Part #26 : HINGGA UJUNG WAKTU
“Perang tidak pernah menentukan siapa yang benar.
Perang hanya menentukan siapa yang tersisa.”
– Bertrand Russell
Jenggo-lah yang akhirnya sampai di tumpukan beton teratas.
Dia yang pertama.
Kenapa bisa?
Ternyata Nanto memang sengaja berhenti di beton kedua dari atas. Begitu Jenggo sampai di posisi tertinggi, si Bengal melesat ke atas untuk mengincar rahang sang lawan. Jika ini masuk, rahang Jenggo akan hancur dan dia bakal KO hanya dengan satu pukulan saja.
Tapi tidak semudah itu, ferguso. Jenggo sudah siap.
Jbmkgh! Jbmkgh!
Jenggo menghantam ke bawah, Nanto memukul ke atas. Rahang Nanto kena, rahang Jenggo kena. Bersamaan. Jenggo terpelanting ke belakang, Nanto jatuh ke bawah.
Si Bengal terguling-guling, ia bahkan tak bisa mengatur posisi jatuhnya karena hantaman Jenggo begitu kencang. Tubuhnya berulang kali terbanting saat terbentur buis beton. Nanto jatuh berdebam di tanah. Ia mengerang kesakitan.
Tapi tak boleh terlalu lama terbaring, ia harus segera bangkit.
Nanto beringsut dan mencoba mencari pegangan untuk membantunya berdiri. Ia menemukannya pada bekas gagang pintu panjang yang menempel di sebuah pintu kaca yang disandarkan begitu saja, mungkin bekas pintu Indom@ret. Sembari mencoba berdiri, sii Bengal menggerakkan rahangnya yang linu. Sialan, keras juga bogem mentah dari si bangsat satu itu.
Atas.
Jenggo sudah kembali melompat dari atas dan melontarkan pukulan ke arah si Bengal.
Wasyu. Sudah datang lagi!? Nanto terjebak di posisinya, tak bisa ke kanan ataupun ke kiri karena dia belum benar-benar berdiri dengan sempurna. Hanya ada satu yang bisa dilakukan seandainya datang serangan dari sang Raja Para Anjing.
Membuka gerbang pertahanan.
“Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”
Bledaaaaam!
Benturan dua kekuatan terjadi. Serangan dari Bambang Jenggo bertemu dengan armor tak kasat mata dari si Bengal. Jenggo terlontar kembali ke belakang sementara Nanto tak merasakan apa-apa kecuali terdorong kembali ke bawah karena keberhasilan gerbang pertahanannya mencegah serangan Jenggo sebelum mengenai tubuh si Bengal dan berakibat fatal.
Nanto harus memanfaatkan momentum.
Di saat Bambang Jenggo terpental mundur, saat itulah si Bengal harus mengejar. Ini serangan balik namanya, kauntaatakku, counter-attack. Dengan gerbang pertahanan yang sudah terbuka, si Bengal tidak perlu mengkhawatirkan serangan untuk beberapa saat ke depan. Nanto menjejak tanah dan melompat ke atas, mengejar Jenggo. Tubuhnya melesat dengan satu lompatan yang jalurnya bagaikan lintas busur dan dengan cekatan ia mencengkeram kaki sang Raja Para Anjing.
“Wujud hana tan keno kinira.”
Tangan Nanto menangkap pergelangan kaki Jenggo dengan kekuatan tangan baja. Kekuatan yang sepertinya bahkan mampu hendak menembus kulit dan mencengkeram tulang. Bambang Jenggo berteriak kesakitan. Tubuhnya yang tadinya telentang di atas tanah, ditarik oleh si Bengal supaya mendekat ke arahnya.
Jenggo mendengus kesal. Ia meronta dan mencoba menendang kepala Nanto.
Bdph!
Gerbang pertahanan si Bengal masih berfungsi dengan baik. Serangan Jenggo membentur dinding pertahanan yang menyengat, ibarat tembok baja berlistrik. Bocah bajingan ini benar-benar mampu menguasai tiap-tiap tingkatan Kidung Sandhyakala dengan sangat apik. Pantas saja Ki Juru Martani tergila-gila padanya. Okelah pertahanannya kelas wahid, kita coba saja benturkan dengan serangan yang sama-sama bad-ass. “Rekursi keenam.”
Jenggo tersenyum dan menghantam tanah.
Tubuh sang pimpinan RKZ itu melengkung ke depan, memanfaatkan dorongan super kencang dari pukulan tangan kirinya ke tanah untuk melontarkan tubuhnya ke arah si Bengal. Sekali lagi ia akan mengeluarkan jurus hantamannya, kali ini dengan menggunakan tangan kanan.
“Rekursi keenam.”
Nanto tidak diam saja. “Angkara gung ing angga anggung gumulung.”
Bledaaaaaaaaaaam!!
Pertemuan dua kepalan terjadi. Tubuh mereka sama-sama terpental sekitar lima meter. Jarak yang cukup jauh. Baik Nanto maupun Jenggo sama-sama mencoba berdiri kembali secepat mungkin. Keduanya bertatapan mata. Bambang Jenggo lantas geleng-geleng kepala sembari tertawa terbahak-bahak, ia menggoyangkan tangan dan membuat bulatan tak kasat mata. Seperti meremas-remas udara.
“Rekursi ketiga. Pemuja Hantu Kepala Api.”
Satu bola api energi berukuran dua kali lipat bola sepak menyala-nyala melayang di atas tangan sang Raja Para Anjing yang cengengesan. Ia mengangkat tangan kanannya ke kanan, bola api itu ikut ke kanan, ia menggerakkan tangan kanannya ke kiri, bola api itu turut mengikuti.
“Wasyu. Jingan. Munyuk. Banaspati kok piye.” Om BMW berdecak kagum saat melihat Bambang Jenggo membentuk satu bola api energi yang teramat besar di pinggangnya, “Bajingan itu bisa mengumpulkan tenaga dengan teramat cepat dan membentuknya menjadi bola api energi. Lawan yang nggilani si Jenggo ini. Bisa apa pemuda itu sekarang? Serangan ini tidak akan luput.”
Nanto mendengus-dengus, lingkar area pertahanannya mulai meredup, tenaganya tergerus teramat besar. Dia tidak akan bisa menahan serangan bola api energi itu dengan ala kadarnya. Apa yang harus dilakukan?
Jenggo tertawa dan melontarkan candaan, “Kamehameha.”
Bola api energi yang kini sudah membengkak menjadi empat kali lipat ukurannya itu pun melesat ke depan dengan kecepatan tinggi, tapi tidak dalam jalur yang lurus. Bak melakukan komando seperti sedang menyetir mobil remote control atau drone, Bambang Jenggo mengendalikan bola api itu dengan tangan kanannya yang dibentangkan ke depan, dengan jari tengah dan jari telunjuk diluruskan ke depan seperti membuat pistol-pistolan dengan jemari tangan.
Nanto menghela napas, mengumpulkan tenaga yang masih ada, dan mulai merapal jurus yang ia rasa sanggup menandingi serangan long distance relationship dari si Jenggo.
“Lir handaya paseban jati.”
Kbooooom!
Energi lontaran Ki dari si Bengal melesat ke depan, keluar dari kedua telapak tangan yang berhimpitan di bagian pergelangan. Ia tidak mungkin mengeluarkan tenaga dalam yang terlalu besar karena baru saja habis-habisan menggunakannya untuk gerbang pertahanan. Tapi ia tidak mengincar Bambang jenggo. Ia mengincar bola api energinya.
Kedua lontaran Ki bertemu di udara.
Bledaaaaaaaaaaaaaam!
Percikan tenaga yang seakan-akan bermuatan api dan listrik berbenturan membuat sentakan tenaga yang besar, menghempaskan angin kencang selingkaran besar, dan melontarkan kedua petarung ke belakang. Desakan energi itu meletup dan membuat mereka berdua jatuh terguling-guling di tanah. Apakah akan berhenti sampai di situ? Oh ya tentu saja tidak.
Keduanya melompat dan berlari dengan kencang menuju ke lawan. Pertemuan terjadi di tengah, adu hantam terjadi. Tanpa Ki, tanpa energi.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh.
Atas. Bawah. Kanan. Atas. Bawah lagi. Kanan lagi. Tengah. Kiri. Kiri. Kanan.
Sepuluh hantaman dilepaskan, sepuluh hantaman ditahan. Tidak ada yang berhasil mengenai lawan, tidak ada yang berhasil menemui sasaran. Masing-masing mengincar titik rawan, tapi tidak ada yang terbuka, tidak ada yang bisa dijadikan target pukulan. Jenggo punya ketangguhan, Nanto punya pertahanan. Keduanya tak mampu melalui penghalang untuk menggapai incaran.
Tapi ada satu pembeda, Jenggo memiliki kemampuan untuk mengumpulkan tenaga dengan sangat cepat. Entah bagaimana caranya ia melakukannya.
“Rekursi ketiga. Pemuja Hantu Kepala Api.”
Bola api energi tiba-tiba saja sudah terbentuk di pinggang Bambang Jenggo, sang pemimpin RKZ itu pun mengayunkan tangannya, menyerang si Bengal yang jaraknya bahkan hanya satu meter.
Bangsat.
