Part #25 : TUNJUK SATU BINTANG
“Perjuangkan mimpimu dan mimpimu akan berjuang untukmu.”
– Paulo Coelho
“Bagaimana? Sudah semuanya?” tanya Roy.
Pasat melepas topi yang ia kenakan dan menghapus keringat sebiji-biji jagung yang menetes di dahinya dengan punggung tangan. Ia lantas mengelap bekas keringatnya itu di celana yang ia kenakan dan mengenakan kembali topinya. Pemuda itu menatap ke salah satu sudut ruangan yang baru saja ia bongkar dan dengan hati-hati sekali mengeluarkan sebuah benda yang tadinya ditanam di tempat itu – sebuah keris.
“Ini yang terakhir.”
Roy mengangguk dan menyiapkan lembaran kain untuk membungkus keris yang baru saja diambil oleh Pasat. Di samping mereka, sudah ada tiga bungkusan lain yang juga menyimpan benda yang mirip, keris-keris bertuah.
“Cagak bebandan – persis seperti apa yang diceritakan Guru. Tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau aku akan bisa memegang benda-benda ajaib seperti ini,” bisik Roy dengan sangat perlahan, takut akan ada yang menyaksikan dan mendengarkan apa yang ia dan Pasat kerjakan. “Memang terasa berbeda dari keris kelas kaleng, keris-keris ini serasa berbicara kepada kita, seperti ada satu sosok yang menghuni di dalam setiap kerisnya.”
“Iya, ngeri kalau pegang kelamaan. Entah Guru tahu dari mana posisi peletakan cagak bebandan di gudang RKZ ini, sehingga dia mengutus kita untuk mengambilnya di saat semua sedang bertarung,” ujar Pasat. Ia mengumpulkan keempat keris yang sudah ia dapatkan dan memasukkannya ke sebuah tas ransel. “Aku yang akan membawanya ke Guru. Beliau dan Hamdani sudah menunggu di luar, di tempat aman. Apapun yang terjadi keris-keris ini harus sampai ke Guru. Bagaimana denganmu?”
“Aku harus membantu teman-temanku dulu. Mereka butuh bantuanku.”
Pasat mengangguk, “Ingat jangan terlampau berlebihan menghabiskan tenaga. Kondisimu masih belum pulih benar. Kalau memang butuh bantuan, beri kabar padaku. Aku akan mengajak guru dan Hamdani untuk membantu, mungkin juga QZK kalau kondisi benar-benar gawat. Tapi kalau menurut saranku, bawalah orang-orang yang paling dekat denganmu untuk segera menyingkir dari tempat ini, secepatnya. Tidak ada hal baik yang akan kamu dapatkan dengan bertahan di sini.”
Roy mengangguk.
Kedua orang itu kemudian melesat melalui jalan kecil yang sulit dilalui oleh orang biasa. Mereka berdua memanfaatkan kemampuan ringan tubuh kelas atas untuk melompati kontainer demi kontainer dengan mudahnya.
“Dinasti Baru datang membantu. Pertarungan jadi berbalik, kini Aliansi yang mengungguli RKZ,” ucap Pasat saat melihat situasi terakhir di medan tempur. Ia dan Roy berada di sebuah kontainer tinggi yang bisa melihat ke hampir semua arah. Karena posisinya terama tinggi, tidak banyak yang bisa mencapai lokasinya berada. “Beruntung kita tadi diam-diam dapat meloloskan diri dari Alang Kumitir dan Tunggul Seto, kalau tidak… wah barangkali kita sudah mampus sekarang.”
Roy mengangguk, ia melihat Tunggul Seto sudah terkapar tak berdaya di satu sudut. Demikian juga dengan Galung dan Brom. Dari Aliansi ia melihat Bian dan Hageng yang pingsan. Selebihnya ia tidak dapat menemukan teman atau lawannya yang lain.
“Itu… Bos BMW.” Pasat menunjuk ke sebuah arah, mereka berdua tetap berjalan menyusuri kontainer sembari terus mengamati kejadian-kejadian di bawah. “Pimpinan tertinggi Dinasti Baru. Tumben dia turun tangan langsung.”
Roy mengangguk. “Tumben sekali ya. Siapa empat sosok aneh di depannya itu?”
“Empat Belati. Jawaban ekuivalen dari Empat Anak Panah JXG, Empat Perisai QZK, dan Tiga Gentho dari Bondomanan-nya PSG.”
“Jadi itu Empat Belati?”
“Empat Belati. Aku juga baru lihat formasi lengkap mereka sekali ini,” bisik Pasat. “Aku tahu tiga di antara empat. Ini pertama kalinya aku melihat sosok belati yang keempat.”
“Siapa saja mereka?”
“Kamu yakin mau menanyakan itu sekarang?”
“Aku harus tahu orang-orang yang sedang berada di medan tempur saat ini juga. Mereka bisa saja sekarang mendukung Aliansi dan beralih menghancurkan kami dalam sejentikan jari. Aku harus tahu siapa saja mereka.”
Pasat memandang ke arah Roy, sebenarnya waktunya tidak tepat karena mereka terburu-buru. Tapi ia merasa apa yang diucapkan Roy ada benarnya. “Baiklah, cepat saja akan kuceritakan. Mulai dari pertama. Yang paling kiri.”
“Yang pakai jaket kulit coklat kerah berbulu?”
“Betul. Itu JB atau Jebe, nama aslinya Jemmi Besouw, pria berjuluk Sniper. Secara keren dia dipanggil The Marksman atau the Human Sniper. Dia punya tingkat ketepatan lemparan yang tinggi dan mampu mengubah benda apapun menjadi senjata. Penampilannya biasa-biasa saja, tidak gemuk tidak kurus, rambut acak-acakan, brewok, dan selalu tersenyum. Meskipun mata terlihat mengantuk, tapi sesungguhnya matanya sangat awas. Dia mampu membidikmu dari jarak yang tak akan pernah kamu bayangkan sebelumnya. Jika dia menggunakan Jurus Pisau Terbang-nya, maka dia ingin kamu mati. Tapi jika dia menggunakan dart beracun-nya, itu artinya Dinasti Baru ingin menangkapmu hidup-hidup dan mengeruk informasi terlebih dahulu sebelum membunuhmu. Apapun yang ia gunakan, kamu tidak akan selamat jika dia sudah membidikmu.”
“Widih, ngeri juga. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi ada kelemahannya dong.”
“Kelemahan apa?”
“Biasanya orang yang hobi melempar senjata dari jarak jauh bakal mudah ditundukkan dari jarak dekat. Itulah alasan kenapa mereka menyempurnakan kemampuan serangan jarak jauh mereka.”
“Hehehe… mungkin untuk orang lain itu alasannya. Tapi itu tidak berlaku untuk JB. Karena secara kemampuan, dia juga punya jurus tarung jarak dekat yang cukup nggilani meski tidak banyak yang bisa membuktikan. Boro-boro mendekat, lawan-lawan si Jebe sudah bakal roboh dari jarak jauh. Ditambah dia memiliki teknik pertahanan yang sempurna. Kamu pikir Amar Barok adalah satu-satunya orang yang bisa menggunakan Perisai Genta Emas di Dinasti Baru?”
“Hah!? Jadi maksudmu?”
Pasat mengangguk, sambil menunjuk ke JB. “Dia jendral dari Empat Belati. Sang pimpinan di antara pimpinan, raja di antara raja. Orang kepercayaan ketiga om BMW setelah Amar Barok dan om Kimpling. Kemampuannya yang hebat juga ditakuti oleh orang-orang Dinasti Baru, padahal…”
“Padahal apa…?”
“Padahal JB awalnya adalah anggota JXG. Di saat perang besar terjadi, tugas JB adalah melumpuhkan om BMW. Namun JB gagal melaksanakan tugasnya. Saat dikonfrontasi oleh om BMW, dia justru jadi berbalik sikap dan bersumpah setia untuk selalu melindunginya.”
