Part #32 : Petualangan Sexs Liar Ku
Blesss…
Kontol Randy sukses masuk ke dalam memek Annisa. Tanpa menunggu lama, Randy langsung memompa lubang itu agar Annisa dapat menyelesaikan sesuatu yang tadi tertunda.
Plokkk…plokkk…plokkk…plokkk…
Bunyi kedua kelamin beda jenis itu beradu. Annisa yang sebelumnya sudah hampir mendapatkan klimaksnya tidak membutuhkan waktu lama untuk meraihnya lagi. Maka dalam beberapa kali hitungan.
Serrr…serrr…serrr…serrr…
“Anghhh…mmhhh…!!!”
Annisa menjepit pinggul Randy dengan kedua kakinya. Badannya meliuk ke belakang merasakan nikmat yang tiada tara. Randy menghentikan pompaannya memberikan kesempatan Annisa untuk menikmati puncak kenikmatan.
Randy mengelus wajah puas Annisa yang sedang memejamkan mata sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal.
Setelah reda Annisa kembali membuka matanya menatap mata Randy yang tepat berada di hadapannya.
“Enak?”
Annisa mengangguk pelan.
“Mau lagi?”
Dia tidak langsung menjawab. Annisa lalu menoleh ke bawah. Melihat kedua kelamin mereka masih bersatu Annisa kemudian mengangguk lagi.
“Sudah kepalang tanggung,” pikirnya.
Randy tersenyum manis lalu dengan cepat membalikkan badan mereka. Kini Randy berada di bawah dan Annisa duduk di atas kontol Randy yang menancap di memeknya.
Annisa bingung harus berbuat apa karena kini ia yang memegang kendali. Randy pun hanya diam saja sambil melipat kedua tangannya di belakang kepala.
Annisa meringis dengan muka canggung. Ia garuk kepalanya yang tidak terasa gatal hanya untuk mengusir situasi awkward itu.
“Hehehe…”
Tiba-tiba Randy tertawa membuat Annisa memukul dada bidang Randy karena kesal.
“Tinggal digerakkan kok,” usul Randy.
Annisa mencoba untuk bergerak namun kontol Randy tidak berubah posisi. Dengan inisiatif Randy memegang kedua bongkahan pantat Annisa lalu mengangkat hingga kepalanya saja yang tertanam di memek Annisa kemudian kembali mendorongnya ke bawah hingga menancap sepenuhnya.
Ia lakukan berkali-kali sampai Annisa dapat bergerak dengan sendirinya. Gerakannya masih sangat kaku, yah maklum belum berpengalaman.
Beberapa saat kemudian gerakannya sudah mulai lancar. Randy sudah bisa menikmati perlakuan dari Annisa.
Annisa juga mencoba untuk menikmati persenggamaan itu, meski ia merasa tidak senikmat posisi missionary. Mungkin karena dirinya belum terbiasa.
Ia rebahkan tubuhnya di atas Randy sehingga payudaranya menempel erat dengan dada lelaki itu.
Dia pandangi bibir Randy yang terus mengeluarkan desahan. Ada keraguan di hati Annisa, seperti ingin melakukan sesuatu namun takut. Hal itu dapat ditangkap oleh Randy.
“Kenapa say?” tanya Randy.
Annisa kemudian menghentikan goyangannya sesaat.
“Emm…boleh cium gak?” ucap Annisa ragu-ragu.
Ya, Annisa khawatir Randy akan marah jika Annisa menciumnya lagi mengingat sebelumnya dia telah melukai bibirnya.
Randy tersenyum sambil mengangguk.
“Boleh, tapi jangan…”
“Janji!” serobot Annisa cepat.
Dia tahu apa lanjutan dari kalimat Randy. Maka dari itu setelah mendapatkan ijin dia langsung mendekatkan bibirnya ke milik Randy.
Cuppp…
Annisa kembali mencium bibir Randy. Rasa asin bekas darah mengecap di lidah Annisa, tidak mengurangi rasa nikmat yang dirasakan Annisa.
Randy hanya diam mendapatkan pagutan dari Annisa. Dia biarkan Annisa mengekspresikan sensasi yang menjadi hobi barunya.
Annisa menyesap benda lunak nan kenyal itu dengan hati-hati. Bisa dirasakan luka di bibir Randy melalui lidahnya.
Ia pindahkan pagutan di bibir bawah ke bibir atas. Randy membalasnya dengan pagutan di bibir bawah Annisa.
