Part #16 : JALAN TERUS

Sebenarnya aku ini orang baik. Aku baik pada semua orang.
Tapi jika kamu tidak baik padaku,
maka kebaikan bukanlah hal yang akan kamu ingat tentangku.
– Al Capone

Nuke

“Terima kasih sudah mengajak aku jalan-jalan ke sini.”

Nuke tersenyum manis. Sudah wajar dan sepantasnya jika senyuman yang semanis madu itu disertai dengan putaran melodi dan lirik yang indah, semacam soundtrack atau bgm. Nah, bgm itu sekarang berputar di benak Rao bagaikan musik klasik dari youtube yang judulnya embuh tapi masa putarnya 10 hours. Senyum Nuke memang manis. Terlalu manis untuk dilupakan, kenangan yang indah bersamamu…

“Kok liatinnya gitu amat?” wajah gadis cantik itu memerah dan ia tersipu-sipu.

Rao langsung salah tingkah. “Eh… err… nganu, ga kok. Aku hanya melihat ada pelangi di matamu.”

“Ha?”

Kampret! Kok malah kuwi seng metu! Kok malah jadi kalimat itu yang keluar!? Rao mengutuk dirinya sendiri yang keceplosan. “Tadi ada binatang kecil yang mau masuk ke mata kamu. Tapi sepertinya sudah pergi.”

“Beneran? Sudah pergi kan?” Nuke mengejapkan matanya berulang-ulang disertai lambaian tangan, takut matanya dimasuki serangga.

“Sudah.” Rao berpura-pura ikut melambaikan tangan di samping wajah sang gadis jelita, mengusir binatang yang tidak ada dan dijadikan alibi. Dasar pengecut. Sama preman sangar berani, sama gadis begini malah nyalahin serangga. Hashtag saveserangga.

Mereka berdua tengah duduk di tribun penonton satu stadion kecil baru yang masih lengang dan sepi di Lapangan Klabangan – sebuah lapangan sederhana di utara Fakultas Peternakan Kampus Negeri. Di samping mereka kini ada beberapa snack dan minuman. Keduanya menikmati hari menjelang sore sembari menonton beberapa anak kecil yang tengah bermain bola.

Stadion ini sebenarnya adalah stadion kecil yang dibangun oleh pemerintah daerah setempat yang ingin memfasilitasi masyarakat dengan gelanggang olahraga atau GOR yang terpadu. Bagian tribun hanya terdapat di satu sisi dan ukurannya standar memanjang saja. Gedung yang ada di belakang tribun terdiri dari dua lantai dengan sisi terdalam memuat lereng-lereng berundak yang dapat digunakan sebagai tempat duduk, sementara di bagian bawah sisi luar yang menghadap ke arah jalan terdapat toko-toko penjaja makanan.

Seperti biasa, keduanya masih canggung dan tidak banyak bicara.

Sampai kemudian tangan Nuke mencoba mengambil kentang goreng yang ada di bungkus kotak Ayam Goreng Fried Chicken. Ia melakukannya bersamaan dengan Rao yang juga hendak melakukan hal yang sama.

Tangan mereka bersentuhan.

Cie.

“Eh, ma-maaf, tidak sengaja, Mas.”

Rao mengangguk kikuk. “Maaf juga.”

Keduanya saling berpandangan. Wajah Nuke dan Rao sama-sama memerah. Mereka tidak memegang kentang goreng sama sekali, jari mereka terkait di dalam kotak bungkus. Meski begitu tidak ada yang buru-buru melepaskan. Serasa ada kait yang sudah sepaham, tapi bukan di tangan, melainkan di hati yang terdalam. Kalau ini sinetron ftv, judulnya pasti Cintaku Terpetok-petok di Bungkus Ayam Goreng Fried Chicken.

Awkward moment.

Mereka hanya saling berpandangan saja.

“A-anu…” Kejadian ini membuat Nuke berasa balik ke jaman SMA. Berasa merasakan kembali romansa anak muda. Wajahnya memerah bagaikan strawberry.

Kalau Rao malah berasa mules. Wajahnya pucat pasi bagai bulan kesiangan. Ia meneguk ludah, merasakan dirinya tenggelam dalam pesona sang gadis jelita di depan mata yang tatapannya memabukkan tanpa perlu menenggak botol.

Nuke menundukkan kepala, “Anu… aku mau minta maaf, Mas. Aku minta maaf karena selama ini aku sudah merepotkan. Aku tahu kalau sebenarnya aku tidak berhak terus menerus meminta perlindungan sama Mas. Seharusnya aku bisa mandiri dan tidak perlu takut menghadapi semua ancaman dari Bang Gunar… hanya saja…”

“Kalau aku memang bisa melindungimu, kenapa tidak…?” Rao menggaruk-garuk rambutnya dengan tangan yang bebas. Dia kikuk kalau Nuke sudah mulai bicara dari hati ke hati begini. Berasa ada yang berdersir di dalam dadanya. “Aku tidak keberatan.”

Nuke menatap Rao dengan mata indahnya. “Beneran tidak keberatan?”

Rao mengangguk tapi lantas buru-buru memalingkan wajah.

Gawat. Terlalu mempesona.

Sang Hyena Gila mengalihkan pandangan ke arah jauh dan meraih tangan Nuke dengan berani. Meraih di sini sama dengan mengaitkan jari jemarinya yang kasar di antara jari jemari halus milik sang bidadari, menggandengnya. Tentu saja tidak lagi di bungkus Ayam Goreng Fried Chicken. Wajah Nuke makin tak karuan, bukan karena jengah, tapi karena malu – benar-benar mirip anak SMA saja mereka berdua saat ini… dan dia menyukainya.

“Ada yang sebenarnya ingin aku bicarakan denganmu…” suara Rao agak berbeda, tercekat di ujung nada. Menandakan ia sebenarnya sedang malu setengah mati untuk mengungkapkan rasa di hati. Ini artinya dia mulai serius. Jauh lebih serius daripada ketika dia ngutang ke angkringan karena bawa duitnya kurang. “A-aku ingin bertemu dengan keluargamu…”

“Hah!? Ketemu keluarga? Kenapa Mas? A-apa Mas sudah mau… maksudku… ini kan terlalu cepat… aduh, gimana ya…” Nuke belingsatan, dia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi ia menganggap hubungan yang terlalu prematur tidak akan bagus kedepannya, di sisi lain dia berharap Rao memang serius dan mereka bisa… tapi bukan berarti lantas dia harus buru-buru mau bertemu dengan…

“Eh, bukan. Bukan begitu maksudku.” Rao takut Nuke salah paham.

“Hah? Tidak kok. Aku tidak salah paham.” Padahal iya. Wajah gadis itu memerah. “Terus kenapa mau bertemu dengan keluargaku?”

