Part #18 : BOBROK
Yang terpenting bukanlah apa yang terlihat.
Tapi apa yang kamu lihat.
– Henry David Thoreau
Pasat berdiri di antara tubuh-tubuh anggota PSG yang telah terkapar, pingsan dan tak berdaya. Tak disangka tak dinyana pemuda itu mampu menaklukkan tujuh orang anggota PSG hanya sendirian saja hanya dalam tempo singkat! Tujuh orang lagi mengatur jarak melihat teman-teman mereka dikaparkan dengan mudah.
Fakta itu tentu membuat ketiga sahabat tercengang. Dengan mata kepala sendiri mereka melihat kemampuan pemuda yang usianya rasa-rasanya ada di rentang yang sama dengan mereka – namun menguasai ilmu kanuragan yang cukup tinggi.
Selesai mengkandaskan lawan terakhirnya, Pasat menghampiri Deka, Bian, dan Hageng untuk membantu mereka duduk.
Deka membuka kata. “Nganu… kamu siapa ya?”
“Aku hanya seorang teman dari seberang. Aku tahu siapa kalian dan apa tujuan kalian di sini. Sekarang aku datang hanya untuk membantu sebisanya, jadi ijinkan aku menolong kalian.” Kata Pasat sambil tersenyum ramah.
“Terima kasih,” ucap Deka kembali. Siapa ya dia? Rambut coklat? Topi? Jangan-jangan…
“Terima kasih untuk apa?” tanya Pasat.
“Terima kasih karena kamu telah membantu kami menyelesaikan para cecunguk itu.”
“Ini cuma kelas cecunguk, tidak begitu susah dihadapi. Hanya mengeluarkan serangan berlapis Ki tingkat menengah dan kecepatan ekstra akan efektif menuntaskan mereka. Yang lebih sulit dan mahir masih ada di seberang sana dan sudah siap menyerang. Aku tahu kalian sedang dalam kondisi kepayahan, jadi sebaiknya beristirahat. Jangan khawatir – untuk sementara aku akan menghadapi dan menghalau 3GB sekuat tenaga, sementara kalian memulihkan kondisi, karena kita tidak akan bisa mengalahkan mereka kecuali bekerjasama. Mungkin kita juga harus menyelamatkan teman kalian yang di sana itu.”
Pasat menunjuk ke arah jauh, di sana Rao masih bertempur dengan semangat. Orang-orang yang tadi mengeroyoknya mulai ambruk satu demi satu dihajar oleh sang Hyena Gila. Dia berteriak-teriak kesetanan.
Pasat menggoyang tangan dan mengangkat jempolnya sembari tersenyum, “oke bersiaplah kalian. Aku hadapi 3GB dulu.”
“Hah? Kamu mau menghalau mereka sendirian? Kami bertiga saja sampai babak belur, kalau kamu hanya sendirian rasanya…” Deka tentu tidak ingin orang yang telah membantu mereka ini mengalami masalah karena lawan yang dihadapi tidak main-main. Di saat yang bersamaan dia juga tidak ingin terlihat tidak sopan dan berkesan meremehkan.
“Hmm… apakah kamu meragukanku?”
Si Gondes pun berdehem dan mencoba sekali lagi dengan penjelasan yang lebih bisa diterima, “Dengar, kami tidak tahu siapa kamu dan dari kelompok mana kamu berasal. Kami sangat berterima kasih karena kamu sudah membantu kami. Tapi menghadapi mereka sendirian sepertinya mission impossible. Aku tahu kemampuan olah kanuragan-mu pasti pilih tanding dan mampu berhadapan dengan mereka, tapi para punggawa utama PSG ini sangat kuat, aku tidak yakin kamu akan bisa menghadapi mereka sendirian. Mereka bukan kelas cecunguk. Biarlah kami bertiga yang menghadapi mereka dengan sisa kekuatan yang kami miliki.”
“Ya. Kami akan melawan zekuat yang kami biza.” Ujar Hageng mendukung apa yang diucapkan oleh Deka. Dia juga merasa Pasat tidak akan sanggup mengatasi para punggawa PSG. Tiga Gentho dari Bondomanan itu memang bajingan-bajingan tengik berkekuatan linuwih.
Pasat tersenyum, dia sudah menebak mereka tidak akan menyetujui usulnya. Tapi dia sudah siap dengan jawaban. “Sendirian? Siapa bilang aku sendirian? Hehehe. Sejak tadi pun aku tidak sendirian. Jangan khawatir, persiapkan saja diri kalian untuk menghadapi mereka.”
Deka, Bian, dan Hageng saling berpandangan. Apa maksudnya?
Mereka tidak sempat mengucapkan banyak kata karena tak lama kemudian para punggawa PSG yang menakutkan itu sudah hampir sampai ke posisi mereka. Setelah anak buah mereka gagal, kini mereka akan turun tangan lagi. Wajah garang mereka bisa menggambarkan rancangan apa yang akan terjadi beberapa saat ke depan. Ketiga sahabat akan mendapatkan pukulan paling berantakan sesegera mungkin dan ancaman itu sudah ada di depan mata.
Ketiga bangsat itu tidak hanya sekedar ingin menciderai dan mematahkan tulang-tulang mereka. Tidak, mereka tidak akan berhenti sampai Deka dan kawan-kawan benar-benar sudah kehilangan nyawa.
Mengetahui bahaya yang mengancam ketiga sahabat, Pasat segera melesat ke depan dengan ringan untuk menyongsong lawan. Gerakan kakinya yang cepat bak tak menyentuh tanah saat berlari. Dengan anggun ia melompat ke kanan dan kiri untuk menjejak tanah dan meningkatkan kecepatan lompatan agar sampai lebih cepat di posisi tiga gentho.
“Gawat.” Bian mendesis penuh amarah. Dia benar-benar tidak menduga keadaan akan menjadi seperti ini. Tiga gentho dari Bondomanan jelas tidak akan mengampuni mereka dengan mudah. Kematian sepertinya sudah terbayang. Apakah ini menjadi pertanda tuntasnya Lima Jari? Hari inikah kisah mereka akan usai? Bian memandang ke arah Deka dan Hageng. Kedua sahabatnya juga sedang menatap Bian sambil tersenyum.
Inilah kali pertama dalam hidup mereka ketiganya sangat terpojok dan tidak ada jalan keluar. Biasanya mereka berlima selalu ada di atas angin dalam kondisi apapun. Tapi mereka tidak lagi berlima. Kepalan mereka tidak lagi tergenggam utuh dengan sisa jari yang ada. Sepertinya memang inilah akhir mereka setelah sekian lama bersama-sama.
