Part #36 : Indehoi dengan istri tercinta
Sejak serangan tengah malam abis indehoi dengan istri tercinta, aku memperkuat pagar ghaib untuk melindungi rumahku. Kalian boleh menyerangku saat aku ada di luar rumah sesuka hati kalian. Tapi kalo di rumah, kalo bukan aku yang mati kau yang mati. Itu prinsipku. Ini adalah daerah sakralku. Gak ada yang boleh main-main dengan rumahku. Aku gak perduli dengan nyawaku apalagi dengan nyawa kalian kalo taruhannya adalah keluargaku.
Semua metode pagar pelindung ghaib yang kutau kuterapkan berlapis-lapis. Aku bahkan menanam sepasang kuku harimau di depan dan belakang rumahku. Efeknya nanti bagi penyerangku akan selalu menghadapi aura raja rimba itu tiap mereka berani-berani mengusikku. Menanam kuku harimau bukan tidak memiliki efek negatif bagi pemilik rumah yang tidak berjodoh dengan metode ini. Tetapi aku sebagai kepala keluarga yang mempunyai titel Sutan Mandalo Nasrul Chaniago, semua itu agaknya bisa dinetralisir karena hakekatnya aku sendiri merupakan perwakilan harimau dari hutan Larangan.
Hening. Tidak ada serangan ato gangguan lagi sejak itu. Kalo ngikutin panas silat aliran Mandalo Rajo, aku mengharap akan ada serangan yang memungkinkanku untuk segera menuntaskan siapapun dia. Mengikuti prinsipku yang akan membantai siapapun yang mengusik keluargaku. Rasanya akan sangat menyenangkan merasakan darah mereka mengalir di tanganku. Siapapun dia. Tetapi kalo ngikutin akal sehat, pastinya penyerangku itu sedang mengulur waktu, menungguku lengah. Menunggu saat yang tepat. Dunia Menggala memang seperti ini. Penuh intrik dan bahaya. Kalo gak kuat mental, jangan sekali-kali mau ikut terlibat. Tidak ada bendera putih ato lempar handuk di dunia ini.
“Bang Aseng… Ini Vony… Saya mau membahas tentang perubahan anggaran rumah tangga (AD/ART) PT bang Aseng itu… Kita bisa ketemu dimana?” telpon si cantik Vony sang notaris rekanan pak Alex.
“Duh… Von… Awak lagi sibuk di pabrik nih… Cemana, ya? Awak-pun bingung…” jawabku karena aku beneran lagi sibuk dengan kerjaanku sebagai wakil Factory Manager, kak Sandra yang belakangan mulai sering kurang enak badan akibat kehamilannya. Beberapa hari ini ia sering pulang lebih dahulu dan membebankan pekerjaannya padaku. Gak enak juga aku harus permisi lagi untuk urusan pribadiku.
“Gini aja… Vony aja yang datang ke pabrik, gimana? Nanti kita bahas sebentar pas istirahat makan siang aja… Gak usah keluar kantor juga gak pa-pa, bang…” desaknya. Memang selama ini kami hanya berhubungan lewat telepon saja ato chatting. Mungkin ada hal yang sangat mendesak yang harus disampaikannya padaku mengenai progress pengurusan PT itu.
“Mm… Ya udah, deh… Gitu juga boleh…” jawabku menyerah dan membiarkan Vony datang ke pabrik. Ini demi kelancaran tugasnya juga. Kasihan kalo harus mempersulit kerjaan orang yang handle urusanku juga. Padahal aku juga kurang begitu peduli ada ato tidaknya perkembangan itu. Aku kembali tenggelam dalam sibuk dan ribetnya pekerjaanku ini yang memakan banyak energi. Kepalaku sering panas harus memikirkan banyak hal sekaligus agar tidak ada hal yang bentrok ataupun kalo harus bentrok diambil jalan seminimal mungkin benturannya. Apalagi urusan ummat yang jumlahnya ratusan orang di dalam pabrik. Ada tekanan dari Serikat Pekerja-nya lagi. Apalagi mengenai peraturan dari Pemerintah. Ampun DJ. Kepalaku makin panas. Botak deh palaku.
Menjelang makan siang, hal yang kutakutkan kembali terjadi, kak Sandra pulang lebih cepat. Tiwi, asistennya mengabarkan padaku kalo kak Sandra pusing-pusing dan muntah. Ia pulang dan istirahat diantar supirnya ke rumahnya di komplek XXX jalan Cemara. Kimbek-lah… Jadi banyak kali kerjaanku. Tiwi menyerahkan beberapa laporan yang belum sempat disentuh kak Sandra karena keburu sakit. Aku rasanya pengen meleleh aja lalu menguap karena beban yang terlalu berat. Ingin menyerah tapi menyerah sama siapa. Tidak ada penjajah…
“Ya, halo?”
“Ini front office, bang Aseng… Ada tamu untuk abang… Namanya Vony… Katanya udah janji mau ketemu jam makan siang nanti…” bagian resepsionis memberitau kalo tamuku siang ini udah datang. Waduh. Udah mau jam 12 siang, ya? Mau gimana lagi?
“Tolong antar ke atas aja, ya? Ke ruangan bu Sandra…” kataku bermaksud mengisolasi masalah.
“Baik, bang…” klik. Semua pekerjaanku kubawa masuk ke dalam ruangan kak Sandra sekalian karena beberapa file ada di ruangannya. Biar sekalian beres semuanya di satu atap tanpa aku harus bolak-balik kesana kemari. Repot juga bawa-bawa laptop bareng beberapa tumpukan folder map ke ruangan kak Sandra. Ruangan yang mungkin akan menjadi ruanganku sendiri nantinya kalo rencana kak Sandra berhasil.
Gak lama ada ketukan di pintu yang gak ditutup rapat itu. Vony muncul dan ia diantarkan oleh Tiwi. Ah… Si cantik sudah datang. “Bu Vony… Silahkan duduk, bu… Wi… Ambilin minum buat bu Vony, ya… Kamu nanti kerjanya di meja abang dulu aja di luar…” kataku menyetel kondisi. Jangan sampai Tiwi tau apa urusan tamuku ini datang kemari. Memang Tiwi mulutnya gak ember, tapi jaga-jaga aja. Cukup kak Sandra aja yang tau urusanku ini. Tiwi yang berada di belakang Vony agak manyun mendengar perintahku dengan dahi berlipat-lipat kek cucian kusut. Di kantor ini cuma kak Sandra yang berhak mengatur-ngatur dirinya karena job desc-nya sebagai asisten Factory Manager. Tugasnya hanya melakukan perintah kak Sandra, seperti nge-print ini, copy itu, ambil laporan dari si fulan, antar surat ke bagian ono, buatin minum, pesanin makanan itu, pijetin kepala kak Sandra. Enak kali tugasnya. Seharusnya kalo kak Sandra pulang cepat begini, dirinya merdeka. Ini malah kuusir dari surga kosongnya. Padahal ia pasti udah ngayal mau chatting-an sama pacarnya di ruangan ini.
