Part #31 : Petualangan Sexs Liar Ku
Randy dan Annisa masih duduk di salah satu bangku di taman pusat kota. Setelah menghabiskan es krimnya yang kedua Annisa kembali memberikan kerupuk es yang tersisa kepada Randy.
Sebenarnya tidak sopan memberikan sisa makanan kepada orang lain tetapi daripada mubazir, lagipula Randy sendiri yang meminta.
“Oh ya, habis ini kita ke apartemen gue dulu yah, tadi habis latihan langsung ke kampus nganterin Prilly, belum sempet mandi hehehe…” ucap Randy sambil bercanda.
“Uhh pantesan bau acem!” balas Annisa menahan senyum.
Randy melongo. Dia tidak salah dengar kan? Annisa menimpali candaannya. Itu merupakan suatu perkembangan yang bagus. Randy mengira Annisa adalah orang yang kaku, yang susah diajak bercanda.
“Halo?! Kenapa?”
Annisa mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Randy karena Randy memandanginya terus menerus.
“Ehh bau acem ya? Makannya mau mandi dulu, mau ketemu calon mertua harus wangi, ya gak?”
Wajah Annisa memerah mendengar ucapan Randy.
“Hah?! Emang mau ketemu sekarang?” jawab Annisa terkejut.
“Lah, emang mau kapan lagi? Ayok!”
Randy bangkit sembari menarik tangan Annisa. Seperti terhipnotis Annisa menuruti saja kemauan Randy.
Mereka pun pergi menuju apartemen Randy sambil berboncengan. Annisa sudah agak santai dalam memeluk Randy dari belakang.
Entah kenapa jika bersama Randy dia jadi melupakan ajaran-ajaran yang pernah dia dapat tentang cara bersikap dengan orang lain terutama lelaki yang bukan muhrim.
Setelah sampai di apartemen, Randy langsung pamit untuk mandi karena badannya yang sudah gerah.
“Gue mandi dulu ya, kalo mau nonton tv nyalain aja, kalo mau cemilan ada di kulkas.”
Annisa mengangguk pelan lalu Randy masuk ke dalam kamar mandi. Sejenak Annisa mengamati kamar Randy. Kamar yang menjadi pertumpahan darah Annisa saat keperawanannya dijebol oleh Randy.
Ingatannya terlempar ke malam itu. Annisa menggigit bibirnya pelan, dia meremas ujung kemejanya. Desiran dadanya muncul saat mengingat dosa terindah yang pernah ia lakukan bersama Randy.
Tidak dipungkiri dia merindukan momen itu. Rindu sentuhan lembut Randy, bagaimana ia memperlakukan dirinya layaknya seorang putri.
Ahh, betapa bodohnya dia merindukan suatu dosa. Annisa duduk di atas karpet dengan bersandarkan tepi ranjang. Di depannya ada tv yang masih dalam keadaan off. Dia nyalakan tv itu untuk menghilangkan kebosanan.
Andaikan saja Randy sudah sah menjadi suaminya, dia mungkin tidak akan mengijinkan Randy untuk turun dari ranjangnya.
Ahh, lagi-lagi dia memikirkan hal yang mesum. Annisa menggelengkan kepalanya keras untuk menghilangkan khayalan itu.
Belum sempat pikiran itu pergi dari kepalanya, tiba-tiba Randy keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang dililitkan di pinggangnya.
Sontak Annisa terkejut dan memalingkan wajahnya. Jantungnya bekerja ekstra keras saat itu. Dia mengelus-elus dadanya untuk menetralisir kondisi jantungnya.
Belum normal ritme jantungnya kembali ia dikejutkan oleh Randy yang tiba-tiba sudah berada disampingnya dengan posisi duduk bersila. Saat itu Randy hanya mengenakan celana boxer.
“Mau,” ucap Randy sembari menyodorkan sekantung plastik berisi makanan ringan.
Annisa menggeleng pelan, Randy kemudian meletakkan makanan itu di atas karpet.
Randy duduk bersila sedangkan Annisa duduk sambil memeluk lututnya sendiri.
Bau harum sambun mandi menyeruak ke dalam hidung Annisa.