“Ma-maksudku… aku ingin mengembalikanmu dengan selamat ke keluargamu. Karena aku juga ingin kamu hidup tenang dan aman meski mungkin harus meninggalkan kota ini untuk sementara waktu. Bersamaku kamu pasti merasa aneh tinggal dengan orang asing, karena aku ini orang yang kasar dan…”

“Tidak! Aku tidak merasa begitu! Tidak! Aku tidak masalah tinggal dengan Mas! Aku malah merasa nyaman, aku merasa aman, aku merasa terlindungi. Aku ingin tinggal dengan Mas sampai Mas bosan dan mengusirku. Aku ingin terus menerus di samping Mas dan…” Ucapan Nuke terhenti ketika menyadari dia baru saja meracau tidak karuan sekaligus membuka perasaannya yang sesungguhnya.

Rao menatap Nuke dengan bingung.

Dia heran kok tumben ada yang mau padanya.

Tapi jujur Rao merasa senang dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Nuke, meski tentu saja dia tidak bisa bertindak gegabah dan egois. Dia punya kewajiban moral untuk mengembalikan Nuke pada keluarganya dan menjelaskan dengan gamblang apa yang selama ini terjadi. Mudah-mudahan mereka sanggup menerimanya dan menerima Nuke kembali serta membicarakan keamanan gadis itu ke depannya. Mudah-mudahan Nuke tidak keberatan.

Kalau semua masalah beres, barulah dia akan… dia akan…

“Ma-maksudku begini, Mas…” Nuke meneguk ludah.

“Tidakkah kalian tahu? Berjalan-jalan terlalu jauh dari zona nyaman tidak baik untuk kesehatan.”

Terdengar suara serak mengganggu percakapan mereka berdua.

Rao dan Nuke hampir melonjak kaget karena tiba-tiba saja ada orang lain berbicara. Baik Nuke maupun sang Hyena Gila menengok ke samping.

Tak jauh dari posisi mereka berada – tiga orang pemuda menyeringai. Ketiganya membawa tongkat baseball warna hitam yang dimainkan dengan sok jago. Rao langsung berdiri dan mengamankan Nuke yang terpekik dan menjerit ketakutan.

Sarno, Jardu, dan Eben sudah berdiri sembari berkacak pinggang.

Lokasi tempat duduk GOR di Lapangan Klabangan dekat selokan di utara Fakultas Peternakan Kampus Negeri yang sepi sepertinya akan jadi ramai sebentar lagi.

“Kalian lagi kalian lagi… woalah tumo tengik penganan jangkrik. Apa ya tidak puas sudah aku hajar tempo hari?” Rao menggoyangkan tangan dan kakinya. Ia mendengus sejenak, lalu tertawa mengerikan. Ketiga orang ini hanya remahan rengginang di bawah blek Khong Gu@n yang nemplok tidak mau lepas meski kaleng digoyang. Tidak tahu kapan harus mundur dan mengaku kalah. Menyebalkan. Njelehi tenan.

Ada satu masalah yang aneh. Bagaimana mereka dapat menemukannya di sini?

Dia tidak pernah membuka keberadaannya di mana pada siapapun, termasuk anggota DoP dan Aliansi sekalipun, kecuali… Remon dan Don Bravo. Siapa di antara mereka berdua!?

“Jangan besar kepala dulu, sempak prengus.” Sarno membalas senyuman Rao dengan seringai, “Menyogok orang di DoP rupa-rupanya membuahkan hasil. Heheheh. Uang bicara, mas bro! Dengan informasi orang dalam kami dapat dengan mudah menemukan di mana kamu berada saat ini. Hahahaha… kami juga tidak akan terjatuh ke lubang yang sama dua kali seperti orang bodoh – jadi kali ini kami akan mengerahkan pasukan dan membawa pergi gadis itu sekali dan selamanya! Sedangkan kamu… kami akan membuatmu menyesal telah menghina PSG tempo hari!”

Rao menggemeretakkan gigi saat ia melihat ada sekitar dua puluh orang bergerak bersamaan dan menggerombol di belakang ketiga orang terdepan yang tengah menantang dirinya. Lawan tiga orang ini jelas urusan gampang buat sang Hyena Gila. Tapi melawan dua puluh tiga dan masih harus memikirkan soal Nuke itu urusan yang berbeda.

“Mas…”

“Tunggu sebentar, Nuke. Aku harus berpikir untuk…”

“Mas…”

Rao menghela napas panjang, “Apa sih? Aku kan sudah bilang kalau…”

Nuke mencengkeram pundak Rao. “Ma-Mas… di belakang kita…”

Rao membalikkan badan.

Ada tiga orang yang berdiri di belakangnya dan Nuke.

Rao terkejut dan mengaitkan lengan di badan sang bidadari untuk melindungi Nuke.

Sarno tertawa, “Hahahaha. Tidak menyadari kehadiran mereka kan? Hahahaha. Perkenalkan, Dab. Mereka adalah punggawa papan atas PSG yang diturunkan demi membuatmu menyesal telah dilahirkan. Hahahaha, inilah mereka Tiga Gentho dari Bondomonan! 3GB! Hahahaha.”

Rao merasakan bacaan Ki berkekuatan hebat keluar dari tubuh ketiga orang yang disebut 3GB itu. Tapi dasar Rao, alih-alih takut ia justru menyeringai dengan menyeramkan.

“Salam kenal, dab,” Rao melambaikan tangan.

Sang Hyena Gila sudah pernah mendengar reputasi dari 3GB yang disamakan dengan Empat Anak Panah JXG dan Empat Perisai QZK. Kalau memang merekalah yang kali ini datang untuk menjemput Nuke, maka Rao benar-benar tersudut. Berhadapan dengan satu saja pasti sudah akan merepotkan, apalagi ketiganya ditambah dengan tiga cecunguk plus dua puluh orang prajurit mereka… tiga puluh… empat puluh… berapa sih jumlahnya yang datang? Kenapa terus berdatangan?

“Mas? Bagaimana ini?”

Rao tidak menjawab pertanyaan Nuke dengan segera. Dia hanya mendengus dan menyiapkan Ki-nya saat melihat gerombolan lawan mulai mendekat.

Bisikan yang berikutnya terdengar dari bibir Rao adalah kalimat yang membuat jantung Nuke berpacu kencang.

“Dengarkan aku baik-baik, aku hanya akan mengucapkan ini satu kali. Anggukkan kepala jika kamu paham. Lawan kita terlalu banyak dan kuat. Aku tidak yakin bisa mengatasi mereka seorang diri. Pakai ponselku, ada di kantong celana belakang. Tidak ada lock-nya, langsung buka saja. Aku ingin kamu menghubungi seseorang di situ. Namanya Simon Sebastian. Kabarkan… bahwa aku diserang PSG dan kondisi sangat berbahaya.”

Nuke mengangguk dengan tubuh gemetar.

.::..::..::..::.

Hageng, Deka, dan orang-orang Aliansi lain yang tadinya mengikuti jalannya Tarung Antar Wakil di UTD kini sudah hadir di pelataran depan gedung tak berpenghuni yang berada di sebelah kampus Universitas Amora Lamat – gedung yang disebut Kandang Walet, markas utama DoP.

