa Mila. Ini semua bukan kemauanku, ini semua kemauan suami mereka bertiga, ajo Mansur.
“Belum bisa keluar juga ya, jo?” tanyaku tadi siang. Ia menggeleng getir. Disamping kalapiah-nya gak bisa tegang secara normal, ajo Mansur juga tidak bisa ejakulasi sama sekali seberapa keras-pun ia merangsang dirinya sendiri. Bahkan sampai menyaksikan dua istrinya digenjot pria lain-pun ia tidak bisa ejakulasi walau dirancap sepanjang sesi dua ronde masing-masing. Aku harus memberi pelajaran pada dukun-dukun ini semua. Kurang ajar semua penyantet abang sepupuku ini sampai menderita segini rupa. Penderitaannya sudah mencapai lahir dan batin di tahap ini berkat pilihannya sendiri.
Tapi salahnya juga mempercayakan tanggung jawab ini padaku yang hanya punya waktu satu minggu liburan di kampung ini. Kalo berobat secara normal tentu aku tidak mau secara aku sama sekali bukan dukun yang berkompeten untuk menyingkirkan teluh dan santet yang menimpa keluarga ini. Aku hanya berada di waktu yang tepat dan ada di tempat yang tepat juga. Dan itu harus diterima ajo Mansur dengan segala konsekuensinya. Aku kebetulan bisa menyingkirkan satu persatu teluh yang menyerang ajo Mansur melalui istri-istrinya. Teluh ini bersifat iri dan dengki. Memberi penderitaan pada wanita ini lewat suaminya yang tidak akan bisa menjalankan tugas biologisnya sebagai seorang suami seutuhnya. Secara fisik mereka tidak akan apa-apa, tetapi secara mental tentunya bakalan terganggu. Suami mana ato istri mana yang tahan tidak ‘disentuh’ di kehidupan perkawinannya? Tujuan prokreasi akan sangat diingkari dalam tragedi ini.
Dua pelaku teluh sudah kusingkirkan. Teori awalnya ternyata benar kalo mereka berhubungan walopun mungkin tidak secara langsung saling mengenal satu sama lain. Kata kunci penghubungnya adalah harimau. Dukun pertama yang menyerang Suli memiliki Menggala seekor siluman harimau yang mengaku-ngaku sebagai Inyiek Mandalo Sati, entitas legendaris di ranah Minang ini. Dukun kedua yang menyerang Ratih memiliki ilmu silat harimau Mandalo Rajo yang hanya bisa diturunkan oleh Inyiek Mandalo Sati walo aku ragu karena silatnya tidak asli alias cuma meniru saja. Kedua dukun itu sudah tewas dengan menggenaskan. Yang pertama karena berkelahi dengan harimau-nya sendiri dan yang kedua karena kubantai menggunakan silat harimau Mandalo Rajo yang asli. Ini yang sangat kusesali, karena aku sudah pernah berjanji tidak akan menggunakan ilmu silat mengerikan itu. Tinggal di satu istri ajo Mansur. Yang ketiga yang menyerang Mila. Aku yakin kali ini akan ada hubungannya kembali. Akan ada unsur-unsur harimau ato menyerempet nama Inyiek Mandalo Sati ato malah menyinggung silat harimau Mandalo Rajo lagi. Akan kita liat yang mana satu.
Istri dan kedua anakku sudah tertidur lelap di kamar. Lelah dengan aktifitas liburan di pantai yang sangat menyenangkan ini. Walo bukan dengan duit sendiri, setidaknya aku sudah bisa membawa mereka menikmati liburan yang sangat-sangat layak. Dengan fasilitas dan akomodasi terbaik. Bangunan-bangunan tempat kami menginap untuk dua malam ini kebanyakan sudah mematikan lampu. Bangunan-bangunan dengan satu kamar ini letaknya berjauhan sehingga hanya titik-titik lampu beranda yang menandai kehidupan. Hanya ada satu bangunan yang masih terlihat menyala, bangunan dimana ajo Mansur sedang bercumbu rayu dengan istri keduanya, Mila.
Ratih dan Suli ditempatkan di bangunan lain, berdua karena malam ini adalah waktu hanya untuk Mila. The moment, kerennya. Sementara aku duduk menunggu di bangku kayu yang ada di halaman bangunan jatah kami. Menikmati angin malam yang sejuk membawa aroma laut nan segar. Suara ombak kecil pecah satu-satu silih berganti menyapa bibir pantai tepat di depan mataku. Hanya bertemankan sepi karena sinyal HP saat ini tidak sampai ke pulau. Mungkin telepon satelit bisa tapi aku tidak punya. Bagaimana caraku berkomunikasi dengan ajo Mansur? Mensinyalkan kalo aku sudah bisa bergerak? Karena itu aku dari tadi mempelototi satu sinar lampu setitik yang menyala di beranda bangunan yang didiami Mila dan ajo Mansur. Bila lampu itu berkedip beberapa kali (on-off berulang) pertanda aku mulai bergerak.
Jadi alhasil kerjaanku selama menunggu adalah memelototi beberapa foto. Terutama foto-foto ekse sebelumnya. Foto bugil Suli dan Ratih yang dikirimkan langsung ajo Mansur padaku. Tidak lupa pula foto binor-binor yang ada di Medan. Foto seksi Pipit dengan berbagai lingerie-nya. Foto selfie cantik Iva yang manja. Di dinginnya malam ini, ada sedikit rasa hangat yang merayap di tubuhku. Tentunya berasal dari Aseng junior.
“Tek-tek… tek-tek…” lampu beranda itu berkedip dan aku bergegas bergerak. Ada dua antusiasku. Menyaksikan tubuh tanpa busana Mila yang cantik tak berhijab-nya. Pada dua istri ajo Mansur sebelumnya, aku dapat kesempatan di awal untuk mendapatkan foto yang dikirimkan, kali ini tidak karena keterbatasan sarana. Juga unsur harimau apa yang kali ini bersinggungan denganku. Pasir pantai yang memperlambat langkahku tak kuperdulikan. Detik demi detik kunikmati langkahku yang semakin mendekat ke bangunan tipe village Resort yang ditempati sejoli suami istri itu. Tirai dan jendela tertutup rapat tak memungkinkanku untuk mengintip tetapi pintu terbuka, sengaja tak dikunci ajo Mansur. Aku masuk dengan mudah.