Sial sekali dia berada di posisi itu. Saat ini pasti setan-setan sedang menari-nari di dalam relung hatinya membisikkan agar melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar duduk manis.
“Ran,” panggil Annisa lirih.
“Iya?”
“Kamu yakin mau ketemu bunda sekarang?” tanya Annisa ragu.
“Emangnya kapan lagi?”
“Emang udah siap?”
“Gue si udah, elunya gimana?” tanya Randy balik.
“Terus terang aku belum yakin, apalagi soal agama kamu itu gak tau apa-apa, apa bunda bakal merestui? jujur aku takut.”
“Terus lu mau gue buat khatam ngaji dulu baru nemuin nyokap lu? Udah tua duluan kali gue,” timpal Randy sembari tersenyum kecut.
Annisa menunduk tampak berpikir tentang segala kemungkinan yang terjadi. Randy adalah satu-satunya harapan karena dia yang telah merenggut mahkota keperawanannya. Terlebih lagi dirinya mulai terbiasa dengan kehadiran lelaki itu di sisinya.
“Kalo dia emang sayang sama lu, dia pasti bisa terima gue apa adanya, karena tiap orang itu beda-beda, yang penting gue jujur, bukan yang ngakunya soleh tapi aslinya bejat,” terang Randy dengan gamblang.
Randy kemudian menarik dagu Annisa agar menatap matanya. Alhasil pandangan mereka kini bertemu.
“Gue nanya sekali lagi boleh?”
Annisa hanya mengangguk pelan.
“Lu cinta gak sama gue?”
Deggg…
Pertanyaan Randy membuat Annisa terbungkam. Dia ragu, bukan dia tidak mau menjawab tapi dirinya belum yakin atas perasaan yang saat ini ia rasakan kepada Randy.
Perlahan Randy mendekatkan wajahnya ke wajah Annisa. Annisa menahan nafasnya, dia tahu apa yang akan terjadi, namun ada suatu dorongan yang membuatnya memilih untuk mengikuti arus yang diciptakan oleh Randy.
Mereka berdua sama-sama memejamkan mata dan…
Cuppp…
Dua bibir mereka saling menyatu, pertama-tama hanya menempel saja, lalu Randy mulai memainkan bibirnya melumat bibir Annisa.
Annisa mulai terbuai dengan ciuman Randy di bibirnya. Randy usap pipi Annisa hingga tangannya hinggap di tengkuk Annisa yang masih berbalut hijab.
Sejenak Randy menghentikan aksinya, ia lepaskan ciuman mereka terlepas. Keduanya membuka mata hingga manik mata mereka saling bertemu dan sangat dekat.
Tidak ada kata yang terucap, hanya Randy mengirimkan isyarat kepada Annisa untuk menjawab pertanyaan tadi.
Seperti tahu apa maksud dari Randy, Annisa tersenyum lalu mengangguk pelan.
“Gue anggap sebagai jawaban iya.”
Seketika Randy menarik tengkuk Annisa ke arahnya kemudian dengan buas mencium bibir Annisa.
Dengan gelagapan Annisa mencoba membalas, mengimbangi permainan Randy. Ia letakkan tangan kanannya meremas bahu Randy yang tegap dan tangan satunya meremas ujung kemejanya.
“Achhh…!!!” desah Annisa saat lidah Randy mencoba masuk ke dalam mulutnya.
Cppp…sssppp…mmhhh…ncppp…
Bunyi pagutan panas antara dua benda lunak itu. Sentuhan di bibir Annisa benar-benar membuat candu. Dirinya tidak bisa mengelak perasaan nikmat saat Randy memagut bibir hingga lidahnya.
Mereka kini sudah berhadapan. Tangan Annisa melingkar di leher Randy. Baru saja semalam dia menangis meminta maaf kepada ibunya, kini dia mengulangi lagi dosa yang sama.
Perlahan Randy mendorong tubuh Annisa hingga rebahan di atas karpet. Sambil berciuman tangan kiri Randy berperan untuk melepaskan satu per satu kancing kemeja Annisa hingga semuanya terlepas.
Setelah itu Randy bentangkan kemeja itu ke samping. Terlihat Annisa memakai tank top putih untuk melapisi tubuhnya. Saat Randy akan menaikkan tank top itu ke atas tiba-tiba Annisa menahannya.