Suasana marak oleh kerumunan orang yang berkelahi, di halaman depan, di dalam, hingga ke tingkat atas. DoP mempertahankan gedung mereka dari serangan RKZ yang memaksa untuk merangsek masuk dan ingin menghancurkan semuanya.

Rombongan Aliansi yang baru datang disambut oleh Bian yang masih bertarung di depan gedung dengan beberapa orang anggota RKZ yang dengan mudah ia singkirkan. Dengan pukulan gerak cepatnya, si Bandel sedang menuntaskan perlawanan tiga orang anggota RKZ.

Ketiga orang itu menyerang ke arah Bian secara bersamaan dari tiga arah sekaligus. Kanan, kiri, dan depan. Posisi belakang aman karena ia baru saja menyelesaikan lawan di belakang dengan satu tonjokan ke selangkangan.

Bian ingat apa yang pernah disampaikan si Bengal, kalau lawan maju berbarengan – jangan dihadapi semuanya sekaligus. Perhitungkan langkah mereka. Siapa yang maju terlebih dahulu? Hadapi satu persatu dengan mengacaukan ritme, jangan mundur melainkan maju.

Orang di depan Bian maju paling cepat – jadi dia target pertama, setelah itu orang di kiri yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan orang pertama, dan terakhir orang di sebelah kanan yang paling jauh. Ia harus memperhitungkan semua langkah dan jangkauan pukulan dengan tepat karena kalau salah sedikit saja, benjol akibatnya.

Bian maju ke depan dua langkah, menjemput lawan yang terkejut karena irama serangannya berubah. Tangan Bian melesat ke depan, mengincar leher. Kepalannya meledak.

Yamete!!

Bdggkh!

Kaki si Bandel lantas bergeser ke samping kiri, badan berputar setengah lingkaran searah jarum jam, lalu melecutkan diri ke arah sebaliknya. Pukulan Bian bak alat bor yang kencang menggali. Lagi-lagi ia mengincar leher lawan. Ditohok sekuat tenaga.

Dame!!

Bdggkh!

Dua lawan terlontar ke belakang setelah sodokan Bian masuk ke jakun mereka. Tinggal satu lagi untuk membuat hattrick. Karena lawan sudah sampai di posisinya sekarang, mustahil untuk maju dan mengacaukan ritme gerakan sang anggota RKZ. Yang bisa dilakukan Bian adalah menggunakan kaki untuk lebih efektif meraih posisinya.

Begitu lawan memijak tanah tempat Bian semula berada, kaki si Bandel maju, mengait dan menarik ke arahnya. Lawan sudah tahu itu akan dilakukan Bian, dia mundur meski sempat goyah. Tapi dia tidak memperkirakan serangan susulan akan datang lebih cepat dari perkiraan.

Sodokan tangan Bian membuat sang lawan tertohok di leher hampir bersamaan dengan teriakan kencang si Bandel, “Kimochi!!

Bdggkh!

Lawan ketiga Bian ambruk ke belakang. Tiga orang telak tertohok dan tergeletak. Pukulan si Bandel telah melesat untuk menghantam jakun ketiga lawannya dengan gerakan yang ringan namun melumpuhkan. Kalau lawannya hanya sekelas dawet begini Bian masih unggul.

“Hraaaaaaaaaaaaaaghhh!!!”

Teriak si Bandel dengan wajah puas dan kedua tangan terkepal kencang. Entah ini sudah lawannya ke berapa hari ini. Dilihat dari tangannya yang bernoda darah, sepertinya bukan lawan yang pertama. Hageng dan Bian mendatangi sang kawan yang baru saja membantai tiga lawan.

Mblooooong!” panggil Hageng mesra.

“Akhirnya kalian datang juga!” ucap Bian sembari menggeh-menggeh setelah meninggalkan ketiga lawan berat yang sudah terkapar. Napasnya tak beraturan, dadanya naik turun, keringatnya mengalir deras membasahi kaus kutung warna hitam yang ia kenakan. Wajahnya amat lelah, jelas tiga orang tadi bukanlah lawannya yang pertama.

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Deka.

“Mereka datang secara tiba-tiba dan langsung menginvasi tempat ini. Pasukan mereka ada tiga gelombang, masing-masing dipimpin oleh Tedi Ganesha, Roni, dan Albino. Tanpa alasan jelas, mereka langsung menyerang semua anggota DoP yang sedang duduk. Untungnya masih banyak anggota yang siaga dan tidak semuanya pergi ke Tarung Antar Wakil jadi mereka bisa mempertahankan tempat ini. Aku sendiri datang tidak sengaja untuk mengantarkan Beni Gundul menemui Rao.”

“Mana Rao?” tanya Simon yang juga baru saja datang hampir bersamaan dengan kedatangan Deka dan Hageng. “Aku tidak melihatnya di mana-mana. Aku juga tidak merasakan Ki-nya dari sini.”

Bian menggeleng kepala, “Itu dia. Sejak tadi Rao tidak ada di sini.”

“Apa maksudmu tidak ada Rao?” Simon mengerutkan kening.

“Rao tidak bisa dihubungi sejak awal pertarungan ini, entah di mana dia berada. Yang jelas dia sama sekali belum datang. Anak-anak DoP ini sejak tadi berjuang tanpa pimpinan mereka.”

Simon mendengus dengan kesal, “Kemana lagi orang gila itu? Kenapa dia hilang justru di saat semua orang membutuhkannya? Rao dan Nanto sama-sama tidak bisa datang kali ini…”

“Itu artinya kamu yang akan menentukan langkah kita selanjutnya, Simon.” ucap Deka sambil menunjuk Sang Pemuncak Gunung Menjulang. “Apa yang harus kita lakukan?”

Ponsel Simon berdering saat itu juga.

Pimpinan Sonoz itu mengelap keringatnya dengan punggung tangan, ia membuka ponsel yang berulangkali berbunyi nyaring. Saat itu juga dia tersentak bagai tersambar petir saat melihat pesan singkat di aplikasi WhatsApp.

“Gawat. Ini semakin gawat.”

“Kenapa memangnya?” Deka yang bertarung di dekat Simon mendekat untuk mencari tahu.

“Rupanya kita sedang diburu di banyak tempat. Entah bagaimana caranya, Rao ternyata sedang diserang dan disudutkan oleh PSG. Dia sedang mati-matian bertahan di GOR Lapangan Klabangan utaranya Fakultas Peternakan Kampus Negeri. Barusan ada cewek yang memberi kabar pakai nomor Rao. Dia minta bantuan”

“Hah!? Rao juga diburu PSG?” Deka garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Angel wes… angel tenan… Serangan ganda. Orang-orang PSG dan RKZ sama-sama memanfaatkan situasi untuk menggebuk Aliansi.