Aku menyaksikan bagaimana ajo Mansur selesai mengabadikan istri keduanya ini dengan kamera HP. Itu adalah hadiah untukku. Mila sudah memakai penutup mata sementara ia sudah tidak memakai apa-apa lagi untuk menutupi tubuhnya. Ia duduk bersandar di kepala ranjang rendah terbuat dari rotan berkasurkan springbed kualitas terbaik ini. Lampu redup menambah indah siluet yang membentuk garis-garis gurat tubuhnya yang telanjang. Rambut panjang hitamnya tergerai bebas di punggungnya. Tubuh langsingnya seputih kedua sepupunya. Yang paling menarik perhatianku adalah bentuk payudaranya rata pada bagian atas lalu membesar dan mencuat mancung menantang pada bagian bawahnya. Lalu bentuk segitiga vaginanya yang berambut tebal hanya pada bagian atas seolah mendapat perawatan bikini wax dan plontos di bagian lainnya.
Suaminya memberi kode tutup mulut padaku dengan jari telunjuk di depan mulutnya. Ajo Mansur duduk di samping Mila dan mengarah pada payudara mancung menggemaskan itu. Dicucup-cucupnya mancung puting itu hingga Mila mengerang-ngerang keenakan. Ajo Mansur mengarahkan tangan Mila untuk menyentuh penis lunglainya, mengajarinya untuk menggenggamnya, menegakkannya berdiri, mengocoknya. “Biii… Enaak, biii… Uhh… Nnn…”
Juga sentuhan lainnya dilakukan ajo Mansur pada kemaluan Mila yang kakinya dibuka lebar-lebar sembari duduk bersandar. Lincah jari tangannya mengutik-utik kacang itil Mila yang cukup jelas terlihat menegang. Sesekali jarinya juga merangsek masuk ke liang kawinnya hingga jari pria itu basah oleh cairan vagina istrinya. Menyaksikan pemandangan erotis itu, aku menelanjangi diriku kecuali sempak. Stok daun bakal senjataku sudah tersimpan rapi di dalamnya juga. Aku mendapatkan daun bagus di seputaran pulau ini sebagai koleksi baruku. Aseng junior sudah mulai bangun dan menuju ukuran tempurnya untuk melaksanakan tugas akhirnya di rangkaian proyek memerawani dan menghamili kalo bisa tiga istri ajo Mansur.
Aseng junior semakin keras takala ajo Mansur menarik tubuh istrinya untuk rebah tak lagi bersandar. Ia bertujuan untuk meng-oral istri cantiknya ini. Kakinya yang terbuka lebar menjepit kepala ajo Mansur yang tenggelam di belahan nikmat itu. Terdengar suara seruputan binal dari mulut dan vagina becek yang beradu. Mila meraung-raung keenakan menikmati oral vagina yang dilakukan suaminya. Tanpa diketahuinya ada individu lain yang menyaksikan kegiatan privat suami-istri ini sedang mencekik batang penisnya sendiri yang meradang tegang, menunggu giliran.
Lihainya ajo Mansur, tak lama ia berhasil menyebabkan Mila mendapatkan orgasme hanya lewat permainan mulut saja. Perempuan yang kesehariannya tertutup hijab lebar dan longgar itu menggeliat-geliat bergetar merasakan orgasme nikmat pertamanya. Ajo Mansur menjilat panjang beberapa kali lalu menuntaskannya dengan mencoba menusuk liang kawin istrinya itu dengan penis lunglainya. Sedihnya, kemaluan tak berdaya itu hanya tertekuk membengkok melenceng dari jalurnya, tak mampu menusuk masuk dan merayakan kepemilikannya atas perempuan cantik berstatus istrinya. Dicobanya beberapa kali dan Mila menunggu dengan sabar. Untungnya perempuan semacam ini, minim pengalaman sehingga mereka cenderung pasif dan hanya menunggu. Baik karena tuntutan budaya dan moral juga.
Gesek-gesek kemaluan keduanya dibarengi dengan ciuman-ciuman panas dari ajo Mansur juga. Entah kenapa aku mendapat kesan kalo ajo Mansur seperti gak rela menyerahkan Mila padaku karena aku menangkap naga-naganya ia mengulur waktu. Masih berharap banyak penisnya akan greng tiba-tiba dan ia bisa menembus istrinya ini. Bukan begitu caranya, jo. Ingin kujelaskan padamu, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjelaskannya tanpa ada pertanyaan lain lagi menyusul jawaban itu. Terutamanya, kok bisa? Kok bisa aku begini. Kok bisa aku disantet. Kok bisa kau punya kemampuan begini. Banyak pertanyaan kok bisa-kok bisa lainnya.
Kutunggu dengan sangat sabar, jo. Tag-team-lah kalo kau sudah puas berusaha. Akan ku-Smack Down istri cantikmu ini sebaik mungkin. Aku sabar-sabarkan hati dan Aseng junior. Sabar, Seng… Semua kan indah pada waktunya. WKWKWK! Indah kali nanti saat kutembus perawan istri ajo Mansur ini. Indah… Ini kali pertama aku diberikan kesempatan ajo Mansur untuk menyaksikan proses foreplay-nya dengan istrinya. Di dua kesempatan sebelumnya, aku hanya melihatnya sisa-sisanya aja. Gak masalah sih sebenarnya. Biarkan suaminya yang memanaskan ranjang ini dulu dan aku yang akan menyantap hidangan utamanya.
Cumbuan keduanya akhirnya berakhir dan ajo Mansur turun dari ranjang dengan muka merah kesal. Ia membetot penisnya yang tak kunjung menegang sempurna kuat-kuat. Kalo dicekik erat sedemikian memang darah disekujur vena penis akan terperangkap dan terjebak sehingga seolah penis itu menegang keras, tetapi itu palsu dan tak bisa juga dipakai. Karena itu ajo Mansur kesal dan memberiku kode untuk mengambil alih. Tag-team!