“Begitu ya. Kalau yang kedua?” Roy menunjuk ke sosok di samping Jebe.
“Si Jilson. Jilmek Sang Raptor.”
“Eeeh!? Jilmek? Seriously? Jinjja? Demi apa namanya Jilmek?” Roy terperangah terkejut saat mengetahui nama pria dengan wajah rusak yang mengenakan satu penutup mata itu ternyata agak vulgar dan out of the box. Wajah rusaknya tidak nyaman dipandang, penuh luka jahit. Luka jahitnya tidak hanya satu dua, tapi hampir sepenuh wajah. Rambutnya juga tidak bisa dipotong rapi karena luka jahitnya menyusur hingga ke tepian di atas telinga kiri. “Serius orang itu namanya Jilmek? Kok kaya… nggak banget ya? Jenenge kok rodo-rodo njijiki. Wajahnya juga ga cocok sama namanya. Tidak mencerminkan.”
“Memang. Si wajah rusak itu punya masa lalu yang tidak menyenangkan, cerita tentangnya diketahui oleh semua kelompok di kota. Jilmek itu sebenarnya paraban atau jejuluk – atau lebih tepatnya nama yang awalnya digunakan menjadikannya korban bully, tapi sekarang justru ia gunakan tanpa peduli. Nama aslinya Jilson Megantara, panggilannya Jil atau Jilson, tapi karena nama panjangnya kalau disingkat jadi Jilmeg, maka dia menjadi sasaran perundungan dari SD sampai SMA. Awalnya hanya anak-anak SD yang terlalu iseng dan terlalu cepat dewasa yang memanggilnya Jilmek, semakin dewasa bully-ing terjadi bukan hanya karena nama.”
Roy mau ketawa tapi takut dosa saat membayangkan masa kecil si Jilmek. “Wow, pasti habis dia di-bully sejak kecil. Habis gimana lagi. Namanya Jilson Megantara, Jilmeg. Hahhaa. Namanya sangat mengundang orang iseng, aku juga ga bakal menyalahkan anak-anak SD itu… karena mereka masih belum tahu efek ke depannya…”
Pasat melanjutkan, “Dia jadi anak yang bermasalah sejak SD. Sering pindah sekolah karena DO. Selalu saja berantem dengan anak-anak yang mem-bully. Di SMP dia menjadi tak terkendali dan mendorong temannya dari lantai dua gedung sekolah. Anak yang jatuh tidak pernah dapat berjalan lagi seumur hidup, kakinya patah. Di SMA dia lebih gila lagi dan membunuh teman sekelas sampai ususnya terburai di WC sekolah. Dia tidak ditahan karena usia dan mentalnya, tapi masuk RSJ untuk rehabilitasi. Di sana dia menjadi sangat destruktif, sering menyakiti diri sendiri dan mencoba bunuh diri berulang kali. Yang paling parah adalah membenamkan wajahnya di baskom penuh pecahan kaca. Mentalnya sudah tidak karuan.”
“Oh jadi itu kenapa dia sekarang…”
“Betul, bekas luka-luka itu adalah ulahnya sendiri. Nah, meski sakit jiwa, sesungguhnya dia punya energi Ki mentah yang cukup hebat jika dibina dan memilliki kemampuan tempur yang sangat baik. Hal itu tidak pernah ia sadari sebelumnya. Satu-satunya yang bisa melihat Ki mentah itu adalah om BMW yang kebetulan sering ke RSJ. Om BMW menemukannya, membimbingnya, dan mengembalikan kesehatan mentalnya hingga sekarang bisa dibilang dia sudah lumayan sadar.”
“Tapi namanya tetap saja Jilmek. Kok agak gimana gitu.”
“Coba saja ejek dia di depan wajahnya. Ususmu akan terburai dan lehermu akan tergorok bahkan sebelum kamu sempat berkedip. Dia punya sepasang pisau kecil melengkung yang konon merupakan peninggalan dari masa lampau. Pisau itu sampai dijuluki Kuku Raptor.”
Roy merinding mendengarnya, lebih merinding lagi melihat penampilan tanpa senyum si Raptor. Ia melemparkan pandangan ke arah rekan di samping Jilmek. “Kalau yang satu lagi?”
“Langsing, tinggi, gesit, dan cepat. QB Qartubi. The Quarterback, pendiam yang mematikan.” ujar Pasat. “QB mengandalkan kecepatan dan kemampuan mengendarai udara seperti dirimu. Dia punya track record hebat kalau soal kecepatan menghabisi lawan. Seperti halnya Jebe, QB juga mantan JXG, bedanya QB pernah sempat juga bergabung ke QZK, meski kemudian keluar karena berseteru hebat dengan Syam. Jurus andalan QB adalah Inti Angin Sakti, dia adik seperguruan Pak Pos dan dulunya merupakan kesayangan Pak Zein, sejauh yang aku ketahui – dia termasuk sepuluh besar pengguna Inti Angin Sakti.”
“Kalau kesayangan Pak Zein, kenapa dia menyeberang ke QZK, dan pada akhirnya melompat lagi ke Dinasti Baru?”
“Satu peristiwa yang terjadi sebelum perang besar menyebabkannya diusir dari JXG. Entah peristiwa apa karena sampai saat ini tidak ada yang berani menanyakan perihal peristiwa itu di hadapannya – kalau tidak salah itu peristiwa yang sama yang menyebabkan Jagal-nya JXG masuk ke bui. Menjelang akhir perang besar dia gabung ke QZK, namun karena tuduhan mata-mata dari Syam, QB keluar dan memilih masuk ke Dinasti Baru.”
“Mata-mata ya. Memang mencurigakan kalau habis keluar dari JXG, lalu masuk ke QZK dalam kondisi keduanya sedang berperang. Tidak bisa menyalahkan om Syam yang curiga.” Roy manggut-manggut, tapi sesaat kemudian dia menggelengkan kepala, “Tapi asli… kok ruwet banget sih urusan kalian ini. Yang ini nyebrang ke sana, yang itu nyebrang ke situ. Puyeng dengerinnya, aku ga bakalan hapal.”
“Bukan untuk dihapalkan. Kabar terakhir dari Guru katanya QB sudah berdamai dengan Pak Zein dan Pak Pos, tapi mereka tidak pernah lagi berbincang-bincang. Beda halnya sama hubungannya dengan Jagal yang benar-benar sudah hancur dan sepertinya tidak akan pernah kembali menjadi baik. Sulaiman Seno dan QB saling benci satu sama lain, seperti halnya Seno dan QB juga berseteru dengan Syam dari sisi kita.”
“Yak. Memang ruwet urusan kalian ini.”
“Memang. Aku juga kadang sampai bingung sendiri.” Pasat menatap ke arah QB. “Banyak yang sering berpindah-pindah dan bertukar kelompok. Tapi itu wajar saja karena kita tinggal di kota yang meskipun punya provinsi tapi scope-nya kecil. Ada empat kelompok besar dan sepertinya wajar kalau anggotanya sering berseteru dan pindah haluan, itu sudah kejadian umum. Anggota kita tentunya tidak hanya satu dua orang saja”
“Bagaimana dengan yang terakhir itu?” Roy menunjuk orang terakhir di deretan Empat Belati.
“Nah itu yang aku belum tahu. Namanya Subotai, tapi entah siapa itu Subotai. Dia terlihat cukup kekar dan menyeramkan. Kabarnya dia kandidat pengganti posisi Amar Barok sebagai tangan kanan om BMW. Kemampuannya pasti cukup hebat karena sanggup mendaki tangga kepemimpinan di Dinasti Baru dengan cukup cepat, bahkan melewati Jebe yang terbilang pimpinan Empat Belati.”
Subotai bertubuh tegap dengan tinggi badan yang biasa saja. Yang aneh adalah bagian atas tubuhnya sangat kekar dengan lengan dan dada berotot melebihi orang biasa, mirip seorang pengunjung setia gym atau atlet angket berat kelas advance. Wajahnya tak nampak karena mengenakan masker motor warna hitam dan hoodie dari rompinya tak pernah dibuka.
