Part #26 : KUKATAKAN DENGAN INDAH

Jika kamu tidak bisa terbang, berlarilah.
Jika tidak bisa berlari, berjalanlah.
Jika tidak bisa berjalan, merangkaklah.
Apapun yang kamu lakukan, teruslah bergerak maju.
– Martin Luther King, Jr.

Nanto menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.

“Kita mulai sekarang. Seperti yang kamu ketahui, gerbang yang pertama akan membuka kewaspadaan. Tidak hanya waspada terhadap lingkungan di sekitar kita, tapi juga terhadap kemampuan diri kita sendiri. Rasa-rasanya Kakek pasti sudah pernah mengajarkan itu ke kamu. Ya kan, Le? Karena ini dasar yang harus kamu kuasai.”

“Sudah, Om.” Jawab Nanto. “Kakek sudah mengajarkan sampai gerbang yang ke sekian, kok.”

Tak. Tak. Tak. Tak. Tak.

Tangan Om Darno yang perkasa bertemu pancang kayu yang kokoh.

Mbois. Om hanya akan sekedar mengulang saja kalau begitu.” Om Darno memukul wooden dummy di hadapannya dengan rantai serangan yang merata di semua cabang kayu. Tangannya bergerak lincah dan cepat, menjemput setiap sisi, baik dengan menggunakan punggung tangan, punggung lengan, ataupun siku. Gerakannya cepat, namun tegas. Menghentak dan menyentak. Fokus dan penuh disiplin.

“Oke, gerbang pertama: kewaspadaan. Simbah-simbah kita dulu sudah mengerti akan pentingnya kewaspadaan, itu sebabnya kita selalu diwanti-wanti setiap saat untuk mengingat ajaran eling lan waspodo, ajakan untuk selalu sadar dan waspada. Baik secara internal maupun eksternal, baik secara lahir maupun batin, baik secara vertikal maupun horizontal – eling terhadap eksistensi sebagai manusia, terhadap diri sendiri, lingkungan, juga supaya selalu ingat dan kembali pada Yang Maha Tunggal. Eling lan waspodo adalah kunci pembuka.

“Demi menguasai gerbang pertama, kesadaran dan kewaspadaan akan menjadi dua hal penting yang akan diterapkan ke dalam empat dasar utama penjagaan diri. Kenali dirimu, kenali musuhmu, kenali kemampuanmu, dan kenali lingkunganmu. Misalnya dalam konsep bela diri: Kenali dirimu – apa yang bisa kamu lakukan dan apa yang tidak. Kenali musuhmu – apa yang bisa mereka lakukan dan apa yang tidak bisa kamu cegah, di mana posisi mereka berada, amankah posisimu sekarang, di mana letak area pertahanan mereka, itu semua harus dipahami. Yang ketiga kenali kemampuanmu – apakah kamu benar-benar menyadari kemampuan yang kamu miliki, apa saja yang sudah kamu pelajari, dan apakah kamu mampu memanfaatkan kemampuan itu untuk membantu membela diri dan mengatasi masalah dan situasi. Lalu yang terakhir kenali lingkungan – tidak saja secara visual, atau secara fisik, tapi juga secara sosial.

“Semua sisi kehidupan di semesta memiliki fungsi dan kinerja yang sudah ditetapkan oleh garis Ilahi. Apa yang terjadi terjadilah menurut kehendak-Nya. Bumi berputar, matahari bersinar, bulan memantulkan cahaya di kala malam – semua sisi semesta bekerja secara rutin menurut garisnya masing-masing. Begitu juga dengan tubuh kita. Bergerak dan bekerja meski tidak diperintahkan langsung oleh otak. Kita tidak bisa memerintahkan perut kita untuk lapar atau kenyang, kita tidak bisa memerintahkan diri kita untuk mengantuk ketika belum saatnya, semua ada cara kerja dan fungsinya masing-masing tanpa perlu diperintah. Simpelnya, semua bagian dari tubuh kita bekerja secara otomatis, bahkan ketika otak kita bekerja lebih lamban untuk memahaminya. Jika giat berlatih, maka kita membuka kewaspadaan dengan meningkatkan pemahaman akan cara kerja dan fungsi tubuh terutama untuk membaca lingkungan sekitar.

“Kewaspadaan itu juga berarti ketelitian, pemahaman situasi dan kondisi, serta pengenalan hingga ke detail. Ibarat kata kemampuan untuk memahami keenam sisi sebuah kubus baik saat kita berada di dalam ataupun di luar kubus tersebut. Sulit dipahami yo? Pasti. Kalau mudah, semua orang bisa membuka gerbang pertama dong. Apa serunya?

“Jika gerbang pertama dibuka dan aktif, seharusnya kamu tidak akan lagi dapat dengan mudah digetok dari belakang seperti kemarin, le. Kewaspadaanmu seharusnya sudah meningkat, tubuhmu menjadi lebih terbiasa untuk peka. Nah, kemampuan ini harus terus menerus dilatih agar kamu benar-benar menguasai dan menyadari potensi bahaya di sekitarmu, meski tanpa membuka mata sekalipun kamu akan dapat menyadari posisi lawan dan kawan. Jika sudah benar-benar mampu dan terbiasa menggunakannya, kamu tidak perlu lagi melihat menggunakan mata. Kamu bisa menggunakan mata batin, mata hati, dan menggunakan rasa jiwa. Tubuh sudah memiliki fungsi dan kinerja yang telah ditetapkan untuk bereaksi ketika ancaman datang, tugasmu adalah memahami dan memanfaatkannya. Sampai di sini paham?”

Nanto mengangguk. “Sebelum ini saya selalu ragu-ragu untuk membuka kemampuan karena apa yang telah terjadi di masa lalu, Om. Saya tidak ingin mengulang…”

Om Darno menghentikan ucapan Nanto sebelum ia tenggelam ke dalam rasa bersalah yang dalam. “Bagus kalau tidak ingin mengulang yang telah lampau, apalagi niat itu ada dan menjadi dorongan utama untuk memperbaiki sikap. Tapi bukan lantas harus menafikan kemampuan dan melenyapkannya, melainkan dengan memanfaatkannya untuk membenahi apa yang salah dan menambal apa yang retak. Karena apa yang sudah kamu miliki tidak akan hilang begitu saja. Apa yang kamu miliki adalah berkah spesial yang tidak dimiliki oleh orang lain, bahkan termasuk Om. Apa yang kamu miliki sejatinya hanya harus dilatih agar bisa digunakan sesuai kebutuhan bukan dimusnahkan, apalagi itu hanya bisa didapatkan turun temurun dan kamu adalah pewaris utamanya.”

Nanto menunduk, “akan saya usahakan, Om. Selama ini saya masih ragu-ragu.”

Om Darno tersenyum sambil mengakhiri latihannya di wooden dummy, ia lantas mengambil seutas kain yang teronggok di atas kursi dan melemparkannya pada si bengal. “Tutup matamu. Sekarang kita mulai berlatih mata batin yang dibutuhkan gerbang pertama.”

Menerima kain itu, Nanto langsung menggunakan dan mengikatnya di belakang kepala untuk menutup mata. Kainnya tebal sehingga ia benar-benar tidak bisa melihat ke depan meski sudah memicingkan mata sekalipun.

Nanto memejamkan mata dan berusaha untuk fokus – meski dia sudah mengenakan penutup mata sebelumnya. Tubuhnya bersiap, beberapa rapalan dibaca oleh si bengal dengan ucapan-ucapan perlahan yang hanya terdengar seperti gumaman.

Satu… dua… tiga…

Sejatine menungso kudu eling lan waspodo.”

Saat itu juga seakan-akan ada selubung energi menyelimuti seluruh tubuh si bengal, sentakan energi yang sama seakan-akan membuatnya berada di dunia yang berbeda dengan kualitas suara dan suasana yang lain. Semua menjadi lebih jernih dan terang – bahkan sebelum ia membuka mata sekalipun!

Nanto memiringkan kepala, fokus pada pendengarannya. Gesekan dan gerakan-gerakan kecil di sekelilingnya seakan-akan terbaca melalui rentetan suara asing yang perlahan-lahan mewujud. Ini di sana dan itu di situ. Ia mengingat posisi tiap barang di tiap sudut, tanpa pernah ia sadari posisi barang-barang itu sebelumnya saat matanya masih terbuka. Terbaca walau mata tak terbuka, tersirat walau wujud tak terlihat.

Gerakan kaki Om Darno menggeser kaki terdengar jelas. “Kita mulai, le.”

Swwssshhhh!

Gerakan pertama Om Darno untuk menyerangnya adalah gerakan yang pelan namun pasti, Nanto langsung paham kalau yang seperti ini sudah pasti tidak mematikan, mungkin si Om hanya mencoba saja sebagai pembuka. Nanto menggeser posisi kepala tanpa memindahkan tubuh. Pukulan Om Darno hanya mengenai ruang kosong yang tadinya merupakan posisi kepala si bengal.

Om Darno menarik pukulannya.

Nanto tertawa. “Ayolah serius, Om.”

Om Darno terkekeh, “nggaya nemenWokeh!

Dengan satu sergapan tanpa aba-aba, Om Darno memutar badan dan melecutkan kakinya mengincar kepala Nanto. Angin yang berhembus dari arah tendangan mudah dibaca si bengal yang fokusnya terpusat. Dengan hanya menggerakkan kepala sedikit ke belakang, si bengal berhasil menghindari tendangan dari Om Darno dengan jarak hanya beberapa sentimeter.

Gagalnya tendangan itu bukan berarti serangan kemudian berakhir. Hanya beberapa detik usai selesai memutar tendangan, Om Darno langsung mendaratkan kaki dan meledakkan rentetan pukulan mirip seperti yang tadi ia lakukan pada wooden dummy. Gerakan tangan cepat dengan kepalan yang silih berganti dari tangan kanan dan kiri mengincar posisi ruas tengah badan Nanto.

Tengah, kanan, kiri, tengah, tengah, tengah, kanan, kiri, tengah, tengah!

Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!

Semua serangan Om Darno berhasil dimentahkan oleh Nanto dengan hempasan telapak tangan yang tahu kemana arah serangan bahkan sebelum diluncurkan. Kelincahan kaki juga menjadi kunci, karena Nanto harus bergeser dan terus bergerak. Om Darno jelas bukan lawan sparring yang remeh temeh, tapi Nanto seakan-akan tahu apa yang harus ia lakukan. Setiap lepasan serangan bisa dihindarkan dengan jarak hanya seruas jari atau ditepis dengan lincah seakan menyibak daun.

Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!

Lagi! Rantai serangan berhasil dipatahkan dengan hentakan tangan yang mengalihkan pukulan, tapi rasa-rasanya ini hanya permulaan saja karena Om Darno mampu lebih ganas daripada ini. Benar saja, serangan itu makin lama makin cepat dan meningkat intensitasnya!

Kiri. Kanan. Bawah. Atas. Kiri. Kanan. bawah. Atas.

Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!

Bawah. Atas. Kiri. Kanan. Kanan. Kanan. Atas. Bawah!!

Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!

Nanto tersenyum, memang cepat sekali serangan dari Om Darno – bagaikan badai angin yang gencar menyergap tanpa terlihat, tapi dia selalu berhasil mengelak atau menangkisnya. Seperti ada tangan yang membimbing dan mendorong ke sisi mana si bengal harus bergerak atau menggerakkan tangan. Ada getaran yang terasa dari luar tubuhnya yang menjadi sinyal untuk mengantisipasi gerakan. Memang beda rasanya kalau menggunakan ki.

Sergapan Om Darno kemudian melambat sejenak. Seperti ada perubahan irama. Apakah si Om kehilangan momentum? Kiri. Kanan. Kiri. Atas. Bawah. Kanan. Sekali lagi, semua rentetan serangan berhasil dihindari Nanto – tapi kenapa serangan itu mendadak menjadi pelan?

Lantas… tiba-tiba saja, si bengal merasakan semilir angin mendesak dari sudut atas kanan. Hentakan jantungnya meningkat lebih cepat, sensor tanda bahayanya bagaikan menyala laksana sirene. Yang ini beda!!

Swwwssshhh! Bgkkkkkkhhhh!

Nanto menyilangkan kedua tangannya di depan wajah dan sentakan dari sebuah tendangan masuk dengan deras ke arah yang baru saja ia lindungi! Untung saja dia sempat menyilangkan tangan!! Kencangnya tendangan membuat Nanto hampir jatuh ke belakang, tapi dia masih bisa bertahan dengan kaki kokoh berpijak setelah terdesak mundur hampir satu meter gara-gara kekuatan tendangan yang teramat kencang.

Gila. Ini sih serius serangannya!!

