Part #30 : Petualangan Sexs Liar Ku

“Annisa!”

Arif memanggil Annisa yang sedang berjalan ke ruangan kelas. Yang dipanggil hanya menoleh sesaat tanpa menghentikan langkahnya.

“Kamu bohong kan? Dia bukan calon suami kamu? Mana cocok kamu sama dia, dia kaya orang berandalan gitu, kamu itu cocoknya sama laki-laki yang soleh.”

Annisa mendengus kesal. Kenapa Arif jadi ikut campur urusan pribadinya.

“Apa sih kamu ini, jangan lihat orang dari luarnya aja,” sindir Annisa malas.

Terkadang memang lelaki itu suka mencari perhatian darinya. Ya, meskipun Arif sudah menaruh rasa pada Annisa sejak SMA tetapi hingga kini dia belum berani untuk mengungkapkan perasaannya. Bahkan dia rela untuk masuk kuliah jurusan yang sama dengan Annisa hanya agar bisa lebih dekat dengannya.

Dirinya berpendapat bahwa kalau ingin menjadi kekasih Annisa, dia harus khatam mengaji. Maka dari itu dirinya selalu pamer kepada Annisa tentang hafalan-hafalan ayat suci yang ia miliki.

Namun nyatanya gadis itu malah jatuh kepada sosok lelaki badboy yang ia jamin dia tidak bisa mengaji sama sekali.

“Jawab dulu Annisa, dia bukan calon suami kamu kan?”

Arif kembali mencoba memastikan hal yang dia harapkan salah.

“Dia memang calon suami ku kok,” jawabnya malas.

“Tapi kenapa Annisa? apa kamu dijodohin sama dia? Apa orang tua mu punya hutang sama orang tuanya?” cerocos Arif terus seperti wartawan.

Ucapannya membuat Annisa geram.

“Hey jangan asal ngomong ya Rif, aku pilih dia karena kemauan ku sendiri dan itu bukan urusan mu!” sergah Annisa membuat Arif terdiam.

Sebenarnya Arif tipe orang yang kalem tidak banyak omong. Bisa dibilang Arif mencintai Annisa dalam diam.

Yang dia lakukan selama ini hanya berusaha membuat Annisa terkagum dan terkesan padanya dengan cara dia menunjukkan bahwa dia orang yang paling tinggi tingkat agamanya daripada orang lain.

Tapi sekarang dia sudah tidak bisa menjadi sok cool lagi di depan Annisa. Kabar Annisa yang sudah memiliki calon suami membuatnya kebakaran jenggot.

Kini dirinya panik, stress, tidak tahu bagaimana cara untuk mendapatkan hati Annisa. Arif benar-benar tidak rela Annisa menjadi istri orang lain selain dirinya.

“Terus kenapa kamu mau sama dia? Apa yang dia punya sih sampe kamu mau jadi calon istrinya?”

Seluruh pertanyaan keluar dari mulut Arif. Dia melontarkan pertanyaan itu bukan karena ingin tahu tapi karena dia gundah gulana dan gusar masih berharap bahwa semua itu hanya sebuah kebohongan.

Katakanlah Annisa berbohong agar Arif berhenti mengharapkannya itu jauh lebih baik daripada Annisa benar-benar sudah memiliki calon suami.

“Kenapa kok kamu kaya gak terima gitu sih?”

Arif terdiam sesaat. Bisa saja dia bilang kalau sebenarnya dia sudah menyukai Annisa sejak lama tetapi dia masih belum berani untuk mengungkapkannya.

Dari dulu Arif selalu menunda-nunda untuk mengungkapkan perasaannya pada Annisa. Hingga saat Annisa bilang sudah memiliki calon suami, dirinya masih merasa waktu belum tepat untuk menyatakannya.

“Bukan gak terima Annisa, tapi kamu pantes dapet yang lebih baik dari dia.”

“Contohnya?” tanya Annisa balik.

