Epilog : SEPHIA

“Kekasih sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu.”
– Eross Candra

Simon berlari dengan terburu-buru.

Sesekali Ia melirik ke arah nomor-nomor yang tertera di setiap pintu. Ia memang tengah mencari satu nomor tertentu. Dengan wajah panik pemuda gagah itu memindai satu persatu pintu bangsal sampai akhirnya menemukan nomor yang sedang ia cari-cari. Kamar yang paling ujung di selasar rumah sakit tempatnya berada saat ini, kamar 313.

Pintu kamar masih tertutup ketika Simon sampai di depannya, pemuda itu hendak mengetuk pintu ketika ia menyadari bahwa bangsal itu adalah ruangan untuk tiga orang pasien. Buru-buru sang Pemuncak Gunung Menjulang membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.

“Permisi…” sopan Simon memeriksa ruangan, dia tidak ingin membuat keributan.

Seharusnya ada tiga pasien di dalam bangsal.

Orang yang ia cari tidak ada di bilik yang pertama, di sana hanya ada seorang ibu-ibu dengan napas tersengal-sengal dan dibantu pernapasannya oleh satu tabung oksigen besar. Ibu-ibu itu sendirian saja. Dipan di bilik yang kedua kosong sehingga dia lewatkan. Bilik yang ketiga tertutup tirai separuh. Simon pun setengah berlari menuju tempat itu.

Ia membuka tirai dan terhenyak saat menyaksikan pemandangan yang menyedihkan. Wajah yang biasa ia kagumi saat ini sedang tak karuan. Biru lebam, terluka, dan tersayat. Bibirnya gelap dengan darah mengering. Ada luka besar di dada yang menghitam. Racunkah itu?

Apa yang telah terjadi padamu wahai Ara?

“…Hai…”

Sapa lembut suara sang gadis membuat Simon bagaikan diguyur air hujan yang menyegarkan. Pemuda gagah itu harus mengelus dada melihat kondisi sang dara. Tubuhnya bergetar karena ia merasa sedikit emosi menyaksikan wanita yang biasanya ia tatap dengan pandangan memuja itu telah diperlakukan tak sepantasnya sampai-sampai jadi seperti ini. Siapa yang dengan tega memperlakukan seorang dewi seperti Ara dengan perlakuan sejahat ini?

“Hai…” balas Simon lembut. Namun sapaan itu tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatir yang tergambar di wajahnya. “Bagaimana kondisimu?”

“Lebih mendingan…”

“Aku langsung lari kesini setelah mendapatkan WhatsApp dari kamu… Apa yang terjadi?”

Ara tersenyum dengan susah payah saat mendengarkan pertanyaan dari Simon, ia mulai menjawab pertanyaan yang diajukan. “Kamu orang pertama yang aku kabarin. Bahkan keluargaku pun belum tahu apa yang terjadi. Mungkin sebentar lagi mereka akan menyusul datang kemari.”

“Ha? Jadi aku yang pertama?” Simon melangkah ke samping pembaringan Ara. Ia mendekatkan kursi yang ada di sana dan duduk di samping sang dara. “Kenapa? Kenapa aku? Bukankah kamu ada tunang…”

Ara mengangkat bahu dan menggeleng kepala. Entah dia menggeleng karena tidak ingin menghubungi Deka terlebih dahulu atau menggeleng karena sudah tidak peduli pada tunangannya. “Karena kamu adalah kamu…” bisik Ara sembari menatap Simon dengan lembut.

Simon tersenyum, “Sakit?”

“Apa perlu ditanya?”

Simon pun tertawa. “Ouch. Setidaknya aku tahu kamu masih bisa menjawab dengan sarkas. Itu sudah cukup membuatku tenang. Bagaimana kondisimu? Dokter bilang gimana?”

“Yang jelas aku masih bisa hidup, meski bakal cacat di sana sini dengan luka seperti ini. Kondisi badan agak drop, ada racun yang tak diketahui sebabnya menjalar – tapi itu sedang diatasi secara medis. Aku beruntung bisa lolos dari serangan sebelum racunnya benar-benar ditransfer. Dia…”

Simon geleng-geleng kepala. “Lelaki bangsat itu…”

“…aku tahu namanya dan dari mana dia berasal. Kita pasti bisa mendapatkan bedebah itu. Nanto, Roy, dan anak-anak Lima Jari pasti akan memburunya. Kamu juga boleh kalau bersedia.”

“Oh, really? Ini jadi menarik.”

“Namanya Reynaldi… dia guru di SMA Cendikia Berbangsa.”

“Hah? Bajingan itu guru?”

“Ceritanya agak panjang, tapi ya… sungguh disesalkan orang yang seharusnya jadi panutan malah aslinya penjahat kelamin. Pokoknya aku berhasil melacak dia, kalau kamu berminat, ambil dia di luar sekolah. Jangan hancurkan nama SMA CB jadi lebih hancur lagi. Begini-begini aku masih cinta almamaterku sendiri.”

Simon tertawa dan mengangguk-angguk, “baiklah.”

“Boleh aku jujur?”

“Tentu saja.”

Ara memejamkan mata sembari berbaring, mencoba menyampaikan sesuatu dari dalam hatinya, ia menatap Simon dengan malu-malu dan wajah memerah. “Peristiwa yang menimpaku saat ini membuatku sadar bahwa aku tidak boleh menunda-nunda sesuatu, karena ada kemungkinan aku mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan yang sama di lain waktu. Jadi ketika sebuah kesempatan datang, jangan disia-siakan. Aku ingin memanfaatkannya sebaik mungkin. Jadi…”

“Jadi?”

“Jadi saat aku berhasil lolos dari sebuah peristiwa yang tidak menyenangkan – hampir saja diper…”

“Kamu lolos dan…” Dengan sopan Simon menyela kalimat Ara supaya tidak mengucapkan kata-kata yang mungkin akan membuat Ara teringat pada memori yang buruk. Dia lebih ingin Ara melanjutkan kalimatnya.

Ara tersenyum, dia tahu maksud Simon menyelanya. Cara Simon memperlakukannya dengan sopan menjadi salah satu hal yang ia kagumi dari sang Pemuncak Gunung Menjulang, “…maksudku saat aku sedang berusaha memperjuangkan kehormatan dan nyawaku, aku teringat sama kamu. Tidak tahu bagaimana, tiba-tiba saja aku keingetan kamu, berusaha memanggil namamu, berharap kamu datang untuk menolong. Sembari terus berusaha melawan aku merasa bahwa kemungkinan besar ceritaku di dunia ini akan selesai saat itu juga. Hanya satu hal yang membuatku bertahan, betapa aku ingin menemuimu untuk yang terakhir kalinya.”

Wajah Ara memerah saat ia menundukkan kepala.

Ini kan…

Ini bukannya pengakuan?

“Oh…” Simon tertegun. Ia jelas kaget, meski juga hatinya berbunga-bunga.

“Cuma oh saja?”

“Oh wow. Aku merasa terhormat kalau itu yang kamu pikirkan.” Simon tersenyum, ia menggenggam jari-jemari Ara dengan berhati-hati dan penuh perhatian. “Aku hanya berharap yang terbaik untuk kamu dan yang lebih penting lagi keselamatanmu. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri kalau kamu sampai kenapa-kenapa. Ijinkan aku menjagamu mulai saat ini.”