Annisa lalu menjulurkan lidahnya masuk ke mulut Randy yang dibalas dengan julurkan juga.
Alhasil lidah mereka kini saling melilit, membuat mereka lupa akan aktivitas kelamin mereka yang terhenti cukup lama hanya karena hobi barunya itu.
Randy akhirnya berinisiatif memompa memek Annisa dari bawah. Jadi Randy fokus pada memek Annisa sedangkan Annisa fokus pada bibir Randy.
Setelah cukup lama Randy kembali membalikkan tubuh Annisa karena sulit untuk melakukan gerakan dari bawah sedangkan yang di atas hanya diam saja.
Randy mulai memompa Annisa dengan leluasa. Kembali rintihan keluar dari mulut Annisa menandakan memang dia lebih nyaman dilayani daripada melayani.
Plokkk…plokkk…plokkk…
“Ouhhh…sshhh…Rhan…!!!”
“Ahhh…kenapa sayang?!”
Annisa tidak menjawab. Dia memejamkan matanya erat.
“Enakkk?!”
Annisa hanya mengangguk.
Plokkk…plokkk…plokkk…
“Ouhhh…Rhann…”
“Hmm…?!”
“Chiummm…” pinta Annisa dibalik desahan.
Randy mengangguk lalu bibir mereka kembali bertemu.
Tak dipungkiri Randy juga merasakan kenikmatan yang luar biasa saat melakukan persenggamaan sambil berciuman.
Annisa melingkarkan tangannya di leher Randy agar kepalanya tidak bergerak apalagi menjauh.
Dia benar-benar mengambil seluruh kenikmatan yang ada di bibir Randy yang membuatnya kecanduan.
Lama kelamaan pompaan Randy semakin cepat dan kuat. Hal itu menimbulkan hentakkan di tubuh Annisa.
“Achhh…sshhh…emmhhh…”
Randy melepaskan ciumannya. Bibir mereka sudah belepotan dengan air liur. Annisa melingkarkan kakinya erat ke pinggul Randy.
Cleppp…cleppp…cleppp…cleppp…
Bunyi peraduan yang sudah sangat basah.
Annisa sudah menemukan tanda-tanda akan orgasme. Randy mengetahui hal itu, maka dia semakin buas menghujani memek Annisa dengan tusukan yang mematikan. Randy juga sudah merasa dirinya akan sampai pada puncak.
Dan dalam beberapa kali hentakkan kuat Annisa mengerang dengan keras.
“Awngghhh…!!!”
Serrr…serrr…serrr…serrr…
Tubuh Annisa mengejang-ngejang dengan kuat. Dia meraih orgasmenya yang ketiga saat itu.
Namun Randy kalah dalam hal finish. Dirinya sebentar lagi mencapai orgasme saat kaki Annisa menahan pinggulnya agar tidak bergerak.
Akhirnya Randy mengalah dan memberikan Annisa kesempatan untuk meresapi kenikmatan yang baru saja diraihnya.
Setelah badai orgasme itu mereda, Annisa melonggarkan lilitan kakinya lalu terkulai lemas.
Randy mendengus, inginnya dia teruskan namun lawannya sudah terlanjur k.o jadi apa boleh buat.
Dia kemudian mencabut kontolnya dari vagina Annisa lalu beranjak turun dari ranjang. Namun seketika ditahan oleh Annisa.
“Kamu belum keluar?”
“Belum.”
“Mau lagi?” tawar Annisa.
Mau bagaimana pun juga dirinya egois jika mementingkan kepuasannya sendiri. Tawaran itu membuat Randy senang, bukan hanya karena dia akan menuntaskan birahinya tapi yang paling penting adalah Annisa sudah mau menawarkan diri secara suka rela.
Randy mengangguk sambil tersenyum. Annisa kemudian kembali merebahkan diri. Dibukanya kedua paha mulus Annisa hingga memperlihatkan lubang peranakan Annisa yang tembem dan sedikit memerah.
Bentuknya sangat berbeda kalau dibandingkan dengan saat pertama kali Randy memerawaninya.
Jika di malam itu celah vaginanya masih terlihat sangat kecil dan sempit, maka saat ini lubang vaginanya menganga dengan sangat lebar.
Bahkan dirinya kini dapat melihat celah itu kembang kempis mengikuti deru nafas sang pemilik.
Randy sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan wanita itu. Annisa yang sebelumnya polos dan alim kini berubah menjadi wanita yang haus akan seks.