Setelah salaman dengannya, Vony duduk di depanku dan menyiapkan beberapa berkasnya. Ia melirik pada sekeliling ruangan ini. Pastinya ia merasa aneh karena aura tempat ini sangatlah feminim. Pasti dia gak terlalu menyimak apa yang kuucapkan pada Tiwi sebelumnya. Biarlah dia menilainya dulu agar aku tau seberapa cerdas pengamatan dirinya. Jam makan siang 5 menit lagi dan aku mendiamkannya dan berkutat pada pekerjaanku karena kami janjiannya kan di jam makan siang. Pukul 12.00 tepat. Ia juga tidak berkata apa-apa selain menunggu dan menatap jam tangannya.
Dari lapangan, bagian mesin terdengar suara raungan sirene yang menandakan kalo waktu sudah menunjukkan jam 12 siang; jam istirahat makan siang. Ah… Gak kerasa. Waktu terasa sangat singkat. Aku menutup laptop dan menghadapi Vony.
“Keknya ada yang aneh dengan ruangan kerja bang Aseng ini, ya?” tanya Vony abis menelisik situasi ruangan kerja ini.
“Ya aneh-la, Von… Ini bukan ruangan awak, kok… Masa boneka-boneka gitu ada di ruangan pria se-macho awak ini…” kataku melirik ke atas lemari dimana kak Sandra meletakkan dua buah boneka beruang. Satu hadiah dari koh Amek, suaminya dan satu lagi pemberian Tiwi saat ulang tahunnya tahun lalu.
“Ini bukan ruangan kerja bang Aseng? Ooh… begitu… Bukan… Vony bukan liat dari boneka itu… Itu mungkin boneka punya anak bang Aseng atau semacamnya… Vony cuma mencium parfum perempuan yang sangat dominan disini… Dan itu bukan aroma milik bang Aseng sama sekali…” katanya.
“Iya… Ini nih ruangan punya bu Sandra… Nih…” aku membalik sebuah figura kecil ke arahnya. Menampilkan sebuah foto pernikahan kak Sandra dan koh Amek beberapa tahun lalu. Hanya ada satu figura foto itu di atas meja. Mata Vony dengan cepat men-scan keadaan meja. “Bu Sandra ini Factory Manager disini… Awak cuma wakilnya… Itu tadi yang ngantar Vony kemari itu asistennya, Tiwi… Bu Sandra-nya pulang lebih awal karena kurang enak badan… Lagi hamil…” jelasku.
“Ooh… Bu Sandra-nya hamil… Anak pertama, ya?” tebaknya dengan cepat.
“Kok tau?”
“Gak ada foto anak di meja ini… Cuma foto nikahan aja… Biasanya perempuan lebih banyak menyimpan foto anak daripada foto pasangannya… Karenanya ini kehamilan anak pertamanya…” analisa Vony. Mudah sih sebenarnya.
“Benar juga… Di meja kerja Vony pasti isinya foto anaknya semua, yaa? Cuma satu foto sama suaminya…” tebakku balik. Ini asal tebak aja karena aku belum pernah masuk ke ruangan kerja Vony di kantor notaris itu. Hanya ke ruangan pak Alex saja.
“Enggak, bang Aseng… Vony belum punya anak… Belum dikasih sama Tuhan…” jawabnya lugas tetapi sedikit mengalihkan pandangannya ke arah lain sekilas saja. Itu adalah pandangan yang berusaha tidak ingin dikasihani.
“Oh… Sori… Maaf, Von…” kataku agak menyesal memberi tebakan ngawur tadi.
“Gak pa-pa, bang Aseng… Anak bang Aseng berapa? Kemarin itu bilangnya ‘kami ini berdua laki-laki beristri’…” ia mengalihkan pertanyaan agar ia terlihat tegar. Wah… ia ingat kata-kata ajo Mansur waktu itu.
“Dua Von… Sepasang… Yang pertama cowok umurnya hampir 5 tahun… yang kedua 10 bulan… Masih lucu-lucunya belajar jalan…” kataku mengabarkan tentang kedua anakku tercinta. Aku mencari foto keduanya di HP-ku dan kuberikan padanya.
“Ih… Lucu, ya? Siapa aja namanya…” kata Vony memperhatikan foto anak-anakku di layar HP. Vony bahkan men-zoom muka-muka ganteng dan cantik anakku.
“Yang ganteng kek papanya itu namanya Rio… Yang cantik kek mamanya namanya Salwa…” kataku bangga. Bangga, dong. Itu semua hasil kerja kerasku.
“Ganteng dan cantik… Kayaknya… kedua anak bang Aseng mirip sama bang Aseng semua, deh… Cuma sedikit aja mirip mamanya… Mamanya cantik juga…” komentar Vony tentang istriku yang menggendong Salwa dan Rio yang lendotan di kakinya. “Takut gak diakui sama papanya kali, ya?” kelakar Vony lebih mencairkan suasana. Kami tertawa kecil bersama. “Kalau pak Mansur-nya gimana… Dengar-dengar baru menikah, ya?”
“Iya… baru sebulan lebih… Cuma ya itu… Jangan kaget ya? Awak kasih gosip dikit… Istrinya langsung 3 yang dinikahinya… dan tiga-tiga sedang hamil bersamaan…” kataku malah bergosip ria dengannya. Kenapa aku malah kek jadi emak-emak, ya?
“Benarkah?” Vony sampe harus menutup mulutnya menyaring rasa kaget yang terpancar dari ekspresinya. Matanya yang indah membelalak jadi lebih mengagumkan. “Tiga dan hamil bersamaan? Bareng?” pastinya. Aku hanya perlu mengangguk membenarkan. Sebenarnya aku memperhatikan bentuk mulutnya yang terbuka dengan bibir merah merekah berhias lipstik berwarna merah gelap. Perpaduan mata indah, wajah cantik dan bibir merahnya sangatlah sempurna di mataku sebagai mahakarya yang indah.
