Part #19 : PENDOSA

Ketika kamu bersalah, kamu tidak membenci kesalahanmu.
Kamu membenci dirimu sendiri.
– Anthony de Mello

“Mengecewakan.”

Mata Nanto berulang terkejap.

Sesaat yang lalu dia melihat ruangan terang yang benderang menerjang menyilaukan pandangan. Apa yang ia lihat sekarang adalah gelap yang menyebar di bawah langit-langit dan di dinding atas, ibarat inversi suasana yang tak berujung batas. Yang terang jadi gelap, yang gelap jadi terang. Dia tidak lagi merasa berada di tempat seharusnya ia berada dalam sinaran yang seutas.

Nanto merasa seakan-akan dia seperti kembali ke suatu sudut gelap di dalam gua di kampungnya.

Ya.

Entah bagaimana dia sudah berada di gua kembali, bersama dengan Eyang Bara yang tengah duduk bersila di hadapannya sekitar satu tindak setahap. Sang Eyang tenang dalam semedi-nya, mata terpejam, tubuh tegap, gerakannya sigap dalam senyap. Wajahnya tak lagi ceria, tapi serius, dan ekspresinya bias tak terungkap. Seluruh hawa dalam gua seperti tersedot ke sang Eyang membuat napas si Bengal megap-megap dalam aura yang terserap. Napasnya kembang kempis, namun ia mencoba sopan dalam bersikap.

“Eyang?”

Hanya lirih yang keluar dari bibir sang pemuda. Lirih yang takut.

Eyang Bara duduk bersila di hadapan si Bengal, masih memejamkan mata, tenang, tegap, dan sunyi dalam kegagahan yang berwibawa. Tidak banyak gerakan yang tidak diperlukan, tidak banyak aliran napas yang terganggu, gerakannya irit tapi bermakna. Ketika akhirnya sang tetua melakukan sedikit gerakan tangan, napasnya yang ringan berubah menjadi berat, mengisi kesunyian gua dengan derap hembus yang rapi, tanpa disadari kalau itulah penguasaan ruang tingkat tinggi.

“Mengecewakan,” ucap sang Eyang sekali lagi mengulangi kata yang sama. Suaranya terdengar bergema memenuhi rongga-rongga terdalam di sisi gua..

Nanto meneguk ludah. “Kenapa mengecewakan, Eyang?”

“Kamu telah mengecewakanku.”

Nanto berkeringat dingin. Ayolah… harus diakui bukan kalau dia memang mengecewakan? Eyang Bara memang benar kalau dia kecewa. Bahkan Nanto pun kecewa pada dirinya sendiri.

“Belum lagi beberapa hari sejak keluar dari gua, tapi kamu sudah mengecewakanku.”

Eyang Bara membuka mata, memandang tajam si Bengal dengan tatapan bak elang pemburu, yang mengincar dan meremukkan nyali. “Setelah keluar dari gua ini tempo hari – kamu berubah. Andap asor-mu, watak aslimu, becikmu… hilang sudah. Kamu berubah menjadi orang yang takabur dan merasa bisa mengalahkan semua orang dengan mudah. Tanpa kamu sadari bahwa sikap itu justru membuat kamu menjadi terlalu jumawa dan juga lengah. Kekuatan yang terlalu besar merusak pikiranmu hingga pongah. Katakan, apakah aku telah menilaimu dengan salah?”

Nanto menunduk. Benar seperti itu ya?

“Saya takabur, Eyang.”

“Hanya dengan gendam ringan saja seorang laknat busuk bisa menundukkanmu dan mencelakai seorang gadis yang seharusnya justru kamu lindungi. Bagaimana caranya kamu memperbaiki kesalahan yang seperti itu? Kalau kamu paham bagaimana cara memperbaikinya, coba katakan karena Eyang sungguh-sungguh tidak paham bagaimana caranya.” Eyang Bara menggelengkan kepala sembari melanjutkan wicara. “Merugikan diri sendiri masih bisa diperbaiki, membuat kesalahan masih bisa minta maaf. Tapi merusak harga diri seorang gadis tak berdosa? Bagaimana kamu akan membenahi kesalahanmu? Mau dibawa kemana nuranimu? Sungguh tak termaafkan.”

Nanto makin tenggelam.

“Kamu tidak akan bisa menyempurnakan Kidung Sandhyakala dengan sikap seenaknya seperti itu. Tidak boleh ada kelengahan lagi, tak boleh ada lain kali. Aku sekarang bisa melihat dengan jelas bahwa lawan paling berat di sepanjang jalan kehidupanmu kelak bukanlah orang lain di luar sana, bukanlah pimpinan kelompok lawan yang kuat dari sisi manapun di seluruh penjuru bumi, bukanlah penguasa ilmu kanuragan yang lebih hebat menggelora yang mampu melubangi gunung membelah lautan. Bukan! Bukan! Lawan terberatmu adalah dirimu sendiri yang tak kunjung memahami jati diri sebagai pemilik kekuatan yang teramat besar.

“Hhh… Le, kamu itu punya karunia yang tak terkira! Yang bahkan kamu yang sekarang belum bisa membayangkan. Tapi kenapa di awal begini kamu justru terjerumus pada pemikiran kanak-kanak yang menjebak bahwa kamu telah berada di atas dan akan selalu tetap berada di atas? Kamu tahu sendiri kalau tidak ada yang seperti itu, tidak ada satu orang pun yang akan terus menerus berada di puncak! Kita tidak lebih baik dari orang lain! Tidak akan pernah! Kita semua setara! CAMKAN ITU!!”

“Iya, Eyang…”

“Kemarin… ketika kunci yang membelenggu kekuatanmu kulepaskan, itu bukan berarti aku membebaskanmu untuk berbuat apa saja sekehendakmu. Itu bukan untuk mengijinkanmu mbalelo, bukan untuk membuatmu merajalela, bukan untuk membuatmu sok jago melawan semua orang dengan sombongmu. Bukan! Aku membuka segelmu agar kamu bisa mawas diri dan menghormati sesama, agar kamu bisa membantu yang lemah atas nama kebajikan, agar kamu sadar keberadaan orang lain yang menginjak tanah yang sama adalah setara, bahwa mereka juga menghirup udara yang sama, sehingga kamu bisa memperjuangkan hak-hak mereka jika ada yang berlaku tidak adil. Aku ingin kamu itu eling lan waspodo. Agar kamu sadar bahwa sebagai manusia kita harus memiliki rasa hormat menghormati dan rendah hati.

“Kamu harus tahu batasan yang kamu punya, tahu bahwa kamu itu sama lemahnya dengan orang lain, tahu bahwa kamu itu setara dengan orang lain, tahu bahwa sebenarnya kamu itu tak ada apa-apanya dibandingkan orang lain. Sadari ketidakmampuan dan keterbatasan diri, sadari bahwa keberhasilanmu menjalani tapa brata adalah untuk melepas angkara murka dalam diri, bukan untuk menginjak sesama yang kamu anggap lemah. Bahkan lawan pun harus tetap kamu hormati, entah serendah atau selemah apapun mereka di matamu.

“Aku tahu kamu anak baik, kesalahanmu adalah kelengahan dan kesombongan. Saatnya memperbaiki diri, luruskan yang bengkok. Memang ada yang sudah terlambat, tapi mudah-mudahan masih bisa dibenahi. Meski mungkin terasa berat tapi itulah ujian hidup yang harus kamu jalani karena kesalahan yang telah kamu lakukan, inilah arus besar yang harus kamu sebrangi. Ingat bahwa tidak ada orang yang tiba-tiba menjadi besar tanpa melalui ujian.”

Nanto terpekur dalam diam. Entah bagaimana dia akan memperbaiki kesalahan besarnya yang kali ini. Apa yang dilakukannya tanpa sadar ternyata telah menyebabkan kerugian besar bagi orang lain, dan itu gara-gara dia lengah dan terlalu pongah.

“Saya menyesal, Eyang. Menyesal sekali. Entah apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki kesalahan saya ini. Apa yang harus saya lakukan, Eyang? Saya mohon petunjuk, Eyang.” Nanto lemas selemas-lemasnya. Wajah Nada yang kuyu karena menangis habis-habisan selalu terbayang dalam benaknya – bagai momok yang tak kunjung pergi dan bisa ia hapus hanya dengan sekali kibasan tangan. Ia tak pernah menduga dan menyangka kalau dia akan menjadi orang yang menyakiti gadis ia kenal dengan baik itu.

Eyang Bara mendesah panjang. “Manusia memang tempatnya salah, Le. Tempatnya belajar. Apa yang sudah kamu lakukan menyebabkan orang lain menderita dan itu akan menjadi kesalahan yang harus kamu luruskan, di luar sebab akibat apakah kamu yang benar-benar bersalah atau hanya dijerumuskan oleh orang lain yang tidak bertanggungjawab. Jadilah pejantan yang tangguh, yang tidak mengenal kata lari dari kesalahan, yang tak mengenal kata kabur dari keadaan, yang akan menghadapi ujian dengan kepala tegak tanpa ketakutan. Kamu memang sedang terpukul mundur saat ini – tapi mundurlah selangkah untuk maju lima langkah. Bahkan kalau bisa, jangankan hanya melangkah… maju dan melompatlah jika perlu, dan buktikan ketangguhanmu.