“Ran, jangan!” cegah Annisa.
“Kenapa?” tanya Randy yang sudah turn on.
“Kalo diterusin bisa-bisa…”
Annisa tidak melanjutkan kata-katanya, namun Randy mengerti apa kelanjutan kalimatnya. Tapi bukan Randy namanya kalau tidak punya cara lain.
Berciuman sambil rebahan kiranya membuat Annisa was-was akan terjadi sesuatu seperti malam itu.
Berbeda dengan malam itu, saat ini Annisa sama sekali tidak terpengaruh oleh obat perangsang, jadi Randy harus berusaha lebih keras untuk menaklukkan Annisa.
Ciuman agaknya sesuatu yang saat ini masih bisa ditoleransi oleh Annisa tanpa obat perangsang, namun tidak pada rangsangan di daerah lain.
Maka dari itu Randy akan mencoba untuk memanfaatkan di bagian itu. Dia bangkit dari tubuh Annisa lalu mengulurkan tangannya agar Annisa berdiri.
Annisa merasa senang karena Randy gentle dan tidak egois untuk melakukan sesuatu yang tidak Annisa kehendaki saat itu.
Annisa pun meraih tangan Randy lalu ikut berdiri. Saat mereka sama-sama sedang berdiri, Randy menatap mata Annisa.
Dengan kemeja yang masih terbuka, Randy selipkan tangannya di belakang pinggang Annisa lalu menariknya. Otomatis pinggul Randy dan Annisa bertabrakan.
Dengan penuh nafsu Randy kembali memagut bibir Annisa yang langsung dibalas dengan semangat.
Kedua tangan Randy naik ke atas meraih punggung Annisa yang masih berbalut tank top. Ditekan lagi ke arahnya sehingga kini payudara Annisa menempel di dada Randy.
Tidak ada penolakan, justru Annisa malah merangkul leher Randy mesra. Dia tampak benar-benar menikmati percumbuan itu.
Randy melepaskan pagutannya sejenak hingga saliva mereka yang tertinggal tersambung membentuk benang di antara dua bibir mereka.
“Jilbabnya dibuka ya?” usul Randy yang langsung dianggukkan oleh Annisa.
Randy menarik hijabnya hingga terlepas menampilkan rambut Annisa yang diikat belakang. Dengan satu gerakkan Randy melepaskan ikatan itu yang membuat rambut Annisa yang panjang tergerai.
“Cantik banget kalo rambutnya digerai say.”
Ucapan Randy membuat Annisa malu tapi tak dipungkiri Annisa merasa tersanjung dipuji seperti itu.
Tanpa permisi Randy melepas kemeja yang dipakai oleh Annisa hingga hanya menyisakan tank top dan bra yang berada di dalam.
Randy kembali mengangkat kedua tangan Annisa agar melingkar di lehernya dan lagi-lagi bibir Randy bertemu dengan bibir Annisa.
Randy memang terus-menerus memanfaatkan momen tersebut. Dia ingin agar Annisa semakin terbiasa dengan sentuhan-sentuhan yang ia berikan sehingga bila ia menyentuh area sensitif lainnya, Annisa sudah tidak kaget lagi.
Annisa menikmati bibir Randy yang sedang ia kulum dengan sangat menghayati. Bibir Randy yang baru-baru ini menjadi candu bagi dirinya, ia tidak pernah puas dan selalu menginginkan lagi dan lagi.
Mmphhh…sssppp…ccppp…sssppp…
Bibir Randy kemudian berpindah menyusuri pipi Annisa dan hinggap di leher Annisa.
“Enghhh…”
Secara otomatis Annisa memiringkan kepalanya agar Randy lebih leluasa untuk menjajah lehernya.
Annisa melakukan itu semua sembari memejamkan mata karena di sana ada kaca yang cukup besar. Annisa tidak ingin memandang dirinya yang hina itu.
“Ouhhh…geli Ran!”
Randy mendorong tubuh Annisa pelan hingga ia terduduk di atas ranjang. Annisa menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang ia bentangkan sedikit ke belakang.
Bibir Randy kembali berkelana, kini sudah berada di dada Annisa. Tangannya tanpa disadari Annisa sudah mengangkat tank top itu ke atas. Ia lepaskan pengait bra yang berada di belakang.