“Iya, sepertinya kita harus membantunya juga.” Simon menengok ke arah pertarungan antara Aliansi dan RKZ yang masih berlangsung di Kandang Walet, suasana di sini masih belum kondusif, ditambah Rao yang diharapkan datang malah sedang dalam bahaya.

Sebagai pemegang kendali Sonoz, Simon tentunya harus memastikan kalau markas Sonoz kondisinya aman, karena ada kemungkinan tempat itu juga akan diserang entah oleh RKZ atau PSG.

Tapi itu harus menunggu, Simon tidak bisa tidak harus segera mengambil keputusan mengenai Aliansi saat ini juga. “Sial, serangan ganda ini merepotkan sekali. RKZ dan PSG sama-sama mengacau karena tahu kita sedang dilemahkan oleh Tarung Antar Wakil. Aku jadinya juga mengkhawatirkan kemanan markas Sonoz kalau begini caranya.”

“Bagaimana dengan Aliansi?” Bian tidak sabar.

“Oke. Kita harus segera berpencar untuk mengepung musuh dan menyelesaikan semua masalah. Hanya bisa begitu kan?”

Bian, Hageng, dan Deka mengangguk.

“Pertama… Kandang Walet. Tempat ini bisa hancur tanpa Rao. Kita harus menyelamatkannya. Ini jadi prioritas utama dan konsentrasi pasukan.”

“Setuju.” Deka mengangguk. “Demi Rao dan juga Nanto kita harus menunjukkan siapa kita sebenarnya. Ini namanya pukulan ke Aliansi, bukan hanya DoP. Ingat bahwa kita sekarang semua satu atap, satu server.”

“Betul sekali. Jadi demi Rao dan Nanto, kita harus pastikan markas DoP dan Sonoz aman.” Simon setuju.

“Saat ini kamu yang bisa memutuskan untuk kami semua, Simon,” ulang Bian mengingatkan.

Simon mengangguk. Ia berdiri dengan tegap dan mulai menunjuk satu demi satu orang yang ada, “Aku beserta dengan Beni Gundul, jendral-jendral DoP, dan Korlap Sonoz akan mempertahankan Kandang Walet dari serangan RKZ yang sepertinya dipimpin oleh Tedi Ganesha, Roni, dan si Albino. Kalau hanya mereka, kami pasti bisa mengatasinya. Kita juga tidak perlu ke Sonoz kalau di sana aman, asal ada saksi matanya. Tapi kalau tidak – maka aku akan naik ke Unzakha dan Beni Gundul yang akan memimpin penyelamatan Kandang Walet.”

“Bagaimana dengan kami?” tanya Deka.

“Kalian bertiga… tugas kalian adalah mencari dan menyelamatkan Rao.”

Deka, Hageng, dan Bian saling berpandangan. Mereka mengangguk hampir bersamaan. Ketiganya lelah bukan kepalang setelah adu jotos di Tarung Antar Wakil dan tawur di Kandang Walet, tapi mereka tahu apa yang harus dilakukan melebihi rasa lelah mereka.

Setelah mengirimkan pesan kode bravo ke grup untuk mengabarkan posisi Lapangan Klabangan pada si Bengal, ketiganya segera melesat untuk menuju tempat parkir motor.

.::..::..::..::.

“Di sini tempatnya?”

Nanto mendengus, dia berjalan dengan berani sementara Sulaiman Seno memarkirkan kendaraannya tak jauh darinya di pinggir halaman depan.

Mereka berdua berada di sebuah kawasan selepas bandara lama, tak jauh dari candi yang ada di perbatasan kota. Di kawasan sentra dawet, kalau dari arah kota maka berbelok ke kiri dan menyusuri jalan sekitar empat kilometer menuju ke sebuah gudang tertutup yang berada di tengah-tengah persawahan. Sebuah gudang berbentuk kotak besar berpagar tinggi, tertutup, dan megah seperti kardus berkat. Di depan gudang terletak banyak bemper mobil yang dipasang saling menumpuk dengan berbagai peripheral kendaraan yang sudah usang atau berkarat.

Orang-orang akan mengira bahwa tempat itu adalah kandang mobil bekas dan besi tua.

Pintu depan yang besar terbuka sedikit sehingga Nanto bisa masuk dengan bebas. Di dalamnya, tumpukan besi tua dari berbagai perangkat dan asal muasal ditata dengan aturan sesuai panjang dan lebar bentuk fisiknya. Meski dari depan terlihat sepi, namun di dalam gudang ternyata cukup ramai. Di bagian belakang gudang, puluhan karung tengah dimasukkan oleh para pekerja harian ke dalam beberapa pick-up truk bak tertutup.

Isi dari karung itu jelas bukan barang yang mendapatkan ijin edar secara legal dari pemerintah karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nanto memperkirakan kalau karung-karung itu berisi obat-obatan terlarang.

Empat orang pemuda berkaus dan bercelana putih yang tadinya duduk-duduk sembari bermain kartu remi di dekat pintu langsung bangkit saat melihat ada seorang pemuda masuk tanpa permisi. Mereka menatap nyalang pada Nanto yang melangkah tanpa peduli. Keempat orang itu saling lirik satu sama lain – seakan hendak meyakinkan bahwa ada seorang bajingan kurang ajar yang sudah seenak jidat masuk ke dalam tempat ini. Mereka pun saling mengangguk dan berjalan bersama ke depan untuk menyambut si Bengal. Mereka bukan orang-orang RKZ yang sama yang tempo hari menyerang bengkel Amar Barok ataupun menyerbu Sonoz, sehingga mereka belum pernah bertemu dengan Nanto sebelumnya.

Tak berapa lama kemudian, Jagal juga masuk mengikuti si Bengal.

Mereka memang tidak kenal Nanto, tapi keempat orang itu mengenali sang Jagal.

Seno mendahului Nanto untuk menemui keempat orang berkaus putih sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan merepotkan. “Aku datang kemari untuk mengantarkan orang ini pada Bos Jenggo. Dia sudah menunggunya.”

“Oooh, jadi ini orangnya kah?” seorang pria bertubuh tinggi besar berkulit gelap di antara empat penjaga lain maju untuk mendekati Jagal dan si Bengal. Kulitnya yang gelap sepertinya bukan karena berasal dari wilayah timur yang eksotis melainkan karena keturunan orang luar, entah dari benua yang mana. Dari logatnya yang unik sepertinya ia juga bukan pengguna sehari-hari Bahasa yang sempurna.

Jagal mengangguk. “Ini Nanto. Orang yang diinginkan Bambang Jenggo. Dia Ketua Aliansi.”

“Wooo ketuaaaa jareeee.” Ketiga orang di belakang si kulit gelap meledek jabatan si Bengal. “Orang pangkat tinggi, Brooo…”

“Tinggi pangkat, Brooo…”

“Brooo…”

Nanto jelas tak beringsut ataupun terhina mendengar ledekan itu. Ia justru mendekat ke arah si kulit gelap yang bertubuh besar bak binaragawan dan keduanya bertatapan dari jarak teramat dekat. Nanto harus mendongak karena orang itu lumayan tinggi. Tak ada dari mereka berdua yang berkedip.