Ada angin yang mendadak sampai di tempat di mana Pasat dan Roy berada. Angin yang membawa panasnya api yang tengah membara di gudang RKZ. Kedua pemuda itu lantas mengamati satu demi satu orang-orang yang sedang bertarung dan memperhatikan jalur yang mungkin dapat mereka lewati untuk bisa keluar dari gudang.
“Sepertinya rekan-rekan dari Aliansi tidak membutuhkan bantuanmu, mereka bisa mengungguli lawan-lawan mereka,” ujar Pasat.
Roy menggelengkan kepala saat melihat nasib Bian dan Hageng yang terkapar tak berdaya. “Tidak semua. Itu sahabat dan yang di sana itu saudaraku. Kita harus segera membawa mereka keluar dari sini.”
“Betul juga,” Pasat mengamati sekeliling, “Mungkin kita juga harus menyelamatkan anggota Aliansi yang lain. Mereka tersebar dan terluka – sebagian besar pingsan. Api terus menjalar, sangat-sangat bahaya kalau mereka pingsan atau tidak dapat bergerak.”
“Bro…” Roy menatap ke arah Pasat.
Pasat mengangguk. “Aku tahu, skala prioritas. Nyawa adalah yang utama. Keselamatan orang-orang ini sangat penting. Kita tidak bisa membiarkan mereka begitu saja mati konyol di sini. Kita harus membawa mereka keluar satu persatu sekaligus mengantarkan keris ini pada Ki Kadar dan Hamdani di luar sana.”
Roy mengangguk, “kamu memang paling tahu maksudku.”
Pasat mengulurkan tinjunya. Roy menepuknya ringan dengan kepalan. Fist bump. “Ya udah ayo. Kita tidak boleh membuang banyak waktu lagi.”
Keduanya melesat dan menyebar, beraksi menyelamatkan satu persatu anggota Aliansi.
.::..::..::..::.
“Paklik tidak apa-apa?”
Gamal menolong Alang Kumitir untuk bangkit. Kedua punggawa RKZ itu memang aslinya memiliki hubungan saudara. Alang adalah paman dari Gamal atau adik dari ayah Gamal. Dialah yang membawa Gamal untuk masuk ke RKZ saat keponakannya itu membutuhkan pekerjaan. Selama ini Gamal hanya menjadi jambret atau maling motor saja di kampung, berkat Alang Kumitir prestasi-nya bertambah dengan menjadi punggawa RKZ, jabatan yang cukup mbois.
“Aku rapopo. Bagaimana kondisi yang lain?” tanya Alang. Salah satu hulubalang Jenggo itu mencoba bangkit, dadanya terasa sesak karena tadi dihantam oleh salah satu jurus andalan si Bengal.
“Satu persatu jatuh, Paklik. Agun, Galung, dan Brom semua tumbang.” Gamal terengah-engah. “Aku tidak tahu di mana Jay. Aku tidak menemukan dia.”
Alang Kumitir sejak awal juga mengawasi perjuangan sang keponakan di pintu depan gudang namun ternyata sekarang ia terdesak sehingga masuk ke dalam.
Gamal melanjutkan lagi, “Aliansi ada di atas angin, mereka dapat bantuan dari Dinasti Baru.”
“Bajingan! Kok bisa-bisanya Dinasti Baru juga ikut campur?”
“Entahlah. Ini di luar kemampuan kita, Paklik.”
“Bagaimana kondisi si Bos?” Alang melirik ke arah Tunggul Seto sahabat karibnya yang terkulai lemah, tubuhnya masih bergerak naik turun pertanda ia masih bernapas. Syukurlah kalau Tunggul masih hidup. Setidaknya kelak mereka masih bisa membalas dendam pada Aliansi.
“Bos Jenggo sedang berhadapan dengan ketua Aliansi dan juga Amar Barok.” Gamal membantu Alang Kumitir berdiri. “Kondisi tidak aman buat kita, apa yang Paklik usulkan? Cabut saja?”
“Pertama kita harus menyelamatkan anak-anak RKZ dari gudang yang terbakar. Keluarkan sebanyak mungkin yang kamu bisa sebelum tempat ini hancur menjadi debu. Api akan menghanguskan semuanya.” Alang menepuk pundak Gamal, “Setelah itu semua kamu lakukan, pergi dan carilah tempat aman. Untuk sementara waktu pulanglah ke desa. Situasi di sini sangat berbahaya. Kekuatan kita sedang terkuras habis. Kita harus mencari cara untuk memperkuat pasukan dan kembali lagi dengan lebih kuat.”
“Siap, Paklik. Saya paham.”
“Sudah jelas?”
“Jelas, Paklik.”
“Pergilah.”
Gamal mengangguk dan segera berlari meninggalkan Alang Kumitir yang masih menahan nyeri di dada akibat pukulan dahsyat dari si Bengal di pertarungan awal tadi. Ia mencoba menarik napas, menghimpun tenaga, memperbaiki aliran udara dan tenaga dalam tubuhnya. Rasanya sesak sekali, sampai sekarang ia masih belum bisa menghimpun Ki-nya dengan sempurna. Bocah bernama Nanto itu memang benar-benar…
Swssh. Swssh.
Alang Kumitir terkesiap.
Angin apa itu tadi yang barusan? Pria itu sudah sangat terbiasa mengendarai angin, sehingga ia paham kalau angin yang barusan pasti ulah seseorang dengan ilmu kanuragan yang mumpuni. Bukan angin biasa. Saat ia membuka mata kembali, Alang Kumitir terkejut bukan main karena dihadapkan pada sebuah adegan yang mengiris hatinya.
Gamal sudah berada dalam kendali seorang pria yang tengah meletakkan pisau di leher dan punggung sang keponakan. Gamal basah oleh keringat dan menatap Alang Kumitir dengan pandangan khawatir. Situasi menjadi sangat gawat dan sangat membingungkan dalam waktu cepat. Alang tahu kondisi sangat berbahaya karena orang itu tak lain dan tak bukan adalah sang Raptor dari Dinasti Baru, Jilson si Jilmek.
“Paklik! Jangan hiraukan aku! Pergi dari sini!”
“Pergi dari ssini?” suara Jilson yang mendesis membuat Alang Kumitir dan Gamal bergidik ngeri. Sang Raptor berbisik di telinga Gamal yang gemetaran, “Memangnya kamu tidak mau dibebasskan oleh Paklik-mu itu? Memangnya kamu pikir ssemua ini akan berakhir dengan baik-baik ssaja? Jangan harap. Ssekali pissauku ditarik keluar, pantang untuk dissarungkan kembali tanpa mencicipi darah ssegar.”
Gamal menatap Alang Kumitir dengan pandangan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Antara ketakutan, pasrah, tapi juga penuh harap. “Pa-Paklik… aku…”
Sblp! Sblp!
Pisau sang Raptor beraksi. Bergerak bersamaan mencongkel daging dari kulit Gamal. Yang satu di punggung, dan yang satu lagi di leher, menggoroknya. Darah segar muncrat dari kedua lokasi itu. Tubuh Gamal berputar bak gasing karena kencangnya tenaga Jilson saat memainkan pisaunya.
“Hkkkghh! Hkkkghh!” usai berputar-putar, Gamal melangkah ke depan dengan gerakan sempoyongan, matanya melotot dan tangannya berusaha menutup lehernya yang terbuka. Ia berusaha mengucapkan kata namun tidak ada yang keluar dari mulutnya yang sudah banjir darah.
Sang Raptor ternyata tak ingin berhenti dan menyudahi aksinya. Ia maju ke depan dan menendang tubuh Gamal. Tubuh punggawa RKZ itu jatuh berdebam di tanah. Sang Raptor meloncat ke atas tubuh Gamal yang terbaring tak berdaya dan kembali menanamkan pisau ke sang korban yang tak sanggup melawan. Sekali, dua kali, tiga kali. Darah muncrat berulang-ulang kali membasahi wajah sang Raptor nan sadis.
