Part #27 : MENCARI CINTA
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”
– Sapardi Djoko Damono
Pipi Nanto memerah, pedas rasanya. Sepedas boncabita level 20 hot and spicy. Telinganya juga panas, harus mendengar makian-makian yang sepertinya berasal dari daftar administrasi warga penghuni kebun binatang mulai dari yang berukuran raksasa sampai yang berbentuk molusca. Seandainya saja bisa, ia akan membalas – masalahnya bukan bisa atau tidak, tapi lebih ke tega atau tidak. Dia bukan orang yang akan memanfaatkan kemampuan untuk berlaku semena-mena. Seandainya dia jadi Glen, dia pasti juga akan melakukan hal yang sama.
Laki-laki mana yang tidak akan ngamuk melihat pasangannya ada di pelukan laki-laki lain?
“Berani-beraninya kamu!!” Glen memaki-maki Nanto dengan wajah yang setali tiga uang dengan wajah merah si setan Insidious. Tensinya mungkin sudah hampir meledak, pria yang mengenakan baju kutung dan berbadan kekar itu mendengus-dengus dengan keringat menetes deras. Muncratan ludahnya berulang kali terkena Nanto yang entah harus mengelak bagaimana lagi .
“Sudaaaaaah, Mas! Sudaaaah!” Hanna mulai panik melihat Glen makin lama makin tak terkendali.
“Maaf kalau saya bikin Mas marah… sama sekali saya…” Nanto menunduk.
“Bajinguk! Lambemu koyo tae kocheng! Tok pikir kowe ki sopo je, Nyuk? Seenak wudel meluk-meluk punya orang!” Glen sungguh berang, “Wasssu! Kamu itu siapa, datang dari comberan mana bikin hidupku berantakan, he? Ini yang pertama dan terakhir, ngerti!? Kalau sampai diulang lagi yang begini, aku bakal bikin hidup kamu sengsara sampai mati!”
Nanto masih diam saja. Dia merasa tak nyaman karena beberapa pengunjung cafe kemudian memilih untuk meninggalkan tempat itu, sedangkan Niken menatap waswas dari dalam. Woalah kok ya ga pernah berhenti goro-goro begini terjadi padanya.
“Jangan. Pernah. Menemui. Hanna. Lagi.” Glen menatap Nanto dengan pandangan ketus, “paham?”
Hanna yang kemudian marah, “Mas! Apa-apaan sih kamu!? Dia ini tadi sudah nyelametin aku! Kalau ga ada dia, gimana nasib aku? Kamu bisa bayangin ga sih?”
“Alaaah, paling dia ini modus! Nyelametin kamu ada maunya!”
“Saya ga ada maksud…” Nanto mencoba menimpali, tapi langsung berhenti ketika ia melihat Hanna yang berada di balik Glen menggelengkan kepala.
Gadis itu kemudian mencoba mendekati Glen dan menyentuh pundaknya dengan lembut. “Dia bukan orang seperti itu, Mas… dia…”
“DIAAAM KAMUU! DASAR LONTEEEE!!”
Mendengar ucapan Hanna, Glen justru makin panas. Ia memutar badan dengan tangan terangkat hendak menampar. Gadis itu pun meringkuk ketakutan, bersiap menerima tamparan yang bukan kali ini saja dilayangkan oleh Glen.
Tap.
Saat itu juga pergelangan tangan pria yang sedang gelap mata itu ditangkap oleh Nanto. Kepala Glen berbalik ke belakang, menatap si bengal bagaikan seekor harimau yang mengamuk karena gagal memangsa kancil. Matanya yang melotot makin menyala karena kemarahan yang hampir-hampir tidak dapat dikendalikan.
“Sebaiknya mulutnya dijaga supaya bicaranya yang baik-baik saja, Mas. Hanna tidak salah apa-apa, kenapa tidak bisa lebih lembut sedikit? Tunangan sampeyan itu baru saja melalui hal yang mengerikan buat dia, hampir saja menjadi korban entah untuk kejahatan macam apa. Tugas sampeyan adalah menenangkan dan memberinya perlindungan. Memastikan hal yang sama tidak terjadi lagi.” Nanto berbicara dengan perlahan dan sesopan mungkin, dia tidak ingin menimbulkan keributan yang akan membuat Hanna malu dan lokasi kerja barunya jadi berantakan. “Silahkan saja sampeyan mengata-ngatai saya, memaki-maki saya sejembar-jembare sabar sampeyan, sak jero-jerone wudel sampeyan. Saya rela, saya ikhlas, tapi kalau sampai sampeyan menyakiti dia…” Nanto mendekatkan kepalanya pada Glen dan berbisik dengan nada tajam, “sampeyan harus berhadapan dengan saya. Saya paling tidak suka melihat laki-laki yang ringan tangan terhadap perempuan.”
“Munyuuuuuk! Wasu tenan kok kowe ki! Kamu pikir kamu itu siapaaaa!? Dasar bajingaaaa…”
Tangan kanan Glen bergerak cepat, melaju kencang hendak menghajar kepala Nanto.
Tap.
Dengan mudah kepalan Glen ditangkup oleh si bengal. Tunangan Hanna itu menatap ke arah Nanto tak percaya, antara geram, jengkel, sekaligus malu. Bagaimana bisa dia menangkap pukulannya? Dia menarik tangannya dengan kasar.
“Jangan membuat saya melakukan yang lebih jauh lagi.” kata si bengal pelan namun tegas, “kalau untuk yang tadi saya akan mengaku salah dan membiarkan sampeyan menampar saya, saya ikhlas. Tapi kalau yang sekarang saya tidak akan segan-segan membalas karena saya tidak ingin membiarkan sampeyan berlaku kasar sama Hanna!”
“Munyuuuuuuuk!!”
Pukulan Glen dilontarkan dengan kencang dan penuh tenaga, dilihat dari gerak dan energi yang dikeluarkan – ini bukan pertama kalinya orang ini terlibat dalam baku hantam. Mungkin pukulan itu akan menemui sasaran dan lawan tersungkur dalam satu sengatan… kalau saja yang dihadapi Glen bukanlah Nanto.
Nanto dengan mudah mengelak. Secara reflek ia lantas menggerakkan tangan ke depan, telapak tangannya berada di depan dada Glen, mungkin hanya berjarak sekitar lima belas sentimeter. Sebelum Glen bereaksi lebih lanjut, Nanto menurunkan badan dan kaki, memutar setengah badan atas, dan mendorong telapak tangannya ke depan dengan hentakan tegas!
Dpph!
Glen mundur hampir satu meter ke belakang hanya oleh satu serangan pelan itu, tapi dia masih berdiri tegap dengan mata nyalang menatap ke depan, antara terkejut dan geram bukan kepalang. Si bengal maju mengejar. Sebelum tangan Glen menyerang, Nanto menangkap pergelangan tangan kanan lawan dengan tangan kirinya, lalu memutar untuk mengunci gerakan. Tangan kanan Nanto lantas maju dan menderapkan lima hantaman kencang ke posisi tengah Glen. Semua masuk tak tertahan.
Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!
Glen melotot dan tersedak ketika kelima pukulan si bengal masuk, ia bahkan tak mampu menahan atau menghindar. Tubuh kekarnya terlontar ke belakang, menghantam tembok pagar pembatas antara ruang di luar cafe dan jalan raya. Teriakan kesakitan kencang keluar dari mulutnya, ia memegang tangan yang tadi terantuk tembok dan dada yang terasa bagai dihantam banteng.
“Arrrrrghhh! Tangankuuu!”
Sepertinya ada yang salah dengan tangan Glen, karena ia terus menerus mengerang sambil memegang lengan. Mungkin terkilir saat terhantam di tembok. Beberapa orang menatap kejadian itu sambil terkejut. Seorang satpam yang tadinya berjaga di dekat pintu gerbang ruko berlari tergopoh-gopoh dari kejauhan.
“Stop! Stoooop!! Sudah, Mas! Sudah!” Hanna menghentikan laju Nanto. Ia menatap memelas ke arah si bengal sambil terengah-engah. Si cantik itu mendorong Nanto menjauh agar menghentikan serangannya yang membabi buta. “Sudah! Jangan diperpanjang lagi, Mas! Sudah cukup!!”
Nanto tertegun, ia memejamkan mata dan menarik napas panjang. Aduh! Apakah dia kelewatan? Lagi-lagi dia kelepasan. Celaka.
“Maaf.” Nanto mundur teratur.
Hanna mengangguk, wajahnya memerah karena ia tak bisa mencerna semua kejadian dengan mudahnya, semua berlangsung begitu cepat, begitu rumit, dan begitu pelik. Satu-satu, Hanna harus menyelesaikan semua satu demi satu. Itu tidak bisa ia lakukan di sini seandainya Glen dan Nanto masih berada di lokasi yang sama. Buru-buru gadis itu mengangkat tubuh Glen yang mengerang kesakitan. Ia memondong lengan Glen dan memandunya ke mobil.
Ketika satpam datang, Hanna meminta tolong padanya untuk membawa Glen ke mobil. Sang satpam pun kemudian buru-buru memasukkan Glen ke dalam mobil dan meletakkan pria itu di posisi yang senyaman mungkin.
Sebelum Hanna masuk ke mobil, Nanto mengejarnya.
“Aku…” Nanto kembali mencoba meminta maaf, entah untuk keberapakali.
“Aku antar dia dulu, Mas. Maaf dia tadi sudah salah paham, nanti aku yang akan menjelaskan semuanya ke dia. Aku berterima kasih banyak sama Mas Nanto tadi sudah menolong aku. Maaf kalau akhirnya seperti ini. Aku sangat-sangat berterima kasih dan juga minta maaf atas kelakuan Glen.”
“Aku… minta maaf.”
“Aku pergi dulu.” Ucap Hanna lemah pada Nanto. “Kunci mobil aku titip ke Mbak Niken. Nanti biar diambil orang rumah ke sini.”
Hanna menatap Nanto lama, seperti ada ribuan kata yang hendak terucap, namun tak satupun yang keluar dari dalam mulutnya. Bisikan pelan pun tak ada, hanya tatap mata yang saling bertautan. Gadis itu lantas berlari kecil untuk masuk ke mobil dan segera memacu mobilnya ke rumah sakit terdekat supaya Glen mendapatkan perawatan.
Nanto hanya menatap ke arah debu-debu yang ditinggalkan tanpa banyak kata, termangu dalam diam.
Niken yang memegang sapu tiba-tiba saja berdiri di sebelah si bengal, sama-sama menatap ke arah kemana mobil dibawa oleh Hanna. “Kamu bereskan yang tadi berantakan, disapu sampai bersih, terus traktir aku makan nasi goreng pojok sana. Tidak sepatah katapun akan keluar dari mulutku ke Mbak Linda.” Ucap gadis itu lempeng tanpa ekspresi sambil menyerahkan sapu ke Nanto. “Deal?”
“Deal.”
Niken mengangguk, menepuk pundak Nanto, membalikkan badan, dan melangkah kembali menuju tempat kasir sambil tersenyum, urusan makan hari ini beres.
Nanto masih menatap ke arah jalan.
.::..::..::..::.
“Apa yang kalian inginkan?”
Abi mendengus menatap wajah Rao, Remon, dan Kori satu persatu. Ketiganya nampak tak gentar dan berdiri menantang. Tentu saja mereka tak ada rasa takut sedikitpun, karena yang hadir di warung siomay itu bukanlah pemuncak gunung menjulang yang sesungguhnya dan ini merupakan wilayah operasional DoP, jadi kenapa mesti gentar?
“Seharusnya kami yang bertanya seperti itu kan, dab?” Remon terkekeh sinis, ia mendekati Abi dan menggunakan pundak laki-laki pendek itu sebagai tumpuan siku tangannya. “Apa yang kalian lakukan di sini?”
Abi menggerakkan pundaknya dengan kasar, “kami hanya sekedar cari jajan saja. Tidak ada maksud lain.”
“Jajan atau memata-matai kegiatan DoP?”
“Cih! Buat apa kami melakukan itu? Kurang kerjaan!”
“Jangan provokasi dia, Remon. Mukanya sudah merah padam.” celetuk Kori sambil duduk di sebuah kursi. Kebetulan di tempat yang sama di hadapan Kori duduk dua orang mahasiswi yang ketakutan melihat pertemuan kedua kelompok geng kampus. Kori tersenyum sambil menggeser kecap manis ke arah kedua gadis. “Pakai kecap manis ini tambah enak siomay-nya. Maaf kalau kami terlalu berisik ya. Ini hanya masalah uang arisan saja.”
Remon tertawa sambil menutup akses Abi ke arah Rao yang saat itu duduk di depan Hageng.
Rao melepas kacamata hitam yang ia kenakan dan meletakkannya di meja. Ia menjulurkan tangannya dengan santai. “Salam kenal. Kamu pimpinan sementara Sonoz? Aku Rao.”
Hageng menganggukkan kepala, ia menyalami Rao, dan kembali melanjutkan makannya. “Gahgnk.”
Rao, Remon, dan Kori saling berpandangan. Hah? Ngomong apa dia barusan?