“Aku selalu senang bertarung di sisi kalian.” Ucap Deka. “Kalian benar-benar sahabat sejati. Tidak pernah ada penyesalan menjadi anggota Lima Jari.”
Mata Hageng berkaca-kaca dengan bapernya, ia merangkul Bian dan Deka berbarengan. “Tidak ada orang yang lebih tepat untuk berbagi kematian berzama zelain berzama kalian. Kita zudah zejauh ini menghadapi takdir. Aku zudah cukup puaz. Mari kita berzama-zama menemui Roy.”
“Bajingak. Kalian ini… ngapain ngomong ngawur seperti itu?” Bian tertawa kaku sembari menghapus bayang air di pelupuk mata, kampret – kenapa dia jadi ikut-ikutan mbrambangi? Wasu og. Ada satu pemikiran yang sejak tadi ia bayangkan. “Sudahlah. Kalian tidak perlu khawatir. Nanto pasti akan membalaskan semuanya kalau kita benar-benar dituntaskan di sini.”
Hageng mengangguk.
Tak lama kemudian Deka juga mengangguk.
Kalau ada orang yang mereka percaya akan menghancurkan semua orang ini untuk membalaskan dendam akan kematian mereka – maka orang itu adalah si Bengal. Karenanya mereka hanya bisa membulatkan tekad dan melawan sampai titik darah penghabisan dengan sisa kekuatan yang mereka punya!
Entah apapun kisah yang tersimpan di ujung jalan.
.::..::..::..::.
“Urip kuwi wang sinawang.”
Om BMW duduk di atas sebuah kursi kayu santai ala pantai yang berada di atas sebuah hotel yang ada di tengah kota. Hotel itu berada di barat jalan dan punya fasilitas rooftop yang tidak diketahui oleh banyak orang. Bahkan hanya ada beberapa orang saja yang tahu kalau tempat ini sering dipakai bersantai oleh om BMW secara khusus dan eksklusif.
Lurus dari hotel ini ke arah selatan akan menuju ke stasiun kereta dan jalan paling populer di kota. Lurus ke utara melewati sebuah tugu akan mencapai monumen tumpeng di arah jauh sebelah utara.
Pemandangan luas menghampar di depan ruang duduk yang berada di atas hotel berbintang ini, atap-atap rumah berjajar rapi tak rapi bagai balok-balok Lego kecoklatan yang disusun tak simetris. Ada yang berbatas sungai, ada yang berbatas jalanan berkelok-kelok mengular. Harmoni kota yang ngangeni. Dari posisi yang sama, gunung menjulang di utara juga terlihat lebih jumawa, mengundang decak kagum sekaligus membuat manusia seperti kita berasa kecil di hadapan alam.
“Urip kuwi wang sinawang, apa yang terlihat bagus di kejauhan belum tentu bagus ketika didekati,” Om BMW mengulang apa yang baru saja ia ucapkan. “Itu sebabnya kita harus mengatur strategi supaya apa yang terlihat di depan – berbeda dengan apa yang ada di belakang. Kita harus mengatur taktik untuk terus selangkah berada di depan lawan menjelang perang yang hawanya sudah mulai berhembus di permukaan.”
Pria yang hanya mengenakan kimono tidur, celana pendek, dan sendal hotel itu tersenyum. Ia mengetukkan rokoknya di asbak, membuang abu yang sudah menggantikan batang terbakar.
Teriakan gadis-gadis cantik yang bermain air di kolam renang di sebelah tempat ia duduk terdengar riang gembira. Kadang air bercipratan hingga sampai di posisinya duduk.
“Itu sebabnya aku mengijinkan kamu benar-benar mengalah dari Deka di Tarung Antar Wakil dan mengikuti petunjuk RKZ yang memintamu mengalah. Dengan begitu mereka mengira bahwa kamu bersedia mengkhianati Dinasti Baru dan bergabung dengan mereka di bawah ancaman.” Om BMW terkekeh sembari geleng kepala, “Mereka bukan main liciknya dengan menebar teror dan masuk ke semua kelompok. Struktur kepemimpinannya tidak jelas dan didukung oleh sosok yang misterius – itu sebabnya kita harus cerdas menyikapi. Mereka tidak akan menduga kalau kita juga bisa melakukan hal yang sama. Yang mau nge-prank di-prank balik.”
“Tidak ada yang tahu saya datang kemari, kan? Kalau ada yang tahu ya bubar semua rencana kita,” Amar Barok menghembuskan asap rokok dari bibirnya yang sedikit terbuka. Pria gagah itu duduk bersandar di kursi santai di bawah payung yang ada di tepian kolam renang, tepat di sebelah om BMW. Ia mengkritik lokasi pilihan om BMW ini. “Kenapa di sini? Tempat ini terlampau terbuka. Bos Dinasti Baru seharusnya punya lokasi lain yang lebih aman. Njelehi sampeyan.”
“Hahaha, tenang. Tidak ada yang tahu. Bahkan bojo-ku sendiri tidak tahu aku sering nongkrong di sini. Rooftop ini tidak bisa diakses oleh orang sembarangan. Hanya aku dan orang-orang yang kusetujui yang berhak masuk. Yang tidak berhak akan diusir oleh para bouncer,” kata om BMW sembari menunjuk beberapa pria gagah berpakaian rapi di pintu masuk lift dan tangga.
“Lha cewek-cewek ini?”
“Mereka terapis eksklusif dari Panti Segar yang satu grup dengan hotel ini. Jangan khawatir, mereka bahkan tidak mengenal siapa aku, mereka mengira di sini hanya untuk berlibur dan melayani tamu dari luar kota. Selebihnya mereka dikarantina secara khusus dan tidak pernah diijinkan meninggalkan mess selama masih dalam masa kontrak. Mereka juga tidak bisa kemana-mana, satu-satunya hiburan cuma smartphone yang sudah disadap aplikasi-aplikasinya.”
“Kasihan juga hidup mereka.”
“Seks itu menjual tapi seks juga kejam. Kita bukan satu-satunya yang melakukan hal ini dan mereka sudah menentukan sendiri jalan hidup mereka. Banyak kesempatan dan pekerjaan lain, tapi ini yang mereka pilih atau dipilihkan untuk mereka.” Om BMW meletakkan rokoknya di asbak, lalu meneguk minuman mint bersoda berwarna campuran biru dan oranye. Entah apa namanya dan apa isinya, yang penting enak. “Kembali ke masalah RKZ. Apa yang sudah kamu ketahui tentang mereka?”