Huff, yang barusan lumayan.” Komentar Nanto sambil tetap menyilangkan tangan untuk bersiap kalau-kalau ada serangan susulan. Rasanya ada yang berbeda dari tendangan terakhir barusan, seperti ada peningkatan kekuatan meski serangan melambat. “Kenceng juga tendangannya, Om.”

Om Darno tertawa.

“Bukan Om kamu yang barusan.” Terdengar suara Tante Susan sambil menahan gelak tawa.

“Yaelaaaah, Tante juga sudah ikutan toh. Pantesan beda.” Si bengal membuka penutup matanya.

“Hahaha, iseng-iseng Tante, le. Lumayan lah kamu sudah bisa membaca serangan.” Ucap Tante sambil mengangkat jari membentuk tanda oke dengan jempol dan telunjuknya. “Tante ke sini benernya cuma mau ngingetin kamu, kalau siang ini ada janji. Jangan lupa jam sepuluh nanti kamu bakal dijemput Hanna buat wawancara kerja. Kalian sudah janjian kan kemarin?”

“Iya tante. Setelah latihan pagi ini selesai, aku mandi dan siap-siap.”

Tante Susan mengangguk dan tersenyum. “Sudah lumayan kok, sudah bisa mendeteksi serangan, tapi ternyata belum bisa mendeteksi jumlah penyerang. Latihan lagi ya, le. Hehehe.”

“Siap tante. Masih payah memang.”

Tante Susan tersenyum dan masuk kembali ke rumah utama, meninggalkan Om Darno dan Nanto berdua di garasi untuk melanjutkan latihan mereka. Om Darno manggut-manggut sambil menepuk pundak sang keponakan.

“Hehehe, bagus. Pada dasarnya memang kamu sudah bisa membuka gerbang pertama, hanya saja tidak pernah berlatih dan malas meningkatkan kemampuan. Berlatih terus supaya kamu benar-benar menguasai gerbang pertama ini, le. Kamu tentu tahu, setiap gerbang tidak memiliki atap, batasnya setinggi langit – kuasai sampai kamu merasa lebih dari cukup. Awalnya boleh pakai kain untuk menutup mata, tapi lama-lama harus dibuka supaya pertahanan kamu efektif.” Ujar Om Darno.

Nanto setuju. Pemuda itu duduk bersila sambil berusaha untuk fokus.

Om Darno melanjutkan kalimatnya, “satu hal lagi yang harus kamu ingat, le. berlatih ilmu kanuragan ini tujuannya adalah untuk membina cipta, rasa, dan karsa diri. Jika sudah merasa mahir bisa digunakan untuk membela diri atau untuk membela yang lemah dan membutuhkan, bukan digunakan untuk mengintimidasi secara sengaja apalagi melakukan kekerasan paksa. Ingat itu baik-baik. Jika kamu gunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan norma – maka akan ada pemberontakan dalam tubuhmu dan itu bukan hal main-main yang bisa kamu abaikan. Apa artinya? Artinya seorang pelaku jalan sesat akan dengan mudah kehilangan arah, kehilangan tujuan, kehilangan penguasaan diri, dan pada akhirnya kehilangan jiwa. Memuja hal-hal yang salah, namun tidak ingin diluruskan. Mempercayai secara penuh alur kebohongan, serta menganggap bahwa arah yang dituju adalah yang terbaik dan paling benar – padahal itu mengabaikan rasa eling lan waspodo.”

Nanto mengangguk.

Om Darno duduk bersila di depan Nanto. Matanya terpejam seperti halnya si bengal, lalu keduanya membuat gerakan tangan di depan dada hampir berbarengan. Om Darno membuka matanya, demikian juga Nanto. Keduanya bertatapan.

“Sekarang kita buka potensi gerbang kedua, gerbang kecepatan.”

Tiara Maharani

Sebuah kamar hotel melati yang terletak di jalan menuju Kalipenyu sepertinya akan menjadi saksi siang itu saat sepasang anak muda bergumul melepas rindu, saling menuntaskan hasrat yang sudah beberapa saat tak dilepaskan, saat cinta dan nafsu bersahutan, saling memanggil dalam deru napas yang memburu. Kamar itu tak bersalah, tak ingin juga diberi ampun, karena penggunanya yang membuat ruang kecil yang terpencil itu menjadi arena gairah.

 

Deru napas memacu di dalam ruang,
seiring hasrat manusia.
Gelap melanda jiwa dan mereka terlena,
oh begitu cepat… dosa itu terbuat.

Huff, nyalain AC ya? Gerah beud, sayang.” Ara meronta lembut dari pelukannya pada Deka, gadis itu lantas mencari remote AC dan segera menyalakannya. Ia juga melepas cardigan rajut yang sebelumnya ia kenakan, menampilkan sosok tubuh indahnya yang lekuk-lekuknya terpampang jelas karena ia mengenakan kaus yang super ketat.

Deka berdecak kagum menatap keindahan di depan matanya. Sungguh ia beruntung mendapatkan kekasih yang seindah Ara.

“Apa senyum-senyum?” Ara yang memanjat kembali ke ranjang sambil mencibir.

“Kamu.”

“Kenapa aku?”

“Cantik banget.”

Heleh.” Ara menjulurkan lidahnya. “Bilang aja pengen, Mas.”

“Emang.”

Haish.”

“Peluuuuuuk.” Deka mencoba manja sambil menarik tangan Ara supaya lebih mendekat. “Ga kangen apa?”

“Salah sendiri ninggal ke kota sebelah ga ajak-ajak. Mesti di sana ketemu sama cewek-cewek ya?”

“Apaan sih, Ara?” Deka tersenyum melihat kekasihnya merajuk – padahal ya emang beneran iya dia ketemu cewek lain. Dia kan ketemu Dinda. Dasar ikan teri sachetan.

Deka memeluk Ara dari belakang, mengendus wanginya sang kekasih dari belakang. “Aku kangen banget.” Bisik Deka.

“He’em.” Ara mengiyakan. Kepalanya berputar ke belakang, gadis itu memejamkan mata dan membuka bibir mungilnya yang merekah penuh gairah.

Deka membuka mulut dan menangkup bibir Ara dengan penuh rasa sayang, menciumnya tanpa henti, seakan tak ingin dilepaskan. Demi apa dia lepaskan ciuman yang sangat sedap ini!? Walau saat itu wabah zombie haus menyan menyerang sekalipun, Deka tak akan melepaskan ciumannya.

Ah… enaknya.

Bibir berpagutan, tangan saling menggerayang, desah napas mulai tak beraturan.

Deka menarik bibirnya, cairan ludah keduanya membentuk jembatan di antara kedua bibir yang baru saja saling berpagut. Deka tak rela lepas dari bibir Ara, ia pun mengulanginya lagi, dan Ara menerima dengan penuh cinta Ciuman pertama adalah ciuman pelepas rindu: ringan, manis, dan membuat candu. Ciuman yang kedua membuat Ara membalikkan badan dan memeluk Deka erat karena nafsu birahi mulai terlibat.

Sambil terus mencium sang kekasih, Deka memposisikan dirinya berada di atas sambil mendorong Ara untuk berbaring, ia pun menaungi tubuh Ara, sehingga badannya seakan menindih gadis itu. Dengan kaki jenjangnya terbuka lebar, Ara menyambut kehadiran kemaluan Deka yang masih sembunyi di balik celana. Batang penis Deka masih malu-malu menggembul karena mungkin tahu ia sudah sangat dekat dengan liang cinta sang kekasih. Deka mulai menggesekkan kemaluannya ke selangkangan Ara yang juga masih mengenakan celana jeans, sementara tangannya aktif memainkan buah dada sang kekasih yang meski berbungkus pakaian, masih cukup membuat nafsunya memuncak menuju kenikmatan paripurna.

“Hmmmmhhh…” lenguhan panjang mulai terdengar dari bibir Ara yang tak lagi kuat menahan diri. Ia sudah sangat rindu!

Secepat kilat Deka meloloskan celananya sendiri termasuk celana dalam yang ia kenakan sehingga batang kemaluannya yang sudah memancang terpampang bak Tugu Selamat Datang di depan mata Ara. Gadis itu pun memegang penis Deka tanpa malu-malu. Dirabanya mulai dari ujung gundul turun ke bawah hingga kantong kemaluan, tiap sudut dielus, dibelai, disayang, hingga makin lama makin membesar, makin besar, makin panjang.

Deka membuka baju Ara, melepas kait beha, dan melemparkan penutup dada itu ke samping pembaringan. Bibir sang pemuda sudah tak sabar, ia meraup puting susu Ara bagaikan buah-buahan segar yang sudah sejak lama ia rindukan. Ia meremas, mencium, mengecup, menggigit, menjilat, menelusuri, membuat tubuh Ara menggelinjang tak tertahan, antara geli dan nafsu yang bercampur dalam satu kesatuan membara.

Ah rasanya luar biasa.

Ara mendorong tubuh Deka ke pembaringan, sementara ia melepaskan celana yang ia kenakan, begitu juga dengan celana dalam mungil warna pink yang ia kenakan. Kedua sosok anak manusia itu kini benar-benar sudah telanjang bulat, namun pandangan mereka tidak terpusat pada alat vital masing-masing. Mereka justru saling memandang, saling menikmati cinta yang diberikan oleh pasangan.

Ara mendaki ke atas tubuh Deka, menaikinya.

“Kamu mau?” bisik Ara dengan suara parau.

“Banget.”

“Sayang nggak?”

“Banget.”

“Selamanya?”

Deka tersenyum. “Ingin kukatakan dengan indah… selamanya.”

Ara mengambil langkah berani, ia menempelkan bibir kewanitaannya yang kini mulai basah ke ujung gundul kemaluan Deka yang sudah berdiri tegap bagaikan pancang yang enggan goyah. Gadis itu menggesek-gesekkan bibir liang cintanya dan melenguh keenakan.

“Emmhhh… Mas Deka…”

“Enaaak…” batin Deka juga sudah mulai masuk ke ruang kenikmatan terdalam. Tangannya bergerak untuk meremas-remas dada Ara, sementara gadis itu mengocok batang kejantanan sang kekasih dan mulai mengarahkannya ke lubang kewanitaannya.

Ara menekan tubuhnya ke bawah, melesakkan ujung gundul kemaluan Deka ke liang cintanya.

“Hngghhh…” ada sediki sakit yang menyengat, tapi jauh lebih besar rasa nikmat laknat yang berdaulat. Ara menggesekkan kemaluannya di ruang luar sekitar ujung gundul milik Deka dan melanjutkan niatnya untuk melesakkan batang kejantanan sang kekasih ke lubang vagina miliknya.

“Aaaaahhh… aaaahhh… eeehhmmm…”

Desah manja Ara membuat Deka kian bernafsu, ia pun memainkan puting susu sang kekasih yang bergerak menggila di depan matanya saat tubuh Ara mulai naik turun dan mengendarai kemaluannya dengan gelegak nafsu yang membara. Melihat wajah sang kekasih yang sepertinya sudah dilanda nafsu dari ujung kaki sampai ubun-ubun, Deka pun memutar badan Ara, membaringkannya dengan lembut. Kedua tubuh yang sudah mulai banjir keringat itu kembali bergumul, Deka menindih sang kekasih dan mulai giat menggoyang penisnya di dalam liang cinta Ara sembari mencium dan menggigit buah dadanya.

Ah, Ara memang luar biasa.

Deka melesakkan ujung gundul kemaluannya ke dalam liang cinta sang kekasih yang telah basah dan berdenyut, ia maju mundur, maju mundur, maju mundur. Ara memejamkan mata, menikmati tiap sodokan yang dikirimkan dari selangkangan untuk berpendar ke seluruh tubuhnya. Enak sekali rasanya, makin lama makin dalam, makin lama makin cepat. Keduanya sudah tak ingat lagi berapa lama bergumul, saling cium, saling desak, saling tuntut, saling menginginkan, saling mendamba, memuncak, lagi, terus, desak, mau terus, mau lagi, tambah lagi, makin cepat, makin keras, makin dalam.

Ah, Mas Deka… terus, MasTeruuuusss!

Pelukan keduanya makin erat seiring desah napas yang menggerus, potongan-potongan erangan membentuk melody erotis sementara pinggul Ara bergoyang memutar untuk memberikan kenikmatan adiktif pada tiap tusukan batang kejantanan Deka. Menit demi menit berlalu sedemikian cepatnya, waktu sudah tak lagi menjadi alasan. Menit bergerak cepat, waktu tak lagi menjadi masalah. Entah sudah berapa lama keduanya bercinta hingga akhirnya…

“Hnggghhhhhhh!”

Deka mengerang panjang, pelukannya erat ke tubuh Ara. Membuat gadis itu semakin merem melek karena gerakan Deka pun makin lama makin kencang namun tak beraturan, kadang cepat kadang melambat, tapi sodokannya selalu diusahakan makin dalam setiap saat.

“A-aku mau keluarrrgghhh…” Deka mengerang.