“Uhuk. Hageng.” Abi berkata pelan sambil malu, “namanya Hageng. Mulutnya baru penuh.”
“Ah, Hageng ya.” Rao tersenyum lagi.
Hageng mengangguk.
“Kamu sepertinya orang yang menarik.” Kata Rao, “pasti menarik kalau Simon saja sampai memilihmu menjadi penggantinya untuk sementara waktu.”
Hageng mengangkat bahu tanda ia tak peduli.
“Bangsat nih orang. Berhadapan sama Rao ga hormat banget.” Remon mendengus dan maju mendekat ke arah Hageng. Sang T-Rex sendiri sama sekali tidak ambil pusing dengan gertakan Remon. Dia masih tetap makan dengan asyiknya. “Heh! Jangan kurang ajar kamu! Dia ini pimpinan tertinggi DoP! Hormat dikit!”
Sebelum Remon sampai di posisi Hageng, Abi sudah melesat untuk menghalanginya. Abi dan Remon sama-sama saling tatap dan mempersiapkan kepalan.
“Remon…”
“Iya, Bos.”
“Kamu jangan macam-macam.” Rao mengingatkan dengan suara tenangnya. “Jangan bikin kisruh di warung orang. Kasihan Pak Tarman.”
“Siap, Bos.”
Remon mengangguk dan melenturkan diri. Dia pun mundur perlahan sambil mencibir ke arah Abi dan tertawa menghina.
“Kamu pimpinan DoP?” tiba-tiba Hageng berbicara meski masih asyik mengunyah siomay bumbu kacang. Dia masih bersikap acuh tak acuh.
“Sepertinya begitu.” Rao mengiyakan.
“Kalau begitu kebetulan kita ketemu di zini.” Hageng menenggak minumannya, teh anget tawar. “Ada yang ingin aku zampaikan ke zampeyan.”
“Oh ya?”
Tanpa babibu, tiba-tiba saja Hageng berdiri dengan tegap. Ruangan di warung itu seakan-akan berubah menjadi sedikit lebih gelap saat sang T-Rex berdiri menutup cahaya yang memenuhi ruangan.
“Aku akan melakukan zatu hal yang gagal dilakukan oleh Zimon.”
“Yaitu?”
“Aku akan mengalahkanmu dalam pertarungan zatu lawan zatu, demi menuntazkan dendam bertahun-tahun para petinggi Zonoz.” Ucap Hageng sambil tersenyum sinis dan penuh percaya diri. “Ini tantangan rezmiku. Hageng verzuz Rao.”
Rao, Remon, Kori, bahkan Abi semua menatap Hageng tak percaya. Sambel goreng krecek satu ini serius? Mau menantang Rao? Yakin nih? Sudah bosen hidup?
Rao tertawa.
“Bagus! Bagus! Begini baru orang Sonoz!” Rao mengangguk dan menggebrak meja. “Aku terima tantanganmu! Hageng lawan Rao! Satu lawan satu! Tidak perlu tarung antar wakil, tidak perlu tempat netral, tidak perlu massa, tidak perlu wasit, tidak perlu saksi, tidak kebanyakan tetek bengek! Akan aku layani, kapan saja di mana saja.”
Hageng mendengus dan tersenyum, kali ini dia yang menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Aku akan mengabarkan lokazi dan jamnya dalam waktu dekat. Yang jelaz tidak zekarang. Ziomayku belum habiz dan aku mau nambah. Zekarang kita makan ziomay zaja dulu. Ini enak banget, zumpah!”
“Bener banget!” Rao menyalami Hageng dan duduk sambil tertawa-tawa. Pimpinan tertinggi DoP itu lantas melambaikan tangan ke anak buah Pak Tarman yang sedang duduk di dekat panci siomay sambil menatap gelisah sewaktu kedua kelompok geng kampus itu berhadapan, ini rombongan begundal kok ga segera pergi dari sini malah makannya nambah. “Mas! Aku siomay lagi satu porsi. Komplit. Digoreng. Minumnya es teh manis ya.”
Mas-mas siomay mengangguk sambil dengan gugup menyediakan makanan untuk Rao.
“Aku setuju sama sampeyan, di sini memang siomay-nya paten. Juwarak.” Kata Rao pada Hageng. “Dibandingkan dengan yang di Jalan Kalipenyu atau di perempatan Kentongan – yang di pinggir ringroad? Lebih nyamleng yang di sini.”
“Zetuju, bozque. Apalagi bumbu kacangnya juga mazuk. Tambah zedep.” Hageng menimpali. “Kalau pempek di dekat zini ada yang enak tidak?”
“Pempek?”
“Iya, pempek.”
“Paling yang depan Mal Plaza. Itu sih yang menurutku paling lumayan, dari segi harga dan rasa. Rasanya sedep pedes nagih, harganya sedep murah ngangenin. Hahaha.”
“Weizzh! Cocok, Mazbro! Zaya juga suka tuh ke zana.”
Tak lama kemudian siomay Rao dihidangkan.
Kedua petinggi geng kampus yang sebentar lagi akan berhadapan itu pun makan siomay dengan lahap dan santai sambil bercakap ringan, tidak ada perbincangan serius, hanya guyonan seputar siomay dan jajanan kuliner di kota yang menghiasi senda gurau keduanya.
Kori mendengus. Jendral DoP itu hanya tertawa kecil melihat keakraban Hageng dan Rao, sedangkan Abi dan Remon hanya bisa geleng-geleng kepala.
.::..::..::..::.
“Hihihihi.”
Roy cuek mendengar suara tawa itu.
“Hihihihi.”
Roy masih cuek.
“Hihihihi.”
Roy menghela napas, ia menatap ke arah Bian yang masih rebahan di tempat tidur rumah sakit sembari melirik dan menutup mulutnya karena tidak ingin tertawa terlalu lepas saat menatap Roy.
“Hihihihi.”
“Oke! Oke! Kenapa kamu ketawa? Bikin risih aja!”
“Hihihihi.” Bian mencibir, “ge’er banget, Masbro. Emangnya ngetawain kamu?”
“Jangan macem-macem lah!” Roy membalas dengan ketus, “lagi ga mood becanda!”
“Roy sang penggerutu.” Ejek Bian sambil menyebutkan julukan Roy saat masih SMA. Kala itu Roy memang sedikit-sedikit mengeluh karena ini dan itu. “Kenapa juga harus bad mood. Harusnya seneng dong, bisa nganterin pulang Suster Rania.”
Wajah Roy merah padam. “Tompel jerapah! Tahu dari mana woy?”
“Begini begini aku juga punya telik sandi. Ga cuma kamu.”
“Telik sandi apaan di rumah sakit?”
“Perawat juga manusia, mereka hobi gosip. Hahahaahah.”
“Huff.” Kepala Roy bagaikan mengeluarkan asap, ibarat ketel yang air rebusannya matang. “Be… begitu.”
“Ga perlu malu, lah. Memang cantik kok Suster Rania.”
“Iya…”
“Ada harapan?”
“Ga tau. Dia masih lempeng-lempeng aja.”
“Jadi sekarang kamu sudah tahu rumahnya?”
“Sudah.” Roy menunduk malu dengan wajah memerah, “kan memang itu tujuannya nganterin dia pulang. Supaya aku tahu di mana posisi rumahnya, jadi bisa nyamperin lagi kapan-kapan.”
“Bagus.” Bian manggut-manggut, “begitu baru saudara kembarku. Jangan bikin malu.”
“Entah kenapa… seperti ada sesuatu yang misterius dari Rania, bro. Seperti ada yang dia sembunyikan dan tak ingin banyak orang tahu.” Roy mengangkat bahunya, “atau… entahlah. Mungkin itu hanya firasatku saja.”
“Itu firasatmu saja, Suster Rania orang baik. Bayangkan saja, dia banyak membantuku dan orang-orang sakit lain, meski sebenarnya itu sudah lewat jauh dari jam kerjanya. Dia benar-benar mengabdi di sini, untuk kesembuhan para pasien, bukan hanya sekedar bekerja mencari duit.” Bian mendesah, “kalau memang kamu menyukainya, jangan setengah-setengah mendekati dan terima dia apa adanya.”
“Aku mendengarkan nasehat dari seorang jomblo akut yang cerita cintanya payah.”
“Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.”
“Heleh.”
“Aku serius, Bro. Aku yang sehari-hari lihat gimana telatennya Suster Rania yang sering mampir ke bangsal untuk sekedar mengajak ngobrol pasien-pasien sepuh yang jarang ditengok keluarganya agar mereka tidak merasa kesepian. Cewek pilihan itu.”
“Kok kamu bisa lihat kesehariannya Rania?”
“Kan pasien di sebelahku ganti-ganti terus. Dia yang sering ngurusin. Ini aja kebetulan pas lagi kosong ga ada pasien nempatin.”
Roy manggut-manggut.
Tak lama setelah Roy manggut-manggut seperti boneka mampang, ponselnya berdering – ringtone-nya lagu When A Man Loves A Woman.
“Ahahay.” Ledek Bian. “Dasar yang lagi kasmaran. Ga sekalian lagu Kopral Jono?”
Roy hanya mencibir dan mulai membuka smartphone-nya.
Wajah Roy berubah menjadi serius saat pesan yang muncul di gawainya, tangannya beraksi memencet sana dan memencet sini. Bian menguap dan siap-siap untuk rebah, hari ini entah terasa lama sekali, sudah bosan dan penat sekali dia tinggal di rumah sakit. Untunglah hanya tinggal menunggu keputusan dokter saja besok pagi dan kemungkinan dia besok siang sudah diijinkan pulang ke rumah.
“Bro.”
Tiba-tiba saja Roy memanggilnya.
“Hmm?”
“Kontakku sudah memberi kabar.”
“Apa maksudmu konta… oh.” Bian langsung terbangun dari rebahan. Dia baru teringat kalau Roy mencari-cari informasi mengenai anggota-anggota Patnem yang tersisa “Siapa yang ditemukan? Bagaimana kondisi mereka? Apakah mereka selamat?”
“Hanya satu anggota yang muncul, Beni Gundul. Dia selamat dan sedang bersembunyi, dia memberi kabar rahasia ke teman-teman Patnem lain supaya tetap bersembunyi sampai suasana aman kembali, bahkan kalau bisa meninggalkan kota dulu untuk sementara waktu. Dia juga mengumumkan kalau Patnem dengan ini dibekukan sampai waktu yang tidak ditentukan. Kontakku bilang info ini didapat dari anggota Patnem yang sembunyi juga – namanya Mijon.”
“Ya, aku kenal si Mijon. Sering jual minuman kemasan di Kalipenyu. Untunglah dia selamat, dia tidak punya siapa-siapa lagi. Selama ini tinggal di Panti Asuhan karena tidak pernah ada yang mau mengadopsinya.” Bian menarik napas panjang. “Begitu rupanya… Beni sudah memutuskan. Patnem sudah benar-benar habis.”
“Sepertinya begitu.”
Bian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Luar biasa ya perkembangan jaman. Kadang kita bagai para raja yang duduk di tahta, namun tidak berapa lama, entah karena alasan apa, kita tahu-tahu sudah terjerembab ke tanah tanpa bisa naik kembali.”
“Gila juga ya PSG, ga ada angin ga ada hujan tahu-tahu main sambar. Sampai sekarang belum ketahuan kan apa alasannya mereka menyapu bersih Patnem?” Roy geleng-geleng kepala.
“Mereka orang-orang baik, Bro. Orang-orang Patnem itu bukan geng begundal seperti kebanyakan bwajingan yang ada di PSG. Mereka punya otak yang sering dipakai, mereka hanya orang-orang kecil yang butuh perhatian. Tidak pantas mereka ditumpas sampai habis seperti ini.”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Mungkin Patnem memang sudah benar-benar habis, Bro. Seandainya pun bisa bangkit kembali, mungkin mereka tak lagi dapat bersinar seperti masa jayanya. Tapi kamu kan juga tergabung ke dalam kelompok lain yang potensial yang anggotanya sama sekali tidak banyak..” Ujar Roy sambil memainkan ponselnya di telapak tangan. “Jangan lupakan kami… dari Lima Jari. Tidak akan ada anggota PSG atau KSN yang bisa menyentuhmu selama kami ada.”
Bian tersenyum, “lima jari. Demi apapun, Bro. Kalau Nanto mau, aku akan berdiri terdepan membelanya sampai naik ke atas awan. Kelompok manapun yang mau dia hajar, aku bakal ikut. Behh… besok aku keluar dari sini, aku mau langsung melatih kepalanku kembali.”
“Aku juga akan melatih tendanganku lagi. Sudah mulai lembek.”
“Kita mungkin hanya butiran debu dibandingkan kelompok-kelompok besar lain.”
Roy tersenyum, “Memangnya kita peduli?”
Bian tertawa. “Sama sekali tidak. Bodo amat!”
Kedua kembar itu sama-sama tertawa.
Demi lima jari!
.::..::..::..::.