“Pimpinan tertinggi mereka masih belum mau memperlihatkan wajahnya, tapi ada kemungkinan dia orang yang kita duga. Dari info yang saya dapat, orang-orang RKZ menyebut orang ini dengan sebutan Ki Juru Martani. Melalui VC, hanya Bambang Jenggo yang wajahnya jelas terlihat. Setiap ada perintah, hanya kroco-kroconya yang menemui saya. Akan saya upayakan untuk terus mencari tahu siapa Ki Juru Martani sesungguhnya. Dia dalang dari kiprah RKZ yang makin lama makin meresahkan ini.”
“Apa langkahmu selanjutnya?”
“Bos RKZ sepertinya akan meminta saya bergabung ke Aliansi dan menjadi informan mereka. Jadi itu yang akan saya lakukan, sebagai kedok. Pada sidang kesetiaan Dinasti Baru saya sudah pasti akan ditendang dari jabatan secara tidak hormat, itu artinya saya harus segera memilih kubu dan Aliansi adalah pilihan paling logis.”
“Hehehe. Angel wes angel tenan… mubeng munyer ra karuan. Aku sampai pusing sendiri memikirkan nasibmu, cah. Statusmu sedang sangat membingungkan. Kamu masuk ke Aliansi sebagai telik sandi RKZ, padahal sesungguhnya kamu bergabung dengan RKZ juga sebagai telik sandi bagi Dinasti Baru.” Om BMW tertawa tersengal-sengal. “Membayangkannya saja sangat rumit, kamu itu double agent.”
“Sepertinya begitu. Kan bos juga yang menyuruh.” Amar mendengus. “Dasar merepotkan.”
Om Bmw kembali tertawa dan merogoh ke kantongnya, mengambil smartphone keluaran Korea Selatan dari dalam celananya. “Ini untuk urusan kita berdua, pergunakan dengan bijak – setiap bulan akan aku isi pulsanya. Gunakan sandi-sandi yang hanya kita berdua yang tahu setiap kali menggunakan aplikasi Telegram – jangan WhatsApp. Di dalamnya hanya ada beberapa nomor, namaku di situ Park Sae Ro Yi.”
“Bajilak. Park Sae Ro Yi?”
“Tidak usah protes lah. Nikmati saja.” Om BMW melempar ponselnya ke tangan Amar Barok. “Nomor PIN-nya tanggal lahir adikmu.”
Amar tersenyum.
Om BMW juga tersenyum.
“Aku tahu kamu sangat menyayangi dan melindungi dia, akan aku lakukan apa yang aku bisa untuk membantu Aliansi dan Lima Jari asal dengan alasan yang logis. Karena toh mereka sudah memenangkan Tarung Antar Wakil.” Om BMW tertawa terbahak-bahak.
“Dasar curang.”
“Waktu sudah semakin mendekati pernikahan anak Pak Zein. Pertemuan keempat pimpinan kelompok besar sudah semakin dekat. Akan kita lihat apa yang akan terjadi nanti. Aku hanya berharap RKZ tidak mengacau dan membuat pernikahan suci itu menjadi pernikahan merah. Ki Juru Martani pasti juga akan hadir siapapun dia.”
“JXG pasti akan memperketat pengamanan.”
“Sudah pasti.”
“Hanya empat pimpinan saja? RKZ dan Aliansi tidak diundang?”
“Sepertinya mereka masih belum dianggap sebagai kelompok yang setara dengan empat besar oleh Pak Zein. Tapi ya kita tunggu saja kejutan-kejutan selanjutnya. Masih akan ada banyak pergolakan yang sepertinya tidak akan kita duga-duga.”
Amar Barok kembali melirik ke kanan dan kiri. Dia merasa seperti diawasi. Sekali lagi sang Singa Emas itu mendengus, “Tempat ini terlalu terbuka, terlalu berbahaya. Tidak aman untuk peran saya ke depannya. Lebih baik mencari tempat lain.”
“Gampang, nanti aku cari tempat baru untuk lokasi kita ketemuan. Kalaupun di sini berbahaya, kita berdua pasti bisa mengatasinya, kan?” Om BMW tertawa. “Sudahlah, jangan khawatir berlebihan. Santuy saja. Orang-orang di hotel ini bisa dipercaya.”
Amar mengangguk meskipun dia masih belum bisa percaya penuh. Tapi ya sudahlah kalau si Bos sudah ngomong begitu. Mau bilang apalagi? Ia pun menarik napas panjang. “Bagaimana dengan sidang saya? Melihat perkembangan terbaru rasanya saya akan jadi public enemy number one di Dinasti Baru setelah mengalah di Tarung Antar Wakil.”
“Sidang akan diadakan segera, tapi waktunya belum ditentukan. Kalau bisa kamu jangan datang dulu di pertemuan Dinasti Baru yang manapun sampai aku bilang kamu boleh datang. Kita akan buat seolah-olah kamu memang ingin meninggalkan kita semua, itu akan jadi alibi yang sempurna. Nah, sidang itu akan jadi babak barumu, karena setelah itu kamu pasti akan jadi buruan utama semua anggota Dinasti Baru. Amar Barok akan dianggap sebagai pengkhianat. Hahahaha.”
“Luar biasa,” Amar menyeringai, “kesetiaan saya dijadikan mainan.”
Om BMW tertawa, “jangan bikin aku jadi kelihatan buruk begitulah. Ini kan strategi toh, Mar. Dengan begini kan kita jadi tahu siapa Ki Juru Martani, apa kelemahan mereka, dan bagaimana cara meruntuhkan RKZ. Ini taktik. Dengan begini kita juga tahu kenapa mereka ngebet banget masukin kamu ke dalam rank mereka. Serius aku penasaran sekali sama Bambang Jenggo dan komplotannya.”
Amar kembali mencibir dan mengangkat bahunya. “Asem. Dijadikan tumbal. Memang dasarnya merepotkan. Untungnya saya hormat banget sama Bos.”
Om BMW menanggapi dengan tawa cekakakan.
Tanpa diketahui oleh om BMW dan Amar Barok, seorang gadis yang sejak tadi ikut bersenang-senang dengan kawan-kawannya di kolam renang ternyata tidak melepas perhatiannya dari percakapan mereka berdua. Gadis itu seorang pembaca bibir yang handal, jadi meskipun dari jarak cukup jauh – Dia bisa memahami apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang itu.
Dengan berpura-pura mengambil handuk untuk mengeringkan rambut, gadis itu melangkah ke kursi santai, duduk manis dan menyeruput minuman kelapa. Tangannya meraih ke dalam tas make-up yang terbuka dan menarik satu barang yang teramat kecil – ponsel mini. mereka yang tidak paham akan mengira barang itu adalah vape karena ukurannya teramat kecil.
Ketika tak ada seorang pun di sekelilingnya, gadis itu mengetikkan beberapa kalimat melalui SMS dengan kecepatan jari tanpa perlu melirik ke arah keypad.