Tak lama aku sudah berada di antara kaki Mila yang terbentang lebar. Aku memegang satu lututnya dan tangan satu lagi mengarahkan Aseng junior yang telah bersiap tempur dan berperang. “Ini baru keras, bii…” lirih suara Mila terdengar jelas di telingaku karena kedekatan kami. Kaget aku dan ajo Mansur mendengar celetukan Mila barusan. Aku takut kalo tiba-tiba Mila membuka penutup matanya dan mengintip. Bisa kacau semuanya.
“Tentu ini sudah keras, deek… Tahan, yaaa… Agak sakit dikit-loh…” kata ajo Mansur meyakinkan sang istri kalo yang sedang berusaha mencoblos kemaluannya adalah orang yang sama, suami sahnya. “Tahan ya, deek…” Tentu saja, normalnya perempuan itu akan berpikir begitu karena pastinya dia tak akan menyangka skenario begini absurd akan terjadi di hidupnya. Tubuh tegang Mila sedikit mengendur yang tentunya menyebabkan Aseng junior tergelincir dengan mudah masuk ke sasaran tembaknya. Kepala kemaluanku menelusup masuk dan terbenam terjepit sempurna berkat bentuk dan gagah keras kakunya. Hal yang tidak bisa dicapai ajo Mansur saat ini.
Saat kulirik ajo Mansur untuk persetujuan akhirnya sebelum ku-cuss, ia sedang menatap keras kakunya Aseng junior yang bersiap menusuk kehormatan istrinya yang di ujung tanduk terjebol kejantananku. Pandangan sedih tak berdaya itu lagi. Kadang ada ketakutan tersendiri di hati kecilku, kalo tiba-tiba ia menghajarku dari belakang tiba-tiba saat aku lagi enak-enaknya menyetubuhi istrinya. Gak ada jaminan, kan? Serem, euy.
“Abi masuk ya, deek…” ujar ajo Mansur sekaligus konfirmasi bagiku. Kudorong pelan-pelan agar Aseng junior semakin mendesak masuk. Liang kawin Mila nyatanya memang sangat sempit khas status perawannya. Sempit menggigit ketat menjepit kepala Aseng junior yang kelelep di dalam sana. Kalo kupaksakan sebenarnya bisa saja. Tapi hasilnya akan sangat menyakitkan. Pelan-pelan juga sakit. Tidak ada cara yang paling mudah untuk menembus perawan sebenarnya. Tapi para perempuan ini mahluk yang kuat dan tahan akan segala rasa sakit. Semangat, sis…
Mila menggigit bibir bawahnya pertanda ada rasa sakit dan pegal yang menyerang vagina dan panggulnya. Sebaik apapun ajo Mansur melakukan foreplay untuk merilekskan bukaan kemaluan istrinya, perawan tetaplah perawan yang sempit. “Sakit, biii… Pelan… Uhh… Pelaan, bii… Mmm… Pelan-pelan, biii… Mila sakit, bii…” banyak dan panjang kata-kata yang keluar dari bibirnya yang menekuk kesakitan. “Punya abi masuknya pelan-pelan aja, bii… Auuhh… Sakit, biii… Pelaan, bii…” dah kek burung betet nyerocos Mila dari yang biasanya kalem dan irit kata-kata. Prosesi belah duren ternyata bisa membuka segel mulutnya juga jadi cerewet begini. Apa aku merasa beruntung mengetahui fakta baru ini?
Aseng junior berhadapan dengan sebuah lapisan tipis penghalang akhir yang merupakan hymen paling berharga Mila. Kepala Aseng junior sudah masuk seluruhnya. Sebuah mahkota rapuh berupa sebuah tabir tipis yang rentan tusukan benda tumpul. Aku merasa lebih beruntung bisa menembus ini. Dorongan-dorongan kecil dengan tarikan kecil kulakukan untuk memperlancar membuka jalan menembusmu, Mila. Tangannya mengepal erat, payudara mancungnya bergoyang indah seirama sodokan pendek-pendekku. Ia terus meracau cerewet bak betet.
“Sakit, bii… Pelan-pelan, bii… Yang lembut, bii… Lembut aja bii pada istrimu, bii… Uhmm… Masih sakit, biii… Pegel, bii… Auhh, biii… Ahhsstt…” ia terus meracau. “Akh!”
Sodokan keras kulakukan akhirnya dan membungkam mulut pedas cerewetnya. Kedut-kedut liar kemudian membanjiri panca indraku. Ini kedutan yang berasal dari liang kawin Mila yang kusodok kencang hingga menembus pertahanan terakhirnya itu. Hangat Aseng junior dan basah terasa yang mungkin berasal dari darah perawan yang mungkin mengalir mencari jalan keluar melalui celah sempit pertemuan kelamin kami.
Mulut Mila menganga lebar. Mungkin agak syok akan rasa sakit dan pedih yang tiba-tiba menyergap vaginanya, rasa pegal yang mengganggu seputar pinggulnya. Beberapa saat aku terdiam tetapi mengirimkan kedutan balasan dari batang Aseng junior-ku sendiri. Memberitahunya kalo rasa sakit itu tidak seberapa dibanding dengan rasa nikmat yang akan datang menyusul. Sahut menyahut kedutan yang kami lakukan entah Mila sadar melakukan ini. Seolah saling berbalas pesan memakai kode Morse. Bercengkrama dalam diam.
“Sakit ya, dek?” tanya ajo Mansur. Mila tak menjawab hanya diam dan bungkam.
Pelan-pelan kugoyang-goyangkan tubuh Mila yang terhubung denganku lewat persatuan kelamin kami. Weit e minit… Ada sesuatu yang salah disini. Apa, ya? Kok ada yang kurang? PANTEK! (PANTAT!)
Tak ada serangan teluh ato santet pada Mila sama sekali. Aku tidak tiba-tiba masuk ke dalam lingkungan asing dimana lawan akan menyambutku. Tidak ada serangan sama sekali! Jadi aku menyetubuhi Mila tanpa ada gangguan sama sekali. Ini artinya gangguan terakhir justru ada pada ajo Mansur sendiri. Seperti yang sudah kudeteksi di jari tangan kirinya waktu itu. Abis ini, tetap tidak akan ada perkembangan tambahan pada kondisi ajo Mansur. Penisnya akan tetap lunglai seberapa inginpun ia organ reproduksinya itu berfungsi normal untuk mengawini istri-istrinya.