Entah kapan tepatnya nyawa sang pemuda meninggalkan tubuhnya, Alang Kumitir hanya dapat menyaksikan tanpa daya dari kejauhan betapa tubuh Gamal disentak-sentak oleh pisau yang berulangkali menginvasi tubuhnya yang sudah tak berdaya. Mata Gamal yang terbuka menatap ke arah Alang Kumitir dengan pandangan terakhir yang menyiksa. Ia meminta tolong namun tak dapat dikabulkan.
“Ti-tidak… po-ponakanku…”
Alang Kumitir menatap tak percaya saat melihat tubuh sang keponakan akhirnya terkulai tak bernyawa dengan perut terburai di depan sang Raptor.
Jilson berdiri dengan tenang dan tersenyum menyeringai, ia memiringkan kepalanya menatap Alang Kumitir lalu menjulurkan lidahnya. Lidah yang tidak normal, lidah Jilson memiliki cabang dan terbagi dua seperti lidah seekor ular. Lidah yang kemudian menjilat pisaunya yang berdarah.
“Ssshhh tahukah kamu…? Darah yang paling enak itu darah ssegar dari orang yang belum beberapa detik modar,” ucap pria itu sembari terkekeh-kekeh. Tato sisik reptil yang hampir memenuhi sisi kiri lengannya terlihat lebih mengerikan setelah apa yang tadi lakukan itu. Tidak mengherankan jika dia dijuluki Raptor. “Berssiaplah menyussul bocahmu…”
“Bajingan! Aku akan mengulitimu dengan pisaumu sendi… hkgh!”
Tiba-tiba saja kalimat Alang terhenti. Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya karena dari belakang ada satu tangan kekar yang mencekik lehernya dan mengangkat tubuhnya. Tangan yang teramat kuat membuat sang hulubalang setia Bambang Jenggo itu tak berdaya. Satu tangan mencekik, satu tangan mendorong punggung bawah Alang Kumitir ke atas.
“Ssubotai! Habissi dia…!” Jilson tersenyum sinis. Wajahnya nampak mengerikan dengan lidah terjulur-julur keluar. Mungkin memang pantas jika dia mendapatkan paraban Jilmek, sesuai dengan lidah yang nggilani seperti itu.
Alang meronta-ronta, tapi ia tak sama sekali tak bisa bergerak. Cekikan di lehernya benar-benar sangat kuat. Demi apa Subotai punya kekuatan tangan yang menyeramkan seperti ini?
“Hkkkghhh!”
Dengan kekuatannya, Subotai mengangkat tubuh Alang Kumitir yang terus saja meronta, tapi tak mampu melepaskan kuncian dari jepitan tangan capit sang lawan. Tubuh Alang kini diangkat dengan kedua tangan bak barbel, di atas kepala Subotai!
Jilson mengangguk dan mengacungkan jempol. “Ssayonara… ssuckerss…”
Tubuh Alang disentakkan ke atas dan dibanting ke bawah dengan kecepatan tinggi! Andai saja hanya dibanting ke tanah, Alang mungkin tak akan menderita, tapi kali ini Subotai menahan tubuh Alang yang dibanting ke bawah dengan lututnya yang kekar.
Tulang punggung Alang Kumitir dihantamkan ke lutut sang pria mengerikan itu.
Kraaaaaaaaaaagkhhhh!!
“Hraaaaaaaaaaaaaa!!!!”
Alang Kumitir berteriak kesakitan. Ia memejamkan mata dan menggemeretakkan gigi. Rasanya tidak karuan. Tulang punggungnya dipastikan tidak lagi bisa digunakan dengan sempurna sepanjang sisa hidupnya. Jika kehilangan tulang punggung dipastikan dia akan lumpuh tanpa kemungkinan untuk sembuh.
Jilson mengangkat kedua jempolnya ke udara. “Baguss! Baguss! Hebat Ssubooooo!!”
Subotai mendengus dan mengangguk setuju. Ia mengangkat sekali lagi tubuh lunglai Alang Kumitir dan mengulangi perbuatannya, mengangkat tubuh Alang Kumitir dan membanting punggung sang hulubalang Bambang Jenggo itu tepat di lututnya.
Kraaaaaaaaaaagkhhhh!!
“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrhhh.”
Alang berteriak kesakitan, kalau tadi tidak patah, maka sekarang sudah dipastikan punggungnya patah. Ia melenguh, berteriak, menjerit, dan putus asa.
Subotai melempar tubuh lumpuh Alang Kumitir ke arah tumpukan besi tua. Suara berdebam terdengar nyaring seiring jatuhnya besi-besi itu menimpa sang hulubalang. Besi yang paling berat tiba-tiba saja menimpa kaki Alang Kumitir.
Brrrkrkghh!
Untuk kesekian kalinya, Alang berteriak. Kali ini karena tulang kakinya remuk ditimpa besi baja yang berat.
Jilson berteriak kencang, “Jebeeeeeeeee!! Sselessaikaaaaaan!”
Jebe yang mendengar teriakan sang Raptor dari jarak tujuh meter mengangguk. Dengan kecepatan tinggi ia melontarkan sesuatu dari dalam kantong bajunya.
Jblp! Jblp!
“Hkkkkghh! Hkkghh!”
Sang hulubalang tersentak dua kali ke belakang. Kepalanya terantuk besi dengan kerasnya sehingga menimbulkan suara nyaring. Alang Kumitir tentu saja tidak bisa bergerak kemanapun karena kakinya tertindih, terjepit dan remuk. Yang lebih parah lagi, dua buah pisau kecil tiba-tiba saja sudah tertanam di dada dan perut sang hulubalang.
Jebe mengedipkan mata dari kejauhan pada Jilson.
Alang Kumitir ambruk dan terkulai tak berdaya. Panasnya api yang membakar kian terasa. Ia tertawa, terbatuk, dan tertawa lagi. Pria itu menatap langit-langit gudang yang sepertinya sebentar lagi akan rubuh.
Sudah. Sepertinya sudah saatnya. Pria yang setia pada pimpinan itu tersenyum, usai sudah pengabdiannya pada Bos Jenggo. Setelah sekian lama, akhirnya tiba juga waktunya. Waktu itu ternyata adalah malam ini.
Ia menatap ke api yang tengah membakar kayu di kejauhan.
Pikirannya pun mengelana.
Masih teringat bagaimana ia dulu diangkat menjadi hulubalang dari hanya sekedar tukang becak di dekat stasiun di luar kota, di ibukota provinsi sebelah. Diawali dengan perjalanan santai dengan calon bosnya mencari gimbal urang di malam hari dan hari ini diakhiri di sebuah gudang yang tengah dilalap api.
Seperti kalimat yang selalu diucapkan oleh Bos Jenggo; kalau memang sudah saatnya, mati ya mati. Alang Kumitir memejamkan mata.
Usai sudah tugasnya.
Memang sudah saatnya.
.::..::..::..::.
Nanto, Deka, dan Amar Barok berdiri dengan gagah dan menantang di hadapan Bambang Jenggo yang tak menunjukkan wajah takut sedikitpun, tenaga Ki murni mengalir di seluruh tubuh mereka. Mereka hanya bertiga saja sementara om BMW duduk berleha-leha di kejauhan, menyaksikan pertarungan dengan tertawa-tawa. Belum ada tanda-tanda kalau dia akan turun tangan langsung untuk membantu Nanto dan kawan-kawan dalam menghadapi sang puncak pimpinan RKZ.
Oleh Bambang Jenggo, perhatian secara khusus diberikan pada si Bengal. Kemampuan hebatnya memusingkan sang pimpinan RKZ, ia merasakan Ki yang bagaikan obor menyala terlalu terang dalam kegelapan. Pantas saja Ki Juru Martani begitu ngotot ingin melihat kemampuan sesungguhnya dari Nanto, ternyata bisa sebesar ini yang dicapai.