“Sang penyerang tengah sedang bertemu dengan si gelandang. Ada serangan balik ganda. Perhatikan peluit hitam yang dibawa. Itu diberikan oleh si gelandang, bukan dari wasit.”
Setelah pesan terkirim, sang gadis menghapus pesan dan memasukkan kembali ponsel mini itu ke dalam tas make up. Dia tersenyum sembari mencari-cari tempat sampah jika harus membuang ponsel kecil murah itu saat kondisi bahaya. Tidak jadi masalah, ponsel itu ponsel murah yang kapan saja bisa dibeli.
Kalau pesan ini sampai ke orang yang seharusnya, maka akan ada tanda bahwa pesan diterima.
Gadis itu melirik ke arah pintu keluar untuk beberapa saat kemudian – di dekat pintu keluar ada seorang bouncer atau penjaga hotel bertubuh tegap berdiri dengan santai untuk menjamin keamanan Om BMW dan yang lain dari orang-orang yang tidak dikehendaki. Pria itu tiba-tiba saja melirik ke arah pinggangnya, ia menarik ponselnya dari dalam saku, dan membaca sesuatu.
Tanpa tersenyum ia melirik ke arah sang gadis yang tengah duduk di kursi santai. Sang bouncer lantas melihat ke kanan dan kiri. Ketika semuanya aman, ia mengangguk pada sang gadis.
Gadis itu tersenyum.
“Hey, Gisel! Ngapain malah di situ, ayo ke sini – asyik nih.” Panggil teman-teman sang gadis yang tengah bermain di kolam renang bersama dengan salah satu selebritis lokal berusia lanjut, seorang aktor yang kini sudah jarang tampil di publik karena usia, seorang suami dan ayah yang jika di muka umum tampil setia, religius, dan bersahaja tapi di sini malah indehoi dengan para terapis.
“Oke-oke.” Sang gadis mengedipkan mata pada teman-temannya dan melangkah kembali ke kolam renang. Dengan satu lompatan indah, ia kembali menceburkan diri.
Mereka tertawa terbahak-bahak tak lama kemudian.
Semua sibuk, semua ramai.
Om BMW dan Amar Barok masih berbincang santai.
Tidak ada yang melihat kemana sang bouncer mendadak menghilang beberapa saat lamanya.
.::..::..::..::.
Pasat akhirnya sampai di depan 3GB atau Tiga Gentho dari Bondomanan – unit penggempur dari PSG yang dipersiapkan secara khusus oleh Joko Gunar dan kawan-kawan untuk menandingi Anak Panah JXG dan Perisai QZK. Terdiri dari tiga orang monster berilmu kanuragan tinggi dan memiliki watak sadis. Dibuktikan dari hasil pertikaian mereka dengan ketiga sahabat yang tak imbang.
Sang pemuda berambut coklat membalik topinya supaya moncong trucker-hat-nya menghadap ke belakang. Keputusannya untuk membantu Lima Jari murni lahir dari hati kecil yang tidak ingin melihat kelompok-kelompok besar seperti PSG ini berjaya – terlebih jika mereka memiliki unit penggempur seperti 3GB. Itu sebabnya dia bergabung dengan QZK agar dapat masuk ke salah satu kelompok geng terkemuka dan mempelajari cara kerja mereka.
Kini saatnya mengeluarkan kemampuannya.
Pasat berdiri dengan tenang, memejamkan mata, dan tenggelam ke dalam konsentrasi yang dalam. Tangannya disatukan, jemari saling berkait membentuk segitiga di depan dada. Mulutnya bergumam merapal ajian.
“Langit terbelah awan menangis membasahi bumi. Guntur berderak marah mengisi relung hati. Putus asa tercurah dalam madah, malam sedih berkabut air mata darah.”
Jari-jemari yang tadinya membentuk segitiga berubah menjadi kepalan. Pasat membuka matanya sedikit – anehnya saat ini matanya berkaca-kaca, seperti sedang mengalami kesedihan yang dahsyat. Pemuda itu memang membiarkan rasa kesedihan dan kesendirian menaungi badan dan menguasai jiwa. Ya, ia dengan sengaja justru menimbulkan rasa sedih menggelora dalam jiwanya – karena jurus yang akan ia mainkan justru akan menghebat ketika ia merasakan kesedihan luar biasa. Inilah jurus andalan sang pemuda berambut coklat itu – Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.
Saat air mata yang setitik menimpa kepalan tangan. Saat itu juga Ki milik Pasat menyala dahsyat. Ketika jarak antara ketiga gentho dan sang pemuda berambut coklat hanya tinggal beberapa meter saja,
Pasat tiba-tiba maju dua langkah, menjejak tanah, dan melompat tinggi ke udara dengan anggunnya. Sepertinya kecepatan gerak dan ketangkasan kaki menjadi andalan Pasat. Saat luruh ke tanah kembali dengan posisi yang mendekati ketiga gentho, gerakan patah-patah dan zigzag membuat Pasat mampu bergerak sangat cepat, tidak ada pengguna Ki rendah yang mampu melihatnya.
Ketiga gentho berhenti berjalan ketika Pasat menjelang.
Grago mengulurkan tangan untuk mencegah kedua kawannya maju, Udet dan Yosan pun berhenti. Mereka paham kenapa Grago menghentikan langkah ketiganya.
“Gerakan cepat. Arah lompatan terlihat.” Grago menunjuk ke depan sembari sesekali menunjuk kedua matanya sendiri.
Suara Grago yang serak berbisik terdengar tidak enak, apalagi ucapannya patah-patah. Ia memang tak akan pernah lagi bisa berbicara dengan nada suara yang jelas sejak lehernya terluka, luka jahitan melingkar di leher menjadi bukti apa yang pernah ia alami. Karena bisikan itu, Udet maupun Yosan harus benar-benar mendengarkan apa yang diucapkan oleh Grago.
“Iso weruh, Dab? Bisa lihat itu jurus apa yang dia pakai?” tanya Udet.
Grago menggosok pelupuk matanya, lalu terpejam dan tenggelam ke dalam saluran Ki yang ia aktifkan, rambutnya yang panjang menutup wajah – membuat mata dan mulut terlihat gelap tak nampak di balik tirai alami. Ia menunduk, mendengarkan, memahami, dan mencoba mengikuti. Kepalanya bergerak zigzag seakan mengikut arah lompatan Pasat.
“Tahu.” bisik sang pria dengan luka di leher. “Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.”
“Keren sekali namanya. Tahu kelemahannya?”
“Tahu.”
“Baguslah kalau kamu tahu. Kekekeke.” Udet ketawa. Dia merangkul Yosan. “Nyuk, kita tunggu saja si gembus itu di sini. Kita pastikan dia masuk area perangkapmu, kita hanya perlu memancingnya sedikit. Kekekek.”
