Epilog : MENGHAPUS JEJAKMU

Nobita menguap sambil memainkan ponsel untuk bermain game Between You. Lucu sekali game ini, tugas utamanya adalah mencari traitor atau menjadi traitor di antara serombongan astronaut yang tengah berada di luar angkasa.

Pemuda yang tengah mendapatkan perawatan di rumah sakit yang dirahasiakan oleh KSN itu terkekeh sambil bermain. Kadang ia berteriak kesal karena sesuatu hal yang terjadi dalam game dan di kali lain ia tertawa terbahak dengan senangnya.

“Hahahaha! Mampuuuuus! Ga tau kan aku traitor-nyaaa? Hahahaha! Salah sendiri pagi-pagi sudah ngajakin main!”

Swwshhh.

Ada semilir angin terasa.

Lho? Bukankah perawat sudah menutup jendela? Nobita melirik ke samping dan mendapati jendela ruang rawat inapnya terbuka. Masih gelap di luar sana, pagi masih belum bangun dengan sempurna. Nobita pun geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya sang perawat lupa menutup jendela sih? Kerjaan mereka ngapain aja sih?

Karena di ruangan ini Nobita hanya sendirian, maka ia pun berniat menutupnya, takut nyamuk-nyamuk menyerbu. Tapi tentu ia harus berjalan ke sana sambil membawa alat infus. Merepotkan sekali. Menyebalkan!

Nobita mematikan ponselnya dan hendak turun dari ranjang.

“Duduk saja. Aku tidak lama.”

Suara pelan yang terdengar menyeramkan itu membuat Nobita terkesiap. Siapa yang datang?

“Si… siapa?” suara Nobita terdengar aneh karena ia harus menahan sakit akibat lepasnya beberapa gigi sekaligus.

“Hasan Abidin – atau Abi, bukan hanya sekedar anggota Sonoz. Dia juga keponakan dari pimpinan kami.” Sesosok tubuh datang mendekat ke arah Nobita. Tubuhnya tegap, pakaiannya serba hitam, jaket, celana jeans, sepatu, semuanya pakaian berwarna gelap. seperti halnya ia mengenakan kacamata hitam di ruangan yang gelap, sosok yang aneh.

Nobita terkesiap saat ia akhirnya menyadari siapa sosok yang baru hadir. Di antara kelompok geng besar, selain ketua yang dihormati dari masing-masing kelompok, ada juga anggota-anggota terkuat lain yang legendaris. Salah satunya mungkin orang ini! Bukankah dia dikabarkan sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu? Su-su… sule… siapa yah namanya?

Ah iya, Sulaiman Seno! Si Jagal!

Eh!? Si Jagal!?

Nobita langsung menyadari apa yang akan terjadi. Dia gemetar ketakutan. “Ja-jangan… jangaaaan! Jangaaaan!!”

Terlambat.

Seno sudah bergerak dengan cepat. Dia menyeruak masuk untuk menyergap Nobita. Satu tangannya membekap sang anggota KSN dan mendorong kepalanya ke tembok di belakang kepala pembaringan, ia menekannya teramat kencang sehingga Nobita terkunci tak bisa bergerak. Sementara kaki Seno naik ke ranjang untuk mengunci tubuh bawah. Sang pengkhianat mencoba meronta tapi tak berhasil. Ia mencoba memukul, tapi Seno lebih kuat.

“Aku tidak akan membunuhmu. Jadi dengarkan baik-baik. Aku akan datang padamu tiga kali. Tiap kalinya aku akan membawakan secuil neraka untukmu, paham?”

Nobita mendelik dan menggelengkan kepala dengan buas, ia ketakutan setengah mati. Ia mencoba menggigit tangan Seno yang membekapnya, tapi laki-laki itu tak peduli. Nobita benar-benar mati kutu!

Seno mengambil sesuatu dari slingbag yang ia bawa-bawa. Sebuah pisau dapur yang besar!

“Bocah, karma memanggil namamu.”

Clak! Clak! Clak! Clak!

Pisau diayunkan dengan sabetan teramat kencang yang dilakukan berulang-ulang dengan kekuatan penuh. Empat jemari kanan Nobita terlepas dari tangannya, mencelat tak tentu arah. Darah muncrat kemana-mana. Sang pengkhianat berteriak sangat kencang karena kesakitan. Tangisnya menjadi-jadi, air mata mengalir deras.