“Di… di luar… Mas… di luarrr…”

Deka pun menarik batang kejantanannya dengan buru-buru tapi tidak sampai membuat Ara terkejut. Ketika ujung gundul kemaluan Deka terlepas, Ara mendesah kencang. Gadis itu tidak berhenti sampai di situ saja, ia kemudian mencengkeram batang kemaluan Deka dan membantu sang kekasih dengan menggerakkan tangannya naik turun. Deka makin merem melek sampai akhirnya cairan cintanya terlontar, terlepas tumpah ruah di perut dan dada sang kekasih.

“Aaaaahhh…” Deka ambruk lemas di pembaringan.

Ara tersenyum, ia melepaskan batang kemaluan Deka, lalu mengambil tissue dan mulai membersihkan ceceran cairan cinta yang ada di bagian-bagian tubuhnya.

“Enak nggak?” bisik Deka perlahan.

“He’em.”

“Pengennya keluarin di dalem.”

“Hush.” Ara pun menggertak pelan sementara sang kekasih tertawa geli. “Perjalanan masih panjang, pasti ada saatnya nanti boleh dilepas di dalem. Tapi bukan sekarang, aku lagi subur.”

Deka mengangguk sambil mengecup bibir Ara. Gadis itu kemudian memandang Deka dengan sangat dalam, lalu membalas ciumannya. Mereka berdua berpelukan dalam ketelanjangan, saling menikmati kehangatan tubuh masing-masing, dan tenggelam dalam sepi untuk terlelap sesaat. Sama-sama letih setelah memacu diri menuai nikmat.

Sayang hanya sesaat.

Ponsel Deka berdering, menandakan ada pesan singkat yang masuk. Dengan malas pemuda itu mencoba menggapai ke atas meja, mencari-cari ponselnya. Ketika menemukannya ia membuka layar dan melongok ke aplikasi pesan singkat.

Dinda!?

Deka bangkit dan melepaskan pelukannya dari Ara, ia duduk di tepian ranjang. Tumben Dinda kirim WhatsApp. Ada apa ya?

Mas Deka… Mas Amar kemarin datang, dia bilang dia mau melamarku. Kalau aku setuju dia mau langsung sowan ke bapak ibu. Dinda bingung, Mas. Apa yang menurut Mas Deka harus aku lakukan?

Samber geledek!

Deka menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar. Amar? Amar sang kakak hendak melamar Dinda? Ketemu pirang perkoro kok bisa-bisanya Amar mau melamar Dinda? Napas Deka terpacu karena kagetnya, sekali lagi ia mencoba memahami kata demi kata yang tersusun dalam kalimat yang dikirimkan oleh Dinda dan menggebuk meja di samping pembaringan dengan geram. Oke mungkin dia bukanlah siapa-siapanya Dinda, tapi itu bukan lantas Amar bisa seenaknya… maksudnya… jadi selama ini… ah bagaimana ini?

“Ada apa, Mas? Kenapa kok ngamuk tiba-tiba…?”

Ara membuka mata karena kaget mendengar Deka menggebuk meja. Pemuda itupun buru-buru mematikan layar ponsel dan meletakkannya di meja.

“Tidak ada apa-apa, kok. Bobo lagi aja, sayang. Cuma sekedar masalah keluarga sama Amar. Orang itu bisanya bikin kesel aja.”

“Mmhh…” dengan manja Ara meringkuk dalam pelukan Deka, melanjutkan lelapnya.

Tapi saat Ara memejamkan mata dalam kenyamanannya, Deka justru tak bisa menutup mata. Pikirannya berputar-putar bagai gangsing yang tak kunjung berhenti. Amar menyukai Dinda! Amar menginginkan Dinda! Sejak kapan? Apa yang terjadi sampai-sampai Amar menyukai Dinda? Kenapa juga harus Dinda?

Deka menggemeretakkan giginya. Sialan si Amar! Kenapa harus Dinda?

Mungkin Deka lupa, bahwa saat ini dia sedang bersama kekasihnya, bersama orang yang sudah ia miliki baik tubuh maupun hatinya, mungkin Deka lupa ia baru saja mengucap janji akan sayang selamanya.

Mungkin Deka lupa.

Hanna Dwi Bestari

Asty tersenyum-senyum sendiri di ruang BK yang sepi.

 

Tenang saudara-saudara. Guru cantik yang juga mamah muda itu belum kehilangan kewarasannya. Dia hanya sedang menikmati pesan singkat yang tiba-tiba masuk di siang bolong untuk membuat perasaannya lebih tenang dan plong, nah begini dong.

Aku tidak lupa kok.”

Asty men-scroll pesan singkat di ponselnya.

“Aku juga kangen, maaf baru bales. Sedang sangat sibuk dengan banyak kegiatan mendadak. Apalagi siang ini mau melamar kerja juga. Doain biar semuanya lancar ya.”

Pesan singkat dari Nanto itu membuat Asty tersenyum.

Dasar sosis sonais. Si bengal sudah bikin Asty khawatir saja beberapa hari belakangan ini. Ga mikir apa ya dia kalau sampai si bengal kenapa-kenapa Asty bakalan stress kuadrat. Apa ga nyadar kalau di belahan dunia lain ada orang yang juga sedang mengkhawatirkan dan mempertanyakan kabarnya. Dasar anak bandel.

“Ya sudah kalau gitu. Aku kerja dulu. Jangan capek-capek ya, besok sabtu aku ajak pergi liburan. Aku kangen berat.” Balas Asty sambil mengetik dengan wajah memerah. Apalagi ketika dia menambahkan dua kata lagi di belakang pesan singkatnya. “Love you.”

Aih. Kayak abegeh.

Asty kemudian meletakkan ponselnya di samping tumpukan kertas yang menggunung. Mungkin si bengal akan langsung membalasnya, mungkin juga tidak. Tapi itu nanti saja, karena saat ini ada banyak pekerjaan yang menantinya.

Hari ini memang Asty tenggelam dalam surat-surat dan berkas anak-anak bandel yang seakan tiada akhir. Makin aneh-aneh saja anak-anak ini melakukan keisengannya. Apa ya mereka ini tidak ada pekerjaan lain selain membuat onar dan rusuh? Apa mereka tidak pengen gitu hidup tenang dan biasa-biasa saja sembari menikmati masa muda?

Asty tertawa sendiri, tentu saja tidak.

Anak muda – anak remaja, memiliki kodrat untuk melakukan proses pencarian jati diri di usia mereka, kalau orang bilang ini adalah masa-masanya mereka memberontak meski sebenarnya tanpa alasan yang jelas. Hal itu tidak bisa dibantah dan dipisahkan dari laku hidup mereka. Selamat dari proses pemberontakan yang tidak jelas apa maunya ini dan mereka akan tumbuh dewasa dengan jati diri yang makin lama makin terbentuk. Apabila tidak selamat dari proses ini? Maka mereka akan mengalaminya di usia yang lebih dewasa dengan perjuangan untuk terus menemukan arti keberadaan diri mereka di dunia.

Tok tok.

Pintu ruang BK diketuk. Siapa nih? Kalau ojol nganterin makanan gratis boleh masuk, kalau Pak Man silahkan lanjut ke WC saja. Hihihi.

“Ya, masuk.” Ucap Asty agak kencang supaya orang di luar bisa mendengarkan.

Bukan ojol, bukan pula Pak Man yang masuk ke dalam ruangan ibu guru jelita itu. Melainkan si guru baru yang ganteng – Si Rey-Rey Reynaldi. Asty menarik napas panjang, sebelas dua belas nih sama Pak Man. Bedanya cuma yang ini masih enak dilihat, yang ono udah kayak rujak serut diblender dimasukin ke sayur asem.

“Siang, Bu.”

“Siang, Pak.”

“Pak Man bilang selama saya kebingungan di sini, saya bisa bertanya pada Bu Asty.”

“Oh begitu.” Males bangeeeeeet. Ada-ada si Pak Man! Huh! Ya udah deh… terpaksa menghadapi orang satu ini. “Ada yang bisa saya bantu?”

Rey menarik kursi di depan meja Asty tanpa permisi dan duduk dengan senyum mengembang, seakan-akan dengan memamerkan deretan gigi sempurna yang sangat boyband material Asty akan termehek-mehek. “Saya masih mencoba menghapalkan nama guru, ruang kelas, dan nama siswa di sini, Bu. Termasuk ruang demi ruang, jadi sekali-sekali ingin melihat ruang BK. Apalagi ada Bu Asty didalamnya, ruang ini jadi terlihat lebih indah dari seharusnya.”

Asty mencoba cuek. “Mana ada ruang BK indah, Pak.”

“Ada. Ruang BK yang ada Bu Asty-nya.”

Hedeh. Modus ala kutukupret.

Entah kenapa ia ada perasaan tak nyaman jika berada di dekat pria ini. Seakan-akan ada aura gelap yang menaungi Rey sehingga bahkan untuk bertatapan mata pun Asty merasa enggan. Itu sebabnya kemarin dia mencoba menghindar setelah bertemu pertama kali di kantin sekolah. Entah bagaimana ia bisa merasakan nuansa gelap dari Rey untuk pertama kalinya – ada sesuatu yang tidak beres entah apa itu dan ia merasa harus menghindar secepatnya.

“Apakah Bu Asty keberatan jika saya bertanya-tanya?”

Asty mendesah dengan jengah. Mau bilang keberatan tapi kok tidak sopan, “tanya apa, Pak? Mungkin bisa saya jawab sembari memeriksa berkas-berkas ini.”

“Bagaimana bisa wanita secantik Bu Asty terdampar di sekolah seperti ini?” Rey mengucapkannya sambil tanpa aba-aba memberanikan diri untuk mengelus-elus punggung tangan Asty. Dengan berani pria itu melakukannya dengan senyum penuh percaya diri. “Bu Asty benar-benar seperti bidadari turun dari langit. Enak dipandang, sopan tutur katanya, dan indah juga tubuh…”

Wajah Asty memerah, buru-buru ia menarik tangannya dari atas meja! Oke, ini udah ga bener nih! Apa-apaan sih?

“Maaf Pak, saya kebetulan sedang sibuk. Ada beberapa anak yang harus diarahkan untuk dapat mendaftar di perguruan tinggi negeri dan ada daftar anak yang membutuhkan perhatian saya secara ekstra. Kalau memang tidak ada yang penting, saya harus fokus dan kembali ke pekerjaan saya. Kalau memang ada pertanyaan mendesak, bisa langsung saja ke Pak Man. Saya hanya sekedar guru BK yang mungkin tidak memiliki kapabilitas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Pak Rey…”

“Mungkin tidak. Tapi saya lebih suka duduk di depan Bu Asty yang cantik jelita sepanjang hari daripada berdua saja bersama Pak Man. Wajah indah Bu Asty terbayang-bayang sepanjang hari sejak pertama kali kita berjumpa, mungkin ini terdengar mengada-ada tapi sungguh wajah Bu Ast…”

“Pak Rey! Mohon maaf. Saya sedang sibuk. Selamat siang!” Asty meminta sekali lagi agar laki-laki yang ternyata kurang ajar ini untuk keluar dari ruang BK. Asty membalikkan badan dan berpura-pura menata buku di meja belakangnya, sehingga ia memunggungi Reynaldi. Jantung Asty berdegup kencang.

Pait pait pait.

Pria itu terkekeh. “Baik, maaf saya mengganggu, Bu.”

Terdengar suara kaki melangkah keluar.

Klek.

Pintu sudah ditutup.

Huff. Asty menarik napas lega, bener-bener bahaya sekali orang ini. Dia sepertinya lebih mengerikan daripada Pak Man. Apalagi dengan modal wajahnya, kemungkinan dia sering menggunakan kelebihannya itu untuk memancing wanita-wanita yang kepincut pada kegantengannya dengan mudahnya. Tapi Asty bukan perempuan sembarangan. Si cantik berkerudung itu memutar badan untuk kembali duduk di kursinya, sambil meregangkan badan Asty duduk dengan santai. Ah, sekolah ini makin lama kenapa makin tidak nyaman? Apalagi dengan munculnya Rey. Seakan makin tambah saja masalah yang menghimpitnya.

Asty mengeluh kesal, “ah, mentang-mentang ganteng, dipikir bisa dengan mudahnya…”

“Ehem.”

Mata Asty terbelalak. Hampir ia meloncat dari kursinya.

Di depannya, dari balik sebuah lemari besar yang gelap, keluar sosok Rey yang memamerkan senyumnya. “Terima kasih sudah dibilang ganteng. Kamu juga cantik banget, Asty. Sudah sangat cantik, kulitnya putih mulus, lekuk tubuhnya seksi, penampilannya pun selalu mempesona sekali tiap hari. Lebih pantas disebut sebagai bidadari daripada seorang guru BK. Sayang sudah menikah, tapi biasanya justru yang sudah menikah yang menarik untuk di…”

“Ke-kenapa masih di sini?!” gertak Asty dengan galak. Wajahnya memerah – antara malu, marah, dan takut. “Pak Rey! Kan sudah saya bilang saya sedang sibuk!!”