Aku tatap-tatapan dengan ajo Mansur untuk beberapa detik. Kikuk sebenarnya. Ada semburat aura sedih di sana. Aku tak bisa memungkiri itu. Pandangannya lalu jatuh kembali pada pertemuan kelaminku dan kelamin Mila yang berjembut lebat di bagian atasnya saja. Terbelah dan memerah akibat ditusuk paksa sang durjana—Aseng junior. Tetesan darah berhasil keluar membuktikan dirinya, tanda keperawanan. Membekas di sprei putih menjadi tropi kelak. Aku terus menggoyang pelan-pelan dan akhirnya ada sedikit potensi kocokan yang terjadi. Aseng junior bisa kutarik sedikit dan kudorong lagi. Tadinya tidak bergerak sama sekali, terkatup erat. Sekarang mulai bisa digerakkan.
“Uhh…” Nah ini dia Mila kukenal. Minim suara. Tapi tetap menikmati. Gerakan memompaku kian lancar. Tarikan dan dorongan konstan terus berlanjut dan mulai panjang-panjang. Sesekali Mila kembali melenguh seperlunya. Tak ada lagi suara cerewet nyerocos seperti sebelum diperawani tadi. Ada cairan licin yang tersekresi dari tubuhnya untuk melancarkan persetubuhnan kami. Aku lagi-lagi menikmati guncangan payudara mancung Mila dengan puting mungilnya yang aduhai imut. Ingin rasanya aku menyusu di sana. Apa daya… mulutku tak kesampaian.
“Shlok shlok shlok…” liang kawin Mila semakin becek dengan cairan lubrikasi hingga sodokanku makin mantap saja. Aku bisa membenamkan Aseng junior lebih dalam yang disambutnya dengan erangan-erangan yang kuanggap apresiasi. Apresiasi karena telah menyentuhnya di tempat yang terdalam. Tubuhnya yang lebih banyak bergerak, berekspresi dengan geliat-geliat erotis menikmati tiap tusukan-tusukan penis yang menembus, membelah kemaluannya.
“Enak, dek?” tanya ajo Mansur dengan jakun turun naik menelan ludah berkali-kali melihat istrinya mulai menikmati persetubuhan perdananya. Yang sayangnya tidak dilakukannya dengan suaminya, malah dengan peran pengganti. Ia terus tak kunjung menyerah merancap penisnya. Aku jadi ragu tak menyerah ato gak ada kerjaan lain yang bisa dilakukannya selain menyentuh dirinya sendiri. Dipikir-pikir, lebih masuk akal opsi terakhir itu. Matanya tak lepas dari sodokan-sodokan stabilku pada kemaluan istrinya. Becek yang terjadi membuktikan kalo perempuan itu sudah sedemikian terangsang. Mungkin-mungkin akan mencapai puncak kenikmatannya juga sebentar lagi.
“He-emm… Uhh…” irit sekali seperti yang kukenal. “Enak, biii…” ini agak sedikit lebih panjang.
“Jangan ditahan-tahan, dek… Nikmati aja… Lepaskan…” cetus ajo Mansur memberi semangat pada istrinya. Aku semakin gencar menyodok Mila. Pertengahan pahanya yang kucengkram menjadi peganganku selama menggasak bini orang ini. Aseng junior menusuk dalam sehingga perutku yang identik dengan perut ajo Mansur bertumbukan terus dengan selangkangan dan pangkal paha Mila yang putih mulus. “Plok-plok-plok!” berulang-ulang suara tepukannya.
Mila menggeleng kanan kiri atas bawah dengan berbagai bentuk mulut. Dari menggigit bibir bawah, menganga, menarik bibirnya ke bawah, dan juga berbagai bentuk huruf Vokal tanpa suara diperagakannya. Keknya bisa nih… dikasih shortcut tombol darurat juga.
“Ah! Ah! Biii… Geli, bii…” erang Mila begitu dua kali kujawil kacang itilnya yang menonjol dari belahan vaginanya. Tubuhnya tersentak-sentak serupa kesetrum listrik. “Ah! Ah! Jangan, bi-Ah!” malah makin iseng kukutik-kutik kacang itil menggemaskan itu. Alhasil guncangan melonjak-lonjak itu semakin menggoyang indah payudara mancungnya. Aku bahkan berhenti menggenjot demi mengutik klitorisnya demi sebuah sensasi lonjakan yang juga menjepit Aseng junior secara kejutan juga.
Tapi ia tidak kunjung orgasme juga. Hanya melonjak-lonjak imut dengan suara lirihnya yang mengagumkan. Lanjut kugenjotkan Aseng junior dan menciumi satu betisnya yang padat, bersih mulus. Jari-jari kakinya bergerak-gerak geli juga. Aku akan mengeksplor tubuhmu, Mila. Ajo Mansur, teruskan pekerjaanku ini nanti. Kau harus selalu memuaskannya bila kau sembuh nanti. Ini favoritku. Entah kenapa aku memfavoritkanmu, Mila…
“Auuhh…” tubuh Mila kelojotan liar tapi masih dalam batas wajar. Liang kawinnya mengatup erat bersama otot-otot tubuhnya yang mengejang. Aseng junior diremas-remas di dalam sana. Enak sekali. Perut rata itu menonjolkan otot tegang pertanda Mila mendapatkan orgasmenya. Yeay! Apa pasal? Aku hanya menjilati jari-jari kakinya. Oo… Itu dia masalahnya. Eh, bukan masalah, ding. Malah informasi baru. Aku menunjuk jari kaki mungil Mila pada ajo Mansur, berusaha memberitahunya kalo titik sensitif istri keduanya ini ada di jari kakinya. Dijilati bisa membuatnya orgasme sangking gelinya, mungkin.
Kucabut Aseng junior begitu Mila selesai dengan nikmat orgasmenya. Sejumlah kecil cairan bening kental bercampur sedikit darah mengalir keluar. Liang kawinnya sedikit menganga bekas ditusuk benda tumpulku. Mudah Aseng junior masuk kembali setelah kuseka cairan tak perlu yang menempel di sekujur batangnya. “Uuhh… Mm… Bii… Enak tadi, bii…” katanya mengungkapkan rasa sukanya akan pencapaiannya tadi.