Rizka Eka Pratiwi menguap sambil menarik scroller di tepian layar ponselnya yang tengah menampilkan media sosial Instagram. Satu demi satu foto dilaluinya, dilihat, di-like, dikomen. Yang teman, yang rekan kerja, yang saudara, dan yang selebgram jualan baju dan pernak-pernik cantik menarik – tidak ada yang lepas dari perhatiannya, terutama sekali akun humor dan ajang julid di akun bibirberlebih, uwuwu, lokasi dahsyat cari informasi terkini dan ter-hits. Tak lupa tentunya meninggalkan like, komen, dan emoticon love di IG sang kekasih.
Rizka melirik ke DM-nya. Isinya sebagian besar cuma komentar dan ajakan iseng dari cowok-cowok yang belingsatan lihat foto-fotonya – yang kadang memang terbuka. Cuekin aja lah. Sang kekasih sendiri malah jarang mengirim DM, dia lebih suka berkomunikasi melalui WhatsApp.
Si cantik itu hanya mengenakan tanktop santai dan celana mini super pendek sembari bermalas-malasan di sofa ruang tamu, televisi menyala dan menayangkan film seri kriminal yang entah apa lagi – Rizka tidak memperhatikan. Pahanya yang putih mulus bagai gading terpampang jelas jenjang dan panjang. Ibarat nasi goreng hotplate ditaruh di dalam ruang sauna. Hot banget! Untung tidak ada Kakek Sugiono hari ini, karena arah kisah bisa tiba-tiba berubah – dari cerita action menjadi cerita ihik ihik, ye kan?
Terdengar pintu depan terbuka.
Hanna memasuki ruang istirahat dengan gontai. Wajahnya kuyu, sembab, dan… eh, kenapa mata kanannya ditutup kapas? Rambut Hanna yang panjang digerai tepat di depan wajah untuk menutup wajah bagian kanan yang ditutup kapas.
Rizka tentu saja penasaran dengan adiknya itu. “Mata kamu kenapa, Dek?”
Hanna menggeleng kepala, gadis itu berusaha melalui sang kakak dengan secepat mungkin. Ia mencoba kabur ke anak tangga sembari menyembunyikan wajahnya.
“Ga apa-apa kok. Cuma sakit aja tadi kelilipan.”
“Hanna! Sini dulu! Kakak mau liat! Kelilipan masa sampai ditutup gitu? Udah ditutup kapas, ditutup rambut. Kayak ada yang disembunyiin aja, jangan-jangan kamu belekan ya?” sang kakak tertawa sambil berlari kecil ke arah Hanna.
Hanna justru mempercepat jalannya, dia tidak ingin semua orang rumah jadi tahu kalau… ah! Rizka berhasil menangkap pergelangan tangan Hanna.
“Kamu kenapa!??”
Rizka shock saat melihat kondisi sebenarnya dari Hanna. Sekeliling matanya membiru dan bengkak.
“Apaan sih! Aku ga apa-apa!” protes Hanna.
“Ast… Itu bukan kelilipan, Hanna! Itu… itu… Kamu sudah ke dokter?”
“Aku bilang aku tidak apa-apa!” Hanna menyentakkan tangan supaya pegangan tangan Rizka terlepas. “Ini gara-gara aku jatuh tadi sewaktu keluar dari mobil.”
“Hanna! Kamu pikir kakakmu ini orang bodoh apa!?” Rizka marah. “Mana ada jatuh kayak gitu? Itu gara-gara kamu dipukul! Siapa yang mukul kamu?”
“Tidak ada! ini bukan dipukul! Ini jatuh!” Hanna mengernyitkan dahi dengan galak dan buru-buru menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamar. Pintunya ditutup dengan keras.
Rizka menghela napas dengan kesal.
Orangtua mereka harus tahu masalah ini!
Ia menggigit bibirnya dengan geram, jangan-jangan ini ulah Glen?
.::..::..::..::.
Deka diam saja sepanjang perjalanan turun dari lokasi hotel melati tempatnya dan Ara baru saja wikwik ihik ihik. Wajah pemuda itu menampakkan wajah khawatir yang tidak bisa ia sembunyikan, dan Ara penasaran kenapa dia seperti itu. Mana mungkin Deka menjawab kalau dia khawatir dengan nasib Dinda yang saat ini sedang kebingungan menghadapi kedatangan Amar?
Deka dan Ara berhenti di Warung Kopi Klotak untuk menikmati makan sembari ngemil pisang goreng yang juwarak.
“Ada apa sih, Mas? Kenapa kamu seperti itu” tanya Ara penasaran. Ia merapikan piring Deka yang baru saja selesai makan.
“Seperti itu bagaimana?”
“Kamu tiba-tiba saja berubah setelah baca WhatsApp tadi.”
“Ah nggak juga.”
“Ayolah, Mas. Kamu itu paling tidak bisa bohong, kalau pas lagi khawatir dengan sesuatu, wajahmu berubah. Aku langsung tahu kamu mengkhawatirkan sesuatu.” Ara yang duduk di samping Deka merangkul sang kekasih. “Gak pengen cerita sama aku?”
“Tidak ada yang perlu diceritakan, kok.”
Ara menempelkan telinganya di dada sang kekasih, sekalian bergelayut manja. “Jantungmu berdebar kencang, Mas. Apa sih yang kamu pikirin? Kenapa aku tidak boleh tahu?”
“Aku…” Deka kebingungan mencari alasan, “aku… hanya mengkhawatirkan Nanto dan sahabat-sahabat yang lain. Terutama Bian, dia sedang dicari oleh banyak orang.”
“Ini sudah pernah kamu ceritain sejak beberapa hari lalu. Sepertinya bukan itu deh.”
“Memangnya kamu maunya cerita yang seperti apa lagi? Diem salah, jujur salah.”
Ara mendesah. “Kita ini sudah hampir menikah. Kejujuran dan kepercayaan itu sangat penting dalam kehidupan berpasangan. Itu pondasinya. Kalau kamu tidak mau cerita, itu artinya kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Kalau kamu masih menyembunyikan sesuatu, itu artinya kamu tidak percaya sama aku. Kalau tidak percaya sama aku, kenapa kita masih bersama?”
“Aku…”
“Kalau menurut Mas Deka, siapa yang paling penting di dunia ini? Teman, saudara atau pasangan? Siapa yang akan menghabiskan sisa waktu hidup bersama Mas Deka?”
“…kamu yang paling penting untukku.”
“Jadi kenapa Mas Deka tidak mau cerita?”
“Karena…”
“Karena?”
“Karena aku masih harus mencari waktu dan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan situasi saat ini, sayang. Aku pasti akan cerita… tapi bukan saat ini. Ada hal-hal yang harus aku proses terlebih dahulu sebelum aku cerita ke kamu.”
“Jawab satu pertanyaan saja dan aku tidak akan bertanya apa-apa lagi sampai kamu cerita.”
“Oke.”
“Apakah ada hubungannya dengan seorang cewek?”
Gleg. Modyarmu kapan. Jujur ajur, ngapusi tambah bubar. Pilih yang mana?
“Iya.” Deka menunduk.
“Wow.” Ara yang tadinya bersandar ke Deka, kini duduk tegak dengan wajah cemberut.
“Kok wow?”
“Sebegitu pentingnya cewek ini, sampai-sampai untuk cerita ke aku saja kamu butuh waktu ya? Kamu butuh kata-kata yang tepat ya? Kenapa? Biar aku ga marah?” nada suara Ara berubah menjadi ketus. “Ya udah kamu persiapkan dulu waktu dan kata-kata. Sampai tahun depan juga ga apa-apa.”
Tuh kan ngambek.
“Ara… dengerin aku dulu… justru karena aku sayang banget sama kamu jadi aku harus hati-hati. Liat aja sekarang, baru segitu aja kamu udah…”
“Jangan melemparkan kesalahan ke aku! Kan kamu yang ga mau cerita pake alasan waktu trus bingung memilih kata trus apalah tetek bengek.” Ara bangkit dari duduknya dan menarik tas yang ia bawa. “Aku pulang duluan! Terserah kamu mau pulang kapan. Sampai besok di sini juga boleh.”
“Heh! Araaa! Ara! Kamu pulang naik apa? Ara!?” Deka panik dan kalang kabut.
Ara tidak menengok ke belakang, dia langsung memesan ojol. Bibirnya cemberut.
.::..::..::..::.
Pulang kerja.
Ya, pulang kerja.
Rasanya aneh mengucapkannya. Tapi sungguh-sungguh terjadi hari ini. Nanto akhirnya bisa merasakan gimana itu rasanya pulang kerja – pulang di hari pertama masuk kerja. Hohoho. Meski tidak seberapa nilainya, akhirnya bisa juga dia mencari uang sendiri. Setidaknya sebagai batu loncatan sebelum akhirnya dia benar-benar bisa bekerja di tempat yang lebih baik dan lebih mapan.
Di The Donut Pub tadi dia sempat berkenalan dengan dua kawan yang bekerja di shift malam, mengatur kegiatan yang harus dikerjakan besok dengan Niken, sembari mengulang kembali apa-apa saja yang harus dipelajari. Sepertinya Nanto akan menikmati kerja di cafe-nya Mbak Linda.
Sayang ada sedikit masalah.
Andai saja hari ini tidak ada kejadian yang menimpa Hanna dan datangnya Glen, semua rasanya akan berjalan baik-baik saja. Tapi sore ini… Nanto harus memastikan dan menyelesaikan satu masalah dahulu sebelum terlalu berlarut-larut.
Si bengal saat ini berada di sebuah gedung kosong menjulang di samping UAL. Ada tiga orang lain yang bersamanya saat itu.
“Selamat datang di Kandang Walet, masbro.”
Nanto mengangguk-anggukkan kepala. “Luar biasa. Satu gedung khusus dikuasai DoP, paten emang kalian.”
“Hehehehe. Salah satu keuntungan kuliah di UAL.” Ucap Rao yang duduk di kursi khusus. “Kebetulan memang ada gedung kosong di sebelah kampus. Kita manfaatin aja, ye kan?”
Remon dan Kori menatap dingin ke arah Nanto. Orang ini yang ditawari langsung menjadi jendral? Memangnya sekuat apa dia sampai-sampai langsung mendapatkan penawaran yang sangat eksklusif langsung dari Rao? Tidak salah nih? Apa hebatnya cecunguk satu ini?
“Kamu di sini untuk jabatan itu?” tanya Rao langsung ke pokok permasalahan. “Jabatan yang aku tawarkan? Sebagai Jendral DoP?”
Nanto mengangguk. Ia mendesah panjang, “Aku ini orang yang banyak maunya, masbro. Salah satu yang paling aku mau adalah bebas. Aku susah bekerja saat menjadi anak buah orang lain.”
Rao mengernyitkan dahi.
Nanto melanjutkan, “singkat kata aku hanya akan mau menerima satu jabatan darimu.”
“Wuih. Mantap. Sebut saja jabatannya, maka itu bakal jadi milikmu.”
Nanto maju ke depan dan berada tepat di depan Rao. Kori dan Remon bersiap, tapi Rao menggelengkan kepala pada mereka untuk tidak bereaksi. Dia hanya tersenyum saat berhadapan langsung dengan si bengal.
“Jabatan apa yang kamu inginkan?”
“Satu-satunya jabatan yang aku inginkan saat ini, adalah jabatan pimpinan DoP. Jika kamu menawariku sebagai jendral, aku akan menolaknya. Jika sampeyan ingin aku masuk DoP, maka serahkan kepemimpinan DoP padaku, dan sampeyan yang akan kuangkat menjadi jendral. Bagaimana?” ucap Nanto tegas.
Senyum Rao terkembang. “Begitu.”
Pimpinan tertinggi DoP itu berjalan memutari Nanto.
“Satu-satunya cara untuk melengserkanku dari jabatan ini, adalah dengan merubuhkanku dalam pertarungan satu lawan satu.” Rao menundukkan wajah dan menatap ke arah Nanto dengan pandangan mata tajam. “Tidak ada yang pernah berani menantangku untuk merebut jabatan itu dariku selama ini, boleh saja jika mau dicoba. Akan aku ladeni. Kapan saja.”
Nanto membalas tatapan mata Rao. Sang hyena mengernyitkan dahi. Keduanya terdiam, cukup lama. Angin yang berhembus menyela keduanya. Baik Remon maupun Kori sudah sama-sama bersiap. Sedikit demi sedikit senyum mengembang di bibir kedua pemuda yang sedang saling tatap.
Kedua orang itu akhirnya tertawa terbahak-bahak.
“Bahahahahahahaha. Telek kowe, masbro.” Tawa sang Hyena memenuhi ruangan.
“Bahahahahahah…” Nanto menepuk-nepuk pundak Rao dengan geli. “Gek yo serius banget ki yo nopo, jal? Kenapa serius banget?”
“Masa ya guyon-nya mau jadi pimpinan? Hahahahah.”
“Hahahhahah. Aku tidak becanda. Hahahaha.”
“Serius? Hahahaha.”
“Serius. Hahahaha.”
Untuk beberapa saat keduanya menuntaskan tawa. Remon dan Kori hanya mengamati saja melihat keduanya, bingung harus bersikap bagaimana. Dua orang ini sama anehnya. Remon memandang Kori dan mempertanyakan apa yang terjadi, Kori hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.