“He’em.” Ara kembali malu-malu. “Kamu benar-benar tidak ingin bertanya tentang peristiwa yang terjadi?”

“Apakah kamu… sanggup menceritakannya?”

“Kenapa tidak. Kan ada kamu di sini. Aku merasa aman.”

Simon tersenyum dan mengangguk, “baiklah kalau begitu.”

“Apa yang ingin kamu tanyakan?”

“A-apakah dia telah… ehm…” Simon meneguk ludah saat jari-jemarinya bertaut dengan jari-jemari Ara. Dia ingin tahu secara pasti tentang apa yang telah menimpa Ara, namun sejak awal dia tak berani menanyakannya secara langsung. “Maksudku apakah bedebah sialan itu telah…? Aku tidak mau kurang ajar, tapi aku ingin tahu detail sebelum aku mengejar orang itu. Apa yang telah dia lakukan padamu.”

Ara tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Tidak Mas. Dia tidak sempat berbuat apa-apa, meski telah membuka baju dan melucuti celanaku, tapi aku berhasil lari, bahkan setelah ia sempat melukaiku pun aku masih dapat melarikan diri darinya. Aku benar-benar beruntung. Entah kenapa, dia juga lantas pergi setelah gagal melakukannya dan tidak mengejarku. Mungkin karena ketakutan, mungkin karena hal lain. Aku berteriak-teriak saat itu,” ucap Ara lirih mencoba mengulang kembali peristiwa pahit yang ia alami. “Saat dia pergi, aku mencari tempat paling aman untuk bersembunyi. Aku berlindung di sebuah tempat yang paling gelap yang pernah ada. Beruntung ada tukang nasgor lewat dan menyelamatkan aku. Dia menggendongku sampai ke rumah warga di kompleks yang ada di ujung jalan.”

“Kamu yakin ingin menceritakan ini padaku?”

Ara mengangguk.

“Baiklah, ceritakan dari awal.”

Ara tidak ingin banyak orang mendengar apa yang dia sampaikan pada Simon. Ia semakin lirih saat mengucapkan kalimat demi kalimat berikutnya, “Awalnya aku turun dari taksi online di dekat rumah, tapi baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba saja ada tangan membekapku dan membawa aku masuk ke dalam mobil. Aku sama sekali tidak bisa teriak atau menjerit minta tolong. Total ada tiga orang di dalam mobil, tapi orang yang membekapku adalah orang yang paling punya tujuan terhadapku – karena aku mengenal dan memang sedang mengincarnya. Dia penjahat kelamin paling brengsek.”

“Oke, jadi kamu diculik si penjahat kelamin itu ya?”

Ara mengangguk. “Aku terus dibekap sampai mereka tiba di kawasan persawahan. Saat itulah kedua teman si penjahat kelamin ini turun dan pergi entah kemana. Kami ditinggalkan berdua saja. Saat itulah dia mulai meraba-raba dan meremas-remas tubuhku dengan kurang ajar. Seluruh tubuhku dijelajahi tangannya, Mas.”

“Bajingan itu…” geram Simon menanggapi.

“Aku berusaha meronta dan meronta. Untunglah dulu Mas Nanto sempat mengajarkan aku bagaimana caranya lolos dari sekapan tangan seseorang. Aku menunggu supaya posisinya tepat, lalu aku hajar kemaluannya dengan tinjuku ini.”

“Bagus!”

“Aku kabur keluar dari mobil, memanfaatkan kelengahannya. Aku berlari dengan kencang menuju ke sawah-sawah. Di saat itulah dia berhasil mengejarku, menubrukku, berusaha menelanjangiku, dan hendak… mem… memperkosaku. Aku meronta, meronta, dan meronta. Dia sudah hampir berhasil…” Ara menarik napas panjang, ia menundukkan kepalanya dan sesunggukan, Simon menggenggam jemarinya dengan erat. “…ta-tapi aku akhirnya berhasil melarikan diri. Dia marah besar, mengejarku, memukul, meremas dadaku, dan menggunakan ilmunya untuk melemparkan aku sampai jatuh ke selokan besar. Aku tidak peduli rasa sakit yang aku alami dan lari melalui irigasi. Dia mencoba mengejar, tapi entah kenapa tiba-tiba saja berhenti dan pergi dari tempat itu. Aku masih ketakutan jadi bersembunyi di tempat yang gelap untuk waktu yang sangat lama.”

Simon mengambilkan gelas berisi air putih yang ada di atas meja di samping pembaringan dan memberikannya pada Ara. “Minum dulu.”

Ara mengangguk dan meminum beberapa teguk, dia jadi lebih tenang sekarang. “terima kasih.”

Simon meletakkan gelas kembali ke tempatnya. “Lalu apa yang terjadi?”

“Lalu rasa sakit akibat serangannya mulai terasa. Aku lemas sekali, tidak bisa menggerakkan badanku sama sekali. Aku mencoba berjalan tapi benar-benar tidak sanggup. Sialnya lokasi tempatku sembunyi benar-benar jarang dilalui orang. Aku harus menunggu sangat lama sampai ada orang lewat – si penjual nasi goreng itu. Dia menemukanku, menggendongku ke perumahan warga, dan akhirnya dibawa ke sini.”

“Syukurlah. Kita harus berterima kasih pada penjual nasi goreng itu.”

Ara mengangguk, “aku akan mencarinya setelah sembuh dan berterima kasih secara langsung padanya. Dia benar-benar penyelamat. Rela meninggalkan gerobaknya di tengah jalan demi menolongku.”

“Yang penting kamu sekarang juga sudah membaik.”

“Iya. Hanya saja… sekarang ada luka menghitam di dada. Entah bisa sembuh atau tidak. Aku sudah cacat… barang yang tak berguna, barang yang seharusnya dibuang.”

“Heeeh, ngomong apa sih, kamu?” Simon meremas erat jemari Ara.

Pandangan mereka bertemu, ada sengatan listrik di antara keduanya. Sengatan listrik yang menghentak jantung mereka sehingga berdetak lebih cepat. Ada sebuah perasaan yang hadir, perasaan yang hangat.

Ara berbisik, “Aku takut…”

“Takut kenapa?” tegas Simon bertanya.

Wajah Ara memerah, pandangan mereka semakin lekat, ia pun jadi semakin nekat. Ia hendak mengungkapkan perasaannya, “Aku takut kamu akan memandangku berbeda karena luka ini… dan meninggalkanku.”

Simon tersenyum dan mengelus lembut ujung dahi Ara dengan jempolnya. Dia juga jadi semakin berani karena Ara telah memberikan lampu hijau baginya untuk terus menggedor pintu yang tadinya berpagar di hati sang dara. Karena Ara sudah membuka diri, Simon pun jadi lebih berani. “Dasar kamu, Ra. Aku menyukaimu kan bukan karena kamu orang yang sempurna, mana ada yang seperti itu. Aku menyukaimu karena apa adanya. Aku menyukaimu dengan tulus, Ra.”

Wajah Ara semakin memerah. “Aku juga… suka sama kamu…”

Simon menarik napas lega, “syukurlah kalau begitu.”

Keduanya tersenyum satu sama lain.

“Araaaaaaaaaa!!”