“Manusia memang dituntut untuk terus berjalan maju, terus belajar. Tapi ingat baik-baik apa yang aku sampaikan kali ini… ini penting… ilmu kanuragan itu hanya alat, hanya cara untuk membantu mencapai tujuan. Yang penting adalah bagaimana kamu menguasai esensinya, mampu menerapkannya, dan menggunakannya bagi kepentingan bersama. Tidak masalah jika orang lain tahu ilmu itu atau berhasil mendapatkan ilmu itu dengan cara apapun. Yang penting adalah bagaimana kamu menggunakannya. Camkan pesanku ini baik-baik.”

Nanto memejamkan mata. “Saya paham, Eyang.”

“Bagus. Benahi.”

Nanto mengangguk.

Hanya ada satu cara untuk membenahi kesalahan yang telah ia lakuan pada Nada. Si Bengal lantas mengusap wajah dan mulai memejamkan mata. Ia kemudian menguatkan diri dan menyiapkan hati. Setelah mempertimbangkan banyak hal, sepertinya dia harus melakukannya. Hanya ada satu cara untuk memperbaiki ini semua.

Nanto mendesahkan napas panjang.

Ketika ia membuka mata, Eyang Bara dan gua legenda sudah tak lagi nampak di depannya.

Ia sudah kembali di ruangan bersama Nada.

Nada

Nanto duduk di sebuah kursi di tengah ruangan, di depan meja makan kecil yang terbuat dari kayu.

Sementara Nada masih duduk meringkuk di bagian ujung terdalam pembaringan, menyudut menempel pada tembok yang dingin. Si cantik itu kadang sesekali masih menangis, ia memeluk bantal, tak sekalipun menatap ke arah si Bengal. Sejak tadi mereka tak berbicara satu sama lain sekalipun. Gadis itu menumpahruahkan segala kekesalannya pada bantal yang dipeluknya. Erat, ia sangat erat memeluk bantalnya.

Nanto berdehem dan mencoba memanggil, “Nada…”

Gadis itu hanya terdiam dan memalingkan wajah. Tak mau menatap wajah sang pemuda yang baru saja merenggut hal yang paling ia jaga seumur hidupnya dan seharusnya ia berikan sebagai tanda cinta untuk suaminya kelak. Masih ada garis air mata di pipi Nada.

Nanto menundukkan kepala dan menghela napas. Wajar dan sudah sepantasnya ia diperlakukan seperti itu. Ia pun berdiri, melangkah ke ujung ruangan di mana terdapat dispenser dan gelas-gelas kosong. Si Bengal menuang air ke dalam gelas.

“Aku tahu aku bersalah, tapi setidaknya aku ingin kamu tahu kalau itu semua terjadi di luar kesadaranku. Entah apa yang terjadi – yang jelas dalam bayanganku tadi aku tidak sedang bersamamu, dalam kesadaranku aku sedang bersama dengan wanita lain. Aku sama sekali tidak menyangka kalau apa yang aku lakukan di alam bawah sadarku ternyata berimbas langsung pada…”

Nanto meneguk ludah, ia membawa gelas itu ke tengah ruangan dan meletakkannya di atas meja. Nada masih terdiam dan tak menatapnya sama sekali.

Dia mengulangi lagi kalimatnya. “Aku sama sekali tidak menyangka kalau apa yang aku lakukan di alam bawah sadarku ternyata berimbas langsung padamu. Aku sama sekali tidak tahu kalau ternyata aku sedang bersamamu, karena di bayanganku aku sedang bersama orang lain. Aku berani bersumpah kalau apa yang aku ucapkan ini benar-benar apa yang tadi aku rasakan. Aku sama sekali tidak bohong – aku bukan orang yang pandai berbohong, kamu seharusnya sudah mengerti itu, kita sudah kenal sejak awal kuliah. Demi apa aku akan tega menyakiti, terlebih memperlakukanmu seperti ini…?

“Aku jadi seperti bukan aku karena pengaruh hipnotis yang entah bagaimana sangat efektif. Sesaat sebelum aku kehilangan kesadaran dan tenggelam ke dalam khayalan, aku merasa pundakku ditepuk oleh seseorang. Dia punya kekuatan yang besar dan mampu melesakkan daya khayal ke dalam alam pikiranku. Dia juga pasti bukan orang sembarangan, karena dapat dengan mudahnya membuatku terlelap. Jujur sampai sekarang aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tapi aku pasti akan menemukan siapa kutukupret yang telah bertanggung jawab, dan jika aku tadi telah melakukan hal-hal yang membuatmu marah atau kesal ataupun kecewa, itu wajar saja. Aku juga akan berlaku sepertimu jika itu terjadi. Aku memang sudah jadi seorang teman yang mengecewakan, tak termaafkan, bahkan menjijijkkan.”

Nanto menatap Nada, tapi gadis itu masih terdiam. Si Bengal kembali menundukkan kepala. Belum pernah ia merasa senista ini, dulu dia pernah merasa bersalah karena telah menyebabkan seseorang meninggal – sekarang dia menyebabkan seorang gadis kehilangan mahkotanya. Sebodoh apa sebenarnya dia?

Bagaimana mungkin dia sebodoh ini? Dia merasa bersalah. Sangat-sangat bersalah.

“Kalau kamu minta aku untuk membayar kesalahan yang telah aku lakukan, maka aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan – apapun. Ini bukan pertama kalinya kita bertemu dan rasanya aku sudah membuktikan diri selama ini kalau aku bukanlah orang yang bisa setega itu melakukan ini padamu. Aku juga dijebak, Nada. Tapi aku akan bertanggung ja…”

“Ambilkan aku minum.”

Nanto mendongak, Nada sudah mau membuka mulut!

“Ba-baik.” Buru-buru si Bengal beranjak dari duduknya, lalu menyiapkan segelas air minum dari dispenser yang ada di suatu sudut. Ia membawakan gelas itu pada Nada dengan setengah berlari.

Nada menerima gelas itu, tapi tak sekalipun ia menatap si Bengal.

“Nada… aku pasti akan bertanggung jaw…”

Nada meminum sedikit, tidak peduli apapun yang diucapkan Nanto. Lalu tiba-tiba saja dia menyiramkan air dalam gelas itu pada si Bengal!

Cprt!

Si Bengal yang terkejut mundur selangkah, wajah dan pakaiannya basah terkena siraman. Pemuda itu menunduk dan tersenyum sembari menatap bajunya yang kini lengket di badan. Ia berucap lirih, “Aku pantas menerimanya.”

“Sudah pasti!” Nada bersungut-sungut, “bayangkan betapa kagetnya aku ketika bangun tidur tahu-tahu kamu sudah ada di sampingku! Tanpa pakaian! Mengigau tidak jelas dan meraba-raba tubuhku! Mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti dan memanggilku dengan nama yang lain! Kamu… kamu ternyata…! Kita sudah kenal baik sebagai teman, sebagai kawan! Bisa-bisanya kamu tega melakukan itu padaku!”

Nanto menunduk. Aduh, dia benar-benar bodoh! Kenapa semudah itu tenggelam dalam gendam?

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mungkin aku bisa melawanmu yang jauh lebih kuat? Kamu memegang tanganku dengan sangat erat – mau buktinya? Ini! Pergelangan tanganku masih merah bekas tanganmu mencengkeram! Aku sudah berusaha meronta, sudah mencoba membangunkanmu, sudah berusaha menendang, menggigit, mencakar, semua tak berhasil. La-lalu kamu melucuti bajuku dan… dan…” air mata Nada tumpah kembali. “Kenapa, Mas? Aku salah apa? Kenapa kamu sejahat ini sama aku? Aku selama ini menghormatimu, mengenalmu baik, kita berdua tidak pernah ada masalah… tapi kenapa sekarang…?”

“Nada…”

“Apa?!”

“Aku akan bertanggung jawab. Aku pasti akan bertanggungjawab. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dan menjerumuskanku hingga berbuat terkutuk kepadamu, tapi aku tidak akan lari. Aku akan bertanggung jawab.”

Nada sesunggukan dan menenggelamkan wajah di antara pelukan lengannya sendiri. Tanggung jawab. Hari ini dia benci kalimat itu. Hari ini dia sudah tahu akan mendengar kalimat itu.

“Aku pasti akan bertanggung jawab,” ulang Nanto. “aku akan menemui ayahmu… dan melamarmu.”

Terdengar helaan napas panjang dari Nada yang berusaha menekan rasa sedihnya. Suaranya agak terpendam lengan. “Aku tidak meminta pertanggungjawabanmu, Mas. Kita tidak perlu membesar-besarkan masalah karena ini hal pribadi – tidak perlu semua orang tahu, cukup kita berdua saja. Jadikan ini sebagai rahasia. Kamu bahkan belum pernah bertemu ayahku. Kalau dia sampai tahu maka aku rasa kamu tidak akan hidup…”

Nada melirik Nanto dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan si Bengal. Entah kenapa Nanto justru jadi penasaran. Seperti apa ayah Nada? Salah satu punggawa-nya saja sudah cukup kuat – si Sulaiman Seno, sang ancaman besar.