“Jari-jari kaki adek ini sangat cantik dan mungil, ya?” puji ajo Mansur secara gak langsung memintaku untuk lebih fokus pada titik rangsang itu. Kuemut jempol kaki kanannya dengan gemas sembari menggerakkan Aseng junior keluar masuk lagi. Mila menggeliat kegelian hingga tubuhnya melengkung gak karuan ke beberapa arah. Ia berbaring miring ke kiri merasakan nikmat sekaligus geli dari kemaluan dan jari jempol kakinya yang kuemut. Jempolnya sampe basah kuyup oleh ludahku. Lidahku berputar-putar di permukaan jempolnya yang berkulit bersih dan halus.
Alhasil kini Mila berbaring miring kala kugenjot. Kaki kanannya kupeluk dan terus kupermainkan jempol kakinya. Aseng junior memompa stabil pelan-pelan padahal rasanya sudah ampun-ampunan enaknya di posisi miring begini. Tanganku merayap merabai tubuhnya dan tiba di salah satu payudara mancungnya. Lembut dan kenyal walau tak terlalu besar. Tapi aku sudah kesampaian untuk menyentuh, meremas bentuk menggemaskan ukhti satu ini. Tertatih-tatih aku jadinya antara menggenjotkan Aseng junior, meremas payudara mancung dan mengemut jempol kakinya. Rasa nikmat yang berasal dari Aseng junior terlalu dominan. Sudah waktunya ternyata aku harus menuntaskan ronde ini. Moga-moga dikasih lagi untuk ronde berikutnya untuk menggasak Mila favorit unikku ini. Mengetahui gerakanku yang mulai cepat tapi tak teratur cenderung gelisah, ajo Mansur paham. “Deek… udah mau keluarrr…” cetusnya. Hujaman-hujaman cepat Aseng junior semakin dalam. Rasa enak yang bergelora, memantik bunga api kenikmatan dan meledak sekaligus.
“Ahk!” kusodokkan hingga menempel erat di selangkangan Mila. “Croott Croot Crooott…” rasa enak saat ejakulasi terjadi, menguasai tubuhku untuk beberapa saat. Bergetar seluruh dawai sel-sel tubuhku ikut merasakan nikmatnya. Menganga lebar mulutku untuk tarikan nafas yang banyak untuk mengisi kembali kekosongan setelah disemprotkan sebanyak mungkin ke dalam rahim subur Mila yang sedang menggeliat-geliat gelisah merasakan cairan kental hangat memasuki tubuhnya. Cairan kental berisi jutaan bibit suburku. Teman-temannya sudah berhasil menghamili para binor juga seperti dirimu, Mila. Kuharap di lahanmu ini juga sukses membuatmu hamil.
Setelah yakin tak ada lagi yang bakal keluar lagi, kucabut Aseng junior dari bukaan menganga vagina empuk itu. Aku tak mau tau lagi walopun ajo Mansur kembali berusaha memasukkan penisnya ke dalam kemaluan istrinya. Belum bisa jo. Belum bisa. Nanti akan kuusahakan.
Aku ngumpet di bawah ranjang rotan ini untuk menenangkan diri. Lantai kayu ini jauh lebih hangat di waktu malam sewaktu kubelai-belai Aseng junior yang mengangguk-angguk belum puas. Aku membersihkan cairan lengket kental yang masih menempel ke sprei yang menjuntai jatuh di tepian ranjang. Suara cumbuan dan percakapan pasangan suami istri di atasku tak dapat kuhindari, menguping jadinya.
“Abi pandai…” puji Mila pada suaminya. Ya Mila. Pandai suamimu mencari pemeran pengganti tugasnya itu. Tugas mulia memerawani dirimu. Kalo-lah kau tau kalo ada pria lain sedang ngocok penisnya di bawah ranjang ini. Syok pastinya kau.
“Harus, deek… Lagipula… abi sudah terlalu lama berobatnya… Gimana? Tempat ini jadi berkesan, kan? Walau liburan beramai-ramai begini… kita gak perlu ngeliat bule-bule itu, kan?”
“He-em… Tapi tadi sakit juga, bi… Mila tahan aja sekuat tenaga… Ternyata akhirnya enak, bi…”
“Liat darahnya… Ini darah perawan dek Mila… Abi yang menembusnya…”
“Untuk abi semua itu… Abi pandai…”
Berikutnya aku menebak kalo mereka bercumbu kembali. Setidaknya berciuman, ajo Mansur kembali menikmati payudara mancung itu, ngobel-ngobel kacang itil Mila sampai perempuan itu mengerang-ngerang keenakan, terdengar jelas suaranya. Aseng junior menegang keras mendengar percumbuan yang tak jauh ada di atasku. Suara pegas springbed ini mengindikasikan gerakan-gerakan liar yang mereka lakukan walopun tak akan bisa terjadi penetrasi sama sekali. Maksimal colok-colok pake jari atau oles-oles penis yang tak sanggup menusuk.
Kedua kaki ajo Mansur mencecah lantai kayu dan aku berinisiatif untuk mengintip karena ia berdiri cukup lama di sana. Aku keluar dari sisi sebaliknya. Woah… Amazing. Ukhti yang terlihat kalem dan santun itu sedang diajari ajo Mansur untuk menyepong penis suaminya. Kaku tentunya masih caranya. Tapi servis seorang istri pada suami haruslah total. Selama tidak melakukan hal yang keterlaluan, ukhti Mila pasti tau aturannya. Mila duduk di pinggiran ranjang dengan tubuh polos bugilnya sedang mengulum penis ajo Mansur yang di sudut pandang ini sudah cukup besar. Karena hanya bagian kepalanya saja yang dikulum dan ditarik seolah penis itu lurus dan tegang. Padahal saat lepas, lunglai jatuh kembali.