Bahkan sekarang Annisa membuat sebuah pose yang dapat menarik lelaki manapun untuk menjejalkan batang kemaluannya ke dalam lubang peranakan Annisa.
“Sini,” panggil Annisa manja.
Yang dipanggil lalu merangkak di atas tubuh Annisa. Tanpa menunggu lama kemudian…
Blesss…
Batang keperkasaan Randy yang kokoh itu langsung tertelan oleh lubang kenikmatan Annisa. Meskipun mereka masih melakukan dengan posisi konvensional, tapi tidak mengurangi kenikmatan.
“Ouhhh…”
Randy dengan cepat menghujami vagina Annisa dengan gerakan yang cepat, membuat tubuh Annisa menghentak-hentak tak beraturan.
Plokkk…plokkk…plokkk…
Perlahan nafsu Annisa kembali bangkit. Rasa gatal di bagian dalam memeknya kembali terasa. Randy dengan gerakan memutar memompa memek Annisa membuat kepala kontolnya menggaruk seluruh dinding dalam vagina Annisa.
Seperti biasa Annisa menarik leher Randy untuk kembali mencium bibir lelaki yang sudah memberinya kenikmatan itu.
Annisa terlihat sudah sangat mahir meskipun baru beberapa hari dia melakukannya tetapi dengan intensitas yang tinggi.
Lidah mereka saling melilit bertukar saliva. Bagian bawah tubuh mereka pun tidak kalah panasnya.
Dua mulut Annisa beraksi meraih kenikmatan sebanyak mungkin. Dia sudah melupakan janjinya kepada dirinya sendiri. Persetan lah!
Puncak kenikmatan Randy sebenarnya sudah dapat ia raih, namun ia masih menunggu Annisa untuk mendapatkan klimaks yang ke empat.
Randy semakin mempercepat pompaannya membuat Annisa mendesah dengan keras.
“Achhh…ouhhh…sshhh…emmhhh…”
Randy menangkap tanda-tanda orgasme Annisa. Ia pegang payudara Annisa dan meremasnya lalu dalam beberapa kali hentakkan.
Crottt…crottt…crottt…crottt…
“Awnghhh…!!!”
Serrr…serrr…serrr…serrr…
Annisa mencapai puncaknya. Badannya melemas, tulangnya nyaris lolos dari persendian. Tidak berbeda jauh darinya, Randy juga terkulai lemas di atas tubuh Annisa.
Mereka sama-sama berebut oksigen untuk mengisi paru-paru mereka yang kehabisan nafas.
Setelah badai orgasme yang dahsyat antara kedua anak manusia itu. Mereka kemudian bangkit.
Sekarang sudah jam tiga sore, itu artinya mereka sudah melakukan persetubuhan itu selama empat jam.
Mereka buru-buru untuk membersihkan diri dengan mandi. Di dalam kamar mandi mereka melakukannya sekali lagi.
Saat berada di depan cermin yang cukup besar, Annisa dapat melihat tubuh telanjangnya sendiri.
Sesaat Annisa menghela nafas panjang. Lagi-lagi dia kecolongan, dia merutuki dirinya sendiri. Namun tidak seperti sebelumnya saat dia menangis mendapati dirinya telah berbuat hal terlarang itu.
Dirinya kini lebih dapat bersikap normal. Toh dia melakukannya dengan seseorang yang akan menjadi suaminya kelak. Meskipun memberikannya terlalu dini tidaklah dibenarkan.
Saat itu Annisa sudah mengenakan kembali pakaiannya. Tiba-tiba Randy datang dan langsung memeluknya dari belakang.
“Aihhh, Randy bikin kaget aja,” hardiknya.
“Hehehe…kenapa sih kok lu suka banget ciuman?”
Annisa memutar bola matanya malas. Dia tahu pasti akan digoda lagi oleh lelaki itu.
“Gak tau ahh…” jawabnya asal.
“Hehehe…emang nikmat ya say?” goda Randy lagi.
“Ishhh…apa sih Ran!”
Annisa memanyunkan bibirnya kesal. Randy mencium rambut basah Annisa. Wangi shampo menyerbak ke dalam indera penciumannya.
Randy kemudian membalikkan tubuh Annisa sehingga kini mereka saling berhadapan di samping kaca besar.
Satu tangannya meraih pinggul Annisa lalu menariknya. Annisa sempat menahan dada bidang Randy dengan tangannya.
Tanpa peringatan Randy langsung mencium bibir Annisa. Sedikit terkejut, namun beberapa saat kemudian Annisa membalas ciuman itu dengan lebih semangat.
