Part #17 : BERAI

Semua hal punya retak.
Begitulah caranya cahaya masuk.
– Leonard Cohen

Amar menaikkan rolling door bengkelnya. Meski matahari sudah tinggi, tapi ruangan di dalam bengkel justru terasa gelap. Ia melangkah ke samping pintu dan mencari-cari saklar lampu. Ketika akhirnya ia temukan, lampu redup pun menyala.

Motor-motor yang sudah ia benahi tidak lagi berada di dalam dan sudah dikembalikan ke pemiliknya. Sang pria gagah itu melemparkan kunci pintu ke meja kayunya. Ia melirik ke arah kalender, mengambil spidol snowgirl warna merah dan melingkari tanggal hari ini.

Dimulai dari hari ini, semuanya kan berbeda.

Bisiknya dalam hati.

Benak pria gagah berjuluk Panglima Singa Emas itu melayang ke pertarungan yang ia jalani dengan sang adik. Jurus-jurus yang diperagakan oleh Deka membuatnya berpikir keras. Dari mana sang adik bisa menguasai jurus yang menyeramkan itu? Untung saja Deka sepertinya masih sebagai pemula, sehingga kemampuannya masih belum seberapa. Dia tidak bisa membayangkan beberapa tahun lagi ketika Deka benar-benar sudah menguasai secara total jurus itu.

Ilmu kanuragan itu jelas tidak diajarkan oleh Pakdhe Wid. Amar tahu persis jurus yang diajarkan oleh Pakdhe mereka adalah jurus pertahanan Perisai Genta Emas dan jurus serangan Pukulan Penggetar Jantung. Keduanya juga ia kuasai meski ia memilih ilmu kanuragan Singa Emas sebagai jurus penyerang.

Tapi ilmu kanuragan yang dikuasai Deka tadi… dari mana ia mempelajarinya?

Dia sungguh penasaran.

Setahu Amar hanya ada beberapa orang saja yang menguasai jurus yang dipraktikkan Deka dan orang-orang itu adalah orang yang sebaiknya dijauhi karena mereka bukan orang baik-baik. Amar boleh saja bergaul dengan bajingan dan gentho, tapi dia tidak ingin Deka juga melakukan hal yang sama. Dia ingin hanya hal-hal yang terbaik untuk sang adik – supaya ia tidak berjalan di jalur yang sama dengannya.

Amar memegang ujung meja.

Dia tidak ingin Deka seperti dirinya, menjual kesetiaan pada kelompok yang mengancam. Pria gagah itu memejamkan mata. Dia menggemeretakkan gigi dengan kesal.

Dia terpaksa.

Terdengar siulan dari belakang punggungnya. “Luar biasa. Tidak kusangka ternyata kamu benar-benar melakukan apa yang kami minta.” Suara tawa membahana, seperti mentertawakan sekaligus menghina Amar Barok. “Seperti yang sudah kami perkirakan, kamu pasti akan bergabung dengan kami. Sebenarnya tidak perlu keributan seperti tempo hari untuk berdiri bersama kami, kan?”

Amar tidak perlu menengok ke belakang untuk tahu siapa yang datang.

“Aku melakukan apa yang harus aku lakukan – bukan karena apa yang kalian minta. Aku tidak akan pernah mau menyakiti adikku sendiri jadi tidak mungkin aku bertarung dengan seratus persen kekuatanku yang sesungguhnya.”

Orang di belakang Amar Barok terkekeh. Penampakannya yang tidak sedap dipandang mata makin tak karuan kala ia masuk ke bengkel Amar yang cahayanya redup. Di luar bengkel, seorang pria bertubuh besar berjaga-jaga dengan sigap.

“Jaga di depan, Brom.”

Sang raksasa mengangguk.

Jay melangkah dengan berani ke depan Amar, menarik kursi yang ada di belakang meja di samping Amar, dan duduk dengan santai sembari mengangkat kaki ke atas meja. “Bagaimana tadi? Seru?”

Amar mendengus. “Sudah aku bilang kan? Aku akan melakukan apa yang kalian minta. Aku gabung.”

“Hahahahaha. Bagus! Baguuuuus! Aku bilang juga apa…!? Lambat laun kamu pasti akan bergabung dengan kami. Itu hanya masalah waktu saja.” Jay tertawa, ia memainkan spidol merah yang tadi dipakai oleh Amar. “Pekerjaan pertama berakhir dengan memuaskan. Kerja bagus. Sebagai supervisor-mu, aku akan melaporkannya ke Bos Jenggo dengan nilai plus. Bwahahahahaha.”

Spidol merah itu melayang saat dilempar-lempar ke udara.

Spp.

Amar menangkap spidol merahnya dan meletakkannya di kotak kumpulan pena dengan gerakan ringan. “Aku sudah melakukan apa yang kalian inginkan… yaitu mengalah pada Aliansi. Jadi kalian juga harus memenuhi janji kalian. Laki-laki itu yang dipegang kata-katanya.”

Jay tersenyum kembali, ia membuka smartphone, mencari satu video, dan saat menemukannya ia memutarnya di sebuah player. Ia kemudian mendorong ponsel itu di atas meja, memberikannya pada sang pria gagah. Amar meraihnya dan mulai menyaksikan video yang diputar di player.

Nampak beberapa orang sedang duduk terikat di sebuah kursi, wajah mereka pucat pasi dan ketakutan. Seorang bapak-bapak tua, istrinya yang juga sudah sepuh, dan seorang anak kecil sekitar sembilan tahun yang sepertinya cucu mereka – ada kemiripan di wajah si bocah dengan kedua pasangan tua.

“Anj*ng.” Amar meletakkan cengkramannya di leher Jay. “Aku sudah melakukan apa yang kalian mau. Bebaskan mereka. Mereka bahkan tidak tahu apa-apa.”

“Pasti… pasti… tenang saja. Mereka hanya semalam menginap di tempat kami. Anggap saja menginap di AirBNB. Wahahaha.” Jay tertawa sengak dan mendorong tangan Amar dari lehernya. “Sejak kami tahu kedekatanmu dengan orang-orang yang juga berada di area ini, kami tidak bisa tidak menggunakan mereka sebagai alat untuk mendapatkanmu. Pemilik warung Rumah Makan Padang yang ada di ruko sebelah dan cucu mereka yang kebetulan datang langsung kami jemput kemarin. Kami tahu cucunya sering main ke sini untuk membenahi sepedanya. Hahaha… tenang saja, mereka tidak disakiti, tidak kekurangan makan dan minum. Kami hanya menakut-nakuti dengan menggertak mereka – sampai kami paham betul kamu akan bergabung dengan kami.”

“Aku ulangi lagi, Nyuk. Aku hanya akan bergabung jika kalian melepaskan mereka dan berjanji tidak akan melakukan hal seperti ini lagi. Bukan begini caranya membesarkan kelompok. Bajingan kalian.”

Sure… sure… Karena tugas pertama sudah sampeyan selesaikan dengan baik, maka kami akan melepaskan mereka saat ini juga. Kami juga selalu menepati janji, kok.” Jay melongok ke depan, mencari posisi di mana rekannya berada, dan menganggukkan kepala sembari mengangkat jempol.