Melihat pemandangan erotis itu, Aseng junior tentu saja meradang minta jatah juga. Apa mau ajo Mansur membiarkan Mila mengemut penisku juga? Ah… Pasti rasanya sangat dahsyat diemut-emut binor yang masih pake plang ‘belajar’ di kapnya. (kao kira belajar nyetir?) Ajo Mansur tak ayal merem melek mendapat servis dari istrinya yang sudah tak perawan lagi itu. Aku membayangkan kalo ketiga istri ajo Mansur melakukan ini berbarengan. WOW. Pasti super duper amazing. Jadi pengen punya istri banyak-ih. E-hek. *Aseng mati dicekik istrinya!
Mila sudah memakai kembali penutup matanya dan ia terlihat cukup menikmati pelajaran barunya sebagai seorang perempuan yang menyandang predikat baru istri seorang lelaki. Ia takzim mengikuti tiap arahan yang diberikan ajo Mansur. Disuruh mengangguk-angguk untuk mengocok penis suaminya di dalam mulut. Disuruh jilatin sekujur batang penisnya. Disuruh ngemut bergantian bola-bola peler itu. Disuruh menyedot bagian kepala penis yang ekstra sensitif. Aku menonton sambil duduk di atas lantai kayu, bertelekan ranjang di seberang TKP, sambil mengelus-elus Aseng junior. Menyabarkan Aseng junior agar jangan berkecil hati. Sabar ya, Seng…
Ajo Mansur mencoba cara drastis ini. Ia menggenjot mulut longgar istrinya. Setidaknya ia bisa menyetubuhi istrinya dengan cara ini karena ia tak mampu menembus sempitnya kemaluan apalagi saat perawannya. Ia terlihat sangat menikmati prosesi ini. Mila berusaha sebaik-baiknya membiarkan suaminya memperlakukannya sedemikian rupa ini. Mulutnya menjadi vagina sementara ini. Ajo Mansur mengacak-acak rambut panjang Mila dengan gemas walo tak bisa maksimal karena ia tidak kunjung bisa ejakulasi. Ketahanan ajo Mansur dalam coitus sebelas-dua belas denganku. Yang ada, mulut Mila jadi pegal dan rahangnya kaku harus mengulum benda gilig pejal itu.
“Plung…” penis itu terjatuh lunglai tak bisa bisa tegak seperti sosis yang selongsongnya tidak diisi padat dengan daging giling. Berlumuran ludah Mila sehingga berkilat-kilat terkena cahaya lampu. Mila menyeka mulutnya yang basah selagi ajo Mansur menyusu pada payudara mancungnya. “Tiduran lagi ya, deek…” kata ajo Mansur memberi instruksi ini. Patuh, Mila membaringkan tubuhnya lagi di ranjang kamar resort ini, mencari posisi senyaman mungkin dan otomatis membuka pahanya selebar mungkin. Vagina becek spermaku itu berkilat banjir. Mila taunya ia akan kembali digagahi suami tercintanya. Suami yang telah dengan gagah menjebol perawan berharganya.
Pria malang itu memanggilku mendekat dengan lambaian tangan untuk kembali tag-team. Matanya sayu melirik Aseng junior yang mengacung kaku, mengangguk-angguk keras selama aku melangkah pelan-pelan agar tidak ketahuan Mila. Ada kekesalan yang kembali kutangkap di sana. Kenapa nasibku begini, kira-kira begitu. Sabar, jo… Nanti kau akan baik-baik saja, kok.
Aku mendekati Mila dengan kaki terbuka lebarnya. Secara insting ia sudah tau harus bagaimana menyambut seorang lelaki di ranjang. Ia belajar dengan sangat cepat. Ia pastinya seorang santriwati yang cerdas. “Abi masuk ya, deek…” kata ajo Mansur begitu dilihatnya aku sudah bersiap mencoblos istrinya. Aseng junior sudah terselip sempurna bagian kepalanya yang sedang kugesek-gesekkan ke mulut liang kawin becek itu. Mila menahan nafas merasakan olesan benda tegang kaku di mulut vaginanya.
“Uhhmm… Sshhtt… Ahh…” keluhnya begitu Aseng junior menelusup masuk dengan lancar. Ia sudah sangat bersiap menyambut batangan yang membelah tubuhnya. Sambutannya sangatlah hangat dan bergelora. Tubuhnya meliuk-liuk merasakan batang keras Aseng junior terjerumus masuk di kedalaman perangkapnya. Jepitan sempit Mila menyedotku dengan hisapan magis kemaluannya. Yahud sekali favoritku ini. Dari ketiga istri ajo Mansur, Mila yang menjadi favoritku saat ini. Walo dikasih yang mana aja tentu gak nolak.
Sodokan menghentak kulakukan 2-3 kali untuk membuka jalan untuk sodokan pendek-pendek berikutnya. Menikmati erat jepitan liang kawin istri kedua orang ini. Hentakanku menyebabkan payudara mancungnya bergetar berulang tiap benturan terjadi. Pucuk-pucuknya yang mungil bergoyang indah. “Uh uh uh uh…” erangnya imut sekali seirama sodokan pendek-pendekku yang merangsek. Tangannya menggapai-gapai ke arahku, menangkap tanganku, memeganginya hingga bahunya agak tertarik. Alhasil sodokan yang kulakukan jadi lebih dalam. Wah… Mila pandai berimprovisasi. Dari mana ia tau trik ini? Biasanya malah pihak pria yang menarik tangan sang perempuan untuk hentakan sodokan lebih mantap. Ini malah kebalik.
Guncangan payudara mancungnya semakin yahud aja. Bergetar-getar dengan indahnya. Erangannya makin liar dan ekspresif. Pertemuan kelamin kami semakin syahdu. Suara oplok-oplok silih berganti karena tumbukan perutku dan selangkangannya. Kaki Mila mengamit manja, melingkar dan mengait di belakang pinggangku. Seolah tak mau aku lepas dari perangkapnya. Tak rela aku melepas dan usai darinya. Ia mau terus dan terus merasakan nikmat baru yang perdana dikenalnya ini. Seorang ukhti tentu tidak haram menikmati hubungan seks dengan pasangan sah yang sudah meng-akad dirinya. Tak mengapa menjadi pelacur untuk suami sendiri. Sudah halal tentunya.