“Iya, Bu. Maaf saya memang suka bercanda.” Rey mengedipkan mata dengan genit. “Sekarang saya benar-benar akan keluar. Jangan kangen ya. Hahaha.”

Kali ini pria itu benar-benar keluar dari ruang BK sambil tertawa renyah. Ketika pintu sudah ditutup pun masih terdengar suara tawa sang guru nekat itu dari dalam. Asty tenggelam di antara kedua tangannya, sebel sekali rasanya!

Ya ampuuuuun! Bagaimana caranya dapat menghadapi semua ini?

Asty mungkin sangat bingung, tapi Rey justru sedang penuh percaya diri. Pria itu beranggapan seakan-akan dia sanggup menaklukkan dunia. Dia merasa saat ini dia sedang berada di puncak.

Rey melangkah dengan yakin saat keluar dari ruang BK, pria itu terkekeh dengan senyum yang tersungging. Memang butuh waktu… tapi kesempatan itu pasti ada! Sayang sekali jika cewek semolek Asty hanya dinikmati oleh suaminya saja. Dia juga harus bisa mencicipi tubuh moleknya suatu saat nanti! Tunggu saja waktunya! Siapa sih yang tidak klepek-klepek pada diri Reynaldi?

“Pak Reeeey.” Dua siswi saling berdempetan di pintu kelas sambil menatap Rey seakan-akan sedang menatap seorang bintang idol K-Pop. Mata mereka berbinar dengan pandangan berbintang. Dengan kompak keduanya pun menyapa, “annyeong haseyooo.”

“Hai kalian. AnnyeongSaranghaeyo.”

“Kyaaaaaaaaaa!!” dengan genit, kedua siswi itu menjerit sambil memejamkan mata dan melompat-lompat. Seakan-akan surga banget disapa oleh guru baru yang ganteng ini.

Rey tersenyum saat meninggalkan mereka. Bagus, banyak bibit-bibit bagus di sini. Hanya tinggal menebarkan jala saja. Kehadirannya yang hampir-hampir tak dikenali oleh siapapun di tempat ini mungkin bisa dimanfaatkan, mudah-mudahan saja skandalnya di sekolah lama tidak terbongkar dan terekspos sehingga dia bisa beraksi tanpa ketahuan. Saatnya mendata calon bibit-bibit baru yang bisa dia panen di kemudian hari untuk diserahkan ke bos besar… tentu saja sembari mengincar Asty sebagai bonusnya.

Dia pasti akan memiliki tubuh indah Asty suatu saat nanti.

Pasti. Karena ini bukan masalah ya atau tidak, melainkan hanya masalah waktu saja.

Oh ya. Dia tidak pernah gagal kalau soal menggaet cewek. Entah itu statusnya perawan, binor, janda, atau bahkan diragukan. Cepat atau lambat, Asty akan ia dapatkan – dan karena hari ini dia sudah menolaknya, maka dia akan membuat wanita jelita itu mengemis kepadanya suatu hari nanti sebelum akhirnya dia terima dan mengijinkan tubuh indah binor semledhot itu menggeliat di ranjang sembari mengaku takluk. Hahaha, impian banget.

Bersiap-siaplah Asty. Pertempuran kita akan segera dimulaiKita akan bersenang-senang bermain kucing-kucingan dengan tubuhmu sebagai hadiah akhir. Tubuhmu yang indah itu akan tahu seperti apa seorang pria sejati

Brukkk!

Terdengar suara buku jatuh berhamburan sekitar tiga meter di depan Rey. Ternyata seorang guru muda yang sepertinya sedang memegang banyak barang kerepotan memegang ini itu sehingga buku-buku yang tadinya ia bawa akhirnya jatuh berantakan. Rey menatap guru itu dengan senyum licik seulas. Berhijab, mungil, wajahnya indah dipandang, tubuhnya indah dinikmati, bibirnya merekah minta dicipok.

Nah nah. Yang ini juga kayaknya lumayan nih, sepertinya menarik dijadikan pengganjal sebelum ia benar-benar bisa mendapatkan Asty. Markicob – mari kita coba.

Sambil belari kecil, Rey mendekati guru muda itu dan membantunya merapikan buku.

“Te-terima kasih, Pak.” Kata guru muda itu malu-malu. “Maaf merepotkan.”

“Ah, tidak apa-apa, kita di sini kan saling tolong menolong.” Rey membawa semua buku guru muda itu. “Biar saya saja yang membawakan, Bu. Kasihan Ibu kalau bawa barang sebanyak ini, belum lagi tas dan barang-barang yang Ibu bawa itu. Duh kasihannya.”

“Te-terima kasih, Pak. Ini gara-gara kepala saya juga sedang agak pusing karena kelelahan, jadinya saya teledor dan…”

“Oh? Ibu mau ke unit kesehatan dulu?”

“Oh tidak-tidak Pak… tidak apa-apa kok.” kata guru itu.

“Oalah ya… ya…” Rey tersenyum. Guru ganteng yang sableng itu melirik ke arah jemari guru manis di depannya dan menemukan cincin pernikahan mungil melingkar di sana. Heheheh. Binor ya? Malah semakin seru.

Cantik, manis, mungil, dan sudah menikah. Challenge accepted.

“Ruangan Ibu di mana, Bu?”

“O-oh iya, maaf. Di sana, Pak.”

“Oke. Saya bawakan ya.”

“Aduh jadi merepotkan ini, Pak.”

“Santai saja. Oh iya… nama saya Rey, Bu.”

“Ah iya, kemarin Pak Man mengumumkan saat di ruang guru lantai dua kalau ada guru baru yang namanya Pak Rey.”

“Nah iya, itu saya. Hihihi.” Rey memamerkan senyum mautnya. “Kalau ibu?”

“Saya Nayla.”

“Ah. Bu Nayla.”

Keduanya bercakap-cakap sepanjang perjalanan menuju ruang guru tempat Nayla biasa duduk – ruangan yang berbeda dengan Rey karena ia ditempatkan di ruang guru yang lain. Rey berjalan sambil terus menebar senyumnya yang ia anggap mengesankan. Apalagi karena ia tahu dari sudut matanya kalau Nayla tidak bisa melepas pandangan dari senyumnya yang mempesona.

Satu mangsa sudah kena.

.::..::..::..::.

Hanna Dwi Bestari

“Kebetulan karyawan kita yang lama baru saja resign, jadi aku memang butuh karyawan baru untuk membantu si Niken melayani customer untuk shift pagi.” Ujar Mbak Linda menjelaskan – pemilik cafe The Donut Pub itu juga menunjuk Niken yang sedang duduk di belakang meja kasir di dalam ruko. “Aku sih berharap karyawan baru ini nantinya langsung dapat belajar dengan cepat cara membuat kopi dan menghidangkan donat dari Niken, jadi tidak perlu proses penyesuaian diri yang terlalu lama, cafe ini cukup ramai kalau malam, agak repot kalau harus ada personnel training mendadak hari-hari gini.”

 

Nanto manggut-manggut di samping Hanna.

Siang itu, keduanya menghadap ke Mbak Linda untuk membicarakan kesempatan Nanto bekerja di The Donut Pub, ketiganya bertemu di kursi yang ada di bagian outdoor cafe yang ditata layaknya sebuah bistro. Sejak awal datang kemari, Hanna berusaha meyakinkan Mbak Linda.

Hanna mengedipkan mata ke Mbak Linda yang memiliki postur big but beautiful. “Aku yakin kok dia ini belajarnya cepet, Mbak. Asal diberi kesempatan…”

“Hahaha, maksa amat sih, Non… dia ini siapamu benernya?”

Nanto dan Hanna langsung saling berpandangan, dengan salah tingkah Hanna mencoba menjawab setelah menunduk dengan malu-malu, tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kalau saja Mbak Linda tidak tahu kalau Hanna sudah bertunangan dengan Glen, maka perkaranya akan lain. “Err… dia… dia… ini…”

“Coba aku tebak deh… dia ini sahabat kamu?” selidik Mbak Linda yang tersenyum penuh arti saat Hanna kesulitan menjawab pertanyaan sederhana itu – Mbak Linda yang kenal banget Hanna sekedar membantu memberi opsi jawaban, karena sepertinya ada something more than meets the eye alias ada udang di balik bakwan.

“Sahabat?” Hanna melirik ke arah Nanto, ketika si bengal membalas tatapannya dan berkedip, Hanna justru menghindar karena wajahnya memerah. “I… iya beneer.”

Nanto tersenyum sementara Hanna mengalihkan pandangan ke arah jauh. Kan sahabat, kok malah malu-malu gitu?

“Hahaha, oke deh.” Mbak Linda tertawa melihat Hanna salah tingkah. “Keeeen… Niken?”

Tergopoh-gopoh sang kasir manis berwajah bulat yang mengenakan hijab datang ke arah Mbak Linda. Gadis ini cukup menarik, sangat pantas menjadi karyawan cafe dan berperan sebagai kasir. Wajahnya cantik manis dengan polesan natural. “Iya, Mbak?”

“Coba kamu ajari Mas Nanto ini beberapa resep dan pengerjaan semua hal di cafe. Mulai hari ini dia akan bekerja sebagai partner kamu. Diajari semuanya ya, dia ini bener-bener fresh graduate yang datang dari desa, mungkin akan ada pengoperasian perangkat yang dia kurang paham. Untuk seragam carikan ukuran baju yang pas supaya tidak terlalu kedombrangan, tapi juga tidak terlalu ketat supaya gerakannya lincah.”

Nanto terbelalak kaget. Dia diterima? Secepat itu?

“Siap, Mbak.” Jawab Niken sambil tersenyum ramah pada Nanto. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan ramah. “Saya Niken. Salam kenal ya, Mas.”

“Nanto.” si bengal membalas salamannya.

“Yeeee, akhirnya diterima kerja jugaaaa, yeeee.” Hanna bertepuk tangan dengan wajah bahagia.

“Terima kasih banyak, Mbak.” Ucap si bengal pada Mbak Linda. “Saya usahakan untuk bekerja semaksimal mungkin dengan disiplin dan penuh tanggung jawab. Meski tidak tahu apa-apa masalah kerja di tempat seperti ini, tapi mudah-mudahan tidak mengecewakan.”

“Nah, bagus. Bagus itu. Ibarat buku, tidak apa-apa kok kalau memulai sesuatu dengan kertas yang masih kosong, kita bisa menulis banyak hal di dalamnya. Justru itu yang akan memberikan kita banyak ilmu.” kata Mbak Linda dengan senyum mengembang, perempuan bertubuh ekstra itu merapikan baju, mengemasi barang, dan memasuk-masukkan ponsel ke dalam tas yang ia jinjing. “Hanna, mulai hari ini, biar Nanto belajar sama Niken ya. Supaya lancar kerjanya. Kamu tidak usah khawatir, dia akan bekerja di shift pagi, sehingga kalau malamnya mau kuliah tidak ada masalah.”

“Iya, Mbak. Duh aku seneng banget. Makasih banyak ya, Mbak.” Berulang kali Hanna mencuri pandang ke arah Nanto dengan wajah memerah, seperti seorang gadis yang sedang kasmaran.

“Hahahha. Kan cuma sahabat, masa segitunya amat sih?” ledek Mbak Linda sambil menjulurkan lidah. Tidak perlu jadi cenayang untuk mengetahui kalau Hanna dan Nanto memiliki hubungan yang jauh lebih kompleks dari sekedar sahabat yang tadi dideklarasikan. “Aku ada urusan property di tempat lain yang harus aku selesaikan hari ini, Hanna. Jadi aku duluan ya.”

“Iya Mbak Lindaaaa. Makasih banyak yaaaaa. Bener-bener banyak terima kasih.”

Setelah cipika cipiki antara Mbak Linda dan Hanna selesai, si bengal menjulurkan tangannya. “Saya juga ikut berterima kasih. Mudah-mudahan dapat bekerja dengan baik, Mbak.”

“Nah bagus. Selamat bergabung ya, tidak perlu basa-basi terlalu banyak, yang penting kerja, kerja, kerja, hasil, hasil, hasil. Begitu ya.”

“Siap, Mbak.”

“Dah semuaaanyaa.”

Mbak Linda pun meninggalkan Nanto, Niken, dan Hanna bertiga. Karena ada beberapa konsumen yang hendak membayar, Niken pun buru-buru kembali ke meja kasir.

“Kamu juga seharusnya belajar tuh, Mas. Biar cepet paham apa saja yang harus dikerjakan di sini.”

“Oh gitu? Oke deh, aku masuk.”