Brom mengangguk, pria bertubuh besar itu lantas mengambil ponselnya sendiri dan menghubungi seseorang. “Nah, Brom sedang mengurus pembebasan mereka, jangan khawatir. Mereka akan sampai di RM Padang sebelah di bawah dua jam.”

“Awas saja kalau mereka sampai kenapa-kenapa.”

Jay tersenyum. Ia menarik ponsel dari tangan Amar, “Mereka tidak akan kenapa-kenapa. Kami dari RKZ punya pedoman: RKZ tidak pernah bohong.”

Amar mendengus.

“Tapi sejujurnya, ada video menarik lain yang harus kamu lihat.”

Jay kembali membuka aplikasi video dan mencari satu rekaman. Ketika dia menemukan video yang ia cari wajahnya berubah menjadi ceria. Pemuda itu kembali mendorong ponsel ke arah Amar Barok. “Aku yakin yang ini akan jadi favoritmu.”

Amar menatap video itu dan giginya bergemeretak dengan geram. Ki-nya langsung menyala. “Bajingan!! Apa yang kalian lakukan?”

Tapi Jay tidak beranjak, dia masih saja duduk dengan santai. “Tidak ada. Kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya mengamati dia dari kejauhan, merekam diam-diam saat dia menjadi kasir di warungnya. Karena dia berada di luar kota, kami tidak berani melakukan apa-apa. Kami juga paham kalau tempat itu wilayah yang tidak boleh kami sentuh.”

“Kalau kalian berani menyentuh bahkan sehelai rambutnya…”

“Dia gadis yang mandiri dan patuh sama orang tua ya… ndemenakke. Gadis yang menyenangkan. Dia juga sering kemana-mana sendiri. Ke pasar, ke mal, ke…”

Sekali lagi Amar maju untuk mencengkeram leher Jay. Dia mengangkat tubuh orang RKZ itu ke udara. “Aku ulangi lagi kalau yang tadi masih belum jelas kamu dengar. Kalau kalian berani menyentuh sehelai saja rambutnya maka aku tidak akan menjamin apa yang akan aku lakukan pada semua…”

Jay tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia menepuk lengan Amar yang kemudian meletakkannya kembali.

“Uhuk! Uhuk!! Duh… seseg. Kamu tidak perlu khawatir, kami hanya mengamati dia saja. Sebagai jaminan supaya kamu berbakti pada RKZ. Jika kamu ingin gadis ini aman tak tersentuh dan supaya kamu benar-benar bersedia bergabung dengan RKZ, maka kamu harus membuktikan sesuatu, memberikan jaminan pada kami… dengan melakukan perintah berikutnya.”

Amar menggeram. “Kalau aku bilang akan bergabung maka aku akan bergabung. Tidak perlu ancaman-ancaman busuk seperti ini. Kalian kemarin bilang aku harus mengalah pada Lima Jari, sudah aku lakukan tadi. Perlu bukti apalagi? Keputusanku mengalah sudah pasti mengacaukan posisiku di Dinasti Baru.”

Jay berdiri dan menepuk pundak Amar dengan santai.

“Betul sekali. Heroik banget sampeyan. Hehehe. Selanjutnya kita buktikan saja dengan karya nyata. Kami akan segera menghubungimu untuk memberikan tugas berikutnya. Spoiler alert, tugasnya ringan kok. Kami hanya ingin kamu masuk ke kelompok lain dan menjadi informan kami, itu saja. Jangan coba-coba berbuat curang, karena kami pasti akan tahu – kamu tidak akan menjadi satu-satunya informan kami di sana.”

Amar menatap Jay dengan sengit. Otak udang satu ini ngomongnya sembarang.

Jay dengan cuek melangkah keluar sembari bersiul.

.::..::..::..::.

Deka, Bian, dan Hageng sama-sama bertarung menghadapi keroyokan anggota PSG dengan tenaga yang tersisa dan tenaga mereka yang tersisa itu sebenarnya tidak banyak. Mereka bahkan tak lagi mampu mengeluarkan Ki dengan sempurna. Lelah sudah menghinggap, rasa capek mulai membayang, kekuatan badan sudah di ambang batas. Wajar saja karena dua di antara mereka turun di ajang Tarung Antar Wakil pagi tadi dan Bian baru saja mati-matian mempertahankan Kandang Walet dari RKZ. Sekarang mereka harus menghadapi gelombang serangan dari PSG yang seakan-akan tidak ada hentinya.

Hari yang sibuk.

Bian menuntaskan perlawanan dua orang anggota PSG dengan cepat. Keringatnya menetes membasahi dahi. Saat mengelap keringat dengan punggung tangan, seorang anggota PSG mencoba mengendap dan menyerang dari belakang.

Pukulan Palu Dewa Petir!

Jbooooooooookghh!!

Sang pembokong terlempar jauh saat wajahnya tersambar pukulan berselimut Ki dari seorang raksasa berambut kribo.

“Makasih, zheyeng,” ucap Bian sembari mengatur pernapasannya. Tubuhnya gemetar dan bergoyang tidak stabil pertanda ia tidak sedang baik-baik saja. Tenaganya terlampau terkuras habis.

“Fokuz, mblong. Zudah terlalu zering kamu kehilangan fokuz.” Hageng menepuk pundak sang sahabat. “Mazih kuat?”

“Masih.”

Hageng mengangguk dan melesat untuk menyerang dua orang yang maju menyerang dengan double clothesline, kedua tangannya merentang ke samping dengan kencang. Kedua orang lawannya yang sial itu tersodok di leher dan langsung terjungkal. Mereka tidak paham kenapa tiba-tiba saja ada tiang jemuran di depan mata.

Bian bersiap lagi dan memasang kuda-kuda, ia menyadari ada dua orang yang datang untuk menyerangnya. Hageng benar, dia harus fokus. Itu salah satu kelemahannya. Jika dalam kondisi kecapekan, dia sering mulai kurang kendali pada perhatiannya.

“Kelelahan. Lawan yang mudah.”

Eh!?

Siapa itu yang berbicara? Bian menatap ke depan dan melihat kedua calon lawannya sudah menghilang! Kemana mereka? Bukannya tadi berjalan ke sini?

Seketika itu ada bayangan menutup dirinya, seperti payung.

Bian terbelalak. Ia mendongak.

Dari atas, muncul seorang pemuda dengan rambut panjang tergerai yang mengenakan baju kedodoran, alhasil kemeja yang ia kenakan jadi mirip sayap seekor tupai terbang. Ketika turun, tangannya membentuk tekukan di siku dan pergelangan tangan, mirip seperti seekor burung yang siap untuk mematuk – sementara kakinya juga ditekuk dan siap untuk menjejak.

Bian geram, sial! Dia tidak siap! Dia mencoba berkelit, tapi tidak bisa. Dia tidak bisa bergerak!

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Patukan si tupai terbang mendarat dengan sempurna di wajah dan dada Bian, membuatnya terhempas ke bawah. Si tupai terbang menjejakkan kaki di tanah dan sekali lagi melompat, lalu melakukan pendaratan dengan menginjak dada Bian menggunakan kedua kakinya.