“Awak, kan sepupu pak Mansur… Jadi sumbernya lumayan terpercaya-lah…” aku lalu menceritakan sedikit kronologis dari pernikahannya dengan ketiga ukhti itu yang tidak kuhadiri tetapi diwakili ibu dan adikku di kota Padang. Tidak lama kemudian adikku menyusul menikah. Tentunya aku gak mungkin nyeritain tentang perjalanan liburan kami ke tiga tempat wisata itu. Langsung pada intinya kalo ia mengabarkan kalo ketiga istrinya hamil barengan dan ia bahagia sekali karenanya.
Cerita ini itu lalu Vony teringat akan tujuan utamanya datang menemuiku dan kami lalu ke inti permasalahannya. Vony membeberkan progres perubahan AD/ART perusahaan SPBU yang kini menjadi milikku dan aku sebagai direkturnya. Semua berjalan lancar dan aku diharapkan menunggu beberapa hari lagi untuk pengesahannya yang juga akan dilakukan di kantor notaris pak Alex dan rekanannya.
Pertemuan kami untungnya tidak lama. Sebelum istirahat makan siang berakhir, Vony sudah selesai dengan segala keperluannya. “Makasih bang Aseng… Ternyata menyenangkan ngobrol dengan abang…” katanya menjabat tanganku.
“Sama-sama, Von… Saya yang terima kasih banyak karena sudah merepotkan Vony sampe harus datang jauh-jauh kemari di jam istirahat begini…” kataku sedikit mengguncang jabatan tangan kami. Terdengar suara nyaring yang sempat mengusikku.
“Ah… Itu sudah tugas saya, bang Aseng… Saya permisi dulu, ya…”
“Sebentar, Von?” Aku sebenarnya agak ragu untuk menanyakan ini. Takut salah dan malah menyinggungnya lagi. “Vony ada turunan darah Dayak atau semacamnya?”
————————————————————————————————-
Kadang permasalahan seperti ini yang bisa memecah belah. Suwer. Benaran ini. Entah siapa yang berbuat salah ato malah jahat. Disadari ato tidak. Kalo sudah bersinggungan dengan orang lain malah jatuhnya jadi fitnah tanpa bukti yang jelas. Vony jelas aja heran gak ngerti kenapa aku tiba-tiba menanyakan apakah dia ada darah turunan Dayak atau semacamnya. Itu hanya karena aku mendengar suara nyaring burung Enggang Gading itu lagi saat bersalaman dengannya. Vony ngakunya gak ada darah Dayak ato nyerempet-nyerempet daerah Kalimantan sama sekali karena sepengatahuannya, orang tuanya sampe kakek neneknya orang Jawa.
Sebenarnya aku sangat yakin kalo itu adalah suara burung yang sama. Tapi aku belum bisa membuktikan kalo ada hubungan erat antara burung Enggang Gading itu dan Vony. Tapi kenapa saat bersalaman dengan Vony suara burung itu baru terdengar kali ini? Ini bukan salaman pertama kami. Beberapa kali kami melakukannya di kantor notaris itu dan hanya kali ini terdengar. Apa kebetulan saja bertepatan waktunya? Aman kalo nama Vony kucoret dari daftar suspect penyerang dengan burung Enggang Gading yang sangat kuat itu. Serangannya malam itu kuanggap sebagai perkenalan saja karena berikutnya akan menyusul serangan berikutnya yang bisa jadi menjadi serangan utamanya.
Lalu siapa suspect berikutnya? Banyak! Dukun-dukun golongan hitam tentunya. Aku mengenal beberapa nama dukun yang menggali ilmu ato basis keilmuannya dari daerah Kalimantan. Tapi entitas burung Enggang Gading adalah hewan keramat yang posisinya sangat istimewa setingkat dewa di masyarakat tradisional Dayak. Burung langka yang terancam punah itu punya tempat yang stretegis di masyarakat Dayak sebagai simbol kesucian, kekuatan dan keberanian. Siapa yang berani-beraninya merusak imej sakral burung itu untuk menyerang orang lain? Ini orang yang sangat sesat pastinya ato orang yang tak menghargai nilai-nilai sakral.
Dukun-dukun aliran hitam yang kukenal tak satupun, setauku yang memakai burung Enggang Gading sebagai hewan Menggala-nya. Entah kalo di kemudian hari ada di antara mereka berhasil menjalin perjanjian dengan burung itu. Di kalangan supranatural pemakaian kekuatan berbentuk hewan lazim saja dilakukan karena beberapa hewan merepresentasikan kekuatan dan ketangkasan tertentu. Biasanya hewan tersebut adalah hewan ghaib juga yang menautkan perjanjian tertentu dengan syarat tertentu. Tentunya dengan imbalan yang setara, menguntungkan kedua belah pihak.
“Pak Aseng… Ini nama-nama untuk gajian besok…” Suhendra menyerahkan berkas nama untuk gajian bulan ini. Sistem payroll di SPBU ini biasanya jatuh pada tanggal 25 tiap bulannya. Ini tugas pertamaku. Aku membaca secara sekilas nama-nama yang tercantum di daftar ini. Hendra yang mempunyai jabatan tertinggi di bawahku tentu saja yang bergaji paling besar. Aku hanya perlu menanda tangani saja karena uang gaji itu akan ditransfer langsung ke rekening mereka masing-masing. Hendra duduk di depanku menunggu aku selesai dengan berkas itu.
“Ini, Ndra… berkasnya…” aku mengembalikan berkas itu padanya. Aku sengaja datang malam ini setelah pulang kerja di pabrik untuk menanda tangani berkas ini. Karena sama-sama makan gaji, aku tau persis pentingnya tanda tanganku ini. Sementara di pabrik-pun, aku belum gajian. Mungkin tepat akhir bulan. Hendra memeriksa berkas dan menutupnya kembali. Sepertinya masih ada yang ingin dibicarakannya. “Ada apa, Ndra? Ngomong aja mumpung awak belum pulang…”
“Enggak, pak… Cuma mau ngobrol-ngobrol aja, kok…” katanya ragu-ragu. Naga-naganya ada hal mendesak yang ingin dibicarakannya denganku.
“Ya, udah… Ngobrol-lah… Tapi nanti jam 10 awak pulang, ya?” kataku melirik jam tanganku yang menunjukkan jam 21:24. Cukuplah setengah jam ngobrol dengan manager operasional SPBU-ku ini.
