Part #34 End : BINTANG DI SURGA
Nanto kebingungan.
Yang mana nih yang harus dijawab terlebih dahulu? Ketiga ketua kelompok kampus di depannya atau telepon yang menyalak tanpa henti? Dia jelas juga tidak ingin hubungan rahasianya dengan Asty terbongkar sedini ini di hadapan pacar barunya – kalau bisa sih ga ketahuan dan semuanya damai. Istri tua santai istri muda damai. Ahahay. Hew. Koplak. Resiko jadi playboy cap serabi kocor. Terwelu numpak jaran, bola-bali watake garangan. Kenapa juga dia tidak pernah bisa menolak cewek ya.
We lha kok malah pikirane mblandhang.
Ayo fokus, Nyuk.
Nanto akhirnya melambaikan ponselnya yang masih berdering sambil menatap Rao, Simon, dan Ableh Ndaho. “Maaf – aku angkat telepon dulu dari saudaraku. Sepertinya ini penting.”
“Woke, dab! Ditunggu di sini yak!” Rao mengangkat jempol.
Simon mengangguk dan tersenyum, begitu juga Ableh.
Nanto pun menggeser tombol terima dan meletakkan ponsel di telinganya, sementara ia beranjak meninggalkan tempat lesehan di pinggir sawah menuju ke halaman parkir mobil yang lebih luas. Ada beberapa kursi kosong di sana yang dapat ia gunakan untuk duduk sembari menerima telpon dari Bu Asty.
“Halo?”
Tidak ada suara.
Nanto mengernyitkan dahi. Kok tidak ada yang balas?
“Halo?” si bengal mengulang pertanyaannya.
Sekali lagi tidak ada suara. Hanya ada suara teriakan dari kejauhan. Teriakan itu jelas teriakan Bu Asty.
Wajah Nanto berubah tegang.
Gawat, apa yang terjadi? Kenapa Bu Asty berteriak minta tolong? Keringatnya mengalir deras, rasa khawatirnya meningkat cepat. Apa yang sedang terjadi?
Kalau sampai ada apa-apa yang terjadi pada wanita yang ia puja sejak ia masih SMA dan ia tidak dapat menyelamatkannya, maka dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Tapi di mana Bu Asty sekarang berada? Apa yang sedang terjadi? Bagaimana dia bisa menyelamatkannya? Nanto mencoba mendengarkan dengan lebih seksama. Informasi. Dia butuh informasi. Di mana Bu Asty sekarang!? Jika jaraknya dekat, dia bisa…
“Tidak ada… ang dapat… kanmu… ak Man… gudang… ak Uya…”
Suara itu… suara laki-laki!? Suara siapa?
Tangan Nanto terkepal kencang. Siapa yang mengganggu Bu Asty!?
“Tolooooo… ak… ey! Jangaaaaaan! Tolo… anggil Pak Uya… angaaaaan!”
Nanto mendengarkan dengan seksama, ia melakukannya sambil memejamkan mata. Suara sang bidadari idaman putus-putus dan terdengar jauh dari ponselnya. Geram sekali ia mendengarnya karena tidak bisa berbuat apa-apa dan takut semua akan terlambat. Tangannya terkepal kencang. Siapa yang berani-beraninya…!?
Sebentar… kalau tidak salah laki-laki itu menyebut nama Pak Man dan Pak Uya, lalu menyebutkan kata gudang. Bu Asty juga kalau tidak salah menyebutkan nama Pak Uya.
Pak Uya!
Pak Uya penjaga sekolah!
Bu Asty di sekolah.
Di sekolah! Mungkin di gudang.
Nanto kebingungan, menatap ke kanan dan kiri, mencari posisi motornya. Motornya tertutup motor lain. TIdak… tidak akan sempat.
Gawat. Tidak akan sempat.
Jarak kota terlampau jauh dari lereng Kalipenyu jika dia memaksakan diri untuk ngebut, bakal ada hal tidak menyenangkan yang segera terjadi dan dia tidak boleh mengorbankan waktu. Apa yang harus dia lakukan? Siaaaal! Seandainya saja dia dapat segera turun ke kota! Tapi itu tidak mungkin dia lakukan, dia sedang bersama Kinan! Tidak mungkin dia meninggalkan pacarnya sendirian di sini! Dia juga tidak mungkin masuk ke sekolah dengan terburu-buru dan begitu saja menyerang ke gudang!
Apa yang harus dilakukan…?
Ah.
Iya.
Masih ada cara lain.
Si bengal buru-buru membuka aplikasi WhatsApp, masuk ke grup lima jari dan menekan tombol demi tombol keyboard dengan cepat. Dia tidak mungkin mengumbar cerita kalau selama ini dia ada main dengan Bu Asty – bahaya banget tentunya, tapi masih ada cara lain yang bisa dilakukan di situasi gawat ini.
Semoga saja bisa.
Kode Charlie. Siapa yang dekat SMA CB? PM. ASAP.
Tidak sampai tiga menit, telepon genggam Nanto berbunyi. Si bengal langsung mengangkatnya. “Halo. Makasih sudah respon dengan cepat, kamu di mana?” Nanto terdiam sejenak mendengar penjelasan. “Oke, paling tidak bisa tiga menit sampai ke CB. Dengerin baik-baik, aku mau minta tolong.”
Nanto menjelaskan dengan cepat apa yang harus dilakukan.
Klik.
Telpon ditutup.
Si bengal menatap ke langit.
Semoga sempat.
Semoga.
.::..::..::..::.
Apartemen Eva lumayan apik, terang, rapi dan berukuran besar. Jika tirai dibuka, kita bisa melihat pemandangan perkotaan dengan gunung yang menjulang di arah utara dan jalan ringroad melingkar ke selatan melalui jalur sebelah timur. Semua bisa terlihat karena berada di lantai yang cukup atas. Peralatan dan perkakasnya juga bukan yang kelas murah, paling tidak model-model EKAI bawaan apartemen yang fully furnished.
Sepertinya gadis ini bukan gadis dengan tingkat pendapatan yang biasa-biasa saja – jadi dia bisa memiliki atau menyewa apartemen sebesar ini. Beda jauh sama kost Hageng yang letaknya paling pojok dan sering jadi kandang pocong.
Sang T-Rex duduk di sebuah kursi di depan meja di tengah ruangan, meja itu tinggi dan kursinya juga tinggi, apalagi kalau diduduki Hagengnya yang sudah tinggi, tinggal dikit lagi sudah bisa ganti lampu di langit-langit. Letak mejanya sendiri ada di depan kitchen set, jadi sepertinya memang meja ini disediakan untuk digunakan sebagai tempat makan.
Dua telur dadar gulung terhidang di atas piring putih di depan Hageng.
Masih hangat.
Dua omelette berwarna kuning, dengan saus tomat merah di samping. Lengkap dengan sosis, potongan jagung rebus, lembaran daging sapi tipis. dan jus jeruk bersoda menemani sebagai pelengkap. Wuh. Sarapan macam apa ini? Sewaktu tadi Eva bilang dia mau menyediakan sarapan buat Hageng, dia sama sekali tidak membayangkan yang beginian. Hageng yang biasanya sarapan bubur gudeg, pecel pasar, dan sego koyor pun terkekeh.
Eva tersenyum manis sambil duduk dengan kedua tangan menopang dagu. Dengan memakai kemeja longgar warna putih dan celana jeans ketat, si cantik itu makin terlihat menyegarkan. “Cicipin, mudah-mudahan cocok.”
“Ala-ala hotel ya?” Hageng mengambil pisau dan garpu dengan gembira sembari memotong omelette-nya. Telur dadar itu ada isiannya. Hageng mengunyahnya. Matanya melirik ke atas, “Hmm… kornet.”
“Iya. Aku pakai kornet untuk isian omelette. Omelette kan biasanya simpel, cuma telur dadar gulung biasa yang masaknya pakai butter dan black pepper – kadang ditambah sedikit hijau-hijau. Tapi aku lebih suka yang begini. Begitu telurnya jadi, ditaburi kornet kalengan, baru digulung.”
“Ga pakai garam?”
“Tidak perlu. Makanan kaleng biasanya sudah asin karena mereka punya kadar garam masing-masing, jadi asinnya didapat dari situ.”
“Mozo zih?” si kribo manggut-manggut sambil makan dengan lahap. “Enak juga.”
Eva tertawa senang. Tawanya imut sekali. “Yokatta. Syukurlah kalau kamu suka. Hihihi. Aku ga tau mesti masakin sarapan apa lagi, karena bahannya yang ada itu.”