Hbkkkgh!

Bian melotot saat dadanya ibarat ditimpa satu set piano klasik. Orang ini… dia kurus tapi berat injakannya… Tubuh Bian makin amblas ke tanah. Pandangannya mulai gelap. Sialan. Masa begini saja? Tidak mungkin dia secepat ini lemas.

Bian mencoba melawan sekuat tenaga, dengan susah payah si Bandel mencoba menggerakkan badan.

Tapi… tidak, tidak bisa, ia sudah tidak bisa lagi bergerak.

“Kelelahan. Lawan yang mudah,” ucap si tupai terbang sekali lagi dengan pandangan dingin ke arah Bian.

Bian geram sekali – tapi tak berdaya.

Kaki si tupai terbang berputar dan ia melepaskan rentetan tendangan ke wajah si Bandel tanpa sekalipun ia bisa melawan.

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Berulang kali kaki itu menjejak. Rahang, bibir, hidung, pipi, dan dahi – semua kena. Bian hanya sanggup memejamkan mata dan menahan sakit. Kepalanya sudah terlampau pusing, dan kesadarannya perlahan terpupus. Kepalanya berulang kali dihentakkan ke tanah.

Masa iya dia bakal dihancurkan hanya dengan begitu saja?

Tangan Bian mencengkeram tanah, dengan kesungguhan hati dan tekad baja ia berteriak kencang untuk mengangkat diri sendiri dari atas tanah. “Heaaaaaaaaaa!!”

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Kembali rangkaian serangan silih berganti dari kaki si tupai terbang mendarat sempurna sebelum Bian sanggup berdiri. Si Bandel terhempas untuk kedua kalinya. Sial. Dia benar-benar sudah tak bisa lagi bergerak.

Jpppkkkkkkkghhhhhhhhhhh!!

Satu serangan pamungkas dilakukan si tupai terbang, sepakan kencang ke arah rahang. Habis sudah. Bian terguling ke samping beberapa kali saking kencangnya tendangan itu. Rahangnya serasa remuk redam. Pusingnya menyengat sampai kepala.

Tuntas.

Bian sudah dituntaskan.

Dia terkapar tanpa daya.

“Biaaaaaaaaaaan!!” Deka yang berada tak jauh dari Bian berteriak kencang. Saat itu dia sedang menghadapi tiga lawan sekaligus. Mengkhawatirkan Bian, Deka mempercepat pertarungannya sendiri.

Ketika satu lawan datang, Deka segera menepis pukulannya dan menghentakkan kepalan di dada sang lawan.

Tubuh lawan Deka itu roboh dan mengejang. Sodokan Penggetar Jantung si Gondes beraksi.

Lawan keduanya datang dari samping, tendangan menyambar pinggang Deka. Hukkkgh! Masuk, tapi tak seberapa terasa karena Perisai Genta Emas sudah diaktifkan. Deka mengait kaki sang penyerang dengan tangan kiri, menariknya, lalu menghentakkan tangan kanan kembali di dada sang lawan.

Nasib yang sama terjadi pada lawan Deka seperti kawan sebelumnya.

Seorang lawan lagi masuk dari belakang dan langsung mengaitkan lengan untuk mengait leher Deka, mencoba membuatnya mati dengan leher terkunci. Tapi Deka tentu tak semudah itu dikalahkan. Dia mengerucutkan tubuh ke depan, membanting sang lawan ke arah depan.

Bdkkkgh!

Begitu lawannya terhempas ke tanah, Deka menyalurkan Ki ke tangan kanan. Satu ledakan api biru mendarat di wajah sang lawan.

Jbkkkkkkkkkkkkghhh!

Tak ada perlawanan lagi, sang lawan sudah tuntas.

Deka buru-buru berlari menuju ke arah Bian yang terkapar.

Perisai Genta Emas level bawah. Masih bisa ditembus.”

Deka terhenti sebelum mencapai Bian. Siapa barusan yang bicara?

Seperti halnya serangan awal yang menyerang Bian, ada bayangan muncul dari atas Deka. Tapi kali ini patukan sang lawan tak dapat menembus pertahanan si GondesPerisai Genta Emas-nya bicara.

Si tupai terbang meloncat ke belakang tiga meter jaraknya.

Dua kawannya yang lain bergabung dengannya. Satu rambut mohawk, satu gundul, dan si tupai terbang tentu saja berambut panjang yang bahkan menutup sebagian wajahnya. Tiga orang berbahaya dengan ilmu kanuragan ajaib.

Ketiga orang ini…

Deka mendengus.

Gawat.

Kalau tidak salah dengar cerita Amar pada suatu ketika, mereka inilah ujung tombak PSG, para maskot utama – Tiga Gentho dari Bondomanan atau 3GB. Si gundul yang sedang mengunyah permen karet biasa disebut Yosan, entah siapa nama aslinya. Tubuhnya cukup kekar dan meski tak mengenakan baju, ia mengenakan rompi yang di tiap kantongnya selalu terdapat permen karet. Tato yin yang terdapat di lengan kiri dan tato logo Spider-Man ada di dadanya.

Pria yang tadi menyerangnya, si tupai terbang – adalah seorang pemuda kurus berambut panjang yang mengenakan kemeja serta celana kedodoran berwarna cream. Pemuda kurus ini memiliki tubuh agak bongkok. Itu sebabnya dia dijuluki Grago yang artinya anakan udang. Satu ciri khas lagi dari Grago adalah adanya luka jahit panjang di lehernya – luka itu membuatnya hanya bisa berbicara dengan bisikan pelan.

Yang terakhir tentu saja si rambut mohawk, seperti kedua kawannya yang lain, nama aslinya tidak diketahui tapi sering dipanggil dengan nama Udet yang artinya anakan belut. Dia mudah dikenali dengan rambut mohawk, serta anting di hidung dan ujung alis kanan. Kemampuan Udet tidak banyak diketahui publik, tapi dia selalu mudah lolos dari situasi bahaya apapun sehingga dijuluki Udet.

Sepengetahuan Deka, berbeda dengan Perisai QZK dan Anak Panah JXG yang sering tampil mandiri, 3GB dari PSG selalu tampil bertiga sebagai satu kesatuan. Tag-team.

Huff.

Deka melirik ke arah yang lain. Hageng posisinya agak jauh dan dia sedang direpotkan oleh serangan anggota PSG yang tanpa henti, Rao jangan ditanya lagi – dia jauh lebih repot. Jadi… mampukah Deka menghadapi 3GB seorang diri?

Bukan saatnya untuk bertanya-tanya. Hadapi saja, bisa atau tidak itu masalah belakangan.

Deka menyalakan Ki-nya.

Energinya sudah banyak terkuras habis terutama saat berhadapan dengan Amar Barok tadi, kini ia hanya bisa menggunakan sisanya – dan itu sangat terbatas. Tidak masalah, Perisai Genta Emas siap bekerja.

Udet mendekati Grago. “Bagaimana?”

Perisai Genta Emas. Baru level bawah,” bisik si tupai terbang yang memiliki tatapan dingin di balik tirai rambutnya.