Hanna mengangguk. “Aku santai-santai dulu di sini sambil menikmati kopi sama donatku. Hihihi.”

Nanto tersenyum dan masuk ke dalam, Niken telah selesai melayani konsumen di meja kasir.

“Jadi…” Nanto menggaruk-garuk kepala, “hal pertama yang harus aku pelajari apa nih, Mbak?”

“Panggilnya Niken aja, jangan Mbak.”

“Ken-ken.”

Haish.” Niken tertawa. Gadis manis itu lalu menunjuk ke Coffee Maker DeLonghi yang ada tak jauh darinya. “Ini namanya coffe maker, mesin pembuat kopi.”

“Oke…”

“Sini aku ajarin.”

Nanto mendekat.

“Oke. Pertama kita buka penutup atas mesin. Ada selang air kan itu? Nah water tank-nya jangan lupa diisi air, airnya nanti akan digunakan untuk membuat kopi jadi pastikan airnya air yang bersih, bukan langsung ambil dari bak kamar mandi. Wkkwk.

“Pastikan takaran airnya sesuai lho ya, setelah itu kita siapkan kopi yang akan dipakai, masukin ke sini, ke tamper. Oh iya, jangan hidupkan mesin kalau tamper-nya belum kepasang ya. Ratakan bubuk kopi yang dimasukin ke tamper pake scoop. Masukinnya tidak usah terlalu banyak, pastikan saja tidak melebihi permukaan tamper supaya bubuk kopinya tidak meluap kalau nanti disemprot air panas tekanan tinggi. Kalau misalnya bikin espresso nih, biasanya butuh sekitar 7 sampai 9 gram kopi. Setelah itu selesai, pasang tamper, baru nyalakan mesin. Nanti akan ada notifikasinya kalau tombol espresso siap digunakan.

“Di sini ada tiga tombol untuk bikin kopi, kalau notifikasinya muncul, pencet aja yang paling atas kalau mau bikin espresso. Ga sampe satu menit, kopinya nanti bakal keluar. Jadi sebelum pencet, taruh cangkir di bawah tamper.”

Nanto mengangguk-angguk sambil mencoba mencerna semua arahan dari Niken. Ia mengetiknya secepat mungkin di ponsel supaya tidak lupa. “Kalau lupa nanti diingetin ya.”

“Santai, Mas. Pasti akan hapal sendiri sesuai pengalaman.”

Nanto melirik ke luar dan terkejut saat Hanna disambangi oleh seorang pemuda berkulit gelap yang menebarkan senyumnya. Dia menunjuk-nunjuk ke sebuah arah yang langsung dibalas anggukan oleh Hanna. Gadis itu pun berdiri dan masuk ke dalam cafe.

“Siapa itu?” tanya Nanto curiga saat Hanna mendekatinya.

“Katanya namanya Edo siapa gitu, dia mau nganterin barang buat aku. Barang dari Glen.”

“Lho kok dia tahu kamu di sini?”

“Iya jadi dia itu sudah dari kemarin-kemarin WhatsApp aku, pagi tadi juga gitu, WA lagi. Aku minta ke sini saja nganterin barangnya supaya sekalian. Males kalau anter apa-apa ke rumah entar orang rumah banyak yang nanya ini itu.”

“Oh gitu…” pandangan Nanto tak lepas dari Edo. Apalagi pemuda yang tadinya di luar itupun membuka pintu cafe dan memanggil Hanna agak kencang.

“Nona cantik jang lupa ikut sa ke mobil. Hadiah ada di sana.”

“Iya… sebentar ya.” balas Hanna.

Kebetulan lokasi ruko tempat The Donut Pub ini berada memang terlalu dekat dengan jalan meski masih berbatas pagar, sehingga tidak ada mobil yang bisa parkir. Ruang yang tersedia hanya bisa untuk menempatkan kursi outdoor dan parkir motor seadanya. Supaya memudahkan pengendara mobil, ditempatkan sebuah lahan parkir yang luas namun agak jauh dari deretan ruko yang berada di blok depan.

Hanna sebenarnya ragu-ragu, setelah memastikan Edo kembali menunggu dan duduk di luar, ia melirik ke arah Nanto yang mengernyitkan dahi.

“Aku perlu ikut?” tanya si bengal.

“Tidak usah tidak apa-apa, kamu kan masih harus belajar di sini. Aku cuma ambil hadiah dari Glen aja kok, ga tau juga ngasih apa. Tumben banget sih, ga dikirim sendiri.” Hanna meletakkan tasnya di dekat meja kasir dan hanya membawa ponselnya. “Aku nitip sebentar ya, Mbak.”

“Oh iya.” Jawab Niken sambil tersenyum manis.

Hanna tersenyum melihat Nanto yang nampak khawatir dan menatap Edo tanpa berkedip. “Aku cuma sebentar kok, Mas.”

“Iya.” Nanto mengangguk.

“Ya sudah.”

Hanna pun berjalan pelan untuk menyusul Edo keluar dari Cafe. Sesaat sebelum Hanna membuka pintu, Nanto buru-buru berlari untuk mengejar dan memegang tangan gadis itu. Entah kenapa si bengal ada perasaan tidak enak.

“Kalau ada apa-apa segera kabarin, oke?”

Wajah Nanto yang khawatir membuat Hanna meleleh. Duuuuh segininya banget nih cowok, senyum manis gadis itu mengembang.

“Iya, pasti.”

Nanto tidak melepas tangan gadis itu sampai Hanna yang melepasnya sambil tersenyum. Gadis itu pun membuka pintu dan berlari kecil untuk menyusul Edo yang sudah mulai menjauh. Nanto menatap dari balik kaca cafe sampai keduanya benar-benar hilang dari pandangan.

“Uhuk.” Niken terbatuk kecil dengan sengaja.

Nanto berbalik ke belakang dan tersenyum simpul melihat Niken yang geli.

“Apa coba?” tanya si bengal sambil tersipu malu, wajahnya memerah.

“Ga apa-apa kok.”

“Ya udah lanjut ajarin bikin kopinya.”

“Hihihi.”

“Tuh kan ketawanya beda.”

“Hihihi.” Niken menutup mulutnya geli. “Bukannya Mbak Hanna itu sudah punya tunangan ya?”

“Uhuk.” Sekarang giliran Nanto yang pura-pura batuk, ia lantas menjulurkan lidah. “Jadi mengisi kopi di tamper tidak boleh berlebih karena nanti…”

Niken kembali tertawa. “Hihihi. Ati-ati lho… galak tuh cowoknya.”

“Jenis-jenis kopi yang ditawarkan di cafe ini adalah kopi…”

“Hahaha.” Niken yang ramah kembali tertawa geli, sepertinya cocok memang ber-partner dengan si bengal di cafe ini karena keduanya langsung klop. “Oke deh, lancrotkan. Nah, mesin espresso ini juga bisa bikin busa susu, jadi kalau kita kepengen nambahin busa susu buat dicampur ke espressolatte, atau cappucino, tombol espresso-nya dimatiin dulu. Habis itu tekan tombol yang kedua ini buat ngangetin susunya.

“Susu kita siapin di gelas atau cangkir, arahin ke tuas yang sebelah sini – yang warnanya putih. Hangatin sampai busanya muncul. Matiin kalau busa susunya sudah sesuai harapan dan cita-cita. Setelah selesai, jangan lupa matikan mesin. Kelar deh. Habis itu tinggal bersihin mesin dan tamper dari kotoran. Jangan lupa bersihin juga hati dari perasaan ingin memiliki cewek cakep yang sudah punya tunangan. Hihihi.”

“Woi.”

“Hihihi.”

Niken melanjutkan pelajarannya hari ini dengan menjelaskan beberapa aktivitas sehari-hari lain pada Nanto. Setelah beberapa saat, terdengar suara musik mengalun dari ponsel.

“Hp-nya Mas Nanto?”

“Iya nih.” Nanto mengambil ponselnya dari celana. Ia melirik ke arah ponselnya yang masih bergetar. Si bengal membuka layar. Ada pesan masuk rupanya.

Dari… Hanna?

Tolong.”

Si bengal terbelalak sesaat dan langsung berlari sekuat tenaga sementara Niken tertegun melihat kepergian si bengal.

.::..::..::..::.

Roy terdiam dan termangu.

Terpesona dan membatu.

Berdiri dengan wagu.

Mungkin tak ada yang bisa membangunkannya dari mimpi di siang bolong selain getokan di kepala. Jagad dewa batara, Bidadari seindah seperti yang sedang ia lihat sekarang ini bagaimana bisa tercipta di dunia? Apa ya tidak sebaiknya disimpan saja di khayangan untuk bermain kecapi dan bermanja-manja seumur dunia di tepian sungai permata? Roy hampir-hampir tak berkedip, mulutnya terbuka lebar – sebuah target bagi lalat untuk menjelajah seandainya ada. Sayang ini rumah sakit yang rapi jali tanjung kimpul, sehingga tak ada lalat yang terlihat maupun tetirah. Selamatlah rongga mulut Roy yang tengah menganga.

“Sus… eh… per… eh… Mbak… a-anu…” Roy mencoba menyapa sang suster cantik yang tempo hari ia temui di depan pintu kamar tempat Bian dirawat. Sang suster tengah duduk di kursi tunggu lobi depan dengan pakaian kasual. Kaus, cardigan, dan celana jeans yang warna putih. Si cantik itu juga mengenali Roy dan tertawa.

“Panggil aja saya Rania, Mas. Daripada repot cari panggilan yang bener, hihihi.”

“Ra… Rania.” Roy gagap tapi berusaha ganteng maksimal. “Saya Roy.”

“Nah kan beres. Apa kabar, Mas Roy?”

“Ba-baik.” Wajah Roy memerah, seperti sambal tomat pedas level lima. “Ma-mau pulang?”

“Iya. Shift aku sudah kelar.”

“Oh begitu. Kok masih duduk-duduk di sini?”

“Ini lagi nyari-nyari ojek online, Mas.”

“Ojek onl…” Kesempatan, dul! Kesempatan! hayo! Cepetan! Beraksi! Kamenraida, henshin! Ayo cepetan! Tunggu apa lagi! gek ndang wesBudal! Gasss!! “A… anu… gimana kalau saya aja yang nganter pulang? Kebetulan saya juga mau balik lagi ke rumah.”

“Ah nggak ah, Mas. Saya yang ga enak. Lagian Mas Roy bukannya baru dateng ya? Kok udah mau balik aja? Nanti saudaranya gimana?”

“Ga apa-apa kok, serius. Ini aku cuma mau nganter cucian aja. Ya udah ya… aku naik dulu sebentar, habis itu aku anterin Rania.”

“Eh! Mas! Ga usah!”

Tapi kata-kata Rania hanya menjumpai angin, karena Roy sudah secepat kilat berlari menuju ruang tempat Bian dirawat. Pilihan Roy cuma dua, menunggu Bian atau mengantarkan Rania, jelas kan yang mana harus dipilih Roy? Itu sebabnya dia ingin secepat mungkin ke atas untuk menemui saudara kembarnya.

“Huff… huff… huff… capek… capek… lari naik tangga belasan tingkat.” Roy terengah-engah saat sampai di samping pembaringan Bian.

“Dasar mbelek. Mana ada belasan tingkat. Kenapa menggeh-menggeh?”

“Huff… huff… heh, bro – kita kan sudah jadi saudara sejak kapan? Sejak lama banget ya?”

Tae kocheng.”

“Aku belum pernah minta apa-apa yang penting ke kamu. Tapi sekali ini saja aku minta tolong supaya kamu jangan rewel, aku harus segera keluar karena ada urusan yang jungkir balik dunia akhirat. Bisa ga aku tinggal kamu sementara sendirian dulu di sini?” Roy mengiba sambil mengatur napas yang ngap. Roy juga meletakkan tas berisi cucian bersih milik Bian di dekat lemarinya.

Bian mencibir, “opo yo tak pikirYa wes sana kalau kamu mau keluar, toh kalau ada apa-apa tinggal mencet bel buat manggil suster. Kalau pulang lagi kesini bawain jajanan, aku kepengen carabikang.”

Roy tersenyum lebar, “Carabikang, woke. Gampang nanti. Ditambah besok kalau sudah sembuh aku traktir kamu makan Sop Kaki Kambing depan SMP Negeri.”

Heleh.”

Buru-buru Roy lari keluar setelah Bian mengangkat jempol.

Bian geleng-geleng kepala sambil tersenyum, hehehe. Semoga beruntung, bro. Bukan rahasia besar kalau Bian tahu Roy naksir setengah mati sama perawat yang namanya Rania. Tiap kali datang ditanyain, tiap kali datang dicariin – lucunya mereka hampir tidak pernah lagi bertemu sejak pertemuan pertama mereka dulu, setidaknya itu yang diceritakan Rania yang sering mampir untuk memeriksa suhu badan dan tensi Bian. Kemungkinan besar sekarang dia mau usaha nganterin perawat cakep itu pulang, karena ini bertepatan jam selesai shift para perawat.