“Hahahahaha. Enak kok.” Hageng memotong-motong sosis dan memakannya dengan lahap. Nyam!
Eva tersipu, ada semburat merah di putih pipinya. Dia sudah biasa dipuji, sudah biasa ditinggikan, sudah biasa mendengarkan gombalan berbusa dari banyak pria dari yang muda sampai yang tua. Tapi entah kenapa saat dipuji oleh si raksasa kribo ini dia merasa berbunga-bunga. Seperti yang pernah ia rasakan dulu saat dipuji oleh pacar pertamanya. Ada rasa deg-degan tak biasa yang membuat wanita jelita itu gugup – sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia rasakan.
Eva gelisah.
Kenapa dia merasa begini? Ada rasa terpendam tulus yang ingin menyeruak keluar, meledak, yang sebelumnya tak pernah ia rasakan dan bayangkan. Apa yang terjadi pada dirinya?
“Lain kali aku mazakin menu lokal. Kamu mau apa?”
“Hm… jago masak juga rupanya?”
“Lumayan.”
“Lebih jago mana? Bikin puisi atau masak?”
“Hmm…”
Hageng menepuk dagunya pelan dengan ujung garpu, kepalanya miring ke atas, begitu juga bola matanya menatap langit-langit. Pose seakan-akan sedang berpikir keras. Eva tertawa.
“Zepertinya lebih biza mazak daripada berpuizi.”
“Syukurlah kalau begitu.” Eva terbahak. “Kalau lebih jago bikin puisi, aku tidak bisa membayangkan seperti apa masakanmu.”
Hageng tertawa. “Zuka makan apa? Lain kali aku ziapin.”
“Apa yang kamu bisa aja.”
“Tteokbokki?”
“Beuh. Apanya yang lokal? Itu kan makanan Korea.”
“Lokal dong. Lokal di Korea. Bahahahahaha.”
“Hew.” Eva memicingkan mata kesel sambil bercanda. Tapi sejenak kemudian ia teringat salah satu makanan kesukaannya. “Aku suka rawon.”
“Rawon? Ziap. Biza.”
“Yakin bisa?”
“Tutorialnya banyak di Youtube.”
“Hedeh.” Eva menarik tissue dari box-nya yang ada di samping piring, lalu menggerakkan tangannya ke depan, ke arah mulut Hageng. “Sori, ada saus di pipi ka-…”
Belum sampai tangan Eva mencapai wajah Hageng, tangan besarnya sudah mencengkeram pergelangan tangan si cantik. Hageng menatapnya tajam, Eva membalasnya. Keduanya terdiam beberapa saat lamanya – sama-sama tak melepaskan tangan.
Hageng menatap si cantik itu dengan pandangan aneh. Selama ini dia jarang sekali diperlakukan secara khusus oleh lawan jenis, begitu juga sebaliknya dia jarang memperlakukan wanita lebih dari sekedar bercakap-cakap dari jarak jauh. Hageng biasanya juga lebih tertarik dengan bolang-baling atau dodol, wedang jahe atau jenang gempol. Jadi rasanya agak jengah Eva memperlakukannya dengan spesial seperti saat ini – apakah dia harus membalas tindakan spesial sang perempuan jelita ini?
Hageng bingung. Seperti ada yang salah, tetapi juga benar pada saat yang bersamaan. Sang T-Rex merasa dia menjadi sosok yang berbeda dari biasanya, dia menjadi tokoh utama, menjadi sangat ganteng, dan tampan. Seperti James Bond… tapi mana ada James Bond kribo. Ya udah, kalau begitu menjadi Achmad Albar.
“Ehem. Sampai mau berapa lama pegang tanganku?” Eva berdehem dan cekikikan melihat Hageng malah tenggelam dalam lamunan. “Serius, ada saus di pipi kamu. Percuma pose ganteng.”
“Eh? Iya ya?”
Hageng melepas cengkramannya, dan Eva mendekat untuk membersihkan saus di pipi sang raksasa. Jemari lentiknya menepuk dan mengelus pipi sang raksasa. Eva mendesah, kenapa… kenapa dia juga jadi salah tingkah begini? Dia kan sudah biasa berurusan dengan laki-laki? Mulai dari suka bohong sampai yang brengsek terang-terangan, mulai dari yang tong kosong sampai yang mendekatinya dengan cara tak biasa demi akses membuka celana dalamnya. Semua sudah pernah.
Tapi kenapa Hageng beda?
Ada keluguan.
Ada ketulusan.
Ada kemurnian hati yang ia rindukan.
“Zudah?” giliran Hageng yang sekarang mengingkatkan.
“Eh iya. Su-sudah.” Eva pun mundur dengan wajah merah. Ia menyeruput Teh Botol Srotsrot yang sudah ia sediakan untuknya sendiri. Karena seperti orang Indonesia pada aumumnya, apapun makanannya, minumnya Teh Botol Srotsrot.
“Habiz!” Hageng tertawa setelah menyelesaikan makanannya. “Hahaha. Zukzez kan? Enak zekali oplet-nya. Hahaha.”
“Omelette. Tapi ya sudah lah ya.” Eva tersenyum senang.
“Aku minta maaf kalau terdengar kurang ajar – habiz makan teruz pulang, tapi aku haruz buru-buru pergi karena ada zezuatu yang haruz aku kerjakan berzama teman-teman… err… di kampuz.”
“Kampus? Oh iya, kamu masih kuliah ya. Lebih tua-an aku ternyata.”
“Wajahku boroz, keliatan tua. Hahaha.”
“Wedew. Sudah kudagu.”
“Jadi terima kazih untuk zarapannya. Aku benar-benar minta maaf tidak biza tinggal lebih lama. Apartemennya baguz zekali, kapan-kapan aku mampir lagi buat bikinin zarapan yang aku janjikan.” Hageng tersenyum sambil berdiri dan dengan sopan mencoba membawa piringnya ke tempat cucian piring.
“Eeh! Sudah! Biar aku saja!” Eva menolak dan mengambil piring kotor dari tangan Hageng untuk meletakkannya di meja makan kembali. “Ti-tidak perlu dicuci, biar aku saja.”
Hageng mengangguk dan berlalu menuju pintu.
Eva cemberut, masa secepat ini? Masa dia tidak bisa memaksa Hageng tinggal dulu lebih lama? Huh! Dia tidak terima! Masih pengen berlama-lama! Dengan cekatan, si cantik itu membuka kancing kemejanya, dua yang teratas. Dia sengaja tidak mengenakan bra, sehingga balon buah dada-nya yang ranum dan sentosa tampak teramat menggoda, membikin lidah kelu tak bisa bicara, membuat napsu memburu ingin segera melepas celana, menjadikan birahi naik sampai ujung kepala.
“Hageng…” desah Eva menggoda.
“Ya?”
Hageng membalikkan wajah dan terkejut ketika gadis itu sudah berjalan erotis ke arahnya dengan kemeja yang terbuka sampai dada. Menunjukkan bulat balon sentosa miliknya. Ukurannya besar. Gila besar. Besar, putih, dan besar. Sudahkah dia bilang kalau dada Eva besar? Besar.
Hageng meneguk ludah.
Eva tersenyum, kena kan? Masa iya habis ini dia tetep mau pergi?
Hageng mendekatinya.
Selangkah, dua langkah, tiga, sampai akhirnya jarak mereka hanya sehembusan napas. Hageng tersenyum menatap Eva. Eva mengedipkan mata dengan genit.
“Kenapa?” desah Eva erotis, ia sengaja memainkan jemari lentiknya di bibir yang sensual. Hatinya makin bahagia saat Hageng mendekat dengan wajah sange. Yatta! Double kill!
“Aku tahu kamu gadiz yang baik. Mezki baru dua kali kita ketemu, tapi aku tahu kamu baik.” Ucap Hageng. “Tapi… aku tidak biza…”
Eva mendesah sembari makin menambah aksen dengan menghunjukkan dadanya ke depan sembari mengempitnya dengan kedua punggung lengan. Yang besar jadi makin terlihat bulat dan besar. Besar pokoknya. Besar. Sudah bilang kan kalau dadanya Eva besar? Iya, besar.
“Tidak bisa apa?” tanya Eva.