“Tahu titik kematiannya?” Udet sepertinya tahu seorang pengguna PGE memiliki kelemahan yang disebut titik kematian. Mungkin ini bukan pertamakali ia berhadapan dengan seorang pengguna PGE. “Ketuk titik itu dan dia bakal jadi anak itik.”

Grago mengucap rapalan pelan, ia menggosok pelupuk matanya, dan menggeleng setelah beberapa saat mengamati. “Masih belum terlihat.”

“Kekekeke, sialan. Anak pinter dia. Disembunyiin di mana ya?” Udet mendengus. “Yosan! Kamu duluan!”

Yosan mengangguk sambil memecahkan balon permen karetnya. Dia mendekat ke arah Deka yang sudah memasang kuda-kuda. Sang pengunyah permen karet merentangkan tangan ke depan, lalu memutarnya dengan gerakan yang membentuk lingkaran yin dan yang.

Deka mengerutkan kening. Apa itu? Taichi? Apa yang dia lakukan?

Sbkkkkghhh!

Deka terbalalak. Tiba-tiba saja ada sodokan kencang yang menyerang bagian tengkuknya! Untung saja pertahanannya sudah aktif sehingga dia terlindungi. Meski hanya menyengat sesaat tapi cukup mengagetkan. Serangan itu membuat Deka menengok ke belakang.

Siapa yang menyerangnya barusan!?

Grago.

Tiba-tiba saja sudah ada di belakang Deka.

“Bukan di tengkuk,” bisik si tupai terbang.

Deka mengalirkan tenaga Ki ke tangan dan melepas backhand ke belakang. Dengan gerakan ini dia harus menyalurkan Ki yang tadinya digunakan untuk membentuk lapisan pelindung tak kasat mata dari Perisai Genta Emas ke pukulan. Resiko memiliki dua jurus pengguna Ki yang bertolak belakang harus membagi tenaganya.

Serangannya gagal.

“Kesalahan. Perisai jadi lepas,” bisik Grago.

Grago menghindar dengan mudah dari serangan Deka, dia berkelit secepat kilat, lalu menggunakan tangan kiri untuk mengunci lengan dan menepuk bagian ketiak Deka yang terbuka saat melakukan serangan backhand.

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Deka terbelalak dan meraung kesakitan. Bagai ada ledakan di dalam tubuhnya hanya karena tepukan barusan! Apa-apaan itu tadi!? Si Gondes melangkah mundur dengan teratur untuk menjaga jarak dengan Grago – dia menyadari Ki-nya sudah mulai habis. Bagian bawah lengannya nyeri bukan kepalang.

Tapi dia tak akan menyerah!

“Kelemahan terlihat. Perisai sudah terbuka.” desis Grago perlahan. “Bukan di ketiak,” bisik si tupai terbang.. Ucapannya hampir tak terdengar siapapun, Deka hanya bisa mendengarnya karena posisi mereka sangat dekat. Tangan pemuda berambut panjang di hadapan Deka menepuk wajah si Gondes beberapa kali. Sepertinya hanya tepukan ringan, namun Ki yang menyertainya… luar biasa.

Jpppkgh!! Jpppkgh!! Jpppkgh!!

Kepala Deka terlontar ke kanan dan kiri dengan sentakan kencang. Dia bahkan tak bisa mengaktifkan Perisai Genta Emas meski sudah mencobanya, kenapa? Apakah dia sudah terlalu banyak mengambil daya Ki saat berhadapan dengan Amar Barok?

“Sepertinya kamu kurang memperhatikan lingkungan sekitar. Dalam pertarungan melawan banyak lawan seperti ini, pengamatan lingkungan sangat penting. Harus terus fokus tanpa henti, kecuali kalau kamu memang sudah sangat pasrah dan cari mati. Kekekeke.”

Deka terbelalak. Dia bahkan tidak menyadari keberadaan Udet yang tiba-tiba saja sudah berada di dekatnya. Begitu cepatnya! Udet menarik tangannya sendiri hingga ke pinggang, lalu menyodokkanya ke ulu hati Deka dengan satu sentakan kencang.

Si Gondes tidak dapat bergerak karena kagetnya. Ulu hatinya bagai ditusuk oleh tombak.

Boooom!

Deka terlempar ke belakang, meski tidak terjatuh. Langkah kakinya tak terkendali. Matanya mulai memandang gelap, rasa sakit dan sesak berkecamuk di dalam dadanya. Deka memejamkan mata, dia terantuk, terhempas, terguling, dan terbanting.

Deka ambruk tanpa daya.

Sudah selesai.

Sial.

Kenapa dia selemah ini?

Si Gondes ambruk tak jauh dari Bian.

Dua dari tiga. Semudah itu.

Satu-satunya harapan mereka kini adalah Hageng.

Udet berjalan santai menuju Grago yang sedang jongkok mengamati Hageng dengan langkah kaki ringan. Si rambut mohawk terkekeh, “Kekekeke. Kok mudah sekali ya menundukkan mereka? Kirain lebih susah. Kalau begini caranya, Aliansi bakal bisa kita tumpas dalam sehari – seperti Patnem. Kualitasnya cuma begini saja. Kekekeke…”

“Hhh.” Grago cuek. Wajahnya masih tersembunyi di balik rambut panjang di depan wajah.

“Hanya tinggal yang bertubuh besar itu yang berdiri. Bisa lihat juga kelemahannya?” tanya Udet pada sang teman.

Grago mengucap rapalan pelan, ia menggosok pelupuk matanya, dan mengangguk setelah beberapa saat mengamati. “Bisa.”

“Tahu kelemahannya apa?”

“Tahu.”

Udet terkekeh, “Beritahukan padaku. Aku yang akan menyelesaikannya.”

“Tulang rusuknya sedang terluka. Bagian kanan. Serang itu.”

“Kekekekkee, top markotop sambel pete wedang ronde! Yosaaaan!”

“Siaaaap!”

Pria yang dipanggil dengan sebutan Yosan pun merentangkan tangan ke depan dan membentangkan jari jemarinya begitu ia hampir mendekati Hageng. Entah apa yang tengah dilakukannya.

Udet melangkah pelan ke depan menuju si bongsor.

Hageng yang tahu hanya dia yang tersisa untuk menghadapi 3GB sama sekali tak beranjak dan tak bergerak. Sang T-Rex memasang kuda-kuda bak seorang petinju.

Betapa kagetnya Hageng ketika tiba-tiba saja sang lawan sudah melesat cepat hingga sampai di berada tepat di depannya.

Udet meringkuk ke bawah, sekali lagi jemarinya berputar seperti mengumpulkan sesuatu di udara. “Ayolah, kita sama-sama tahu kamu sudah habis. Biarkan aku menidurkanmu dan kamu tidak akan merasakan sakit sama sekali.”

Hageng mencoba mundur, tapi tak bisa. Rupanya ia sudah benar-benar terlampau lelah sampai-sampai tak dapat bergerak. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi kecuali… terus menyerang! Hageng menghunjamkan sikut tangannya ke bawah menuju pundak Udet dengan sekuat tenaga.