Nanto mengumpat, ia tidak akan sempat mengelak ataupun membalas. Ia tahu ia harus menggunakan jurus pertahanannya lagi, itu artinya dia menggunakan simpanan energi Ki-nya dalam jumlah besar kembali. Bangsaaaaaaaaaaaaat!
“Kalis ing rubeda, nir ing sambikala,” ujar si Bengal sembari menyilangkan tangan di depan wajah.
Bledaaaaaaaaaaaaaaam!
Tubuh Nanto terlontar mundur setelah bola api energi mengenai tangannya. Untungnya ia tak sampai terguling atau terpelanting. Ia hanya terseret ke belakang sehingga tapak kakinya menimbulkan jejak lurus ke belakang sejauh tenaga Jenggo menghantamnya.
Baik Nanto maupun Jenggo berdiri dengan tegap dengan jarak sekitar empat sampai lima meter membatasi jarak keduanya. Di sekeliling mereka tak satupun orang yang berani mengganggu keduanya. Sebagian karena tak mampu, sebagian lagi karena tak ingin – mereka yang tak ingin, berasal dari Dinasti Baru.
Amar Barok yang terengah-engah melirik ke arah om BMW – mencoba meminta bantuan. Tapi yang ia lirik hanya tersenyum dan menggeleng. Sang Bos sepertinya datang bukan untuk menuntaskan pertikaian yang terjadi malam ini antara RKZ dan Aliansi. Tidak. Dia datang karena ingin menyaksikan jurus-jurus hebat dipamerkan dan tentunya mencari tahu siapa sebenarnya Ki Juru Martani.
Amar tidak akan bisa mengharapkan om BMW untuk membantu Nanto mengatasi Bambang Jenggo kecuali benar-benar sudah terpepet nanti. Pria gagah itu mendengus kesal, kalau saja ia tidak terluka… maka dia bisa membantu si Bengal… sial. Ia melirik Deka yang juga tengah menahan kesakitan dan menyaksikan sahabatnya menghadapi sang Raja Para Anjing sendirian.
Deka berbisik pelan, “Ayo, Nyuk. Kamu pasti bisa. Selama ini kamu selalu bisa. Hanya kamu yang bisa. Hanya kamu yang mampu.”
Nanto dan Bambang Jenggo saling berpandangan. Sama-sama menilai kemampuan akhir mereka.
“Heheh. Apa yang mau kamu lakukan sekarang, bocah?” hina Jenggo dengan jumawa. “Aku bisa mengatasi semua jurusmu. Aku bisa mengimbangi kemampuanmu. Kamu tidak akan bisa menyelamatkan teman-temanmu dari kematian. Kidung Sandhyakala tunduk di hadapan Hikayat Pemuja Malam. Hahahahhaah.”
Nanto gamang.
Ya. Pertanyaan yang bagus bukan, Nanto? Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Kamu bahkan tidak memiliki kekuatan dan tenaga yang cukup untuk menghadirkan jurus pamungkas itu. Kalau melakukannya sekarang, kamu hanya dapat memenuhi dua puluh lima persen dari jurus yang membutuhkan total seratus persen untuk bisa berfungsi dengan sempurna.
Bisakah dilakukan dengan tenaga yang tersisa?
“Hahahahaha. Sekarang atau tidak sama sekali, jagoan! Kamu jagoan kan? Masih muda sudah berani menantang yang lebih tua! Masih muda tapi sok jagoan seakan-akan bisa mengalahkan semua orang! Kalahkan dulu aku! Hahahahah! Aku bahkan tidak sebanding dengan empat pimpinan besar dan kamu kerepotan mengalahkan aku! Hahahahahah!!”
Tak mempedulikan ocehan Jenggo, Nanto menurunkan badan dengan menekuk kaki, sedikit merunduk. Pandangan ke depan, fokus ke posisi lawan, menghitung jarak dan jangkauan. Matanya tak berkedip sementara seluruh indera difungsikan. Ia menggerakkan kedua tangannya yang bebas dengan gerakan yang sepertinya tidak menentu jika dilihat dengan mata telanjang, tapi sebenarnya terdiri dari delapan belas gerakan yang dilakukan sangat cepat. Delapan belas jurus dalam satu kesatuan, dilakukan dengan ketepatan dan kecepatan teramat tinggi.
“Oh?”
Jenggo tertegun dan terbelalak. Nah kalau yang ini dia belum pernah lihat. Apa yang dilakukan bocah itu? Ini bukan Kidung Sandhyakala dan sepertinya bukan bagian dari Selubung Kidung. Ini jurus yang benar-benar berbeda, ada aura yang menyala dan memancar terang hampir membutakan. Tubuh pria gempal itu sampai bergetar. Gila… apakah aura itu yang membuat tubuhnya bergetar tanpa bisa dikendalikan? Membuat tubuhnya ketakutan di bawah sadar? Inikah kekuatan puncak Nanto?
Edan.
Om BMW bangkit dari kursinya dan terbelalak. Ia melepas kacamata hitamnya untuk dapat menyaksikan kekuatan yang tengah didemonstrasikan oleh si Bengal dengan mata kepala sendiri. Bocah ini… kekuatan ini… jurus ini… aura nggilani ini… wuedyan.
“Jebe.” Panggil om BMW.
Sang deputi tidak menyahut. Om BMW melirik ke samping. Mulut Jebe sedang terperangah dan matanya terbelalak – begitu besar seakan hendak terlontar keluar dari soketnya. Bahkan ia pun tak sanggup menahan kagum.
“Jebe?” om BMW memanggilnya ulang.
“Si-Siap, Bos.”
“Apakah kamu menyaksikan apa yang aku saksikan sekarang?”
Jebe langsung gelagapan. “Li-Lihat, Bos. Saya juga lihat dengan jelas. Bocah itu… sedang… sedang mencoba meledakkan nuklir.”
“Wasyuuu, nuklir jare. Hajinguk. Lebay kowe, Nyuk. Tapi kamu memang benar… ini kekuatan yang tidak main-main. Bahkan dengan Ki-nya yang sudah hampir terkuras habis, dengan tubuh yang selemah itu, ia bisa memunculkan kekuatan sebesar ini.” om BMW geleng-geleng kepala, dia berbisik kepada sang deputinya. “Jebe, kalau bocah itu selamat dari pertarungan hari ini, dia harus kita amankan. Harus masuk Dinasti Baru entah bagaimana pun caranya. Kita akan bisa menguasai kota kalau bocah itu ada di ujung peluru.”
“Sendhiko dhawuh. Akan saya cari cara.”
Perhatian mereka kembali terpusat pada si Bengal. Pada gerakannya yang tegas dan fokus. Dari posisinya sekarang, tidak ada yang bisa mendengar rapalan yang tengah ia ucapkan. Bibir Nanto komat-kamit sembari menyusun kesatuan jurusnya.
Mereka yang bisa membaca Ki semuanya berdiri dan terbelalak, tidak mempercayai diri mereka sendiri saat melihat kekuatan yang tengah ditunjukkan oleh Nanto. Ini bukan main-main, ini seperti level yang berbeda. Amar Barok dan Deka saling bertatapan, ini sudah level yang berbeda. Mampukah Nanto mengendalikan kekuatan sebesar ini? Tubuhnya bisa hancur kalau semuanya tidak stabil. Keduanya beralih menatap ke depan dengan khawatir sekaligus penasaran.
Bagaimana ia akan menyalurkan tenaga ini?
Hanya dua puluh lima persen. Hanya dua puluh lima persen yang ia miliki. Bisakah? Yang pasti tidak akan sempurna. Ia tidak tahu apakah serangan terakhir ini akan efektif. Dia hanya berharap yang terbaik. Bibir Nanto berbisik perlahan, mengucapkan rapalan.
“Kapitutur serat naga; geni dadi sucining jagad, sang hyang girinata dadi raja, gagamaning kinarya dewa.”
Lalu hening.
Semua menunggu.
Nanto mengangkat tiga jari ke depan Jenggo. Jenggo mendengus dan mencibir, ia membuang ludah ke samping, meremehkan. Si Bengal menurunkan jari yang pertama – jari telunjuk, lalu jari yang kedua – jari manis, dan akhirnya jari yang ketiga – jari tengah.
“Yang ini untuk Lady.”
Booooom.
Nanto melesat ke depan dan tiba-tiba saja menghilang dari pandangan semua orang. Bahkan pengguna Ki-pun tak bisa merasakan kehadiran si Bengal, termasuk QB dan Bambang Jenggo yang terperangah. Apapun yang ia lakukan, kecepatannya sangat tinggi dan tak normal.
Tiba-tiba saja tubuh Bambang Jenggo tersengal-sengal!
Ia dihentak-hentakkan mundur beberapa langkah ke belakang, satu pukulan menerjang wajahnya, hingga ia doyong ke kiri, satu menerjang rahangnya hingga ia terlempar ke kanan. Lalu satu lagi menyeruak ke dada hingga ia terlempar empat meter ke belakang. Tubuhnya berulangkali terbanting-banting di tanah, remuk redam atas bawah.
Semua terjadi tanpa tahu apa yang menyerangnya.
Ketika akhirnya berhenti terguling, Jenggo mencoba berdiri dengan sempoyongan, matanya berputar ke atas hingga putih.