“Aku tidak biza pergi dan membiarkanmu zeperti ini. Takutnya kalau ada yang tiba-tiba datang, dan… melakukan hal yang tidak baik padamu. Aku pazti akan zangat zedih kalau itu zampai terjadi.” Hageng tersenyum, ia mengaitkan kembali dua kancing teratas kemeja Eva. “Tetaplah menjadi baik. Kapan-kapan aku datang ya, aku mazakin rawon.”
Hageng berbalik kembali dan setelah memakai sepatunya, ia menuju pintu, membukanya. Hageng membalikkan badan sesaat, menatap Eva yang kebingungan. Si raksasa tersenyum sambil melambaikan tangan. “Ciao.”
Hageng keluar dan menutup pintu.
Eva masih tak bergerak, diam tak percaya, berdiri dengan mulut menganga. A-ada laki-laki yang menolaknya! Dia menolaknya! Baru kali ini ada laki-laki yang melakukan hal itu padanya! Tidak mungkin! Siapa berani menolaknya?
Eva terdiam.
Ada rasa panas dan dingin bercampur dalam hatinya.
Gudang belakang sekolah menjadi sangat panas, bukan karena memang udaranya panas, tapi karena suasananya panas. Sangat panas.
Rey meremas-remas dada sentosa Asty yang menjerit ketakutan. Si bangsat ini!
“Le-lepaskan! Aku teriak!”
“Hehehe, tenang saja, manis. Kenapa harus ketakutan begitu sih? Aku kan mau berbagi kenikmatan, mau bersenang-senang. Jadi tidak hanya kamu saja yang senang, aku juga mau senang-senang.” Rey tidak melepaskan tangannya dari dada Asty. Gila, guru ini memang bener-bener mamah muda idaman banyak pria. Ya cantik, ya seksi, suaranya juga merdu, apalagi kalau sedang ketakutan begini, menambah pasokan adrenalin yang membuat Reynaldi makin buas.
“Lepaskan!! TOLOOOOOONG!!”
“Percuma saja tidak akan ada yang mendeng…”
Plaaaak!!
Tangan Asty melejit menampar sang guru ganteng yang kurang ajar. Wajahnya jadi merah, tapi ia pun jadi marah. Ia menatap Asty kembali – tapi kali ini wajahnya berubah, tidak ada lagi wajah ganteng yang tadi nampak, kali ini hanya ada sosok mengerikan dengan wajah penuh birahi yang ingin segera disalurkan.
“Hehehehe… jadi begitu? Kamu sukanya dikasari? Oke… okee… boleh… kalau memang itu yang kamu inginkan, kita bisa kok bermain kasar. Masokis ya? Mantap. Boleh. Aku layani. Mau model kasarnya seperti apa? Hmm? Seperti apa??” Rey menarik hijab dan pakaian Asty dengan kasar, tentu semuanya menjadi awut-awutan, kerudungnya terbuka – menampilkan rambut indah panjang Asty dalam gelungan mungil. Rey menjambak Asty dan rambut panjang indahnya terurai begitu saja. Guru ganteng yang kurang ajar itu bahkan tidak peduli ketika jarinya beberapa kali tertusuk jarum pentul.
“Jangaaaaaaaaaaaaaaaann!!” Asty menjerit.
“Mau kasar bagaimana lagi maumu, ha? Mau kasar yang seperti apa yang bikin kamu suka? Kasar seperti apa yang bikin kamu nafsu?” Rey membuka kemeja Asty dengan kasar, mencoba menelanjanginya. Untunglah Asty tidak hanya memakai satu lapis pakaian.
Tapi apalah daya guru jelita itu dibandingkan Rey yang muda dan kuat?
Rey bukan Pak Man yang bisa ia kalahkan dengan sekali banting. Ia sudah berusaha mencari celah agar bisa menendang biji kemaluannya, tapi tak kunjung menemukan kesempatan. Laki-laki ini… sepertinya sudah sangat terlatih melakukan tindakan semacam ini. Bajingan ini… sudah berapa wanita yang ia nodai?
Ketika menyentakkan pakaian Asty untuk membuka celah menuju ke dadanya, bu guru cantik itu terbanting ke lantai. Saat itulah Rey makin menjadi dengan duduk di perut sang guru muda dan bebas melucuti pakaiannya. Asty meronta, meronta, dan meronta, ia berteriak, teriak, dan teriak. Tapi tidak ada hasilnya, tidak ada yang menjawab, tidak ada yang membuka pintu untuk menyelamatkannya.
Tidak suaminya, tidak kekasihnya.
Dengan pasrah dan air mata berderai, Asty mencoba melawan. Tapi Rey jauh lebih kuat. Satu persatu pakaiannya terlepas, menyisakan bra yang masih menangkup buah dada sempurnanya. Asty menjerit dan mencoba menutup dada dengan kedua tangannya.
“Ga maaaaaaaauuuuuuuuu!!”
Rey tertawa. Tangan Asty yang mencoba memukul ia kunci dengan mudahnya menggunakan satu tangan saja. Kuat sekali! Orang ini meski terlihat lemah tapi ternyata kuat sekali! Asty meronta tanpa daya.
“Kamu pikir kamu ini siapa sok banget? Mau menolak cintaku? Mana bisa. Aku selalu mendapatkan yang aku mau. Kamu pikir aku ini cuma guru muda biasa? Hahahaah. Kalau sampai kamu tahu latar belakangku, justru kamu yang akan datang mengemis-ngemis minta aku entotin! Bukan sebaliknya!”
Asty menatap Rey dengan ketus dan penuh amarah luar biasa, cuh!
Ludah Asty tepat terkena di wajah Rey. “Pergi saja kamu ke neraka.”
Rey mengelap ludah itu dengan ujung pakaian, lalu tertawa. Tangannya masih tetap menekan tangan Asty. Menahan, dan menguncinya.
Justru sekarang tambah lagi kaki Asty yang dikunci oleh kaki Rey – membuat si cantik itu benar-benar tak bisa berbuat banyak meskipun sudah meronta-ronta.
Dengan gerakan ringan yang cepat dan cekatan, Rey yang sudah dibutakan oleh nafsu syahwat yang meraja menarik celana dalam mungil Asty dengan cepat. Lolos mudah melalui jenjang kaki mulusnya – membuat akses ke selangkangan sang guru jelita jadi makin mudah. Terlihat pintu liang cintanya merah merekah mengundang.
Terengah-engah Asty kini, tenaganya sudah hampir habis dan ia tak bisa lepas.
Rey menegakkan badan dan memandang tubuh indah yang tergolek lemah di atas lantai. Ia membasahi bibirnya dengan lidah. Hari ini dia akan makan ayam paling lezat di seluruh sekolah! Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!
Rey akhirnya berdiri untuk melepas celananya sendiri sekaligus celana dalamnya – hingga terpampang batang kejantanan besar, tegang, kencang, dan menantang.
“Heheheh. Mari kita coba sekarang… dijamin paten. Aku sudah berhasil memperoleh beberapa anak dengan si Joni ini. Mwahaahah, mari kita coba apakah aku juga bisa membuatmu hamil seperti yang lain. Hahahaaha.”
Asty menggelengkan kepala dengan kerasnya. Tidak! Tidak! Tidak! Ia tidak mau!! Guru jelita itu berusaha merangkak mundur, tapi kemanapun ia pergi, seakan-akan ia terantuk sudut demi sudut yang memenjarakannya. Apakah tidak ada jalan lain lagi? Apakah hari ini ia benar-benar akan diperkosa oleh laki-laki ini?
Nanto.
Tolong.
Asty memejamkan mata ketika kedua kakinya ditarik oleh Rey dan direnggangkan lebar. Sudah… hancur sudah… ia tidak bisa melawan. Ia bisa merasakan jari jemari Rey mengelus-elus paha dan buah dadanya. Bagaimana bibirnya mencium beberapa bagian tubuhnya.
Suaminya. Nanto. Tolong.
Mudah-mudahan mereka bisa memaafkan Asty yang gagal menjaga diri dengan baik. Mudah-mudahan mereka masih bisa menerimanya yang akan dikotori oleh laki-laki jahanam ini.
Asty bisa merasakan ujung gundul kemaluan Rey mulai digesekkan di pahanya yang mulus. Ibu muda jelita itu tersedu-sedu karena merasa tak berdaya.
Ia hanya bisa mengucapkan kata maaf pada orang-orang yang ia kasihi. Maaf dia sudah gagal.
Maaf.
Rey tersenyum puas. Asty sudah pasrah. Saatnya merengguk kenikmatan.
Klek. Klek. Klek.
Rey dan Asty sama-sama terbelalak.