Udet tersenyum. Tepat sebelum sikut Hageng mencapai posisinya, sang pria aneh itu pun berbisik pelan, seperti mengucap rapalan. Ia melecutkan tangan yang tadi ia siapkan menuju rusuk Hageng yang kesakitan.

Boooom!

Tubuh Hageng terlontar ke belakang, terbang bagaikan kapas ditiup angin. Padahal hanya dengan satu serangan saja tapi sudah bisa melemparkan tubuh Hageng! Tubuh sang raksasa jatuh bergulingan di atas tanah lapangan. Sakit? Sudah pasti. Apalagi tulang rusuknya yang masih terasa tidak nyaman setelah dihajar om Kimpling di Tarung Antar Wakil tadi kini makin menjadi, bagai ada luka dalam karena tusukan tombak.

Hageng akhirnya berhenti setelah beberapa kali terguling-guling di tanah. Tenaganya habis, terutama sekali karena dia belum makan sejak pagi. Ah… seandainya saja ada kue cucur atau serabi kocor pasti beda ceritanya. Sang T-Rex kelelahan dengan tarikan napas yang berat.

Dia terkapar tanpa daya.

Habis.

Peluang terakhir menyelamatkan Rao sudah jatuh.

Rao sendiri entah sedang berada di mana dikeroyok oleh puluhan anggota PSG, Nuke berhasil dibawa pergi oleh orang-orang PSG untuk dibawa ke Joko Gunar, dan ketiga anggota Lima Jari yang sedianya mau menyelamatkan Rao, malah dihajar tanpa ampun oleh ketiga manusia maut 3GB.

Udet terus menerus tertawa, dia sendiri keheranan kenapa mudah sekali menaklukkan orang-orang ini. Dia mengira lawan-lawannya akan memberikan perlawanan yang berarti. Pimpinan 3GB itu melambaikan tangan dan pasukan PSG di belakangnya – sekitar sepuluh hingga lima belas orang, berlari menuju ketiga anggota Lima Jari. Siap mengeroyok sampai tuntas mereka yang sudah lemas.

Situasi sangat tidak mendukung ketiga sahabat.

Mereka terlalu kelelahan.

Deka, Hageng, dan Bian berkumpul sembari terkapar di lapangan. Mereka hanya bisa pasrah kalau benar akan dihabisi oleh PSG.

“Zeandainya ada zerabi…”

“Apa… yang… harus… kita lakukan sekarang? Huff… huff…” Deka terengah-engah, dia sudah tidak kuat lagi. Ki-nya sudah sangat terkuras, tenaganya sudah sangat terkuras, pikirannya sudah sangat terkuras. Biasanya dia bisa merencanakan sesuatu, tapi tidak kali ini. Kali ini dia sudah terlalu letih. Pertarungan kali ini membuka matanya. Masalah utama Deka, memang ada di stamina. “Jangankan menyelamatkan Rao, ini kita malah ditumpas. Mungkin…”

“Mungkin… mungkin harus kita tanyakan ke dia…” Bian juga ngos-ngosan. Dia tadinya mencoba berdiri untuk menyongsong pasukan PSG yang akan menyerang mereka, namun kembali jatuh terduduk. Meski begitu, Bian masih sempat menunjuk ke depan.

Saat itulah terdengar hembusan angin yang kencang.

Tidak disebabkan oleh angin yang natural, karena nampaknya seseorang tengah mengerahkan teknik ringan tubuh mengagumkan untuk mengamuk di tengah laga. Dia berhasil mengusir mundur pasukan PSG yang tadinya maju untuk menyerang ketiga sahabat. Sosok itu memiliki gerakan tubuh yang ringan dan tangkas, gerakannya mulus halus tanpa cela, meloncat seakan terbang di udara. Putaran kaki dan lengannya cepat menghentak, dihempaskan dengan kencang, dan menarik diri sebelum lawan sempat membalas.

Satu persatu lawan yang menyerang pun akhirnya diatasi.

Suara tubuh berjatuhan terdengar di tengah kabut debu yang berputar bak tornado mini. Tidak ada yang bisa melihat apa yang terjadi. Sampai akhirnya suara pertarungan usai dan rapi.

Angin berhembus dengan kencang membentangkan pandangan ketika debu-debu mulai menghilang. Kabut yang tadinya mengungkung lokasi di sekeliling ketiga sahabat kini tak lagi membatasi jarak pandang. Pemandangan yang mulai cerah membuat mereka dapat menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi.

Bian, Deka, dan Hageng terkejut ketika melihat anggota PSG yang tadinya akan menyerang mereka sebagian besar sudah ambruk tak berdaya. Ada yang pingsan ada yang merintih kepayahan tak mampu bangkit tanpa bantuan.

Satu-satunya yang masih berdiri di tengah-tengah para lawan adalah sosok seorang pemuda gagah.

Deka, Bian, dan Hageng saling berpandangan.

Pemuda itu… bukan Nanto kan?

Bukan.

Dia jelas bukan Nanto, pemuda yang mengenakan topi trucker hat dan mengecat rambutnya dengan warna coklat itu bernama Pasat.

Pasat Bayuputra.

Ini adalah kali pertama mereka berjumpa dengannya.

Pasat berpaling ke arah ketiga sahabat sambil tersenyum. “Aku tahu akan berjumpa dengan kalian di sini. Jangan khawatir, bantuan sudah datang.”

Hageng, Bian, dan Deka melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa yang datang.

“Bantuan yang mana?” Deka bertanya.

“Ya aku ini bantuannya. Namaku Pasat. Salam kenal.”

Setelah mengucapkan perkenalan, Pasat melesat menuju ke arah gerombolan PSG yang kembali hendak menyerang ketiga sahabat.

.::..::..::..::.

“Kamu kaget ya ketemu aku?”

“Ya iyalah. Kaget banget. Aku masih tidak paham bagaimana aku bisa bertemu denganmu di tempat seperti ini.”

Nanto membalas senyuman seorang wanita jelita yang saat ini menatapnya dengan pandangan manja. Si cantik itu hanya mengenakan lingerie warna hitam yang menggoda. Rambut hitam panjang dibiarkan tergerai. Tidak biasanya Nanto menatap wajah cantik itu seperti ini karena biasanya ia mengenakan kerudung untuk melindungi kepalanya yang mungil.

Mereka berdua kini sedang berada di sebuah kamar yang serba putih – sangat indah dan nyaman. dia bahkan tidak menyangka ada ruangan seperti ini di gudang milik RKZ, ataukah mereka sudah berpindah lokasi?

Nanto lupa. Dia tidak ingat apa yang sebelumnya terjadi.

Semuanya serba aneh, kacau, tapi juga menyenangkan.

Karena kini dia sedang berdua dengan bu Asty yang tengah berbaring setengah telanjang di hadapannya di sebuah ranjang dengan seprei putih bersih.

Bu Asty!?

Iya. Bu Asty. Kaget kan?

Sosok guru BK yang tegas dan mengayomi lenyap digantikan oleh sosok perempuan yang menggoda, manja, dan membuat darahnya bergejolak. Si Bengal sama sekali tidak mengira dia akan berjumpa lagi dengan Asty dalam situasi yang seperti ini setelah resmi berpacaran dengan Kinan.