Semoga yang terbaik, masbro.

Hanya dalam waktu singkat, Roy sudah melesat ke depan lobi untuk memastikan bahwa Rania belum pergi. Benar saja, gadis itu belum kemana-mana, masih duduk manis di lobi sambil menunggu Roy. Rania tersenyum saat Roy datang terengah-engah. Napasnya satu dua.

“Hahaha, mana boleh lari-lari begitu di rumah sakit ini, Mas. Lain kali tidak usah lari-lari ya.”

“Habisnya… aku… takut… kamu… keburu… ojek… Bian… anu… hahhhhh!”

Rania tertawa dan tersenyum, manis sekali. Tawa dan senyum itu membuat semua rasa capek Roy bagaikan terbang menuju awan. Ah itu senyum apa ubin masjid ya? Ademnya bikin tenang. Rania mengeluarkan satu botol air minum kemasan dari dalam tasnya, mungkin baru saja dibelinya dari kantin rumah sakit.

Ah gadis ini emang paling tahu.

Roy menerima air minum itu, “Terima kasih…”

“Sama-sama, Mas.”

Roy duduk di samping Rania sambil melepas lelahnya. Keduanya tak banyak bercakap, hanya menonton acara televisi yang menyiarkan acara penuh settingan tentang drama keluarga, kalau tidak salah acara Rumah Kuca yang dipandu host Uca Kuca.

“Kamu percaya acara ginian, Mas?” tanya Raina.

“Sekilas lihat sih ga percaya, udah ketauan setting-nya. Aktingnya juga ga banget. Padahal nonton aja baru ini pertama kali.”

“Oh ya?” Rania tertawa, renyah banget kayak ciki rasa keju. Duh, gimana Roy tidak mehek-mehek lihat yang beginian.

“Iya. Aku lebih suka browsing-browsing dan nonton Youtube buat nyari referensi masakan.”

“Wiiiih, mantul surintul mak-kintul-kintul.” Raina tertawa, “Jadi Mas Roy ini jago masak?”

“Bisa – bukan jago. Masih harus banyak belajar. Cita-citaku jadi chef yang punya restoran sendiri, jadi aku banyak mencari masukan dan referensi dari sana-sini. Salah satu sumber terpercaya ya dari Youtube. Heheh.”

“Wow. Waaah, lumayan pinter masak dong? Mama aku juga hobi banget masak.”

“Wih sehobi.” Wajah Roy memerah karena malu, “mau aku masakin kapan-kapan? Nanti kamu jadi jurinya, misalnya kurang manis, kurang asem, kurang asin, kurang ajar…”

“Wkwkwkw. Dengan senang hati makanan apapun akan aku terima, Mas. Kalau makan mah hayuuuk. Hahaha.”

“Hahahaha.”

Rania melirik ke arah jam tangannya. “Omong-omong udah selesai capeknya? Aku harus segera pulang, Mama-ku udah nungguin nih.”

“Oke, siap, Neng. Sesuai aplikasi yaaah.”

Rania kembali tertawa.

Tak butuh waktu lama bagi Roy untuk mengambil motor di halaman parkir dan mehampiri Rania di lobi rumah sakit, keduanya duduk berboncengan dan bercanda tawa sepanjang perjalanan. Sejak pertama kali berjumpa, Roy memang langsung kepincut dengan Rania – hari ini pun menjadi hari bersejarah baginya karena bisa memboncengkan Rania pulang ke rumah. Bahagia dong? Jelas. Senang dong? Iyalah. Asyik dong? Uhuy.

Motor yang dikendarai Roy dan Rania melaju jauh terus ke arah timur kota – menembus ringroad, mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah, ke samudera.

“Serius nih rumah kamu ke arah sini?” Roy bertanya-tanya karena kok tidak sampai-sampai.

Ga disangka ga dinyana, ternyata lumayan jauh juga.

“Serius dong, Mas. Pasar Gedean masih terus lurus.”

“Ebuset. Jauh amat dari rumah sakit, neng. Tiap hari naik apa kalau berangkat?”

“Kalau shift pagi biasanya dianter sama kakak aku, dia berangkatnya juga searah karena kantornya di perbatasan kota deket candi. Tapi karena kami berbeda jam pulang, aku pulangnya cari ojek online.” Kata Rania menjelaskan, “nah kalau shift malam, aku pulang pergi pake ojek online.”

“Duh, kasihan amat sih, Neng. Gajinya ntar habis di ongkos.”

“Hahaha… habis gimana lagi, Mas. Aku cuma punya kemampuan jadi perawat, diterima kerja juga cuma di situ. Jadi ya mau ga mau dijalanin aja. Jaman sekarang susah cari kerja, Mas. Jadi aku mengurangi mengeluh dan memperbanyak bersyukur.”

“Iya sih… aku juga cuma kerja seadanya, kok.”

Tapi tentunya tidak ada pertemuan tanpa perpisahan, tidak ada awal tanpa akhir, tidak ada jemput tanpa antar. Meski berat rasanya, tapi tujuan rumah Rania ternyata sampai juga. Lumayan jauh dari rumah sakit, membelah kota, dari barat menyeberang ke arah timur, sedikit lepas dari Pasar Gedean. Melalui petunjuk Rania, motor Roy berbelok dari gang utama dan masuk melalui gang demi gang untuk sampai di sebuah kampung yang masih asri dengan pohon dan dedaunan menghijau.

“Naaaah, sudah sampai nih, Mas.” Ucap Rania senang.

Motor yang dikendarai Roy akhirnya berhenti di depan sebuah warung makan sederhana, warung bersahaja yang menyajikan lauk dan sayuran. Ini ya rumah Rania? Warung ini?

“Ini rumahku.” Kata Rania.

“Ini rumahmu?”

“Iya. Kenapa?”

“Rumah kamu depannya warung?”

“He’em. Ibu aku yang jualan. Mau mampir dulu?”

“Eh, enggak. Aku masih harus beliin sesuatu buat Bian. Mungkin kapan-kapan aku mampir. Bolehkah?”

“Ngapain?”

“Err… main gundu?”

“Wkkwwkwk… aku ga bisa main gundu. Gimana kalau kita main Ludo saja?”

“Hahaha. Boleh deh.”

Rania tersenyum sopan. “Makasih ya, Mas. Sudah nganterin. Kalau mau main ke sini silahkan aja, tapi ngabarin dulu. Aku shift-nya tidak tentu, takutnya pas Mas Roy dateng aku sedang tidak di rumah.”

“I-iya deh. Emm… Ran…”

“Iya, Mas?”

“Denger ceritamu tadi aku jadi agak gimana gitu… kalau kamu tidak keberatan… hanya kalau kamu tidak keberatan lho ya, kalau mau aku bisa loh sekali-sekali antar atau jemput kamu kerja. Tapi ini kalau kamu tidak keberatan.”

Wkwkwk, modus model malu-malu kalau yang ini.

“Ya ampun, ga perlu lah, Mas. Kan tempat ini jauh dari kota. Aku sudah biasa…”

“Aku yang ingin sekali me…”

Rania tersenyum melihat ketetapan hati Roy. “Ya sudah, nanti Rania pikir dulu ya, Mas. Jujur aku tidak bisa ngasih jawaban sekarang.”

Roy mengangguk, “Sip. Aku pamit dulu, ya. salam buat Mama kamu.”

“Iya sip deh, Dah Mas Roy. Terima kasih banyak yaaa.”

“Dah Rania.”

Dengan canggung Roy membalik motornya dan segera berlalu dari rumah dan warung Rania. Motornya berjalan lambat karena pemuda itu dengan sengaja ingin memperhatikan Rania dari kaca spionnya. Ah, rasanya dia tidak ingin cepat-cepat berpisah… tapi ada daya… ia masih harus mengumpulkan keberanian kalau harus berhadapan dengan orang tua gadis itu. Sekarang rasanya bukan saat yang tepat, terlalu cepat.

Roy pun berlalu dari tempat itu dengan sejuta pengharapan di dadanya. Mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk berjumpa kembali. Roy belum pernah merasa sedalam ini menyukai seorang gadis, apalagi yang secakep Rania. Melihatnya saja sudah membuat Roy meleleh.

Duh duh…

Rania berdiri di depan rumah sampai Roy benar-benar menghilang di sudut jalan. Setelah itu ia pun masuk ke dalam. Rania melalui warung dan membuka pintu penghubung ke rumah utama sembari mengucapkan salam. Seorang wanita tua berambut pendek menyambut kedatangan si cantik itu dengan ramah. Rania mengecup punggung tangan sang bunda.

“Baru pulang, Dek? Itu lho Lena nyariin seharian…”

“Iya, Ma. Aku juga sudah kangen sama Lena. Dia ga nakal kan?”

“Mana pernah dia nakal kalau sama Mama. Lena kan anaknya manis, kayak neneknya.”

Rania tertawa.

Sang bunda melirik ke arah luar, masih mengawasi ke depan sembari memicingkan mata. Mungkin beliau tadi melihat kedatangan Roy dan mengamati arah perginya. Seperti biasa, mencoba melakukan seleksi. Sudah pasti ini bukan kali pertama ada pria yang datang untuk mendekati Rania.

“Dia teman saja, Ma.” Rania mengelus pundak sang bunda. “Adek kenal di rumah sakit. Saudaranya ada yang dirawat di sana. Ga ada angin ga ada ujan tahu-tahu nawarin nganterin pulang.”

“Oooh.” Sang Bunda pura-pura cuek, “lain kali suruh masuk dulu. Mama pengen ngobrol.”

Rania tersenyum. Dia tahu sang bunda sangat perhatian dan penyayang, setiap orang yang datang dan mengantarkannya pulang pasti akan diseleksi, dipilah, dan dipilih – yang dicocok akan mendapatkan golden ticket dan yang tidak cocok diminta angkat koper. Rania tertawa kecil sembari memperhatikan gerak-gerik bundanya. Gadis itu tahu ini semua dilakukan sang bunda demi kebaikannya. Terutama setelah apa yang pernah terjadi pada dirinya dan apa yang telah menimpa keluarga mereka – setelah bertubi-tubi tragedi menimpa yang diakhiri dengan kepergian ayahandanya untuk selama-lamanya… Ibunda-nya lah satu-satunya terang dalam gelap hidup Rania.

Dengan lembut Rania memeluk sang bunda dari belakang. “Adek sayang Mama. Maunya sama Mama aja, belum kepengen sama siapa-siapa.”

Sang bunda menarik napas panjang, ia mengelus lengan Rania. “Sampai kapan kamu mau sendiri terus, Nduk? Mumpung kamu masih muda jangan disia-siakan. Lena kan sudah semakin besar, kamu pasti akan semakin kerepotan mengurusnya apalagi kalau nanti dia sudah sekolah, biayanya akan berlipat-lipat. Mama juga sudah tua – tidak bisa terus menerus kamu andalin buat menjaga Lena.” Sang bunda kembali mendesah panjang, tubuhnya bergetar. “bukannya Mama tidak mau… Mama hanya pengen kalian mendapatkan yang terbaik, supaya kalian juga bisa bahagia, Mama pengen kamu dan Lena mendapatkan apa yang tidak bisa Mama berikan sekarang – untuk itu kamu harus mendapatkan suami yang tepat. Maafkan Mama ya, Nduk. Mama hanya bisa memberikan apa adanya yang Mama bisa. Mama bahkan tidak bisa melindungi kamu sewaktu… sewaktu…”

Ibu Rania tenggelam dalam isak yang lembut, ia mudah sekali sedih jika ingat tragedi yang menimpa putri tercintanya dulu, ia merasa gagal sebagai orang tua. Rania makin erat memeluk sang bunda, dia tidak ingin bundanya sedih sebagaimana dia tidak ingin tragedi itu diingat-ingat.

Ada bayang basah di pelupuk mata sang jelita. Bundanya memang selalu seperti ini setiap kali ada laki-laki yang mengantarkannya pulang atau datang berkunjung.

“Nggak, Ma. Hati Mama seperti sutra. Mama sudah menjadi cahaya hidup aku dan Kakak. Mama sudah membesarkan aku tanpa kenal lelah, sudah menjaga Lena tanpa kenal istirahat, sudah mengangkat aku dari kubangan di saat yang paling aku butuhkan, dan meyakinkan aku bahwa masih ada hari esok setelah apa yang aku alami. Tanpa mama, jelas tidak akan ada Lena. Saat ini justru aku yang bercita-cita ingin mengembalikan semua kebaikan Mama… aku ingin membahagiakan Mama. Aku ingin menambah modal warung, memperbaiki rumah yang selalu bocor, mengantarkan Mama ke tanah suci, aku punya banyak cita-cita. Maafkan adek masih belum bisa mewujudkannya.”