“Ng… Eng…” bingungnya malah jadi gagu. “Pak Aseng rumahnya di Mabar, kan?” bukanya dan kami mulai ngobrol ngalur-ngidul. Aku menangkap kalo ia hanya ingin mengakrabkan diri denganku lewat obrolan ini. Mungkin dengan begini, ia bisa mengenal bagaimana kepribadianku dan mengenalkan dirinya lebih jauh. “Jadi anak pak Aseng udah dua?”
“Iya… Masih kecil-kecil… Anakmu berapa?” tanyaku balik.
“Belum ada, pak…” jawabnya pendek saja.
“Belum ada? Udah berapa lama nikahnya?” tanyaku mencoba mengoreknya. Di tradisi Indonesia, menanyakan hal yang sangat pribadi ini masihlah sangat lazim. Tapi jangan coba-coba melakukan ini sama bule ato orang asing, ya?
“Udah tiga tahun, pak… Ada sedikit masalah… Dikit…” katanya dengan gestur tangan merenggangkan jari telunjuk dan jempolnya untuk faktor ‘sedikit’ masalah yang dialaminya.
“Oh… Kurang subur, ya?” tebakku asal aja. Biasanya memang itu masalah yang sering terjadi pada pasangan yang terlambat mendapat keturunan. Yang kedua adalah karena ada gangguan kesehatan seperti kista dan semacamnya.
“Bukan itu, pak… Kami gak bisa… Kami gak bisa melakukannya, —pak…” ia mengatakannya dengan sangat pelan.
“Gak bisa? Gak bisa melakukan apa? Gak bisa gini —maksudnya?” kataku menggesek jari telunjukku di meja kerjaku ini. Di Medan sini kadang kode untuk kimpoi ato ML ato ngentot-lah kita katakan adalah dengan cara menggesekkan jari telunjuk ke permukaan apapun. Bisa di meja seperti yang kulakukan atopun pada permukaan lainnya.
“I-iya, pak…” jawabnya menunduk malu.
“Kenapa gak bisa pulak? Kuliat sehat-nya kau… Gagah… Keren… Masa gak bisa kau keban (hajar) binikmu? Apa kurang cantik binikmu? Jadi gak bisa ngaceng burungmu?” tanyaku malah jadi makin akrab dengannya dengan mengajukan pertanyaan yang sangat privat begini. Hendra membuka HP miliknya dan menyerahkannya padaku. “Aih-mak! Cantik kali binikmu… Makjang! Cemana kou gak bisa ngeban binikmu yang cantik kali kek gini? Sakit apa kou rupanya?” heran kali kutengok orang satu ini. Kalo istri secantik itu dibiarkannya tak terjamah apa aja yang mereka lakukan selama tiga tahun ini.
“Aku gak tau pasti pulak, pak masalahnya apa? Gak mau naik pidong (burung)-ku walo udah telanjang bulat dia depan mataku… Kalo aku nonton bokep di HP… bisa naik ‘dia’, pak…” jelasnya. Aku melongo mendengarnya. Ada masalah kek gitu, ya? Baru dengar pulak aku. Aku dulu waktu masih remaja, nengok betis cewek mulus dikit aja bisa ngaceng kemana-mana. Sekarang-sekarang aja udah berumur dan lelah jadi agak berkurang. Dulu waktu remaja, aku bisa kerepotan karena seminggu bisa 2-3 kali mimpi basah karena gak tersalur.
“Yang saket-nya kou ni, Ndra… Nonton bokep ngaceng… nengok binik telanjang gak ngaceng… Jadi masih perawan jadi binikmu-lah ya?” tembakku langsung. Itung-itung dengan begini ia mau menceritakan masalahnya
“Udah enggak, pak… Kucucuk pakek kontol-kontolan dulu, pak… Abis udah ‘on’ kali dia waktu kukobel… Pidong-ku gak naek-naek… Kalo binikku lagi pengen kali… kami biasanya pake strap-on itu…” jelasnya. Penis palsu yang biasa dipakai pasangang lesbi untuk memuaskan pasangan wanitanya. Pantas aja biniknya gak bunting-bunting sampe sekarang, maennya pake kontol palsu. Kimak! Aku jadi membayangkan tubuh telanjang Hendra dengan penis layu sedang memakai strap-on menggantikan fungsi pidong-nya yang tak mau ngaceng. Cepat-cepat kuhapus visualisasi tak pantas itu dari imajinasiku dengan penghapus imajinerku. Ngotor-ngotorin imajinasi aja.
“Paok-paok…” aku ngedumel sendiri membayangkan kalo masalah seperti itu menimpaku. Amit-amit jabang berbie, deh ciin. Eh… Makanya si Hendra ini jadi bucin kali-lah di depan biniknya karena kelainannya ini. Ini jatuhnya kelainan. Nafsunya ada. Menggebu-gebu malah. Tapi pidong sama otaknya gak sinkron kerjasamanya. Otaknya gak memberi instruksi yang tepat pada kemaluannya agar ereksi. “Eh… Apa mungkin kao dikerjain orang ya, Ndra?” cetusku out of the blue.
“Aku pikir juga gitu, pak… Udah ada sekitar 5 orang pintar sama dukun yang kudatangi, pak… Tapi kata mereka gak ada… Dikasih juga obat-obat herbal kek jamu gitu… Tapi gak ada yang ngaruh… Jadi kami gini-gini aja, pak…” katanya dengan mimik sedih. Gajinya tinggi, tongkrongannya gagah tapi gak bisa mencoblos istri dengan benar. Ia patut sedih. “Binikku ngancam kalo aku gak kunjung berubah… dia mau menggugat cerai, pak…”
Waduh… Sadis. Sekedar jadi bucin gak mampu melunakkan hati biniknya. Malah bakal digugat cerai. Gila lu, Ndro. Salah orang! Kacian kau, Ndra. Ini menjelaskan prilakunya yang mendadak inferior di telpon malam itu saat biniknya minta dibelikan martabak. Hendra yang sangat bangga dengan jabatan dan posisinya di SPBU ini ternyata keok di ranjang. “Awak turut prihatin-la, Ndra… Tapi kao sama sekali gak tau apa penyebabnya? Entah masalah psikologi ato ada trauma-trauma gitu?” kataku baru teringat. Hal begini mungkin bisa terjadi begitu.