Adu melek? Si kulit gelap mendengus dan tersenyum, tantangan si Bengal ia terima.

“Sok jago kah?” desis si kulit gelap. Dia menunjuk dada si Bengal dan dadanya sendiri. “Siapa kamu tidak peduli. Tidak suka wajah. Lawan. Satu satu. Sekarang.”

Nanto tersenyum, “Mau berapa detik?”

Cuh!

Si kulit gelap meludah ke samping. “Tidak suka wajah. Seperti bungkus boncabe.”

Cuh!

Nanto ikut meludah, “Kamu seperti makanan lele.”

Keduanya sama-sama menggemeretakkan gigi dan mempersiapkan kepalan.

Tapi adu jotos tidak terjadi.

Terdengar tepuk tangan dan suara ceria di belakang mereka semua. Suara membahana menyambut kehadiran Seno dan Nanto. “Nah ini dia! Akhirnya datang juga! Yang ditunggu-tunggu sampai mules! Jagal dari JoxoGendeng dan Nanto dari Aliansi. Haahahahaa. Ini nih! Ini yang namanya Nanto! Dia orangnya yang kemarin menghabisi pasukanku seorang diri. Hahahhaa. Luar biasa kemampuannya. Mengagumkan sekali! Pilih tanding! Hahahahahahaha!”

Bambang Jenggo dan salah seorang pengiringnya datang. Ya. Hari ini Jenggo hanya muncul dengan satu penjaga setia, entah di mana yang satu lagi – padahal biasanya berdua melulu kayak biji.

Pimpinan RKZ berperut tambun itu lantas duduk di sebuah kursi yang terbuat dari ban bekas yang tadinya dipakai oleh para penjaga untuk bermain remi. Punggawa penjaga yang selalu menyertai Jenggo memilih tempat tak jauh darinya.

“Maafkan kalau anak buahku kurang sopan saat menyambut, Mas Nanto. Hari gini keamanan mesti ekstra ketat,” ujar Jenggo sambil mengedipkan mata. “Yang sudah kamu ajak kenalan itu tadi namanya TKO Johnson. Dia barang impor yang aku beli lewat Alibaba, dibeli karena harganya lumayan murah. Dapat diskon, ada cashback, plus gratis ongkir. Ya sudah bungkus kan ya. Hahahahah. Keren lho dia, dari kecil sudah pinter Bahasa Inggris. Hahahahaha.”

Nanto mendengus, Jagal gelisah.

“Sepertinya kalian sudah tak sabar, kita ke sana saja. Ada ruang tamu di sana.” Bambang Jenggo lantas menunjuk ke satu arah untuk meminta Jagal dan Nanto pergi meninggalkan keempat penjaga depan menuju ke sebuah ruangan tertutup. “TKO Johnson itu mantan petinju, tapi akhir-akhir ini bekerja sebagai penjaga gudangku. Bayarannya mahal, makannya banyak, sukanya pisang tanduk. Kalau visa-nya habis, aku pulangin saja. Hahahaha.”

Jagal benar-benar sudah tidak sabar. Dia maju mendekat ke Jenggo sebelum mereka semua pergi ke ruangan yang dimaksud. “Bangsat, tidak usah terlalu lama basa-basi! Aku sudah membawakanmu Nanto. Bebaskan non Nada sekarang juga!” bentak pria itu gemas. “Ingat selalu janjimu!”

Mendengar ancaman itu, ketiga orang di belakang TKO Johnson segera mengepung Jagal yang mendekat ke arah Jenggo. Mereka menunjukkan bakti setia dengan melindungi sang pimpinan. Meski sudah pernah mendengar reputasi sangar sang Jagal, namun ketiganya tetap tak peduli. Mereka siap menjadi tameng hidup. Tiga pria berpakaian serba putih berdiri tanpa takut.

“Hahahaha, tenang saja, sobat. Aku tidak pernah lupa kok. Aku berjanji akan melepaskannya setelah urusan yang harus dilakukan selesai. Santai saja, dia tidak apa-apa, dia tamu kami. Kami sama sekali tidak menyentuh dan menyakitinya… meski si TKO ini sudah penasaran banget – dia demen yang putih-putih. Ahhahaahahah.”

“Bajing…”

“Hoi! Jagal!” Jenggo berkacak pinggang. “Kamu itu sedang berada di rumah orang dan sudah kami sambut dengan sopan, tapi malah memaki tidak karuan. Kamu pikir kamu siapa di sini? Dengar aku sekali lagi. Dengarkan baik-baik. Nada akan kami bebaskan lebih cepat dari seharusnya – karena kamu sudah membantu kami mendapatkan orang yang kami inginkan. Tidak perlu diulang-ulang lah ya kalimat itu. Yang penting sekarang kamu sabar dan menunggu dengan tenang, jangan berbuat aneh-aneh. Kalau semua baik-baik saja, kami pastikan Nada akan hadir di pesta pernikahan besar yang akan diadakan oleh Pak Zein. Hahaha, masa kakaknya nikah, adiknya sedang disekap kaum bajingan seperti kami? Hahahaha.”

Jagal menggeram. Dia tidak berani berbuat gegabah karena kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal pada Nada. Orang seperti Jenggo tentu saja tidak dapat dipercaya, tapi dia harus mengalah – posisi Nada ada di tangan mereka. Terpaksa Jagal mundur beberapa langkah ke belakang.

“Nah begitu, dong.” Jenggo terkekeh. “Begini saja deh, karena urusanku hanya dengan Mas Nanto, mungkin aku minta sekarang kamu pergi dari sini dan tunggu kabar selanjutnya. Kamu kelamaan di sini kok malah aku yang jadi puyeng sendiri. Sudah gitu aja ya? Aku akan share-location posisi di mana kamu bisa menjemput Nada dalam beberapa hari ke depan.”

“Aku mau Nada dikembalikan hari ini juga.”

“Ga mau. Ga suka. Gelay. Kan sudah dibilang? Tunggu kabar selanjutnya. Dalam waktu dekat dia akan bebas. Kapan sih aku pernah bohong sama kamu?” Bambang Jenggo melangkah maju tanpa takut ke arah Jagal. Ia mengangkat tangannya, membentangkan jemari, lalu menekuk jari kelingking dan jempol. Menyisakan tiga jari yang masih berdiri. “Jangan lupa – kita masih ada tiga urusan lagi. Kamu masih harus melunasi itu.”

Jagal mendengus, si bangsat itu tahu saja bagaimana caranya memaksa. Dia tidak ingin melakukan ini tapi mau tidak mau dia harus meninggalkan tempat ini. Pria gagah itu mendekat ke arah Nanto, lalu berbisik perlahan di dekatnya. “Berhati-hatilah. Mereka pasti punya rencana busuk denganmu. Mereka bukan orang baik-baik. Aku hanya ingin kamu memastikan keselamatan non Nada. Aku percaya padamu.”