Terdengar suara beberapa orang datang memasuki ruangan.

“Ya ampuuuuuuuun, Ara kamu kenapaaaaa!?? Kamu diapain?? Araaaaaaaaaaaa!!?”

“Mama…”

Ara membentangkan tangannya dan sang Bunda pun memeluk gadis itu sembari menangis tersedu-sedu. Keduanya bagaikan tak ingin dilepaskan. Air mata Ara meleleh deras.

“Kamu kenapa, Nak? Kamu diapain, aduuuuh, Ara…” sang Bunda mengecup pipi dan dahi Ara berulang-ulang.

Simon berdiri dan memberi ruang pada saudara-saudara Ara yang baru datang. Ia mengangguk sopan pada semuanya. Ketika melirik ke arah Ara, gadis itu ternyata juga sedang melirik ke arahnya. Simon tersenyum dan mengangguk.

Dia meninggalkan ruangan sejenak, tapi tidak untuk meninggalkan Ara. Dia akan tetap di sini untuk menjaganya. Hanya saja… ada sesuatu yang harus ia selesaikan.

Simon mengeluarkan smartphone-nya dan menekan tombol kontak. Ia mencari satu nama dan saat menemukannya ia segera menekan tombol untuk menghubungi. Terdengar bunyi dengung nada tunggu sampai beberapa saat lamanya.

Terdengar bunyi terima. “Halo? Ya, Bos?”

“Botak. Lagi di mana kamu?”

“Barusan nyampe rumah, Bos.”

“Bagaimana kondisi tadi?”

“Semua aman, Bos. Kami sempat didesak mundur, tapi akhirnya ada bantuan dari Dinasti Baru. Mereka menepati janji seperti yang diucapkan sewaktu Tarung Antar Wakil. Sewaktu kami pergi, gudang RKZ kondisi terbakar, anggota mereka ada di dalam termasuk pimpinan RKZ Bambang Jenggo. Entah apakah mereka selamat atau tidak kami tidak tahu.”

“Bagaimana kondisi kita?”

“Disayangkan, ada beberapa yang tumbang, termasuk Beni Gundul. Dia gugur, Bos. Yang terluka dan tumbang sudah dibawa oleh tim untuk dicek di rumah sakit terdekat.”

Beni Gundul.

Simon memejamkan mata, maafkan aku yang tak segera datang. Maafkan aku… Simon menyesal sekali tadi dia memakan waktu lama untuk mengantarkan Nada pulang, karena harus melalui jalan tikus yang berkelok-kelok dan tersembunyi demi menghindari serangan tiba-tiba dari RKZ. Untunglah ia berhasil membawa Nada ke selatan meski memakan waktu cukup lama.

Yang penting Nada telah aman bertemu dengan ayahandanya.

“Ini Bos di mana? Sebaiknya jangan balik ke gudang seperti yang tadi kami laporkan lewat WA. Kondisi sedang ditangani warga sekitar dan ada pihak yang berwajib. Semua anggota Aliansi juga sudah menyingkir, termasuk Bos Nanto.”

“Baiklah.”

“Siap, Bos.”

“Botak. Aku mau minta bantuanmu sekali lagi.”

“Sebutkan saja, Bos.”

“Aku mau kamu mencari seseorang mulai besok. Ciri-cirinya bakal aku kirim lewat WA. Temukan dia sampai dapat. Harus sampai dapat. Tapi jangan ditangani sendiri, dia orang yang bahaya. Temukan saja di mana dia berada. Awasi gerak-geriknya.”

“Siap, Bos. Siapa namanya?”

“Reynaldi. Namanya Reynaldi, guru di SMA CB.”

Tangan Simon terkepal erat saat menyebutkan nama yang tadi disampaikan oleh Ara. Dia akan menuntaskan dendam Ara pada sang Durjana.

Tunggu saja.

.::..::..::..::.

Nada duduk dengan tenang di bawah sinar rembulan yang terangnya malu-malu, padahal bintang-bintang berkelap-kelip memuji kecantikannya. Gadis jelita itu menatap ke atas, menatap ke arah bintang yang kerlipnya paling terang. Lalu menunjuknya.

Lirih suaranya berdendang.

Coba kau tunjuk satu bintang, sebagai pedoman langkah kita…”

Nada tersenyum. Beberapa saat yang lalu dia tidak akan membayangkan berada di tempat ini dan bersenandung dengan tenang. Betapa senangnya dia kini sudah berada di rumahnya kembali, berkumpul dengan sang Ayah dan saudara-saudaranya yang tengah mempersiapkan pernikahan beberapa minggu ke depan.

Si cantik itu duduk di kursi yang berada di beranda teras rumahnya, memandang sebuah taman yang luas yang dilengkapi dengan kolam ikan, kolam renang dan area barbeque yang lengkap dengan satu kitchen set outdoor model island.

Sejak diculik, ia selalu membayangkan kalau suatu saat kelak ia bisa duduk kembali di tempat ini dan menikmati pemandangan taman yang sangat ia cintai dengan tenang dan damai. Terutama sekali melepas rindu pada si patung panda besar di tengah kolam ikan yang menjadi pemandangan yang amat ia sayangi sejak kecil. Patung panda yang secara iseng-iseng ia beri nama Dom. Kependekan dari Domino karena warna si panda hitam putih. Kalau sekarang ia sudah membubuhkan nama tambahan, nama panjangnya Domino Torreto.

Nada sangat bersyukur ternyata ia memang benar-benar masih diberi kesempatan untuk kembali menikmati hal yang sangat ia rindukan ini. Bahagia itu sederhana bukan? Jadi nikmatilah apa yang ada selagi bisa, karena kita tidak akan tahu kapan kesempatan itu menjadi kesempatan terakhir bagi kita menikmatinya. Bagi Nada, kebahagiaan yang sederhana adalah kesempatan bertemu kembali dengan Dom yang setia dan selalu berada di tempat yang sama.

Nada menarik mug warna pink dari meja di samping dan menyeruput minuman hangat yang sudah dicelupin kantong teh dilm@h. Satu seruput berjuta rasanya. Ah, hangatnya. Perutnya jadi terasa lebih tenang sekarang. Pikirannya mengelana, benaknya melayang, begitu banyak yang harus ia terjemahkan ke dalam satu kesatuan pemahaman. Tapi ada satu kesimpulan yang ia bawa dan ia pendam dalam-dalam. Bahwa entah kenapa, ia jadi merasa merindukan.

Merindukan sosok sang pria.

Sosok seorang pria yang tak bisa hilang dari relung hatinya yang terdalam, yang berusaha mati-matian melindunginya, dan berusaha menyelamatkannya tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri. Pria yang saat ini mungkin sedang berjuang melawan RKZ. Yang Nada kirim dengan doa di sepanjang jalan. Apalagi saat pergi tadi suasana masih panas di gudang RKZ.

Nada berdoa mudah-mudahan dia bisa selamat dan tak kurang suatu apa, sehingga mereka dapat bertemu kembali. Ingin rasanya berjumpa lagi, karena ada rasa yang tak bisa dijelaskan yang…

Eh… kok malah jadi ngelantur.

Nada mengetuk kepalanya sendiri dengan lembut.