“Udah, pak… Aku udah datang ke psikiater seksologi segala… Udah dihipnotis juga mana tau ada trauma atau ingatan masa kecil yang membuatku jadi begini… Bersih tidak ada apa-apa… Waktu lajang aku normal, pak… Nakal-nakal anak muda-lah, pak ceritanya… Normal aku, pak… Bisa kukeban cewek-cewek itu… Ntah apa dosaku, pak?” katanya murung. Senget (miring) otak orang ini. Dikiranya seks sebelum nikah itu gak dosa apa? Paok jugak kao! “Apa di Mabar bapak ada kenalan untuk kusuk (pijat) atau ngobatin penyakit kek gini, pak?”
“Gak ada pula kenalanku kek gitu, Ndra… Kalo tukang nyambung patah tulang ada… Gak ada, Ndra…” kataku sembari mengetuk-ngetuk daguku yang mulai ditumbuhi janggut pendek.
“Pak Aseng percaya sama hakekat mimpi, gak?” tanyanya tiba-tiba. Mimpi? Apa lagi ini? Ada nyerempet mimpi-mimpi lagi. Aku menggeleng. Aku diajarkan untuk tidak percaya apapun selain Tuhan walo aku jarang-jarang menyembahnya. Agama KTP, biasalah. Lalu ia berceloteh tentang mimpi yang akhir-akhir ini yang sering menghiasi tidurnya bareng sang istri. Awal-awalnya ia menemukan istrinya yang sedang bersenggama dengan pria lain di dalam mimpi. Pria itu lelaki asing yang tak mereka kenal sama sekali. Saat pria itu sedang menggenjot istrinya, pidong-nya bisa ngaceng dengan sempurna. Ia merasa sangat terangsang sekali di dalam mimpi itu hingga ia bisa melakukan threesome dengan istrinya dan pria asing itu. Ia bisa bersenang-senang bareng istrinya dengan bombastis dengan keberadaan pria asing itu. Bangun tidur, kedua suami istri bermasalah ini dalam keadaan ngos-ngosan seperti habis bersenggama betulan. Hendra bahkan ngecrot mimpi basah, istrinya juga demikian. Sang istri juga mengalami mimpi yang sama persis dengan suaminya. Aneh bin edan.
Mimpi ini berlangsung berulang-ulang sampai beberapa kali di waktu tidur malam. Mereka hanya bisa bersenang-senang di dalam mimpi. Pria asing itu juga menjadi objek seksualitas mereka yang hampir virtual karena maya di alam mimpi. Cari-cari dan akhirnya ketemu. “Awalnya aku gak mau percaya kalo itu orang yang sama seperti di mimpi kami, pak… Tapi kemudian dia muncul lagi dan menjadi… pak Aseng…”
Panjang kali lebar kali tinggi ia ngebacot dan akhirnya yang kutakutkan menjadi kenyataan juga. Curhatnya ini untuk memberitauku kalo aku sudah menjadi objek seksual pasangan suami istri bermasalah ini. Ia menghabiskan waktu setengah jam berhargaku untuk menjebakku dalam situasi pelik semacam ini. Aku hanya bisa terduduk bersandar di kursi direktur ini. Memandanginya lekat-lekat. Memastikan kalo si bangsat kimak ini tidak lagi nge-prank aku. Entah bentar-bentar lagi ada kamera yang ditunjuknya, telah merekam semua ekspresiku yang telah dipancing dengan kecantikan biniknya.
Lama kami terdiam. Ada sekitar 5 menit dan sekarang sudah jam 10 malam lewat. Aku seharusnya pulang dari tadi. “Aku sempat curi-curi mengambil gambar pak Aseng dan mengirimkannya pada istriku… Dia-pun positif pria asing itu adalah pak Aseng…” ia menambahkan fakta baru. Jadi waktu itu, sewaktu ngobrol dengan ajo Mansur, pak Alex dan Vony di sini, ia baru saja mem-fotoku dan mengirimkannya ke biniknya. Lalu kilatan flash waktu menuruni tangga itu juga.
“Trus… Gimana? Kau maunya gimana?” tanyaku agar tak terdengar antusias.
“Aku dan istriku mau minta bantuan sama pak Aseng… untuk mewujudkan mimpi itu menjadi nyata, pak…” katanya sebenarnya ragu-ragu. Tentu aja orang ini harus ragu. Kalo sekedar minta naek gaji, itu perihal biasa. Tapi permintaannya sangat ganjil, nyeleneh, gila bahkan sembrenget. Tau arti sembrenget di Medan. Itu untuk menggambarkan keadaan yang udah kacau sekali. Gak ada uang tidur di rumah, ada uang tidur di paret/parit. Ini contoh untuk peminum miras kelas berat. Itu kategorinya termasuk sembrenget. Tambahi sendiri contoh lainnya untuk mengepaskan kata sembrenget ini.
“Threesome denganmu dan istrimu… seperti di mimpi kalian itu?” ulangku menyimpulkan. Hendra mengangguk sekali dengan cepat dan dalam. Pelan-pelan aku melipat tanganku di bawah dada dan bersandar lagi setelah sempat agak maju tadi.
“Mau ya, pak?” bujuknya.
“Gini, Ndra… Tawaranmu sebenarnya sangat menarik… Apalagi istrimu cantik dan seksi kek gitu… Laki-laki manapun pasti gak mikir panjang nerimanya dengan senang hati… Bahkan mungkin membayar lagi padamu untuk menjamah barang bagus begitu… Tapi aku atasanmu, Ndra… Dimana nanti harga dirimu kau membiarkan aku, pria lain menyentuh istri cantikmu itu… Gak usah bilang kalo aku juga tersinggung ditawari ginian, ya… Gak usah mikir itu… Aku anggap ini cuma khilaf aja dan gak pernah terjadi… sama sekali…” aku menekankan pada kata ‘sama sekali’. Semoga dia mundur.
“Tapi aku sangat mencintai istriku, paak… Aku gak bisa kehilangan diaa… Dia udah ngancam-ngancam masukkan berkas ke pengadilan agama, pak…” mewek juga akhirnya pria gagah ini. Hilang sudah kewibawaannya di hadapanku. Ia menangis tersedu-sedu menceritakan bagaimana perjuangannya mendapatkan hati wanita pujaannya ini sampe jungkir-balik peras keringat bahkan banjir air mata dan darah. Setidaknya darah perawan aja. Ia tetap bersikeras.