Nada melanjutkan, “Aku tahu Mas sudah punya pasangan, aku… sebenarnya juga begitu, aku juga sudah punya seseorang. Aku akan berusaha mengatasi ini semua sendiri dengan pasanganku, demikian juga Mas. Aku tidak ingin pertanggungjawaban dari Mas dan tidak pernah minta. Bagaimana mungkin aku mau menikah denganmu, kalau aku saja masih belum bisa memaafkanmu? Bagaimana mungkin aku menikah dengan pria yang aku benci? Sadari itu, Mas. Sadari kalau peristiwa ini akan menjadi luka yang bakal aku bawa seumur hidupku?”

“Nada…”

“Ironisnya, kamu sebagai pelaku bahkan tidak mengingat apa yang telah kamu lakukan padaku…”

“Nada…”

“Cukup. Aku mau tidur dulu.” Nada meringkuk dan memunggungi Nanto. “Menangis seharian membuatku sangat lelah.”

Nanto terdiam.

Dia hanya menundukkan kepala sementara Nada terlelap.

Nanto menggemeretakkan gigi. Siapa yang telah melakukan ini semua? Siapa dalang di balik peristiwa ini? Kenapa dia? Kenapa Nada? Kenapa merancang peristiwa sekeji ini?

Dia tahu jawabannya akan segera datang.

Perasaannya tidak enak.

.::..::..::..::.

“Informasi apa yang kamu dapatkan?”

Sulaiman Seno menggelengkan kepala saat pertanyaan itu diajukan kepadanya.

Dia rasa belum saatnya orang lain tahu apa yang dia ketahui supaya mereka tidak tiba-tiba saja sok tahu tentang hal-hal yang tidak seharusnya mereka ketahui dan hal-hal yang justru harus mereka ketahui. Tahu kan apa maksudnya? Tahu tidak? Kalau tidak tahu makanya sebaiknya tidak diberitahukan terlebih dahulu. Tahu sama tahu saja.

Masalahnya dengan Bambang Jenggo adalah masalahnya dengan Bambang Jenggo, bukan dengan orang lain dan untuk saat ini bukan ranah JXG. Seno ingin merahasiakan kedekatannya dengan Jenggo untuk sementara waktu sampai ia benar-benar bisa menyelesaikan semua masalah dengan deputi pimpinan RKZ itu. Setelah Nada berhasil kembali ke Pak Zein, maka Seno akan menghancurkan RKZ dengan tangannya sendiri. Semua… termasuk Jenggo.

Itu janjinya.

Pak Pos mendengus saat melihat sang Jagal malah melamun dan terdiam seribu bahasa. Selalu saja seperti ini kalau berbincang-bincang dengan si Jagal. Setiap saat bisa saja dia tiba-tiba saja lantas terdiam tak menjawab pertanyaan. Bisa jadi itu karena dia menyembunyikan sesuatu dengan sikap dinginnya, tapi bisa juga karena dia memang tidak tahu apa-apa. Begitu banyak misteri di balik sosok sang Jagal yang sering membuatnya penasaran. Target paling ultimate dari seseorang yang kepo.

“Kita memang sedang kebingungan mencari di mana Non Nada sebenarnya berada, tapi aku yakin seratus persen kalau bangsat-bangsat di balik semua kisruh ini adalah orang-orang RKZ. Mereka gemar sekali cari masalah dan melakukan semuanya dengan cara kotor,” ujar pria tua itu sembari mengibaskan topinya bagaikan kipas. “Kenapa ya hari ini rasanya berbeda? Mana udaranya panas banget pula. Hawanya bikin gerah.”

“Kenapa menurut sampeyan dalangnya adalah RKZ? Kenapa bukan QZK? Bukan Dinasti Baru? Bukan PSG? Bukankah kita harus menerapkan prasangka tak bersalah?”

“PSG akan jadi tersangka utama, tapi sekaligus tertuduh yang terlalu mencolok. Dinasti Baru belum pernah menyeberang dari wilayah mereka. Sedangkan QZK kerjanya lebih alus. Mereka tidak pernah membabi-buta seperti ini, mereka masih punya rasa hormat pada lawan-lawannya. Kecuali kondisinya benar-benar sedang perang terbuka, maka kita akan melihat sifat dan kemampuan QZK yang sesungguhnya. Mereka memang brutal, tapi punya styleBosok yo bosok neng yo ora bosok bangetngono yo ngono tapi ora ngono-ngono banget. Gitu ya gitu tapi ga gitu-gitu amat.”

Pak Pos dan Sulaiman Seno sedang duduk di sebuah kedai pempek dan siomay di depan mal besar di Jalan Oslo, nama warung ini adalah Pempek dan Siomay Ulu Bulat. Pempek di sini dikenal enak dan mantap. Kalau soal rasa, hmm… rasanya seperti rasa pempek. Wajar saja kalau rasanya seperti pempek karena mereka memang berjualan pempek, bukan garang asem. Sang penjual sepertinya memang jago bikin pempek. Kalau dia jago bikin mendoan, pasti yang dibuka warung mendoan, bukan warung pempek.

“Setelah kita berpencar, Rogo si Barakuda pergi entah mencari ke mana, aku curiga dia ada kemungkinan nyasar ke karaoke di Babatsari. Bukan buat nyanyi tapi buat… hahaha! Tahu sama tahu lah. Nyanyi tanda kutip. Hahaha. Canda nyanyi.” Pak Pos nyerocos tanpa henti bagai keran air yang dibuka lebar..

Hrrh.” Jagal tidak berminat.

“Itu baru si Barakuda, belum lagi kalau ngomongin soal si gendeng setan alas. Siapa yang tahu dia gentayangan di mana saat ini.”

“Area si Hantu itu di sekitar kawasan Kota Anyar di tengah kota, lalu di kawasan pinggiran Kali Tjedo dan sekitarnya. Dia selalu berada di sana. Sore ini aku juga mau ketemu dengannya, urusan biasa. Sudah dibawa kan barangnya?”

“Sudah. Namaku saja Tukang Pos, sudah pasti akan mengirimkan barang tepat ke tujuan.” Pak Pos memeriksa tas yang ia bawa, mencari-cari sesuatu, dan meletakkan satu kotak berbungkus lakban coklat di atas meja. “Kalau kurang bilang saja, semuanya ada di dalam situ, lengkap dengan syringe-nya. Dia masih rutin menerimanya kan?”

“Harus. Mau tidak mau dia harus menerimanya. Dia tidak akan bisa hidup dengan tenang tanpa obat-obatan ini. Otaknya sudah sangat terganggu dan satu-satunya yang bisa membuat dia setengah waras adalah obat-obatan yang harus selalu kita berikan. Tahu sendiri gawatnya ulah si Hantu kalau kehabisan obat atau lupa meminum penenangnya sehari saja. Bisa-bisa kota akan bermandikan darah.”

Pak Pos mengangguk-angguk, “Kadang aku kasihan sama dia. Beneran kasihan. Kemampuannya hebat, ilmu kanuragannya tinggi dan mengerikan, tapi otaknya bermasalah, slewah, ora nggenah, bubrah. Dia tidak akan pernah menikmati hidupnya secara utuh lagi sebagai manusia normal. Dia menerima ilmu yang meningkatkan ilmu kanuragannya menuju puncak sekaligus mengacaukan otaknya.”

Sang Jagal terdiam. Dia sangat mengenal mendiang guru Hantu. Pria aneh itu hanya menerima satu murid saja seumur hidupnya dan sama sekali tidak dinyana bahwa dia justru menerima sang Hantu sebagai murid tunggalnya. Sang Hantu yang menderita gangguan mental.

Seperti murid seperti guru. Orang aneh mendapatkan murid orang aneh.

“Bagaimana seandainya – kita berandai-andai ya. Bagaimana seandainya suatu hari kelak dia bisa mengingat siapa dirinya yang sebenarnya dan sadar kalau sesungguhnya kamulah orang yang telah mencelakakan bahkan membunuh keluarganya?” Pak Pos tersenyum, seakan-akan dia mengajukan pertanyaan yang sangat cerdas. “Siapkah kamu dengan amarahnya?”

“Itulah fungsi benda ini.” Sulaiman Seno mendengus sembari menarik paket yang tadi diletakkan di meja oleh Pak Pos dan memasukkannya ke tas yang ia bawa. “Obat-obatan ini selain membuatnya waras, juga membuat si bedebah itu lebih tenang dan lebih bisa dikendalikan. Dua sisi koin yang harus kita manfaatkan.”

“Lambat laun dia pasti ingat siapa dia sebenarnya, bro.”

“Mungkin. Kalaupun benar begitu, aku akan berada di sana, di depannya, menghadapinya, dan menerima semua penghakimannya atas diriku. Aku pernah berjanji akan melakukannya. Laki-laki sejati tidak akan mengingkari janji, aku juga akan menghadapi semua tuduhan, dan bertanggung jawab atas semua hal di masa lalunya yang kelam dengan jantan. Aku tidak akan lari ataupun mencari keselamatan dengan cara yang menjijikkan. Oh tidak, aku tidak mau berbuat seperti itu. Kenapa? Karena memang aku yang bersalah. Aku yang menyebabkan semua anggota keluarganya tewas.”