Dia sudah punya pacar, kamu juga sudah punya pacar. Ada cerita yang sudah selesai dengan sendirinya bahkan sebelum cerita itu dimulai.

Kenapa malah mengingat-ingat sosok pria itu? Dia itu kan teman, bukan seseorang yang pantas ia dambakan. Nada tersenyum. Mungkin ini hanya efek karena rasa bersyukur berlebihan, karena ia sudah kembali pulang berkat sang pria yang beberapa hari ini menjadi sosok yang membuat ia merasa tenang dan terlindungi.

Tapi…

Tapi pria yang sama juga membuat mereka berdua berada pada posisi yang tidak nyaman. Bagaimana dengan rahasia besar yang itu?

Rasa-rasanya Nada ingin memendamnya. Tidak ada yang perlu dijelaskan kalau tidak ada yang menanyakan. Apakah suatu saat kelak akan ada yang menanyakan? Mungkin saja ya. Tapi mudah-mudahan tidak. Karena Nada tidak berniat menjelaskannya pada siapapun. Sebuah rahasia yang akan ia simpan sampai saat akhir nanti.

Terdengar suara sandal mendekat.

Satu bayangan muncul dari dalam rumah dan berdiri di belakang Nada, lalu memijat pundaknya dengan lembut, dilanjutkan dengan mengecup ubun-ubun, dan mengelus-elus rambut Nada dengan penuh rasa sayang.

Genki?”

Hai. Genki desu,” jawab Nada sembari bersandar pada tangan yang selalu melindunginya sejak kecil. Tangan yang selalu ia rindukan pelukannya.

“Hmm.”

Pak Zein merasa lega anak gadis kesayangannya akhirnya pulang kembali ke rumah dan dapat ia peluk kembali. Entah apa yang ia alami selama disekap oleh RKZ, tapi Nada sepertinya belum ingin membagi cerita. Mungkin suatu saat nanti, Pak Zein tidak ingin memaksa. “Kok duduk di luar malam-malam begini? Ayo masuk nanti masuk angin.”

“Sebentar saja, Ayah. Nada rindu dengan suasana di sini. Rindu sama Dom.”

“Hmm.” Pak Zein mengangguk-angguk. “Simon tadi kemana? Sepertinya buru-buru sekali setelah mengantarkanmu. Ayah tadinya mau mengajak dia ngobrol sebentar. Dia pria yang gagah dan bertanggung jawab. Ayah suka dengannya.”

Jangan-jangan mau diajakin masuk JXG? Lirik Nada curiga. Ya, dia tahu aktivitas dunia gelap sang ayah. “Eh… ehm, mungkin dia ada urusan jadi balik lagi ke utara, Nada juga tidak paham dengan jadwalnya.”

“Begitu rupanya.” Pak Zein terdiam setelah menganggukkan kepala.

Simon adalah anggota Aliansi dan saat ini Aliansi sedang bertempur melawan RKZ. Hal itu sudah menjadi rahasia umum. Simon jelas dibutuhkan di medan perang dengan kemampuannya yang cukup mumpuni.

Seorang asisten rumah tangga melangkah lembut ke arah teras.

“Maaf mengganggu, Non Nada. Ada tamu.”

Haish. Dia baru saja pulang. Kenapa harus ada yang ganggu? Siapa yang datang? Tidak boleh ada yang menemuinya dulu. Bilang saja Ayah-nya tidak memperbolehkan. Biarkan dia beristirahat.”

Ish, Ayah. Siapa tahu ini urusan penting?” Nada memprotes Ayah-nya yang tidak mengijinkan satu orang pun menemuinya setelah peristiwa penculikan yang terjadi kepadanya. Over protective tapi memang ada benarnya. Nada menatap sang pembawa pesan dan tersenyum ramah, “Siapa yang mencariku?”

“Den Rama, Non.”

“Ooh, kalau Rama ya boleh. Minta dia masuk,” ucap sang Ayah yang sudah cocok sekali dengan kekasih Nada memang sopan dan baik itu.

Mas Rama ya?

Mas Rama atau si dia yang ia rindukan?

Eh, gimana sih?

Kali ini justru Nada yang menggeleng, “eh… ehm… boleh minta tolong sampaikan ke Mas Rama kalau Nada tiba-tiba saja pusing? Nada mau istirahat dulu malam ini. Boleh kan minta tolong?”

“Tentu saja, Non.”

Pak Zein mengerutkan kening melihat perubahan wajah dan sikap sang putri kesayangan. Menolak kehadiran kekasihnya sendiri? Kenapa?

Nada terlihat agak asing dan jauh malam ini.

Pak Zein menghela napas panjang.

Apa yang telah terjadi padamu?

.::..::..::..::.

Masuk ke kamar No 221B, wajah Papa dan Mama Kinan masam luar biasa. Mata Mama Kinan seperti sembab karena menangis, mata Papa-nya merah karena amarah. Mama Kinan duduk terhempas di kursi di samping kiri Kinan yang masih rebah di pembaringan, sedangkan sang Papa berjalan mondar-mandir dengan gelisah tak tentu arah. Tangannya dimasukkan ke saku celana, dan wajahnya berulang kali mendongak menatap langit-langit rumah sakit.

Mama Kinan geleng-geleng kepala sembari memijat-mijat dadanya yang degupnya begitu cepat, ia tak kuasa menahan diri dan mulai menangis kembali, air matanya menetes deras. Tak sekalipun Mama Kinan menatap buah hatinya dengan pandangan sayang seperti sebelum-sebelumnya. Hari ini, saat ini, dia bahkan tak bisa menatap Kinan dengan perasaan iba, yang ada hanyalah emosi yang menyala-nyala. Tangan sang bunda bergetar karena menahan rasa.

Kinan yang tadinya rebahan kini mencoba duduk di pembaringan dan menatap kedua orangtuanya dengan pandangan khawatir. Air matanya meleleh, inilah yang paling ia takutkan seumur hidupnya, ia telah mengecewakan kedua orangtuanya.

“Maaa…” Kinan terisak. Si cantik itu berusaha meraih jemari sang bunda, “maafkan Kinan, Ma.”

“Oalah… Nduuuuk Ndukk… kamu itu sudah kami sayang-sayang, sudah kami eman-emanCah wedhok paling ayu dewe. Seperti inikah balasanmu, Nduk? Seperti inikah kamu membalas kami? Dengan bikin malu orang tua dan keluarga besarmu?”

“Maaa…”

“Benar apa yang dikatakan dokter tadi, Kinan?”

Kinan menangis di hadapan ayahnya. Ia tidak menjawab. Kepalanya menunduk ketakutan.

“Benar, Kinan?”

Kinan masih tak menjawab, ia menenggelamkan wajah di tangkupan lengan. Dia harus menjawab apa? Fakta sudah tersaji, jawaban sudah pasti, Papa tidak butuh penjelasan, beliau butuh penegasan. Dengan ini nasib Kinan ditentukan.

“Jawab pertanyaan Papa, Kinan.”

“Pa… Kinan minta maaf.”

Pria yang wajahnya tiba-tiba saja menua satu dekade itu langsung jatuh terduduk di salah satu kursi. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Terlalu cepat bahkan. Kalau ini mimpi buruk, dia ingin mimpi buruk itu secepatnya berakhir. Kalau ini bukan mimpi, dia ingin jantungnya dihentikan saja – karena sungguh dia tidak kuat. Bagaimana mungkin ia bisa menanggung hal semacam ini? Bagaimana orangtua lain di luar bisa sanggup menghadapi permasalahan seperti ini?