Mereka menatap pintu berbarengan dan melihat gagangnya bergerak-gerak. Gagang pintunya bergerak!
“Bu Asty!! Pak Reeeey!! Kalian tidak apa-apa kaaaan? Maaf kalian terkunci di dalaaaam!”
“Bu Asty!! Pak Reeeey!”
Suara Pak Uya dan Pak Man! Asty mundur dengan cepat dari Rey yang masih shock karena tiba-tiba saja bantuan datang. Tentunya tidak bagus bagi reputasi Rey kalau sampai kedapatan dia hendak melakukan percobaan pemerkosaan ke Asty!
Rey bergumam kesal dan buru-buru mengenakan celananya. Kenapa bedebah itu cepat sekali balik ke belakang sini!? Bangsaaaaaaat!! Sial! Sial! Sial!
“Pak Uyaaaaa! Toloooooooong!” teriak Asty.
“Bu Asty, tunggu sebentar – kuncinya belum ketemu!!!”
Asty dengan cepat mengenakan kembali pakaiannya, seadanya yang penting sudah menutup bagian tubuh yang perlu ditutup. Ia melirik penuh kebencian pada Rey.
Guru muda itu menatap Asty dengan senyum menjijikkan. “Sepertinya kamu selamat kali ini, kita coba lagi lain kali. Jangan harap kamu dapat menyebarkan berita buruk tentangku di SMA CB. Sekolah ini ada dalam genggamanku, apapun yang aku inginkan akan jadi kenyataan. Baik komite sekolah atau yayasan… semua sudah…”
Jbloooghh!
“Haaaaaaaaakkkghhhhh!!!”
Satu tendangan kencang dari Asty melaju bak roket ke selangkangan Rey. Begitu kencang tendangan itu mengenai kantong kemaluannya, sehingga Rey berasa mau pingsan, matanya bergulir ke atas hingga hampir putih semua. Laki-laki jahanam itu jatuh terguling-guling dan berputar-putar di lantai sambil merem melek tak karuan. Yang dilakukan Asty memang tak diduga-duga dan mengejutkan karena dilakukan saat mereka berdua sedang mengenakan pakaian.
Yang lebih mengejutkan lagi ternyata pintu sudah dibuka, dan sosok Pak Uya muncul bersama Pak Man sang Kepsek dan satu orang lagi. Mereka bertiga melihat apa yang dilakukan Asty pada Rey.
“Bu-Bu Asty?” terkejut Pak Man melihat perlakuan guru cantik itu pada Rey.
Tapi saat melihat pakaian yang acak-acakan dari Bu Asty, tangisnya yang belum kering, dan Rey yang masih belum mengenakan celananya sempurna, sepertinya sudah bisa terbaca apa yang terjadi di dalam ruangan gelap itu.
Sosok di belakang Pak Uya segera menarik Bu Asty keluar dari ruangan.
Sosok itu adalah Roy.
“Ibu tidak apa-apa, kan? Saya sudah berusaha kesini secepat mungkin setelah mendapatkan panggilan darurat dari Nanto. Maaf kalau saya terlambat, saya benar-benar sudah berusaha secepat mungkin.” Pemuda itu bergegas membawa Asty pergi sebelum Rey bangkit dan membuat suasana semakin kisruh. “Begitu sampai, saya ketemu Pak Uya di depan dan bersama Pak Man kami langsung lari ke belakang tanpa menimbulkan keributan di depan siswa atau guru yang lain.”
“Te-terima kasih, Roy.” Asty menunduk. Jantungnya masih berdegup kencang. Tangannya masih bergetar, ia shock sekali. “Bi-bilang juga ke Nanto terima kasih.”
“Nanto ingin datang, tapi dia sedang ada di Kalipenyu, tidak bisa langsung lari ke sini. Ah, ini ada kamar kecil yang kosong, silahkan rapikan baju dan kerudung ibu di sini, Bu.”
Asty yang sedang berusaha menelaah apa yang terjadi di hatinya langsung menurut saja, ia masuk ke kamar kecil wanita. Di sana ia membenahi pakaian, lalu merapikan hijab yang dikenakan. Ada beberapa bagian yang sobek karena kasarnya Rey memperlakukannya.
Setelah semua rapi, ia melihat ke arah kaca.
Menatap wajah seorang wanita yang baru saja selamat dari kejadian yang paling tak menyenangkan yang mungkin terjadi pada dirinya. Selamat. Dia selamat. Nanto… dia tidak datang, tapi berkat si bengal-lah Roy kemudian datang dan menyelamatkannya.
Nanto… selalu ada setiap dia membutuhkan.
Selalu ada.
Asty menunduk. Air mata turun deras, ia sesunggukan. Sesak di dada itu tak lagi bisa ditahan. Sang guru muda yang cantik itu menangis sejadi-jadinya untuk beberapa saat lamanya.
Di luar, Roy berjaga-jaga di pintu kamar kecil. Pak Man membantu Rey yang berjalan tertatih-tatih melewatinya. Sementara Pak Uya menutup pintu gudang.
Rey menatap Roy sengit. Roy menatap Rey dengan senyum tersungging. Mampus. Mau main-main sama guru idola anak-anak SMA CB? Enak saja, tidak semudah itu, Ferguso. Badjingan seperti kamu enaknya diumpankan ke kolam lele, gak ada bedanya sama tae.
Tapi degup jantung Roy tiba-tiba saja berdetak lebih kencang saat beradu mata dengan pria yang sedang dibawa ke UKS itu. Perasaannya tidak enak. Kenapa ya? Seperti ada alarm yang menyala kencang di hati kecil sang pengendara angin – tapi dia tidak tahu karena apa. Siapa tadi namanya? Rey?
Kenapa sepertinya dia pernah mendengar nama itu ya? Tangannya terkepal, mungkin ini bukan kali terakhir ia akan bertemu dengan orang itu. Wajahnya penuh ancaman.
Tatapan benci Roy pada Reynaldi terhenti saat ada tepukan di pundaknya.
Sosok ramah Pak Uya menatapnya sambil tersenyum. Pria tua itu mengangguk-angguk sambil mengangkat jempol. Roy ikut tersenyum.
.::..::..::..::.
“Kamu kemana aja, sayang?”
Kinan tersenyum menyambut Nanto. Si cantik itu duduk di salah satu kursi yang ada di teras belakang Warung Kopi Kluthuk. Nanto tersenyum dan merangkul kekasihnya barunya.
“Telpon temen sebentar. Kok di sini? Tidak balik ke tempat yang tadi?”
“Ga enaklah kalau sendirian.”
“Kangeeen yaaaa?”
“Ish. Ga usah kepedean. Lagi baru pisah sebentaran juga.”
“Tapi kangen ga?”
Kinan mencibir lalu tersenyum manis sambil bergelayut manja di lengan si bengal. “Banget. Ga ketemu sebentar aja udah kangen banget. Hihihi”
Nanto tertawa. “Ya udah, kembali ke sana yuk. Aku ada urusan yang belum selesai tadi.”
“Hmm… boleh aku di sini aja dulu? Ga enak kalau mengganggu ketemuan kalian. Sepertinya penting banget. Nanti kalau sudah selesai Mas nyusul aku kesini. Kan kalian kelihatan juga dari sini.”
Nanto menatap ke arah Rao, Simon, dan Ableh Ndaho. Ia lantas tersenyum pada Kinan, mengelus lembut hidung mancung gadis itu dengan siku jemarinya. “Tunggu sebentar ya.”
“He’em. Jangan lama-lama, keburu pisangnya dingin. Keburu rindu.”
“Cieeee.”
“Hahaha. Udah sana.”
Si bengal mengangguk sambil tersenyum .
Nanto melangkah ringan untuk kembali ke posisi ketiga pimpinan kelompok kampus itu duduk lesehan. Si bengal langsung menatap tajam ke satu persatu dari ketiga orang yang tengah menunggunya.
“Aku sudah punya jawabannya.” Ucap si bengal.
“Apa itu?” tanya Simon.
“Aku tidak akan jadi ketua.” Nanto tersenyum.
“Lha terus? Katanya sudah punya jawabannya? Kalau bukan kamu, siapa yang akan jadi ketuanya?” Rao bingung.
“Tidak ada. Kita semua berdiri sejajar. Kita semua ketua.”
Ableh Ndaho tersenyum. “Menarik, lanjutkan.”