“Ngomong apa sih, Dek. Mama sudah bahagia kalau melihat kamu bahagia. Itu saja sudah cukup. Mama sering kasihan kalau lihat Lena, Nduk. Bocah sepinter dia kok belum kenal Bapaknya. ”

“Aku tidak akan pernah mengenalkan Lena pada bajingan itu, Ma. Bajingan yang telah…”

Lena tiba-tiba mendekat dan tertawa dengan imutnya, bocah balita itu menggamit jari Rania dan neneknya – minta digandeng menuju ke kamar. Rania dan sang bunda saling pandang dan langsung luruh melihat kelucuan Lena.

“Bocah kok lucu banget. Oalah cucunya Nenek memang anak nomor satu sedunia.” Sang bunda pun mengangkat bocah itu dan menggendongnya sementara Lena hanya tertawa-tawa.

Hatinya langsung adem melihat sang Bunda dan Lena.

Si cantik pun menarik napas panjang.

Roy tadi menawarkan kehidupan baru baginya.

Tapi siapkah Roy melihat ini semua?

Menghadapi kehidupannya yang penuh lika-liku pahit?

Siap tidak?

Rania

Warung Siomay Pak Tarman adalah sebuah warung siomay sederhana yang berada di wilayah Caturan, tak jauh dari lokasi UAL. Warung bersahaja dengan tembok depan berhiaskan anyaman bambu, beratap seng, dan memiliki kipas angin sebagai satu-satunya penyumbang angin silir. Kalau mau cari nasi goreng atau bubur ayam, ya bukan di sini tempatnya, karena ini warung siomay. Tulisan di depan pun Siomay Pak Tarman, jadi sudah sepakat ya kalau warung ini sajian utamanya adalah siomay. Kalau mau cari pecel lele? Ya sama aja. Ini kan warung siomay, ngapain cari pecel lele?

 

Sebenarnya bukan hanya sekedar siomay sih kalau mau jujur-jujur banget. Ada juga tahu, kentang, kubis, telur, dan pare – para ksatria legendaris yang akan menjadi sejawat para siomay. Mau siomay versi 2.0 yang digoreng ala-ala bisa, mau langsung dilahap yang versi rebusan juga bisa. Siomay Pak Tarman memiliki citarasa yang khas, dibuat dari ikan tengiri dengan kandungan tepung dan daging yang balance sehingga menghasilkan dumpling yang terasa muasalnya dari ikan namun tidak amis. Apalagi kalau ditambah bumbu kacang yang gurih dan ngangenin, wuuuuh… juwarak. Kalau ada lomba pecel lele pasti juaranya bukan Pak Tarman, karena warungnya jualan siomay, bukan pecel lele.

Hari itu, Hageng dan Abi sang korlap Sonoz makan siang di siomay Pak Tarman. Yang satu lahap, yang satu lagi ketar-ketir karena kawasan ini adalah wilayah operasional DoP, karung beras kribo yang satu itu nyari jajan kok ya jauh amat – bikin Abi gelisah, geli-geli basah.

Hageng mengunyah siomay-nya dengan tenang, sementara Abi yang ada di sampingnya justru gugup bukan kepalang. Bagaimana bisa bison satu ini mengunyah makanan senyaman ini padahal masih banyak urusan yang harus diselesaikan? Apakah di tempat yang seharusnya ada otak teronggok isinya cuma bumbu kacang?

“Bocah gendeng. Bukannya koordinasi pasukan malah santai-santai saja! Banyak hal yang harus kita lakukan sekarang! Kita harus menyusun strategi, menyiapkan kandidat korlap, bersiap untuk situasi gawat yang akan datang! Semua sudah harus siap ketika nanti Simon kembali.” Ucap Abi yang sudah menghabiskan porsi siomay-nya. Meski gugup, tapi ya tetep habis, wong enak tenan.

“Tenang zaja. Zemua biza diatur. Pokoknya berez. Maju kena mundur kena. Kezempatan dalam kezempitan. Mana tahan. Dongkrak antik. Gengzi dong.”

Hap. Satu telur masuk ke mulut sang T-Rex usai meracau tidak jelas.

“Hadeh, gimana bisa tenang sih? Kamu kan sudah dapat informasinya! Kita sedang dalam bahaya, sebentar lagi geng baru KSN yang menggantikan Patnem akan masuk ke kampus-kampus di wilayah utara untuk menyebarkan pengaruh dan kekuasaan. Unzakha termasuk ke dalam target mereka! Bahaya kalau kita diam saja dan begini-begini saja, apalagi dengan kondisi kita yang sedang carut marut kehilangan anggota-anggota yang dibawa Roni.” Abi bersungut-sungut, “lagian kalau mau sekedar siomay di Jalan Kalipenyu kan ada, kenapa jauh-jauh ke sini?”

“Ya ya. Kalau KZN datang ya kita hadapi zaja. Gampang kan? Tidak uzah diambil puzing lah. Ayo nambah lagi, ziomay di sini rugi kalau cuma zatu piring. Kalau yang di jalan Kalipenyu kurang nyamleng. Aku tidak zuka. Jauh lebih zedap yang di zini. Gimana? Enak toh?”

“Kita harus segera melakukan zelekzi korlap… bah! Blpptt!… seleksi!”

“Nah boleh. Bagaimana caranya?”

“Hadeh. Bukannya boleh, tapi memang harus. Biasanya ketua yang akan menentukan, kita hanya tinggal mencari kandidatnya saja.” Abi geleng kepala melihat Hageng, mungkin orang ini belum sadar kalau dia harus memimpin Sonoz yang punya banyak anggota. “Ketua yang akan menentukan, jadi selama Simon belum kembali, kamu yang harus inisiatif mencari calon… dan harus cepat.”

“Ya ya. Jangan diburu-buru teruz dong, bagaimana aku biza makan dengan tenang? Aku butuh ketenangan dan keheningan zaat makan. Ini waktu buat menerapkan zen.”

“Opo sih! Kamu kan pimpinan sementara Sonoz, bersikaplah seperti seorang ketua yang…”

“Oh, ck… ck… ck… jadi ini pimpinan sementara Sonoz?”

Ada suara yang tiba-tiba menyambar percakapan antara Abi dan Hageng. Sang T-Rex sendiri tidak banyak ambil peduli, ia terus saja mengunyah dengan nikmatnya. Dengan lahap ia memasukkan bongkahan-bongkahan siomay dan bumbu kacang ke dalam sendok, lalu menggigit, mengunyah, dan menelannya dengan perlahan. Proses menggilingnya masih berjalan lancar meski ada gangguan.

Sementara Abi langsung berdiri dengan wajah sengit ketika orang yang tadi menyambar ucapannya datang mendekat. Ada tiga orang yang sama-sama terkekeh melihat hadirnya Hageng dan Abi di Warung Siomay Pak Tarman ini. Mereka berdiri dengan jumawa di hadapan kedua punggawa Sonoz itu. Abi menegang, kepalannya terkepal. Bangsat! Kenapa juga orang-orang ini ada di sini? Sempitnya dunia!

“Pemimpin sementara ini pasti pilihan langsung Simon, jadi bukan orang sembarangan. Sungguh mati aku jadi penasaran, seperti apa pimpinan sementara Sonoz. Heheheh.” kata orang itu sambil tersenyum penuh makna, dia berjalan dengan santai tanpa peduli orang-orang sekitar yang menatap mereka takut. “Bagaimana menurut kalian?”

Dua orang yang ada di belakang kirinya tertawa, sementara yang di belakang kanan hanya mendengus.

“Ja-jangan main-main!” Abi mencoba tak gentar menghadapi ketiganya. Tapi dia tahu kemampuannya tidak ada artinya di hadapan orang yang paling depan.

Pria yang paling depan hanya menebarkan senyum. Dengan santainya ia menggeser posisi Abi ke samping tanpa perlawanan, Abi benar-benar cuma bisa pasrah saja. Harus bagaimana ini?

Pria itu lantas duduk di hadapan Hageng, sang T-Rex sendiri masih lahap tanpa peduli.

“Perkenalkan wahai pimpinan sementara Sonoz. Aku Rao. ini Kori di kanan dan yang ini Remon. Bagaimana kalau kita ngobrol sebentar?”

Hageng mendongak dan tersenyum menatap wajah sosok pria di hadapannya.

Rao, sang pimpinan tertinggi DoP.

Entah kenapa tubuh Abi langsung terasa lemas.

Gawat.

.::..::..::..::.

Hanna memegang ponselnya dengan ketakutan, ia meringkuk dalam gelap sembari berlindung pada kardus dan tumpukan kursi kayu bekas di belakang sebuah ruko, tempat ini gelap dan tidak biasa dilalui orang, sangat kotor dan bau. Ia baru saja mengirim pesan singkat pada Glen dan Nanto – pada dua orang yang paling ia butuhkan saat ini. Glen… Nanto… siapapun… Tangannya bergetar sementara wajahnya pucat pasi, berulang kali ia memeriksa ponselnya yang tanpa jawaban. Jantungnya berdetak kencang saat ia berulang kali melirik ke luar gang, memastikan orang yang baru saja mengancamnya tidak masuk ke lorong yang yang sama.

Hanna bersyukur sekali tadi ia sempat curiga karena gerak-gerik Edo yang aneh, benar saja rupanya orang itu ada niat yang tidak baik! Ia bahkan sempat mengancam dengan menggunakan pisau! Beruntung Hanna sempat menendang selangkangannya dan kabur ke tempat ini. Ia tidak bisa lari ke depan karena jaraknya cukup jauh dan Edo pasti akan dapat mengejarnya dengan mudah. Itu sebabnya Hanna berbelok ke lorong di belakang blok ruko yang dekat dengan lapangan parkir dengan harapan ia akan bisa melewati jalan tikus untuk menuju ke blok depan, sialnya dia hanya bertemu dengan jalan buntu!

“Tut… tut… Nona cantik sa datang jemput.”

Sial! Sial! Sial! Kenapa dia datang ke sini?

Hanna menggigil ketakutan, ia meringkuk semakin dalam, memeluk dirinya sendiri di pojok tergelap. Matanya terpejam dan mulutnya bergumam mengucapkan doa demi doa yang saat itu ia ingat. Pikirannya kacau balau dihisap oleh rasa takut.

“Janganlah ko sembunyi, pasti sa temukan.” Edo memainkan pisaunya di dinding lorong, suaranya menyakitkan telinga. Sepatunya terdengar dengan jelas melewati kubangan demi kubangan air yang tercipta karena tetesan air AC.

Seekor kucing yang berlari-lari mengejar tikus menjadi malapetaka buat Hanna, karena tikus itu kemudian berlari menuju ke tempatnya berada. Gadis itu menjerit dan lokasinya pun terekspos. Baik Hanna, si kucing, dan si tikus sama-sama terkejut dan ketakutan. Tikus berlari ke kiri, kucing berlari ke kanan, dan Hanna tak berdaya mencoba mencari posisi lain untuk menyelamatkan diri.

Edo tertawa dan datang mendekat dengan penuh percaya diri. Dia sudah tidak tahan saja melihat kemolekan Hanna, hari ini akan jadi hari yang menyenangkan untuk menyarungkan batang kejantanannya ke memek milik perempuan seharum Hanna.

Hanna menjerit panik saat Edo sudah berada di hadapannya.

“Diam!! Sa bilang diam! Nona cantik jang khawatir, perintah atasan hanya jemput Nona cantik.”

“Ja-jangan sentuh aku!”

Edo tersenyum sambil memainkan jemarinya di rambut indah Hanna, “Baru kenapa jang sentuh? Sa tra akan menyakiti nona. Sa ajak nona bersenang-senang toh.”

Edo mencengkeram pergelangan tangan Hanna yang langsung menjerit ketakutan.

“Kalau aku jadi kamu, aku akan melepaskan tangan dari gadis itu sekarang juga.”

Ada seseorang yang datang!

Edo menatap ke arah ujung gang, ada seorang laki-laki di sana.

“Maksud ko apa, pace?” Edo mengernyitkan dahi. Buru-buru ia menelikung Hanna dan berlindung di balik gadis itu. Hanna memekik kesakitan.

Siapa pula yang datang ini?

“Mas Nantoooooo!” teriak Hanna.

Nanto berjalan pelan. Pandangan matanya tajam menatap ke arah Edo, kepalanya sedikit menunduk, ia benar-benar fokus.

“Mas Nantooooooooo!!” Hanna histeris, hal itu membuat Edo makin marah.