Ia terbayang saat Kinan kecil, saat ia masih bayi, ketika ia pertama kali menyebutkan kata Papa, saat ia kemudian berlari-lari di taman sebelum sekolah, ketika ia belajar naik sepeda, ketika berangkat ke sekolah pertama kali, ketika ia menangis saat gagal di kelas, saat ia menangis karena menjadi juara kelas, saat ia membuat semua orang bangga dengan prestasinya, saat ia beranjak dewasa, saat setiap pagi ia selalu memeluk Papa-nya dari belakang, dan mengucapkan kalimat paling indah dalam hidup seorang ayah – Kinan sayang Papa.

Sekarang ini. Bagaimana dia bisa menyikapinya?

Mama Kinan memalingkan wajah dan menyentakkan tangan Kinan. Ia mendorong kursi ke pojokan, menjauh dari sang buah hati, dan menangis sesunggukan di sana. Terus menerus memijat dadanya. Ia tak ingin melirik sekalipun ke buah hati yang menurutnya gagal ia jaga. Kinan berusaha untuk bangkit dari posisi duduknya, tapi kondisi tubuhnya masih sangat lemah.

Melihat itu bukannya khawatir, tapi Mama Kinan malah semakin gemas emosi, suaranya gemetar. “Ya ampun, Nduuuuuk, Nduuuuk! Kamu ini benar-benar membuat Mama kecewa!! Terus gimana sekarang? Kok bisa sihh? Kamu mikir apa sihhhh? Yang ada dalam pikiranmu itu apa? Kalau sudah begini terus gimanaaaa? Kuliah baru jalan, belum lulus. Kok ya sudah macam-macam!? Kok seperti kurang pendidikan saja kamu ini.”

Kinan menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Dia sadar betapa hancur hati orangtuanya saat ini, dan semua gara-gara ulahnya.

Kegagalan.

Ada saatnya seseorang merasa kecewa karena dirinya gagal. Kekecewaan yang mungkin bahkan akan dibawa sampai mati sebagai sebuah penyesalan. Hari ini adalah salah satu hari di mana Papa dan Mama Kinan merasakan kegagalan itu. Mereka berdua merasa gagal mendidik anak.

Gagal.

“Pa…?” Kinan menangis tak henti-henti. Tak bisa menenangkan sang Mama, Kinan berbalik ke ayahnya. “Papa…”

Sang Papa geleng-geleng kepala sembari menatap kekosongan. Suara tegas sang Papa keluar dengan nada bergetar, “Seperti inikah…?”

“Pa…”

“Seperti inikah balasan yang pantas pada kedua orangtuamu setelah sejak kecil kami rawat dan kami sayang-sayang? Seperti inikah balasanmu setelah semua kepercayaan yang kami berikan padamu? Seperti inikah comberan yang kamu tuang ke wajah kami?! Bahkan menjaga kepercayaan orangtuamu pun kamu tidak sanggup! Apakah selama ini kami kurang sayang sama kamu? Kurang dalam mendidikmu? Susah payah kami mencari uang supaya bisa menyekolahkanmu sampai pendidikan tinggi, besar sekali harapan kami kepadamu. Tapi apa jadinya? Malah runyam semuanya. Masa depan kamu hancur karena ulahmu sendiri! Tega banget kamu bikin malu kami, tega banget kamu bikin malu keluarga!”

“Pa… aku tidak… aku tidak akan pernah…”

“LALU INI NAMANYA APAAAA!?” emosi sang Papa meledak. Dia bangkit dari kursinya dan mendatangi Kinan dengan wajah memerah dan mata melotot.

“Paaaaaaa… Papa jangan marah ke Kinaaaan, Paaaa…”

“Papa… tahan dulu… tahan…”

Mama Kinan buru-buru menghampiri sang Papa yang sudah sangat emosi. Dia menahan dan menghalangi posisi sang Papa supaya tidak sampai ringan tangan pada Kinan yang saat itu masih tergolek lemah di atas pembaringan.

“Siapa? Siapa laki-laki brengsek itu? SIAPA?” tanya Papa Kinan. “BAJINGAN DIA! BAJINGAN DIAAA!!”

Kinan tak menjawab, ia terisak.

“SIAPAAAAAA!?”

Kinan bergetar hebat, karena ketakutan, karena bersalah, karena bingung harus berbuat apa. Karena ia tahu jawaban apapun akan membuat Papa dan Mama-nya marah. Karena kata apapun yang keluar dari mulutnya akan menjadi tanda silang besar yang tak bisa dihapus dengan mudah. Tangisnya makin menjadi-jadi.

“Siapa dia? Jawab pertanyaan itu, Kinan. Kami berhak tahu siapa laki-laki yang harus bertanggung jawab itu. Siapa dia?” suara sang bunda jauh lebih lembut. “Teman kampusmu?”

Kinan menggeleng kepala.

“Teman SMA?”

Kinan menggeleng juga.

“Lalu? Siapa? Kenal dari mana?”

“Pacar Kinan. Dia sudah pernah ke rumah. Kami baru kenal beberapa bulan ini…”

“Oalaaaah, Nduuuuuuk… Ndukkk… baru kenal beberapa bulan kok sudah seperti ini? Kok bisa-bisanya kamu membuang kepercayaan kami yang sudah membesarkan dan menyayangimu sejak kamu bayi demi orang yang baru beberapa bulan kamu kenal? Kenapa bisa kamu tega banget? Kenapa kamu buang kepercayaan kami semudah itu? Apakah kamu dipaksa? Jangan-jangan kamu dipaksa sama dia? Begitu ya, Nduk? Kamu dipaksa?”

Kinan menggeleng.

“Kamu dirayu supaya mau?”

Kinan menggeleng lagi, “Kinan sayang sama Mas Nanto, Ma.”

“SAYANG-SAYANG!!” Papa Kinan kembali emosi. “BAJINGAN ITU NAMANYA!”

“Dia sudah bekerja?” tanya Mama Kinan mencoba menahan diri dan juga suaminya, kalau semuanya panas, urusan ini tidak akan selesai. Sembari menahan isak tangis, sang Mama mencoba menjadi orang yang berkepala dingin.

“Di-dia… baru masuk kuliah.” Jawab Kinan dengan suara bergetar. Awalnya dia hendak menjawab Nanto sudah bekerja, tapi sesaat kemudian dia teringat kalau cafe tempat kekasihnya bekerja sudah habis terbakar. “Se-sekarang sedang mencari kerja…”

“Cuma mahasiswa baru ya? BAGOOOOOSSSH! MASIH BELUM ADA PENGHASILAN!! BAGUUUUS!” Papa Kinan tambah merah wajahnya karena terbakar emosi. Dia menunjuk-nunjuk perut Kinan. “Jadi mau kamu kasih makan apa ini nanti? Mau dikasih makan apa?! KASIH MAKAN BATU!? DAUN!?”

Kinan makin tenggelam dalam tangisnya.