Nanto mengangguk tanpa banyak kata. “Dia pasti pulang.”

Jenggo kembali mengangguk dan mengangkat jempolnya. “Nah dia lebih paham dari kamu, Seno.”

Jagal menarik napas panjang, dia harus percaya sepenuhnya pada si Bengal. Pria gagah itu melirik sekali lagi ke arah si Bengal dan melangkah keluar gudang. Tak lama kemudian terdengar suara motor berderu pelan meninggalkan lokasi. Sulaiman Seno sudah meninggalkan TKP. Hanya tinggal Nanto, Bambang Jenggo, dan pasukannya.

Saatnya mencari tahu kebenaran dari semuanya ini. Kenapa mereka mencarinya? Kenapa mereka ingin Nanto datang ke tempat ini? Kenapa harus menculik Nada? Apa korelasinya? Mau apa mereka? Kenapa harus seribet ini?

Hanya demi balas dendam?

“Oke, sekarang pria menyeramkan itu sudah pergi. Apa sebenarnya yang kalian inginkan denganku? Kenapa kamu begitu ingin bertemu denganku?” Nanto mendekat ke arah Jenggo yang menatap si Bengal dengan cengengesan.

Si Jenggo menggelengkan kepala. “Oh, bukan aku yang sangat ingin berjumpa denganmu kok, Mas Nanto. Ada orang lain yang jauh lebih rindu bertemu tapi kami tidak tahu bagaimana caranya mengundang Mas Nanto datang kemari secara sukarela. Satu-satunya jalan supaya kalian berdua bertemu adalah dengan cara seperti ini. Semoga sampeyan berkenan juga untuk bertemu dengannya.”

Si Bengal mengerutkan kening. Ada orang lain yang ingin menemuinya? Siapa? Ada urusan apa sehingga orang itu bahkan berniat menukarkan Nada dengan dirinya? Kenapa harus serepot itu urusannya? Kalau hanya sekedar bertemu kan gampang saja.

Ada yang tidak beres di sini. Tapi dia masih belum tahu apa.

“Jadi siapa? Siapa yang ingin bertemu denganku?” ulang Nanto.

Jenggo menyeringai aneh. Pria pimpinan RKZ itu menganggukkan kepala pada Nanto, “aku tahu sekali kamu pasti penasaran, Mas Nanto. Memang semakin cepat bertemu semakin baik. Harus dilakukan secepatnya sebelum terlambat. Lakukan sekarang.”

Nanto makin bingung.

Apa sih maunya orang ini? Ngomongnya kok tidak jelas. Meracau tidak karuan. Kalau memang dia…

Tiba-tiba saja Nanto merasakan ada angin berhembus kencang sesaat di belakangnya, menimbulkan perasaan tidak nyaman dan bulu kuduk berdiri. Aneh sekali, kenapa di tempat tertutup seperti ini tiba-tiba ada angin yang terasa cukup kencang?

Awas belakang.

Si Bengal terbelalak. Gerbang Kewaspadaan-nya menyala!

Bangsat!

Tapi dia kalah cepat.

Satu tangan menepuk pundak si Bengal dengan kecepatan tinggi, bahkan lebih cepat dari gerakan berputar Nanto. Kepala si Bengal bak disentak oleh listrik ribuan volt saat tangan itu menepuk pundaknya. Ketika akhirnya si Bengal membalik badannya, ia pun terkejut karena saat itu sedang menatap wajah yang amat sangat ia kenal.

Bagaimana mungkin dia ada di sini…!?

Tidak mungkin dia!

Tidak mungkin!

Dia!?

.::..::..::..::.

Tanpa terkira, arena tercipta.

Masyarakat yang tadinya datang untuk bersenda-gurau, bermain-main, dan berolahraga di Lapangan Klabangan, kini menyingkir dengan panik. Bagaimana tidak, sekitar lima puluh orang pemuda bertampang sangar dengan baju ala punk masuk ke lapangan dengan wajah garang dan berang. Siapa pula berani menantang atau menentang? Penyelia GOR pun terpaksa masuk kandang.

Rao yang tadinya duduk di tribun, buru-buru menggandeng Nuke berlari pergi sesegera mungkin dari tribun penonton. Mereka harus punya ruang gerak lebih bebas dari posisi tribun yang dikunci oleh anggota-anggota PSG. Terutama sekali, mereka harus menghindar dan punya jarak sejauh mungkin dari orang-orang yang tergabung dalam 3GB.

Dua puluh orang sekaligus mengejar Rao dan Nuke yang berlari menuju bagian ujung tangga yang tengah. Ada tiga orang menutup tangga ke bawah. Rao menggerakkan tangan ke depan – jari jemari dibentangkan.

Hfah!” desis sang hyena gila.

Tiga orang itu kontal seketika ke belakang, terjengkang, dan terguling di tangga ke bawah.

Buru-buru orang-orang PSG berpencar untuk mengejar Rao dan Nuke dari atas maupun bawah. Anehnya, ketika melihat kejadian itu salah satu anggota 3GB malah tertawa terbahak-bahak melihat kemampuan Rao.

“Luar biasa sekali ya, kekekeke. Sekali sentak tiga orang kejengkang. Lontaran Ki-nya sudah mumpuni. Itu artinya dia punya baterai Ki yang cukup besar dalam dirinya. Bagaimana menurutmu?”

“Bisa diperkirakan. Bisa dibaca.”

“Kekekekke. Bagoooosh! Ki-nya sepertinya lezat sekali.” Masih dengan terus terkekeh-kekeh, orang itu lantas melangkah maju, memperkirakan jarak antara dirinya dan posisi Rao, lalu tersenyum. “Jadi pengen olahraga sedikit. Kekekeke.”

“Hahaha, dicoba saja,” ujar orang yang satu lagi. “Tidak hanya dia yang punya jurus lontaran Ki.”

Orang yang terkekeh-kekeh lantas mengangkat kepalan tangan kirinya ke udara, lalu memutarnya seperti sedang mengelus-elus sesuatu yang tak nampak di udara sembari mengucap beberapa rapalan yang tak terdengar. Ia kemudian melecutkan lengan dengan kuat seperti seseorang yang tengah melemparkan tombak!

Swoooosh.

Jbphhhhh!

Rao jatuh terjerembab ke depan dan terguling justru ke arah para anggota PSG! Kakinya seperti tertusuk sesuatu yang tajam! Tak pelak, ia langsung menjadi incaran bulan-bulanan semua pasukan PSG yang mengejar. Rao menggulingkan tubuh untuk menghindar injakan dan sepakan. Ia terus berguling dan berguling.

Bangsaaaat! Kenapa tadi? Kakinya terasa nyeri.

“Maaaaaaaaas!! Maaaaaaaaaaaaaasss!!” jeritan panik Nuke membuat Rao terkesiap. Dia terlepas darinya!

Sial beribu sial. Kampret, kadal, kodok, kura-kura, kecoak, kutu aeeeeer!!