“Contohnya aku,” batin Arif.

Andaikan saja Arif bisa mengungkapkannya sekarang, tapi dia lebih memilih diam.

Merasa tidak ada respon, Annisa kemudian masuk ke dalam ruangan untuk mengikuti pelajaran.

Annisa mengikuti perkuliahan dengan tenang dan fokus, berbeda dengan Arif yang uring-uringan karena masih belum menerima kenyataan itu. Matanya beberapa kali melirik ke arah Annisa.

Hingga kuliah berakhir, Annisa keluar dari ruangan langsung disambut oleh seseorang.

“Hay,” sapanya lembut sambil tersenyum.

Dia tengah berdiri bersandar di tembok dengan telapak tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

“Randy ngagetin aja, kok masih di sini?!”

“Hehehe, lagi nunggu calon istri gue dong.”

Sejenak Randy melirik ke belakang Annisa yang tengah berdiri seorang lelaki yang ia temui tadi. Sengaja Randy ingin memanas-manasinya.

Arif memutar bola matanya malas. Sungguh ia muak dengan tampang Randy yang sok ganteng itu, tapi memang ganteng sih.

Lagi-lagi jantung Annisa berdebar kala Randy mengucapkan ‘calon istri’ kepadanya. Namun ia memilih untuk memasang wajah datar.

“Yuk pergi,” ajak Annisa lalu berjalan menjauh diikuti oleh Randy.

“Tinggal dulu bang Arif!” ucap Randy seraya melambaikan tangan pada Arif.

Arif mengeratkan giginya kesal. Tangannya sudah terkepal keras namun yang bisa dia lakukan hanya diam memandang sang pujaan hati pergi meninggalkan dirinya bersama sang kekasih.

Ngenes banget lu Rif wkwkwk…

Randy dan Annisa sedang berjalan di koridor kampus menuju ke lobby utama.

“Oh ya say, tadi berangkat naik apa?” tanya Randy yang mengetahui kalau Annisa sudah tidak berangkat bersama Reza lagi.

“Jangan panggil say ahh malu!”

Annisa mengerjap sedikit risih dengan panggilan yang Randy sematkan padanya.

“Terus apa? Beib?”

“Norak tau! panggil nama aja,” protes Annisa.

“Oke deh, Nisa sayang…awww…!!!”

Seketika Randy memekik kesakitan saat tiba-tiba Annisa mencubit pinggangnya karena sebal.

Annisa merenggut kesal namun tidak dengan Randy, dia tertawa melihat wajah cemberut Annisa yang sangat imut itu.

Entah kenapa sifat Randy yang jahil justru membuat Annisa merasa terhibur. Hidupnya yang selama ini sangat flat kini mulai lebih berwarna. Dia jadi lupa dengan masalah dengan bundanya yang sedang ia hadapi.

Apakah pertemuannya dengan Randy adalah suatu musibah atau anugrah dia pun tak tahu.

“Emm, hari ini lu udah gak ada kuliah kan? kita jalan yuk!” ajak Randy.

“Jalan kemana?”

“Ngedate,” jawab Randy singkat.

Annisa menggeleng cepat. Ngedate hanya diperuntukkan bagi orang yang berpacaran, sedangkan dirinya tidak.

“Anggap aja jalan biasa,” tawar Randy lagi.

Annisa berpikir sesaat.

“Boleh deh, sekalian ada yang mau aku omongin.”

Randy mengangguk. Mereka lalu pergi ke parkiran bersama.

Sesampainya di parkiran, Annisa melihat Randy berdiri di samping motor sport miliknya.

“Loh pake motor?”

Annisa memandang Randy heran. Bukan Annisa tidak mau menaiki motor tetapi dirinya tidak terbiasa apalagi dengan Randy.

Terakhir kali dia membonceng motor saat kakaknya baru saja dibelikan oleh almarhum ayahnya saat Reza masih dibangku SMP. Namun sejak ayahnya meninggal motor itu dijual dan lebih memilih kemana-mana naik mobil.