Tapi… masa sih menolak yang seperti ini? Malu-maluin persekutuan garangan.

“Rrrr.” Asty menggeram dan menjilat bibirnya dengan manja saat Nanto tersenyum dan melangkah mendekatinya, si jelita itu menyusurkan jemarinya di dada si Bengal yang bidang. Matanya tajam menatap ke atas, bertemu dengan pandangan mata Nanto. “Kamu terlihat lebih gagah sekarang. Kenapa bisa begitu? Kenapa sekarang aku tidak pernah dibagi badanmu yang tambah gagah begini? Sudah melupakan aku?”

“Kamu mau?”

“Banget.” Asty tersenyum menggoda, “kamu tidak tahu aku kangen berat?”

Nanto ikut tersenyum dan mendekatkan wajah ke pujaan hatinya, mereka saling menatap. Saling memanjakan diri dengan wajah idaman di depan mata. Asty memang perwujudan seorang venus di bumi.

“Aku tahu. Aku juga,” bisik Nanto.

Wajah mereka kian dekat, makin dekat, semakin dekat, semakin dekat, hingga akhirnya bertemu. Bibir mereka berpagutan. Saling melindas menunaikan rindu yang tanpa batas. Tangan si Bengal melingkar di pinggang sang ibu muda, memeluknya lebih erat. Mulut mereka merekah, tak perlu lama sebelum memadukan lidah. Tangan si Bengal juga nakal, naik ke atas, meraba, dan meremas. Dada sentosa Asty adalah impian setiap insani. Sang ibu muda melenguh nikmat, mereka terus berciuman, sampai akhirnya Nanto memainkan bibirnya turun ke bawah, ke leher mulus Asty. Wanita jelita itu menggelinjang, kegelian, ia mengangkat wajah Nanto, dan mencium bibirnya kembali.

Tanpa melepas katupan bibir di antara keduanya, baik Nanto maupun Asty sama-sama saling melucuti pakaian masing-masing. Nanto melepas lingerie indah yang pas banget memamerkan badan seksi sang ibu guru, sementara Asty melucuti semua yang dikenakan oleh si Bengal, hingga keduanya kini sama-sama telanjang.

“Wow.” Asty memainkan jemarinya di dada bidang si Bengal sembari tersenyum nakal usai melepaskan pagutan. “Lebih mantap dari yang terakhir kali aku lihat. Semakin kotak-kotak. Kok bisa sih…? Gemes.”

Nanto tak banyak mengeluarkan kata, dia juga tengah mengagumi keindahan tubuh sang ibu muda yang terlalu indah untuk seorang ibu anak satu – lebih seperti seorang perawan yang belum pernah dijamah. Wajah cantik, rambut panjang hitam, kulit putih mulus tanpa cela, lekukan badan menggelora, gumpalan dada penuh dan kencang, puting warna pink yang manis dan menggoda, serta lipatan indah di selangkangan yang bersih dan tanpa penghalang.

“Dicukur?” si Bengal memainkan jemarinya di bawah pusar sang bidadari jelita.

“He’em… khusus buat kamu. Kamu suka?”

Nanto mengangguk. Si Bengal menurunkan kepalanya, mendekati Asty, bibirnya sampai paling awal ke arah pentil susu kanan sang dewi. Benda mungil yang menonjol karena melejitnya napsu birahi Asty membuat Nanto mudah memainkan bibir, gigi, dan lidahnya.

Perlakuan Nanto membuat Asty menggelinjang, antara geli dan mau. Ia mendesah. Manja.

“Mmmhhh… aaahhh… kok nakal sih…?”

Tangan sang bidadari bermain di bagian belakang kepala si Bengal, mengacak-acak rambutnya, menjambaknya, menekannya. Ia ingin terus dinyamankan dan dinakali. Nanto turun ke bawah, makin turun, makin turun, makin ke bawah. Bibirnya bermain, lidahnya menelusur. Dari bulat bundar buah dada Asty, turun ke bawah, ke pusar, perut sekeliling, turun ke bawah lagi, ke bekas cukuran di bawah perut, ke bawah lagi…

Asty tahu apa yang diinginkan si Bengal. Ia membuka pahanya lebih lebar, direnggangkan sebisanya.

“Mmmhhh… aaahhh… nakal banget kamu… berani banget sama guru kamu sendiri…”

Lidah Nanto menjawab pertanyaan retoris Asty. Ia menelusuri tiap lekuk perut dan pinggang sang bidadari dengan lidahnya, ibarat mesin penggilas yang tak meninggalkan sisa. Semua dijelajah. Sampai tentu saja puncaknya pada bibir kewanitaan sang wanita jelita itu.

Sapuan lidah si Bengal di tonjolan kecil di atas bibir kewanitaan Asty menjadi pemula sekaligus pemantik. Ibu muda itu menggelinjang diberikan kenikmatan duniawi melebihi yang pernah ia bayangkan dan alami saat bersama dengan suaminya. Ini sebabnya dia akan selalu merindukan Nanto. Si Bengal memberikan suasana yang berbeda. Dia memberikan lebih.

Lebih lama, lebih panjang, dan lebih besar.

“Mmmhhh… aaahhh… lidah kamu… aaahhhh….”

Kelentit sang dewi yang mungil dan sensitif dipermainkan sedemikian rupa sehingga oleh Nanto sehingga Asty melenguh panjang dan penuh kenikmatan. Bibirnya menghisap, lidahnya menjilat, giginya menggigit lembut. Sensasinya? Sampai ujung kepala. Tangan si Bengal juga tak begitu saja diam, ia meremas-remas pantat bulat sang bidadari idamannya.

“Ahhhhhggkkk… aaaaaaakkkghhhhh!!”

Asty menggigit bibirnya sendiri, si Bengal sungguh tak mengampuninya. Dia hanya bisa memejamkan mata menikmati lidah, bibir, dan gigi Nanto bermain di setiap sudut liang kewanitaannya. Sebagai seorang wanita yang lebih dewasa, dia sebenarnya malu dapat ditaklukkan semudah itu oleh Nanto.

“Bagaimana rasanya?” bisik sang pemuda.

“Emmmhhh… kok nakal banget sihhh… enaaaak tau…”

Nanto tersenyum dan kembali mengangkat tubuhnya sendiri ke atas, kembali ke buah dada sentosa milik Asty. Ia melumat gumpalan kenyal nan sempurna itu. Sekali lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Pentil susu sang ibu muda pun tak lupa digigit lembut. Sementara Asty makin nyaring desahannya.

Tangan Nanto menelusur ke bawah. Dari perut ke selangkangan. Jarinya bermain. Masuk ke dalam dan membuat kekacauan.

Asty menggelengkan kepala. Nanto tersenyum melihat perubahan wajah sang bidadari. Ia juga merasakan cairan cinta kian membanjir di dalam gua surgawinya. Jemari Asty tak ingin kalah, dia menggapai batang kejantanan si Bengal yang sudah menegak mengencang bagai batang kayu. Asty mengelusnya, membelainya, memainkannya dengan penuh rasa sayang.

“Aaaaahaaaaakgh!”