“Kalau Hantu benar-benar sadar dan mengejar pantatmu sampai ke neraka jahanam, maka hal itu pasti akan sangat seru disaksikan. Kita semua akan mendadapatkan pertarungan yang hebat sekali. Aku akan menonton kejadiannya dengan puas sembari makan popcorn. Kekekeke.”

“Dasar psycho.”

“Kapan lagi melihat pantatmu ditendang sama si Hantu. Hahahaha.”

Hrrh…”

“Bagaimana kalau Hantu kita…”

Tiba-tiba saja ada angin mendesir kencang, baik Pak Pos dan Jagal sama-sama bersiaga. Angin kencang itu tidak diakibatkan oleh hal yang natural. Angin itu muncul karena lepasan Ki hebat dari seorang pria yang kini duduk di meja di samping mereka. Tempat itu kecil, sehingga kedua punggawa JXG itu bisa langsung melihat siapa yang datang.

“Berjumpa dengan kalian itu ibarat menggunakan tusuk gigi setelah menemukan sisa makanan. Pengen segera dibuang keluar,” ujar sang pria yang baru datang. Dia tersenyum menyeringai pada sang Jagal dan Pak Pos. “Bagaimana sebaiknya aku membuang kalian berdua? Aku jijik melihat wajah anggota JXG di sini.”

“Syamsul Bahar,” desis Jagal dengan emosi. “Kalau tidak ingin diganggu, ya jangan ganggu.”

Syam berdiri dan mendekat ke arah Jagal. Jagal berdiri dan mendekat ke arah Syam. Keduanya saling tatap dari jarak teramat dekat. Mereka tidak mungkin bertarung di sini… tempat ini cukup kecil dan sempit. Tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin terjadi. Sejarah kelam JXG vs QZK membuktikan bahwa pertarungan kedua kelompok bisa meletus kapan saja dan di mana saja, tidak peduli lokasi.

Njenengan mau mulai sekarang juga? Pasti aku layani.” Syam menyeringai.

Jagal mendengus. “Bersiaplah untuk memahami kenapa kamu dan aku memiliki kasta yang berbeda. Aku dikenal luas oleh para pemimpin kelompok, sedangkan kamu bahkan tidak dikenal oleh anggota paling rendah dalalam hirarki sekalipun.”

“Di kota ini kok bicara kasta? Kasta apa-apaan? Tidak ada kasta!”

“Benar sekali. Tidak ada kasta, tidak ada pertarungan, tidak ada apapun di tempat ini kecuali Pempek dan Siomay.” tiba-tiba saja ada tangan yang merangkul Syam dan Jagal untuk menghentikan konfrontasi mereka. “Kalian berdua cukup makan dengan tenang, nyaman, dan sebaiknya tidak mencari-cari masalah. Ingat bahwa saat ini kalian sedang menginjakkan kaki di wilayah tengah. Aku mungkin sudah tidak lagi menjadi jenderal Dinasti Baru, tapi aku masih bisa mengusir kalian jika berbuat onar. Ada baiknya kita cari jalan perundingan yang damai, dan meminta kalian segera meninggalkan wilayah tengah.”

Syam dan Jagal menengok ke samping berbarengan, ke arah orang yang sedang merangkul mereka dengan sangat kencang.

Mereka berhadapan dengan Amar Barok.

.::..::..::..::.

Blmmmnnn! Blmmmnnn! Blmmmnnn! Blmmmnnn!

Berkali-kali si Bengal memukul, tapi pintu sama sekali tak bergeming.

Nanto mendengus kesal. Entah kenapa dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan Ki dengan leluasa di kamar sekecil ini. Berulangkali si Bengal mengerahkan tenaga untuk bisa membuka pintu, namun jangankan terbuka, beringsut pun tidak.

“Aku tidak bisa membukanya. Siapapun yang merancang ruangan dan pintu ini, sudah pasti dia merancangnya untuk membuat penjara.” Nanto mengelus tangannya yang baru saja memukul satu-satunya pintu yang ada di ruangan tempatnya dan Nada berada kini. Tapi sekuat apapun ia mencoba, pintu itu kokoh tak bergeming.

Nada terdiam dan menatap pintu yang hendak didobrak si Bengal. Gadis itu juga bertanya-tanya, kenapa ada pintu yang sekuat itu di kamar yang seperti ini – dan hanya untuk menahan mereka berdua? Padahal hanya terlihat seperti pintu besi biasa – yang biasa digunakan untuk sel tertutup.

“Aku pasti akan melindungimu,” Nanto menatap Nada dengan serius saat mendapati kekhawatiran di wajah Nada. “Orang-orang itu sepertinya masih akan terus menyekap kita karena urusan mereka belum selesai.”

Nada mengangguk.

Saat itulah tiba-tiba pesawat televisi di atas meja di sudut ruangan menyala tanpa mereka sentuh. Seperti ada yang menyalakannya entah dari mana. Dalam tayangan ada sesosok pria. Layar yang gelap membuat Nanto dan Nada penasaran. Siapa orang itu?

“Salam kenal, Mas Nanto dan Mbak Nada.”

Nanto merengut – ia bersidekap sembari menatap layar dengan serius, mencoba mengetahui logat bicaranya. Siapa orang ini? Pernahkah mereka berjumpa sebelumnya?

Nada berdiri dan maju ke depan pesawat televisi. Pandangannya fokus ke layar monitor. Ada seseorang di sana, duduk dengan jumawa, tapi sama sekali tidak terlihat wajahnya, layar hanya menampilkan potongan gambar dari bagian dada, dan sama sekali tak menampakkan wajah.

Tangan orang itu mengenakan sarung tangan warna hitam dan mengelus-elus satu tongkat kayu akar selasih dengan hiasan yang mengerikan.

Nada berbisik setelah cukup lama mengamati, “Ini live. Orang itu sedang melihat kita sekarang. Barangkali melalui CCTV.”

“Siapa kamu? Kenapa melakukan ini kepada kami?” Nanto menggeram marah. “Perlihatkan wajahmu, pengecut!”

“Hahaha. Namaku tidak penting, aku hanyalah orang biasa yang tidak punya jabatan, jadi rasa-rasanya tidak ada yang terlalu spesial untuk bisa membuat kalian berdua terkaget-kaget. Hahaha. Aku juga tidak punya keahlian, tidak punya harta, aku bahkan terlalu malu untuk memperlihatkan wajahku. Maafkan aku yang pengecut ini.” suara sosok di dalam layar disamarkan oleh mesin pengubah suara, mirip seperti suara robot, “Tapi kalau kalian memaksa, bolehlah memanggilku dengan nama sebutan Ki Juru Martani.”

“Ki Juru Martani.”

“Tepat sekali, cah bagus.” Ki Juru Martani tertawa, “Kita mulai pertemuan hari ini dengan Mas Nanto. Aku ini seorang pemerhati ilmu kanuragan. Aku menyukai dan mempelajari ilmu kanuragan dari manapun. Tapi tahukah kamu, Mas? Semenjak mengetahui ada sosok pemuda luar biasa yang menguasai Kidung Sandhyakala – bahkan sepertinya akan jadi orang pertama yang membongkar Selubung Kidung yang terkenal itu… aku langsung jatuh cinta padamu, aku tahu kita akhirnya harus bertemu. Aku langsung menggerakkan otakku yang sudah karatan ini untuk menempatkan bidak-bidak catur di tempatnya agar aku juga bisa mencicipi sedikit cipratan ilmu yang dahulu terkenal tanpa tanding di muka bumi itu.”

“Apa maksudmu?”

“Kamu tadi bertanya kenapa aku menginginkan kedatanganmu – kenapa Mbak Nada terkena imbasnya, kenapa harus mengumpulkan kalian berdua di sini, kenapa seperti ini kejadiannya. Hehehe. Itu kan pertanyaan-pertanyaan kalian? Aku akan menjawab satu persatu jika waktunya cukup.

“Siapa aku? Aku adalah orang yang menggerakkan bulir-bulir pasir waktu untuk menggerakkan roda jaman supaya Selubung Kidung tak lagi menjadi ilmu kanuragan yang eksklusif, tapi menjadi warisan budaya yang bisa dipelajari oleh semua orang tanpa terkecuali. Dalam hal ini aku sedikit bersilang pendapat dengan anggapan Om Janu yang menghendaki ilmu itu dipelajari oleh orang-orang tertentu saja, sementara aku beranggapan kalau ilmu kanuragan apapun berhak dipelajari oleh setiap orang tak peduli darimana dia berasal.”

“O-Om Janu?”

“Oh ya, kami pernah sekali bertemu. Mungkin dia masih mengenaliku mungkin juga tidak. Sudah lama sekali. Mungkin dalam waktu dekat kami berdua akan bertemu kembali. Oh ya aku memang mengenal Om Janu, Pak Zein, Om BMW, bahkan Joko Gunar sekalipun.” Orang itu tertawa, “Kami semua punya antusiasme yang sama soal ilmu kanuragan, meski berbeda-beda pandangan.”

“Lalu apa maumu? Apa maksud semua ini!?”