Karena ia jelas tidak mungkin melakukan SSI ke Hanna seperti perintah Eva, maka cara kekerasan adalah jalan yang ia pilih. Tapi belum sempat ia melancarkan aksinya, sudah ada banyak kekacauan. Salah satunya adalah keberadaan si bungkus ciki ini di sini. Tangan Edo menelikung Hanna dengan makin kencang. Sementara pisaunya menempel di leher sang dara yang menatap Nanto dengan ketakutan. “Ko jang berani-berani! Baru maju selangkah, nona cantik ini tamat!”

Keringat Hanna makin deras mengalir. Gadis itu mencoba meronta, tapi Edo jelas jauh lebih kuat. Nanto juga tidak berani gegabah.

“Aku ulangi sekali lagi. Lepaskan. Gadis. Itu.” Nanto menggemeretakkan giginya dengan geram.

Edo tertawa menghina, ia menjulurkan lidahnya dan mulai menjilat pipi Hanna yang langsung menjerit-jerit ketakutan. “Ko bisa apa? Sa nanti kembalikan nona cantik setelah bersenang-senang.” Tangan Edo makin kurang ajar, menggerayangi dada Hanna yang bergetar ketakutan dan meremas-remasnya. Hanna mulai meneteskan air matanya. Tangan Edo makin lama makin berani, menelusuri perut, menuju ke arah batas celana, dan mencoba menelusup masuk ke bagian selangkangan Hanna dengan paksa. Hanna makin ketakutan, sementara Edo melakukannya sembari menarik Hanna mundur dan menjauh dari Nanto – ia mencoba membuka satu persatu pintu ruko yang ada di jalan buntu itu.

Edo menemukan satu pintu terbuka, ia tersenyum.

Nanto tahu, dia harus bereaksi secepatnya sebelum Hanna dibawa masuk ke dalam ruko yang terbuka. Salah langkah, dan Edo akan membawa lari Hanna. Tentukan keputusanmu sekarang, Nyuk!

Si bengal mendengus. Ia menundukkan kepala, kedua tangannya terkepal sangat erat. Napasnya naik turun. Kemarahannya sudah tak dapat ditahan. Tidak ada jalan lain. Nanto menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jari-jemarinya dengan saling menangkupkan tangan. Mulut si bengal bergumam, ada kalimat lirih keluar dari bibirnya.

Edo melotot, ngapain lagi orang ini?

Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.” Bisik si bengal.

Wsh.

Hanna dan Edo terbelalak kaget karena hanya dalam sekejap mata, Nanto sudah tak lagi ada di depan mereka.

Edo yang menatap ke arah depan untuk mengantisipasi gerakan Nanto juga terkejut bukan kepalang. Si kipas sate itu tiba-tiba saja lenyap dari pandangan!! Bagaimana mungkin!? Kemana dia? Kepala Edo bergerak dengan sangat cepat, mencoba mencari keberadaan sang lawan. Ke kanan, kiri, depan, belakang, mana diaaa!? Sang begundal mulai gelisah, keringatnya mengalir deras. Apa-apaan ini!? Manusia macam apa yang sedang dia hadapi? Mana ada hantu di siang bolong toh?

“Aku kan tadi sudah bilang lepaskan dia.”

Edo terkejut bukan kepalang, dia memutar kepala ke samping atas dengan wajah ketakutan. Di… di atas tumpukan kursi bekas? Sejak kapan dia naik ke atas? Da… dari arah mana? Tidak mungkin dia bisa naik tanpa ketahuan! Lagipula bagaimana dia bisa sampai…

Saat Edo mengejapkan mata sekali lagi, si bengal sudah tak berada di sana.

Hah!? Kemana lagi dia sekarang? Ba-bagaimana bisa? Kembali kepala sang bajingan itu bergerak tak tentu mencari si bengal. Kemana lagi dia sekarang?

Edo lengah.

Jbooogkkkkhhh!

Saat itu juga kepalan si bengal melaju kencang menghantam wajahnya tanpa ampun dari arah kiri, tidak perlu basa-basi. Edo pun terlontar ke samping tanpa daya, menubruk tumpukan kursi yang langsung jatuh berantakan. Si bengal tidak lantas diam, ia bergerak maju untuk mengejar dan mengunci tangan Edo yang memegang pisau. Tangan begundal itu diputar ke belakang, pisau itu pun terlepas.

Krrkkk!

“Haaarrrrrghhhhhh!” terdengar teriakan Edo yang sakit bukan kepalang saat tangannya diputar oleh Nanto, serasa ada yang lepas.

Hanna yang sudah aman melihat pertarungan Nanto dan Edo dari jarak yang cukup lumayan, ia menatap khawatir ke arah si bengal – tapi sejauh ini Nanto agaknya masih di atas angin. Tangan kiri pemuda itu menelikung tangan Edo yang satu lagi, sementara tangan kanannya mencengkeram bagian belakang kepala sang begundal.

Dengan kecepatan tinggi Nanto menjebloskan kepala Edo ke tembok.

Jbooogkkkkhhh! Jbooogkkkkhhh!

“Haaaaaarrgghhhhhh!” Edo melenguh kesakitan.

Pertemuan wajah dan tembok cukup membuat sang begundal habis daya, kepalanya pusing dan berputar-putar hebat seakan kepalanya hendak lepas. Nanto melepaskan tangan Edo yang sejak tadi ditelikung. Posisi mereka berubah, Nanto kini berada di depan lawannya. Si bengal bersiap dan dengan kecepatan tinggi melepaskan pukulan ke wajah Edo.

Jbooogkkkkhhh!

“Jangan pernah…”

Jbooogkkkkhhh!

“Ganggu…”

Jbooogkkkkhhh!

“Gadis ini lagi!”

Tiga kali wajah Edo dihantam oleh kepalan tangan kanan Nanto yang diluncurkan teramat kencang. Jalan sang begundal kini sempoyongan, wajahnya sudah tidak karuan, darah keluar dari hidung dan bibirnya pecah – menandakan kencang dan kuatnya kepalan si bengal. Tubuh Edo bagaikan boneka marionette lepas tali. Kesadarannya mulai kabur, ia hanya sanggup menggelengkan kepala saat melihat secara kabur si bengal memutar badan dan mengangkat kakinya.

“Ja-jang…”

Sblaaaakghhhhhkk!

Kepala Edo berputar kencang saat kepalanya disambar oleh telapak kaki Nanto. Tubuh sang begundal terlempar ke samping, hampir-hampir melayang dan menubruk tembok bangunan sebelum akhirnya jatuh ke tanah dengan berdebam. Nanto tak berhenti, ia melepaskan satu sepakan kencang ke kepala Edo yang sudah sangat lemas.

Jbooogkkkkhhh!

Mulut Edo terbongkar saat sepakan Nanto membuyarkan mulutnya, dua gigi melesat terbang. Edo berteriak kesal sekaligus kesakitan. Dia terengah-engah dengan mata nyalang menatap si bengal. Tapi Nanto hanya tersenyum sinis. Edo buru-buru bangkit dengan tangan terkepal, meski sempoyongan. Patut diacungi jempol determinasinya.

Wsh.

Edo terbelalak saat si bengal lagi-lagi lenyap dari pandangan. Tapi kali ini dia tidak perlu mencari kemana-mana karena kepalan tangan Nanto melesat kencang dari kanan wajahnya.

Sbooogkkkhhh!

“Hrrrghhh!”

Sekali lagi Edo terlempar, kali ini ia sudah benar-benar terkapar tak berdaya. Tangannya tak mampu diangkat karena seperti ada yang lepas, tubuhnya sangat lemas. Ia sudah kalah.

Nanto melangkah ringan untuk mendekati lawannya. Si bengal tersenyum sambil mendekatkan diri ke arah Edo yang terlentang.

“Su… sudah… jang…” Edo mencoba minta ampun.

“Berjanjilah kamu tidak akan mengincar gadis itu lagi.”

“Hrffhhh… hrrfff… ke-kenapa sa harus berjan…”

Nanto berdiri, lalu melihat posisi terlentang Edo. Ia bergerak ke samping untuk menginjak telapak tangan Edo dan memutar ujung kakinya dengan penuh kekuatan pada setiap ruas jari sang begundal. Tak pelak bajingan itu menjerit-jerit kesakitan dan meronta-ronta tak karuan.

“Haaaaaaaaarrrrghhhhhh!!! Iyaaaaa!! Iyaaaaa! Sa bersumpaaaaaaaaarrrgghhhhhh!!”

Nanto mengangkat kakinya dari tangan Edo. Si bengal membungkuk, mengangkat kepala Edo yang sudah berdarah-darah dan membisikkan beberapa kalimat di telinganya. “Ingat baik-baik sumpahmu itu. Kalau sampai aku tahu kamu mengincar gadis ini lagi bahkan jika kamu mendekatinya dalam jarak satu meter sekalipun, aku akan mengejarmu. Aku akan mencarimu, aku akan memburumu, dan aku akan melakukan apa yang tidak aku lakukan hari ini. Tidak hanya kamu saja, aku juga akan memburu setiap anggota keluargamu dan orang-orang yang dekat denganmu. Mengerti?”

Edo menganggukkan kepala dengan lemas, entah anggukan entah apa. Begundal itu terkapar dengan pasrah tanpa mampu bergerak bebas. Badannya sudah terlalu lemas bahkan untuk bergerak sedikit sekalipun.

Nanto meninggalkan Edo untuk menemui Hanna yang berdiri tanpa banyak kata di pojokan. Si bengal menarik tangan Hanna dan keduanya melangkah dalam diam. Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya keduanya kembali ke Cafe The Donut Pub milik Mbak Linda. Mereka duduk di kursi yang ditempatkan di depan cafe, saling berhadapan. Niken menatap penuh tanya dari dalam, Nanto duduk di depan Hanna dengan memunggungi Niken dengan harapan dia bisa melindungi Hanna dari penyelidikan si gadis di dalam cafe.

Tatapan mata Hanna masih kosong.

“Kamu tidak apa-apa?” Nanto menunduk untuk menatap langsung mata Hanna yang sejak tadi terpekur ke bawah.

Hanna mengangguk dan tersenyum, ia mencoba mendongak untuk menatap si bengal. Nanto membalas senyumnya dan memandang gadis itu dengan pandangan lembut. Hanna kembali menunduk dan rambut gadis itu tanpa sengaja jatuh ke depan wajahnya. Nanto memberanikan diri untuk membenahi rambut Hanna dan mengaitkannya ke daun telinga. Si bengal tahu Hanna sedang berusaha keras untuk terlihat kuat, meski sesungguhnya batinnya shock oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Siapa yang tidak akan shock? Dia toh tetap gadis biasa dan peristiwa tadi pasti mengerikan.

Nah benar saja.

Sekilas Nanto melihat ada bening yang meluncur dari ujung pelupuk mata Hanna. Gadis itu menunduk dengan bibir bergetar, ia menggelengkan kepala – tidak ia tidak baik-baik saja. Tak lama kemudian ia menarik si bengal agar lebih mendekat. Nanto diam saja saat Hanna kemudian menenggelamkan kepala di dadanya. Tidak butuh waktu lama sebelum gadis jelita itu lantas sesunggukan.

“Tidak apa-apa, tumpahkan saja.” bisik Nanto.

Beberapa saat kemudian sesunggukan Hanna berubah menjadi tangisan kencang. Ia memeluk si bengal erat seakan meminta perlindungan. Ia bersyukur tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan yang terjadi. Ia bersyukur ada Nanto yang hadir saat ia dalam bahaya.

“Jangan khawatir. Ada aku di sini. Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakitimu.”

Si bengal mengelus rambut gadis itu dengan lembut.

Hanna memeluk Nanto lebih erat dan menumpahkan semua rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Tangisannya yang kencang membuat beberapa pasang mata yang juga sedang duduk di dekat mereka menatap keduanya.

Saat itulah mobil Glen berhenti di depan Cafe.

Bersambung

Gambar Bugil Ngentot Animasi Gif Bergerak
Bercinta Dengan Frida Temen Kost Yang Paling Cantik
Ngentot gadis bugil
Wanita Setengah Baya Yang Selalu Ku Inginkan
gadis bugil
Gara Gara Belajar Ilmu Hipnotis Kakak Dan Pembantu Ku Jadi Korban
Foto Ngintip Abg Cantik Mulus Pipis di Toilet Umum
Foto bugil pamela duo srigala terbaru toge bugil toket tumpah tumpah
guru oral sexs
Bu guru cantik yang mengajari bagaimana caranya oral sexs
Memek basah becek cewek bispak anak surabaya
hilang perawanku
Keperawananmu Membuktikan Cinta Sucimu
Abg Berenang Bugil di Kolam Renang Umum
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
atasanmaniak
Ngentot dengan atasan yang sexy dan hyper sex
suster nakal
Suster cantik yang membantu proses kesembuhanku
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dokter Cantik
janda semok
Gara-gara melihat G-String janda cantik penis ku langsung berdiri
terapis pijat cantik
Kocokan terapis panti pijat yang bikin ketagihan