“Kalian mau menjadikan aliansi ini sebagai kelompok baru di utara kan? Bukan ide yang buruk, tapi rasa-rasanya kalau hanya begini saja kita akan sama saja dengan yang lain, yang ada nanti perebutan kekuasaan antar kelompok di aliansi. Mungkin tidak terjadi sekarang, tapi suatu saat nanti. Sebagai bagian dari satu aliansi besar, pasti akan ada yang tidak puas kalau kelompok mereka tidak menjadi kekuatan utama di aliansi, misalnya saja itu dari DoP atau Sonoz. Tidak bisa seperti itu kan? Kita hanya bisa menemukan solusi terbaik jika setiap kelompok berdiri sejajar. Kita tidak perlu ada ketua, kita semua sama dan setara. Saat ini kita ada empat kelompok – DoP, Sonoz, Lima Jari, dan Patnem. Masing-masing ketua dari keempat kelompok masuk ke dalam semacam perwakilan liga bangsa-bangsa dan berhak memberikan suara.”
“Maksudmu setiap ketua bisa melakukan voting begitu?” Simon mengernyitkan dahi.
“Betul. Semua keputusan kita lakukan vote, karena saat ini kita ada empat, maka keputusan hanya akan diambil jika ada tiga vote. Suara terbanyak.”
Rao tertawa dan bertepuk tangan, “Luar biasa – Hahahaha. Idene cah gendeng, tapi aku suka nih.”
“Aku juga tidak masalah.” Simon mengangguk.
Tiba-tiba saja sang pemuncak gunung menjulang meletakkan ponsel di antara mereka, ternyata sebuah video call dengan Beni Gundul. Kebetulan Beni mengirimkan pesan singkat kepada Simon meminta maaf karena pagi ini dia tidak datang untuk berkumpul bersama mereka. Langsung saja Simon mengundangnya untuk melakukan video-call.
“Weeeeh, Mas konci enggres. Sehat, Mas?” Rao tergelak saat menatap wajah Beni.
Beni tertawa, “Sehat. Sehat. Aku juga tidak keberatan dengan yang tadi.”
Ableh manggut-manggut, “tapi setiap kelompok butuh orang terdepan – seorang juru bicara, seorang wakil, perdana menteri, sekretaris jenderal, seorang ketua umum.”
“Vote buat Nanto.” ucap Rao sambil mengangkat tangan.
“Vote Nanto.” ujar Simon.
Semua mata menatap ke layar ponsel. Beni mengangguk sambil tersenyum, “vote Nanto.”
Ableh Ndaho menatap Nanto yang kini kikuk.
“Selamat, Mas. Sudah tiga vote. Heheh.”
“Wadidaw jiwa.” Nanto menggaruk-garuk kepala.
Usul-usul sendiri, kena-kena sendiri.
.::..::..::..::.
Saat Asty keluar dari kamar kecil, suasana sepi. Ia mencoba mencari Roy tapi pemuda itu sudah tidak nampak lagi. Entah di mana. Mungkin sama Pak Uya, keduanya akrab banget sejak masa sekolah dulu – mungkin sedang ngobrol berdua. Ia pun mengatur napas agar bisa bertindak senormal mungkin. Beberapa siswa berjalan melaluinya sambil mengucapkan salam.
Asty mengangguk dan memberikan senyum tipis.
Ya. Dia harus berusaha tampil senormal mungkin, harus berusaha semaksimal mungkin tidak menimbulkan keributan yang akan membuat heboh sekolah atau membuat anak-anak menjadi tidak nyaman. Memang harus ada tindakan – tapi semua harus dipertimbangkan masak-masak. Ke pihak yang berwajib? Tidak ke pihak yang berwajib? Dua-duanya punya resiko.
Telpon di dalam sakunya menyalak. Sang guru BK yang jelita melirik satu nama yang amat dikenalnya di layar ponsel, Asty minggir sejenak ke posisi aman sebelum kemudian mengangkat telponnya.
“Halo?”
“Hai.” Suara Nanto.
“Hai.” Ada getar pada suara Asty. Tangisnya hampir saja tumpah kalau saja dia tidak ingat sedang berada di mana dia saat ini. Suara guru cantik itu tercekat, “te-terima kasih.”
“Kamu tidak apa-apa, kan? Roy baru saja WhatsApp ke aku.” bisik Nanto pelan melalui panggilan telpon. “Maaf aku tidak bisa datang dan membantu langsung, jaraknya terlalu jauh dari tempatku sekarang berada ke situ. Tapi aku melakukan apa yang aku bisa dengan mengirim Roy. Mudah-mudahan membantu.”
“Sangat membantu. Terima kasih, a-aku tidak apa-apa.”
Aku ingin kamu yang datang langsung, tapi terima kasih sudah berusaha menyelamatkanku. batin Asty dalam hati. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Tidakkah kamu rindu? Aku ingin kamu datang dan memeluk aku sekarang juga.
“Apa yang terjadi?” tanya Nanto.
Tubuh Asty bergetar karena ketakutan hampir saja diperkosa oleh seorang pria yang buas dan ternyata cukup kuat, ia kembali mencoba membenahi hijab dan pakaiannya yang sempat berantakan karena tadi dibuka paksa oleh Rey. Ia tidak mungkin menjelaskannya dengan gamblang pada Nanto, takut si bengal akan terlibat masalah hukum jika bertindak main hakim sendiri.
“Ada guru baru yang…” Asty meneguk ludah, suaranya masih bergetar. “…sedikit kurang ajar. Kami terjebak di gudang belakang dan…”
“Siapa namanya?”
“Mau apa kamu?”
“Siapa namanya?”
“Ya kalau sudah tahu namanya kamu mau apa? Tidak semudah itu kamu boleh bertindak…”
“Jawab saja. Siapa. Namanya.” suara Nanto terdengar menyeramkan.
“Re-Reynaldi. Ta-tapi jangan macam-macam. Kalau kamu benar-benar sayang sama aku, aku tidak mau kamu…”
“Tenang saja.”
“Jangan.” Ucap Asty tegas, “kalau sampai kamu kena masalah, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Orang ini punya backing yang kuat – bahkan Pak Man pun takut sama dia, jadi jangan bertindak yang macam-macam. Yang penting aku sudah selamat. Mulai sekarang aku akan menjaga jarak. Kamu juga sudah berjanji tidak akan pernah berkelahi lagi.”
“Kalau sampai kamu kenapa-kenapa, aku juga tidak akan memaafkan diriku sendiri.” Nanto terdiam agak lama. “Sampaikan padanya, kalau dia mendekatimu atau bertindak macam-macam lagi, maka dia akan berhadapan ketua Aliansi dari utara.”
“Ketua Aliansi dari utara?” Asty mengerutkan kening, “Aliansi apaan? Itu apalagi? Geng? Kamu masuk geng? Masalah apalagi yang kamu masuki sekarang? Kenapa selalu mendatangkan masalah sih? Kan aku sudah bilang aku tidak suka kamu terjun ke dunia seperti itu lagi? Apa tidak kapok dengan kejadian yang dulu?”
“Aku tidak mendatangkan masalah, masalah yang datang padaku, dan aku tidak pernah lari dari masalah.” ucap si bengal. “Percayalah semua akan baik-baik saja.”
“Huh! Berani ngeyel sekarang?” Asty mencoba menenangkan diri, “pokoknya aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Titik. Masih banyak yang sayang sama kamu.”
Nanto terdiam.
Asty tidak menunggu, “termasuk aku.”
Nanto masih terdiam.
Klik.
Telepon dimatikan.
Asty geleng-geleng kepala dan melangkah menuju ruang BK.
Saat membuka pintu BK, Pak Man dengan tergopoh-gopoh mendekati Asty dengan wajah ketakutan, “B-Bu Asty tidak apa-apa kan? Mohon maaf atas kejadian tadi. Saya benar-benar tidak menduga kalau ternyata Pak Rey… maksud saya… dia kan…”
Asty menatap Pak Man dengan sengit, “Bapak memasukkan seekor serigala di kandang domba. Mungkin saya masih bisa selamat, tapi kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada orang lain, pada guru, atau amit-amit – pada murid. Saya harap Bapak bijaksana dengan melakukan tindakan tegas seperti yang seharusnya dilakukan oleh seorang kepala sekolah yang baik. Saya bersedia mendinginkan kasus ini demi nama sekolah supaya tidak tersebar dan memperburuk citra sekolah, tapi kalau Bapak tidak bijaksana… saya akan layangkan surat laporan langsung ke Dinas Kemdikbud provinsi, bahkan pusat juga menyebarkannya melalui media sosial dan media massa.”