Hendra sampe bangkit dari duduknya dan memeluk kakiku. Untungnya malam ini hanya ada kami berdua di kantor ini. Hanya ada karyawan lainnya di lapangan melayani pelanggan 24 jam non-stop. Ia memohon-mohon dan terus memohon agar aku mengabulkan permintaan mereka berdua. “Aku rela gak digaji satu tahun, paaakk… Mau ya, paak?” rengeknya kek bocah minta beli bombon/permen.
“Hendra… Jangan terlalu percaya sama mimpi itu… Kalian bisa tersesat gak karu-karuan nantinya… Udahlah… Usaha aja terus berobat… Nanti aku bantu nyari info pengobatan, ya?” kataku menepuk-nepuk bahunya. Jijik juga jadinya. Udah kek mau diserodoknya Aseng junior-ku di posisinya ini yang memeluk sebelah kakiku memohon-mohon aku ikut dalam kimpoi gila bertajuk threesome. Seks threesome gak asing denganku, aku kerap melakukannya dengan kak Sandra dan Dani. Apalagi kehadiran ajo Mansur saat aku memerawani ketiga istri cantik, ukhti-ukhti ber-hijab itu. Itu sudah termasuk threesome walo tanpa sepengetahuan sang wanitanya. Aku sangat familiar dengan sensasinya. Sangat spektakuler bagi kelenjar adrenalin yang terpompa mancar deras memberi rasa senang yang berlebihan.
“Hendra-Hendra suruh istriku kemari ya, pak… Biar bapak dengar juga kemauannya…” ia lalu men-dial HP-nya menelpon istrinya.
“Jangan, Ndra… Ah… Jangan kek gitu-la maennya… Hendra! Jangan!” desakku. Sepertinya nada sambung sudah terdengar dan tak lama langsung terangkat.
“Deek… kemari… Di atas…” heh? Perempuan itu ada di dekat-dekat sini? Kimak-kimak! Aku dijebak nih ceritanya. Pake buka baju pulak perempuan itu nanti nekad. Tenang… Ada kamera CCTV di sekitar sini. Ini bisa jadi alibiku kalo mereka mau macam-macam. Abis itu baru di luar kuhajar! Biar gak ada saksi.
Gak lama terdengar suara klethak-klethuk suara high heel mencecah lantai keramik. Berarti perempuan itu menunggu di bawah dari tadi, menunggu untuk membantu ‘menguatkan’ permintaan suaminya barusan. Ia lalu masuk melalui pintu kaca yang terbuka dan aku terpana. Ini beneran perempuan yang sangat cantik. Hendra gak kuat harus kehilangan seorang bidadari kek gini. Entah-pun si Hendra kimak ini memberondok-kan (ngumpetin) selendang dewi milik perempuan ini supaya gak bisa balek ke kahyangan. Menghadapinya secara langsung begini, lebih-lebih dari fotonya. Jauh lebih… cantik.
“Deek… Ini yang namanya pak Aseng…” kata Hendra yang masih ngelesot di lantai memeluk kakiku. Buru-buru perempuan itu berjalan mendekat. Payudaranya membal-membal saat ia berjalan dan tanpa bisa kucegah ia memeluk lenganku, menekankan dua buah gundukan kenyal itu padaku. Aku hampir meleleh karenanya. Merasakan kenyal dan lembut payudara kek agar-agar.
“Pak Aseeeng… Mau, ya?” bujuknya sangat luar biasa. Suaranya merdu mendayu kek buluh perindu. Aku bukan bicara omong kosong. Kalo uda kenak pengaruh buluh perindu bisa lupa segala-galanya. Karena aku udah pernah kenak, dulu sekali tapinya. Apa itu Buluh Perindu? Itu adalah sebuah suling keramat yang mampu menyetir target yang ditujunya. (Buluh: bambu. Suling bambu)
Aku menahan nafas. Mengatur pancaran lini-ku agar tidak buyar oleh pengaruh negatif suara merdu merayu perempuan binik si Hendra ini. Kuhembuskan pelan-pelan lewat tekanan di bawah pusar. Pengaruh keseksiannya mulai memudar. Aku menyadari, perempuan ini memiliki sejenis ilmu turunan yang dapat menyebabkan lawan bicaranya bertekuk lutut pada semua keinginannya. Masalahnya, apakah tau memiliki ilmu turunan ini? Ilmu semacam pelet ato pengasihan yang mungkin secara tak sadar ato sadar telah dipakainya berkali-kali.
Si Hendra pukimak itu mesem-mesem melihat istrinya sedang menggodaku. Ini sungguh sebuah keluarga yang sakit parah! Binik si Hendra ini trus mendusel-duselkan payudaranya tepat pada belahannya yang nemplok di lenganku. Bra yang dipakai perempuan ini cup-nya minim saja hingga mayoritas daging payudaranya menekanku erat.
“Kalian berdua bisa berhenti NGGAK?!” sergahku tegas. Sepasang suami istri itu terkesiap sadar, melepas dekapannya pada masing-masing apapun yang mereka dekap. Tapi tetap tidak menjauh. “Kalian berdua duduk di situ…” tunjukku pada kursi-kursi yang ada di depan meja kerjaku ini. Patuh mereka menurut dan duduk manis menunggu.
“Paak…”
“Sit babam mi!” (diam mulutmu) potongku lagi agar gak ada yang merengek-rengek lagi. Kutunjuk-tunjuk hidung kedua orang yang kuanggap sudah kurang ajar. “Klen dua tau apa yang akan kejadian kalo klen melakukan threesome gilak kek gini?”
Keduanya menggeleng.
“Kehidupan rumah tangga bisa-bisa menjadi aneh… karena ada orang lain yang harus selalu ada di tengah-tengah klen… Harus ada orang lain yang membuat klen puas… secara seksual ato perasaan… Kau, Hendra… Kau merasa harus ada ada laki-laki lain saat kau mau mencampuri istrimu ini…”
“Paak… Ini belum apa-apa udah naik, paak…” kata Hendra dengan paoknya menunjuk selangkangannya yang memang menggembung naik. Paok! Begok! KIMAK! Istrinya juga ikut ngeliat tonjolan di selangkangan Hendra dengan antusias. Wajahnya berseri-seri melihat itu semua.
“Ih… Iya, bang… Naek…” kata sang istri yang menurutku juga sama-sama paoknya. Entah apa yang tadi dipikirkan Hendra hingga kontol paoknya bisa ngaceng di keberadaanku. Awas aja kalo dia mikir macam-macam samaku, kupecahkan kepalanya! Perempuan itu bertindak hal yang lebih paok lagi. Diturunkannya restleting celana Hendra dan merogoh ke dalam, mengeluarkan batang tegang kontol suaminya dari dalam sana dan menggenggamnya erat dengan mimik kagum. “Wah… Bang?… Besar… Besar juga burung abang… Mmbb!”