Sial bagi sang Raja Para Anjing, serangan ternyata belum berhenti. Ia terdorong kembali ke belakang, lalu terbanting hampir 180 derajat dengan tubuh terpelanting bak busur. Kepalanya tertumbuk tanah terlebih dahulu, badannya berputar tak terkendali, lalu sedetik kemudian giliran tubuhnya yang disentak ke tanah dengan sangat kencang!
Terdengar bunyi berdebam kencang dan debu bertebaran. Jenggo sudah terkapar.
Saat terbaring, kepala Jenggo menjadi sasaran, ia disepak dengan kekuatan yang sangat besar, kepalanya hampir lepas dari tubuhnya. Jenggo terlontar kembali hingga menubruk buis beton yang tak jauh dari posisinya semula. Ia tertumbuk ke beton dengan kerasnya, lalu ambruk kembali. Terbaring telentang menatap langit-langit. Darah keluar dari mulut Jenggo, muncrat ke atas, membasahi wajahnya sendiri.
Sudah berhenti?
Belum.
Tubuh pimpinan RKZ itu tiba-tiba saja diangkat ke atas bagai diterbangkan, entah kekuatan apa yang bisa membuat tubuh Jenggo terlontar ke atas. Sang Raja Para Anjing yang sudah lemah lantas diterjang oleh satu hantaman lagi dan terlempar hingga enam meter ke belakang, kembali tubuhnya terguling dan terbanting di tanah. Darah yang muncrat wes ora nggenah, sudah tak bisa lagi dibayangkan. Ia bahkan tak sempat berteriak karena sentakan demi sentakan menghajarnya bertubi-tubi.
Jenggo berteriak kesakitan saat tangan kirinya lepas dari engsel saat satu hantaman menerjang bahunya. Jangankan tangan, wajah Jenggo sudah bukan milik Jenggo. Darah yang terlalu banyak membuatnya tak bisa dikenali lagi. Matanya sembab tak bisa melihat ke depan, hidungnya patah belok ke samping, mulutnya berdarah hingga beberapa gigi terlepas karena rompal, satu kaki kini berbelok ke arah yang salah.
Jblm! Jblm! Jblm! Jblm! Jblm! Jblm! Jblm!
Di dada Jenggo tercetak tujuh lesakan ke dalam seperti bekas pukulan yang tak mau hilang. Kaki dan tangannya bahkan sudah tak bisa digerakkan, sudah mati rasa. Jenggo berdiri dengan sempoyongan, mulutnya bergetar.
“Yang ini untuk Nada.” Terdengar suara tanpa wujud di hadapan Bambang Jenggo. Satu-satunya wujud yang ia lihat adalah kepalan tangan yang menghunjam wajahnya.
Jboooghkh! Jboooghkh! Jboooghkh! Jboooghkh! Jboooghkh! Jboooghkh! Jboooghkh!
Wajah Jenggo makin amburadul ketika pukulan demi pukulan menyeruak masuk tanpa penghalang. Diakhiri dengan tangan yang mencengkeram kepalanya dari depan dan menghantamkan kepala Jenggo ke bawah, ke lututnya.
Jbkkgh!
“Puaaaaaaaaaakghhhh!” Jenggo berteriak kesakitan.
Lalu diam. Lalu bergetar. Lalu makin tak kuat. Lalu ia pun ambruk ke depan.
Luruh memeluk tanah.
Nanto akhirnya berhenti.
Si Bengal mendengus-dengus seperti seekor banteng. Ada asap keluar dari tubuhnya.
Nanto melangkah ke depan ke arah Jenggo dengan tertatih setelah menyelesaikan serangan bertubi-tubinya. Tenaga terakhirnya sudah ia lepaskan, ia kini tak punya apa-apa lagi. Kepalanya sudah berkunang-kunang sekali, semuanya seakan-akan berputar. Tidak ada satupun pandangannya ke depan yang dapat fokus. Keringat deras membasahi tubuh. Energi Ki-nya terkuras habis, tenaganya sudah hampir di ujung, pikirannya kemana-mana, pusing kepala menghinggapi tanpa jeda.
Baru pertama kali mengeluarkan mahajurus hasil bertapa dengan Eyang Bara, ia langsung kehabisan tenaga dalam.
Seberapapun ia berusaha, tubuh si Bengal akhirnya mengkhianati, ia terbatuk sekali, dan langsung ambruk ke belakang tanpa terkendali. Tanah berdebam saat menerima jatuhnya si Bengal. Nanto terengah-engah, bahkan untuk berdiri pun rasanya sulit sekali.
“Hehehehe… sangat… cepat… sangat… hebat…” terdengar suara Jenggo terkekeh pelan. Dengan bantuan pinggiran buis beton sebagai tumpuan sang Raja Para Anjing mencoba berdiri kembali. Daya tahannya bukan main mengerikannya. “Tapi… aku masih bisa bertahan… hhahahahahaha…”
Nanto menggeram. Sial. Sial. Sial. Bahkan dengan jurus itu pun Jenggo masih bisa berdiri? Apakah ada langkah yang salah ia lakukan? Apakah ada sesuatu yang kurang? Apakah dua puluh lima persen tidak cukup?
Darah mengucur deras dari wajah, bibir, dan beberapa bagian tubuh Jenggo lain. Ia bahkan tak bisa lagi merasakan gusinya yang meradang karena beberapa gigi patah. Pada akhirnya Pimpinan RKZ itu ternyata masih sanggup berdiri meski tangannya sudah lolos ke samping dan satu kakinya tak dapat menapak dengan benar karena posisi tulangnya sudah berbelok.
“Luar… biasa…” om BMW terperangah melihat kegigihan Bambang Jenggo. Nanto baru saja memamerkan jurus yang luar biasa mengerikan, tapi Jenggo pun bukan lawan yang main-main.
Nanto terengah-engah. Dia juga masih belum habis meski tak lagi punya tenaga dalam yang tersisa yang bisa digunakan.
Dengan cepat si Bengal mencoba bangkit. Ia mendengus kesal saat berdiri dengan sempoyongan karena di depan Nanto, Jenggo sudah berdiri dengan senyum melingkari wajah yang terlihat seram dengan semua darah yang membasahi sekujur badan. Nanto geram, sial sekali. Si Jenggo benar-benar masih bisa berdiri! Manusia yang menyeramkan.
Harus bagaimana lagi si Bengal? Padahal tenaga dalamnya sudah hampir habis, tidak bisa digunakan untuk mengulangi jurus yang barusan ia lepaskan. Ki-nya juga makin lama makin meredup. Ia sudah tak bisa apa-apa lagi. Kalau Jenggo maju sekarang juga, dia tidak akan bisa lagi melawan dengan Kidung Sandhyakala ataupun Serat 18 Naga tahap pertama, dia hanya bisa melawan dengan… dengan…
Tubuh si Bengal doyong ke samping. Pandangannya berkunang-kunang.
Nanto ambruk.
Dia terjatuh dengan tubuh lemas.
Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak melihatnya. Meski sudah tak sanggup berjalan ke depan, Ia meludahkan air liur bercampur darah ke samping – merasa unggul.
Meski sudah terkapar tak berdaya, Nanto tidak ingin menyerah begitu saja. Ia masih berusaha bangkit di depan Bambang Jenggo yang masih berdiri meski sama-sama kepayahan. Tidak boleh. Dia masih punya dua kepalan. Selama hayat masih dikandung badan.
Dengan sisa tenaga mentah yang ia punya, Nanto berusaha bangkit dan berdiri dengan topangan tangan yang bergetar hebat karena tubuhnya sangat lemas. Nanto terus dan terus dan terus memaksakan dirinya.
Si Bengal kembali berdiri.
Bambang Jenggo terkekeh berulang melihat kegigihan si Bengal. Anak muda yang luar biasa.
Ketika akhirnya Nanto berdiri dengan rapuh, giliran Jenggo yang tak kuat bertahan.
Ia pun luruh dengan satu kaki masih menopang badan, tenaganya juga sudah habis, sisa tenaga hanya cukup untuk bisa berdiri saja. Serangan beruntun terakhir yang dilontarkan si Bengal menghancurkannya. Sungguh satu serangan yang tidak normal efeknya. Seluruh tubuhnya hancur. Kalau saja bukan karena perlindungan Hikayat Pemuja Malam, maka dia sudah dipastikan mati malam ini juga dihajar pemuda bau kencur itu.
Tapi tidak hanya Nanto… dua orang hebat yang tadi juga melawannya memang bukan main-main. Mereka adalah harapan masa depan kota. Deka mungkin yang paling lemah di antara mereka bertiga, tapi dia juga yang paling licik dalam bertarung, Jenggo curiga dengan jurus aneh yang ia pamerkan. Jurus itu memiliki aura gelap mirip seperti Hikayat Pemuja Malam. Kalau Amar Barok jelas tidak perlu ditanya lagi. Dengan kemampuannya si gagah itu kelak pasti akan jadi legenda, bahkan sudah pasti menjadi salah satu calon pemimpin besar.
Sedangkan Nanto…
Entah harus bilang apa lagi Jenggo untuk menanggapi si Bengal. Pria gempal itu tersenyum dan menunduk. Ia masih berusaha untuk berdiri kembali.