“Jadi… piye, Dab?” Rao duduk dengan santai di kursi sambil menahan badan yang tersengal karena tertawa terbahak barusan. “Kamu ga mau jadi Jendral?”
“Hehehe.” Nanto terkekeh ringan, “aku tidak ingin berafiliasi dengan kelompok manapun saat ini. Sudah terlalu banyak masalah yang aku hadapi. Jadi aku terpaksa menolak tawaran itu, masbro. Terima kasih. Tapi lebih baik tidak untuk saat ini.”
“Aku mengerti.”
“Jangan salah sangka, aku bukannya tidak ingin berteman dengan kalian, denganmu… Aku hanya tidak punya waktu lebih sekarang. Aku sudah mulai bekerja dan sebentar lagi juga kuliah. Jika harus ditambah dengan kegiatan organisasi, aku takut tidak punya banyak waktu. jangan khawatir, aku akan membantumu sesekali saat kamu membutuhkan, masbro.”
Rao menganggukkan kepala, bisa terlihat dia sedikit kecewa. Tapi pimpinan tertinggi DoP itu lantas tersenyum, “aku tidak bisa memaksamu, dab. Kalau memang belum saatnya bergabung, ya tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa, tapi pintu kami terbuka lebar untukmu. Jabatan apapun yang kamu inginkan, kami berikan.”
Nanto mengangguk, dia membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Rao menuju ke tangga turun dari tingkat tertinggi Kandang Walet.
Di ujung tangga tertinggi, Remon berdiri bersandar tembok. Kapten DoP itu mengunyah permen karet. Wajahnya menatap Nanto dengan jijik.
Saat Nanto melaluinya, Remon meludahkan permen karet tepat di depan si bengal. Dia menghadang arah kepergian Nanto. “Telek banget kowe, dab. Tawaran paling penak sapenak-penake urip dari Rao kamu buang begitu saja. Kamu pikir kamu siapa? Sudah pernah ngerasain ditempiling wong ngganteng?”
Wasu. Ngakune ganteng ok piye.
Nanto tersenyum, “belum. Karena rasa-rasanya tidak ada yang ganteng hari ini di sini.”
Remon mendekatkan wajahnya ke Nanto, “Aku tidak melihat apa yang Rao sukai darimu, bagiku kamu hanya sekedar babi yang bisa disembelih kapan saja. Hati-hati kuliah di UAL, tidak semua dari kami sebaik Rao.”
Nanto mendengus. “Mas dab, jabatan yang ditawarkan padaku tadi Jendral. Sedangkan kamu hanya Kapten. Kenali pangkatmu.”
Nanto mendorong Remon ke samping.
“Bajinguk!” Remon mulai emosi, “aku tidak akan melupakan hari ini, dab!”
“Aku juga tidak akan lupa. Sekali lagi kamu buang permen karet di depanku, akan aku kembalikan barang itu ke tenggorokanmu.” Ancam Nanto dengan mata tajam dan senyuman sinis.
“Hahahaha! Bring it on!”
Nanto berjalan pelan menuruni anak tangga dengan langkah penuh percaya diri. Dia sebenarnya butuh bantuan pasukan untuk menghadapi ancaman dari sana-sini, tapi Nanto lebih memilih untuk menghindari konfrontasi dengan kelompok besar jika bisa. Seandainya dia mampu bertahan di bawah radar, mungkin PSG tidak akan bisa mengendus keberadaannya. Seandainya pun bergabung dengan geng kampus ini, kekuatan DoP tentu jauh di bawah PSG dan KSN. Satu-satunya jawaban terhadap ancaman yang ada, terutama untuk saat ini hanyalah stay low.
Suasana hening sejenak di lantai teratas Kandang Walet. Tidak Remon, tidak juga Kori berani mengucapkan sepatah katapun. Baru kali ini ada orang yang berani menolak tawaran langsung dari Rao – bahkan untuk jabatan sebagai Jendral!
Begitu Nanto sudah tak lagi terlihat di sekitaran Kandang Walet, Rao mengayunkan tangannya pada Kori.
Dengan gerakan ringan bagai terbang, jendral DoP itu berdiri di samping sang pimpinan. Rao menangkupkan kedua jari jemarinya sambil memandang lurus ke arah gunung yang menjulang di utara kota.
“Gimana, Bos?”
“Makin menolak makin bikin aku penasaran.” Rao terkekeh. “Cari tahu semua data diri bocah itu. Di mana rumahnya, tinggal dengan siapa, siapa kekasihnya, siapa teman-temannya, di mana biasa nongkrong, dan di mana tempat kerjanya. Pokoknya aku mau tahu lengkap informasinya.”
“Siap Bos.”
“Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku harus mencari cara apapun untuk membuatnya bergabung dengan DoP. Dia aset berharga yang tidak boleh lepas.” senyum bos tertinggi DoP itu terkembang. “Kita akan membuat penawaran yang tidak bisa ditolak – meskipun harus dengan ancaman sekalipun. Kekekekekek.”
Di kejauhan Remon tersenyum.
.::..::..::..::.
Kedung Layang adalah sebuah tempat wisata air terjun yang segar dan sejuk yang berada di perbatasan provinsi. Tak jauh dari lokasi wisata utama, di sebuah sudut yang masih belum tersentuh tangan gatal manusia yang hendak menjadikannya sumber penghasilan – terdapat sebuah gubuk sederhana yang menjadi lokasi apik jika ingin melihat langsung air terjun dari atas tebing. Dari gubuk itu bisa disaksikan gemericik air yang mengalir jernih sembari diselimuti udara yang berhembus dingin.
Sayangnya kawasan di mana gubuk itu berada adalah kawasan pribadi, tidak semua orang boleh masuk, tidak semua orang boleh duduk.
Di gubuk kecil itulah Jun dan X tengah berada kala matahari hendak terbenam.
Jun dan X duduk menikmati wedang ronde, mendoan, dan tongseng kopyok. Sajian khas berselera, orang duduk bersila. Tapi mereka berdua tidak berada di situ untuk sekedar menikmati kuliner dan indahnya alam di Kedung Layang.
Di depan mereka, seorang pria bertubuh tinggi besar sedang berlatih gerakan seni olah tubuh tai chi sembari menikmati gemericik suara air yang mengalir dari air terjun. Kaki dan tangannya bergerak dengan anggun, gemulai lembut yang tegas dan terarah. Pria itu hanya mengenakan celana pendek tanpa apa-apa lagi sebagai pembungkus tubuh, padahal udara dingin sejak tadi berhembus kencang. Selain karena tempat ini memang sejuk, tanda-tanda akan turunnya hujan mulai terbaca dari bau basah yang terbawa angin.
Pria itu seakan tidak peduli.
“Tai chi itu gabungan antara seni dan olahraga, fungsi utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan tubuh dan pikiran. Gerakan-gerakannya dibuat lembut menirukan gerak air mengalir di sungai. Rileks, tenang, dan fokus. Meski lembut, keseimbangan tubuh tetap terjaga untuk menopang posisi badan dengan kokoh.” Kata pria di hadapan Jun dan X dengan suaranya yang serak, wajahnya amat fokus dan santai. Jenggot dan kumisnya dibiarkan tumbuh berantakan, begitu juga rambut ikal panjang sepunggung yang diikat meski tidak lantas menjadikannya rapi. “Tujuan melatih tai chi adalah untuk menjaga konsentrasi, mengatur napas, dan mengatur gerakan badan agar bisa menjelma menjadi air mengalir. Berlatih tai chi adalah jalan untuk meningkatkan ki sekaligus membantu keselarasan antara badan dan pikiran.”
Syamsul Bahar menghembuskan napas dari mulutnya, lalu menarik lagi udara setarikan panjang melalui hidung. Ia menikmati tiap helaan oksigen yang masuk ke paru-paru. Tubuhnya yang kekar bergerak seiring otot-ototnya yang mengencang tiap kali ia menghirup dan menghembuskan udara.
“Mas Syam, bagaimana kira-kira sikap ketua dengan kehadiran KSN ya?” tanya Jun kemudian saat pria yang sedang bermain tai chi di depannya menunjukkan sikap rileks.
“KSN?”
“Komando Samber Nyowo. Mereka kelompok baru yang muncul setelah PSG menumpas Patnem. Darsono dan Lek Suman menjadi pentolannya. Kabarnya mereka mulai melebarkan sayap untuk mencaplok kawasan-kawasan yang dulunya dikuasai geng-geng kampus.”
Syam memutar kepalanya sambil memejamkan mata, melenturkan leher dan otot-otot yang kencang. “KSN ya namanya?”
“Betul.”
“Darsono… Darsono… sejak dulu tidak pernah berhenti bikin masalah.” Syam tersenyum dan tetap melanjutkan latihannya, seolah-olah apa yang disampaikan padanya bukanlah perkara yang pantas dipikirkan. “Mereka bukan apa-apa buat kita, apalagi mereka beraninya cuma lawan geng kampus. Bajingan kok mainnya recehan, tengik. Kelompok seperti mereka tidak usah dikhawatirkan. Air selokan bisa apa melawan tsunami? Begitu masa beku kelompok kita usai, pimpinan kita juga akan turun gunung. Saat itulah kita akan mengambil alih kembali semua yang pernah dan seharusnya menjadi milik kita. Wilayah utara adalah daerah kekuasaan QZK, sekali dan selamanya.”
Jun dan X sama-sama tersenyum.
Bak robot, keduanya berucap bersamaan. “QZK. Sekali dan selamanya.”
Angin berhembus makin keras dan hawa semakin dingin menusuk tulang. Sebentar lagi pasti hujan akan turun. Tapi ketiga laki-laki itu tetap pada posisinya, tak bergeming.
“Satu hal lagi, Jun.”
“Ya, Mas?”
“Pimpinan kita akan turun gunung lebih cepat dari seharusnya.”
Jun dan X kaget, keduanya saling berpandangan. Lebih cepat dari seharusnya?
“Kenapa lebih cepat, Mas?”
“Karena sepertinya JXG juga akan turun ke lapangan dalam waktu lebih cepat dari perkiraan. Kabarnya mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang besar jika sudah saatnya kembali ke kota. Meskipun tentunya mereka tidak akan langsung membuat onar dengan merecoki geng-geng lain. Pasti mereka juga akan gerilya dulu. Sebagian kawasan selatan dikuasai PSG sekarang, sebagaimana wilayah utara dijadikan lahan oleh Dinasti Baru dan KSN.”
Jun dan X sama-sama tersenyum.
“Kabar yang menyenangkan, Mas. Kalau begitu kami berdua juga harus kembali giat berlatih dan bersiap. Karena perang besar sudah pasti menanti di waktu yang akan datang.”
“Sudah pasti. Perebutan wilayah tidak dapat dielakkan. Kali ini tidak akan ada lagi pembekuan.”
Jun menundukkan kepala dan mengepalkan tangan. Bagus! Sebentar lagi semuanya akan menjadi heboh. Bom waktu yang mereka tanam selama masa beku bertahun-tahun akhirnya sudah siap untuk diledakkan.
PSG? KSN? Dinasti Baru?
Siapapun yang sedang berada di atas angin sekarang.
Bersiaplah.
.::..::..::..::.
Suasana hening.
Tenang sekali.
Sepi.
Hampa.
Hampa yang membuat dada terasa sesak.
Hampa yang membuat kita terbatuk.
Napas Nanto tersengal menghirup udara yang menyesakkan bagaikan arang terbakar, ia batuk berulang-ulang kali. Selubung asap mengitarinya, percikan api kecil dimana-mana. Apa yang terbakar? Kenapa bisa terbakar? Dia ada di mana? Kenapa semuanya terbakar? Apa-apaan ini? Memangnya ini arena perang? Ajegile. Apa dia berada di cerita yang salah? Memangnya ini di mana? Apa yang terjadi? Tempat ini bagaikan sebuah arena pertempuran yang baru saja usai yang hanya ada di adegan game-game first person shooter.
Si bengal berjalan pelan, melalui tubuh-tubuh yang bergelimpangan dan mengerang kesakitan. Ia mengelap keringat di dahinya sambil terus berjalan menuju ke satu arah. Entah kenapa dia harus menuju ke arah itu. Ke satu arah itu. Dia merasa enggan tapi tetap melangkah. Wajahnya teroles arang hitam yang entah bagaimana mengotori tangannya dan kini menyilang di dahi.
Kenapa ada asap dan api?
Seumur-umur belum pernah dia berada di tempat yang terbakar. Mengapa dia ada di sini?
“M… Mas… Nan… Nanto…!! MAS NANTOOOOO!!”
Suara teriakan itu!? Itu kan suara…
Sekuat tenaga Nanto berlari ke arah suara, ia tidak peduli lagi apakah dia menginjak kaki atau tangan orang lain! Dia harus segera sampai ke tempat asal teriakan itu! Tunggu! Dia akan segera datang! Secepatnya dia akan datang! Secepatnya dia akan…
Nanto akhinya menemuinya, sosok yang tersandar di dinding.