“Hehehe, belum waktunya, Cah Bagus. Belum waktunya kamu memahami semua yang terjadi saat ini. Kamu hanya harus menunggu sampai pasir waktu berlalu dan takdir memainkan perannya. Tidak lama lagi, kok. Makanya tidak perlu buru-buru keluar dengan menggedor-gedor pintu. Jangan khawatir. Kalian berdua pasti akan kami bebaskan pada waktunya.” Ki Juru Martani mengelus-elus kepala tongkat kayu-nya. “Terima kasih padamu, semua hal yang aku rencanakan berjalan dengan baik dan tepat waktu. Aku bahkan tidak menyangka semuanya akan berjalan selancar ini. Aku bahkan tidak menyangka RKZ sanggup membuat para petinggi kelompok-kelompok besar di kota menjadi kebakaran jenggot. Hahhahaa.”

“Bangsat! Tunjukkan wajahmu! Pengecut! Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Bebaskan kami berdua sekarang juga!”

“Hahahaha. Pertanyaan bagus! Apa yang sebenarnya aku inginkan? Banyak! Banyak sekali! Aku ingin menyatukan kota ini ke dalam satu kesatuan masyarakat yang utuh, saling menghormati, damai, dan tentram. Aku ingin menyatukan semua kelompok besar yang selama ini saling menjatuhkan, saling tuduh, saling mencari keributan, dan saling serang satu sama lain menjadi satu kesatuan. Aku ingin perpecahan yang terjadi selama ini dilebur menjadi arus jalur kehidupan yang lebih kondusif bagi semua orang. Tidak ada lagi peperangan antar kelompok, tidak ada lagi perebutan wilayah, tidak ada lagi orang yang dikorbankan demi mencapai tujuan. Masyarakat tidak perlu lagi menderita. Bukankah apa yang aku inginkan ini juga diinginkan oleh semua orang?”

“Bajingan. Sebodoh apa sebenarnya kalian ini? Semua urusan di kota sebenarnya sudah tertata dengan tertib kalau saja tidak ada kelompok apapun main-main di jalanan. Kalian tidak ada bedanya dengan kelompok-kelompok besar lain! Kalian hanya ingin menaklukkan seluruh kota dan menjadikan semua kelompok tunduk di bawah kaki kalian!” Nanto membalas dengan geram, “Itu bukan keinginanku dan jelas bukan keinginan semua orang. Itu pandangan busuk dari orang gila yang otaknya perlu di-reset. Setiap orang berhak menentukan apa yang akan dilakukan atau ingin dikerjakan tanpa perlu dikomando oleh siapapun. Apalagi orang itu menghalalkan segala cara busuk semacam kalian! Dasar orang gila.”

Ki Juru Martani tertawa, “Hahahaha, aku paham kalau kamu masih belum memahami apa yang aku inginkan, gambaran besar apa yang sebenarnya bisa kita dapatkan dari masyarakat yang bersatu di bawah satu kesatuan. Kamu baru akan paham setelah melihat gambaran luasnya, setelah melihat gambaran ke depannya. Aku berani mengatur semua bidak-bidak catur itu karena aku telah melihat hal-hal busuk yang membuatku membenci hidupku sendiri yang tidak berbuat apa-apa. Aku berbuat seperti ini setelah aku menyaksikan sendiri keadaan seperti apa di luar sana.”

Nada menyentuh lengan Nanto, dan menariknya mundur. “Jangan dilayani, Mas. Tidak ada gunanya mendebat orang gila yang otaknya sudah terdoktrin dengan pandangan yang ngawur.”

“Tepat sekali, Mbak Nada. Duh cantik sekali putri tersayang dari Pak Zein ini. Jujur saya merasa bersalah dengan menyekap Mbak Nada – apalagi menjelang pernikahan kakak tercinta. Jangan khawatir, saya pastikan Mbak Nada bisa menghadiri pesta pernikahan tersebut. Itu janji saya.” Ki Juru Martani tertawa lagi, tersengal-sengal bahkan sampai batuk. “Maaf, kesehatan saya memang sedang kurang. Hahaha. Mbak Nada ini tidak menyadari apa yang berlaku pada dirimu akan menjadi trigger dari peristiwa-peristiwa mendatang.

“Omong-omong soal peristiwa mendatang, kita kembali ke masa lalu terlebih dahulu. Kita memang tidak bisa memilih dilahirkan di mana dan oleh siapa. Nah, Mbak Nada kebetulan sekali dilahirkan oleh dua orang yang powerful. Satu pakar ilmu kanuragan, satu lagi ahli bisnis. Intinya… Mbak Nada ini adalah harapan saya agar kota ini benar-benar bisa menjadi satu keluarga besar. Mungkin sekarang hanya terlihat seperti omongan ngelantur yang ngalor ngidul, tapi kita bertiga akan melihatnya seiring perjalanan waktu ke depan. Percayalah, Mbak. Pengorbanan Mbak Nada sekarang akan menghadirkan perdamaian.”

“Perdamaian?” Nada geram. Ia berlindung di balik tubuh tegap Nanto. “Perdamaian macam apa yang bisa diciptakan oleh otak busuk seperti diri anda, wahai bapak-bapak yang pengecut? Dari percakapan ini saja sudah ketahuan kalau bapak takut akan kami kenali. Bapak takut kalau kami bisa membalas perbuatan Bapak ke kami dengan lebih kejam lagi.”

“Hahhaaha… siapa bilang aku takut? Aku hanya…”

Nada mendengus, “Aku belum selesai bicara! Jangan dipotong! Aku mungkin lemah dan tak berdaya, tapi aku tidak akan pernah percaya pada ucapan dari seorang busuk yang menculik, menyekap, bahkan mengatur tindakan-tindakan taktis yang membuat Mas Nanto memperkosaku! Dasar bajingan busuk! Itu sama sekali bukan jalan untuk mendapatkan perdamaian bagi semua orang, itu jalan untuk mencapai apapun yang diinginkan seseorang dengan otak busuk! Tidak ada perdamaian diraih dengan jalan seperti ini! Tidak ada!”

Ki Juru Martani tertawa, “Hahahaha. Seperti bapak seperti anak. Mbak Nada ini memang benar-benar buas. Tidak salah menjodohkan Mbak Nada dengan Mas Nanto. Hahahaha. Baiklah. Mari kita buat hari ini menjadi lebih menarik lagi, mari kita naikkan kecepatan kendaraan kita supaya lebih cepat sampai tujuan, meningkatkan gear satu ke gear dua. Shall we?

Tayangan di layar berubah.

Kali ini menampilkan pemandangan sebuah lokasi.

“I-itu kan…” Nada terkesiap. Tayangan itu menampilkan Lady yang tengah menerima sebuah paket dari seorang pengantar barang di depan The Donut’s Pub. Suasana cafe sedang sepi. “La… Lady…”

Nanto terbelalak. Rencana busuk apa yang sedang dipikirkan oleh…

Tayangan itu seperti senyap untuk beberapa saat. Tidak ada kegiatan apa-apa, tidak ada suara, tidak ada yang aneh.

Tangan Nada mencengkeram lengan Nanto. “Mas… perasaanku tidak enak.”

Nanto menepuk jari jemari Nada dan menangkupnya. Dia tidak bisa menjawab kalimat dari Nada karena dia sendiri juga merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang tidak beres yang…

Tak lama kemudian cafe itu meledak.

.::..::..::..::.

Lek Suman duduk di depan kolam ikan dan kolam lele milik Joko Gunar yang membuatnya merasa tenang hari ini. Semua urusan, semua masalah, rasa-rasanya bisa terselesaikan hanya dengan mendengarkan kecipak air yang dimainkan oleh para penghuni kolam.

Tempat ini pernah menjadi ajang pertarungan antara Joko Gunar dan keempat anak panah dari JXG, namun sudah diperbaiki kembali sehingga tanggul-tanggul yang sebelumnya sempat roboh kini dapat menyekat kembali ruang-ruang antar kolam.

Hari ini Lek Suman dipercaya oleh Joko Gunar untuk menjaga dan mengawasi kolam milik sang pimpinan PSG. Bersantai sembari memandang langit yang cerah, Lek Suman kembali memutar otaknya.

KSN sudah hancur, Darsono tewas di tangan Hantu di depan mata kepalanya sendiri. Itu sudah ada dua alasan untuk melawan JXG dan Aliansi. Tapi kenapa PSG diam saja? Orang-orang PSG seharusnya berhak membalaskan dendam KSN ke JXG, namun Joko Gunar memilih untuk tidak melakukannya. Entah karena alasan apa. Yang bikin jengkel adalah bukannya balas dendam ke JXG, Joko Gunar malah sibuk memburu seorang cewek yang diincar-incar sejak lama dan melupakan semua urusan. What the…!? Bedebah gemuk satu itu tidak pantas menjadi pimpinan PSG! Seharusnya Lek Suman yang sudah paham urusan politik yang menjadi pimpinan! Bukan preman seperti dia!

Lek Suman mengetukkan jari jemarinya, dia harus mencari cara untuk melengserkan Joko Gunar. Dia harus mengatur siasat untuk membuat para anggota PSG memberontak dan memilih pria sejati yang tidak hanya memikirkan selangkangan wanita untuk menjadi pimpinan.

Lek Suman geleng kepala kalau ingat Joko Gunar.

Seharusnya Darsono dibalaskan kematiannya. Seharusnya. Sungguh kenyataan yang terjadi sekarang membuat Lek Suman teramat geram. Bukan hanya tidak dapat membalaskan dendam Darsono, Joko Gunar bahkan tidak berbuat secara nyata untuk membalas serangan empat anak panah yang menyerangnya di tempat ini tempo hari.