“Nduuuk, aduuuuuh kamu ini cah ayu… kenapa tidak dipikir panjang lebar sih? Pacaran kenapa sampai sejauh itu? Kamu tidak mikir nanti dia ini makannya gimana, nanti susunya gimana, nanti kalian mau tinggal di mana? Apa ya kamu pikir kami-kami ini yang sudah tua yang bakal ngurusin semuanya? Aduuuuuuuh…”

“Papa bener-bener ga habis pikir sama kamu. Papa sekolahin tinggi-tinggi, Papa beri kepercayaan penuh, Papa dukung semua cita-cita kamu, tapi seperti ini jadinya. Seperti ini balasannya.” Papa Kinan mendengus-dengus dengan kesal.

“Ma-maafin Kinan… Pa…”

“Jadi gimana sekarang? Mana dia? Dia mau tanggung jawab, kan? Harus mau lah.” Mama Kinan makin tidak sabar. Kalau saja Nanto ada di situ, pasti sudah dibikin perkedel. “Berani-beraninya bikin masalah itu bocah gemblung! Tidak pernah dididik sama orang tuanya!”

“Bukan begitu, Ma! Mas Nanto tidak salah. Kami sama-sama saling mencin…”

“TAHU APA KAMU!? MALAH BELAIN BAJINGAN ITU!!” hardik sang Papa penuh amarah. “SEKARANG INI URUSANNYA DUIT! BUKAN CINTA! APA CINTA BISA DIMAKAN? KAMU BISA BELI RUMAH DENGAN CINTA?”

“Papa sama Mama bener-bener kecewa sama kamu, Kinan. Sangat-sangat kecewa. Kamu bikin malu keluarga besar kita. Maluuuuuuuuuuuuuuu!!” Mama Kinan yang lemas duduk di kursi kembali. Kepalanya berputar-putar. “Sekarang kamu telpon dia, suruh dia kemari, dan minta dia menjelaskan bagaimana dia akan menjamin masa depan kalian bertiga. Mama tidak mau tahu bagaimana caranya dan dengan apa kalian akan menyelesaikan masalah ini. Mama minta pertanggungjawaban pacarmu itu.”

Papa Kinan mendengus, “Sudah kalian bicarakan kapan akan menikah?”

Kinan menggeleng, “Ta-tapi… kami belum bicara tentang pernikah…”

“Ya pokoknya suruh dia datang dulu menemui Papa Mama! Sudah seperti ini kok tidak mikirin pernikahan. Mau jadi apa nanti kamu? Kamu tidak malu jalan kemana-mana dengan perut sebesar itu sebelum menikah? Malu-maluin keluarga!”

“Ta-tapi…”

“Tapi apalagi? SURUH DIA KEMARI SEKARANG JUGA! Kalau sampai dia tidak mau datang, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Mama! Mama usir kamu dari rumah!! PANGGIL DIA KEMARI!” bahkan Mama Kinan pun sekarang mulai emosi.

“Maaaa…” Kinan benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan. Kenapa semua ini terjadi di saat ia belum siap? Nanto juga belum tahu apa-apa. Bagaimana ini sebaiknya? “Ki-Kinan belum bilang sama Mas Nanto kalau Kinan sudah… kalau Kinan sudah seperti ini…”

“APAAAAAAA!!???” Papa Kinan menggebrak meja. “Kamu sudah sampai seperti ini dan dia sama sekali tidak tahu? Kamu ini mikir tidak sih? Kamu ini punya otak tidak sih? Dipakai tidak sih otaknya? Kamu itu anak Papa yang paling pinter! Paling cerdas! Paling baik! Tapi apa ya seperti ini didikan Papa sama kamu? Apa ya seperti ini yang selama ini Papa ajarkan ke kamu? Buat apa kamu kuliaaaah? Aduuuuh mana masih kuliah lagi… mau jadi apa kamu nanti…”

“Ja-jadi gimana, Pa? Gimana Ma? Kinan benar-benar bingung. Apa digug…”

Mama Kinan bangkit dari duduknya dengan wajah memerah, dia mendatangi Kinan dengan mata tajam. Kinan yang terus menerus menangis menatap Mama-nya dengan takut-takut. Apa yang…

PLAKK!

Mama Kinan menampar anaknya. Meski tidak begitu keras, namun cukup membuat Kinan kaget dan makin meringkuk ketakutan.

“Mama tidak pernah mengajarkan kamu menjadi pembunuh. Kamu sudah melakukan dosa dan sekarang kamu ingin lebih berdosa lagi? Kamu sudah berbuat dan sekarang mau lari dari tanggung jawab? Kok enak banget? Bisa-bisanya, Kinan? Bisa-bisanya pikiran seperti itu melintas di pikiranmu? Tidak. Tidak semudah itu. Jadilah dewasa dan hadapi masalah dengan pikiran yang bijak, paling tidak tunjukkan sikap sebagai orang yang bertanggung jawab. Baiklah, tugasmu sekarang adalah memikirkan apa yang akan kamu lakukan ke depannya. Pikirkan baik-baik karena kami menunggu jawaban yang lengkap darimu dan pacarmu itu,” ujar sang Mama dengan tegas.

“Maaa…”

“Kamu tidak boleh pulang ke rumah sebelum memberikan jawaban dan kepastian tentang masa depan kamu sendiri. Selama itu juga Mama tidak akan pernah mengangkat telepon dari kamu dan tidak akan mengakui kamu sebagai anak! Titik! Kamu yang memaksa kami untuk bertindak masa bodoh, seperti kamu yang juga masa bodoh terhadap kami.”

“Maaaaa….”

“Ayo, Pa. Kita pergi dulu…”

Papa Kinan mengangguk. Kedua orangtua Kinan itu pun meninggalkan ruangan tempat Kinan dirawat dengan tergesa-gesa. Papa Kinan merangkul istrinya yang bergetar hebat setelah mengucapkan kalimat-kalimat yang pasti menusuk perasaan Kinan itu.

“Maaa… jangan begitu kenapa, Ma. Paaaa… Kinan gimana, Paaa?”

Tapi mereka berdua sudah meninggalkan bangsal kekasih si Bengal itu. Kinan hanya sanggup sesunggukan dalam tangkupan kedua tangannya. Hancur sudah semuanya.

Haruskah ia membenci sesuatu yang belum hadir?

Ataukah… ia harus memilih jalan yang paling terkutuk dengan mengorbankan dirinya? Agar tidak ada yang perlu malu dan keluarganya bisa melanjutkan hidup tanpanya? Agar Mas Nanto bisa melanjutkan hidup tanpa beban berat dengannya?

Kinan melirik ke arah jendela. Ia tahu ia ada di lantai empat gedung rumah sakit. Ia tahu gedung ini cukup tinggi.

Kinan menatap ke arah malam di sebalik jendela. Itukah jalan yang terbaik?

Sebuah pemikiran yang sesat merasukinya.

.::..::..::..::.

Api di gudang RKZ masih menggelora, barisan pemadam mulai datang. Orang-orang dusun yang berani mencoba menyelamatkan beberapa korban yang terjebak di dalam. Tidak semua orang bisa diselamatkan, tapi itu tidak membuat mereka berhenti mencoba.

Api masih terus menyala tanpa ingin padam.