Tapi sosok di dinding itu tidak mungkin bisa berteriak. Tidak mungkin dengan semua luka di tubuhnya itu. Dengan pisau yang tertancap di…
Sekujur badan Nanto lemas, nyawanya bagai lolos dari badan.
Nanto melihat sosok pemuda yang tersandar di tembok dengan hati terguncang. Mata terbelalak, darah mengalir, tulang patah terlihat dari luka terbuka, dada tak lagi bergerak naik turun. Tidak… tidak…! Si bengal berlari untuk mendekati tubuh yang sudah bersimbah darah itu.
Tidak…! Tidaaaak!!
Nanto mencoba mencari nadi, detak jantungnya… detak jantungnya… sudah tidak ada? Jangan dia… jangan dia sudah…! Tidak! Nanto sudah berjanji dia akan melindunginya! Nanto sudah berjanji!
Suasana berubah menjadi gelap, angin berhembus sangat kencang, lebih kencang dari yang pernah ia rasakan. Nanto berada di tengah pusaran badai, rambutnya acak-acakan, tubuhnya bagaikan hendak terbang. Lalu tiba-tiba saja semua berubah menjadi hening kembali.
Nyala api menghilang, background berubah menjadi sebuah ruang, entah ruang apa ini. Asing tapi juga sepertinya ia kenali.
Suara-suara bermunculan memenuhi kepala.
“Kamu yang menyebabkan ini semua! Kamu yang membuat dia jadi seperti itu!!” teriakan itu entah dilakukan oleh siapa, entah darimana datangnya. Tapi terdengar jelas di telinganya. Suara seorang wanita yang histeris. “Dia menganggap kamu panutan! Dia menganggap kamu segalanya! Dia merasa tak terkalahkan jika kamu ada! Dia menganggap dirinya dewa selama dia bertarung di sisimu!! Kamu… kamu duduk di sini dengan santainya sementara dia sudah dikubur sebelum waktunya! Kamu berjanji akan menjaganya! Kamu berjanji akan melindunginya! Mana tanggung jawabmu!?? Manaaa!?”
“Aku tidak…” Nanto melihat kembali arah jauh, dia dapat melihat kembali ke situasi semula. Ke arah pemuda yang tersandar di dinding, ke darah yang menetes deras, ke pisau yang masih menancap, ke luka-luka di tubuhnya. “Aku tidak…”
“Mana tanggung jawabmu?!”
Nanto berdiri dengan gugup, menghampiri seorang wanita yang tiba-tiba saja mewujud, sosok renta yang merana. Sosok inikah yang sejak tadi berteriak-teriak memakinya, menamparnya, menangis tersedu-sedu sambil memukulinya? Tubuh Nanto terguncang, seakan seluruh dunia bergetar karena gempa bumi yang tak nampak. Nanto hendak memeluk wanita yang histeris itu, memberinya sedikit simpati, memohon maaf padanya. ia tahu pemuda terluka yang bersandar di tembok itu adalah anak tunggalnya.
Tapi sebelum ia sempat melakukan apa-apa wanita itu berubah menjadi seorang laki-laki. Dia juga memakinya, menamparnya, membuat Nanto kebingungan. Menyakitinya tanpa merasakan sakitnya. Siapa lagi ini? Nanto tidak mengenalnya, tapi pria itu mengenakan baju seragam kepolisian.
“Berapa lagi? Berapa lagi korban yang akan berjatuhan di tanganmu? Berapa lagi orang yang harus menderita di bawah kakimu? Berapa lagi korban yang kamu butuhkan sampai kamu puas? Berapa lagi orang harus terkapar dengan kekerasan yang kamu tebarkan? Kamu itu masih muda! Kenapa tenggelam di dunia seperti ini? Apa yang salah dengan otakmu?”
“Aku…”
“Apakah kamu pikir dengan menjadi jagoan bapakmu akan bangga? Ibumu akan bahagia? Otakmu ditaruh di mana?”
Nanto tidak menjawab, suaranya tercekat.
Sosok pria tidak dikenal itu perlahan-lahan berubah menjadi bayangan gelap, suasana pun menjadi redup. Hanya nampak sosok seseorang sedang menjahit di tengah gelapnya ruangan, hanya menggunakan lampu meja kecil sebagai penerang. Sosok dengan kacamata melorot yang berusaha menahan tangisnya.
“I… ibu?” Nanto bergerak maju hendak menghampiri sang bunda.
“Ibu wirang, le. Ibu malu! Ibu membesarkanmu dengan susah payah, memberikanmu ilmu dengan harapan kamu bisa menjaga diri sepeninggal Bapakmu. Tapi kamu malah menggunakannya untuk ini semua! Untuk apa? Buat apa? Supaya kamu dianggap jagoan? Supaya kamu bisa jadi nomor satu?” Wajah sang Ibu berubah menjadi sangat sendu setelah marah-marah luar biasa. Kesedihan yang terpancar dari wajahnya teramat nyata. “Ibu pikir Ibu akan bisa membesarkanmu sendiri tanpa Bapakmu. Ibu pikir Ibu mampu, tapi Ibu hanya melahirkan seorang anak yang bikin malu. Wirang Ibu, le! Pakailah kemampuanmu itu untuk membela diri atau membela yang lemah! Bukan untuk seperti ini! Buat apa? Kamu itu punya warisan berharga yang tidak semua orang punya.”
“Ibu…”
“Apa lebih baik kalau Ibu pergi saja? Kalau Ibu tidak ada kamu kan bisa melakukan apa saja yang kamu inginkan tanpa harus dibatasi ini itu!? Kamu ingin Ibu pergi selama-lamanya?”
“Aku tidak…”
“Oalah, le… sadarlah…”
Sadarlah.
Sadarlah.
Harrghhh!!
Nanto tersadar.
Sembari terengah-engah, ia terbelalak. Di mana dia? Ini masih di kamarnya, di lantai atas di rumah Om Darno. Matanya gelisah mencari jam meja kecilnya yang berwarna putih. Ia menemukannya di samping bantal. Ini tepat tengah malam, dua belas pas.
Huff.
Kenapa…
Kenapa mimpi itu datang lagi?
Sudah bertahun-tahun ia tidak lagi dihantui oleh mimpi yang selalu hadir tepat di tengah malam. Kenapa sekarang datang kembali? Selalu mimpi yang sama, selalu ia merasa asing berada di sana, selalu ia merasa bersalah.
Apakah… apakah karena ia sudah mulai membuka gerbangnya kembali?
Mana tanggung jawabmu?
Huff.
Teriakan itu menghantuinya. Lagi.
Nanto mengusap wajahnya yang berkeringat deras. Bagaimana – apa yang harus dia lakukan sekarang?
Ding.
Ponselnya berbunyi, ada pesan WhatsApp? Siapa mengirim pesan tengah malam begini? Jangan-jangan Bu Asty? Waktunya juga tepat banget pas dia bangun. Tangan Nanto menggapai ponselnya, ia membuka lockscreen dan membaca pesan yang muncul.
“Mas. Aku ga bisa tidur. Ga tau kenapa tiba-tiba inget kamu. Hihihi. Met bobo ya, Mas.”
Kinan?
Nanto menghela napas panjang. Tiba-tiba saja terbayang sesuatu yang iseng di benaknya, gadis ini ibarat air dingin yang membasuh panas dan penatnya mimpi buruk tadi. Tangan si bengal lincah di keyboard ponselnya.
“Aku juga ga bisa tidur malam ini. Cari gudeg yuk, atau ronde, atau jagung bakar. Mau?”
Tidak perlu lama kemudian muncul kata typing di bawah nama Kinan. Pesan balasan muncul tak lama kemudian. Mungkin Kinan juga terkejut membaca balasan dari Nanto yang tak diduganya masih terbangun malam ini.
“Haaahhhh!?? Sekarang!??”
“Iya dong. Kan ga bisa tidurnya sekarang.” Tapi emang udah jam segini sih, masa iya jemput cewek malem-malem? Kayak ga ada hari esok saja. Mau tidak mau Nanto kasihan juga. “Eh, tapi ga maksain lho, Kinan. Wkwwkwk. Aku cuma becanda. Udah bobo aja. Selamat tidur ya. Semoga mimpi indah.”
Jawaban tidak langsung muncul. Nanto pun bersiap untuk kembali rebah, meski untuk tidur kembali pasti sulit sekali. Sial banget… kenapa harus mimpi yang aneh-aneh lagi sih? Dia pikir mimpi-mimpi itu sudah hilang bertahun-tahun lalu.
Sekitar lima menit kemudian, ponselnya berbunyi kembali. Sepertinya ada balasan.
“Aku sudah siap, Mas. Jemput sekarang ya. Sudah aku share location.”
Haaahh!??
Nanto tertawa.
Di balik mimpi buruk yang mengganggu malamnya, ternyata kemudian ada seorang gadis yang menunggu untuk diajak pergi di tengah malam. Nanto menggelengkan kepala. Siapa yang mengira sih? Bisa pas banget begini waktunya. Hidupnya memang tidak pernah benar-benar sepi.
Ia pun bangkit dan mengenakan celana trainingnya.
Tunggu sebentar Kinan, dia akan datang.
Hmm… mengajak cewek jalan keluar di tengah malam.
Kira-kira keputusan yang baik tidak ya?
.::..::..::..::.
Adrian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Foto demi foto di laptop terus menerus ia pantau satu demi satu. Berulang kali ia mengucapkan kata makian. Eva memang licik banget. Asli. Licik. Cewek itu tahu apa yang dia inginkan dan kapan dia harus melakukannya. Benar-benar perempuan yang berbahaya, cantik tapi racun. Adrian menghela napas panjang. Andai saja mereka tidak pernah berurusan dengan cewek menyeramkan itu, maka semua akan baik-baik saja. Perusahaannya tidak akan menemui masalah dan dia tidak perlu membereskan semua hal yang berubah menjadi urusan kacau balau begini.
Adrian menghapus satu persatu foto dari Google Drive. Entah berapa kali dia harus melakukannya karena Eva selalu saja mengirimkan rangkaian foto dari alamat dan penyedia cloud storage yang berbeda.
Kebetulan sekali kan foto-foto ini?
Foto-foto Eva dan Pak Bambang masuk ke sebuah hotel, bermesraan di tempat pariwisata, berduaan di cafe, karaokean. Terlalu banyak untuk disebutkan.
Betapa kebetulannya salah satu pejabat tertinggi di perusahaannya menyewa jasa Eva pada suatu ketika dan mulutnya yang ember itu tidak bisa diam mengobral informasi kalau perusahaan mereka merupakan startup yang bergerak dalam urusan fintech. Masalahnya sebenarnya bukan pada jenis apa perusahaannya bekerja, tapi pada siapa mereka bekerja. Mereka bekerja untuk beberapa pejabat negara yang masuk menjadi dewan direktur sekaligus penasehat – mereka telah mengucurkan dana yang seakan-akan tidak ada habisnya demi kelancaran usaha keuangan online yang dijalankan. Dana yang entah darimana datangnya.
Singkatnya, fintech mereka terlibat praktek pencucian uang dan Eva entah bagaimana caranya dapat mengendusnya.
Adrian menghela napas sekali lagi, ia menatap keluar jendela. Hari sudah malam, gelap sudah menggelayut di langit, kelambu bintang telah ditebarkan, menaung dunia agar segera beralih dari hingar bingar semua kegiatan yang dilakukan di pagi hari menjadi istirahat tenang menjelang malam. Mungkin sendiri sambil menonton televisi, mungkin bersama keluarga menikmati hari.
Asty entah sedang apa di belakang, mungkin sedang menidurkan buah hati mereka yang sering tiba-tiba terbangun malam-malam.
Adrian benar-benar kesal melihat Pak Bambang menggandeng dan memeluk Eva di foto-foto yang terpampang di layar laptopnya. Bandot tua satu ini! Ulahnya bikin semua berantakan! Istri masih cakep, anak kuliah di kedokteran dan arsitektur, masih aja ngiler lihat pantat moleknya si Eva. Oalah bandoooot bandoot!
Kalau saja Pak Bambang tidak ngiler melihat kecantikan Eva, mungkin perusahaannya tidak perlu kalang kabut menghadapi ancaman gadis itu yang berniat menyebarkan foto-foto ini melalui akun bodong ke media sosial, ke keluarga Pak Bambang, dan ke seluruh klien penting. Sebagai bayaran, Eva minta digaji perbulan dengan angka yang sama seperti komisaris perusahaan. Gila aja!
Huh!
Lebih gila lagi…
Lebih gila lagi dia yang diminta secara verbal oleh Pak Bambang untuk membereskan masalah Eva. Tobaaat, tobat.
Keterlibatan Eva memang membuat masalah menjadi rumit, karena kalau sampai belang perusahaan mereka terekspos bisa panjang urusannya. Bukan hanya masalah Pak Bambang, tapi juga praktek money laundering melalui perusahaan fintech mereka yang harus dikhawatirkannya. Eva bener-bener mengail di air keruh.
“Masih kerja aja, Mas?”
Adrian buru-buru menutup laptopnya saat Asty masuk ke kamar. “Ini udahan. Kamu mau tidur?”