Pengecut!

Lek Suman akan…

“Melamun terus bisa membuatmu cepat modar, Paman. Sebaiknya hadapi kenyataan saja.”

Satu suara mengagetkan Lek Suman yang segera tersadar dari lamunannya. “Siapa itu!?”

Dua orang pemuda muncul di hadapan sang pria yang dijuluki Sengkuni. Yang satu kecil dan petakilan, yang satu lagi besar dan gagah perkasa lagi murah senyum. Pasangan yang cukup unik.

“Lama tak berjumpa ya, Paman. Apakah masih ingat dengan kami? Saya Jay – dan ini Brom. Kami dari RKZ.” Jay tersenyum lebar. Lek Suman menatap kedatangan kedua orang itu dengan gelisah. “Jangan khawatir, tidak perlu ada sambutan khusus. Kedatangan kami hanya untuk menanyakan kabar dan menawarkan sesuatu. Kami menawarkan kerjasama yang sangat menggiurkan untuk Lek Suman.”

Tidak mungkin kedua orang utusan RKZ ini datang kepadanya hanya untuk urusan yang biasa-biasa saja. Mereka pasti punya urusan yang lebih penting.

“Kalian mau apa datang kemari?” sengit Lek Suman bertanya pada sang pemuda yang cengengesan. Dengan susah payah orang tua itu mencoba berdiri dengan bantuan tongkatnya. Dia menggemeretakkan gigi. “Aku sedang tidak mood untuk bertemu dengan dua orang cecunguk dari kasta rendah. Ngaleho seko kene! Pergi dari sini!”

“Ayolah, Lek. Didengarkan dulu apa yang hendak kami sampaikan ini. Siapa tahu Lek Suman lantas tertarik. Percayalah kalau kami tidak menawarkan asuransi, tidak menawarkan jual beli follower, apalagi menawarkan skincare pemutih,” ujar Jay sembari bercanda – sayangnya Lek Suman sama sekali tak tertawa. Dia bahkan menatap Jay dan Brom dengan pandangan galak.

“Aku tidak akan pernah mempercayai RKZ! Tidak akan pernah!” Lek Suman menanggapi dengan buas. “Apa kalian tidak ingat bagaimana kalian datang ke Ndalem Banjarjunut dan merekrut anggota KSN dengan seenak wudel sendiri? Kurang ajar sekali. Baru masuk ke kota tapi sudah menantang kami! Aku tidak sudi ngobrol dengan kalian! Pergi dari sini!”

Jay menatap ke arah Brom dan mengangkat bahunya, “dia bahkan tak mau mendengarkan kita.”

“Wah wah.” Brom tersenyum, “padahal ada hadiahnya lho. Kita datang tidak dengan tangan kosong. Kita juga memberikan giveaway yang menarik.”

Lek Suman mendengus, dia membalikkan badan, dan berjalan ke arah gubuk dengan langkah-langkah tertatih.

“Kami diutus langsung oleh Bambang Jenggo untuk memberikan kabar yang sangat menarik, sebuah kerjasama jangka panjang yang jika Paman bersedia mendengarkan maka kami yakin Paman pasti akan mempertimbangkannya.”

“Dengar… aku tidak akan pernah…”

“Apakah mereka berdua ini mengganggu, Lek?” seorang pria keluar dari dalam gubuk diikuti oleh dua orang lain. “Aku sejak tadi memperhatikan dari dalam. Mereka berdua pasti berpikir kalau Lek Suman hanya sendirian saja di sini. Mereka tidak tahu kalau ada kami bertiga di sini.”

Jay dan Brom pun mundur teratur, mereka sama sekali tidak mengira kalau di dalam gubuk ada tiga orang yang memandang mereka dengan tatapan mengerikan.

Lek Suman tersenyum, “mereka ini hanya kasta receh saja, tidak usah dipedulikan. Ayo kita masuk. Biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka mau. Kita tidak perlu memperhatikan orang-orang dari kasta rendah.”

Pria yang baru keluar dari gubuk adalah seorang preman bertubuh tinggi tegap berkulit coklat gosong dengan celana panjang coklat muda yang memiliki banyak kantong, kaos kutung belang-belang hijau, kalung besi, tangan teramat berotot, badan langganan gym dengan muscle di sana sini, serta ada tatto rifle M13 memanjang di lengannya. Rambutnya yang cepak militer ditutup topi hijau yang dibalik. Ia berdandan ala militer, entah karena ia berhubungan dengan militer, hobi cosplay militer, atau sangat menggemari game CounterStrike.

“Arhan Gunadi. Salah satu jendral PSG.” Jay tersenyum saat mengenali sosok yang paling depan. “Sang dewa tangan besi Argun, orang yang sejatinya hendak dijadikan pimpinan KSN sebelum kelompoknya keburu modar dihancurleburkan Aliansi. Ada orang hebat dari PSG di sini rupanya. Salam kenal Om Argun. Saya Jay dan ini Brom.”

Di belakang Argun berdiri dua sosok yang tertatih, mereka sedang dalam pengobatan karena masih mengenakan perban dan tubuhnya penuh luka. Dua orang itu terdiri dari satu orang bertubuh semampai dan mengenakan kacamata trendi – wajahnya cukup tampan meski penuh luka. Yang satu lagi mengenakan kruk dan berjalan dengan tertatih, tubuhnya besar dan badannya kekar – hampir setara dengan Brom, bahkan mungkin lebih besar.

“Nah kalau yang dua di belakangnya kita tentu sudah kenal ya, Brom. Kita sudah pernah bertemu dulu. Kekekekeke…” Jay tiba-tiba tertawa saat menyadari siapa kedua sosok itu. “Oppa dan Amon. Kalian sehat-sehat saja rupanya? Hahahaah.”

Oppa mendesis, “kita punya dendam yang harus dibereskan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan urusan KSN, PSG, RKZ, atau apapun. RKZ telah membuat kami berdua cacat seperti ini. Kami tidak akan pernah mengampuni satu orang pun anggota RKZ! Mati hukumnya!”

Jay dan Brom tertawa. Mengancam? Oppa mengancam? Bentuknya saja tidak karuan kok berani-beraninya mengancam!?

“Jangan bikin kami berdua tertawa toh, kalian berdua sudah babak belur seperti itu. Lebih baik istirahat saja dan pensiun dari dunia seperti ini.” Jay masih terus cengengesan dengan geli, “Kami datang dengan damai, tapi kalian semua memaksa, ya jangan salahkan kami kalau terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.”

“Bedebah busuk! Kubunuh kau!!” Oppa sudah sangat geram jika teringat perlakuan Jay dan anak buah RKZ lain pada dirinya dan Amon.

Jay tersenyum, “Kami tidak ingin membunuh orang cacat. Tapi ya sudah kalau kalian memaksa. Majulah. Mungkin memang sudah saatnya kalian berakhir.”

Brom tertawa, “majulah.”

Tiba-tiba saja ada hembusan angin kencang disertai satu suara membahana.

“Sepertinya ramai sekali di sini. Bolehkah kami sekedar ikut menonton? Kami berjanji untuk tidak ikut campur. Hanya kebetulan kami juga ada urusan sedikit dengan Lek Suman – jadi kami hanya akan meminta pendapat beliau tentang satu instruksi dari JXG,”

Suara itu datang dari balik pepohonan rindang menghijau. Dua sosok pemuda keluar dari sana. Mereka selama ini hanya sering memperhatikan pertarungan dari kejauhan. Entah apa yang membuat keduanya lantas menampakkan wajah mereka di tengah orang-orang yang sedang saling menghadang. Kehadiran mereka mungkin aneh bagi yang tidak mengenali. Tapi bagi Oppa dan Amon, kedua wajah itu sudah sangat mereka kenal dengan baik. Dulu mereka berasal dari akar yang sama… mereka bahkan saat ini kuliah di kampus yang sama. Kampus Amora Lamat yang melahirkan orang-orang hebat.

“Ka-kalian berdua…” Oppa terbelalak menatap wajah kedua mantan rekan satu kelompoknya.

Oppa dan Amon sedang menatap Kori dan Rikson.

.::..::..::..::.

“BAJINGAAAAAAAAAAAAAAAAN!”

Meja sudah hancur terkena hantaman si Bengal. Gelas pecah berserakan dan air tumpah di mana-mana. Pemuda itu mengamuk.

Nanto berteriak kencang – wajahnya merah padam karena teramat marah. Urat-urat di kening menonjol keluar. Dia tidak percaya sama sekali apa yang telah terjadi. The Donut’s Pub, tempatnya bekerja selama ini… telah hancur… dan Lady… Lady… dia sudah… mereka telah…

“Laaaaady! Tidaaaaaaaaak!! Jangaaaaaaaaan!! Laaaaaaaady!! Tidaaaaaaaaaaakkk!!!”

Di belakang si Bengal, Nada yang juga melihat tayangan itu berteriak-teriak histeris sembari menyebut berulang-ulang nama Lady. Dia menangis sejadi-jadinya dan memukul-mukul bantal dengan kesal. Dia merasa bersalah sekaligus marah.