Yosan mengangguk dan ikut tersenyum. Permen karetnya yang sudah mlembung gede pecah dan kembali dikunyah.
Swooosh.
Pasat sudah sampai di depan mereka, jaraknya sekitar tiga meter. Udet menarik napas panjang, bagus sekali. Ini yang dia incar sejak tadi. Udet pun menepuk pundak kedua sahabat karibnya. “Sekarang!”
Yosan menyentakkan kedua tangan ke depan, jemari direnggangkan. Mata dipejamkan, Ki menyala kencang. Grago melesat ke depan. Tubuhnya yang ringan bagaikan kain yang terbang ditiup angin. Apalagi dengan pakaian yang terlalu besar untuknya. Caranya melompat mirip seperti layangan lepas yang bebas tanpa arah.
Pasat melirik ke atas, Grago sudah pasti akan mencapainya kalau tidak dilawan. Ia menyimpan tangan kiri ke belakang pinggang dan siap meloncat dengan jemari tangan kanan membentuk pedang buatan. Inilah bait pertama jurus andalannya – Tapak Duka Nestapa.
Yak! Loncat!
Pasat tertegun.
Dia tidak meloncat.
Dia bahkan tidak bisa menguasai kakinya sendiri yang seperti terpaku ke tanah bagai pasak bumi. Apa yang terjadi!? Kenapa dia tidak bisa meloncat!??
Sang pemuda melirik ke arah kedua lawan lain.
Udet tidak melakukan apa-apa, dia hanya menyeringai.
Kalau begitu…
Si pemakan permen karet! Yosan yang sedang merentangkan tangan! Dia pasti sedang menyebarkan jejaring Ki untuk mengunci posisi kakinya! Jadi itu jurusnya!? Gawat!
“Kelemahan terlihat,” suara berbisik terdengar dari atas.
Pasat menyilangkan tangan di atas kepala dan menyalurkan Ki sebisa mungkin untuk memperkuat pertahanannya.
Pkgkh! Pkgkh! Pkgkh! Pkgkh! Pkgkh!
Tepukan beruntun yang menyengat lengan membuat Pasat mengernyit kesakitan. Pemuda itu terjerembab ke bawah. Kakinya lepas dari kuncian. Dia buru-buru hendak bangkit, tapi lagi-lagi dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya bagai dipeluk oleh tanah.
Dengan geram Pasat melirik ke arah Yosan.
Jurus apa sebenarnya ini!? Kenapa rasanya ia seperti ditelan oleh tanah? Pasat terkesiap, jangan-jangan ini jurus yang menggunakan elemen sebagai dasar ilmu kanuragan? Seperti halnya ilmu kanuragan populer Inti Angin Sakti yang menggunakan angin sebagai media.
Siaaal!
“Kelemahan terlihat.”
Jboooogkkkkggghhhhhhh!
Sepakan kaki kencang melesat masuk ke wajah Pasat. Darah muncrat dari bibirnya yang pecah. Dia meronta namun tak bisa lepas dari kuncian Yosan. Gawat. Pasat sudah pernah mendengar kiprah 3GB yang sadis dan kejam – Udet yang paling kuat, Yosan yang harus diwaspadai, dan Grago yang beringas. Tapi ia tidak pernah memahami penjelasan mengenai kekuatan apa sebenarnya yang mereka miliki – sampai sekarang.
Saat dia berhadapan langsung dengan ketiganya.
“Kelemahan terlihat.”
Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh!
Tangan dan kaki Grago melesat tanpa terkendali, memukul setiap jengkal badan Pasat. Sang pemuda hanya sanggup berteriak kesakitan, wajahnya berulangkali disepak, kaki lengannya diinjak, dan perutnya disodok lutut.
Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh!
Pasat makin tak kuasa bertahan. Ini gila. Mereka terus menerus menghukumnya, dan ini baru dua orang saja. Siaaaaal!
Deka, Hageng, dan Bian tak kuasa melihat Pasat dihabisi oleh 3GB. Mereka bangkit dan bersiap maju dengan tenaga yang tersisa. Orang ini sudah menolong mereka tadi, demi apa mereka tidak membalas kebaikannya.
Grago mendengus kencang tanpa henti melukai Pasat. Tendangannya melaju tanpa henti seperti senapan mesin.
Udet tertawa. “Cuma segini saja kemampuannya ya?”
Tiba-tiba saja Grago berhenti.
Pasat terengah-engah, bagian tubuhnya memar dan biru, darah mengucur di sana sini. Tapi bukannya menyerah ia malah tertawa dan meledek Udet. “Tentu saja tidak cuma segini saja.”
Wajah Grago menatap kebingungan ke kiri dan kanan. Ia mendesis lirih, “Gerakan cepat.”
Udet mengerutkan kening. Kenapa si Grago?
Tiba-tiba saja Yosan terpental ke belakang, tapi ia tidak terjatuh, hanya kehilangan keseimbangan sesaat. Sang pemakan permen karet kebingungan, apa yang baru saja berlaku? Kenapa dia tiba-tiba tersentak mundur?
Udet mendengus. “Kenapa kamu?”
“Tidak tahu.” si pemakan permen karet menggeleng kepala. “Tiba-tiba saja terdesak mundur.”
Yosan terpental, kuncian terbongkar. Pasat melompat dan balik menyerang.
Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh! Jbgkkgghh!
Grago terdesak mundur oleh serangan satu tangan dari Pasat yang membabi-buta. Meski terdesak, dia sama sekali tidak terluka dan tidak ada satu pun pukulan dari si rambut coklat yang berhasil mendarat ke tubuhnya. Pria berambut panjang itu justru menyeringai mengerikan, terlebih dengan luka di leher yang menambah horor penampilannya. Dia adalah sang penguasa langit dari PSG, kemampuan ringan tubuhnya nomor wahid. Serangannya nampak tidak menyakitkan karena hanya berupa tepukan, tapi tepukan itu disertai dengan Ki yang teramat dahsyat.
Grago menjilat bibirnya dan kembali berbisik, “Sudah? Saat membalas.”
Cuh!
Yosan membuang permen karet yang ia kunyah, merogoh ke saku celana, mengambil satu lagi permen karet merk Big Bobal, membuka dan membuang sembarangan bungkusnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Tak lama kemudian dia sudah komat-kamit, mengunyah permen karet. Ia menangkup jari jemarinya sendiri, lalu menggemeretakkannya. Sembari tersenyum ke arah Pasat, dia memainkan jemari dengan membangun lingkaran yin dan yang tak kasat mata di udara.