Dengan kaki gemetar, pria bertubuh bongsor itu kembali naik. Menyeramkan. Om BMW mengangguk-angguk menyaksikan tingkat kekuatan sang pimpinan RKZ. Memang seharusnya begitulah kemampuan seorang pemimpin sejati, tidak terlihat pesimis meski kekuatan sudah menipis atau bahkan sudah habis.
Si Bengal mendengus kesal. Jenggo masih saja bisa berdiri kembali, sedangkan tenaga Nanto sudah empty tank. Dia tidak akan bisa melakukan apa-apa jika pimpinan RKZ itu memutuskan untuk menyerangnya dari jarak jauh kecuali melawan dengan tenaga mentah dan jurus andalan ajaran sang bunda – wing chun.
Si Bengal menggeram dengan sengit. Dia tidak akan menyerah begitu saja… dia akan…
Satu tangan menepuk pundak si Bengal dan satu bayangan melewatinya.
“Sudah cukup. Sekarang giliranku. Beristirahatlah.”
Nanto mendongak dan menatap Bian yang berjalan ke depan dengan geram. Kembaran Roy itu melangkah dengan berani ke arah Bambang Jenggo. Tanpa Ki, tanpa tenaga dalam apapun. Dia hanya mengandalkan kekuatannya yang tersisa. Bahkan salah satu kaki Bian sudah diseret dengan paksa, bahkan badannya sebenarnya sudah terlalu lemah untuk bisa melakukan apapun.
Tapi semangat Bian menyala-nyala, tekad-nya masih ada. Hanya satu yang ada di benak si bandel Bian… ini yang terakhir kalinya, demi Beni Gundul.
“Kammmuh… laggih…?” Jenggo terbatuk-batuk, ia berdiri dengan sempoyongan. Omongannya sudah tak karuan karena mulutnya penuh darah. “Heheheh… bhocahh… bhhodoh…”
“Sebelum meninggal, Beni Gundul pernah mencarikan aku satu ilmu kanuragan yang coba aku pelajari sedikit demi sedikit. Aku masih belum berhasil menguasainya karena otakku ga nyampe. Karena aku ini bodoh. Aku tidak bisa membaca jurus-jurus yang dia tulis dengan tulus demi memberiku kemampuan menghadapi orang-orang sepertimu. Sampai sekarang aku masih merasa bersalah karena belum sanggup sepenuhnya memahami ilmu tersebut.” Bian makin maju dan makin ke depan, tiba-tiba saja ada tenaga Ki yang menyala meskipun sangat redup dan kecil. “Tapi ada satu jurus dari rangkaian ilmu kanuragan itu yang berhasil aku pahami dengan memanfaatkan Ki bertenaga lemah yang aku kuasai. Satu jurus pukulan yang tanpa nama… tapi karena ada di halaman tiga baris keenambelas, aku memberinya nama Pukulan 316.”
Bambang Jenggo tertawa. Bian tidak. Jarak keduanya kini hanya sejengkal.
Jenggo siap membuka mulut, Bian tidak memberikan kesempatan. Kedua tangannya tiba-tiba saja meledak bertubi-tubi di dada sang pimpinan RKZ. Tangan kiri dan kanan bergerak bersamaan menghajar dada, perut, ulu hati, dan rusuk Jenggo tanpa ampun.
Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh!
Tubuh gempal Jenggo tersentak-sentak ke belakang terkena hujan pukulan tanpa jeda dari Bian. Dia sudah tak bisa lagi melawan sehingga membiarkan Bian melampiaskan kekesalannya. Si Bandel maju terus untuk mendesak Jenggo, ia menumpuk seluruh Ki di kepalan tangan kanan.
“Tenaga di kepalan tanganku menyala merah penuh amarah, meronta-ronta memintaku meraih kemenangan. Kuakhiri pertarungan hari ini. Sekiha tenkyoken!!”
Jblaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!
Tinju tangan kanan Bian meledak.
Tubuh Jenggo terlempar, melayang tanpa henti hingga sampai di sebuah tiang bekas pondasi beton yang sudah ambruk – Jenggo melayang tepat ke pancang besi yang menyambutnya tanpa ampun!
Sblp! Sblp! Sblp!
Tiga besi tajam menusuk tubuh Jenggo. Hgkh! Wajah nyeri tak terperi dan mata terbelalak membuat pimpinan RKZ itu berteriak hebat karena kesakitan. Bian tidak berhenti, ia menerjang ke depan dan melayangkan satu pukulan terakhir dari tangan kiri.
“Yang ini untuk Beni! Heaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Jboooooooooooooogkh!
Sentakan pukulan hebat Bian membuat tubuh Jenggo makin amblas tertusuk. Raungan seekor binatang kesakitan terdengar dari Bambang Jenggo, hingga akhirnya darah kental keluar dari mulut sang pimpinan RKZ.
Bian terengah-engah dan melangkah mundur setapak demi setapak. Berhasil.
Ia berhasil.
Ia berhasil… Beni… ia berh…
Bian ambruk dan pingsan di depan Jenggo. Roy dan Pasat yang terkagum-kagum buru-buru menghampiri untuk menariknya mundur. Mereka juga menarik tubuh Nanto yang sudah tak sadarkan diri semenjak tadi. Sejak tadi mereka terus menerus mencoba menyelamatkan semua anggota Aliansi yang terkapar di dalam gudang.
Nyala api makin menghebat, membakar, menghanguskan.
Kepala Jenggo terkulai lemah.
Dia sudah tak punya tenaga lagi. Dia sudah tak punya apa-apa lagi.
Selesai sudah.
.::..::..::..::.
Aku lapar.
Aku kelaparan.
Aku sangat-sangat lapar.
Bangsat. Suara itu terus saja mengganggu tanpa henti, membuat kepala terasa penuh dan berat. Sosok yang digendong memang tengah membutuhkan asupan, butuh makanan, butuh tenaga, dan butuh darah. Semua hal yang tidak ia miliki saat ini.
Kalau sedang tidak dicari ada di mana-mana, kalau butuh malah tidak ada.
Bajingan.
Melangkah dengan sempoyongan, seorang pemuda berjalan dengan kaki yang seperti tak mampu menyangga badan. Wajahnya kuyu meski sebenarnya cukup tampan, maunya belok ke kiri tapi kaki melangkah ke kanan. Meski perlahan ia mencoba menyusuri ruangan, mencoba kembali ke ruang kerja di ujung pandangan.
Reynaldi menghapus debu dan tanah yang menempel di pakaian yang ia kenakan. Wajahnya kotor, bajunya robek, rambutnya acak-acakan. Bibirnya pecah dan berdarah di ujung karena terkena sambaran tangan sang calon korban.
Cewek bangsat itu memang sialan. Untung saja dia sudah berhasil me…
Lapar.
“Ya. Diam.”
Bajingan. Si cewek lonte tadi berhasil lolos sebelum ia sempat menanamkan racunnya, sebelum racun dari Jurus Tangan Hitam merasuki tubuh indahnya, sebelum ia sanggup menyedot saripati jasad-nya. Karena gagal, sekarang justru Reynaldi yang termakan dari dalam. Jiwanya seperti sedang digerogoti oleh sosok yang merasuki, kalau saja tadi ia berhasil menjadikan gadis sundal itu sebagai tumbal, maka sosok ini bisa ia kendalikan, maka sosok yang merasuk ini tidak akan muncul dan mengganggu. Tapi ia gagal memberikannya tumbal, sehingga sekarang seperti terlepas dari cangkang dan terus menerus menunggang.
Lapar.
“Ya ya… sabar… aku akan mencari tumbal untukmu.” Sembari terengah-engah, Reynaldi menjawab suara yang muncul entah dari mana. Bagi orang lain yang melihatnya, tentunya Rey seperti tengah bicara pada dirinya sendiri. Pemuda itu berjalan membungkuk, bagaikan sedang menggendong sesuatu yang tak nampak.
Lapar. Bunuh.
“Iyaaaa! Aku pasti akan mendapatkan seseorang di sini! Jangan berisik! Kalau ribut hanya akan membuatku pusing kepala.”
Lapar. Kamu sudah mendapatkan tenaga yang besar, tapi tidak memberiku makan. Kamu tidak memberikan aku makanan yang cukup. Malam ini juga berikan makanan untukku atau akan kuambil kembali semua yang kuberikan beserta maharnya.
Reynaldi terdiam.
Aku kelaparan.
“Aku bilang jangan berisik! Jangan ribut terus di kepalaku! Kalau aku bilang akan kuberikan ya pasti akan kuberikan! Diam saja dulu! Akan kucarikan asal tidak ribut!”
Akan kumakan jiwamu.
“Aku bilang diam dulu di dalam! Aku pasti akan mendapatkan tumbal untukmu!”
Reynaldi bersungut-sungut sembari menyeret kaki yang terseok-seok. Suasana sudah sangat gelap dan kantor ini seharusnya sudah tutup. Dia terpaksa ke sini karena tempat ini berada di lokasi yang paling dekat dengan tempatnya kehilangan jejak si cewek sundal.
Setidaknya malam ini dia bisa tidur di sini. Tidur dengan tenang andai saja makhluk busuk dalam dirinya ini bisa diam, tapi sepertinya tidak mungkin.
Dua orang yang tadinya ia sewa untuk menculik si gadis sundal sudah pergi meninggalkannya sendirian di kantor kosong ini. Satpam di depan selalu dipantau oleh CCTV, bukan tumbal yang sempurna untuk Rey.