Gara-gara mereka… bukan. Gara-gara orang itu, Lady menjadi korban.

Mereka berdua shock sekaligus marah luar biasa.

Melihat itu, buru-buru Nanto memeluk dan menenangkan Nada yang histeris. Pukulan demi pukulan berat menghancurkan mental gadis itu. Pertama dia diculik tanpa tahu apa-apa, lalu disekap, lalu diperkosa, dan sekarang disuruh menyaksikan teman karibnya dieksekusi di depan matanya sendiri. Sungguh kejam sekali pria biadab pengecut ini!

Si Bengal membiarkan saja ketika Nada menumpahkan semua kekesalan dengan memukuli dadanya. Sembari memeluk Nada, Nanto mendesis dan menatap tajam layar monitor – meski sebenarnya mereka justru terlihat dari CCTV, bukan dari monitor.

“Aku bersumpah… demi Lady. Kalian akan membayar semua ini, kalian akan menerima akibatnya. Aku akan memastikan kalau aku akan membasmi kalian sampai ke akar-akarnya. Dari bawah sampai puncak, dari keroco kelas teri sampai pimpinan tertinggi! Akan kubasmi semuanya!” Napas si Bengal naik turun karena emosinya tak lagi terkontrol. “AKU BERSUMPAAAAH!!”

Hh.” Ki Juru Martani hanya mendengus, ia kembali muncul di layar. “Jer basuki mawa beya, cah bagus. Demi kehidupan yang lebih baik untuk semua orang maka dibutuhkan pengorbanan. Necessary victim yang harus dikorbankan untuk greater good – demi tercapainya tujuan. Gadis itu menjadi korban dan kalau dilihat dari sisi yang tidak tahu memang sungguh tragis sekali nasibnya, mati karena hal yang dia sendiri tidak tahu. Tapi dia dikorbankan demi mencapai tujuan yang lebih besar, demi kalian. Jadi jangan sia-siakan kematiannya. Puja kehidupannya dan jadikan terang bagi kalian berdua. Kematiannya tidak akan sia-sia karena membawa kebaikan bagi semua orang.”

“Kebaikan untuk semua…? Bajingan. Otak orang ini memang sudah…” Nanto menggelengkan kepala. Ia melirik ke arah Nada yang terus menerus menangis dan membantu gadis itu menghapus garis air mata yang deras membasahi pipi dengan punggung tangannya. Nanto menatap kembali ke layar monitor, “Aku tidak mengerti apa yang kamu omongkan sejak tadi, kamu nggambleh macam apa juga aku tidak paham – aku tidak peduli dan aku tidak percaya. Tidak akan ada kebaikan yang muncul dari tindakan pengecut yang mengatur kejahatan demi kejahatan. Kamu telah membunuh orang yang tak berdosa dan aku bersumpah akan mengejarmu bahkan sampai ke neraka sekalipun! Akan aku cari kemanapun kamu bersembunyi dan…”

Braaaakgh!

Pintu tiba-tiba saja dibuka. Nanto yang terkejut tidak sempat bergerak dengan cepat karena tiba-tiba saja ia sudah dipukul berulang dengan tongkat baseball oleh beberapa orang sehingga jatuh terduduk. Pukulan itu tidak terhenti sekalipun Nada sudah menjerit-jerit memohon agar mereka berhenti.

Sementara Nanto dihujani pukulan, Nada ditarik pergi oleh beberapa orang sekaligus.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Nanto meronta dan mencoba melawan, tapi tanpa perlu melakukan itu, tiba-tiba saja rombongan penyerangnya sudah mundur. Menyisakan tiga orang saja di dalam ruangan. Satu orang sudah dikenal oleh si Bengal – si kulit legam, TKO Johnson.

“Kamu…!”

Ketika bersiap merapal Kidung Sandhyakala setelah melihat TKO – barulah si Bengal tersadar kalau tangan dan kakinya sudah terikat borgol dan rantai besi. Sejak kapan dia diikat begini? Rantai itu terkait ke dinding bagian belakang di dekat televisi, sejak kapan ada rantai di sini? Jadi sejak awal ruangan ini memang sudah disiapkan menjadi ruang tahanan dengan rantai tersembunyi dan pintu yang tidak bisa didobrak. Bajingan-bajingan ini sudah matang persiapannya!

Nanto mencoba meronta tapi rantai besi itu telampau kuat.

“Bangsat! Apa-apaan ini?”

Bkkgh! Bkkgh!

Pukulan TKO Johnson melesak masuk ke wajah Nanto tanpa penghalang apapun. Si Bengal yang tidak menduga akan diserang jatuh terduduk. Sengatan kepalan sang pria bongsor lumayan terasa, membuat tulang wajahnya linu.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Berulang kali pukulan dari TKO menghunjam ke wajah si Bengal, membuatnya berulang kali jatuh terduduk, berdiri, lalu terjatuh lagi.

Batin si Bengal bergejolak.

Kenapa gerbang pertama tidak terbuka dan memberi peringatan apapun? Kenapa dia jadi selemah ini? Kenapa semudah itu si bangsat ini menundukkannya? Apakah… apakah dia diracun?

Banyak sekali dugaan, banyak sekali perkiraan, tapi sekarang bukan saatnya menduga-duga. Sekarang saatnya menyelesaikan masalah yang ada di depan matanya ini. Masalah yang tinggi tegap hitam legam dan mengancam.

“Enak? Aku cepat gerak. Pukul pukul anjing paling suka.” Ledek Sang Legam sambil menyeringai dan memperlihatkan deretan gigi putihnya. Pria kulit hitam itu mencekik leher Nanto. “Nobody…! Nobody messes around with TKO! Do you understand thatDo you understand I just kicked your ass?

Mbuh kowe ngomong opo, su! Wedus! Tae kocheng.”

TKO mengayunkan tangan pada beberapa anggota RKZ. “Rantai kencang.”

Nanto tertarik ke belakang.

Tubuh si Bengal benar-benar terkunci di dinding tanpa bisa bergerak menempel ke tembok. Ia mencoba meronta, namun usahanya selalu gagal, rantai besi itu mengikat dan saling terkait. Hebatnya lagi, rantai itu dapat ditarik dari posisi tertentu untuk menentukan kencang longgarnya posisi orang yang dirantai. Mereka benar-benar sudah menyiapkan ini semua dengan matang – bagaimana mungkin dia tidak menyadari keberadaan rantai ini tadi?

TKO Johnson tersenyum saat mendekati Nanto. “Anjing dirantai. Anjing dipukul.”

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Entah berapa kali pukulan pria bertubuh besar itu melesak masuk ke wajah si Bengal yang tak bisa melawan. Wajahnya memerah dan membiru, darah mengucur dari pelipis dan bibir yang bocor. Wajahnya sudah tak karuan. Nada menjerit-jerit saat melihat Nanto diperlakukan seperti itu.

“Hentikaaaan! Jangan sakiti diaaaa! Jangaaaaan! Hentikan!!”

TKO melirik ke belakang, ke arah Nada. Lalu memandang kembali ke arah Nanto sembari menjilat bibirnya sendiri. Si legam tersenyum menyeringai.

Nanto membelalakkan mata. “Tidak! Tidak! TIDAAAAAK!! JANGAN BERANI-BERANINYA KAMUUU!!”

Orang-orang RKZ yang memegang Nada tertawa. Mereka segera memposisikan gadis itu di atas ranjang, baju yang awalnya melindungi dirobek-robek dengan paksa. Nada menjerit-jerit histeris. Keadaan menjadi kacau dengan cepat. Nada dan Nanto panik luar biasa.

TKO berjalan dengan pelan ke arah sang dara jelita yang dipegang erat oleh dua kawannya.

Ia maju ke depan sambil terus menerus melirik ke arah Nanto. TKO mengedipkan matanya.

“Bajingaaaaan!! Wedhuuuuuuuuuuuuussss!! Jangan berani-berani!! Aku akan membunuhmu! Aku pasti akan membunuhmu!! AKU AKAN MEMBUNUHMUUUUUUU!!”

TKO tertawa. Kedua kawannya merentangkan kaki Nada yang hanya mengenakan celana dalam sehingga bagian kewanitaannya tepat berada di depan TKO. Tangan legam sang pria tinggi besar itu bergerak maju dan mulai meraba-raba bibir kewanitaan sang dara yang masih tersembunyi di balik celana dalamnya.

TKO tersenyum dan menjilat jemari yang baru saja ia gunakan untuk meraba-raba selangkangan Nada. Ia melirik pada si Bengal. “Manis.”

Nada menjerit-jerit histeris. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia terus saja meronta tanpa hasil.

Nanto berteriak-teriak kesetanan.

Sampai akhirnya televisi menyala kembali. Ki Juru Martani kembali muncul sembari tertawa terbahak-bahak. Ia meledek Nanto dan Nada, “tadi jumawa sekarang histeris. Hahahaha. Sudah aku bilang, aku sudah menyiapkan ini semua dengan matang. Tidak ada yang akan selamat dari rengkuhan takdir jika memang sudah digariskan. Mas Nanto dan Mbak Nada hanyalah bidak-bidak catur yang sedang menjalankan tugas masing-masing, jadi dinikmati saja.”

“Bajingan!! BAJINGAAAAAAAN!” Nanto mengamuk tanpa hasil.