“Dibuka ya?” tawar Randy.
Annisa tampak dilema. Dirinya sudah bertekad untuk tidak melakukannya lagi sebelum mereka menikah. Tapi dorongan birahi membuatnya bertindak lain.
Annisa lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Randy pun tersenyum, dia menariknya melewati dua celah tangan Annisa.
Sontak Annisa menutupi bagian atas tubuhnya yang sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Wajahnya memerah menahan malu.
Randy menarik sudut bibirnya namun tetap membiarkan Annisa menutupi ketelanjangannya dengan kedua tangan. Dia tahu Annisa belum seratus persen siap.
Maka lagi-lagi bibir Annisa yang menjadi sasaran target Randy. Untuk saat ini kelemahan Annisa yang dibiarkan untuk dieksploitasi hanya bagian itu.
Annisa kembali terbuai dalam ciuman yang memabukkan. Perlahan pertahanannya pun runtuh. Tangannya kini sudah tidak lagi berada di dadanya melainkan di pahanya.
Hal itu dimanfaatkan Randy untuk menyentuh gundukan yang tidak terlalu besar namun sangat indah. Diremas-remas payudara Annisa sebelah kiri.
“Emphhh…shhh…”
Annisa menggenggam pergelangan tangan Randy dengan kuat, namun tetap membiarkan Randy melancarkan aksinya.
Karena sudah tidak ada tumpuan lagi di tubuh Annisa membuat Randy dengan mudah mendorong Annisa hingga Annisa merebahkan diri.
Dilepaskannya cumbuan di bibir Annisa dan berpindah ke puting payudara Annisa sebelah kiri.
“Achhh…Rhan…emmphhh…”
Annisa merasakan geli di area sensitif itu. Ia remas-remas rambut Randy yang masih sedikit basah karena baru selesai mandi.
Randy gigit-gigit putingnya yang kecil berwarna pink lalu menariknya menggunakan bibir agar sedikit mencuat.
Tangan kiri Randy beraksi mengusap perut Annisa yang halus dan rata. Usapannya berpindah ke bawah menyelip di dalam rok panjang yang dipakai Annisa saat itu.
Sontak Annisa langsung menahan tangan Randy agar tidak sampai menyentuh ke area segitiga bermuda miliknya.
“Rhan…jangan, tunggu sampai kita menikah…achhh…”
Kali ini Randy tidak mengindahkan perkataan Annisa, tangannya yang sudah sampai di area bulu halus kelamin Annisa sudah tidak dapat ditarik lagi.
Jari jemari Randy aktif merangsang klitoris Annisa yang sedikit mencuat. Ia jepit, gelitiki benjolan kecil itu dengan lembut namun mantap.
“Gak akan dimasukin kok, tenang aja,” ucap Randy yang menangkap rasa khawatir Annisa yang tidak mau dipenetrasi.
“Achhh…Rhann…emphhh…”
Randy kembali memagut bibir Annisa. Seperti terhipnotis Annisa membalasnya dengan buas. Ia peluk tangan kiri Randy yang sedang berinteraksi dengan vaginanya.
Baik Randy maupun Annisa sudah tidak memperdulikan apabila bibir mereka menjadi dower karena berpagutan terus terusan. Yang jelas Annisa benar-benar ketagihan dalam hal berciuman.
Randy terus merangsang klitoris Annisa. Hingga beberapa saat kemudian Annisa mengalami kejang yang paling nikmat yaitu klimaks.
“Anghhh…!!!”
Serrr…serrr…serrr…serrr…
Annisa mencapai klimaks yang pertama. Tangan Randy ia jepit dengan menggunakan pahanya.
Matanya terpejam, leher Randy ia rangkul dan menariknya seraya menggigit serta menghisap bibir bawah Randy dengan kuat hingga bibirnya masuk dalam-dalam ke mulut Annisa.
Air mata Randy tanpa sadar keluar merasakan perih di bibirnya akibat apa yang di lakukan oleh Annisa.
“Achhh…!!!” pekik Randy saat bibirnya terlepas dari mulut Annisa.
Randy menarik tangannya dari vagina Annisa dan dengan cepat ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.