Asty mendesah kencang ketika jemari Nanto dikeluarkan dari liang cintanya, sudah disertai dengan cairan cinta yang membasahi.

Asty terengah-engah ketika Nanto melepaskan pelukannya. Keduanya saling berpandangan. Mereka sudah bukan lagi Asty dan Nanto. Mereka adalah sosok napsu birahi yang mewujud dalam tubuh dua makhluk berlainan jenis. Tak ada yang bisa menghalangi. Si Bengal mengangkat tubuh ibu gurunya, dan membawanya ke atas pembaringan.

Mata si Bengal tak lepas dari selangkangan Asty, sungguh menggairahkan dan nampak berbeda dari biasanya. Dia sudah tak sabar lagi. Begitu Asty terbaring, Nanto segera meposisikan batang kejantanannya tepat di depan bibir liang cinta sang dewi. Dia akan memasukkannya, tanpa ampun dan tanpa basa-basi. Ia memejamkan matanya dan bersiap.

Jangaaaaan, Mas! Jangaaaaaaaaaaan!! Aku tidak mauuuuuu!!

Hah!?

Nanto membuka matanya, tubuh Asty menggelinjang dan menanti. Sang bidadari itu mengangguk dan menjilat bibir. Menunggunya. Nanto tersenyum, lalu mulai melanjutkan niatnya yang sempat terhenti.

Satu. Dua. Tiga.

“Ahaaaaaaaaakghhh!” Asty melenguh kencang.

Si Bengal membentangkan kaki Asty lebar, membiarkan batang kejantanannya melesak masuk ke dalam, menikmati pijatan dinding vagina yang hari ini jauh lebih rapat dan kencang. Enak sekali. Benar-benar enak sekali. Gila. Nanto menarik mundur pinggulnya, lalu maju lagi untuk menyerang.

Aaaaaaaahkh.

Luar biasa. ini bukan kali pertama Nanto bermain cinta dengan Asty, tapi entah kenapa rasanya vagina ibu muda itu jauh lebih menjepit dan rapat, membuatnya merem melek. Luar biasa memang sang bidadari pujaannya. Selalu punya kejutan di setiap kesempatan mereka bercinta.

Tubuh Asty bergetar hebat saat penis si Bengal menghunjam ke dalam. Jari jemari Asty kencang mencengkeram pundak sang pemuda. Kadang terasa teramat kencang seperti hendak melukainya. Nanto maju mundur, setiap desakan membuat batang kejantanannya makin melesak. Laju, semakin laju, laju, dan laju. Sampai akhirnya seluruh batang masuk ke dalam.

“Aaaaaaaaahhh… aaaaaaaahhh!!” Asty berteriak menggila, kepalanya dilempar ke kanan dan kiri karena rasa sakitnya tak terperi.

Agak tumben, tidak biasanya begini. Tapi Nanto suka.

Ia maju sedikit, berhenti lama, lalu maju lagi. Ingin membuat liang surgawi Asty bagai cetakan yang hanya pas menerima kemaluannya seorang. “Enak banget sayang… aku selalu mengidam-idamkan melakukan ini dari SMA. Nikmatnya luar biasaaaa…”

“Eheeeeeekghhh… kuraaaang ajaaar… mana adaaa murid nidurin guru sendiri! Kamu emang kurang ajar sejak awaaaaal… aaaaaaaah! Aaaaaaaah!”

“Tapi kamu suka kan?”

“Bangeeeeeet… teruuuus… teruuuuus…”

Nanto tersenyum, seandainya saja bu Asty tahu kalau dulu bukan hanya dirinya saja yang mendambakannya. Orang-orang sering membincangkan bu Asty yang terlalu molek dan cantik untuk menjadi guru BK, termasuk di antaranya guru-guru muda lain yang menyayangkan kenapa guru sejelita Asty harus sudah menikah sehingga mereka tidak punya peluang.

Nanto beruntung kini batang kejantanannya bisa keluar masuk penuh aksi di vagina bu Asty.

Batang kejantanannya keluar masuk berulang-ulang di liang cinta sang ibu muda. Dia melakukannya dengan birahi yang makin lama makin meledak. Ibarat gunung yang bertahun-tahun tertidur dan akhirnya meletus. Kekuatannya makin lama makin membesar – membuat Asty tersengal-sengal. Gesekan demi gesekan yang menggerus dinding liang kewanitaannya menimbulkan rasa nikmat yang tak ada bandingannya. Asty tidak tahan untuk tidak menjerit, desakan kemaluan Nanto mengguncangnya – sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, berulang-ulang kali. Begitu kencangnya desakan Nanto sampai-sampai buah dada Asty bergoyang tanpa terkendali.

“Ahaaaaakkkghh! Terussss… teruuuuuss… enaaaaaakkghh!!”

Asty melenguh, mendesah, dan semakin tak mampu bertahan.

Nanto yang melihat Asty menggelinjang dengan buah dada sempurna yang bergoyang erotis keenakan juga semakin liar menanggapi, sembari terus memompa liang cinta sang bidadari, tangannya bergerak tanpa henti tanpa arah, meraih menjejak meremas dengan gemas, menjelajah ke seluruh tubuh mulus Asty dengan buas – tak ingin menyisakan sejengkal pun tanpa ia sentuh dan ia libas, tak ada yang bebas, tak ada yang lepas.

Asty merem melek keenakan, sodokan batang kejantanan Nanto yang jauh lebih memuaskan dari sang suami membuatnya makin terbang melayang ke sudut awan, sungguh nikmatnya tidak karuan.

Tapi tidak lama.

Tiba-tiba saja Nanto menarik diri dari Asty. Tentu saja itu membuat sang ibu muda kena tanggung.

“Loooooh kok udahan…? Kenapa?” tanya si jelita itu manja. “Lagi doooong. Mau lagi….”

“Dari belakang.”

Oh, Asty baru paham.

Dia membalik diri dan menunggingkan badan membelakangi si Bengal. Pantatnya naik ke atas dengan sensual. Dengan ini mereka bisa melakukan posisi bercinta yang biasa disebut doggy style. Penis si Bengal kembali menghunjam dalam-dalam sembari diiringi lenguhan kencang.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhkghh…”

Sekali lagi Nanto membuktikan diri sebagai pejantan yang paling pas buat Asty. Si jelita itu mendesah-desah saat digoyang maju mundur dengan sodokan yang semakin lama semakin kencang. Pantat bulat bundar Asty dipegang, diremas, ditarik, dimajukan, digerakkan, diperlakukan sekehendak hati oleh sang pemuda yang dulu pernah menjadi muridnya.

Keduanya dibanjiri keringat.

Sambil terus memompa badan di tubuh seksi Asty, Nanto memegang, meraba, dan meremas-remas buah dada sentosa yang menggumpal sempurna di dada sang bidadari. Asty memang luar biasa. Tubuhnya terlalu indah dan seksi untuk dibiarkan begitu saja, payudara ibu muda itu mengencang dan ujung putingnya kian mengeras karena Asty sudah teramat terangsang.