Pak Man menatap Asty ketakutan. “Bu-Bu Asty tunggu dulu… sebaiknya kita jangan gegabah. Kita telaah dulu masalah ini baik-baik, kita perhatikan sisi positif dan negatifnya, lalu menimbangnya masak-masak.”
“Sisi positif?” Asty mendesis marah, “sisi positif mana yang bisa Bapak ambil dari kejadian tadi? Atau saya yang terlalu bodoh tidak melihat sisi positif apapun? Saya sudah mengajar di sini cukup lama, dan baru kali ini saya merasa terancam serta tidak nyaman. Padahal saya pernah mengalami masa-masa berat saat sekolah ini mengalami kehancuran dan degradasi moral beberapa tahun lalu karena keributan dan tawuran yang dilakukan anak-anak. Tapi kali ini situasinya berbeda, sekarang masalahnya ada di dalam, bukan di luar. Ini lebih parah! Sebagai kepala sekolah bapak seharusnya…”
“Bu Asty! Saya masih Kepala Sekolah di sini dan saya yang berhak menentukan! Jangan mendikte apa yang harus saya lakukan! Saya sudah tahu!”
“Justru karena itu!”
Pak Man melanjutkan, “Pak Rey masuk ke SMA Cendikia Berbangsa karena beliau berprestasi, sukses membimbing anak-anak, dan memiliki pandangan luas mengenai cara memajukan sekolah terutama bagaimana meningkatkan jumlah siswa masuk. Pendaftaran siswa baru kita meningkat pesat tahun ini setelah Pak Rey bersumbangsih memberi saran! Beliau juga mendapat rekomendasi penuh dari pengawas sekolah dan komite sekolah kita! Ibu tahu sendiri siapa saja yang masuk ke komite kita.” kata Pak Man dengan keras. Wajahnya berubah tegang. “Saya tidak dapat menuduhnya begitu saja dan menghukum beliau tanpa alasan yang jelas! Kita semua tidak tahu apa yang terjadi di dalam ruang itu! Bisa saja semua terjadi karena kalian berdua sama-sama menarik, ganteng dan cantik. Kita tidak ada yang tahu kan apa yang sebenarnya terjadi? Yang bisa kita percaya hanya kata-kata dari Pak Rey melawan Bu Asty, kita tidak akan pernah tahu siapa yang membalikkan fakta!”
What the f…! Wedul gembes! Membalikkan fakta!? Asty benar-benar marah sekarang. Matanya terbuka melotot penuh kemarahan, “Pak Man… saya mencoba menahan emosi saya sebaik mungkin kali ini, saya tidak ingin menimbulkan kekacauan terlebih setelah peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi pada saya. Jujur saya masih terguncang sampai sekarang.”
Pak Man meneguk ludah, tapi dia tetap teguh pada pendiriannya.
“Pak Man… saya baru saja menghadapi ketakutan yang amat sangat dan merasa khawatir seseorang akan melakukan kejahatan luar biasa pada saya. Tapi yang saya dapatkan sekarang justru penjelasan bahwa orang yang hendak memperko… mencelakai saya… adalah orang baik yang sangat berprestasi dan tak tersentuh. Okelah kalau begitu, sepertinya saya sudah terdesak sampai ke tembok.”
“A-apa maksud Bu As…?”
“Saya akan segera mengetik surat pengunduran diri saya, dan memasukkan ke HRD Yayasan Sekolah hari ini juga. Setelah ditandatangani, saya akan menyerahkan kopi-nya ke Pak Man. Jangan khawatir, saya hanya akan menyampaikan alasan pengunduran diri saya karena alasan keluarga jadi Pak Man tidak perlu takut saya akan mengadukan gemblak Pak Man itu pada Yayasan. Tapi kalau sampai ada siswa dan guru lain yang kenapa-kenapa, saya akan datang kembali ke sini untuk mengebiri kalian berdua.”
Pak Man terbelalak.
“Cukup itu saja. Saya permisi. Selamat siang.” Asty membuka pintu ruang BK, masuk ke dalam, dan membanting pintu itu dengan kencang.
BLAM!
Pak Man hanya termangu terdiam tanpa bisa banyak bicara. Ia tersenyum pada beberapa siswa yang berjalan melewatinya sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Ia melihat sekali lagi ke pintu ruang BK yang sudah tertutup dan menarik napas panjang.
.::..::..::..::.
Roy melompat ke udara dengan tendangan berputar kencang tiga kali berturut-turut. Begitu cepatnya gerakan itu sehingga seakan-akan dia tidak menyentuh tanah dan terbang lama di atas udara. Beberapa dahan pohon yang tersambar langsung jatuh berderak ke atas tanah.
Suasana tanah lapang yang tak jauh dari SMA CB itu sedang sepi, begitu juga warung minum berdinding bambu di samping lapangan, tak seramai biasanya. Lapangan kecil atau tanah lapang ini sebenarnya tanah kas desa yang digunakan untuk kegiatan warga, biasanya ada anak-anak main layangan di sini, atau ibu-ibu yang berkumpul untuk main voli, atau anak-anak SMA CB yang sekedar pengen sebat atau minum kopi. Yang jelas tidak sepi.
Di belakang warung, di bawah pohon rindang, Roy dan Pak Uya bercengkerama sembari minum kopi. Pak Uya bertepuk tangan usai melihat Roy memamerkan tendangannya.
“Wuih lha kok wes elok tendangane saik? Wes mumpuni.”
Roy tersenyum, meski dipuji tendangannya sekarang bagus, tapi itu bukan kebiasaan Pak Uya. Dia akan selalu meninggikan sebelum akhirnya menjatuhkan.
“Tapi apa, Pak?” Roy memancing.
“Tapi apa ya cuma segitu saja peningkatannya sejak dulu? Seharusnya sampeyan bisa lebih dari itu. Sampeyan punya potensi, ringan tubuhnya papan atas, tendangannya juga berkelas.” Ucap Pak Uya, “tapi kalau tidak diasah yo bakal tumpul to, Mas.”
Nah kan? Dibilang juga apa.
“Iya, Pak. Jarang latihan sekarang.”
“Wah eman-eman, Mas. Punya kemampuan tapi tidak dikembangkan. Tidak semua orang punya bakat natural dan mampu bertahan begitu lama di udara seperti sampeyan.” Pak Uya mengelus lututnya. “Kalau saja dulu tidak cidera di tempurung lutut, saya juga pasti…”
Roy tersenyum. Ia melangkah perlahan menuju Pak Uya yang duduk di dingklik kayu, lalu berlutut di depannya.
“Saya bisa begini, karena dulu pernah belajar sama Pak Uya. Bagaimana kalau Pak Uya sekarang lanjut mengajar saya? Saya ingin jadi lebih baik, Pak. Saya butuh menjadi lebih kuat lagi. Saya percaya saya hanya bisa mencapai level yang lebih tinggi jika belajar sama Pak Uya.”
Pak Uya tertawa. “Ha, siap. Setiap malam saya tunggu di sini.”
Roy ikut tertawa.
Wajah Pak Uya tiba-tiba berubah menjadi serius, meski tetap dengan senyum tipis.
Roy yang terkejut melihat perubahan wajah Pak Uya akhirnya menjadi ikut serius.
“Tapi rasa-rasanya… kalau mengalahkan sampeyan, saya masih sanggup meski dengan satu kaki.” Ucap Pak Uya sambil menepuk lutut kaki kirinya. Ia berdiri gagah di depan Roy. “Ayo maju.”
Roy tidak percaya melihat ulah Pak Uya kali ini. Serius tidak nih? Hanya dengan satu kaki?
“Tidak perlu basa-basi. Lakukan tendangan terbaik sampeyan. Saya pasti bisa mengatasinya.” Pak Uya tersenyum, ia mengambil kuda-kuda. “Jangan kurangi tenaga.”
Roy mendengus dan tersenyum, ia berlari ke depan. Ketika jarak sudah tiga meter, Roy meloncat, melejit ke udara, memutar badan, dan menggerakkan tubuhnya selentur mungkin untuk mencapai posisi Pak Uya. Kakinya disorongkan ke depan membentuk tendangan penuh tenaga.
Pak Uya tidak bergerak sama sekali. Dia hanya berdiri dengan tenang menunggu kedatangan Roy.
Begitu Roy mencapai posisinya, Pak Uya mengangkat kaki kirinya yang tidak sakit. Posisi badannya melengkung, tangannya sampai menggapai tanah, mirip seperti busur dengan kaki yang membentuk panah. Posisi kaki Pak Uya tepat menerima tendangan Roy.