Bel berbunyi nyaring karena teriak kesakitan Nobita terdengar hingga ke ujung bangsal tempat perawat berjaga. Saat para perawat datang dengan panik, ruangan itu sudah bersimbah darah dengan Nobita yang kesakitan karena tangan kanannya kini hanya menyisakan jempol.

Seno tak lagi nampak, empat jari tangan kanan Nobita pun tak kelihatan.

Tidak ada yang menduga kalau beberapa hari kemudian, jari-jari itu muncul di makam Abi.

.::..::..::..::.

“Gimana Lena? Masih bobo ya? Iya, masih di kerjaan. Tidak rewel kan, Ma?”

Rania mendengar jawaban sang Mama dan tersenyum dengan tenang. Seperti ada guyuran kesegaran yang membuat pagi ini lebih indah baginya.

“Syukurlah kalau begitu. Iya, ga apa-apa kok, pengen nelpon aja pagi-pagi. Beberapa jam lagi aku pasti pulang. Iya. Maaf ya sudah bikin Mama jadi repot jagain Lena sendirian hari ini. Seharusnya memang jadwalku…”

Rania terdiam lagi mendengar bundanya mengucapkan beberapa kalimat. Si cantik bergigi gingsul itu hanya mengenakan kaus berukuran besar tanpa apa-apa lagi. Ia lantas melanjutkan.

“…seharusnya memang aku pulang tadi malam. Tapi ternyata harus gantiin shift temen. Maaf ya. Yaaa, iya sih, Ma. Aku sih tahu Mama tidak keberatan, tapi akunya yang jadi merasa bersalah. Hari ini aku pulang jam 7-8 gitu, Ma. Iya. Kasih kiss-kiss ke Lena ya, Ma. Makasih Ma.”

Telpon diakhiri. Rania duduk dalam diam, menatap foto sang buah hati di layar ponsel dengan napas teratur yang panjang tiap selanya. Dadanya naik turun tiap kali ia menarik dan menghembuskan napas. Sudah pasti dia merasa berat sekali meninggalkan sang putri tercinta. Entah sudah berapa lama dia menahan diri setiap berjumpa dengan seorang pria yang mendekatinya. Tapi saat bersama Roy, dia sudah tak sanggup lagi menahan diri.

Roy itu… berbeda.

Ada sesuatu pada diri Roy yang membuatnya…

“Aman?” Roy berdiri di tepian kusen pintu sambil bersidekap menatap Rania. Pria itu tersenyum melihat wanita yang ia sayangi menghubungi keluarganya, setelah semalaman berduaan dengannya. “Lena tidak apa-apa, kan?”

Rania terkejut sebentar, tapi lantas menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa. Sudah biasa aku tinggal shift malam. Hanya saja…”

“Hanya saja?”

“Hanya saja aku bohong tentang shift malam tadi.” Rania menyandarkan kepalanya ke dinding, ia memiringkan kepala supaya bisa melihat wajah Roy dengan jelas di bawah sinar lampu yang redup. “Ini kali pertama aku bohong sama Mama, dan rasanya sama sekali tidak enak. Awas kalau kamu sampai mengingkari janji, aku sudah bela-belain bohong nih sama Mama, sama Lena. Dasar.”

“Kok jadi aku yang disalahin?”

Roy tersenyum dan melangkah ringan. Ia bertongkat lutut di hadapan Rania yang duduk di atas kursi. Si cantik itu menatapnya serius karena wajah Roy tiba-tiba saja juga sangat serius. Tangan sang pengendara angin menangkup dua lutut wanita pujaannya.

“Aku tahu aku ini hanya lulusan SMA, hanya bekerja di sebuah rumah makan, hanya tinggal di kos sempit di pinggir kali Tjedo. Tapi aku sudah berpikir… dan berpikir… dan berpikir… dan berpikir…” Roy meneguk ludah, seakan-akan apa yang diucapkan masih belum merupakan draft akhir yang hendak disampaikan. “…aku terus menerus berpikir tanpa henti, mempertimbangkan semua hal, mikir ngalor ngidul ngetan ngulon. Tapi semuanya mengerucut pada satu hal, pada satu keputusan.”