“Enak kan, deek?” tanya ajo Mansur berusaha berkomunikasi dengan istrinya yang mendesah-desah keenakan menikmati sodokan-sodokan kuat hasil sentakan tubuhnya yang ditarik. Pria malang itu terus merancap lunglai letoy penisnya dengan cepat. Ia memegangi bagian pangkal penisnya segenggam penuh. Ia menatap nanar sekaligus antusias pada tertancapnya Aseng junior-ku di dalam vagina istri cantiknya.
“Ngh… Hh… Uh… Uhh…” erangnya menjawab pertanyaan suaminya setengah hati karena ia sepenuh hati menikmati tiap sodokanku. Sodokanku kuat terus mendesak tubuhnya tiap hentakan akibat tarikan tangannya pada tanganku. Kami terkoneksi dengan baik. Sodokan yang kulakukan pendek-pendek dalam untuk merasakan jepitan erat vagina yang super legit menggigit. Hentakan yang kulakukan menggoyang seluruh tubuhnya terutama payudara mancung menawannya. Mulut Mila menganga mendesah juga meracau menikmati. Getaran menghentakku juga menggoyang rambut karena kepalanya sedikit terangkat beserta sekujur otot dibalik kulitnya. “Bii… bii… Ahh-biihh… Enaak, bii… Ah… ahh… ahk…”
Ingin rasanya kukulum mulutnya yang berbibir tipis yang terlihat amat manis ataupun juga mengenyot payudara mancungnya yang terlalu menggoda. Aku hanya bisa memandangi dua titik itu bergantian, hanya berharap. “Aahh…” Mila melepas tangannya yang memegangi kedua tanganku. Kepalanya kembali berbaring di bantal di atas ranjang. Aku berhenti menyodok vaginanya, memberinya waktu mengambil nafas walopun bukan karena ia baru saja mengalami orgasme. Kaki Mila menggesek-gesek pantat dan pahaku. Kelamin kami berdua masih bersatu, kami merasa sangat intim saat ini.
“Hng?” kaget aku saat ajo Mansur mendorong punggungku. Maksudnya apa? Agar aku merapatkan tubuhku ke Mila? Tapi nanti bisa-bisa curiga? Bahaya-ah… Sekali lagi ajo Mansur mendorong dengan tambahan ekspresi muka dan gestur aku aku merapat. Aku menunjuk payudara mancung Mila. Sekalian minta izin boleh menjamahnya lebih jauh. Tanpa suara ajo Mansur memberi kode ‘iya’ padaku.
Kurapatkan tubuhku, condong ke depan yang juga berarti lututku menjauh tubuh Mila. Pangkal pahaku rapat menekan selangkangan perempuan berhijab syar’i ini dan payudara mancungnya yang kutuju dengan sedikit tergesa-gesa. Aku sudah mendapat izin langsung dari pemiliknya dan aku gak mikir panjang-panjang lagi. Mulutku langsung mendarat di pucuk mancung payudara indah itu. Lidahku langsung bermain-main dengan puting mungilnya begitu mulutku berhasil menelan pucuk payudara mancung kirinya.
“Auhh… uuhh… Mmm… sshh… yyahh… biii…” Mila meracau dan meremas pangkal lenganku. Untungnya postur dan perawakanku dan ajo Mansur setara. Mungkin setelah beberapa lama nantinya ia akan hapal dengan tubuh suaminya sendiri. Permainan lidah dan mulutku seiring pergerakan memompa Aseng junior yang terus menancap stabil di liang kawinnya. Lututku yang menopang tubuhku dibantu tanganku menjadi poros utama pergerakan memompaku. Tusukan-tusukan variasi dua kali sodokan pendek dan sekali sodokan dalam kulakukan kali ini. Sentuhan tangan Mila sangat lembut di tanganku walau ia meremas tanpa sadar akibat nikmat yang dirasakannya.
Berpindah ke payudara sebelah kanan, Aseng junior terus menyodok. Mila terus mendesah-desah meracau keenakan. Aseng junior berpesta pora dengan tubuh langsing ber-vagina sempit Mila. Licin liang kawinnya memperlancar kerja keras Aseng junior memberi kenikmatan pada binik orang ini. Binik orang yang diawasi langsung sama suaminya sendiri. Dari gerak-geriknya, ajo Mansur memperhatikan proses keluar masuk Aseng junior-ku ke vagina istrinya dari belakang. Dari bukaan kakiku yang menahan paha Mila agar tetap terbentang. Tusukan-tusukan 2-1 terus kulakukan.
Sebuah orgasme tidak akan rugi kuberikan pada Mila di kesempatan ini, kan? Kembali kurapatkan lututku ke tubuhnya dan satu kakinya yang jari-jarinya telah terbukti bisa membuatnya orgasme kuangkat. Tak jijik kujilat dan kuemut jari-jari kaki mungil dan bersih Mila. Bahkan sangat nikmat sekali rasanya kala lidahku menelusuri lipatan-lipatan jari kakinya. Tak ayal Mila meracau antara kenikmatan dan geli sekaligus. Tubuhnya menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Bentar-bentar lagi ia pasti mencapainya. “Ihh… Yaahh… Uuhh… Uhmm…. Yaahhh…” Akhirnya yang sedang kuusahakan dari tadi, tiba juga. Mila bergetar sekujur tubuhnya lalu suaranya menghilang menyesap semua rasa nikmat yang menjajah tubuhnya. Tubuhnya yang menegang lalu mengendur.
Aseng junior yang sempat kucabut kumasukkan kembali ke sarangnya. Masuk dengan lancar tanpa penghalang karena liang kawinnya sedikit terbuka bekas kumasuki tak lama tadi, juga karena basah beceknya. Kembali tubuhku condong ke arah tubuh Mila dan menggasaknya cepat untuk mencapai kenikmatanku juga. Ini seharusnya ejakulasi keduaku di ronde dua ini. Sehabis ini, seharusnya aku segera cabut dari tempat ini. Aku harus melakukannya sebaik mungkin. Mereguk kenikmatan sepuas-puasnya. Entah mukjizat apa yang bisa kudapatkan di masa depan untuk bisa melakukan ini lagi dengan Mila. Ato dengan Suli dan Ratih.