Tangan yang semula berada di dada Randy kini berpindah ke pipi Randy. Tangan kanan Randy diam-diam mengambil ponsel yang ada di saku celananya kemudian mengarahkan kamera ponsel itu ke cermin yang ada di sampingnya.
Ckrekkk… ckrekkk… ckrekkk
Beberapa foto berhasil diabadikan Randy. Foto itu memperlihatkan bahwa Annisa seratus persen takluk kepadanya.
Ckrekkk…
Sekali lagi Randy mengambil foto kala Annisa melingkarkan tangannya di leher Randy masih sambil berciuman mesra.
Lumayan lah buat nakut-nakutin Arif, pikirannya.
Setelah semuanya siap, Randy lalu pergi mengantar Annisa dengan menggunakan motor.
Waktu sudah sore, seharusnya Annisa pulang beberapa jam yang lalu. Mungkin dia akan kena marah lagi dari Adibah atau malah senang karena dia membawa calon suaminya sesuai permintaan bundanya.
Motor terparkir di depan sebuah rumah yang cukup besar namun dengan dekorasi yang sederhana.
Dengan ragu-ragu Annisa mengetuk pintu rumahnya sendiri. Beberapa saat kemudian pintu pun terbuka dan menampakkan seorang wanita yang sekarang menjadi asisten Adibah.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam, Ehh neng Annisa kok baru pulang?” tanya wanita itu menyambut.
Annisa hanya tersenyum kecil sambil mengangguk.
“Bunda mana ya?”
“Oh, teh Adibah lagi ngajar sebentar, mungkin setengah jam lagi selesai,” jawabnya menjelaskan.
Tiba-tiba pandangannya beralih ke as rah lelaki yang datang bersama Annisa.
“Eh neng, ini siapa?”
Annisa melirik Randy sebentar.
“Ehmm, nanti deh jelasinnya,” balas Annisa seadanya.
Mereka pun lalu dipersilahkan masuk. Wanita itu diam-diam mencuri pandang terhadap Randy. Bukan karena tertarik atau apa, tapi dia merasa pernah bertemu dengan lelaki itu.
Setelah membuatkan teh untuk tamunya, dia kembali ke ruang tamu untuk menyuguhkan teh tersebut.
“Silahkan diminum.”
“Terima kasih teh,” jawab Annisa.
“Emm, mas yang ada di kereta dulu ya?”
Tiba-tiba wanita itu menyeletuk saat mengingat wajah Randy.
Randy menyernyitkan dahinya. Ya, Randy mengingat wanita itu, dia yang duduk tepat di sebelah Randy saat di kereta. Dia yang meminjam ponsel Randy untuk menelfon Adibah.
“Iya mba, masih inget sama saya,” jawab Randy agak canggung.
“Iya masih inget kok sama orang yang sudah nolongin saya.”
Annisa melongo mendengar percakapan barusan, tidak mengerti apa-apa.
Sebenarnya Randy khawatir kalau saja wanita itu menanyakan tentang istrinya, karena saat di kereta Randy mengaku jika sudah memiliki istri.
“Kalau gitu saya permisi dulu,” pamitnya kepada mereka berdua.
Setelah kepergiannya, suasana jadi kembali sunyi. Mereka larut dalam lamunan masing-masing.
Annisa seyogyanya cemas akan respon dari Adibah, mengingat karakter Randy yang jauh dari ekspektasi bundanya untuk menjadi pendamping hidup Annisa.
Sedangkan Randy celingak-celinguk mencari seseorang.
“Eh iya, Icha mana ya sama Aira, mereka gak balik lagi kan ke rumah Reza?” tanya Randy enteng.
Annisa menatap Randy dengan tatapan datar. Kenapa di saat seperti ini dia justru mencari wanita lain?
“Biasanya ada di kamar, tapi kalo bunda lagi ngajar begini biasanya kak Icha keluar sambil momong Aira.”
Randy mengangguk paham. Sebenarnya dia kasihan dengan Icha, hidup bersama dengan mertua yang tidak menyukainya adalah sebuah mimpi buruk, apalagi tidak ada sosok suami yang melindungi dirinya.
Beberapa menit telah berlalu, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga.
“Assalamualaikum,” ucap Adibah saat akan masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumusalam,” balas Annisa dan Randy secara bersamaan.
Adibah nampak terkejut melihat ada seorang lelaki asing berada di dalam rumahnya.
“Bunda.”
Annisa menyalami Adibah seraya mencium punggung tangannya.