“Atau… kalian mau barter? Aku masih baik hati mengingat hubungan kalian dengan para petinggi kelompok besar – Mas Nanto sebagai Ketua Aliansi dengan Om Janu dan Mbak Nada dengan Pak Zein. Aku menghormati mereka. Aku juga masih memandang kalian sebagai anak muda yang berbakat dan seharusnya diberikan kesempatan untuk berbakti demi perdamaian di kota kita. Coba? Kurang baik apalagi aku ini? Sejak tadi kalian mentertawakan visi-ku. Kita lihat kalian sebenarnya bisa apa di hadapan RKZ.”

Nanto tersengal-sengal. Dia merasa lemah dan tak berdaya. Keringatnya menetes deras. Mau apa lagi si bajingan ini? Barter apa maksudnya?

“TKO.” Perintah Ki Juru Martani.

TKO Johnson mengangguk, dia melangkah ke arah lemari di samping pesawat televisi, lalu mengeluarkan sebuah device. TKO meletakkan alat itu di depan Nanto.

“Ini adalah voice recorder. Perekam suara,” ucap Ki Juru Martani. “Aku ingin kita bekerja sama, Mas Nanto. Demi keselamatan Mbak Nada dan kota kita tercinta. Aku ingin kita bekerja sama untuk saling melengkapi kemampuan. Aku ingin Mas Nanto menjelaskan cara menguasai Kidung Sandhyakala secara lengkap melalui perekam suara ini, termasuk cara menguasai Selubung Kidung.”

Nanto tertegun.

A-apa!?

Jadi bajingan ini mau…? Nanto menatap ke arah Nada yang juga menatapnya balik. Jadi semua ini untuk Kidung Sandhyakala? Bedebah ini melakukan ini semua demi Kidung Sandhyakala?

“Mas Nanto tentu tahu kalau TKO sudah naksir Mbak Nada sejak pertama kali berjumpa. Dia sudah tidak tahan untuk bercinta dengan Mbak Nada. Dia cemburu berat saat tahu Mas Nanto menjadi pria pertama yang bersetubuh dengan Mbak Nada. Dia marah sekali, dia mengamuk. Itu sebabnya kali ini dia sudah tidak sabar lagi untuk menyetubuhi Mbak Nada dengan penuh cinta.” Ki Juru Martani terkekeh-kekeh, “Mas Nanto menjadi orang pertama yang bercinta dan merenggut keperawanan Mbak Nada. Tapi TKO akan menjadi orang yang menghamilinya. Bukankah ini fair sekali ya? Adil bukan?”

TKO maju kembali ke arah Nada dan menjilat bibirnya. Saatnya bersenang-senang. Nada menggelengkan kepala dan memejamkan mata.

“Bajingaaaaaaaaaaaaaann! Apa yang kalian lakukan?” Nanto kesetanan dan mencoba meronta.

“PILIH!” bentak suara di layar monitor. “CEPATLAH PILIH! Serahkan semua aturan menguasai Kidung Sandhyakala… atau keselamatan Nada!”

“HAAAAAAAARRRRRGH!”

Nanto meronta-ronta tapi tak bisa melepaskan ikatan dari borgol yang mengungkungnya. Ia menatap tajam ke arah TKO Johnson yang sudah duduk di atas Nada sambil meringis menjijikkan. Gadis itu dipegang oleh tiga orang sekaligus dengan posisi terlentang di pembaringan. TKO mulai melucuti celana dalam Nada.

Si Bengal benci sekali tak berdaya seperti ini. Ia benci sekali tak bisa menyelamatkan Nada. Sekali lagi ia menatap ke layar monitor.

Wajah orang di monitor itu memang tak nampak, hanya ada tangan yang tengah memutar-mutar tongkat akar kayu selasih. Nanto lalu menatap TKO Johnson, lantas ke Nada yang menangis tanpa henti.

“Baiklah! Baiklah! Akan aku tulis semuanya! Tapi bebaskan dia! Dia tak bersalah!!”

Sang pria misterius berjuluk Ki Juru Martani itu tertawa terbahak-bahak. Ia mengetuk layar monitor yang tak lama kemudian dimatikan.

Ketukan itu ibarat perintah.

Rantai besi pengikat borgol Nanto diloloskan sedikit, mengijinkan si Bengal untuk duduk di depan dinding, sehingga ia bisa meraih voice recorder yang sudah disiapkan untuknya. Berjarak tak jauh dari Nanto, Nada juga mulai dilepaskan dari sekapan ketiga orang yang sejak tadi memegang dan meraba-raba tubuhnya. Paling tidak Nanto bisa mengurangi siksaan pada sang gadis, meski saat ini Nada hanya mengenakan pakaian dalam saja, setidaknya kondisinya masih belum bugil total.

TKO dan kedua kawannya segera meninggalkan ruangan, memberi kesempatan pada Nanto untuk merekam apa yang dibutuhkan Ki Juru Martani. TKO mendengus kesal, lagi-lagi ia gagal mencicipi Nada.

Nada duduk di pembaringan dan mengambil selimut untuk menutupi ketelanjangannya. “Mas…” lirih Nada memanggil si Bengal – mau minta tolong tapi tidak tahu harus apa. “Aku tidak apa-apa… tidak perlu… jangan menyerah pada mereka, Mas. Rencana mereka busuk, kita tidak akan… aku tidak apa-apa kok… jangan khawatirkan aku… Kalau Mas menyerahkan ilmu kanuragan yang Mas Nanto kuasai, mereka pasti akan tetap menghabisi kita.”

“Beristirahatlah. Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” suara Nanto terdengar berat. “tadi aku sudah janji akan melindungimu. Jadi itu yang akan aku lakukan.”

“Tapi, Mas…”

Si Bengal mengangguk, mencoba menenangkan Nada dari jauh. Ia geram karena harus mulai membuka rahasia yang ia dapatkan dengan susah payah sebegini mudahnya. Ia masih tidak mengerti bagaimana bisa Ki Juru Martani paham benar mengenai Kidung Sandhyakala dan tahu ia sudah berhasil membuka Selubung Kidung. Bahkan Om Janu sekalipun masih belum tahu kalau Nanto sudah mulai belajar Selubung Kidung – dia hanya tahu soal segel yang terbuka.

Ya, ia memang sudah tahu keseluruhan Kidung Sandhyakala meski belum semua ia kuasai benar-benar. Butuh waktu untuk bisa menyempurnakannya.

Siapa orang itu sebenarnya? Siapa Ki Juru Martani?

Tidak masalah jika orang lain tahu ilmu itu atau berhasil mendapatkan ilmu itu dengan cara apapun. Yang penting adalah bagaimana kamu menggunakannya. Camkan ini baik-baik.

Pesan dari Eyang Bara tadi! Jadi itu maksudnya! Pesan sang Eyang sebaiknya ia jadikan pedoman. Sekali lagi Nanto menatap ke arah Nada. Gadis itu menatapnya balik dengan tatapan yang berbeda. Ada garis air mata menetes di pipi. Gadis itu menyadari pengorbanan Nanto. Tentu saja si Bengal harus melakukan ini, tidak mungkin Nanto membiarkan saja Nada kenapa-kenapa.

Si Bengal menatap Nada kembali, saatnya merekam. Nanto mengernyitkan dahi.

Kenapa Nada?

Tiba-tiba saja gadis itu menatapnya dengan pandangan tajam, lantas melirik ke kanan, lalu melirik ke kiri, ke kanan lagi lalu ke kiri. Kenapa dia terus menerus…

Oh!

Barulah Nanto paham apa yang dimaksud Nada. Gadis itu memberinya kode. Dia ingin Nanto menulis langkah-langkah penguasaan Selubung Kidung dengan cara terbalik! Apa yang seharusnya A ditulis B dan apa yang seharusnya B dibalik ke A. Toh tidak ada yang pernah tahu apa yang ada dibalik Selubung Kidung bukan? Nada menggunakan kode karena tidak ingin CCTV mengetahuinya dari jarak jauh. Gadis cerdas!

Ini langkah yang berbahaya, tapi patut dicoba. Nanto mengangguk.

Okelah kalau begitu, dia paham.

Terima kasih, Nada.

Bersambung

Ngewe dengan pasien sendiri
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
spg penjual susu
Perjalanan kisah sexs ku dengan SPG penjual susu
Cantik montok Masturbasi
Emang Paling Nikmat Masturbasi Sambil Mandi
pembantu hot
Meremas Dan Merangsang Pembantu Sange Bagian Dua
Diajarin Ngewe Sama Bibi Ahirnya Ketagihan
Mahasiswi montok toket gede montok dan bulat
Pembantu hot
Menikmati pantat montok pembantu ibuku yang manis
Kamu Dia Dan Mereka Sesion Pertama
anak pembantu sange
Anak Pembantu Ku Yang Penurut
istri binal
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT Bagian Dua
Foto telanjang anak SMP cantik bisyar
sex Sedarah dengan mama
Keperjakaanku Di Ambil Mama Ku Sendiri
ngentot teman
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 2
ngentot dengan pakdhe
Cerita ngentot saat berteduh dengan pak dhe
di pijat sex
Ngocok penis gede adik sepupu ku yang terangsang setelah memijit tubuhku