Bledaaaam!
Kedua kaki bertemu. Tapi kaki Pak Uya teguh dan tegak, tak tergoyahkan. Justru Roy yang kemudian terlempar dan jatuh terguling dengan berdebam. Luka di badan yang masih terasa kembali ngilu dan linu. Ia mengernyit kesakitan.
Roy dengan susah payah mencoba duduk.
Tendangan yang dilakukan Pak Uya sifatnya defensif tapi kuat sekali.
“Mau belajar yang itu juga?” Pak Uya terkekeh.
Roy mengangguk sambil tertawa. “jelas, Pak!”
“Boleh.”
.::..::..::..::.
“SURPRISEEEEEEEEEEEEEE!!”
Nanto terkejut.
Begitu juga dengan Kinan yang berada di belakangnya.
Sepulang dari Warung Kopi Kluthuk dan jalan-jalan sebentar di Kalipenyu sambil ngobrol dengan Kinan, Nanto tiba-tiba saja mendapat undangan dari Deka yang membagikan lokasi melalui Google Map. Karena Deka bilang penting, maka Nanto dan Kinan segera turun ke kota.
Dia sama sekali tidak menduga akan memperoleh kejutan dari teman-temannya.
“Eh!? Eh!? Opo kih? Kok sepres-sepres segala? Hahaha.” Wajah Nanto merekah ketika Deka, Bian, Hageng, dan Ara menyambut kedatangannya dan Kinan di sebuah rumah kontrakan.
“Bos, ini kado kami buat kamu. Supaya ga perlu lagi nyari-nyari kontrakan. Pemandangan indah, udara segar, halaman luas, dekat ke kampus, dekat ke kerjaan, harga terjangkau. Apalagi yang dicari? Plus sudah kami bayar untuk DP dan pembayaran bulan pertama. Hadiah kembali ke kota dari aku, Hageng, Roy, dan Deka.” ujar Bian sambil menyerahkan kunci pintu rumah ke Nanto.
“Zemua ini aku yang berzihin.” Kekeh Hageng.
“Apaan! Kamu barusan datang udah ngaku-ngaku!” Bian protes.
Semua tertawa.
Si bengal kehabisan kata-kata. Kontrakannya memang sederhana dan butuh di-cat ulang, karena terkesan agak lawas. Tapi di dalam sudah bersih dan sudah dilengkapi dengan banyak barang. Dia sama sekali tidak mengira mereka akan melakukan ini.
“Ga ngerti lagi harus ngomong apa.” Nanto terharu. “Terima kasih banyak, gaes. Kalian yang terbaik. Gila ini sih. Gila gila. Wadidaw jiwa.”
Deka merangkul sang sahabat. “Sama-sama, Dab.”
“Ayo dirayakan! Kita cari lotek terenak deket sini!” Bian langsung usul.
“Hayoooo!” Hageng jelas setuju kalau soal makanan.
Nanto masuk dan menjelajah ruangan demi ruangan sembari bercanda dengan ketiga karibnya. Sementara Kinan dan Ara duduk di balkon depan sembari minum teh botol tapi kotak.
“Hai.” Sapa Ara pada Kinan sambil mengulurkan tangan.
“Hai.” Kinan menjabat erat tangannya.
“Maaf ya, gara-gara kami pasti jadi kaget tadi.”
“Hahaha, tidak apa-apa. Kalian luar biasa juga ya, bisa-bisanya memberikan surprise begini buat Mas Nanto. Senang lihat Mas Nanto punya kawan-kawan yang sangat baik.”
“Iya tuh – Lima Jari memang kadang-kadang nggilani persahabatannya. Oh iya, aku Ara. Tunangannya Deka. Kenal Nanto darimana?”
“Kenalan begitu saja kok.”
“Oooh. Sudah lama kenalnya?”
“Belum – belum lama.”
“Hahaha. Salam kenal deh, aku temen dia dari jaman SMA di sini dulu.”
“Oh gitu. A-aku Kinan.”
“SI bengal temen ceweknya banyak banget ya, hahaha.”
“Haha. Heu.” Kinan sedikit cemberut. Banyak ya temen ceweknya?
“Kinan temennya juga kan?”
Wajah Kinan memerah. “Ehm… mungkin lebih.”
Ara terbelalak dan hampir tersedak.
Entah kenapa ada detak jantung yang bertubi-tubi menderanya. Entah kenapa. Seharusnya shock itu tidak ada, tidak hadir seperti ini. Karena dia sudah mengubur perasaannya pada si bengal dan seharusnya tidak boleh peduli terlalu berlebih kecuali sebagai kawan. Tapi… kata-kata dari Kinan sungguh membuat Ara shock.
“Hah? Ja-jangan-jangan…”
“I-iya. Kami baru jadian.” Wajah Kinan memerah. “Barusan banget. Hari ini.”
Jantung Ara seakan berhenti berdetak.
“Oh.” Ara menjawab singkat. Ia memalingkan wajah ke arah Nanto yang masih bercanda dengan Bian dan Deka.
Jadi kamu juga sudah move on ya?
Kenapa ada perasaan tidak rela? Bukankah Ara dan Nanto sudah bukan siapa-siapa sekarang? Ataukah hanya efek yang tertinggal pada diri Ara sebagai mantan saja? Kadang meski sudah berpisah lama dan sama-sama sudah jalan dengan orang lain, tapi seperti ada ketidakrelaan kita melepas orang yang pernah begitu berharga untuk jauh dari kita demi bersama orang lain.
Ara menghela napas.
“Kenapa?” Kinan bertanya dengan lugu.
“Eh, ti-tidak apa-apa, kok. Waaaah, senangnyaaa. Jadi lagi hot–hot-nya nih?”
“Hihihi.”
“Selamat yaaaaaa.”
“Te-terima kasih.”
“Woooooi, gaes! Ternyata mereka berdua udah jadian, gaeees!”
Bian, Hageng dan Deka menatap ke arah Ara dengan terkejut, lalu saling berpandangan, lalu menatap Kinan yang tersenyum malu dengan wajah memerah, lalu saling berpandangan lagi. Sampai akhirnya mereka menatap ke arah Nanto.
“Ka-kamu!” Bian mendengus kesal. “Bangkeeeeeeeee!!”
“Jadian ga bilang-bilang!!” Deka merengut. “Aseeeeeeeeem!!”
“Kampreeeeeeeeeeeettt!! Azeeeeeeemmm!! Kok kamu meluluuuu!! Aku kapaaaan!!!”
“Woi! Woi! Ini juga barusan banget! Woi!!”
Deka, Hageng, dan Bian menimpuk Nanto berbarengan dengan bantal dan guling sambil tertawa-tawa, sementara si bengal meringkuk di lantai. Kinan ikut tertawa geli.
Ara menatap Kinan dalam diam.
Kinan tak menyadarinya.
Roy memainkan kunci di tangannya lalu mengambil bungkusan tas plastik di pengait motor.
Dia baru saja beli tahu gimbal di dekat samsat – salah satu jajanan pinggir jalan yang bertahan lama dan awet di kota. Kemarin Roy sudah lewat tempat ini tapi gerobaknya tak nampak, mungkin pas lagi tidak jualan, untunglah hari ini jualan, sehingga dia langsung beli.
Seharusnya hari ini Roy rencananya akan membantu Bian dan Deka bersih-bersih kontrakan, tapi karena badannya masih pegal-pegal dan masih biru di sana-sini gara-gara pertarungan dengan Oppa beberapa hari yang lalu ditambah meladeni Pak Uya tadi pagi, maka Roy ijin untuk tiduran di rumah dulu.
Oppa. Huff.
Ada satu hal yang membuat sang pengendara angin merasa risih.
Pertarungannya dengan Oppa tempo hari.
Dia baru sadar bahwa selama ini level mereka berlima masih di bawah para punggawa kelompok-kelompok besar di luar sana. Oke, mereka pernah merajai mimbar tawur sekolah kelas menengah dulu, tapi sepertinya itu jauh lebih mudah dari apa yang harus mereka hadapi sekarang. Masih banyak yang harus ia pelajari dan sepertinya ia butuh mempelajarinya dengan cepat dan tekun. Kawasan utara sudah dipastikan akan ramai – lima jari sudah terlanjur nyemplung, jadi mau tidak mau mereka harus meningkatkan kemampuan – baik itu meningkatkan jurus berbasis Ki ataupun jurus fisik.