Roy mendekat ke arah Rania, memegang kedua tangannya, lalu meletakkan telapak tangan itu di dada bidangnya. “Sampai pada satu kesimpulan, sampai pada satu hasil. Kejadian semalam bersamamu semakin meneguhkan apa yang harus aku lakukan.” Roy meneguk ludah, “Rania, aku ini hanya manusia biasa yang tak istimewa yang ingin menggapai sesuatu yang diinginkan dengan cara yang sederhana. Aku tidak pernah ingin berpikir rumit, tapi jika kerumitan datang, maka aku ingin menyelesaikan kerumitan itu dengan segenap kemampuanku dan merasa bahagia akan keputusan yang telah aku ambil.

“Tapi untuk menggapai semua impianku dan untuk menyelesaikan semua kerumitan yang datang padaku ternyata ada syaratnya, aku tidak bisa menjalani semua kerumitan itu dengan gagah dan berkepala dingin, aku tidak bisa menjalani sisa hidupku dengan lebih baik… jika kamu tak ada di sisiku. Jika aku tak dapat bertemu denganmu. Kamulah pondasi yang aku cari, jangkar hidup yang aku butuhkan. Aku… tidak bisa hidup tanpamu.”

Rania menggeleng kepala, perasaannya tidak enak. Mata pemuda itu menusuk jauh ke dalam sanubarinya. “Mas Roy… jangan… jangan terburu nafsu. Pikirkan baik-baik… jangan… Mas masih muda, masih punya masa depan yang cerah… jangan…”

“Aku tidak main-main. Sejak pertama kali ketemu, sejak pertama kali kenal, sejak pertama kali tahu siapa kamu – aku benar-benar tidak bisa melepas pikiran tentangmu bahkan sejenak saja. Kamu membuat hidupku makin hidup, jalanku makin terang, dan tujuan hidupku tergariskan. Saat aku kemarin di luar sana mempertaruhkan nyawa demi kawan-kawan yang aku cintai – hanya wajahmu, namamu, dan suaramu yang meyakinkan aku kalau aku bisa melalui itu semua. Tidak bisa tidak aku harus melanjutkan hidup demi bersamamu.”

“Mas Roy… aku…”

“Rania, kamu tahu aku sayang banget sama kamu. Kita sudah sering beberapa kali jalan bareng, sudah sering keluar bareng, entah sudah berapa kali aku datang untuk mengantar kerja dan menjemputmu pulang. Walaupun kita belum lama bertemu, tapi rasanya kamu seperti terlahir untukku. Jadi, aku ingin menghabiskan sisa hidupku untuk mengenalmu.”

Rania terbelalak. Si manis bergigi gingsul itu menggeleng kepala. “Mas Roy? Jangan…”

Roy meneguk ludah, menatap mata Rania dengan tajam dan kencang memegang jemari lentiknya. “Rania, maukah kamu menikah denganku?”

Jantung Rania bagaikan mau copot. Ada bayang air mata di ujung bulat mata indahnya. “Ka-kamu tidak serius kan? Kamu pasti tidak serius. Jangan main-main, Mas. Aku…”

“Aku janji, aku akan segera menemui Mama-mu dengan mengajak keluargaku dan melamarmu secara resmi. Bagaimana?”

Wajah Roy yang teramat serius membuat Rania menundukkan kepala dan menenggelamkan wajah dalam tangkupan tangannya.

Rania tidak mengatakan apa-apa setelahnya.

Roy masih menunggu.

Kinan Larasati

Rania

Smartphone Nanto bergetar pelan, dia tidak akan mendengarnya karena sedang berada di ruang depan menatap sunrise dari balik jendela. Ponsel itu ada di samping kasur, tergeletak tanpa daya di dekat kabel charger, menjerit-jerit minta diangkat. Jemari lentik kekasih si bengal memungutnya – ia mencoba melihat nama yang tertera di layar melalui kedua mata indah yang sedang tak bisa dibuka karena rasa kantuk lebih juara.

 

Siapa ini?

Bb?

Siapa Bb? Kinan menggeser tombol terima dan meletakkan ponsel itu di telinganya. Lemah suara Kinan yang masih belum benar-benar bangun dari tidur. Ia bahkan menguap sangat lebar ketika terdengar bunyi panggilan tersambung.

“Halo?”

Tersambung. Tapi tidak ada suara balasan, hanya ada suara gemeresak di ujung. Mungkin karena suara Kinan terlalu lirih?

Siapa sih ini pagi-pagi gangguin aja?