“Kenapa?”

Annisa dengan cepat menggelengkan kepalanya menepiskan rasa ragu.

“Gak papa, ayo!”

Randy lalu menaiki motornya. Dia tunggu Annisa tak kunjung naik juga.

“Tunggu apa lagi?”

“Emm… gimana cara naiknya?”

Randy terkekeh singkat.

“Miring aja, lu kan pake rok panjang, kaki kanannya dipake buat tumpuan di footstep, terus lu lompat aja ke jok.”

Sejenak Annisa ragu-ragu tapi akhirnya dia mencoba mengikuti arahan dari Randy. Saat Annisa melompat ternyata lompatannya terlalu keras sehingga dia hampir terjengkang ke belakang sebelum secara refleks Randy menahan punggung Annisa agar tidak jatuh.

“Hati-hati,” ucap Randy mengingatkan.

“Iya, jangan cepet-cepet bawa motornya.”

“Siap tuan putri, pegangan yang kenceng!”

“Pegangan apa?”

Annisa terlihat bingung.

“Nih!”

Randy menepuk-nepuk perutnya sendiri.

Annisa malu jika dia harus memeluk Randy dari belakang. Tapi saat itu tidak ada pilihan lain.

Tanpa aba-aba Randy memutar throttlenya agak cepat membuat Annisa spontan langsung memeluk erat karena kaget dan takut terjatuh.

“Ihhh Randy…!!!” dengus Annisa kesal sambil memukul bahu Randy yang dibalas dengan tertawa jahil.

Dari lantai dua Arif meratapi nasibnya yang mengenaskan. Dia melihat orang yang disukainya sedang membonceng lelaki lain dengan mesra.

Arif masih tidak habis pikir. Seorang Annisa yang notabenenya gadis yang sangat taat kepada agama justru melakukan hal yang seharusnya dilarang. Apakah dia yang salah menilai Annisa?

“Arggghhh…!!!” pekik Arif frustasi.

Ia mengacak rambutnya hingga peci yang digunakan jatuh ke lantai satu, sial kedua kali ini.

“I see you, alias ASU…!!!” umpat Arif.

•••​

Dua orang sejoli itu sedang berada di taman pusat kota. Mereka sedang menyantap es krim yang sebelumnya mereka beli di mini market.

Kebiasaan Annisa kalau sedang makan es krim, dia selalu menyisakan kerupuk yang berfungsi sebagai wadah es itu tanpa mau memakannya.

“Kok gak dimakan sekalian?”

“Gak suka.”

“Mubasir loh, tuhan gak suka orang yang suka membuang-buang makanan,” ujar Randy mencoba sok berceramah di depan Annisa.

Annisa mendelik tajam. Bisa-bisanya orang yang sama sekali gak punya ilmu agama menceramahinya tentang sesuatu yang menyangkut agama. Meskipun apa yang dikatakan oleh Randy itu ada benarnya.

“Nih.”

Randy menyodorkan es krim yang belum sempat ia makan kepada Annisa. Annisa mengernyitkan dahinya tidak paham.

“Tukeran,” tawar Randy.

Sejenak Annisa berpikir, namun karena dia sangat menyukai rasa es krim itu akhirnya dia pun menyetujuinya.

Mereka bertukar es krim. Annisa memakan es krim yang masih utuh sedangkan Randy memakan kerupuk sisa dari es krim Annisa yang tidak dimakan.

Annisa masih terus menatap wajah Randy dari samping. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke samping menampilkan senyum manisnya.

Dia merasa perlakuan Randy kepadanya sangat gentle. Hal itu membuat dirinya semakin nyaman berada di dekat Randy.

Randy menoleh ke arah Annisa. Karena melamun saat sedang makan es krim membuat bibir Annisa menjadi belepotan.