“He’em. Capek hari ini. Sebel juga…”
“Sebel kenapa?”
“Ada guru baru, kelakuannya ga banget, Mas. Bikin kesel.”
“Hmm… emang ngapain dia?”
“Ya gitu deh. Bikin kesel pokoknya. Mas udah makan?”
“Udah tadi, habisnya nungguin kamu mandi kelamaan.” Hmm, kenapa Asty mengalihkan pertanyaan seputar guru baru itu ya? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan? Kenapa harus disembunyikan? Adrian kadang suka parno setelah mengetahui Pak Man ternyata punya harapan lebih pada Asty, semacam perasaan waswas meninggalkan seekor kancil di kandang harimau. “Maaf ya sayang. Tadi makan duluan.”
“Iya ga apa-apa, Mas. Aku tadi juga udah kok akhirnya.” Asty akhirnya melepas kimono hotel untuk mandi yang ia kenakan sejak sore dan berganti dengan piyama yang sering ia gunakan untuk tidur. Tanpa bra dan hanya bermodalkan celana kain super mini membuat tubuh Asty bagaikan wonderland. Indah apik, cantik menarik. Ibarat tujuan utama tamasya yang harus sejenak dinikmati.
“Guru barunya… cowok?” Adrian masih penasaran.
“Iya, Mas.”
“Ganteng?”
“Mungkin.”
“Lho, kok mungkin?”
“Selera orang kan beda-beda. Buat aku sih biasa aja. Ga tau buat guru lain, ada beberapa yang heboh banget.”
“Oh gitu.” Adrian mencibir, “kok kamu ga ikutan heboh juga?”
“Kan udah aku bilang biasa aja.”
“Lalu di mana letak ngeselinnya? Aku masih penasaran.”
“Tengilnya, Mas. Sok tahu, sok ganteng, sok iyes. Banyak lah.”
“Jangan-jangan dia deketin kamu juga? Kayak Pak Man yang menjijikkan itu.”
“Oalah, Mas.” Asty menghela napas panjang, “aku ini tidak semenarik itu kok, tidak semua orang di sekolah harus kamu curigai dan kamu cemburui. Aku toh bisa menjaga diri. Aku tahu kok batas-batasnya.”
“Jadi bener ya?”
“Bener apa?”
“Dia deketin kamu?”
“Iya…”
“Tuh kan!” Adrian menepuk meja dengan kesal. “Makanya aku bilang kamu sebaiknya mulai mempertimbangkan lagi deh keputusan tetap menjadi guru BK di situ. Kemarin Pak Man, sekarang guru baru, entah besok siapa lagi.”
“Kok jadi kesel sih, Mas? Dia cuma deketin aja, sudah aku tolak. Masa kamu ga percaya sama aku?” Asty merengut sambil tenggelam di pembaringan, ia menarik selimut tinggi-tinggi.
“Aku percaya sama kamu, sayang. Cuma khawatir aja.” Adrian berjalan ke pembaringan dan menyusul masuk, menyelinap ke dalam selimut, meringkuk di samping sang istri. Ia memeluk tubuh molek Asty. “Repotnya punya istri cakep. Banyak yang ngejar meski sudah ada cincin di jari.”
“Nah itu tahu. Masih aja nyalahin aku.”
“Lho kok malah jadi kesel?”
“Kamu kayaknya masih ga percaya banget sama aku.”
“Resiko, sayang…” Adrian mengecup pipi sang istri, lalu turun ke lehernya, mengendus perlahan-lahan. Mencium setiap sisi dan setiap senti, seakan hendak menandai bahwa wanita indah ini adalah miliknya dan hanya miliknya seorang. “Aku hanya takut kehilangan kamu.”
“Mmmhhh…” rangsangan Adrian membuat Asty geli sekaligus birahi. “Kenapa… takut…?”
“Karena kamu begitu indah, semua orang menginginkanmu. Ada kalanya aku tidak percaya diri, ada kalanya aku merasa tak sanggup mempertahankanmu.” Bibir Adrian menggosok sisi-sisi leher, pundak, lalu naik lagi. Adrian menciumi daun telinga indah sang kekasih hati. “Ibaratnya aku hanyalah pemuda desa yang mencuri selendang seorang bidadari… takut jika suatu ketika, ada yang sanggup mengambil selendang itu… dan merebutmu dari sisiku…”
“Mmmhh…” Asty tak banyak berucap, ia hanya merasakan tiap rangsangan di lehernya dengan mata terpejam dan gairah perlahan-lahan mendaki. Tangannya mulai bermain di dada dan selangkangan sang suami.
“Sayang…” Adrian berbisik, suaranya mulai parau menahan nafsu.
“Hmm?” duh, suara Asty manja-manja menggemaskan.
“Aku mau…”
“He’em.”
“Boleh?”
“Boleh.”
“Sekarang?”
“Sekarang.”
“Asyik…”
Adrian mencoba melepas pakaiannya dan cincin yang ia kenakan. Karena akhir-akhir ini bertambah gemuk, ia sering merasa tidak nyaman mengenakan cincin pernikahannya. Kadang ia copot jika di rumah dan hanya dipakai seandainya ada keperluan keluar rumah.
Adrian meletakkan cincinnya di meja. Ia meleset.
Ting.
Cincin itu terjatuh.
Adrian mendesah dan menggerutu, kenapa harus sekarang sih jatuhnya? Cincin itu masuk dan menyelinap ke bawah kolong lemari kecil di samping tidur, kolong yang sempit dan lemari yang berat. Kombinasi apik di malam yang sedang hot-hot-nya.
“Sebentar ya sayang.”
“He’em.”
Adrian pun bangkit dari tempat tidur dan mencoba mengambil cincin pernikahannya. Tangannya tidak dapat masuk ke kolong, jadi mau tidak mau dia harus mengangkat atau menggeser lemari yang super berat itu. Ada-ada aja… kalau diambil keburu nafsunya ilang, kalau tidak diambil takutnya dia kelupaan. Adrian pun mengangkat lemari kecil itu sekuat tenaga sembari mengulurkan tangannya untuk mencapai cincin.
Bak seekor ular, tangan Adrian menggapai-gapai di kolong. Ia menemukan sesuatu. Benda yang bulat dan keras.
Ah itu pasti cincinnya.
Tangan Adrian menarik cincin itu, bersamaan dengan ditariknya cincin, ada juga benda lain terbawa, secarik plastik. Plastik yang membuat Adrian tertegun.
“Sayang.”
“Hmm?”
“Ini kok ada bungkus kondom ya di sini? Bukan merk yang biasa aku beli.”
“Heh!?”
.::..::..::..::.
“Kinan.”
“Hmmm?”
“Terima kasih ya.” ujar Nanto dengan pipi memerah kayak tomat direbus di kuah mie instan Korean Spicy Soup dicoret pakai spidol merah permanen. Abang pokoke, lek. “Tengah malem begini mau-maunya kamu nemenin aku keluar. Aslinya ga tega ngajakin kamu. Ngajak cewek keluar malem-malem itu tabu. Jadi sekarang ini aku kayak ngelanggar aturan sendiri.”
“Ish. Apaan sih, Mas. Aku kan juga ga bisa tidur. Mungkin antara laper dan deg-degan. Jadi pas Mas Nanto ajak makan keluar, ya mau aja.”
“Lapar sih bisa dipahami, pantesan tadi gudegnya nambah.”
“Hahahaha. Ah! Jadi malu kan! Habis tadi ditawarin sih! Gudegnya enak… jadi doyan! Hahaha.”
“Hahahaha, oke… oke… terus kenapa deg-degan?”
“Karena…” suara Kinan tertahan sesaat, seakan dia bingung bagaimana mengutarakannya. Ia menatap ke arah jauh, ke arah deretan ruko yang memanjang bagaikan barisan pasukan berjajar yang tengah beristirahat, tidak ada lampu yang benar-benar terang menyala. Semua redup, semua terlelap. Pandangan mata gadis itu mulai kabur, wajahnya jadi muram.
Eh? Kenapa dia tiba-tiba jadi seperti ini? Apa gadis itu sedang ada masalah? Nanto jadi penasaran. “Karena?”
“Karena… habis nonton film horor. Hihihi.” Sekali lagi wajah Kinan berubah dan tertawa terbahak-bahak. Kena deh ngerjain Mas Nanto.
Nanto pun cengengesan. “Halah, kirain kenapa.”
“Hahahaha. Habis beneran, Mas. Horornya serem banget tadi di TV. Brr… ngeri… Hii… jadi nyesel kenapa juga tadi mesti nyalain TV. Bukannya merem malah mikir yang nggak-nggak.”
“Udah tahu malem-malem begini, masih aja nonton horor. Ga ada film lain apa? Cari yang hiburan dong, komedi kek. Misalnya Upin Ipin, Mr. Bean, Spongebob Squarepants, We Bare Bears. Ga ada di TV ya nyari di Youtube.” Nanto bersandar di tepian pintu roll ruko yang sudah tutup. Saat ini dia dan Kinan sedang berada di emperan toko di jalan protokol utama satu arah yang populer di wilayah utara, tak jauh dari bioskop yang kini bangkit kembali setelah dulu pernah terbakar. Di tempat itu ada satu penjual gudeg malam yang kalau dagangannya belum habis bisa tembus lewat midnight. Selain gudeg sebenarnya ada beberapa warung lesehan lain, tapi Nanto lebih suka gudeg ini. “…atau nonton drama Korea. Reply 1988 bagus. Uhuk. Hashtag, jangan pernah bilang siapa-siapa aku pernah nonton drakor lho.”
“Bahahahaha. Ga nyangka lho, Mas Nanto apal film-film begituan. Wahahahaha.”
“Hush. Ketawanya udahan. Kalau malam ga bisa tidur, aku kadang milih nonton film atau acara televisi yang santai-santai, Kinan. Aku ga mau mau merem aja malah ditakut-takutin. Udah ga bisa tidur, pikirannya jalan terus. Bikin puyeng. Hueee.”
“Hueee. Wwkwkwk.” Kinan memainkan jemari di hijabnya sendiri. “Kalau drakor? Tahu darimana, Mas?”
“Meski awalnya males, cewekku sering maksa ngajakin non… eh… kok cewekku sih, mantan cewekku.” Nanto merevisi kalimatnya. “Gara-gara dipaksa, yang tadinya ga doyan, lama-lama jadi penasaran. Akhir-akhir ini di rumah kalau Tante nonton, juga jadi sering ikutan. Terakhir nonton yang bintangnya Son Ye-jin.”
Kinan menunduk, menenggelamkan wajahnya di antara lipatan lutut. “Cantik?”
“Siapa? Son Ye-jin? Banget. Dia…”
“Ih, bukan.” Kinan merajuk, “…mantan Mas Nanto.”
Nanto terhenyak dengan pertanyaan itu. Dia menundukkan kepala sesaat, mencoba membuka bagian diri yang sudah ia coba tanam sangat-sangat dalam. Bagaimana menggambarkan Ara? Wajahnya tidak pernah ia lupakan. Benar kalau orang bilang sulit melupakan kisah cinta pertama, benarkah dia cinta pertamanya? Bisa ya bisa tidak. Bagaimana menjawab pertanyaan Kinan? Cantik? Bahkan sampai saat bertemu kemarin pun dia masih tak berubah, selalu membuatnya terpesona di tiap helaan napasnya. “Cantik.”
“Lah, kalau cantik kenapa cuma jadi mantan sih, Mas? Dia masih tinggal di kota ini?”
“Masih.”
“Ga dikontak lagi?”
“Sudah pernah ketemu.”
“Wiiihhh… terus…?”
“Ya udah cuma ketemu aja, lagian dia juga sudah tunangan dengan orang lain. Aku sih ikut bahagia aja. Apalagi pasangannya itu tem-…”
“Yaaaah, kok sudah tunangan sih? Mas Nanto kelamaan sih! Keburu dicaplok orang kan tuh.”
Nanto tersenyum saja. “Berarti jalan kami memang tidak sejalur. Kami tidak jodoh.”
“Nyesel?”
“Lumayan.”
“Tuh kan nyesel.”
“Nyeselnya bukan karena dia sekarang udah tunangan, tapi karena dulu aku tidak sempat memberikannya ketenangan dan kenyamanan yang dia inginkan. Tidak bisa membuat dia bangga dan bahagia saat aku masih menjadi kekasihnya. Itu sebabnya… kalau sekarang dia bahagia, aku pasti juga akan ikut bahagia.”
Kinan akhirnya ikut tersenyum.
Keduanya terdiam sesaat.
“Susah ya, Mas. Cari jodoh itu.” Kinan mengucapkannya dengan pelan, seakan kata-kata itu muncul dari dalam sanubarinya. “Kadang ada yang cocok, tapi susah didapatkan. Giliran yang ga cocok, nongol melulu.”
Nanto tertawa.
Saat ia tertawa itulah, Kinan baru menyadari kalau sejak tadi ada sisa sebutir nasi yang masih menempel di dekat bibir sebelah kanan Nanto. Dia tidak melihatnya karena sejak tadi duduk di sisi kiri si bengal.