“Tante.”
Randy menempelkan kedua telapak tangannya satu sama lain sembari menunduk.
Adibah juga menundukkan kepalanya singkat untuk menghormati sang tamu itu.
“Bunda ini Randy, lelaki yang Nisa ceritain kemarin.”
Annisa tidak mampu mengangkat kepalanya. Dirinya benar-benar takut melihat respon dari bundanya. Adibah tahu sekarang kalau dia yang telah merenggut mahkota anaknya itu.
Adibah menatap Randy dengan tatapan datar. Sejenak dia merasa pernah bertemu dengan anak ini, tapi dimana?
“Duduk!” perintah Adibah yang langsung dilaksanakan oleh Randy maupun Annisa.
Adibah lalu menyusul duduk di sofa panjang seorang diri sedangkan Annisa dan Randy duduk di kursi sofa pendek.
Hati Randy dag dig dug tak menentu. Ternyata begini rasanya menghadapi calon mertua. Meskipun dia buat sesantai mungkin tetap saja kegugupan pasti datang juga.
“Kamu! Sudah sejauh mana hubungan mu sama anak saya?!” tanya Adibah dengan nada tegas namun ketus.
“Emm…kami sudah melakukan…”
Tiba-tiba kaki Randy diinjak Annisa. Dia mendapatkan pelototan tajam dari wanita yang ada disampingnya itu.
Randy salah mengartikan pertanyaan Adibah. Bukan hubungan yang seperti itu yang ditanyakan olehnya.
“M…maksudnya kami saling cinta, dan siap untuk masuk ke jenjang pernikahan,” jawab Randy gugup.
“Apa kamu serius sama anak saya?!”
Adibah kini melipat kedua tangannya di depan. Randy hanya mengangguk pelan.
“Apa yang kamu punya sampai berani mendekati anak saya?!”
Randy tidak langsung menjawab. Dia harus memutar otak hanya untuk memahami pertanyaan sederhana itu. Apa yang dia punya, hah?!
“Emm…saya punya apartemen, motor, saya juga terdaftar sebagai pemain basket aktif di salah satu tim di Bandung.
Adibah mendengus sembari menggelengkan kepalanya frustasi.
“Kamu! Sudah sampai berapa juz?!”
Randy lagi-lagi tidak memahami apa yang Adibah tanyakan. Digaruknya kepala yang tidak gatal. Dia merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia tidak briefing dulu dengan Annisa sebelum bertemu dengan Adibah.
“Sebenernya Randy belum bisa ngaji sama sekali.”
Tiba-tiba Annisa menyeletuk menjawab pertanyaan bundanya.
Adibah terkejut mendengar ucapan Annisa.
“Apa?! Jadi dia gak bisa ngaji sama sekali?!”
Annisa kembali menunduk. Dia tahu ini akan terjadi. Adibah lalu menatap tajam Randy.
“Gimana kamu mau bimbing anak saya kalo kamu gak punya ilmu agama? Kamu mau jadiin anak saya apa?!” bentak Adibah.
“B…bunda, biar Nisa yang bimbing dia ke jalan yang benar,” ungkap Annisa memohon.
“Annisa, laki-laki itu yang bertugas membimbing perempuan, bukan sebaliknya!”
“Tapi bunda…”
“Mau jadi apa kamu kalau punya suami macam dia?!” potong Adibah tanpa memberi kesempatan Annisa menyelesaikan kata-katanya.
Sungguh ucapan wanita paruh baya itu tidak memiliki saringan. Bahkan dia berani berbicara dengan gamblang di depan orangnya langsung tanpa mempertimbangkan perasaan mereka.
“Pantes saja Icha gak betah tinggal sama nenek lampir ini,” ujar Randy dalam hati.
Adibah kemudian berdiri.
“Pokoknya bunda tidak merestui hubungan kalian!”
Dia lalu beranjak dari tempatnya sebelum kembali berhenti. Dia menoleh sesaat ke arah mereka.
“Lebih baik kalian akhiri hubungan kalian sebelum semakin jauh,” ucap Adibah kemudian pergi berlalu.
“Bunda…!!!” panggil Annisa keras namun tidak diindahkan oleh Adibah.
“Randy gimana ini?!” ungkap Annisa putus asa.
Randy menaikkan salah satu alisnya.
“Gak usah khawatir, bakal gue usahain.”
Dia pandangi punggung Adibah hingga menghilang di balik tembok.
“You’re the next!”
Bersambung