Tkk. Tkk. Tkk. Tkk.
Suara jari jemari mengetuk keyboard terdengar hingga penghujung selasar. Ruangan yang sudah gelap tak menghentikan musik ketukan itu beralun. Ada yang sedang mengetik di ruangan malam-malam begini? Apakah ada yang sedang lembur sendirian di dalam kantor?
Rey mendengus. Orang yang malang.
Pemuda itu berjalan dengan perlahan, keringatnya menetes deras, jantungnya berdegup kencang saat ia membuka pintu ruang kerja. Bunyi ketukan di keyboard masih terus terdengar.
Tkk. Tkk. Tkk. Tkk.
Reynaldi melangkah masuk. Orang yang sedang mengetik itu masih belum sadar kalau ada manusia lain memasuki ruangan. Posisinya duduk membelakangi pintu, menatap monitor yang menempel di tembok. Ia masih sibuk dengan urusannya sendiri, telinganya juga disumpal oleh headset.
Tkk. Tkk. Tkk. Tkk.
Rey mengendap-endap dengan senyap. Ia menggunakan tenaga dalam untuk menyembunyikan keberadaannya. Langkahnya menjadi sunyi dan suaranya tak terdengar lagi. Dia tersenyum saat berdiri di belakang sang pria yang nasibnya malang.
Ini bukan masalah personal. Orang itu hanya berada di tempat yang salah di waktu yang salah.
Reynaldi mengangkat tangannya dan…
Bkgh!
Tangannya beraksi, punuk sang pria malang disengat oleh serangan Reynaldi. Orang yang sedang asyik mengetik itu pun ambruk ke lantai tak sadarkan diri. Headset-nya langsung lepas dari telinga.
Lapar. Bunuh.
“Sabar. Sedang diusahakan.”
Reynaldi sudah hendak mengambil kuda-kuda Jurus Tangan Hitam ketika ia tanpa sengaja melirik ke arah meja sang pria malang. Ada kunci mobil dan kunci rumah di dekat sebuah pigura foto yang diletakkan di samping layar monitor. Lampu meja yang redup tepat menimpa pigura foto.
Reynaldi tertegun sejenak, lalu ia tertawa terbahak-bahak saat menatap foto keluarga di pigura itu.
“Hahaha… hahaha…” Reynaldi menepuk dahinya sendiri sembari terus tertawa terbahak-bahak tanpa jeda, seakan-akan ada hal yang sangat lucu yang ia lihat di depannya. “Hahahahhaahhaahaaha.”
Reynaldi mengambil pigura itu dan menjilat salah satu wajah yang ada di sana.
“Asty oh Asty oh Asty… kalau memang sudah jodoh tak akan lari kemana. Aku lupa kalau suamimu ini orang yang rajin bekerja. Hahahahahahahahaha.”
Malam makin larut, tawa Rey terus terdengar mengembara di ujung malam.
.::..::..::..::.
Ketegangan mereda, suasana menjadi lebih tenang.
Nanto, Amar Barok, Deka dan Bian sudah dibawa keluar oleh Roy dan Pasat.
Ancaman utama sudah diantisipasi oleh si Bengal dengan sangat baik. Om BMW akhirnya bangkit dari posisi duduknya dan berjalan ke depan, menuju ke arah Bambang Jenggo yang sudah terjebak dan tak bisa kemana-mana lagi.
“Mr. Bambang Jenggo nan perkasa. Ckckck… woalah… kok dadi koyo ngono sampeyan. Kenapa jadi seperti ini akhirnya? Wes parah kuwi, mBang. Angel wes… angel.” Om BMW memperhatikan kondisi pimpinan RKZ dengan pandangan mata memelas. Meski begitu di bibirnya tersungging senyum sinis. “Sepertinya ini sudah endgame buat RKZ. Aku tidak yakin anak buah sampeyan bisa mengatasi kemampuan pemuda mantap itu. Tidak heran anak buah sampeyan kocar-kacir semua, lha wong bos-nya we ancur. RKZ memilih wilayah kota yang salah untuk dihancurkan. Huaahahahaha.”
Jenggo tahu om BMW membicarakan tentang Nanto, meski Bian yang menjatuhkannya tapi Nanto-lah yang telah menghabisinya. Bian hanya meletakkan strawberry di atas shortcake. Kemampuan Nanto belumlah sempurna, Ki yang digunakan hanya sangat kecil, tapi bahkan itupun sudah memberikan efek yang sangat mengerikan bagi lawan.
Bambang Jenggo meludahkan cairan merah ke tanah. Kembali salah satu giginya rompal dan darah mengucur dari gusi, membuat mulutnya terus menerus mengeluarkan darah seperti seorang vampire. Saat ia tersenyum, ia lebih terlihat seperti seorang nenek-nenek mengunyah kinang.
“Ah, B aja – om suhu BMW. Kemampuannya mengerikan, tapi tidak mematikan, dia mengurangi kadar keseraman dari lepasan ilmu kanuragan yang ia punya. Sangat disayangkan. Kenapa harus dibatasi kalau memang seharusnya dilepaskan secara utuh? Lagipula Kidung Sandhyakala yang ia gunakan bukanlah jurus yang asing bagiku – aku sudah sangat sering melihat jurus itu dipraktekkan. Jadi rasa-rasanya tidak ada yang terlalu aneh atau gegap gempita. Sebenarnya aku tahu bagaimana cara mengatasinya,” ucap Bambang Jenggo dengan kalimat yang tak jelas terdengar.
“Hehehe. Kalau Kidung Sandhyakala biasa aku juga pernah lihat, mBang. Tapi tidak yang seperti ini. Buktinya sekarang kamu nancep di situ.” om BMW duduk di atas tumpukan ban tak jauh dari Bambang Jenggo. “mBang, masih belum ada kata terlambat untuk minta maaf dan mengakui semua kesalahanmu. Katakan saja siapa orang yang paling bertanggung jawab atas semua ini dan kami akan membiarkanmu hidup dengan tenang. Lakukanlah sebelum pemuda itu melakukan hal yang lebih jauh lagi. Paling banter kamu dibawa ke pihak yang berwajib. Itu jauh lebih baik daripada ditinggalkan jadi bebek panggang di sini…”
“Hahahahaha! Males banget, om Suhu BMW!! Kenapa aku harus minta maaf? Kenapa aku harus buka rahasia? Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Ini semua sudah sesuai dengan skenario! Hahahaha… hough!” Jenggo terbatuk. Lagi-lagi darah mengucur dari mulutnya. “Selama hayat masih dikandung badan, aku – Bambang Jenggo – tidak akan menyerah kalah begitu saja dari cecunguk tengik yang tidak terkenal. Males banget. Yang mengalahkan aku harus yang sudah punya nama. Misalnya om Suhu BMW, om Janu, Pak Zein, Joko Gunar bolehlah, atau Ki Juru Martani. Kalau hanya anomali tidak dikenal macam dia begini bikin malu tujuh turunan. Bisa-bisa bapakku guling-guling di kuburnya kalau sampai tahu anaknya dikalahkan rombongan tukang cilok.”
Om BMW mengangguk-angguk dan tertawa, “Huahahaha. Dia itu masih mahasiswa, bukan tukang cilok. Kamu tahu kemampuannya, tapi kamu tidak tahu silsilahnya? Kamu yakin dia bukan siapa-siapa, mBang? Memangnya Ki Juru Martani tidak menjelaskan siapa dia?”
“Memangnya siapa dia? Hanya pemuda yang punya kemampuan lumayan, itu saja. Dia punya sesuatu yang linuwih sehingga namanya melambung. Tapi dia masih hijau sedangkan dunia hitam itu keras dan tak bisa hanya berbekal ilmu kanuragan, tidak bisa juga dihuni oleh orang dengan pikiran naif. Lama-lama dia pasti bakal hancur di jalan.”
Om BMW tertawa lagi, lebih kencang. Dia menepuk-nepuk pundak Jenggo. “Ya sudah kalau begitu pemikiranmu, mBang. Aku tidak bisa ngobrol lama-lama, aku paling males nungguin orang sekarat. Lihatnya kasihan tapi emang udah pantes nancep di situ. Hahahah. Aku tadi datang cuma mau lihat kamu melawan bocah itu.”
“Yakin hanya untuk itu saja?” sindir Jenggo.
Om BMW melirik Jenggo dan mengedipkan mata. “Aku masih akan terus berada di sini dan menunggu kemunculan Ki Juru Martani. Seharusnya dia datang menyelamatkanmu dan anak-anak RKZ. Tapi kok sampai sampeyan mau mati dia tidak juga datang.”
Jenggo mendengus dan tersenyum sinis. “Beliau sudah pergi sejak tadi. Kalau sampeyan berpikir beliau akan hadir untuk menyelamatkan RKZ, lebih baik di-reset pemikirannya. Orang seperti beliau tidak akan bisa ditebak oleh siapapun. Heheh. Dia tidak akan pernah hadir kalau hal itu tidak menguntungkan baginya – karena bagi Ki Juru Martani, semuanya bisa dikorbankan jika ingin mendapatkan hasil akhir yang diinginkan. Semua hal itu termasuk RKZ sekalipun, kami ini disposable dalam rancangan hebatnya menyatukan kota.”