Kinan memejamkan mata kembali sembari berbaring. Habis ini tidur lagi aja sepertinya, tadi malam dia dan si bengal menikmati hari seperti tiada esok – bercinta dan bercinta bagaikan sepasang pengantin menjalani bulan madu berdua, mudah-mudahan kelak mereka berdua benar-benar menjalaninya bersama sebagai sepasang suami istri.

Dengan jemari lentiknya yang lembut, ia mengelus pelan belah selangkangannya yang kini sudah tak lagi asing dengan tamu lawan jenis, karena semalam, seseorang telah datang dan masuk dengan undangan golden ticket. Kinan mendesah sambil tersenyum.

Jadi seperti itu ya rasanya?

Menyesalkah Kinan?

Sedikit, mungkin.

Karena dia mengorbankan apa yang sudah ia jaga selama bertahun-tahun dari kecil hingga dewasa yang seharusnya ia persembahkan untuk pria yang meminangnya dan mendampinginya hingga akhir masa.

Itu sedikit penyesalannya.

Tapi bahagianya lebih banyak karena kini ia terlibat ikatan lahir batin dengan Nanto yang sangat ia dambakan, betapa ia ingin mengarungi semua ini sampai kelak mereka tua bersama-sama. Mudah-mudahan pria yang akan bersanding dengannya di pelaminan adalah pria yang ia pilih sebagai kekasihnya ini. Sekali untuk selamanya.

Mudah-mudahan saja orangtuanya juga memiliki pandangan yang sama dengan Kinan. Ia harus membawa si bengal ke rumah dan memperkenalkannya pada semua keluarga. Mudah-mudahan Nanto siap.

Hihihi. Pasti seru.

Terdengar suara berderak di ujung telepon. Ada suara yang masuk.

Halo? Nanto? Sayang? Sudah bangun? Aku kangen tau. Kemana aja sih?

Sa-sayang? Kangen?

Kinan terbelalak. Siapa ini? Bulat mata indah yang Kinan yang mengantuk kini terbuka lebar. Siapa ini? Kok ada cewek yang memanggil pacarnya pakai sayang-sayang?

“Halo?” Kinan menjawab.

Ada sedikit hentakan suara kaget di sana karena yang menjawab bukan Nanto melainkan suara seorang gadis.

Siapa kamu?” suara di ujung sana bertanya dengan setengah berteriak, sentakan suara tertahan.

“Lah? Kamu yang siapa?!” Kinan melakukan hal yang sama. “Aku pacarnya Mas Nanto.”

Suara di ujung tersentak, ia menyebutkan satu kalimat.

Si bengal yang mendengar suara Kinan berjalan pelan sambil tersenyum hendak menyapa. Betapa terkejutnya dia ketika melihat wajah Kinan seperti hendak meluapkan magma panas. Muntup-muntup.

Telponnya sendiri sudah ditutup dan diletakkan di samping kasur kembali. Sepertinya sudah tidak ada lagi percakapan berikutnya.

“Siapa sayang?” tanya si bengal menatap Kinan penuh tanda tanya.

Kinan menatap Nanto penuh amarah. “Siapa Asty?”

Nanto terkejut. Dia meneguk ludah.

Nah, bagaimana?

Siap menghadapi masa depan?

Hadapi sekarang.

Katanya siap.

Epilog Selesai

cewek binal cerita dewasa
Bercinta Dengan Cewek Binal Di Rumah Ku
gadis lihat bokep
Ngentot dua gadis manis yang terangsang karena melihat bokep
Abg Jembut Lebat Masturbasi Pakai Lipstick
Foto Tante Bohay Nungging Sebelum Ngentot
Nikmatnya Bercinta Dengan Tante Yola
Foto Memek Mulus Tembem Cewek Bispak
Kisah Sang Perawan
istri teman
Membalaskan Dendam Istri Teman Kantor Ku
Petualangan Sexs Liar Ku Season 2
bispak cantik
Cerita ngentot dengan susi cewek bispak yang cantik
rekan kerja sange
Menolong Teman Kerja Yang Pengen Merasakan Orgasme
adik sepupu
Ngentot adik sepupu waktu dia tidur terlelap bagian satu
stw hot
Wisata unik di jogja, makan di temani STW yang cantik
500 foto chika bandung anak SMA cantik menggoda bugil pamer memek
Tiga dara cantik ngajakin ngentot di hotel
wanita misterius
Cerita sex pertemuanku dengan wanita misterius