Bambang Jenggo menundukkan kepala dan tertawa, kemampuan dan tenaga dalam yang luar biasa tapi sebenarnya tidak sehat. Jenggo terkekeh dan menatap si Bengal, “Tenaga besar, tubuh biasa saja. Kekuatanmu akan memakan tubuhmu pelan-pelan kalau kamu tidak segera upgrade fisikmu. Tanpa sadar kamu sedang digerogoti tenaga dalammu sendiri. Suatu saat nanti kamu pasti paham apa yang aku ucapkan ini.”
Nanto hanya mendengus.
Pria bertubuh tinggi besar itu mempersiapkan Ki.
“Kalian tahu apa ilmu kanuragan yang dia kuasai?” tanya Nanto pada Deka dan Amar. “Aku masih tak bisa memetakan kekuatan Ki-nya. Besar tapi tersembunyi, seperti ada yang menghalangi pembacaan Ki-nya.”
“Sebenarnya tidak tersembunyi tapi bertahap, kalau tidak salah ada beberapa tingkatan – mirip Kidung Sandhyakala. Kekuatannya semakin lama akan semakin menghebat.” ujar Amar Barok sembari mendengus kesal karena pada akhirnya dia harus membuka jati dirinya pada RKZ sebelum berhasil menemukan rahasia siapa sebenarnya Ki Juru Martani. “Dia jauh lebih kuat dari yang terlihat, jangan terkecoh.”
Jenggo tertawa, “Hahahahahaha… bersiaplah kalian! Inilah pertama kalinya kalian akan berhadapan dengan Hikayat Pemuja Malam.”
Dengan ucapan kalimat itu, arena tercipta.
Amar Barok berlari ke depan. Ia tak sendiri. Deka di samping kiri, Nanto di samping kanan. Di sisi lawan, Bambang Jenggo mengambil kuda-kuda pertahanan.
Nanto sampai paling dahulu.
Beruntun Si Bengal melancarkan serangan, tangannya bergerak cepat bak senapan. Bagai mesin bor yang mencoba melubangi tembok, meluncur deras tanpa henti kepalan demi kepalan, kaki menapak langkah demi langkah ke depan. Ia terus menerjang, maju dengan satu set amukan. Terkadang tangan kiri, terkadang tangan kanan, terkadang sikut, terkadang lengan, terkadang lutut, semua diluncurkan menuju lawan. Sayang tak satupun mengenai sasaran, tak satupun ada yang mempan. Jenggo dapat berkelit, sesekali mundur, dan menggoyang tangan untuk bertahan.
Dari segi kecepatan, keduanya mungkin setara. Serangan awal berhasil diatasi Bambang Jenggo dengan sempurna.
Tapi Nanto tidak sendirian.
Amar Barok menyeruak dari balik tubuh si Bengal, terbang ke atas dengan satu loncatan. Ia mulai mempersiapkan kepalan yang sejak tadi ia simpan. Kedua tangan sang Panglima Singa Emas sama-sama mengerikan, tapi saat ini sepertinya yang kiri yang siap diledakkan. Kepalan tangan kiri Amar ditarik sampai ke belakang kepala hendak diayunkan ke depan. Pria gagah itu pun meraung kencang, siap menghancurkan kepala Jenggo yang ia jadikan sasaran.
Tapi Jenggo tak semudah itu dijadikan sasaran tembak.
Daripada kena tonjok, lebih baik kasih serangan yang menohok. Sang Raja Para Anjing melangkah dua setengah tapak mundur ke belakang untuk menghilangkan momentum Amar Barok yang terpaksa turun ke tanah tanpa melepaskan pukulan. Berada pada posisinya sekarang, sang pria gagah justru berbalik berada dalam bahaya.
Jenggo langsung maju selangkah sembari seakan-akan memilin sesuatu dengan memutar kedua tangan, membentuk satu bulatan besar dalam rajutan, kilat kecil pun bertebaran. Bola api energi terbentuk sebagai ancaman, Amar Barok tak sempat mengelak dan kini harus berhadapan, untung saja ia punya andalan.
Jenggo melontarkan bola api energi yang ia pilin sedari tadi dengan satu teriakan yang ia colong dari permainan game jaman mudanya, “hadouken!”
Kbooooooooom!
Tembakan bola api energi melesat seperti petir yang menyambar tubuh Amar Barok. Pria gagah itu terpukul mundur hampir tiga meter ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Untung saja ia tak kurang suatu apa karena sempat mengaktifkan Perisai Besi Emas yang ia jadikan andalan.
Sang kakak tersingkir, sang adik muncul menggantikan. Dari arah kiri muncul tembakan api biru yang melesat ke arah Jenggo yang tak siap. Sang Raja Para Anjing terdorong selangkah ke belakang karena efek sentakan tapi bukan itu tujuan utama yang diincar oleh Deka. Tembakan api biru Deka kini menyelimuti kaki Jenggo!
“Sekaraaaaang!” teriak si Gondes.
Jenggo terkejut, setelah terkena tembakan energi dari Deka entah kenapa ia tak sanggup bergerak! Kakinya terkunci! Saat itulah, Nanto muncul kembali dari arah kanan dengan rentetan pukulan yang lagi-lagi membabi-buta untuk menyerang sang lawan. Tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, kaki kiri, semua digerakkan untuk menggempur sang Raja Para Anjing dengan gempuran yang tak kenal henti.
Tapi itu semua gagal.
Meski kaki Jenggo dikunci oleh tembakan api biru, tapi ia masih mampu melayani si Bengal dengan kedua tangannya. Meski tak sanggup menghindar, tapi ia bisa menepis seluruh serangan. Nanto yang mulai kebingungan bagaimana cara membongkar pertahanan lawan, memutar badan sembari meloncat untuk mengirimkan pukulan ke arah kepala.
Jenggo berteriak kencang, “Amatiran.”
Jbaaaam! Jbaaaaaamm!!
Kaki si Bengal dimentahkan dengan dua pukulan. Nyeri dan ngilu rasanya saat ia harus menarik kakinya. Sial! Kok bisa gagal!? Nanto mundur dengan pincang.
Deka berusaha menahan posisi kunci di kaki Jenggo dengan menembakkan kembali api birunya. “Nyuk! Coba lagi! Serang terus jangan berhenti!”
“Hikayat Pemuja Malam. Rekursi kesembilan. Pemuja Hantu Tanpa Wujud,” Bambang Jenggo mengucapkan rapalannya dengan berbisik. Ia menyeringai.
Deka, Amar Barok, dan Nanto sama-sama terkesiap. Tubuh sang pimpinan RKZ tiba-tiba saja lenyap dari pandangan mereka. Di mana dia berada? Mustahil dia bisa lepas dari kuncian es api biru Deka yang…
Sbkgh!
Tiba-tiba saja punggung tangan Jenggo menghentak leher Deka. Entah sejak kapan sang Raja Para Anjing berada di samping Deka. “Kata Galung, di situlah kamu menyimpan titik kematianmu, prajurit. Baguslah kalau begitu. Mati kamu sekarang di tanganku. Hahahahahaha!”
Benarkan Jenggo berhasil mengatasi Perisai Genta Emas milik Deka? Betul.
Deka tak mampu berteriak karena sodokan tangan Jenggo di lehernya itu memang benar berhasil mengenai titik kematian yang ia tempatkan di tenggorokan dengan sangat tepat. Pemuda itu berjalan mundur dengan langkah tertatih sembari memegang lehernya, berusaha menyedakkan napas yang tercekat. Matanya melotot dan lidahnya keluar berulang.
Saat itulah Jay membokongnya dengan sebilah batang besi. “Modyaaaaaaaaaaarrr!!”
Sblgkh! Sblghk! Sblghk!