Om BMW manggut-manggut sembari mengelus-elus jenggot tipisnya. “Orang yang otaknya luar biasa cerdas, pemikirannya edan, tapi juga sadis. Dia kirim anaknya ke medan perang untuk menyelesaikan urusannya, tapi ketika anaknya sekarat, dia bahkan sama sekali tidak akan datang untuk menolong. Dia tidak peduli dengan RKZ karena dia punya hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan, begitu kan ya? Edan. Tapi aku yakin CCTV di tempat ini sedang menayangkan langsung kejadian demi kejadian untuknya seorang. Heheheh. Dasar bajingan tengik.”
Jenggo menarik napas panjang yang makin lama makin sulit, “Memang untuk hal-hal seperti itu aku dikontrak dan sudah seharusnya seperti itu yang terjadi. Inilah takdirku.”
“Oalah, mBang. Mati boleh, tapi jangan jadi orang bodoh. Harimau mati meninggalkan belang, lha kamu mati meninggalkan apa? Tulangmu saja pasti tidak enak di-tengkleng. Apalagi dagingmu, alot tur amis. Apakah kamu mau mati konyol dipermainkan nasib? Kamu mau membawa mati rahasia di balik keberadaan orang misterius yang egois itu? Kamu tidak mau namanya diketahui dunia demi menebus semua kesalahanmu?” Om BMW tidak habis pikir pada Jenggo yang sampai rela mati demi Ki Juru Martani. “Mau-maunya kamu bertaruh nyawa untuknya, mBang. Sementara dia membantumu pun tidak. Pikiren lah. Jadilah bijak. Beri kami petunjuk. Siapa dia? Aku akan menghentikan serangan Dinasti Baru ke sisa-sisa RKZ seandainya kamu memberikan petunjuk mengenai siapa Ki Juru Martani sebenarnya. Dengan begitu kalian bisa bubar dengan tenang.”
Jenggo mendengus.
“Dia memanfaatkanmu, Mbang. Kalau kamu memang nekad mau mati konyol, setidaknya selamatkan anak buahmu yang masih punya masa depan.”
Jenggo melirik ke kanan dan kiri, mengamati para pemuda RKZ bergelimpangan dan kelelahan. Mereka sudah tak bisa lagi kemana-mana. Wajah-wajah yang tadinya penuh tawa dan saling dukung. Wajah-wajah yang sudah ia akrabi dan mulai kenali sebagai keluarga.
Bangsat.
Pria gempal itu pun tertawa lagi. Dia merogoh ke dalam kantong celananya. Tak lama kemudian ia mengambil sebuah ponsel dan melemparkannya ke om BMW.
Om BMW menerima smartphone itu. Ukurannya kecil, bukan seri teranyar, merk lokal, desain jamet. Dijual paling cuma laku ratusan ribu. Tapi bukan fisik ponsel itu yang berharga, melainkan informasi di dalamnya.
Jenggo terbatuk-batuk. “Hanya ada nomer saja di situ. Cek panggilan terakhir. Buka lock, Password-nya yukinoshita.”
“Panjang amat, mBang.”
“Demi keamanan, om Suhu.”
“Aku bawa.”
“Monggo, Om. Bolanya sudah saya tendang ke om BMW. Bersiaplah menghadapi neraka yang akan dihadirkan Ki Juru Martani. Heheh. Kalau saya hidup, saya ingin melihat Ki Juru Martani memporak porandakan Dinasti Baru. Saya ingin melihat RKZ yang akan dibangkitkan melawan Dinasti Baru yang sekarang sok jumawa. Tapi kalau saya mati, saya tunggu om Suhu menyusul saya di neraka karena om Suhu BMW saya pastikan tidak akan pernah bisa mengalahkan Ki Juru Martani. Hahahhaa… hukkkghh! Hoouuuuuughhhhkkkhh!”
Om BMW geleng-geleng kepala sembari meninggalkan Bambang Jenggo.
Saat membuka ponsel dengan password yang diberikan oleh Jenggo, terdapat beberapa peringatan yang malas dibaca oleh om BMW. Peringatan-peringatan yang sebenarnya mungkin penting. Ah sudahlah, itu urusan nanti. Om BMW lebih penasaran mengenai Ki Juru Martani.
Saatnya mencari tahu siapa orang ini sebenarnya.
Di belakang om BMW, Jenggo menatapnya dengan seringai mengerikan.
.::..::..::..::.
Seluruh anggota Lima Jari dan Aliansi sudah dibawa keluar oleh mereka-mereka yang masih bisa berdiri tegap – Jo, Bondan, Surya, Abed, si Jack, dan tentunya pasukan mereka. Anggota RKZ sudah kocar-kacir tak tentu arah, sebagian besar dari mereka melarikan diri dari gudang yang sudah di-invasi dan dibakar oleh gabungan pasukan Aliansi dan Dinasti Baru.
Dua buah mobil berwarna gelap tiba-tiba saja berhenti di hadapan Roy dan Pasat yang tengah berusaha mendudukkan Bian dan Nanto yang sudah hampir tak sadarkan diri di dekat sebuah pohon rindang, kedua pemuda itu ada di ujung kesadaran mereka.
Nanto yang setengah sadar mencoba membuka mata.
Mobil siapa itu?
Dari mobil yang belakang keluar dua orang pria. Nanto masih belum mengenali kedua orang itu, tapi sepertinya Roy dan si Pasat teman barunya sangat mengenali mereka. Dia tidak pernah melihat wajah kedua orang yang baru datang, terlebih dengan pandangan mata yang kabur seperti ini. Jangankan lihat jauh, lihat jempolnya aja ga jelas banget. Ini jempol apa bakwan? Kok lebar banget.
Sebaliknya, kalau dari mobil yang kedua turun wajah-wajah yang tak dikenali, maka dari mobil yang pertama muncul dua wajah yang sangat dikenali oleh si Bengal.
“O-Om Janu?” lirih suara Nanto berucap, seakan sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa. Suara itu terlalu lirih untuk didengar siapapun.
Memang benar pengamatan si Bengal, yang keluar dari mobil pertama adalah om Janu dan Pak Mangku. Mereka langsung mengomando anak-anak Aliansi untuk mengamankan anggota Lima Jari yang terluka.
“Masukkan Nanto, Deka, Hageng, dan Amar Barok ke dalam mobilku, aku yang akan membawa mereka ke tempat yang aman. Di belakang biar Ki Kadar dan Hamdani yang membawa Pasat, Roy, dan Bian,” perintah om Janu. Pria berumur yang masih gagah itu menatap gudang yang terbakar sembari menggelengkan kepala. “Sayang aku datang terlambat sehingga korban sudah berjatuhan. Apakah ada korban jiwa di pihak Aliansi?”
Jo dan si Jack saling berpandangan – mereka berdua masih tak menyangka bahwa dalam satu hari ini mereka akan bertemu dengan pimpinan Dinasti Baru dan QZK sekaligus. Mereka menatap ketua QZK yang dipuja bak legenda itu dan mengangguk. Beni Gundul telah tewas dalam serangan Aliansi ke gudang RKZ. Tampuk pimpinan ex-Patnem kini ada di pundak Bian. Gugurnya Beni tentu jadi kerugian besar bagi Aliansi.
“Sangat disayangkan. Aku seharusnya lebih cepat datang! Pak Mangku! Lain kali informasi seperti ini harus lebih cepat disampaikan padaku! Lihat apa jadinya kalau terlambat! Sudah ada yang sampai mati!”
Pak Mangku tertegun dan menunduk, “Maaf. Siap lain kali akan lebih cepat memberikan informasi.”
“Baiklah.” om Janu menatap ke api yang makin membesar, lalu memandang satu persatu anak Aliansi. “Gudang ini akan terbakar habis, jadi tidak ada apa-apa lagi yang harus ditunggu. Orang-orang kampung juga sudah mulai berdatangan untuk memadamkan api. Sebaiknya kalian perintahkan semua anggota Aliansi untuk meninggalkan tempat ini! Ingat ya! Jangan buang waktu lebih lama, pihak yang berwajib pasti akan segera datang. Pak Mangku! Kita pergi!”
“Siap.”
Setelah semuanya masuk, kedua mobil pun melaju kencang meninggalkan lokasi gudang yang menyala, menyusuri jalan desa dan keluar ke jalur utama menuju area lingkar selatan.
Om BMW hanya tersenyum dari kejauhan menyaksikan mobil om Janu membawa pergi Lima Jari dan juga Amar Barok. Luar biasa malam ini, bahkan QZK pun hadir meski tak turun gelanggang. Sang kaisar penguasa kawasan utara memang sudah pasti tak akan tinggal diam. Om Janu mungkin sudah mengamati sejak tadi.
Sembari bersiul santai, om BMW melangkah ringan menuju motornya.
Tanpa peduli orang-orang panik melihat kebakaran atau anggota Aliansi yang hilir mudik untuk segera meninggalkan lokasi. Om BMW melirik ke kanan dan kiri lalu berteriak kencang, “Dinasti Baru! Kita cabut!”