“Jangan sombong, Grago. Aku juga mengincarnya. Entah apa yang dia lakukan barusan sampai bisa membuatku terpental. Awas saja kalau aku duluan yang lebih dulu mendapatkan bocah itu.” Yosan tersenyum sembari merentangkan tangan ke depan. “Akan kubuat dia terkubur hidup-hidup di tempat ini.”
Udet tertawa dan membiarkan kedua kawannya maju bersamaan sementara dia berdiri di belakang dengan santainya. Ia memasukkan kedua tangannya ke kantong celana dan bersiul. Ia bahkan mengedipkan mata ke Pasat.
“Kamu pikir hanya Yosan saja yang bisa melakukan keajaiban dengan mengunci posisi? Kamu tidak memperhitungkan aku ya? Kekkekeeke.” Udet menyeringai, “Nyawamu sudah tinggal hitungan detik, Nak. Ucapkan doamu.”
Pasat mendengus. Orang ini… apa yang ia maksud dengan keajaiban?
Apalagi yang bisa lakukan?
Huff.
.::..::..::..::.
“Warga di kawasan Ruko Asri Boborsari dikejutkan dengan suara ledakan yang berasal dari salah satu cafe di kawasan padat pengunjung. Warga yang panik tidak sempat berbuat banyak lantaran api dengan cepat menghanguskan bangunan serta melalap bangunan lain di sebelahnya. Terdapat satu korban jiwa pada kejadian ini yaitu L – seorang wanita pelayan cafe The Donut’s Pub yang masih berada di dalam bangunan saat kejadian berlangsung. Api yang cepat membesar karena angin kencang langsung melalap hampir tiga bangunan bersebelahan. Petugas pemadam kebakaran yang datang bahkan butuh waktu hingga satu jam untuk memadamkan api yang liar. Dugaan sementara, ledakan terjadi karena bocornya kompor gas di cafe The Donut’s…”
Reynaldi mencibir saat melihat berita itu di ponselnya melalui aplikasi Youtube. Ia menutupnya dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam kantong celana.
Berita yang tidak menarik.
Kenapa para guru di sini jadi heboh sampai-sampai di-share di grup guru? Berita tidak penting.
Menyusuri lorong sekolah SMA Cendikia Berbangsa, Reynaldi merengut sembari terus menerus memutar adegan di mal di dalam benaknya. Ia gondok sekali dengan kejadian tadi, marah, dan sebal sekali. Terlebih ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya dan itu amat mengganggunya.
Gadis tadi.
Gadis yang membantu Asty bangkit tadi.
Rey mencoba mengingat-ingat… sepertinya ia pernah melihatnya. Di mana ya? Tidak asing rasanya. Dia pernah melihat wajah itu sebelumnya, wajah gadis dengan kecantikan yang khas. Masa sih dia bisa melupakan wajah unik gadis itu? Atau mungkin mereka belum pernah bertemu sebelumnya dan dia hanya melihatnya di suatu ketika secara sekilas saja?
Ada kemungkinan begitu.
Dua gadis sialan tadi telah membuyarkan keinginannya untuk menyetubuhi Asty. Lagi-lagi bidadari jelitanya itu lolos dari genggaman.
Rey mendengus, tapi tidak untuk yang berikutnya. Asty harus menjadi miliknya. Suami bodoh si jelita itu sudah ada dalam genggamannya. Kini tinggal bagaimana ia memainkan semua kunci agar pintu-pintu yang menghalangi langkahnya bisa terbuka lebar, termasuk paha putih mulus Asty yang akan ia renggangkan selebar-lebarnya agar ia bisa menyetubuhinya dengan sekasar dan sesadis mungkin. Oh ya, dia tidak akan memperlakukan Asty dengan lembut.
Dia akan membuat Asty…
Reynaldi tertegun.
Dia baru saja melewati sebuah papan pengumuman kaca yang terpajang di dinding.
Pria itu melangkah mundur dengan mengecap lidah. Ia menghadap ke arah kanan ke papan pengumuman yang berisikan prestasi siswa sekolah CB dari tahun ke tahun. Ia mengamati sebuah foto yang ada di sana. Foto penerima beasiswa SMA CB beberapa tahun yang lalu.
Wajah seseorang di foto itu membuat sang durjana tersenyum lebar dan terkekeh puas. Kata-kata keterangan di bawah foto membuat Reynaldi bahagia.
“Penerima beasiswa, Tiara Maharani. Tahun ajaran sekian sekian.” Reynaldi menjilat bibirnya sembari menyeringai. Benar kan? Memang tidak salah. Dia pernah melihatnya. Dia bahkan selalu melihatnya. Rupanya dia sering melalui tempat ini dan melihat wajah cantik Ara yang khas itu dan menghapalnya di luar kepala. Tak disangka mereka akhirnya benar-benar bertemu di dunia nyata, dan wow… tubuh gadis itu sudah tumbuh dan berkembang menjadi lebih sempurna. Reynaldi mengangguk-angguk, memuji keberuntungannya sendiri. “Salam kenal, cantik.”
Pria bejat itu membalikkan badan dan berjalan terburu-buru menuju ruang Tata Usaha. Kemungkinan data-data Tiara Maharani ada di data alumni. Alamatnya, tanggal lahirnya, nomer ponselnya, kuliahnya setelah lulus, seharusnya semua terdata dengan baik.
Saatnya serangan baik dilakukan, saatnya kontolnya beraksi kembali. Dia akan menggunakan gadis itu sampai puas. Berkali-kali. Sampai dia hamil juga seperti dulu ia memperkosa Rania. Hahahaaha. Dia akan mencari sampai ketemu si gadis misterius bernama Tiara Maharani yang mengganjal pikirannya itu dengan dendam yang membara.
Salah sendiri. Siapa suruh dia melindungi Asty?
Saatnya counter-attack.
Rey mempercepat langkahnya.
.::..::..::..::.
Kekasihnya adalah Kinan.
Si Bengal mencoba mengingat-ingat dan mematrikan kalimat itu dalam benak dan kalbunya. Dia gadis yang ia cintai, yang ia harapkan menjadi pelabuhan terakhirnya. Bukan bu Asty, bukan Hanna, bukan Ara, bukan yang lain.
Kenapa Kinan?
Dia gadis yang berbeda, dia membuat si Bengal merasa menjadi seorang laki-laki sejati yang sanggup melindungi dan mengayomi, yang ingin memberikan segala yang ia miliki untuk membuat Kinan bahagia. Ketika gadis itu tersenyum, seluruh hidup dan jalan terang di masa depannya terasa cerah dan panjang. Bersama dengan Kinan, ia menjadi seorang pria yang lengkap.
Tapi… kontol kampret yang terlalu doyan tempik miliknya membuat banyak hal menjadi kacau balau. Kalau sudah memilih Kinan, kenapa tadi malah menyetubuhi bu Asty?