Aku gak pernah menyangka malamku akan menjadi seperti ini. Di depan mataku aku melihat sepasang suami istri itu melakukan hal yang seharusnya biasa aja kalo mereka lakukan berdua. Gak biasa karena mereka membiarkanku menyaksikan ini juga. Kenapa harus melibatkanku yang harus berada di sekitar mereka? Si istri cantik yang bahkan ku tak tau siapa namanya kini sedang menggelomoh rakus penis suaminya. Ia memuji-muji terus penis suaminya yang keras dan menegang maksimal. Hendra meringis-ringis menikmati permainan mulut istrinya yang memanjakan kemaluannya. Pria itu meremas-remas rambut indah dengan perawatan mahal itu. Sang istri duduk bersimpuh di depan kaki Hendra yang membuka lebar, duduk di kursinya. Kenapa pulak aku harus menonton kegiatan gila kedua orang ini?
“Loh, pak? Jangan pigi, pak… Liat ini?” henti Hendra demi melihatku yang sudah melangkah keluar dari ruangan kaca tempat kerjaku di gedung kantor SPBU ini. Kontol paoknya itu lunglai tak berdaya, layu tak bertenaga. “Di sini aja, pak…”
“Klen kalo gilak, gilak aja sendiri… Gak usah ngajak-ngajak orang-la…” kataku kesal campur gak perduli juga.
“Saya rasa… burung bang Hendra cuma bisa naek kalo ada bapak-la, paak…” kata perempuan itu. Ia menggoyang-goyang penis suaminya yang mengecil dan semakin kecil sehingga lebih mirip titit anak-anak. Agak lebih besar dikit aja dari punya Rio.
“Dek buka, dek!” kata Hendra gak sabar. Aku jelas kaget mendengar kata-kata itu barusan walopun aku ada satu meter dari pintu kaca yang kubuka lebar. Sepertinya ia ingin membuktikan sesuatu yang ia sangat yakini. Istri paoknya itupun ikut mendukungnya. Walopun jauh, aku bisa meliat bagaimana perempuan istri Hendra itu mengupas satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Tapi maaak! Indah nian tubuh perempuan yang sudah diperawani Hendra dengan paoknya pake kontol palsu itu. Payudaranya besar bulat indah dengan kulit indah terawat bersih. Kakinya jenjang panjang dengan paha dan betis mulus. Dan… Kimak! Jembutnya di-trim berbentuk hati hanya di bagian atas aja dan plontos di sekitar vagina mulus menggemaskannya. Aseng junior-ku menggeliat bangun meliat mataku menyaksikan pemandangan indah itu. Kok bisa cepat kali kau konek junior? Gak bisa pulak kau diajak kedan (kawan). “Liat kan, pak? Udah kek gini telanjang binikku… gak bisa naek pidong-ku… Tapi bapak bisa naek dengan cepat… Itu normalnya, pak…” kata Hendra membuatku jadi ikut-ikutan paok dengan mereka berdua ini.
Aku maju untuk masuk untuk melihat dengan jelas bodi yahud istri Hendra yang berdiri dengan bangga menampilkan tubuhnya di depanku dan suaminya. Aku jadi ketularan sakit jiwa dengan begini juga. Begitu aku melewati pintu, perlahan kontol paok si Hendra pukimak itu menggeliat bangun dan ngaceng lagi kek seharusnya. Ngaceng sengaceng-ngacengnya. Kan kimak ini namanya. Kek bisa dimain-mainkannya kontol paok itu. Aku mundur lagi…
Kontol pukimak itu layu lagi. Bujang nginam! (Meki mamakmu! Di kalangan warga Tapanuli, makian ini sangat kasar, bisa berujung bacok-bacokan. Kalo ada nyali, coba aja) Jadilah kumainkan kontol pukimak si Hendra itu dengan maju mundur cantik. Alhasil kontolnya naik turun kek di-fast forward dan di-fast rewind di player video. Gelik pulak kurasa jadinya. Gimana kalo aku goyang poco-poco? Kontolnya pasti ikut goyang juga. Paok! Balenggang pata-pata…
————————————————————————————————-
Si Hendra paok itu sedang turun ke lantai bawah untuk mengunci semua pintu masuk ke dalam bangunan kantor berlantai tiga ini. Sementara aku sedang berusaha menulis sebuah dokumen penting ini. Buru-buru saja dengan sederhana ditulis tangan yang penting dibubuhi materai secukupnya. Kenapa kukatakan ‘berusaha’ karena perempuan bernama Miranda ini sedang duduk dipangkuanku.
Tadi si Hendra pukimak itu dengan riang langsung menuju ke bawah untuk mengunci pintu begitu aku setuju untuk ikut permainan gila mereka. Perempuan itu yang mengenalkan dirinya bernama Miranda langsung menemplok-kan pantat semok lagi padatnya ke pangkuanku. Mendusel-duselkannya ke Aseng junior yang sudah ngaceng akibat display tubuhnya yang prima fantastica metallica nirvana! Tetek padatnya juga. Dibisikkannya “… suka? Ini 34D, loh…” tubuh selangsing model ini punya tetek bulat padat sebesar itu. Mukaku jadi peyot-peyot dijejali tetek 34D itu. Puting yang menjadi senjata tumpulnya, mengores-gores tak berbahaya kulitku, lebih berbahaya pada nafsuku. “Bapak lagi nulis apa, sih?”
Kuserahkan secarik kertas itu padanya untuk dibaca dulu sebelum lakiknya naik. Disimaknya kertas itu dengan cara yang sangat kurang ajar enak. Tadi cuma duduk nemplok di pangkuanku, sekarang duduk melingkarkan kakinya mengangkang menghadapku. Alhasil tetek bulatnya tepat jatuh di depanku. Diarahkannya agar putingnya tepat terarah pada mulutku yang otomatis membuka dan menyambut pentil serupa permen gak berasa ini. Mulutku tanpa sadar mulai mengenyot-ngenyot tetek bulat Miranda dengan rakus. Dibacanya kertas yang baru kutulis tadi di belakang kepalaku yang dibekapnya.