Tiga sambaran mengenai punggung dan pundak Deka, membuat ia terjerembab ke depan. Jay meloncat ke atas tubuh Deka dan mulai membabi-buta. Batang besinya diayunkan berulang ke arah kepala si Gondes. Lengan Deka berusaha menghalangi, meski susah melakukannya dengan posisi terbalik.
Batang besinya gagal, tapi tidak kakinya.
Sblgkh! Sblghk! Sblghk!
Tiga sepakan menghajar wajah Deka. Pelipisnya bocor. Jay tidak berhenti, kakinya merajam seluruh tubuh sang lawan tanpa ampun. Deka perlahan-lahan mulai overwhelmed, apalagi ketika batang besi milik Jay menghajar tulang keringnya.
Deka berteriak kesakitan.
Di sudut penonton, Jebe sang Belati mendengus. “Titik kematian.”
Om BMW mengangguk, “Hehehehe. Sepertinya begitu. Meski sangat tangguh, Perisai Genta Emas punya kelemahan yang sangat mengganggu jika sudah ketahuan lawan. Apa yang menjadi perisai bisa menjadi sumber kekalahan. Sesuai dengan namanya, jika sudah tersentuh, maka titik kelemahan akan menjadi titik kematian.”
“Kun? Kuuuuuuun!?” Amar Barok nyalang melihat sang adik terkapar, ia yang tadinya membantu Nanto menggempur Bambang Jenggo kini berbalik menyerbu Jay.
ROAAAAAAAAARRRR!
Raungan Singa Emas berkumandang. Tubuh Jay terpelanting ke belakang terkena efek serangan dari sang Panglima Singa Emas. Punggawa RKZ itu menancapkan batang besinya ke tanah supaya bisa bertahan dari gelombang angin ribut yang ditimbulkan oleh raungan milik Amar Barok. Besi itu menancap cukup dalam, membuat Jay terselamatkan, meski terseret cukup jauh.
Bledaaaaaaaaaaaam!
Perhatian beralih kembali ke Nanto dan Bambang Jenggo. Entah bagaimana, Si Bengal terlontar cukup jauh – kemungkinan karena serangan bola api energi. Sang pimpinan Aliansi jatuh berdebam agak jauh dari posisi Jenggo berada. Sang Raja Para Anjing memanfaatkan keadaan, ia melesat menghampiri Amar Barok yang baru saja menyerang Jay dan hendak menyelamatkan adiknya.
“Rekursi keempat. Pemuja Hantu Kelaparan.”
Bambang Jenggo menerjang Amar Barok dengan satu serangan membabi-buta yang tak kenal henti, menyerang, menyerang, dan menyerang. Sang pemuka RKZ itu kini menampakkan wajah manusia yang seperti bukan manusia karena saking nggragas-nya. Mulutnya terbuka, lidahnya terjulur-julur, napasnya pendek-pendek, mirip binatang.
Amar bisa menahan dan menepis semua serangan dari Jenggo dengan kemampuannya yang memang di atas rata-rata, terlebih Ia telah mengaktifkan Perisai Genta Emas. Mau seperti apapun, Jenggo tidak akan dapat menembus pertahanan sang Panglima Genta Emas. Bahkan sang Raja Para Anjing mulai kewalahan ketika Amar Barok membalas serangannya dengan pukulan yang juga membabi buta.
Tapi Amar tidak memperhitungkan serangan tanpa Ki yang tiba-tiba saja diarahkan padanya. Batang besi dari Jay melesat dan terayun dengan kencang ke arah sela ketiak sang Panglima Singa Emas yang kebetulan terbuka karena Amar mengangkat lengannya ke belakang.
Jbuaaaaaaaaakghhh!
Tongkat besi itu menghajar bagian dalam sela lengan Amar yang langsung berteriak kesakitan dan ambruk ke tanah sembari memegang ketiaknya.
Ternyata memang benar!
Titik kematian sang pria gagah itu disembunyikan di bawah ketiak tangan kanannya seperti apa kata Galung! Melihat Amar Barok ambruk, RKZ kini punya kesempatan untuk membalikkan kemenangan!
Jay berteriak dengan kencang sembari menunjuk ke satu arah, “SEKARAAAAAAAAAAANG!”
Boooooooooooom!
Tiga bola api energi melesat dari arah sang Raja Para Anjing dengan kecepatan tinggi ke arah… Deka!?
Nanto terbelalak, ia berteriak kencang untuk memperingatkan sang sahabat karena ia tak bisa melesat dengan cepat ke posisi Deka. “Awaaaaaaaaaaaass!”
Si Bengal tahu pasti betapa berbahayanya tiga serangan sekaligus dari Bambang Jenggo itu. Deka sudah tak berdaya! Dia bisa mati kalau terkena serangan tiga bola api energi itu secara langsung dan beruntun!
Si Gondes mendesis dan mengumpat, ia bahkan sudah tak lagi bisa bergerak dengan mudah. Perisai Genta Emas ibarat anugerah dan kutukan. Jurus yang hebat itu mampu melindungi di saat-saat gawat, tapi kalau ketahuan titik kematiannya, maka jurus itu akan berubah menjadi kutukan karena sekujur tubuhnya akan lemas bagai lumpuh dan tak akan bisa mengeluarkan Ki hingga tenaganya kembali pulih – dan itu bisa makan waktu seharian penuh.
Deka mencoba berdiri dengan gagah untuk menerima ketiga bola api energi kiriman Jenggo. Kalau memang harus mati hari ini, dia akan melakukannya tanpa takut. Bola api pertama itu makin dekat, makin dekat, makin dekat, makin dekat, teruuuuus, teruuuuuuuuus, teruuuuuuuuuuuuuuuusss…
Jblaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!
Tubuh Deka terhentak dan terlontar hingga empat meter ke belakang, darah muncrat keluar dari mulutnya bagaikan air mancur. Organ tubuhnya terasa campur mawur. Deka jatuh terguling-guling ke belakang, terbanting berulang, dan akhirnya berhenti saat ia terantuk tumpukan kaleng bekas yang langsung ambruk menimpanya.
Si Gondes sudah tak bisa lagi melihat dengan dua mata normal, pelipisnya berdarah sehingga ia terpaksa menutup salah satu mata. Saat ia sedang sangat lemah itulah kemudian ia melihat dua bola api energi masih bergerak melayang mengincarnya.
Sudah pasti yang ini juga kena. Deka memejamkan mata.
Jblaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam! Bledaaaaaaaaaaammm!!
Dua bola api energi mengenai sasarannya.
Deka membuka mata.
Kok dia tidak jatuh!? Kok dia tidak kenapa-kenapa!?
Amar Barok berdiri tepat di depan Deka, menatapnya. Di belakang Amar, ada asap seperti bekas terbakar.
Amar Barok yang tadinya jatuh terduduk bertongkat lutut saat terkena sambaran batang besi dari Jay, ternyata langsung melesat secepat yang ia mampu dan berlari menutup jalur bola api energi yang terbang dengan kecepatan tinggi ke arah Deka. Dia melindungi sang adik dengan mengorbankan tubuhnya sendiri.
Pria gagah itu berdiri dan membentangkan tangannya untuk menerima dua serangan dari Bambang Jenggo. Bagian belakang kaus kutungnya langsung bolong seperti gosong dan terbakar membentuk lingkaran. Ada luka memerah di sekujur kulit sang Panglima Singa Emas. Sama seperti Deka, ketika sudah tersentuh titik kematiannya, maka pertahanan pengguna Perisai Genta Emas akan sangat rawan karena dia akan kehilangan Ki-nya untuk kisaran waktu yang cukup lama.
Amar Barok mendengus-dengus sembari menatap ke arah Deka dengan pandangan yang makin lama makin kabur. Deka membalas tatapan sang kakak dengan tak percaya.
“Ma-Mas…”
“Ini tugas seorang kakak.”
Amar Barok tersenyum sesaat. Ia ambruk ke depan, tepat di depan Deka. Meski masih sadar, tapi Amar jelas sudah sangat kepayahan, ia terbaring dengan menelungkup, serasa berat mengangkat kepala dan badannya yang terluka. Serangan Jay di titik kematiannya tadi lumayan fatal karena mengenai titik vital, membuat Amar kehilangan tenaga untuk waktu yang cukup lama.