Darah segar keluar dari bibir Randy. Dia sedikit meringis kesakitan. Randy bangkit lalu mengambil tisu untuk mengelap darahnya.
“Gila nih, cantik-cantik buas, bibir gue aja hampir dimakan,” ucapnya dalam hati.
Sejenak Randy memandangi wajah sayu Annisa. Dia terlihat mengecap-ngecap salivanya yang bercampur dengan darah dan saliva Randy.
“Maaf!” ujar Annisa singkat.
Randy pun mendekatkan wajahnya ke wajah Annisa sembari menarik bibir bawahnya.
“Nih nyampe berdarah,” tunjuk Randy.
“Maaf,” ungkap Annisa lagi.
Annisa merasa bersalah, dia terlalu over reach dalam menghadapi gelombang orgasme barusan. Hal itu justru dimanfaatkan Randy untuk berbuat lebih jauh. Dia pura-pura merajuk.
Randy duduk di tepi ranjang memunggungi Annisa. Annisa yang semula tiduran kini sudah duduk menunduk sambil menutupi dadanya yang telanjang dengan bantal.
“Udah lah, gue gak mau ciuman lagi, entar bibir gue robek lagi,” sentak Randy seraya melirik ke arah Annisa.
Annisa terlonjak kaget. Bibirnya ia katupkan rapat, ekspresinya seperti menahan tangis.
“Maaf,” ucapnya untuk yang kesekian kali.
Lama kelamaan Randy merasa kasihan juga kepada Annisa. Padahal niatnya hanya mengerjai Annisa saja tapi malah membuatnya hampir menangis.
“Iya aku maafin, tapi aku boleh minta satu hal?”
“M…minta apa?” tanya Annisa terbata-bata.
“Aku minta kamu sepongin,” jawab Randy lirih.
Annisa memicingkan matanya. Dia bingung dengan istilah itu, itu adalah kata yang baru pertama kali didengarnya.
“Apa itu?”
Tanpa menjawab Randy lalu melepaskan celana boxer yang menjadi satu-satunya kain yang membalut tubuhnya.
Annisa melongo sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan melihat tubuh Randy yang berotot dengan penis yang panjang dan keras.
Randy kemudian merebahkan diri di samping Annisa yang masih diam mematung. Randy memegangi kontolnya sendiri dan berkata.
“Emut pake mulut mu ya, tapi jangan digigit.”
Ucapan Randy membuat Annisa bergidik ngeri. Bagaimana bisa dia memasukkan benda yang biasa digunakan untuk buang air kecil.
Tapi saat dia mengingat ‘malam itu’ dia juga mendapatkan klimaks yang kedua melalui mulut Randy.
Dengan ragu-ragu Annisa memegang menara yang diameternya hampir satu genggamannya.
Dia lirik Randy yang memberikan isyarat untuk segera mengulumnya. Dengan satu tarikan nafas Annisa mendekatkan wajahnya ke kontol Randy.
“Langsung dimasukkin?” tanya Annisa polos.
Randy terkekeh melihat kepolosan Annisa.
“Terserah kamu, asal jangan digigit, dikunyah terus ditelen,” jawab Randy sambil tertawa kecil.
Annisa mendengus kesal mendengar sarkasme Randy yang menggoda dirinya. Tapi Annisa benar-benar tidak tahu, apakah benda sebesar itu mampu ia tampung di mulutnya.
“Lubangnya dibuka dulu terus dijilat, habis itu baru dimasukin,” terang Randy.
Mumpung Annisa yang belum tahu apa-apa, Randy mengajari sesuatu yang agak lebih dalam.
Annisa masih bergidik ngeri. Dia harus menjilati tepat di lubang pipis Randy? Dia berpikir pasti tadi saat mandi Randy juga pipis. Apakah itu higienis?
“Kenapa?”
Pertanyaan Randy sukses membuyarkan lamunan Annisa.
“Gak papa,” jawab Annisa singkat.
Dia lalu membuka lubang kecil milik Randy dengan menggunakan jari telunjuk dan jempolnya.
Terlihat cairan bening yang mengalir di bagian bawah kepala kontol Randy. Annisa berpikir itu adalah bekas pipis Randy.
“Kamu habis pipis gak cebok ya?”