“Eh… ehmm… Mas?”
“Ya?”
“Diem dulu deh.”
Nanto mematung. Kinan pun beringsut dan bersimpuh di depannya, mengambil tissue dan mulai membersihkan sebutir nasi yang menempel manja di pipi Nanto untuk kemudian diletakkannya di tissue. Nanto tertegun menatap ke depan, mengamati wajah Kinan yang sebenarnya sangat adem dan menenangkan. Gadis seperti ini… yang sepertinya tipikal gadis baik-baik, alim, dan lurus. Kenapa mau ya malam-malam begini menemaninya? Jemari Kinan terasa begitu lembut menyentuh pipinya.
Tangan Nanto terangkat secara reflek, menyentuh tangan Kinan, merasakan lembutnya kulit gadis itu.
“Mas?”
Nanto menelusupkan jemarinya di antara jari jemari lentik sang bidadari. Jari jemari mereka bertautan. Nanto mendekatkan wajahnya ke Kinan. Untuk sesaat si bengal tenggelam dalam banjir nuansa malam yang makin memabukkan.
“Eh… ehmm…? Mas?”
Kinan terkejut, wajahnya berubah menjadi amat merah. Bukannya dia menolak, tapi ini di tempat umum, takutnya kan kalau ada yang lihat terus jadi salah sangka. Ga enak juga kan? Apalagi dia kan pakai kerudung. Jadi…
Ternyata si bengal punya pikiran lain.
Tangan Kinan tiba-tiba saja ditarik mendekat. Tubuh gadis itu pun menjorok ke depan, dia jatuh tepat ke pelukan si bengal.
“Eh!?”
Nanto memeluk Kinan, erat.
Kinan benar-benar kaget. Kenapa Mas Nanto seperti ini? Bu-bukannya dia menolak, sungguh. Tapi ini kan di tempat umum, maksudnya… duh bagaimana ya menjelaskannya? Takutnya… eh… anu… ehmm… tapi kenapa… kenapa pelukan Mas Nanto nyaman sekali ya rasanya?
“Maaf.” Bisik Nanto pelan saat kemudian melepaskan pelukannya. “Tiba-tiba saja aku khilaf. Maaf.”
Kinan mengangguk dengan menundukkan kepala, malu sekali rasanya. Ia tak berani menatap mata si bengal. Duh, main peluk aja sih Mas Nanto? Kan jadi…
“Sebenarnya sebelum mengajak kamu pergi tadi aku mimpi buruk. Mimpi yang buruk sekali dan datang dari rasa bersalah, rasanya nyaman kalau bisa memeluk seseorang dan menumpahkan kekecewaan pada diri sendiri. Rasa yang sudah lama ingin dilupakan tapi tak kunjung bisa hilang. Mimpi itu datang terus, Kinan. Dulu bahkan lebih parah. Hampir tiap hari setiap jam dua belas malam.” Nanto terus menerus menggelengkan kepala, “Kinan tahu kan, bagaimana kesalahan yang kita lakukan akan menghantui seumur hidup dan tak akan pernah terlupakan? Rasanya seperti itu, rasanya seperti menyesal dan merasa bersalah yang terus menerus meneror, terus menerus menghukum dengan rasa sesal yang berkali-kali lipat meski kita sudah berusaha memperbaikinya dengan segala macam cara. Aku butuh seseorang yang dapat hadir dan… maksudku… anu… ah, apa yang sudah aku lakukan tadi? Aku minta maaf ya, Kinan… aku tidak bermaksud…”
Kinan menatap si bengal lembut, “Mas…”
Nanto yang tadinya menundukkan kepala mulai mendongak, menatap mata indah Kinan dari jarak yang sangat dekat. Gadis itu membenahi rambut Nanto, membelai dan merapikannya. Setelah itu Kinan menarik kedua tangan Nanto dan menangkupnya dengan kedua tangannya sendiri.
“Mas…” Kinan menatap lekat mata si bengal, “kalau Mas butuh apapun, butuh cerita, butuh bantuan, butuh apapun… aku ada di sini, Mas. Buat Mas Nanto, hanya buat Mas Nanto. Aku tahu aku bukan siapa-siapanya Mas Nanto saat ini, kita toh baru ketemu beberapa kali. Aku juga bukan orang yang kaya raya seperti Hanna, mungkin aku bukan orang yang sangat istimewa dan cantik rupawan seperti pacar Mas Nanto. Aku hanyalah aku yang biasa-biasa saja, tapi kalau Mas berkenan, aku akan hadir kapanpun Mas Nanto membutuhkan. Mas Nanto mau cerita soal masalah Mas Nanto? Aku akan datang. Mas Nanto butuh teman seperti sekarang? Aku akan datang.”
Nanto tersenyum, tangan Kinan terasa hangat.
“Tapi jangan mengagetkan dan jangan seperti tadi ya, Mas. Ingat ini masih di tempat publik. Banyak orang lihat. Aku tidak bisa dipeluk dan… maksudku… aku memang masih harus banyak belajar berkerudung, tapi seandainya bisa… tolong lihat posisi aku juga di mata orang lain ya, Mas. Mengerti kan apa maksudku?”
“Mengerti kok, maaf ya.”
Kinan tersenyum lembut dan mengangguk. Mata Nanto menatap lekat di bulat mata sang bidadari. Ada desakan dalam dada si bengal yang ingin ia utarakan terhadap Kinan. Mungkin terbawa suasana malam, mungkin terbawa sendunya hari. Ah angin nakal, kenapa kau bawa kami pada episode kehidupan yang seperti ini?
Keduanya mengakhiri makan teramat malam mereka dan berboncengan pulang. Sepanjang perjalanan mereka berbincang-bincang tentang ini dan itu, itu dan ini, tentang kota, tentang makanan yang enak di jalan yang mereka lalui dan tentang rencana mereka keesokan hari.
“Kinan…”
“Iya, Mas?”
“Aku mau ambil uang sebentar di ATM di depan situ, ga apa-apa ya.”
“Iya ga apa-apa, Mas.”
Motor mereka pun berhenti di sebuah tempat parkir, kebetulan mesin ATM sebenarnya berada di sebalik gedung yang membelakangi mereka. Untuk mencapai tempat itu Nanto harus berjalan melalui sebuah gang kecil di samping gedung.
“Mau ikut?”
“Nggak ah, Mas. Aku di sini aja. Lagipula masih terang kok. Warung-warung tenda masih ramai.”
“Duh ga banget rasanya ninggal kamu. Aku cepet deh.”
“Hahahaha. Santai, Mas. Ih. Kayak apaan aja.” tawa Kinan manis banget. Semanis martabak coklat keju Toblerone double cheese double choco.
Angin malam kadang nakal, kadang membuat kita terbuai. Memberikan emosi ekstra yang menenggelamkan manusia kepada perasaan terdalam saat diri dibeban rentan. Nanto juga manusia biasa, dia juga sering melakukan kesalahan. Dia hanya tahu, entah kenapa dia melakukan sesuatu yang tepat.
Nanto memegang pipi Kinan, mengelusnya dan mendekatkan wajahnya.
“Mas!?” Kinan terkejut. Eh, mau apa nih? “Mass!?”
Nanto mengecup dahi Kinan, bukan di kulit, tapi di hijab yang dikenakan. Si bengal melepaskan Kinan yang sempat terkejut dan kaget setengah mati. “Maaf lagi, aku hanya ingin berterima kasih.”
“Ish, kan tadi udah dikasih tahu… kalau…”
“Siapa suruh kamu manis banget.” Ucap si bengal dengan menjulurkan lidah dan menowel pucuk hidung gadis manis itu. Sebelum Kinan protes, si bengal lantas kabur sambil berlari kecil ke arah mesin ATM.
“Mas Nanto jeleeeek!”
Gelak tawa Nanto terdengar di gang.
Si bengal berlari kecil menelusuri gang yang tidak panjang untuk menuju ke bagian depan gedung. Dia harus cepat, hatinya tidak merasa nyaman meninggalkan Kinan sendirian. Duh gadis itu kenapa harus manis banget sih malam ini? Bikin hatinya jadi kacau balau, dia belum pernah merasakan hal seperti ini sejak bertahun-tahun lalu.
Ah sudah sampai di mesin ATM yang…
…rusak.
Asem ik! Sudah lari-lari ternyata ATM-nya offline. Terlihat dari mesin yang mati dan tempelan kertas bertuliskan: Mesin ATM tidak dapat digunakan untuk sementara waktu, seperti hati kamu setelah melihat mantan jalan sama gebetan baru.
Kutukupret juga nih yang nulis tempelan kertas. Antara kesel sama bikin ngakak.
“Kyaaaaaaaaaaaaa!”
Si bengal terkesiap.
Itu suara Kinan!!
Si bengal melesat ke arah jeritan.
Gadis itu tengah meringkuk ketakutan di kelilingi oleh tiga orang pria berjaket ojol dengan tulisan New World Order. Dua pria menggodanya sambil tertawa-tawa sementara yang satu lagi duduk santai di atas motor. Kinan memegang bagian pantatnya yang baru saja diremas oleh salah satu diantara mereka.
“Kok malah jerit-jerit sih, Mbak? Jam segini nongkrong di mari, ya pastinya minta ditawar kan?” salah seorang dari mereka yang bertubuh gempal terkekeh sambil mencoba mencolek dagu Kinan. “Kita mau pesen kok situnya malah marah sih?”
“Jangan macam-macam ya kalian!” maki Kinan marah.
“Kita kan cuma nyicipin sample, apa yo gak boleh to, Mbak? Pelit nemen sih. Memangnya hari ini sudah impas setorannya?” temannya yang mengenakan slayer warna biru pudar sebagai ikat kepala menambahi. “Cantik-cantik begini bolehlah semalam. Kami bayar berapapun Mbak mau. Ga usah sok-sokan jual mahal. Nanti kami bertiga gantian.”
Tangannya bergerak nakal, mengincar bagian belakang tubuh Kinan. Mungkin ini orang yang sama yang tadi meremas bokongnya. Gadis itu pun menghindar secara reflek, namun karena ada dua orang yang mengitarinya, mereka pun mempersempit ruang geraknya, Kinan malah mendekat ke si gempal. Tubuh mereka bertabrakan.
“Ah!” Kinan sekali lagi menjerit kecil.
Si gempal pun merangkul Kinan dengan kurang ajar.
“Kurang ajar!! Lepaskaaaan!”
“Nah gitu dong, bilang aja mau tapi malu.” Mulutnya yang berada cukup dekat dengan Kinan terendus aroma alkohol. Hueeek! Kinan mau muntah rasanya. Gadis itu mencoba meronta, tapi gagal karena si gempal jauh lebih kuat.
Seorang lagi dari kawanan itu yang bertubuh kekar dan paling berotot hanya mendengus di belakang kedua rekannya, cuek sambil menikmati vape di atas motor Yamaha RX-King tahun 2002. Ada tato gurita merah menjalar di lengannya, kacamata hitam nangkring di jidat, dan anting bolong besar menghiasi telinga. Dia paling tidak banyak omong meski terus menerus mengamati Kinan seperti seekor elang memburu mangsa. Berulang kali ia menjilat bibir melihat kemolekan sang dara.
Ia menghisap vape-nya dan asap mengepul dari bibir. Aroma wangi coklat terhirup, segar, dan refreshing. Nikmat sedap harum coklat. Is this the real life? Is this just fantasy? Hmm. Si tatto gurita melirik ke depan. Gadis itu cakep juga – salah sendiri lewat jam satu begini sendirian malam-malam. Bukan salah mereka kan, kalau memanfaatkan suasana yang sepi ini? Di bagian kota ini mana ada yang berani sama mereka, jadi cewek ini seharusnya sudah tahu resiko yang dihadapi.
Sang pengendara RX-King menghirup vape-nya lagi. Ah, mereka dapat mangsa lezat malam ini. Cewek satu ini cakep banget, mungkin nanti dia juga mau ngicipin secelup dua celup. Ia memejamkan mata saat asap vape naik menutup wajahnya.
Bgkkhhh! Bgkkhhh! Bruaaaagkkkhhh!
Suara apa itu?
Ketika membuka mata sembari mengibas asap vape, si tato gurita melihat kedua kawannya sudah tidak lagi berada di posisi semula, mereka berdua terlempar jauh hingga ke sampingnya. Satu di kanan dan satu lagi di kiri. Si gempal dan slayer biru terguling di aspal jalan beberapa kali. Mereka mampu bangkit meski mengerang kesakitan. Si tato gurita terkejut bukan kepalang!
Apa yang terjadi? Dia buru-buru turun dari motornya untuk menghampiri si slayer biru.
“Kowe kenopo, San?” tanya si tato gurita pada si slayer biru yang nama aslinya Santoso.
Santoso pun menunjuk ke arah Kinan. “I-itu Om Kimpling… di… di sana…”
Si tato gurita yang bernama asli Martoyo tapi lebih ngetop dengan sebutan Kimpling itu menoleh ke arah Kinan, ia melihat gadis itu kini sedang meringkuk berlindung di balik seorang laki-laki tegap yang menutup akses ketiga begundal dengan posisi tubuh membentuk kuda-kuda.