“Yang bertanda tangan di bawah ini dengan secara sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun melakukan perjanjian sebagai berikut:
1. Pihak pertama (Nasrul/Aseng) dan pihak kedua (Hendra dan Miranda) berjanji tidak akan melibatkan perasaan di hubungan ini. Tidak akan ada hubungan yang lebih jauh dari pada saling tolong-menolong di kerjasama ini.
2. Pihak pertama (Nasrul/Aseng) dan pihak kedua (Hendra dan Miranda) berjanji tidak akan membicarakan hubungan ini pada pihak lain selain kedua pihak di atas. Semua pembicaraan di luar kedua pihak ini sudah dianggap sebagai pelanggaran perjanjian. Murni rahasia untuk kedua pihak di atas.
3. Pihak pertama (Nasrul/Aseng) berjanji tidak akan menuntut hak dan kewajiban apapun kepada pihak kedua (Hendra dan Miranda) atau sebaliknya apabila kelak ada anak/janin/bayi yang timbul dari hubungan ini. Semua hak dan kewajiban tersebut akan jatuh pada pihak kedua (Hendra dan Miranda).
Demikianlah perjanjian ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan berlaku efektif mulai hari ini.
Yang bertanda tangan,
Medan, tanggal ZZ, bulan YY, tahun 20XX
Nasrul/Aseng (Pihak Pertama) Suhendra {Materai Rp.6000} Miranda (Pihak Kedua)…” baca Miranda sambil terus membiarkan teteknya kekenyot dengan rakus juga kuremas-remas. Ia sesekali juga mendesah-desah kegelian dan keenakan.
“Perlu ya, pak perjanjian seperti ini?” tanya Miranda dengan tubuh bergidik geli karena pentilnya kugigit pelan. Ia menggoyangkan pantatnya yang menghimpit Aseng junior yang kejepit selangkangannya yang hangat padat. Aku juga merasakan lembab di tengahnya.
“Ya… Orang-orang kek kalian ini harus dikasi batas agar gak ngelunjak…” kataku yang ntah kapan mulainya sudah meremas-remas pantat perempuan itu. “Apa kau sudah sering melakukan ini sama orang lainnya? Sori aja kalo nanyanya kek gitu… Keknya Miranda dah biasa binal begini…” tanyaku lalu membenamkan mukaku di teteknya lagi. Membaui aroma wangi kulit payudaranya.
“Isshh… Uhh… Enggak ya, paak… Nggak pernah awak kek gini sama laki-laki selain suamiku… Baru sama bapak aja ini yang pertama… Apalagi udah terbukti… burung suamiku bisa kikuk-kikuk kalau ada bapak Aseng… Mmhh… Enak, paak…” katanya membelai rambutku.
“Cem mana, dek?” tiba-tiba si Hendra kimak itu udah ada di sini aja. Hampir aku menyumpahinya jadi ganjalan ranjang lonte Belinun Jaya (Hotel esek-esek lejen di dekat Sambu). Kek gak berdosa mukaknya cengar-cengir ngeliatin aku sedang ngenyotin tetek biniknya sementara ia mengocok kontolnya sendiri yang tegang. Paok kali kurasa orang ini. Saket parah.
“Ini bang… Pak Aseng m’buat surat perjanjian ini… Baca dulu-lah, bang…” kata Miranda menyerahkan secarik kertas itu sementara aku masih dengan putingnya yang masuk ke dalam mulutku, kusedot-sedot rakus. Ia menjejalkan terus kedua teteknya padaku karena ia pun merasakan enaknya. Didekapnya kepalaku dengan erat agar tak meleset. Pantatnya yang telanjang juga tak henti digesekkan ke selangkanganku yang masih memakai celana lengkap. Aseng juniorku sudah tegang se-mantap-mantapnya dibalik itu semua. Kimak kali dua orang ini. Gara-gara kebodohanku sendiri aku terjebak di situasi aneh ini.
“Ini pak… Udah kutanda tangani… Kau juga, dek…” Hendra meletakkan surat perjanjian itu di tepian meja di belakang istrinya. Miranda dengan mudah berakrobatik memutar badannya sebatas pinggang dan menanda tangani surat itu di atas namanya. Lalu dengan puas, ia berbalik dan menyerahkan pena itu padaku untuk bagian tanda tanganku. Mau gak mau aku harus ikut tanda tangan karena aku yang menulis surat perjanjian ini sendiri. Bak menjilat tokai sendiri kalo aku kebacot dan menolak tanda tangan sementara kedua orang ini gak ada ragu sama sekali.
Tanpa melepas tubuhku dari pelukannya, Miranda membiarkanku melakukan bagianku dalam perjanjian ini. Kepalaku nongol dari samping lehernya dan tangan kananku yang akan menggoreskan tanda tanganku mencuat dari balik ketiaknya. Sret-sret… langsung kuambil surat perjanjian itu dan kumasukkan ke dalam laci langsung kukunci.
“Udah bisa kita mulai ini, pak?” tanya Hendra yang sumringah karena keinginannya kesampaian. Aku hanya mengangguk pelan. Mendapatkan jawaban itu, Miranda turun dari pangkuanku dengan posisi mengangkang, didorongnya kursi yang tadi dipakainya bersama-samaku agar ada ruang berlebih dengan meja kerja. Cekatan tangannya melepas sabuk ikat pinggangku, menurunkan restleting celana panjangku, menarik celana beserta sempakku sekaligus hingga melorot sebatas pahaku. Aseng junior mencuat melompat senang hampir menampar wajah cantiknya. Miranda kagum dengan ukuran penisku yang sedikit lebih besar dan gemuk dibandingkan milik suaminya.
“Oop-mak… Besar, paak?” Digenggamnya penisku dengan jari-jari lembutnya. Tangannya terasa halus kek anak gadis gak pernah disuruh kerja berat sama ortunya. Pelan-pelan dikocoknya Aseng junior dengan seksama dan memperhatikan reaksiku. Lidahnya menjulur dan menyentuh lubang kencingku. Rasanya geli sekali. Miranda tau betul apa yang sedang dilakukannya.
“Miranda… Apa kau ada darah turunan Dayak atau semacamnya?” tanyaku. Aku mendengar suara burung Enggang Gading itu lagi. Aku bahkan sudah bisa mendengar suara teriakan khas dan kepakan sayap lebar agungnya. Ia terbang mendekat menghampiriku.
“Ada… Kenapa, pak?” mulai mengocop (sedot) Aseng junior-ku kemudian. Lidah dan isi mulutnya menari-nari memanjakan Aseng junior-ku. Enak rasanya. Dari sini rupanya dia berasal.
Bersambung