“Saatnya menyelesaikan kalian bangsat-bangsat berdua. Hahahahaha…” Jay berdiri dengan jumawa di hadapan Deka dan Amar Barok yang sudah terkapar tak berdaya. Ia mengangkat batang besi yang sejak tadi ia bawa-bawa. Melangkah dengan ringan, ia mengangkat batang besi saat berada di atas tubuh Amar Barok. “Selamat tinggal, Masbro. Senang berkenalan denganmu.”
“Tidak! Tidaaaaaak!! Jangaaaaaaaaaaan!! Jangaaaaaaaaaaaaaaan!!” Deka berteriak-teriak kesetanan, ia mencoba meronta dari kondisi tubuhnya yang sudah kepayahan, air mata mulai berkumpul di ujung pandangan. Tidak, jangan Amar Barok. Jangan kakaknya. Jangan kakaknyaaaa!! Deka berusaha keras untuk berdiri, tapi setiap kali ia mencobanya, ia selalu jatuh.
Jay tertawa. “Terlambat sudah.”
Besi itu diayunkan ke bawah.
“Angkara gung ing angga anggung gumulung.”
Bledaaaaaaaaaaaaaaaaam!!
Batang besi terlempar ke samping. Satu kepalan tangan menyeruak masuk ke wajah Jay.
Kepalan tangan Nanto melayang dengan sangat deras ke wajah Jay. Seketika itu juga rahangnya tergeser. Tubuh sang punggawa RKZ itu melayang hingga jarak enam meter, menubruk papan-papan triplek dan kaca yang disusun tegak miring. Triplek patah, kaca pun pecah. Tubuh sang pemuda itu baru terhenti terlontar ketika sudah membentur satu plat baja besar.
Ia jatuh berdebam dan langsung terdiam menelungkup. Tak berdaya dan tak bergerak, kemungkinan besar pingsan. Ia tak akan lagi bisa mengganggu pertarungan puncak antara Aliansi melawan RKZ.
Begitu pula dengan Amar Barok yang sudah roboh. Serangan bola api energi ganda yang mengenainya membuat sang pria gagah itu akhirnya tak mampu melanjutkan pertarungan. Apalagi Deka yang juga sudah kepayahan.
Om BMW dan keempat belati yang mengamati semuanya sejak awal menjadi takjub melihat keberhasilan Jay dan Bambang Jenggo menyingkirkan Deka dan Amar dari arena, meski untuk melakukan itu mereka harus mengorbankan Jay. Tapi asyik juga, pertarungan bisa dibilang imbang sekarang, satu lawan satu. Harapan hanya ada di pundak dia… si Bengal, sang calon legenda.
Nanto kontra Bambang Jenggo.
Fair? Belum tentu.
Nanto melesat ke depan, hanya perlu tiga kali menjejakkan kaki ke tanah, pemuda itu langsung melompat dan mengudara. Jenggo terbelalak dengan kecepatan si Bengal. Tidak mungkin ini kecepatan yang biasa-biasa saja! Ini pasti gerbang kedua Kidung! Sebagai pemilik kemampuan meringankan tubuh yang cukup mumpuni, Jenggo mampu melihat kecepatan yang dipamerkan si Bengal dan bergerak ke samping untuk menghindar. Sebagaimana Jenggo, Nanto pun melihat ke arah mana pimpinan RKZ itu melesat.
Nanto melontarkan satu tendangan ke bagian atas tubuh sang lawan, dia tidak peduli apakah tendangannya itu akan mengenai dada atau kepala – yang penting ia kerahkan satu serangan untuk menggempur sang pimpinan RKZ. Mata Jenggo mengunci arah serangan Nanto bak radar, ia pun melepaskan tangan kirinya ke atas, membentuk pertahanan.
Sbkgh!
Berhasil. Kaki Nanto ditahan oleh pergelangan tangan Jenggo.
Nanto yang masih berada di udara tidak berhenti begitu saja, Ia melontarkan badannya menggunakan pertahanan tangan Jenggo sebagai tumpuan kaki untuk melemparkan tubuhnya ke belakang. Dengan satu backflip, Nanto mendarat dan menghantamkan satu kepalan tangan ke tanah. Si Bengal lantas merunduk, mengubah posisi agar kaki di atas, dan memutar kakinya tersebut seperti baling-baling. Tepat di depan posisi kaki si Jenggo!
Jdkgh! Jdkgh! Jdkgh! Jdkgh! Jdkgh!
Kaki si Bengal bak pisau. Mencoba menyapu dan menjatuhkan kaki sang lawan. Jenggo berteriak kesakitan berulang kali, saat kakinya terkena sambaran. Tapi ia tidak ambruk hanya karena sapuan kaki si Bengal. Ia terus berusaha mundur dan menghindar.
“Jangan pikir serangan semacam itu akan…” Jenggo terbelalak, satu serangan mengagetkannya. “Bangsaaaaaaaaaaaaa.. hrgh!”
Jduuuuaaaakgh!
Dari posisi mengusik kaki, Nanto secara tiba-tiba mengubah posisi. Ia bertumpu pada tangan dan melontarkan satu tendangan ke atas. Kakinya dilepaskan dengan kencang bak tembakan meriam anti serangan udara yang mengudara dari bawah ke atas dengan satu track yang lurus. Dagu Jenggo langsung terpapar, kepalanya tersentak ke belakang!
Jenggo tidak semudah itu ambruk. Mencoba secepat mungkin pulih dari posisinya, Jenggo melepaskan satu serangan balik.
Kedua tangan pria bongsor itu mencoba menjebak dan memeluk kaki si Bengal, mencoba menjepit dan meremukkannya – mirip seperti apa yang ia lakukan pada Beni Gundul meski dengan posisi terbalik.
Gagal.
Gerakan tubuh Nanto terlampau cepat, bahkan untuknya sekalipun. Bambang Jenggo hanya dapat memeluk angin. Diawali dengan menghindar secara gesit, Nanto lantas melanjutkan pertarungan dengan gerakan yang tak dapat diduga, ia bukannya merunduk tapi malah melompat. Satu sapuan lutut ia sentakkan dengan kecepatan tinggi ke telinga Jenggo!
Jduuuuaaaakgh!
Bambang Jenggo tergeser beberapa langkah ke kiri karena serangan Nanto, ada suara berdengung yang kencang terdengar, dan otak yang tiba-tiba saja jadi kopyor. Tapi ia tidak menyerah begitu saja. Bambang Jenggo meningkatkan tenaga Ki-nya, pertahanannya kembali menyala. Cukup sudah ia dipermainkan oleh si bocah bau kencur!
“Aku bisa mengalahkanmu sebelumnya, aku akan melakukannya lagi!” maki Jenggo tak terima dengan perlakuan Nanto yang menjadikannya bulan-bulanan. Saat itulah Nanto kembali bergerak, ia memanfaatkan momentum kelengahan Jenggo yang entah kenapa tiba-tiba saja jadi emosi.
Hasilnya? Jenggo seakan lupa sesaat ia sedang berhadapan dengan siapa.
Jduuuuaaaakgh!
Kaki kanan Nanto dijejakkan dengan sangat kencang ke rusuk Jenggo yang langsung meringkuk kesakitan. Karena serangannya berhasil masuk dan mengacaukan pertahanan lawan, sekali lagi kaki kanan itu Nanto tarik dan diledakkan untuk meluncurkan satu sepakan kencang di dagu sang lawan!
Jduuuuaaaakgh!
Jenggo mundur dua langkah ke belakang, sepakan kaki Nanto mendarat sempurna.
Kaki Bambang Jenggo tiba-tiba saja diayunkan ke depan untuk mengait kaki si Bengal! Tapi sekali lagi gagal! Sapuan kaki Jenggo tertahan oleh satu hadangan yang muncul ketika Nanto menghentakkan kakinya untuk menyerang balik! Bukannya berhasil menjatuhkan lawan, malah Jenggo yang kini terdesak mundur.