Bocah ini? Bocah busuk ini yang membuat kedua temannya terbang? Bajinguk! Njaluk mati!
“Sopo kowe, su? Siapa kamu, njing?”
“Tiga kesalahan. Kalian berada di tempat yang salah, melakukan hal yang salah, terhadap orang yang salah.” Nanto menggemeretakkan giginya dengan geram, ia lalu mendorong Kinan ke belakangnya untuk lebih melindungi gadis itu dari ancaman. Si bengal menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menangkup jemari tangan kiri dengan tangan kanan. “Beraninya kalian mengganggu gadis baik-baik! Tae kocheng kayak kalian pantasnya dibikin runyam sampai marem. Malam ini bakal ada yang dibawa ke rumah sakit.”
“Wasu ik! Munyuk sok ndaho!” kata si gempal bangkit sambil memaki. Entah apa yang terjadi pada dirinya tadi, tapi kali ini dia tidak akan main-main lagi. Tidak ada kesalahan seperti tadi dua kali! Baik si gempal maupun Santoso sama-sama berdiri, kali ini mereka tak lagi banyak cakap karena sama-sama merasa terhina oleh ulah si bengal.
Dengan cepat keduanya menyerang maju.
“Modyar koweeee!”
“Bubar dapurmuuuuu!”
Berhadapan dengan dua orang beringas sembari melindungi Kinan bukanlah perkara mudah, Nanto harus taktis menghadapi serangan dua orang sekaligus ini. Taktik masih sama seperti yang sudah-sudah, jika sedang diserang dari dua arah, jangan menghadapi keduanya secara langsung, hadapi satu-satu.
Santoso yang tubuhnya lebih ringan sampai lebih cepat ke posisi Nanto berada. Orang ini yang harus dihadapi terlebih dahulu.
Tap. Tap. Tap. Tap. Tap.
Lima serangan diluncurkan Santoso, lima serangan ditepis dengan tepatnya oleh Nanto. Usai pukulan kelima, Santoso dengan geram dan penasaran meluncurkan satu pukulan lagi dengan kecepatan tinggi.
Dpph!
Sekali lagi serangan itu berhasil ditepis si bengal. Tidak hanya itu, dengan satu kaitan tangan di pergelangan, tangan kiri Nanto berhasil mengunci tangan Santoso! Tangan kanan si bengal bergerak cepat, melepaskan rentetan pukulan ke satu titik di dada.
Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!
“Hggkkhh! Haaaaagkk! Haaaaagkk! Haaaaagkk!”
Tubuh Santoso tersengal-sengal tanpa bisa melawan karena tangannya dikunci Nanto, berulang kali ia tersedak. Posisi itu juga menguntungkan si bengal karena area pertahanannya menjadi lebih luas. Si gempal tidak dapat masuk menyerang selama Santoso berada di depan Nanto.
Satu serangan dengan punggung tangan menohok jakun membuat Santoso melotot. Tangan kiri Nanto melepaskan genggaman pada pergelangan tangan lawan dan satu sentakan telapak tangan kencang dari bawah dagu melemparkan tubuh Santoso hingga terguling ke belakang.
Si bengal mengalihkan perhatian pada si gempal.
Mulutnya bergumam, “sejatine menungso kudu eling lan waspodo.”
Lawannya itu kini tepat berada di depan Nanto. Si gempal mengarahkan pukulan ke rahang kanan. Nanto dengan cekatan menggerakkan kepala ke belakang tepat beberapa saat sebelum pukulan mencapai sasaran – ia menghindari serangan itu bagai didorong oleh sesuatu yang tak nampak. Hanya si bengal yang tahu, gerbang pertamanya baru saja aktif.
Pukulan si gempal gagal masuk, pergelangan tangannya segera ditaut si bengal, mengunci dan menariknya tubuhnya ke bawah. Lutut Nanto naik dengan cepat, menghentak dan menghunjam ke dada lawan. Telak menghajar bagian tengah, menusuk ke ulu hati!
Bgkkkhhhh!!
Si gempal serasa hendak muntah saat itu juga, mukanya memerah, wajahnya mengeras, matanya melotot menahan sodokan yang teramat menyengsarakan. Laki-laki bertubuh besar itu terpelanting ke belakang sembari memegang dada dan berguling tak tentu arah.
“Bajingaaaaaaaakkkk!!!”
Santoso yang masih tersengal-sengal marah bukan main melihat rekannya ambruk dan ia sendiri menjadi bulan-bulanan. Pria itu segera melepaskan pukulan bak rentetan senapan mesin yang tak berhenti.
Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.
Semuanya bisa dihindari dan ditepis oleh si bengal dengan mudah. Serangan Santoso terlalu gampang dibaca. Yang beginian sih gerbangnya tidak aktif juga tidak apa-apa. Satu serangan tangan kanan meluncur deras, mengincar pelipis Nanto. Si bengal tidak mengelak, ia menepis serangan itu dengan satu sambaran kencang dari bawah.
Bghhhkk!
Kepalan kiri Nanto meluncur kencang dari bawah untuk menghantam lengan Santoso bak rudal. Pukulan kencang yang langsung membuat laki-laki itu berteriak kesakitan saat tangannya terlempar ke atas. Nanto tidak berlama-lama menunggu peluang, ia mengirimkan sisi telapak tangannya untuk menghentak leher sang lawan.
Santoso tercekat, aliran napasnya bagaikan terputus seketika, matanya melotot dan ia mundur beberapa langkah ke belakang sambil memegangi leher. Betapa ngerinya ia saat menyadari Nanto ternyata sedang memutar badan di udara.
Bledaaagghkkkkkhhh!
Kaki si bengal menghempas kepala Santoso, melemparkannya ke samping sampai ndlosor di atas aspal setelah beberapa kali terhentak. Darah mulai mengalir dari sisi wajah pria itu.
Nanto mencolek hidungnya sendiri dengan jari telunjuk sembari memasang kuda-kuda kembali. Huff. Sudahkah?
Belum.
Si gempal berdiri dengan wajah nanar karena teramat marah, ia masih memegangi dadanya yang nyeri. Sakit memang rasanya, tapi lebih sakit rasa malu karena ditundukkan pemuda sok jago yang tidak dikenal ini!
“Kok ya kamu harus bangun to, lek.” Nanto mendengus. “Menggelepar di bawah tadi sebenarnya sudah sangat aman.”
“Harrrrrrghhhhhhh!! Wasssyuuuuuuu!!!” si gempal menyerang dengan wajah penuh dendam. Tapi tentu pria dengan kondisi kesakitan itu bukan lawan sepadan bagi si bengal.
Nanto dengan mudahnya menghindar dari semua serangan yang diluncurkan. Pukulan, sepakan, tendangan, tidak ada yang masuk. Nanto bahkan sama sekali tidak menepisnya, dia hanya bergerak menghindar sembari menggiring Kinan ke arah aman. Secara kecepatan dan kekuatan, Nanto berada di atas si gempal.
Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.
Swsshh! Swwsshhh!
Gagal kabeh! Bajingaaaaaak! Si gempal terengah-engah karena semua serangannya mentah dan dadanya makin nyeri.
“Giliranku.” Nanto mendorong Kinan supaya lebih mundur. Tangan kiri Nanto memutar pergelangan tangan si gempal. Ketika kaki lawan naik, kaki Nanto menahannya. Ia menendang turun lutut si gempal hingga hilang keseimbangan, pada saat yang bersamaan Nanto melepaskan juga serangan beruntun ke arah dada.
Tangan kanan dan kirinya bekerja bergantian, satu persatu, berderap, menghujani dada si gempal yang sudah kesakitan sejak awal.
Bkkhhg! Bkkhhg! Bkkhhg! Bkkhhg! Bkkhhg! Bkkhhg!
Tengah. Tengah. Tengah. Dada. Dada. Dada.
Si gempal terhuyung-huyung ke belakang, ia sudah tak bisa lagi menahan sakitnya!!
Bdgkhhhhh!
Satu sambaran kaki kencang ke dada si gempal memastikannya terlontar jauh ke belakang, Ia roboh.
Satu selesai.
Nanto melirik ke samping. Si tatto gurita diam saja tak bergeming, ia bahkan tak berusaha menolong kedua temannya yang roboh. Kenapa? Tadi dia sempat peduli sesaat, kenapa sekarang tidak bereaksi saat mereka berdua benar-benar membutuhkan pertolongannya?
Awas. Belakang.
Ada seseorang… atau sesuatu… yang memperingatkan si bengal melalui bisikan. Dia harus berterima kasih pada gerbang pertama yang sudah aktif.
“Mas Nantoooooo!” Kinan berteriak kencang – untung saja Nanto sudah paham ada ancaman dari sisi belakang.
Saat Nanto menyelesaikan perlawanan si gempal dan lengah barusan, Santoso beringsut memutar untuk mengambil gitar milik seorang pengamen yang sedang beristirahat. Ia menunggu saat yang tepat… dan mengayunkan gitar itu sekuat tenaga ke arah kepala Nanto!
“Kawulo namun saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”
Swssssh.
Santoso terjerembab ke depan saat gitar itu menemui ruang kosong. Hanya dalam sekejap mata Nanto sudah tak lagi berada di sana. Om Kimpling terbelalak, ia mengucek-ngucek matanya… ba-bagaimana bisa? Bagaimana bisa cecunguk itu pergi dengan begitu cepat? Kimpling saja terkejut, gimana Santoso.
“Aku di sini.”
Santoso terkejut! Ia hendak mengayunkan kembali gitarnya ke kiri, namun terlambat.
Jbooogkkkkhhhh!!
Pukulan kencang membuat tubuh Santoso terlontar ke kanan.
Gitar di tangan terlepas, tubuh berulang terhempas, geliat melawan lenyap setarikan napas. Kencangnya pukulan si bengal membuat Santoso terguling beberapa kali di aspal yang keras. Terantuk berulang, kesadaran Santoso perlahan menguap bak ampas. Pingsan adalah kondisi yang lebih baik daripada bablas.
Melihat si gempal dan Santoso tak lagi bisa diandalkan, si tato gurita pun tersenyum, oh oke… si ebi sachetan ini sepertinya punya sesuatu yang jadi pegangan. Pantes dia percaya diri – bukan cuma sekedar pemuda bandel yang punya kepalan ala kadarnya saja. Okelah kalau begitu. Om Kimpling memasukkan jari tengah dan jari telunjuk masing-masing dari tangan kanan dan kiri ke sisi-sisi mulut, lalu terdengar siulan panjang yang lantang terdengar di tengah malam, karena saat itu suasana jalan sudah sepi, siulan itu pun terdengar lebih kencang dari seharusnya, mungkin terdengar hingga jarak yang cukup jauh.
Bahkan Nanto sampai dibuat terkejut dengan kekuatan siulan si gurita, kekuatan napas orang satu ini benar-benar gila.
Dalam waktu singkat, siulan itu memberikan efeknya.
Dari beberapa warung lain yang jaraknya sebenarnya tidak begitu dekat – bermunculan wajah-wajah sangar dan serius yang mengenakan jaket ojol berlogo NWO. Sebagian besar dari mereka adalah pria gondrong dengan rambut diikat dan mengenakan anting bulat bolong besar. Satu lagi ciri khas mereka, yaitu slayer warna biru yang kadang diikat di lengan, di kaki, dan tentu saja di kepala. Setelah mengamati situasi, mereka berjalan ke arah Om Kimpling sambil membawa apa saja yang bisa mereka bawa, ada yang membawa rantai, kunci inggris, dan palang kayu.
Si bengal menutup akses para pria itu ke Kinan yang makin ketakutan.
“Kinan, di belakangku.” Bisik Nanto. “Jangan khawatir. Ada aku di sini. Aku tidak akan membiarkan apapun menyakitimu.”
“I-iya, Mas…”
Kinan menjawab lirih mengiyakan, tangannya erat memegang pundak dan pinggang Nanto dengan getaran ketakutan. Gadis itu memandang ke sekeliling, sepuluh orang termasuk Om Kimpling kini mengepung mereka berdua. Apapun yang terjadi, sepertinya tidak akan berakhir dengan baik.
Om Kimpling terkekeh. “Sampeyan membuat tiga kesalahan, cah bagus. Berada di tempat yang salah, melakukan hal yang salah, terhadap orang yang salah.”
Nanto mengernyit sengit. Aki-aki kampret satu ini bisa banget membalikkan ucapannya tadi.
Om Kimpling mendengus dan menatap Nanto dengan pandangan mata tajamnya. “Selamat datang di kawasan Dinasti Baru. Kami dari unit tempur Slayer Biru. Malam ini kita pesta.”
Si bengal menatap geram ke arah Om Kimpling. Dia tidak pernah mau dan tidak pernah ingin merecoki urusan Dinasti Baru. Malam ini sepertinya segalanya berubah.
Si bengal menundukkan kepala. Bibirnya terbuka sedikit, bisikan lirih diucapkan.
Gerbang ketiga dibuka.
Bersambung