Mungkin karena…
Mungkin karena Bu Asty adalah impiannya. Sesuatu yang amat indah namun jauh dan tabu, sesuatu yang apik namun tak seharusnya ia miliki dan sentuh. Nanto berasa menjadi seorang laki-laki yang sempurna dalam yin maupun yang saat bersama Asty. Kecantikannya, keseksiannya, membuat Nanto tak mampu menguasai dirinya sendiri. Asty adalah sebuah impian yang ternyata bisa ia raih, satu bintang di langit yang dulu jauh namun kini bisa ia sentuh kapan saja di mana saja.
Bagaimana dengan suaminya? Bagaimana dengan anaknya?
Nah itu.
Bu Asty adalah pulau yang bisa ia singgahi namun harus selalu ia tinggalkan karena pulau itu bukanlah rumahnya. Pulau itu sudah ada pemiliknya, sudah ada yang lebih berhak darinya, dan Bu Asty juga harus mengasuh anaknya di pulau yang mungkin tak akan pernah bisa ia tinggali untuk selamanya. Nanto harus tetap pulang ke pulaunya sendiri. Itu sebabnya setiap kali bercinta dengan Asty, Nanto selalu berusaha melakukan yang terbaik – berusaha mengeluarkan seluruh daya upayanya untuk memuaskan Asty – demi memuaskan dirinya sendiri.
Lalu, bagaimana dengan Hanna?
Hanna yang jelita yang selalu membuatnya salah tingkah dan kaku saat berduaan saja? Hanna yang kadang membuat detak jantungnya berdesir lebih cepat? Hanna adalah kisah yang mungkin tak akan pernah terjadi. Ada sesuatu di antara dia dan Hanna, seperti juga yang Hanna pernah bilang bahwa perasaan itu nyata ada – tapi untuk saat ini tak mungkin dilanjutkan. Hanna sedang berusaha menghindari tunangannya yang ringan tangan dan mungkin trauma untuk menjalin hubungan asmara, sedangkan Nanto? Nanto sudah punya Kinan… dan juga Asty.
Hati si Bengal sudah terlalu penuh dan pengap untuk dua orang wanita cantik yang menyita perhatiannya. Mampukah ia membaginya untuk satu orang lagi dan mengacaukan semuanya? Ingat kisah sang Raja Midas, orang yang serakah justru akan kehilangan semuanya.
Itu yang ditakutkan oleh Nanto.
Dia ingin selalu dekat dengan Hanna, tapi juga harus menjaga jarak. Hubungan mereka untuk saat ini hanya cukup seperti ini saja. Seandainya tidak ada Kinan, mungkin Nanto akan memilih Hanna, tapi itu hanya seandainya. Cerita seandainya itu tidak bisa dijadikan pegangan. Hanya bisa dijadikan angan-angan yang membayang di ujung harapan. Tapi Nanto tahu dia peduli pada Hanna, selalu mengkhawatirkannya, dan ingin gadis itu mendapatkan yang terbaik. Untuk saat ini itulah yang bisa ia lakukan – sebagai seorang kakak yang melindungi adik yang amat ia sayangi.
Ya – untuk saat ini, itulah kisah yang bisa ia ceritakan tentang dia dan Hanna. Saat berdua saja dengan Hanna di desa, dia menikmati kebersamaan mereka. Berjalan santai di pinggir sungai, menyusuri tepian sembari mengikuti tingkah polah Sagu yang bahagia karena kawan karibnya pulang ke desa. Hanna-lah yang berhasil mengambil hati Sagu dan bermain bersamanya setiap hari.
Mengambil hati Sagu, mencuri hati Nanto.
Ah Hanna. Mungkin kisah Hanna hanya kisah seandainya saja.
Lalu… masih ada Ara. Siapa Ara bagi seorang Nanto?
Ara adalah kisah masa lalu yang tak akan pernah ia lupakan. Ara membuatnya menyadari apa arti cinta dan apa arti pengorbanan. Nanto memilih berpisah dengan Ara karena tak ingin membuat gadis itu menderita, ia berharap Ara akan mendapatkan yang terbaik – entah itu dengan Deka atau dengan yang lain lagi.
Ara mungkin adalah cinta pertamanya dan cinta pertama itu susah sekali dilupakan. Ara adalah ciuman pertamanya yang indah, percintaannya yang pertama, rasa bahagianya yang paling awal. Ara adalah sebuah kisah indah yang tak akan bisa ia ulang, dan kesalahan yang tak akan pernah bisa ia perbaiki. Nanto ingin selalu Ara mendapatkan yang terbaik, meski itu bukan dirinya, meski cerita mereka usai karena egonya.
Satu hal yang pasti. Demi Ara, Nanto akan melalui rintangan terberat apapun dalam hidupnya.
Tapi lebih dari semuanya itu, hanya satu hal yang harus ia ingat dan selalu ia camkan dalam hati. Kekasihnya adalah Kinan. Dia yang berhak atas hatinya dan berhak atas masa depannya.
Sekarang saatnya untuk…
Ugh.
Nanto mengejapkan mata, cahaya lampu menyakitinya. Pedih karena tepat berada di atasnya. Kepalanya juga sangat pusing, dengan berbagai dengung berbunyi di telinganya. Uff, pegal sekali terasa badannya. Punggung berasa sangat kaku, seakan tidak ia gerakkan selama satu dasarwarsa. Ia merenggangkan badan, merentangkan tangan, menegakkan tubuh, mencoba meluruskan diri.
Duduk di tepian pembaringan, si Bengal mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Uh, setelah bercinta habis-habisan dengan Asty tadi, rasa-rasanya badannya bagai remuk redam. Dari atas kepala sampai ujung kaki. Kenapa bisa begitu? Padahal biasanya justru membuatnya lega.
Brr…
Dingin terasa. Si Bengal yang tak mengenakan sehelai benang pun mulai mencari-cari celana untuk menutup kemaluannya yang sudah purna tugas.
Tangannya meraih-raih ke kanan dan kiri, tidak ada celana. Hanya seprei. Matanya mengejap sekali lagi, mencoba mengatasi cahaya yang terlalu terang di mata. Mana sih celananya?
Ketika mulai terbiasa dengan cahaya yang mengitari ruangan, si Bengal mulai benar-benar mencari celana dalam dan celana jeans-nya. Tapi mereka tidak ada di…
Tunggu dulu…
Ruangan apa ini?
Si Bengal menatap kebingungan ke kanan dan ke kiri. Dia tidak mengenali ruangan ini! Di mana dia berada? Ruangan itu terang benderang dengan nuansa putih. ada jendela tertutup dengan teralis di ujung atas. Sebuah meja berada di tengah ruangan dengan dua gelas, dua piring lengkap dengan sendok, seteko air minum, nasi, dan lauk pauk seadanya. Ada pula CCTV di berbagai sudut.