“Hah?! Mana ada, udah aku bersihin pake sabun segala kok.”
“Ini cairan apa?”
“Itu precum sayang,” jawab Randy lembut.
Annisa masih ragu, dia tidak dapat percaya begitu saja kepada Randy, tapi memang tidak ada bau pesing sama sekali.
Akhirnya Annisa mencoba menjilatnya. Benar bukan pipis, pikirnya.
“Ouhhh…sshhh…enakkk…” desah Randy.
Dijilati hingga bersih cairan itu lalu lidahnya ia masukkan sedikit ke dalam lubang pipis Randy membuat si empunya menggelinjang kenikmatan.
Setelah itu Annisa kemudian memasukkan batang kontol Randy ke dalam mulutnya.
“Auh…jangan sampai kena gigi sayang, pake bibir sama lidah aja.”
Annisa mencoba menuruti apa kemauan suami tidak sahnya itu.
“Ouhhh…bener gitu sayang, enak banget…sshhh…achhh…”
Annisa melakukannya naik turun sesuai permintaan Randy. Setelah beberapa saat Annisa melepaskan kemaluan Randy dari mulutnya karena dia kehabisan nafas.
Randy tersenyum melihat tongkatnya mengkilap karena air liur Annisa. Sebenarnya ia masih belum puas namun karena Annisa sudah tidak sanggup lagi, akhirnya Randy memutuskan untuk kembali mengambil alih permainan.
Posisi kini berbalik. Randy menyuruh Annisa untuk rebahan dan Randy di atas.
“Dibuka ya roknya,” pinta Randy.
Annisa dengan cepat menggeleng. Dia tahu kalau itu terjadi pasti akan ada kelanjutan yang lebih jauh lagi.
“Pake mulut kok, kan aku udah dapet dari kamu masa kamu enggak,” ujar Randy masih mempengaruhi Annisa.
Entah karena dia sudah sangat horny atau akal sehatnya yang sedang berkelana, Annisa akhirnya mengangguk pasrah.
Randy tarik rok Annisa beserta celana dalamnya hingga lolos dari kakinya. Menampakkan segitiga bermuda yang sangat menggairahkan.
Reflek Annisa menutupi vaginanya yang terus ditatap Randy. Wajahnya merah seperti biasa kalau sedang malu.
Randy renggang kan kedua kaki Annisa, ia singkirkan kedua tangan Annisa yang menutupi daerah kenikmatannya.
Tanpa pikir panjang Randy menjilati bibir memek Annisa yang sedikit tembem.
“Enghhh…Rhan…sshhh…achhh…” desah Annisa merasakan titik sensitifnya dirangsang.
Randy kemudian memasukkan jari tengahnya ke dalam lubang peranakan Annisa.
“Ouhhh…Rhan…geli…”
Ia masukkan satu jari lagi dan merangsang g-spot Annisa. Benar saja, Annisa langsung kelojotan merasakan rangsangan yang hebat itu.
Hingga tak berapa lama Annisa sudah mengalami tanda-tanda akan orgasme. Randy tahu betul ciri-ciri wanita yang akan mencapai klimaks.
Randy tersenyum licik.
“Tidak semudah itu sayang,” batinnya.
Ketika Annisa sudah di ujung orgasme tiba-tiba Randy melepaskan jarinya beserta bibir yang sedang beraksi memberi kenikmatan bagi Annisa.
Sontak Annisa mendelik tajam merasakan letusannya tertahan. Ia merasakan gatal yang sangat kuat di dinding dalam memeknya, rasa ingin digaruk dengan suatu benda.
Randy lalu menegakkan badannya. Ia tempelkan kontolnya yang sudah mengacung ingin masuk ke sarangnya.
Ia gesekkan sejenak di bibir memek Annisa yang membuat gejolak birahi Annisa tidak mereda juga tidak meledak. Membuat Annisa semakin tersiksa.
“Achhh…Rhan…tholonggg…mashukin…”
Randy tersenyum penuh kemenangan.
“Kamu yang minta ya…!”
Annisa mengangguk mantap. Dia sudah tidak memikirkan konsekuensinya. Baginya ini adalah situasi darurat yang menuntut untuk dituntaskan secepat mungkin.
Surga dunianya kini berada di tangan Randy.
Bersambung