“Akh!” langsung kubungkam mulutku sendiri begitu semprotan semburan pertama menyeruak keluar dari mulut mungil Aseng junior. Deras memasuki liang kawin dan memenuhi rahim Mila. Mencari sel telur untuk dibuahi jutaan sel spermaku. Hanya butuh satu saja untuk tugas itu. “Croot crooot croot!” kusodok-sodok beberapa kali untuk menuntaskan semua sisa sperma yang mungkin masih bisa diperas. Rasanya sangat nikmat. Rasanya campur baur antara nikmat ejakulasi, juga kepuasaan tersendiri karena bisa menggagahi seorang perempuan di depan mata suaminya sendiri. Ini sungguh petualangan yang sangat gila. Ajo Mansur yang menawarkan ini semua. Aku tak kuasa menolaknya.
Setelah Aseng junior kucabut, buru-buru ajo Mansur menggantikanku dan terus berusaha memasukkan penis lunglainya seperti yang sudah-sudah. Tapi tidak ada perkembangan terbaru karena memang tidak ada. Sabar, jo. Aku akan mencoba menolongmu setelah ini. Pakaianku sudah kupakai kembali dan aku keluar dari kamar ini dengan cara mengendap-endap, seperti cara masuknya.
Duduk sebentar mengaso di depan bangunan tempatku dan keluargaku menginap, kupandangi lautan tenang di hadapanku. Bulan tidak terlalu terang tetapi cukup memberikan sedikit pendar cahaya yang dipantulkan oleh permukaan laut. Bintang-bintang juga banyak bertaburan di langit, hal mahal untuk dilihat di kota besar karena paparan polusi dan cahaya terang metropolitan yang seolah berlomba dengan gemintang keindahannya. Ini keindahan yang sangat melenakan. Seolah mengundangmu untuk mengarungi lautan gelap dengan pendar biru bermandikan cahaya sang Chandra. Bermain-main di airnya yang tenang lagi menyegarkan. Menginjak pasirnya yang halus dan berkejaran dengan ombak.
Seperti sosok yang berjalan tenang dari ujung kejauhan sana lalu berdiri tegak di hadapanku. Aku sudah menunggunya dari tadi untuk segera tiba di sini. Kakinya masih menjejak air laut dan berdiri tanpa takut terjeblos masuk dan tenggelam di kedalaman laut. Mirip dengan tokoh yang kukenal bertahun-tahun lalu. Berpakaian hitam-hitam, sarung merah gelap kotak-kotak, berikat kepala hitam, brewok lebat menghiasi wajahnya yang kasar tapi murah senyum. Senyum yang sebenarnya menakutkan bagi yang tak kenal dirinya. Jari-jarinya tangannya, ujungnya melengkung. Ada cakar-cakar panjang melengkung di ujung jarinya. Ia sudah permanen menumbuhkan cakar-cakar itu di sana.
Layaknya seekor harimau penguasa rimba. Ia menjelajah tak gentar pada apapun sekalipun samudara luas. Diarunginya tanpa kesulitan dan mencapaiku kemari dengan tenang seolah tak memperdulikan apapun. Melangkah kemanapun ia mau dan pergi kemana kakinya melangkah. Semua kolong langit adalah hak ulayatnya. Semua ceruk bumi adalah tempat tidurnya. Taraf yang dicapainya sudah mencapai itu. Sebuah pencapaian pikiran dan olah tubuh yang tidak biasa.
“Selamat malam… Kau sudah menungguku?” sapanya. Sekonyong-konyong terasa berbeda aura tempat ini. Secara kasat mata tidak ada yang berubah. Tetap pantai di pulau Cubadak ini. Di belakangku masih ada bangunan kayu tipe village Resort ini, dimana anak dan istriku berada. Tetapi bulan dan bintang-bintang menghilang. Ombak kecil tak lagi berdebur. Hanya diam berupa genangan air semata. Ia sudah mengundangku masuk ke daerah kekuasaannya.
“Benar, inyiak… Sudilah kiranya memberi hamba petunjuk… Apa yang sudah terjadi sampai keributan ini harus terjadi?” tanyaku sesopan mungkin. Aku bahkan menyatukan tanganku memberi hormat padanya.
“Ah… Tentu saja untuk memancingmu keluar… Sutan Mandalo Nasrul Chaniago… Pemilik terakhir silat harimau Mandalo Rajo yang bersumpah untuk tidak memakainya lagi… Ada tiga orang putus asa yang datang padaku dan murid-muridku… Yang satu karena bertepuk sebelah tangan dalam asmara… Yang satu karena masalah harta warisan… Dan yang satu lagi masalah pitiah (uang)…” jelasnya gamblang. Ia menyilangkan kedua tangannya di belakang punggung dan berjalan mondar-mandir di bibir pantai. “Sutan sudah menemui dua muridku, bukan?”
Dua orang yang sudah mengerjai Suli dan Ratih adalah murid Inyiak ini. Begitu ternyata. Dukun tua dengan Menggala harimau yang mengaku sebagai guruku, Inyiek Mandalo Sati. Juga anak muda dengan keahlian silat harimau tiruan Mandalo Rajo. Keduanya sudah tewas akibat kelancangan mereka sendiri mempermainkan nama sakral itu.
“Ah… Tidak apa-apa… Itu pertarungan yang sah dan mereka sudah tau resikonya…” katanya berusaha meyakinkanku kalo kedatangannya kali ini bukan untuk menuntut balas kedua muridnya itu yang sudah berkalang tanah karenaku. Wajah kasarnya masih tetap tersenyum lepas karena memang begitu ciri khasnya. Kalo ada istilah ular berkepala dua untuk menggambarkan seorang pengkhianat, apa artinya kalo ada istilah harimau berkepala dua? Orang inilah bentuk harafiah perumpamaan itu. Harimau yang menunjukkan wajah bersahabat dan tidak berbahaya, padahal adalah harimau yang paling buas. Ia tega mengumpankan dua muridnya sendiri agar memancingku keluar.
“Jadi apa maksud undangan Inyiak kali ini?” tanyaku.
“Tentu saja untuk merebut hakku…” senyumnya masih lebar.
“Baiklah… Inyiak Mandalo Lelo… Aku terima…”
Bersambung