Nanto sekali lagi memanfaatkan tenaga yang besar yang tercipta dari pertemuan kakinya dan Jenggo untuk melontarkan tubuhnya ke arah belakang, ia melakukan backflip, lalu menggunakan tangannya untuk menumpu tanah dan memutar tubuh bagian bawahnya dengan sebuah putaran. Ia menciptakan sebuah gasing raksasa… dan melepaskan tendangan bertubi-tubi ke tubuh Jenggo.
Satu dua, kena dada. Tiga empat, kena kepala. Lima enam, kena lengan. Tujuh delapan sembilan, kena semua kepala dada lengan. Jenggo terpelanting ke belakang dan ambruk menimpa tumpukan ban. Nanto melompat untuk kembali pada posisi berdiri dan mengambil ancang-ancang. Ia yakin sekali kalau Jenggo tidak akan kalah semudah itu.
“Hikayat Pemuja Malam. Rekursi pertama. Pemuja Hantu Pencabik.”
Nanto bersiap.
“Akan kusayat dan kukuliti kau hidup-hidup,” terdengar suara Jenggo berucap sembari menggeram – suaranya sudah berubah menjadi serak yang tak nyaman didengarkan.
Tampang gempal sang Raja Para Anjing berubah menjadi mengerikan. Raut wajahnya memerah penuh amarah, matanya melotot, tangannya membentuk cakar, giginya bergemeretak, dan dengusan napasnya terdengar seperti dengusan seekor hewan. Bambang Jenggo sudah berubah menjadi sesosok monster berwajah merah dengan gigi berlinangan air liur.
Ki si Bengal menyala untuk mengantisipasi serangan Jenggo. Ini tidak boleh dianggap remeh sama sekali. Si Raja Para Anjing masih punya simpanan jurus yang aneh bin ajaib.
Bambang Jenggo melesat berlari maju dengan tangan dan kaki menapak tanah seperti seekor cheetah mengejar mangsa. Dengan tiga kali lompatan ke depan, Jenggo sudah mendekati Nanto. Meski tubuhnya bongsor, tapi dengan ringan, Ia sanggup pun melompat tinggi hanya dengan satu lompatan. Tiba-tiba saja Ia sudah berada di atas Nanto, hendak menerkamnya.
Ke samping.
Suara batinnya menyalak. Gerbang pertama memperingatkan. Nanto beringsut ke samping.
Shrrkgh!
Gila, masih kurang cepat. Jenggo benar-benar bak binatang buas berkecepatan tinggi. Baju Nanto sobek di bagian bahu karena disambar Jenggo. Kulitnya berbekas luka sayat tiga cakaran. Nanto mengumpat, seram juga jurus ini. Bambang Jenggo jadi seperti dikendalikan oleh sosok monster yang mengubah perilaku dan metode serangannya.
Kecepatan bagai seekor cheetah? Nanto punya penangkalnya, kalahkan kecepatan dengan kecepatan. Ayo diadu kecepatannya. Mana yang lebih unggul? Kidung Sandhyakala atau Hikayat Pemuja Malam?
Dengan cekatan satu rapalan diucap oleh si Bengal tepat sebelum terkaman Jenggo yang buas. “Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”
Jenggo menerkam punggung Nanto yang terbuka.
Swsh.
Sang monster hanya menemui ruang kosong. Si Bengal sudah tak ada di sana lagi. Jenggo mendengus dan menggeram dengan kesal. Ia pun meraung marah. Sang Raja Para Anjing meloncat ke kiri, dan berlari dalam satu putaran penuh. Ke arah itulah si Bengal berlari. Keduanya berkejar-kejaran.
“Edyan.” Om BMW terkekeh, “Dengan piranti jurus masing-masing, kecepatan mereka bisa setara dan seimbang. Bahkan akupun terkadang tidak bisa melihat kemana mereka pergi. Kedua orang itu benar-benar monster. Oe, Bajil! Bisakah kau melihatnya? Hahahaha.”
“Tidak terlihat ssama ssekali.” Ujar Jilson sembari menggelengkan kepala.
Jilson sering dipanggil dengan sebutan Bajil oleh Bos BMW, sapaan yang jauh lebih lembut dibandingkan panggilan Jilmek yang ia sandang. Bos BMW memang jadi satu-satunya orang yang masih memandangnya sebagai manusia, bukan sosok hina. Bahkan Jilson pun tak dapat mengikuti pergerakan dari kedua orang yang tengah berkejar-kejaran di depan mata. Hanya terdengar suara langkah kaki menapak tanah dan berderap, tapi Jenggo dan Nanto sama sekali tak terlihat.
“Orang biasa tak akan sanggup melihat arah gerakan cepat mereka. Tapi kita berempat rasa-rasanya sanggup mengikuti. Setidaknya salah satu dari kita pasti bisa.” Jebe menimpali. Ia melirik ke arah Subotai yang terdiam sembari bersidekap, kalau yang satu itu pasti tidak akan peduli apakah dia sanggup melihat atau tidak, Jebe melirik ke arah Qartubi – kalau ada di antara mereka berempat yang bakal sanggup melihat gerakan Bambang Jenggo dan Nanto, maka dialah orangnya.
Jebe mencoba memastikan, “QB?”
Pria berrjuluk QB mengangguk. Ia menunjuk ke arah kanan – ke arah tumpukan buis beton, di sana lah rupanya Nanto dan Jenggo berkejar-kejaran. Pandangan mereka pun segera beralih ke arah yang ditunjuk oleh QB.
“Njir. Tetap ga bisa lihat dengan nyaman, euy. Hahhaaha.” Om BMW bersidekap. Ia mengangguk-angguk dan mengakui kehebatan kedua orang di sana. Tapi salah satu dari keduanya paling menarik minatnya. Ia menarik kerah Jebe supaya mendekat padanya. “Bocah itu adalah koentji. Pastikan kamu terus-menerus mengetahui gerak-geriknya jika dia selamat dari gempuran Bambang Jenggo malam ini.”
“Sendhiko dhawuh.”
Blaaaaaaaaaaam!
Terdengar suara yang nyaring terdengar mirip ledakan kecil. Dua orang yang sedang bertarung mencelat di antara tumpukan buis beton yang menggunung, saling memberi jarak, dan pada akhirnya menampakkan diri pada mereka-mereka yang sebelumnya tidak mampu melihat posisi kedua orang yang sedang berseteru.
Nanto mendaki gunung buis beton dari sisi kiri, sementara Jenggo dari sisi kanan, ada empat tumpukan yang harus didaki. Keduanya siap bertemu di puncak dengan tiga lompatan. Baik Nanto ataupun Jenggo sama-sama menyiapkan kepalan mereka dan berlomba-lomba ke tumpukan teratas.
Lompatan pertama, Jenggo lebih cepat, dia mendaki terlebih dahulu. Mulutnya berkomat-kamit, “Hikayat Pemuja Malam. Rekursi keenam. Pemuja Hantu Penabuh Genderang.”
Hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba sosok Jenggo kini menjadi lebih tegap dan tegak seperti seorang prajurit, matanya nanar menatap dengan tegas, tangannya mengepal dengan keras dan siap dilontarkan.
Jenggo berteriak kencang sekaligus menaiki beton dengan terburu-buru, mencoba mengejar ketertinggalan dari si Bengal “Bersiaplaaaah, prajurit! Aku dataaaaaaaaanng!!”
Saat Jenggo mengalami perubahan baik secara fisik maupun kemampuan, Nanto mendaki tumpukan beton kedua dan ketiga, ia melompat sekali lagi sembari merapal jurus andalan. Kepalan tangan disimpan di samping pinggang. “Angkara gung ing angga anggung gumulung.”
Siapakah yang terlebih dahulu sampai di atas?
Bersambung