Dengan berinisiatif tangan Randy terulur untuk menghapus sisa es krim yang ada di bibir Annisa.

Mendapatkan perlakuan itu secara tiba-tiba sontak jantung Annisa menjadi berdetak lebih kencang tak menentu.

Annisa mematung tak bergerak kala wajah Randy begitu dekat sedang mengamati bibirnya yang terbuka.

Wajahnya memerah layaknya kepiting rebus. Randy tersenyum penuh arti yang membuat Annisa menjadi salah tingkah.

“Makan es krim aja sampe belepotan kaya anak kecil,” ejek Randy sambil terkekeh.

Annisa dengan cepat membuang mukanya, selain karena malu dirinya juga kesal telah beberapa kali digoda oleh Randy.

“Mau cerita apa tadi?”

Randy mencoba mengalihkan pembicaraan agar Annisa tidak terlanjur ilfeel. Annisa kemudian kembali menoleh namun belum berbicara.

“Udah bilang sama bunda?”

Annisa mengangguk pelan.

“Terus?”

Ekspresinya langsung berubah, ingatannya terlempar ke kejadian semalam di rumah Adibah.

Flashback

“Bunda,” panggil Annisa lirih.

“Ada apa Annisa?”

Adibah yang baru selesai mengaji kemudian menutup kitab sucinya lalu perhatiannya fokus kepada Annisa.

“Ada yang mau Annisa ceritain bunda.”

Annisa duduk di pinggir ranjang milik Adibah dengan raut wajah gelisah. Hal itu dapat ditangkap oleh bundanya.

“Mau cerita apa Annisa? kok kayaknya cemas gitu?”

Adibah menyusul Annisa duduk di sebelahnya. Tiba-tiba mata Annisa menjadi berkaca-kaca hendak menangis. Adibah sudah menduga ada yang tidak beres. Dia lalu mengelus punggung anaknya agar lebih tenang.

“Bunda maafin Nisa bunda!”

Adibah mengernyit tidak paham dengan maksud Annisa.

“Minta maaf untuk apa Annisa? Bunda merasa kamu tidak melakukan kesalahan apapun.”

Annisa menggelengkan kepalanya. Dia sudah terlanjur menangis, dirinya tidak siap untuk melihat bundanya kecewa. Tapi cepat atau lambat dia tetap harus menceritakan tentang kondisinya. Lebih cepat lebih baik.

“Bunda maafin Annisa, hiks…”

Adibah menghela nafas panjang. Dia merangkul kedua bahu Annisa.

“Coba ceritakan pelan-pelan, kalo kamu cuma minta maaf bunda jadi bingung,” balas Adibah penuh perhatian.

“Bunda, Annisa udah ngelakuin dosa besar.”

Adibah terperanjat kaget. Dia punya perasaan buruk terhadap hal itu. Pikirannya sudah kemana-mana, tapi dia memilih untuk mendengarkan kelanjutan cerita anaknya itu.

“Maaf bunda, hiksss…”

Lagi-lagi kata maaf keluar dari mulut Annisa.

“Dosa apa yang sudah kamu lakukan Annisa? Bunda harap bukan seperti yang bunda pikirkan.”

Dia tahu kalau masalah ini ada hubungannya dengan pigura yang pecah pada malam kemarin yang membuat pikirannya tidak tenang sepanjang malam.

Annisa merasa berat untuk mengungkapkannya. Dengan menghembuskan nafas dalam kata itu akhirnya terucap juga.

“Nisa udah berbuat zina, Nisa udah ngelakuin itu dengan seorang lelaki bunda, hiksss…” tangis Annisa sembari memeluk tubuh Adibah.

Bagaikan tersambar petir tubuh Adibah menjadi kaku. Jantungnya nyaris berhenti kala itu. Kalau saja dia punya riwayat penyakit jantung, mungkin sekarang dia sudah menyusul suaminya di surga.