Anggota Dinasti Baru menaiki motor mereka dan auman knalpot pun berbunyi nyaring. Satu persatu dari mereka meninggalkan arena. Orang-orang dusun pun misuh-misuh karena melihat geng motor yang tadinya bergerombol bukannya ikut bantuin memadamkan api dan menolong korban kebakaran tapi malah pergi begitu saja.
Seandainya saja mereka tahu siapa yang mereka tolong.
.::..::..::..::.
Bambang Jenggo tersenyum melihat kepergian om BMW yang sudah meninggalkan gudang. Ia sudah tak lagi melihat sosok pimpinan Dinasti Baru itu di manapun. Untung saja, sungguh repot menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pria tua sialan itu.
Jenggo tak mengaduh meski kesakitan dengan dada tertembus pancang besi dan darah yang tak henti mengucur. Ia mungkin sebentar lagi bakal mati karena kehabisan darah, atau bakal jadi mayat gosong karena terbakar.
Satu di antara dua itu lah.
Suara derak kayu yang mulai terlalap api ibarat musik yang merdu di telinganya. Dinasti Baru dan Aliansi sudah menghancurkan dan mengacak-acak gudang distribusi RKZ yang ia bangun dengan susah payah dengan mudahnya. Hancurnya gudang ini memang bukan the end of the line bagi RKZ, tapi dengan dada bolong begini, memangnya dia bisa apa?
Hahahaha, huajingan kabeh pancene.
Bahkan Ki Juru Martani pun sama sekali tak menampakkan batang hidungnya meskipun gudang ini terbakar dan mengancam keselamatan banyak anggota RKZ. Kemana dia? Apakah dia bersembunyi karena tahu Dinasti Baru bergabung dengan Aliansi? Ataukah dia bersembunyi karena mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui?
Dasar orang misterius.
Tapi ya sudah, tidak apa-apa. Bambang Jenggo sudah paham betul resikonya jadi gangster apalagi gangster yang dipimpin oleh pria dengan sejuta rencana dan rahasia di benaknya. Sudah resiko yang dengan sadar ia ambil. Sejak awal ia tahu kalau Ki Juru Martani akan lebih memilih menyembunyikan identitas dibandingkan membantu RKZ mengalahkan kelompok-kelompok lain.
Bagi Jenggo sendiri dia punya satu quotes andalan; kalau tidak memakan ya pasti dimakan. Dalam pertarungan harus ada yang menang dan harus ada yang kalah. Ada yang untung dan ada yang rugi. Kali ini RKZ berdiri di pihak yang rugi dan kalah. Jenggo tahu posisinya sekarang di mata Ki Juru Martani adalah menjadi pion yang bisa setiap saat dikorbankan.
Keputusan-keputusan aneh Ki Juru Martani menjadi downfall RKZ.
Menyeberangkan Amar Barok ke RKZ? Pfft. Dagelan.
Membiarkan Amar Barok menyelamatkan Nanto? Haduh, lebih edan lagi.
Sejak awal Jenggo tidak pernah percaya mereka sanggup membuat Amar Barok menyeberang ke RKZ dengan alasan apapun. Tapi Ki Juru Martani sepertinya punya agenda lain dan berbaliknya Amar Barok di tengah pertarungan RKZ pun sudah ia prediksi. Ki Juru Martani sudah menghitung untung dan rugi perang melawan Aliansi.
Sejauh ini semuanya tepat. Yang tidak tepat dari ramalan Ki Juru Martani adalah… mereka salah memperkirakan kemampuan Nanto dan tidak menyadari adanya perjanjian antara Aliansi dengan Dinasti Baru. Dua faktor itu menyebabkan kekalahan RKZ malam ini.
Jenggo terbatuk dan memuntahkan darah.
Nanto, si Bengal.
Pemuda berjuluk si Bengal itu memang sungguh seorang anomali yang meskipun sudah diperkirakan kemampuannya tapi tetap melebihi ekspektasi semula. Nanto sepertinya akan menjadi lawan yang berat bagi semua kelompok dengan kemampuan yang ia miliki.
Pemuda berbakat itu masih sangat muda tapi sudah menjadi sosok yang harus diwaspadai oleh siapa saja yang berkecimpung di dunia hitam. Sungguh rookie of the year. Dia berhasil menyatukan geng-geng kampus di utara sekaligus ex-Patnem melalui Aliansi, dan kini bahkan mendapatkan dukungan dari Dinasti Baru. Dari hari ke hari kekuatannya semakin besar dan bertambah. Dia harus diwaspadai oleh siapapun.
Tapi mampukah ia menggapai puncak?
Tidak kalau dia tetap naif.
Jenggo terbatuk beberapa kali, darah semburat dari mulutnya.
Bukannya merasa kesakitan, Pria itu malah tertawa kecil. Ia tidak mungkin melepaskan diri dari pancang cakar ayam yang menancap di bahu dan pahanya. Darahnya terus mengucur. Mungkin hanya beberapa menit lagi sebelum ia pingsan dan mungkin mati kehabisan darah.
Apakah dia akan mati hari ini?
Mungkin saja.
Dia melihat sekeliling, gudang RKZ sudah hampir terbakar seluruhnya, sepertinya tidak ada lagi jalan keluar. Api menyala tak terkendali dengan hebatnya. Barang-barang yang mudah terbakar dan kering mempercepat menjalarnya api. Orang-orang RKZ yang terkapar sudah pasti akan terjebak di dalam kecuali ada keajaiban.
Mungkin inilah akhirnya. Jenggo mendongak, ketika atap runtuh nanti, tidak akan ada hujan dan tidak ada badai yang sanggup menyelamatkannya.
Seseorang beringsut mendekati sang pria bertubuh bongsor yang terjebak di pancang itu.
Orang yang baru datang sebenarnya juga kesakitan sehingga harus merangkak untuk mencapai posisi di mana Jenggo berada. Pemuda itu akhirnya duduk di samping sang pemimpin lapangan RKZ, baik badan maupun wajahnya sudah tak karuan. Wajahnya sembab, sebagian terluka, sebagian membiru, sebagian lagi terluka dengan sobek menganga, hingga darah mengalir bagai keran air terbuka.
“Heehhehe… kenapa tidak melarikan diri saja, Jay?”
Jay terbatuk-batuk dan tertawa. Dia duduk di samping Jenggo. “Hahaha, tidak ah, Bos. Lagian tidak bisa juga. Seberapa pun cepat saya merangkak sampai ke pintu depan, pasti akan terlambat. Tempat ini pasti bakal sudah habis terbakar. Hahaha. Lha bisanya cuma ngesot begini, mau kapan nyampe ke depan sana? Jadi ya sudah nikmati saja apa yang ada.”
“Hehehehe… mana Brom?”
“Terkapar di sebelah sana,” Jay menunjuk ke sebuah arah dengan tangan yang sudah sangat lemas. Ia bersandar di pondasi beton yang terkulai sembari menatap langit-langit. “Sepertinya sebentar lagi akan runtuh.”
Jenggo menatap ke atas, “Sepertinya begitu.”
“Ada request lagu, Bos?”
Jenggo menatap Jay dengan bertanya-tanya, request lagu? Apa maksudnya?
Sesaat kemudian Jay mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya, satu alat musik portable yang rupanya sering dimainkan olehnya saat bosan – sebuah harmonika. Jay membatukkan ludahnya yang bercampur darah ke samping, lalu membersihkan tepian harmonikanya dengan ujung baju yang sebenarnya kotor.
Jenggo tertawa sambil terbatuk-batuk, darah membasahi bibir dan dagunya. “Mainkan lagunya Lord Didi Kempot. Yang mana saja.”
Jay tersenyum kecut dan mengangguk. Pemuda itu lalu memainkan salah satu lagu dari The Godfather of Broken Heart sesuai pesanan sang bos menggunakan harmonika kecilnya. Musik mengusik jiwa mengisi relung hati. Menemani suara seram derak kayu terbakar dengan alunan lagu yang manis terdengar sendu sekaligus pilu.
Mereka memang kejam, tapi mereka juga manusia biasa. Yang suka lagu dan tahu rasanya patah hati. Bambang Jenggo tersenyum dan memejamkan mata. Ia duduk dalam diam mendengarkan permainan harmonika Jay.
Yang akan terjadi terjadilah.
Jenggo melirik ke arah Jay dan tersenyum, “Aku sudah sering mengecewakanmu, Wan. Mungkin ini yang terakhir kalinya. Aku gagal memenuhi janjiku padamu untuk membawa kita menjadi yang terbaik dan terhebat di kota ini dalam waktu singkat. Janji yang tak bisa ditepati adalah kebohongan yang mewujud.”
Jay terkejut. Baru kali ini ia mendengar Bambang Jenggo memanggilnya dengan nama aslinya yaitu Irwan. Seluruh punggawa RKZ memang tidak pernah menggunakan nama asli mereka dan memilih menyembunyikan nama-nama mereka demi kerahasiaan jatidiri. Misalnya saja para punggawa: Jayawijaya, Bromo, Galunggung, Gamalama, dan Agung – semua pakai nickname. Itulah yang menyebabkan Jay terheran-heran kenapa Bambang Jenggo memanggil nama aslinya.
“Aku yang harus minta maaf karena gagal menunaikan tugas, B… Pak.”
Jenggo tersenyum.
Gudang RKZ terus dilalap si jago merah. Suara api yang membakar dan kadang meletupkan bahan yang mudah meledak terdengar hingga kejauhan.