Rao buru-buru berguling ke sana kemari untuk menghindar dari serangan anggota PSG dan saat ia sudah bisa berdiri, ia mulai mencari sang gadis idaman hati. Mana dia?

Nuke! Di mana dia? Nuke? Nuke!?

Gawat.

Gadis itu tak lagi terlihat. Teriakannya tak lagi terdengar. Mulutnya pasti dibekap.

Benar sekali, di kejauhan, Rao bisa melihat Jardu dan Eben menarik tubuh Nuke yang meronta-ronta untuk masuk ke sebuah mobil.

Nuke!!

Mereka sudah mendapatkan Nuke!

Jardu dan Eben memaksa Nuke masuk ke dalam mobil. Kendaraan itu langsung pergi tanpa menunggu lama setelah pintunya ditutup.

Rao terbelalak tak percaya. Mereka sudah pergi. Nuke sudah dibawa pergi!!

“Haaaaaaaaaaaarrrghhh!” Rao meraung dahsyat dan berusaha mengejar maju – tapi jalurnya ditutup banyak orang bertampang buas.

Sial. Sial. Sial. Sial. Siaaaaaaaaal!

Sang Hyena Gila mengutuk dirinya sendiri yang gagal menghalangi orang-orang PSG mendapatkan gadis yang mulai mendapatkan tempat di hatinya itu. Wajahnya memerah menahan amarah. Orang-orang ini… orang-orang ini tidak boleh dibiarkan hidup!

Rao meledakkan Ki-nya.

Ia kini diselimuti tenaga yang teramat besar. Ia sudah tak lagi peduli berapa orang yang menyerangnya. Dengan langkah ringan, Rao maju ke depan – terutama untuk mengincar Sarno yang mulai khawatir dengan nasibnya sendiri.

Rao tidak melihat dia sedari tadi diamati oleh tiga sosok lain di bagian gelap sudut tribun penonton. Ketiga sosok itu memperhatikan kiprah Rao dan saling berbincang-bincang.

“Kekekeke, sepertinya dia akan mengamuk. Apakah kamu bisa melihat apa yang dia miliki?”

“Tenaga besar. Kekuatan besar. Berbahaya.”

“Begitu ya? Yosan? Apakah bisa dibantu?”

“Siap laksanakan. Aku akan lebih mendekat, tenaganya terlalu besar kalau dari jarak segini. Akan sedikit repot dijaga. Tentu saja sampeyan harus maju ke sana. Kalau mau makan, sampeyan kan harus sangat dekat.”

“Kekekeeke, oke. Memang harus menempel. Sepertinya lezat sekali makanan yang disajikan hari ini, aku pasti bakal kenyang sampai kemlakaren.”

Sementara ketiga orang misterius itu saling bercakap-cakap entah mengenai apa – Eben dan Jardu sudah cabut terlebih dahulu mengikuti perintah Sarno yaitu untuk membawa Nuke kepada Joko Gunar.

Puluhan anggota PSG yang juga merupakan jebolan dari KSN merangsek masuk ke dalam stadion, membantu mereka-mereka yang sudah masuk sebelumnya. Misi mereka jelas untuk membuat Rao kewalahan – bahkan kalau bisa, ditaklukkan.

Tapi Rao tidak kewalahan. “Hfah!

Sepuluh orang anggota PSG maju ke depan – lima orang terbang oleh sentakan Ki. Lima orang lagi berhasil mencapai posisinya dan melayangkan pukulan. Tapi mereka pun terkena hajaran satu demi satu, kecuali satu orang yang berhasil lolos setelah memukul pinggang sang hyena gila.

Selebihnya? Kocar-kacir, tergeletak, terkapar, dan tak berdaya.

Rao berdiri jumawa – seakan tanpa lawan.

Angin berhembus kencang di tengah lapangan.

Ada dua sisi di Lapangan Klabangan saat itu. Di sisi kiri yang berada di dekat tribun penonton berdiri Rao sang hyena gila yang berdiri sendirian tanpa kawan. Dia berhadapan melawan puluhan orang sekaligus yang berdiri bergerombol di sisi lain. Tidak ada wajah ketakutan sedikitpun di wajah sang pimpinan DoP. Satu lawan semua. Mungkin ini yang namanya mukbang atau all you can eat.

“Rao! Kali ini kamu tidak akan mampu menang melawan kami! Hahhaahhaha! Semuanya! habisi dia!” teriak Sarno mencoba mengomando pasukannya. Dasar orek tempe, beraninya keroyokan.

Rao mendengus tak peduli. Dia akan hajar semuanya. Semuanya! Tidak akan ada yang lolos dari sini tanpa tulang patah! Sang hyena gila mencoba meningkatkan tenaganya lagi! Ia mencoba…

Mencoba…

Rao mengerutkan dahi.

Kok…?

Tapi…

Tapi tidak ada reaksi apapun yang terjadi. Tidak ada efek. Tidak ada daya apapun yang muncul meski semua upaya telah dilakukan. Ki-nya entah kenapa justru menyusut. Tenaganya… kenapa tenaganya tiba-tiba surut? Apa yang terjadi?

Apakah dia sudah terlalu banyak menggunakan Ki? Rasa-rasanya belum, dia baru dua kali menggunakannya tadi. Dia sudah pernah mengeluarkan tenaga yang jauh lebih besar daripada ini sebelumnya, jadi tidak mungkin dia selemah ini! Apa yang terjadi!?

Coba, sekali lagi!

Gagal.

Coba lagi!

Gagal.

Coba lagi! Lagi! Lagi! Lagi!

Semua gagal.

Ki-nya tidak aktif.

Dia menggelengkan kepala.

Tidak. Tidak boleh begini. Dia tidak boleh kalah.

Nuke… dia harus menyelamatkan Nuke…, dia sudah berjanji untuk selalu melindunginya. Kenapa tenaganya mengkhianati di saat ia paling membutuhkan? Rao menengadah menatap langit. Tidak adil. Ini tidak adil.

Wajah ceria Nuke yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua terngiang di benak sang hyena gila. Atau di saat mereka berdua makan bersama. Atau di saat Nuke tiba-tiba saja muncul untuk meredakan stress kala dia sedang gundah. Rao tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. Dia rindu sekaligus mengkhawatirkan Nuke.

Geram sekali rasanya… geram seka… eh?

Rao melihat ke tanah, ia melihat kain baju Nuke yang terkoyak.

Hati Rao langsung hancur melihatnya.

Ia jatuh bersimpuh.

Begitu hancur perasaan Rao, sampai-sampai dia membiarkan saja ketika dua puluh orang anggota PSG datang dan menghujaninya dengan pukulan dan tendangan. Ia tak melawan dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kegelapan karena kecewa gagal melindungi sang wanita pujaan. Ia memejamkan mata, menganggap bahwa ia pantas dipukuli. Ia memeluk kain baju gadis itu di dadanya sembari meringkuk dan bergetar dalam geram.