“Apa benar yang kamu katakan itu Annisa? Ta…tapi kenapa? Kenapa kamu melakukan hal itu?”

Adibah mulai menitikkan air mata. Sungguh dia benar-benar kecewa terhadap anaknya yang paling dia sayangi.

“Maaf bunda, maaf.”

Adibah menggelengkan kepalanya pelan.

“Kenapa Annisa? Kenapa? Dulu kakak kamu yang melakukannya, sekarang giliran kamu! Apa gak cukup kakak mu buat bunda merasa gagal jadi seorang ibu, sekarang tinggal kamu yang mempertegas bunda kalau bunda memang tidak pantas jadi ibu kamu, hiksss…”

Adibah menangis. Hatinya hancur berkeping-keping. Rasanya dunia ini benar-benar telah menghancurkan dirinya dengan kenyataan yang sangat menyakitkan ini.

“Maaf bunda, Annisa minta maaf, maaf, maaf…”

Annisa berlutut mencium kaki ibunya. Tidak ada respon sama sekali. Bahkan Annisa berharap kalau ibunya itu menendang dirinya sekalian untuk menebus kesalahan yang telah dia lakukan.

“Terima kasih, terima kasih karena kamu udah sukses buat bunda gagal jadi seorang ibu, dan maaf karena kamu telah lahir dari rahim seorang ibu seperti bunda, kamu pantas dapat ibu yang jauh lebih baik,” sarkas Adibah yang membuat hati Annisa seperti dihujani beribu-ribu panah.

Annisa menggeleng keras. Bundanya adalah ibu terbaik di dunia, dia merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari hidup Adibah. Ini memang kesalahan yang harus dibayar mahal.

Annisa siap untuk menerima apapun hukuman dari bundanya, selain terus mendengarkan bundanya menyalahkan dirinya sendiri karena kesalahan yang Annisa lakukan.

“Sekarang apa yang mau kamu lakukan?” tanya Adibah di tengah Isak tangisnya.

Annisa masih berlutut, wajahnya sedikit menengadah ke atas dengan getir menatap wajah orang yang sudah ia kecewakan.

“Nisa mau nikah sama dia bunda, dia udah janji sama Annisa mau bertanggung jawab,” jawab Annisa dengan nada lirih.

“Memangnya dengan menikah semua langsung beres?! Dosa yang sudah kamu lakukan tidak akan dihapus hanya dengan menikah!”

Annisa kembali menunduk, dia tidak tahu harus berkata apalagi kepada Adibah. Dia sudah pasrah apapun keputusan ibunya itu.

Adibah lalu berdiri dari duduknya.

“Bawa dia ke sini, bunda mau ketemu sama dia!” ucap Adibah lalu pergi berlalu meninggalkan Annisa.

Flashback end

Bersambung

500 foto chika bandung pakai baju sexy keliatan memek nya
sma sange minta di entot
Menikmati Keperkasaan Penis Guru Ganteng
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri
Tante sis, aku ketagihan memek kamu
500 foto chika bandung bugil di luar kamar hotel jembut lebat
gurukubtante girang
Melayani Nafsu Seorang Guru Yang Masih Perawan
di pijat sex
Ngocok penis gede adik sepupu ku yang terangsang setelah memijit tubuhku
Bercinta Dengan Anak Pak RT
toge perawan
Hadiah Cinta Dari Melly
Foto cewek cantik telanjang masih perawan suka berkaca mata
Mantan pacar yang sekarang jadi istriku
dosen sexy
Cerita dewasa pemerkosaan ibu dosen yang cantik
smp bugil
Menikmati Tubuh Andini, Cewek Cantik Imut Primadona Sekolah
Foto bugil janda muda ngangkang pamer memek
Cantik montok Masturbasi
Emang Paling Nikmat Masturbasi Sambil Mandi
cerita sex istri selingkuh
Istriku ngentot dengan lelaki lain di depan mataku karena ingin balas dendam