Masyarakat dari kampung sekitar yang menyaksikan gudang itu dilalap si jago merah berkumpul untuk membantu menyelamatkan siapapun yang ada di tempat itu tanpa peduli siapa mereka – tak peduli kalau tempat ini dihuni oleh kaum preman yang sebenarnya gerombolan bajingan. Orang-orang baik yang datang untuk membantu itu hanya ingin menolong tanpa pamrih, tanpa melihat status.
Teriakan-teriakan terdengar. Orang-orang saling menyahut dalam panik terutama ketika mereka tahu masih ada beberapa orang yang berada di dalam gudang dan tak ada yang bisa masuk karena bagian depan gudang sudah ambruk.
Gudang itu tak akan bisa diselamatkan. Api sudah terlalu besar. Bambang Jenggo akhirnya terlelap, entah hanya ingin tidur, entah kelelahan, entah pingsan, entah untuk selamanya.
Jay menatap sang Bos dan menundukkan kepala.
Ia terdiam sejenak, mengucapkan beberapa patah kata yang tak terdengar, dan melanjutkan lagi permainan harmonikanya dengan lagu Bapak dari Didi Kempot. Sesekali bibirnya melepas harmonika untuk menyanyikan sedikit kalimat dari lirik lagu yang ia mainkan.
“Bapak. Bapak, tekadmu kuwi tak puji.
Bapak. Bapak, kowe koyo senopati.
Bapak. Bapak, panasmu ngungkuli geni.
Bapak. Bapak, keno angin soyo ndadi.”
Permainan harmonika Jay kembali berlanjut. Terdengar suara batuk-batuk dari Brom di kejauhan. Sepertinya ia juga ikut mendengarkan. Beberapa bagian gudang mulai roboh terbakar. Masyarakat di luar kian panik karena api semakin tak terkendali.
Jay menatap langit-langit yang sebentar lagi akan runtuh. Napasnya mulai sesak karena asap yang memenuhi gudang. Jay memejamkan mata, ia mulai lemas, rasanya ingin istirahat saja. Jay ambruk ke samping karena terlalu banyak menghirup asap menyesakkan.
Mungkin memang inilah akhirnya.
Karena di saat ada alfa, pasti ada omega.
.::..::..::..::.
Di sepanjang perjalanan, Nanto mendengarkan lagu yang diputar di dalam mobil – sebuah lagu wajib yang biasa didendangkan oleh anak-anak di sekolah, lagu yang juga biasa ia nyanyikan di depan kelas saat masih SD dulu. Lagu yang entah kenapa lumayan mendesirkan kenyamanan di hati mereka yang saat ini sedang berada di dalam mobil yang melaju kencang di ringroad kota menuju ke arah selatan. Nuansa gitar akustik yang mengiringi menambah syahdunya lagu, menambah pekatnya rasa ingin meminang malam dengan mahar rasa kantuk yang kian mewujud.
Luka-luka didapatkan Nanto saat melawan RKZ hari ni masih terasa pedih. Setidaknya ia masih bisa bertahan, ia hanya butuh beristirahat lebih lama.
Sopir om Janu mengeraskan volume lagu. Konyol juga Pak Mangku. Bisa-bisanya dia memutar lagu seperti ini sepanjang perjalanan.
Nanto menarik napas panjang sembari melongok keluar jendela mobil.
Aliansi dan RKZ sama-sama menderita kerugian hari ini, korban jatuh dari kedua belah pihak. Disayangkan ada orang-orang yang menjadi martir di saat seharusnya tidak perlu ada yang mengorbankan nyawa hanya untuk memenuhi angkara murka manusia. Sungguh konflik yang konyol sekaligus menjijikkan tapi berkesinambungan, terus menerus mendera dan menciderai kota yang ia cinta dengan semua masalah perebutan kekuasaan yang sebenarnya jabatan semu semata.
Rebut berebut, tantang menantang. Demi apa? Rela bertaruh nyawa. Demi apa? Hanya gara-gara kekuasaan, orang-orang harus kehilangan nyawa. Lady, Beni Gundul, entah siapa lagi.
Beni Gundul…
Nanto sekali lagi merasa bersalah dengan hilangnya nyawa beberapa orang anggota Aliansi – dan juga RKZ pada pertarungan hari ini. Ia merasa beban di pundaknya bertambah. Mereka seharusnya tidak menjadi korban. Seharusnya tidak ada lagi korban. Seharusnya semua bisa menahan diri. Seandainya bisa – seandainya saja diijinkan, maka dia ingin semua masalah selesai tanpa harus jatuh korban. Tanpa ada yang harus kehilangan nyawa yang begitu berharga. Tapi itu sepertinya tidak mungkin dihindari.
Ia selalu bertanya-tanya. Kenapa harus mengorbankan sesuatu yang begitu berharga untuk sesuatu yang sama sekali tak penting?
Sayang pemikiran naif si Bengal tetap hanya akan jadi angin lalu di hadapan para petinggi kelompok-kelompok penguasa. Situasi yang beranjak memanas di antara empat besar rasa-rasanya tidak akan mereda dalam waktu dekat, justru makin memanas – terlebih dengan hadirnya RKZ yang entah sudah hancur ataukah akan kembali bangkit, karena pentolan mereka yang misterius belum lagi terjerat. Kemana Ki Juru Martani? Kenapa dia menghilang meninggalkan Jenggo meregang nyawa?
“Kemana kita sekarang, Om?” tanya Deka yang baru saja selesai melakukan pengaturan napas dengan teknik zen untuk meredakan luka-luka yang ia derita. Deka juga sama saja, begitu banyak yang terjadi beberapa hari ini, ingin rasanya dia rebahan sebentar di kasur yang empuk.
Si Gondes melirik ke Amar Barok di sisinya. Sang kakak sudah terpejam dan mendengkur dengan tangan terlipat di depan dada. Pria itu juga sudah melalui banyak hal hari ini, sudah sepantasnya dia beristirahat. Deka bangga bisa menarik kakaknya ke sisi yang ia bela. Dia akan menjadi aset besar bagi Aliansi.
“Kita akan menuju ke sebuah hotel di Pantai Selatan, hotel sederhana milikku. Di sana kalian akan aman dan bebas melakukan apa saja. Setidaknya untuk sementara waktu bisa kalian gunakan untuk lokasi menghindarkan diri dari kejaran sisa-sisa RKZ seandainya mereka masih penasaran sama kalian.” kata om Janu yang duduk di samping Pak Mangku yang sedang menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Om Janu melanjutkan lagi, “Tidak ada orang yang tahu tempat itu kecuali aku dan Pak Mangku, jadi kondisi dipastikan aman. Akan kudatangkan tenaga medis untuk merawat luka-luka kalian semua, jadi kalian bisa istirahat di sana sembari memulihkan diri berapa lama pun kalian mau. Lupakan masalah kota untuk sementar waktu. Begitu ya, Pak Mangku?”
Pak Mangku mengangguk mengamini dan melirik ke belakang ke arah Nanto melalui spion tengah. Dia tidak mengatakan apa-apa untuk menyambung kalimat om Janu tapi terus menatap ke arah si Bengal dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
Suatu ketika Nanto secara tidak sengaja melirik juga ke spion tengah, tatapan mereka pun bertemu. Pak Mangku buru-buru memindahkan pandangannya. Nanto mengerutkan kening karena heran, tapi memilih untuk diam dan melirik keluar jendela, ia kembali tenggelam dalam lamunannya sendiri, mencoba menelaah semua masalah dalam kacamata pemahamannya yang terbatas.
Si Bengal tahu keinginannya untuk memberangus angkara murka di kota masih jauh dari selesai dan mungkin adalah sesuatu yang tidak akan dapat tercapai karena itu hanyalah wishful thinking. Mungkin memang bukan tugasnya untuk melakukan itu semua, tapi setidaknya dia ingin berusaha. Dia ingin melakukannya demi semua yang telah gugur: demi Beni Gundul, demi Lady. Demi membuktikan diri sendiri kepada Ibunda-nya tercinta, pada Eyang Bara, dan pada mereka yang mempercayainya – Hanna, Nada, dan tentu saja Kinan-nya tercinta.
Demi mereka, dia harus berhasil.
Nanto melirik ke luar.
Pemandangan menyusuri jalan lingkar luar kota menuju ke pantai selatan menyajikan suasana malam yang menyejukkan hati, pepohonan bersembunyi di balik bayangan anggun menari-nari. Dedaunan rimbun bermain-main dengan angin malam yang nakal berhembus mendinginkan tulang.
Si Bengal terdiam saat mengamati pepohonan yang melambai-lambai seakan meninabobokan. Ia pun memejamkan mata. ia sudah terlalu lelah. Tidur sebentar rasa-rasanya boleh saja setelah semua yang terjadi hari ini.
Boleh kan ya?
Lagu yang diputar masih terus mengalun saat dengusan napas si Bengal mulai terdengar pelan dan berirama. Hanya Deka, Pak Mangku, dan om Janu yang masih terus terjaga sepanjang perjalanan. Yang lain terlelap karena kelelahan.
Lagu itu masih terdengar sayup-sayup.
Melambai-lambai.
Nyiur di pantai.
Berbisik-bisik.
Raja kelana.
Tamat