Payudara Asty menjadi perhatian si Bengal, ditambah posisi tubuh sang mantan guru BK yang menungging menjadikan buah dadanya yang menggelantung kencang teramat seksi. Ditarik dan diremas-remas buah dada Asty dengan sedikit kasar, membuat si jelita itu merintih sakit tapi nikmat. Ini keterlaluan. Nanto sungguh keterlaluan. Batang kejantanannya menyesaki liang senggamanya dengan cara yang tidak bisa ia bayangkan. Ibu muda itu menggila tak mampu menguasai diri, suaranya mendesah-desah. Ia sudah tak lagi peduli jika suaranya terlalu kencang hingga terdengar sampai di luar ruangan. Ia melenguh, berteriak, menjerit, melepaskan seluruh rasa yang menyesak dalam dada.

Lima belas menit, mereka bersetubuh dalam asmara birahi nan menggelora. Puncak sudah pasti terdaki, mungkin hanya tinggal setarikan napas. Asty ikut menggoyang pantatnya maju mundur untuk menyamakan irama dengan gerakan Nanto. Suara tepukan selangkangan di pantat Asty terdengar nyaring. Si cantik itu merem-melek. Ia makin laju menuju puncak.

“Terus… terus… lebih kencang lagi… lebih kencang lagi!”

Nanto mengikuti apa yang diinginkan oleh sang pujaan hati.

Kamu jahaaaaat! Kamu jahaaaaaaaaat!! Hentikaaaaaaaaan!!

Nanto tersenyum sembari terus mempercepat sodokan. Kenapa kalimat Asty menjadi kontradiktif begitu? Tadi bilangnya terus, sekarang suruh berhenti.

“Aaaahhhaaaaaaakgh!”

Asty melenguh kencang dan panjang. Cairan cintanya mengalir deras membasahi batang kejantanan si Bengal yang masih bergerak maju mundur keluar masuk di lubang kewanitaan sang ibu muda. Lenguhan Asty membuat Nanto kian bernafsu dan makin cepat menggerus bagian intim sang wanita jelita. Asty tak bisa menolak dan mencoba bertahan. Ia meremas seprei dan membenamkan kepalanya ke bawah.

Maju mundur. Maju mundur. Maju mundur. Maju mundur. Maju mundur.

Terus dan lagi. Terus dan lagi. Terus dan lagi. Terus dan lagi.

Tubuh si Bengal menegang, ia memejamkan mata, dan melenguh panjang. Hangat terasa. Cairan cinta tumpah ruah di dalam liang surgawi milik sang bidadari. Asty memejamkan mata saat merasakan ujung gundul si Bengal mengeluarkan semua isinya.

Nanto lantas menjatuhkan tubuhnya yang berkeringat deras di samping Asty. Ambruk dengan hati senang di samping wanita yang selalu membuatnya terkagum-kagum itu. Sang ibu muda juga terdiam dan menarik napas pelan dan teratur – mengatur diri sendiri agar bisa lebih nyaman berbaring di samping si Bengal.

Asty

Meski tak lama, percintaan mereka barusan cukup memuaskan dahaga.

Asty berbalik dan menatap Nanto dengan pandangan manjanya, “Terima kasih, sayang. Enak banget yang barusan. Aku kangen banget sama kamu.”

“Kamu cantik banget, sayang.”

Asty mengecup bibir Nanto lembut, tidak ingin lepas. “Boleh aku minta lagi nanti kalau kita berdua sudah selesai beristirahat?”

“Boleh dong.” Nanto mengecup bibir mungil Asty, “Kok pakai nanya?”

“Kan kamu sekarang sudah punya pacar.”

“Kamu kan juga sudah jadi pacarku sebelum dia. Memangnya kita pernah putus?”

“Ish, gimana sih. Ga jelas blasNyebahi.”

Asty merajuk dan mencubit perut kencang sang pria idaman. Ah seandainya saja dunia tahu betapa Nanto teramat mengasihi Asty, mungkin kenyataan tidak dengan kejam memisahkan mereka berdua dengan kenyataan yang menjurang.

Perempuan jelita itupun menggulingkan badan si Bengal ke samping dan membaringkan kepala di dada bidangnya, seakan tak ingin dia pergi dari sisinya. Nanto tersenyum sembari mencium wangi parfum sang bidadari yang sudah lama ia idamkan itu. Hmm… wangi yang berbeda dari sebelumnya.

Asty memejamkan mata dan tenggelam dalam lelap di dada sang idaman.

Nanto siap menyusulnya ke dunia mimpi.

Tapi… ia seperti mendengar bisik-bisik di balik dinding.

Nanto mendengar ada dua orang tengah berbicara di kejauhan. Sepertinya ada yang sedang ngobrol di sebalik dinding kamar yang ia gunakan bersama Asty ini. Siapa yang sedang berbicara itu? Ia mencoba menguatkan pendengarannya karena tak mampu membuka mata. Ia sangat mengantuk dan lelah sekali usai bermain cinta dengan Asty barusan. Kata-kata yang ia dengar juga tak sepenuhnya ia pahami dan secara lengkap ia tangkap. Hanya patahan-patahan saja.

“Berapa lama dia akan…?”

“Sudah lewat batas atas, sekitar lima belas menit lagi. Dia terlampau kuat. Ki-nya terlalu besar untuk bisa saya ken… Saya tak akan mampu melak… Karena itu pengaruhnya akan hilang setelah… setelah itu dia baru…”

“Baiklah. Ini sudah cukup. Toh sudah kejadian. Mereka sudah…”

“Sepertinya begitu. Setelah ini dia baru sad… dan keduanya akan ter…”

Setelah itu orang-orang yang terlibat percakapan itu berbicara lebih lama dan lebih panjang kali lebar, tapi Nanto sudah tak dapat lagi mendengarkan. Ia sudah sangat-sangat mengantuk dan teramat lelah. Si Bengal mengecup dahi sang ibu guru jelita yang terlelap di pelukannya.

Lalu Ia tenggelam dalam kegelapan yang dalam.

Ia tertidur.

Bersambung

mahasiswi nakal
Ku beri kan tubuh molek ku kepada petugas ronda sebagai balas budi
Cerita ngentot gadis bertoket gede waktu magang
gadia merintih
Kenikmatan Yang Di Berikan Erik
tante cantik
Ngentot Dengan Calon Mempelai Yang Ganteng
cantik
Cerita sex suami yang tak mampu memuaskan nafsu ku
Cerita Dewasa Mandi Bareng Dengan Bibiku Yang Cantik
tante semok
Kenikmatan yang di berikan tante semok di kamar hotel
ibu kost hot
Cerita sex pelampiasan nafsu ibu kost yang kesepian
pegawai bank bca cantik
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Satu
Tante Linda Yang Ganas Dan Haus Akan Sex
Foto Bugilin Tante Sedang Tidur Ngangkang dan Dientot
Foto memek tembem mahasiswi cantik suka selfie bugil
Tante Lisa Ibu Kost Yang Liar
tantehot
Perselingkuhan Ku Dengan Tante Yang Kesepian Bagian Satu
gadis binal cerita
Demi Memuaskan Nafsu Binal Sahabatku
kakak ipar sexy
Lina, Kakak Ipar Yang Paling Mengerti Aku