Ini bukan ruangan tempatnya bercinta dengan bu Asty tadi. Atau memang seperti ini sedari tadi?
Kok dia tidak menyadarinya ya?
Kenapa dia bisa berada di sini?
Apa yang terjadi?
“Ke… kenapa kamu tega sekali melakukan itu, Mas?”
Ada suara yang muncul tiba-tiba dan mengagetkan si Bengal. Dia mencoba mencarinya, di mana arah suara? Ini mirip suara yang muncul saat ia bercinta dengan Asty tadi! Suara siapa sebenarnya?
“Kenapa kamu tega melakukannya? Aku salah apa?”
Si Bengal tersentak.
Ia berdiri dan membalikkan badan. Tepat di pembaringan, ada seorang gadis telanjang yang sedang meringkuk kedinginan dan ketakutan. Ia menggunakan selimut tipis untuk melindungi bagian vital tubuh telanjangnya dari pandangan Nanto. Ada beberapa memar di badan dan tangannya. Air mata mengalir tanpa henti di wajahnya yang jelita namun kuyu. Bercak darah membasahi seprei yang tadi ditiduri si Bengal.
Nanto membelalakkan mata.
“Na… Nada!?”
.::..::..::..::.
Semua serangan Pasat mentah dan kini 3GB sudah siap memburunya. Eh, tidak tiga – dua saja. si Grago dan Yosan.
Sial. Ketiga orang itu jelas bukan orang biasa saja – mereka adalah maskot PSG, sudah pasti kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Kalau begini caranya Pasat justru harus minta bantuan yang lain.
Pasat berputar dan melompat sejauh ia bisa kembali ke sisi ketiga sahabat.
“Edan. Kalian benar. Mereka terlampau kuat untuk dihadapi sendiri.”
“Zudah dibilang kan.”
Pemuda itu terengah-engah. Ia baru saja berhadapan dengan 3GB – Tiga Gentho dari Bondomanan dan gagal mengatasi mereka seorang diri. Si rambut coklat menggelengkan kepala, “Ketiga orang itu benar-benar bangsat. Kemampuan mereka sebanding dengan Empat anak panah dari JXG dan empat perisai dari QZK, bahkan mungkin lebih. Darimana si bangsat Joko Gunar mendapatkan orang-orang seperti itu?”
Hageng, Deka, dan Bian maju mensejajari si rambut coklat. Mereka tidak mengenalnya, tapi rasa-rasanya orang ini bukan orang yang jahat. Siapa tahu dengan bekerjasama mereka dapat menundukkan 3GB.
Tapi… tidak enak rasanya melibatkan orang asing…
Deka tersenyum pada Pasat, “Jangan khawatir, biarkan kami yang menyelesaikan ini semua. Kami siap bertempur sampai tuntas. Lagipula sejak awal ini adalah masalah kami. Kami memang berurusan dengan orang-orang PSG sejak lama – jadi harus menyelesaikan masalah ini sendiri, terlebih kami juga tidak mengenalmu, kami akan merasa bersalah kalau kamu sampai terluka. Tidak apa-apa, bantuanmu sudah cukup, sebaiknya kamu mundur saja, ini bukan urusanmu. Terima kasih sudah membantu sampai sejauh ini dan memberikan kami sejenak waktu untuk beristirahat.”
“Betul. Pergilah. Kamu memang hebat, tapi ini bukan urusanmu, kami bahkan tidak mengenalmu. Lebih baik tidak mencari masalah dengan orang-orang PSG ini, mereka tidak akan pernah melepaskanmu kalau sampai tahu nama dan tempat tinggalmu. Mereka akan memburumu seumur hidup.” Sambung Bian.
Pasat tersenyum dan menggeleng, “Tidak. Sekarang ini juga jadi urusanku. Karena aku datang ke sini tidak sendirian. Aku hanyalah seorang pembuka jalan.”
Deka mengerutkan kening, “Apa maksudmu?”
“Kalian lihat serangan mendadak yang membuat si pemakan permen karet tadi mundur? Itu bukan aku. Cepat sekali ya, dia memang hebat.”
Ketiga sahabat saling berpandangan, mereka menatap kebingungan ke kanan dan kiri, mencoba melihat apakah ada orang lain yang menyertai Pasat. Tapi tidak ada siapapun yang ada di dekat mereka. Apa maksud si rambut coklat?
Pasat bersiul kencang.
Tak lama kemudian terdengar satu siulan balasan di belakang ketiga sahabat. Satu kelebat bayangan seorang pemuda terlihat meloncat ke atas pagar yang mengitari seluruh area stadion di lapangan Klabangan. Pagar beton itu cukup tinggi dan membutuhkan kemampuan ringan tubuh kelas prima untuk bisa naik ke atas sana dengan langkah kaki yang ringan. Cahaya keemasan bias pendar mentari yang mulai bersemu merah jambu di cakrawala langit sore membuat pemuda itu terlihat anggun dan gagah bermandikan sinaran surya.
Tak lama kemudian satu suara menyapa Bian, Hageng, dan Deka dari atas pagar. “Untung kalian mengirim kode bravo. Jadi aku datang ke sini secepat yang aku bisa.”
Deka menatap Hageng.
Hageng menatap Bian.
Bian menatap Deka.
Mulut ketiganya menganga. A-apakah itu… Nanto? Apakah dia sudah kembali dari tugas menolong temannya? Bukan. Sepertinya bukan. Suara itu bukan suara Nanto. Suara itu suara yang berbeda.
Jadi bukan, itu bukan Nanto.
Itu suara yang berbeda.
Itu suara yang sangat mereka kenal tapi bukan suara Nanto.
Bian menatap Deka dan Hageng bergantian. Senyum ketiganya merekah seketika bagai ada cahaya dari surgawi yang menyinari kabut kekalutan dalam batin. Mereka membalik badan, menatap ke atas, dan menjumpai seorang pemuda sedang berdiri di atas pagar yang tinggi dengan tangan diselipkan masuk ke saku celana. Rambutnya berkibar diterpa dersik angin.
Hanya ada satu orang yang mereka tahu bisa naik ke atas dengan mudah selain Nanto. Hanya dia yang memiliki kemampuan ringan tubuh luar biasa hebat di antara mereka berlima selain si Bengal.
Kalau soal lompatan tinggi dan kecepatan, dia tak akan kalah dengan siapapun.
Sang pengendara angin menatap satu persatu sahabatnya sembari tersenyum lebar, ia mengedipkan mata.
“Sudah berapa lama menunggu?”
Bersambung