Saat itulah ada dua motor masuk ke lapangan.

Orang-orang berhenti memukuli dan mengeroyok Rao. Semua mata menatap ke arah motor yang datang.

Tiga orang turun dari motor.

Rao langsung mengenali ketiganya. Deka, Hageng, dan Bian. Mereka datang!

Deka menganggukkan kepala, demikian juga Rao yang membalasnya dengan anggukan kepala.

Sarno yang melihat itu segera memecah pasukannya, dia sadar kalau orang-orang yang baru datang juga tergabung ke dalam Aliansi seperti halnya Rao.

“Kalian semua! Serbu Rao si orang gila! Selebihnya, hajar ketiga orang Aliansi itu!! Hajaaaaaar mereka semuaaaaaa!!!”

Kembali orang-orang PSG yang berada di dekat Rao memukul dan menendang sang hyena gila yang masih belum beranjak, sementara sisanya lari berbondong-bondong ke arah ketiga sahabat. Tak perlu waktu lama sebelum laga tercipta. Empat melawan enam puluh lebih. Dua puluh lebih mengeroyok Rao, Empat puluh menyerang ketiga sahabat.

Jelas tidak imbang.

Seharusnya.

Saat sedang dipukuli, tiba-tiba saja ada helaan Ki memancar dari dalam diri sang hyena gila. Dia masih punya sisa tenaga! Rao menyeringai dan terkekeh saat orang-orang PSG terus saja memukulinya tanpa perlawanan, mereka tidak sadar area perlindungan pria itu mulai aktif. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas dan memukul tanah.

Ble-daaaaaam!

Hentakan pukulan Rao menyebabkan lingkaran kecil di sekeliling tubuhnya amblas ke bawah, menggoyahkan posisi para penyerang yang langsung mundur teratur. Sang hyena gila berdiri ketika badai serangan mereda, dan melesakkan kain Nuke ke dalam kantong celananya. Ia pun melepas jaketnya sembari menatap satu persatu penyerangnya.

“Masa bodoh. Dengan atau tanpa Ki, aku akan menghancurkan kalian semua.” Sang hyena gila tertawa menyeramkan. “Hayo maju. Ki-ku tinggal sedikit ini, aku tidak akan bisa melakukan sentakan Ki lagi. Kita pakai tangan kosong. Manual.”

“Horyaaaaaaaaaaaaaa!!” satu orang bodoh maju untuk menggempur Rao.

Jbooooookgh!

Satu kepalan masuk ke wajah, membuat orang bodoh itu melayang ke belakang. Bibirnya bocor, satu giginya lepas, dan darah deras muncrat dari mulut. Pukulan Rao jelas teramat keras. Dia tidak menjabat ketua DoP hanya gara-gara punya jurus sentakan Ki.

Satu orang bodoh lagi berlari kencang menuju Rao, masuk dari arah kiri.

Bkgh!

Pukulannya masuk ke rahang Rao, membuat kepalanya berpaling ke kanan. Rao mendengus kencang, menggemeretakkan gigi, dan meledakkan pukulannya dengan satu lecutan kencang.

Jbooooookgh!

Nasib si orang bodoh kedua tidak jauh berbeda dengan rekannya. Ia terbang ke belakang dengan wajah yang sudah kena rombak.

“Siapa lagi? Siapa lagi yang berani haaaaa!?” Rao menantang, “lebih baik kalian habisi aku sekarang, karena kalau tidak – setelah ini aku akan menyatroni markas PSG dan akan aku bunuh kalian satu demi satu! Termasuk Joko Gunar! Akan aku kebiri Joko Gunar bangsaaaat itu!!”

Mendengar ledekan sang hyena gila yang merembet ke pimpinan tercinta, dua orang anggota PSG berpakaian ala punk rock yang merasa terhina langsung maju ke depan.

“Woryaaaaaaaaaaaaaa!!”

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam.

Rao tidak membalas. Dia membiarkan dirinya dihujani pukulan bertubi oleh keduanya, sampai akhirnya keduanya mundur selangkah untuk melihat kondisi Rao.

“Sudah? Begitu saja?” bibir pecah, wajah lebam, dan pelipis bocor. Tapi Rao mana peduli, dia malah terkekeh. “Kalau berniat menghalangiku, lakukan sekarang. Usaha kalian masih kurang. Siapa memangnya kalian? Bocil?”

Kedua orang itupun maju kembali.

Tapi sodokan kaki Rao sudah melejit untuk menghentak perut lawan di kanan sementara ia menggunakan lengan untuk menangkis serangan dari arah kiri. Lawan di sebelah kanan mundur teratur dengan mulut hendak muntah.

Rao mengalihkan perhatian ke lawan di kiri, ia dengan cekatan meraih tangan sang lawan, mencengkeramnya, lalu memuntirnya ke belakang. Rao kemudian mendorong orang itu ke arah tembok stadion yang ada di sisi kiri. Ia mencengkeram rambut sang lawan dan tanpa belas kasihan menghentakkan kepalanya tiga kali ke tembok.

Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh!

Saat tangan Rao melepas sang lawan, dia roboh dengan muka ambyar penuh darah. Giginya rompal, hidungnya bengkok, dan pelipisnya bocor. Napas orang itu tersengal-sengal karena hidungnya mampat penuh darah. Jika tidak segera ditolong, jelas ia tidak punya peluang.

Rekan-rekannya geram dan berusaha membantu, tapi untuk itu mereka harus melalui Rao yang sedang marah luar biasa.

Sang hyena gila melangkah maju tanpa takut ke arah lawan yang tersisa. Dia tidak peduli jika Ki-nya hanya tersisa sedikit atau jika dia gagal melakukan apapun pada akhirnya. Sepanjang dia mampu, dia akan menghancurkan mereka semua.

Satu lawan berapapun. Tangan kosong. Tanpa Ki.

Dimulai.

Maju!

Bersambung

Nikmatnya Bercinta Dengan Tante Yola
dua gadis sexy
Nonton Bokep Bareng Saudara Tiri Yang Cantik-Cantik
anak sma perawan
Memperkosa anak sma cantik yang masih perawan
tante liar
Liar nya permainan tante yang cantik dan semok
Bercinta Dengan Pembantu
Jatuh Cinta Pertama Season 1
Foto Sex Cewek Mulus Memek Rapat
mantan sexy
Perpisahan ternikmat dengan mantan pacar tercinta
Foto Bugil Mahasiswi Bohay Siap Booking
Foto Bugil Jilbab Super Cantik Tetek Super Gede
cewek menunggu
Kereta terakhir , pertemuan ku terakhir juga
tante genit
Tak kuasa menahan rayuan tante ginit yan super sexy
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
Foto bugil gadis berjilbab yang alim toge masih perawan
tante setengah baya
Pertemuanku Dengan Wanita Setengah Baya Di Toko Buku
abak pembantu
Anak Pembantu Ku Yang Penurut Bagian Dua