Saat semua punggawa RKZ mulai kebingungan menyelamatkan diri, saat ramai orang mencoba memadamkan api yang menggila, saat Aliansi dan Dinasti Baru mulai meninggalkan lokasi, tak ada satu pun dari mereka yang menyadari ada satu sosok pria bergerak dengan kecepatan tinggi di tengah-tengah kepungan asap dan menerjang api yang mengancam. Kalaupun melihat, mereka tak akan mengenali wajahnya karena tertutup masker kain.

Apa yang dilakukannya di dalam gudang yang tengah terbakar?

Siapa yang dia cari?

Tidak banyak yang tahu kalau orang itu sebenarnya sudah berada di dalam sejak awal. Dia bersembunyi di sebuah lokasi yang tertutup rapat dan baru keluar setelah kondisi benar-benar aman. Dia tak berniat membantu Jenggo saat bertarung, tak berniat membantu RKZ saat kalah total.

Penopeng bermasker berdiri tepat di depan satu sosok yang tak sadarkan diri. Ia hanya terdiam di depan sosok yang sudah tak berdaya itu. Keringatnya menetes deras karena panas mulai membakar tanpa ampun. Dia menengok ke kanan kiri dan menggeleng kepala sembari menghela napas panjang. Matanya menatap tajam ke depan.

“Dasar bajingan. Aku tidak bisa membawa semuanya. Perjanjianmu selalu busuk.”

Tak dijawab, sang pria bermasker kain pun mendengus kesal sembari melangkah hati-hati ke depan, mencoba memeriksa nadi lelaki yang sudah tak berdaya. Tapi sepertinya tak perlu, karena pria yang dikiranya pingsan itu tiba-tiba saja menjawab pertanyaannya.

Uhug… uhug… akhirnya kamu datang juga. Aku sudah bertanya-tanya kapan kamu akan menunjukkan batang hidungmu. Bersembunyi di mana kamu tadi? Padahal datangnya bareng, keluarnya belakangan, dasar bangsat wahahahaha… uhug… uhug… bagus kalau kamu menepati janjimu… Tapi ini baru satu. Kamu masih punya banyak hutang janji padaku… eheeegk… eheeekgh!” orang yang baru saja berbicara langsung terbatuk-batuk tanpa jeda, ia menunjuk-nunjuk ke seseorang di sampingnya, “Setelah aku… pastikan kamu membawa dia juga.”

“Sompret. Aku pikir sudah modyar. Kenapa juga orang seperti kamu masih dipertahankan di muka bumi?” Pria yang berdiri mendengus kesal kembali, “Simpan saja napasmu, bajingan. Sudah tahu mau mati malah kebanyakan bacot. Simpan bullshit-mu sampai kita keluar dari sini.”

“Hehhehehe… janji adalah janji, kan?” orang yang terbatuk-batuk mengangkat jempolnya. “Aku berhutang budi padamu, bangsat. Kamu memang… uhug… pria sejati… uhuuuughkk… yang selalu menepati janji.”

Si penopeng bermasker geleng kepala. Tidak, dia bukan pria sejati. Pria sejati sudah pasti tidak akan pernah mau menyelamatkan para bajingan itu. Dia bergerak dengan sangat cepat dan efektif, satu persatu punggawa RKZ ia bawa keluar. Beberapa orang kampung ikut membantunya.

Setidaknya ia sudah menepati janjinya, menyelamatkan nyawa mereka. Sesuatu yang mungkin akan ia sesali kelak. Tapi dia hanya mencoba menjadi manusia yang lebih baik, urusan yang lain ditaruh di belakang saja.

Mungkin itu jadi penebus semua hal buruk yang pernah ia lakukan.

Ah, malam itu memang panas sekali.

.::..::..::..::.

Suasana dingin bergelayut manja di ayunan langit temaram. Lidah-lidah angin berlari saling berkejaran, hilir mudik menyusuri ladang langit nan luas tanpa batas. Awan bergoyang lembut diterpa gelombang sejuk sementara bintang gemintang menebarkan nuansa syahdu di anjungan angkasa malam.

Hawa dingin menembus segala yang bisa ditembus, kadang berbelok kadang lurus. Kadang tipis menerpa membisikkan pesan misterius, atau menerjang kasar, keras, menyelubungi, dan meringkus. Desah napas halus tercetus dan terbungkus, pandangan tajam ke depan tersatukan oleh fokus, mencari di cakrawala yang gelap – adakah di sana firdaus?

Nanto berjalan di balkon kamar hotelnya, menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, menikmati balkon yang cukup luas dengan pemandangan ke arah laut di kejauhan. Di tangannya terletak sekaleng kecil minuman bersoda rasa sarsaparila berwarna coklat. Si Bengal menatap ke arah ufuk, ke arah cakrawala yang gelap. Udara dingin dan terpaan angin pantai membuatnya sedikit menggigil.

Satu lagi masalah sudah mereka selesaikan meski tidak sepenuhnya tuntas. Tapi setidaknya RKZ tidak akan dapat berbuat banyak dalam waktu dekat dengan hancurnya gudang distribusi, terlukanya Bambang Jenggo dan semua punggawa-punggawa RKZ. Kalaupun ada masalah, Aliansi pasti akan siap mengatasi, terlebih kini mereka juga sudah mendapatkan dukungan dari Dinasti Baru.

Sayang mereka sama sekali tidak menjumpai Ki Juru Martani nan misterius.

Di mana sebenarnya dia berada? Kenapa tidak ikut turun saat RKZ sedang berada dalam bahaya? Kenapa dia membiarkan Jenggo menjadi martir?

Nanto masih belum bisa meraba tujuan sang pria dengan seribu rencana. Dia hanya bisa menerka dan memperkirakan langkah selanjutnya.

Bagaimana dengan Lima Jari?

Deka baru saja mengatur seluruh pasukan Aliansi. Dengan kecerdasannya ia sanggup memetakan pasukan dan membagi mereka agar bergantian berjaga di kawasan utara kota seandainya masih ada perlawanan dari sisa-sisa RKZ ataupun kelompok lain yang hendak mengail di air keruh. Nanto merasa beruntung punya deputi yang bisa dipercaya dan punya banyak strategi seperti Deka terutama di saat Simon belum update kabar terakhir dan Rao sedang galau berat.

Bian yang terluka cukup lumayan sedang beristirahat. Sejak sampai di kawasan penginapan ini dia sama sekali tidak makan, tidak minum dan tidak banyak bicara, Bian menghabiskan waktunya dengan melamun dan menghabiskan kaleng-kaleng bir. Si Bandel itu benar-benar terpukul dengan kematian Beni Gundul yang merupakan sahabat dekatnya. Mungkin nanti Nanto harus mengunjungi Bian dan bercakap-cakap sedikit dengannya. Sejenak meluangkan waktu untuk menenangkannya. Nanto tahu betul bagaimana perasaan seseorang yang sedang berduka.

Dari kondisi, Hageng mungkin yang paling parah di antara mereka berlima, dokter yang datang menyarankannya untuk beristirahat total selama dua minggu sampai satu bulan sebelum bisa beraktivitas kembali. Jika situasi besok sudah kondusif, Nanto ingin membawa sahabatnya itu ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif – rumah sakit yang jauh dari kota dan pengawasan kelompok manapun.

Lalu Roy… apa yang bisa ia bilang tentang Roy? Sedikit sekali saat ini. Dia bahkan tak lagi melihat Roy sejak di gudang RKZ, Roy jadi sulit sekali ditemui. Dia tidak tahu apakah yang telah terjadi selama Roy ia sangka meninggal. Kenapa katanya mati tapi ternyata hidup, kenapa dia terlihat sehat tapi ternyata sakit, apakah dia sedang bahagia ataukah sedang terluka. Ingin Nanto berbincang dengan sang sahabat, tapi sepertinya harus menunggu waktu yang tepat. Dia sepertinya jadi sedikit berubah akhir-akhir ini – dan lumayan bergantung pada Pasat, sahabat barunya. Yang menjadi masalah adalah Pasat berafiliasi ke QZK, jadi ada kemungkinan dia sedang berusaha menarik Roy ke QZK juga.

Lima Jari sedang menghadapi masalah masing-masing. Itu belum termasuk masalah yang menaungi si Bengal. Belum termasuk masalah cewek-cewek. Apa yang sudah terjadi pada Bu Asty, pada Hanna, pada Nada, dan tentunya… pada Kinan yang tercinta.

Kinan…

Nanto menatap kejauhan. Betapa ingin ia saat ini berdiri berdua saja dengannya dan memeluk tubuh indah sang kekasih, menikmati malam bersama.

Nyuk.”

Satu panggilan membuyarkan khayalan Nanto. Ia menengok ke arah suara. Dari pintu balkon yang digeser lebih lebar dari dalam menyeruak satu wajah yang teramat dikenal, sang deputi, Deka. Tapi kali ini sepertinya ada masalah yang serius. Wajah Deka terlihat amat khawatir dan gelisah. Pasti ini urusan yang serius.

“Ada apa?” tanya si Bengal.

Nyuk…” Wajah Deka terlihat khawatir, “ada sesuatu terjadi sama Ara. Dia barusan kasih kabar. Coba kamu cek hapemu. Hapemu aktif ora? Siapa tahu dia juga kontak ke kamu.”

Nanto mengerutkan kening, “Ara? Kenapa Ara?”

Buru-buru si Bengal menghampiri ponsel yang ia letakkan di meja. Ia memang sengaja menonaktifkan mode suara karena ingin malam ini jadi malam yang tenang. Tapi seperti biasa, hidup si Bengal tidaklah biasa-biasa saja.

Si Bengal membuka pesan singkat dari Ara yang terakhir masuk. Rasa khawatir mulai menyeruak. Dia memang sudah tak lagi menyimpan perasaan apa-apa pada Ara, tapi Ara tetaplah gadis yang menjadi cinta pertamanya, Ara adalah anggota keenam Lima Jari, dan kini ia menyayangi Ara seperti adik sendiri.

Jadi kenapa Ara? Apa yang terjadi?

Sebuah kabar tak menyenangkan ia baca melalui sebuah pesan singkat. Ara dirawat di rumah sakit karena diserang oleh seseorang.

“Siapa yang berani-beraninya nyerang Ara?” Wajah Nanto berubah menyeramkan, ia menggebrak meja karena marah. “Bajingan!! Asyu! Njaluk modar ikih munyuke!

Wajah Deka juga nampak memerah menahan amarah, “Aku harus kesana, Nyuk. Aku harus ketemu Ara. Bisakah kita meninggalkan tempat ini dengan aman? Aku harus ke rumah sakit menemui dia. Aku tidak bisa diam di sini terlalu lama, aku kepikiran.”

“Salah satu dari kita pasti boleh.” Nanto berjalan dengan cepat menuju pintu balkon, “pakai motor saja ya. Coba aku pinjamkan ke pengurus penginapan.”

Deka mengangguk dan menyusul si Bengal ke arah pintu balkon

Satu angin kencang berhembus.

Baik Deka dan Nanto sama-sama menghentikan langkah.

Ada seseorang.

Kidung Sandhyakala tingkat atas. Luar biasa sekali. Tak menyangka ada seorang muda yang mampu menguasai ilmu kanuragan papan atas dengan usia yang masih seumur jagung. Potensi luar biasa. Rugi besar kalau tidak dicicipi,” ujar satu suara yang tentu saja langsung mengagetkan Nanto dan Deka yang saling berpandangan. Suara siapa itu? Bagaimana mungkin ada orang yang ada di tempat ini selain mereka berdua? Mereka mencari-cari arah suara.

Ada sekelebat bayangan yang muncul dan mendarat di pagar balkon yang terbuat dari besi. Pagar besi yang hanya selebar beberapa sentimeter dihinggapi oleh seorang pria berpenampilan ganjil dengan nyamannya. Baik Nanto maupun Deka terkejut bukan kepalang akan kehadiran orang tersebut.

“Siapa lagi kamu!? Apa maksudmu datang kemari?” Nanto mendengus kesal, Ki-nya perlahan-lahan mulai merayap menyusuri tubuh yang masih lemas dan sebenarnya tak bertenaga. Ia mengira malam ini bisa beristirahat, tapi ternyata lagi-lagi ada kejutan.

Masalahnya sekarang, Nanto dapat membaca aura gelap dari sang penyusup. Aura yang menebarkan hawa yang tak nyaman bagi mereka yang berada di sekitarnya, orang ini pasti menganut ilmu hitam. Siapapun yang menganut ilmu hitam, dia pasti bukan kawan. ilmu hitam seharusnya diberangus dari muka bumi ini. ia pernah mendengar cerita kalau Eyang Bara dulu sering berhadapan dengan lawan yang merupakan pengguna ilmu hitam.

“Namaku? Namaku Ki Demang Undur-Undur,” ujar sang pria tua berpenampilan ganjil yang berdiri dengan santai di tepian kecil pagar besi itu. Tanda bahwa ilmu kanuragannya cukup pilih tanding. “Aku datang kemari untuk menemui murid baruku. Bagaimana perkembangan ilmumu, cah bagus?

“Apa maksudmu murid…” Nanto yang awalnya menatap dengan sengit lantas terbelalak tak percaya. Ia membalikkan badan. “Sumpah, jangan main-main. Jangan bilang kalau…”

Deka menjura, “Selamat malam, Guru.”

Nanto meneguk ludah.

Hidupnya memang tak pernah biasa-biasa saja.

Kamu Dia Dan Mereka Sesion Pertama
Petualangan Sexs Liar Ku Season 2
Foto Ayane Sakurai artis JAV ngewe sampai banjir
Foto telanjang gadis cantik SMA memek bersih
rekan kerja
Menikmati Tubuh Indah Ratna Rekan Kerja Ku
janda muda bohay
Nikmatya Ngentot Janda Bohay Tetangga Ku
istri bejat
Ku biarkan istriku main dengan lelaki yang lain
gadis cina
Cerita dewasa petualangan sex geng joni bagian 1
Burung Jalak
stw hot
Wisata unik di jogja, makan di temani STW yang cantik
sustwr abg
Cerita hot perjakaku di ambil oleh perawat sexy yang merawat ku
Cerita ngentot pacar baru ku yang masih perawan dan lugu
gadia merintih
Kenikmatan Yang Di Berikan Erik
Siti SPG cantik aku menikmati tubuhmu
Foto bugil jepang JAV kana tsruta bugil jadi kucing
Terima kasih Amanda putriku tersayang