Roy harus bisa melatih dan menguasai jurus tendangan dengan lebih serius lagi dari Pak Uya. Kalau si tengik Oppa saja bisa, maka Roy seharusnya bisa lebih baik lagi. Sang pengendara angin mencoba merentangkan badannya. Sial, sakit semua rasanya. Tidak akan ia lupakan pertarungannya dengan Oppa, harus ada babak ke-2! Harus! Pada pertemuan kedua esok hari, Roy tidak akan lagi tertatih-tatih dan kerepotan melawan Oppa – dia harus berhasil menandingi Oppa sehingga orang itulah yang tertatih-tatih melawannya!
Semakin mendekati rumah kos, Roy masih memainkan kunci rumahnya dengan tangan kanan, dan menenteng tas kresek tahu gimbal di tangan kiri.
Sang pengendara angin menatap ke langit, hari ini matahari bersinar terang meski kelabu awan mulai pelan membayang dan menutup langit di tiap sudut dengan sembarang. Akankah hari ini hujan turun deras? Mungkin tidak apa biar hari menjadi segar. Mungkin memang pas, supaya bunga-bunga pun tumbuh mekar.
Saat Roy sampai di depan pintu, ada sesosok wanita berparas manis duduk di sana.
Rania duduk di depan pintu kost-an Roy dengan wajah cemberut. Ia menatap benci ke arah sang pemuda yang tentu saja jadi salah tingkah itu.
“Eh!? R-Rania? Kok kamu ada di sini?”
“Aku benci banget sama kamu.” Ucap Rania dengan nada ketus, dia berdiri dengan ringan dan menepuk-nepuk bagian pantat celana jeans karena baru saja duduk di tangga depan kos Roy. “Sumpah aku benci banget.”
Roy kebingungan. “Ke-kenapa?”
“Kenapa lagi! Bisa-bisanya bilang gitu!” Rania geleng kepala sambil meletakkan tasnya di meja yang ada di dekat pintu. “Sudah tidak ada kabar berhari-hari, begitu video call sekali ngumpetin wajah, eh ga tahunya sembap ga karuan.”
“Hehehe, iya nih. Maaf ya belum sempat ngasih kabar.”
“Hihihi, iyi nih. Miif yi bilim simpit ngisih kibir.” Rania membeo sambil mencibir kesal. “Tahu ga sih dikhawatirin!? Aku khawatir banget tau!! Kamu itu!! Ahhh!! Kesel banget pokoknyaaaa!”
“Iya… aku bener-bener sibuk, apalagi hari ini. Aku kan memang sudah pamit tidak bisa antar jemput kamu beberapa hari karena…”
“Bukan masalah antar jemputnya! Hih! Sebel! Lama-lama tampol juga nih!”
Roy membuka pintu dan mempersilahkan Rania masuk. “Yuk ke dalam dulu. Ga enak kalau berantem di luar.”
“Berantem di luar katanya. Gara-gara siapa coba?”
“Iya… iya… aku kan sudah minta maaf.”
Mereka berdua masuk ke dalam. Roy meletakkan tas kreseknya di atas meja, lalu berbalik menatap Rania yang terengah-engah karena emosi. Agak terkejut juga si pengendara angin melihat cewek manis itu ternyata memang sedang naik pitam.
“Lho, kamu ini marahnya serius?”
“Hadeeeeh! Gimana ga kesel coba! Dikhawatirin malah seenaknya sendiri! Kamu pikir aku ini siapa, ha? Kamu pikir kamu bisa dengan seenaknya masuk begitu saja ke hidup aku, mengganggu aku setiap malam sampai aku tidak bisa tidur karena mikirin kamu, bikin aku selalu nunggu-nunggu WhatsApp dari kamu, nunggu telpon kamu, nunggu lihat wajah kamu setiap kali aku pulang kerja… kamu pikir aku ini terbuat dari apa? Lempung?”
“A-aku bingung mau ngomong apa, tapi aku minta maaf kalau aku sudah bikin kamu…”
“Kamu pikir bagaimana perasaanku lihat wajahmu sembap begitu? Bagaimana perasaanku melihat kamu luka-luka dan kamu sama sekali nggak ngasih penjelasan apapun ke aku?”
“Rania, aku kan…”
“Paling tidak kasih penjelasan kamu kenapa. Aku khawatir! Tahu nggak sih?”
“Ka-kamu khawatir?” Roy tercekat, dia bingung harus bagaimana, tapi pada saat yang bersamaan dia senang karena wanita yang sangat dikasihinya ternyata sangat peduli padanya. “Terima kasih.”
Roy mendekat ke arah Rania yang masih bergetar dan marah.
“Jangan sentuh!”
“Rania…” lembut Roy mencoba memeluk wanita itu.
“Jangan…”
Roy tidak peduli, ia tetap memeluknya. Menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya, menidurkan kepalanya di bahu. Memberitahukannya kalau semua baik-baik saja. Kalau mereka berdua masih bisa bertemu dalam kondisi sehat.
“Kamu jahat.” Bisik Rania.
“Maaf.”
“Kamu bikin aku khawatir.”
“Maaf.”
“Jangan ulangi lagi.”
“Iya.”
“Kalau ada apa-apa bilang ke aku.”
“Iya.”
“Apaan sih iya-iya aja? Nyebelin!”
“Rania…”
Si cantik itu mendongak untuk menatap wajah Roy. Sang pemuda hanya tersenyum, lalu membungkukkan badan dan memberanikan diri mencium bibir Rania.
Rania terkejut! Matanya terbelalak!
Ia memukul badan Roy! Tapi hanya sekali. Hanya sekali saja. Rania lantas memejamkan mata. Tenggelam dan larut dalam pelukan Roy, dalam ciumannya, dalam pagutan penuh rasa sayang yang ditumpahkan hingga luber pada dirinya.
Mereka tenggelam dalam suasana.
Mereka tak lagi sadar perbedaan yang sebelumnya ada.
Mereka menyatu dalam satu kesatuan rasa saling menginginkan. Mereka tenggelam dalam larutan kasih dan sayang, dalam napsu yang saling berpadu.
Bersatu saat satu persatu busana perlahan terlepas dari tubuh mereka.
“Maaf ya sampai malam banget bantuin aku bebenah kontrakan baru.”
“Eh, kan sudah kewajiban. Pacarku punya kontrakan baru masa aku ga bantuin.”
“Ihir. Udah punya pacar yaaaa. Lagi seneng yaaaa.” Nanto tertawa menggoda. “Senengnya punya pacar kayak kamu.”
“Gombal. Weeek.” Kinan menjulurkan lidah dengan manis.
Nanto berhenti sejenak mengangkut kardus barang, hanya untuk mengecup bibir Kinan yang tengah merapikan piring dan gelas di dapur. Sebenarnya ini kardus terakhir, dia sudah selesai merapikan sejak tadi dan baru saja selesai mandi – begitu juga dengan Kinan yang sempat numpang mandi karena berkeringat setelah seharian membantu merapikan kontrakan baru si bengal.
“Gimana menurut kamu?” tanya Nanto sambil meletakkan kardus di pojok ruang belakang, di samping kamar mandi.
“Gimana apanya?”
“Tempat ini.”
“Kontrakannya? Untuk ukuran kontrakan tiga sekat cukup lumayan, adequate-lah ya. Tidak bagus-bagus banget, tapi juga tidak jelek. Rasa-rasanya cukuplah dengan penghasilan Mas yang sekarang. Kalau misalnya nanti punya rejeki lain atau dapat tambahan, bisa pindah ke tempat yang lebih baik. Atau bisa juga beli rumah… siapa tahu mau ngasih kado buat aku. Hihihi.”
“Wadidaw, hahahaha. Amin.”
“Amin.”
Nanto memeluk Kinan dari belakang, menangkup tubuh mungil itu dengan kedua tangannya, lalu mencium rambutnya.
“Ih, apaan sih. Masih basah habis keramas.”
“Justru begini yang sedep.”
“Hiyeeek.”
“Hahahaha.” Nanto mengecup ubun-ubun sang kekasih. “Mau kayak apa kamu, aku suka, aku sayang.”
Kinan kembali meringkuk dalam kebahagiaan dalam pelukan Nanto. “Aku juga sayang.”
Si manis itu membalikkan badan, lalu memejamkan mata sambil mengangkat tubuhnya sedikit. Mencium bibir Nanto dengan penuh perasaan. Saling mengecup, saling mengoles, saling menginginkan tumpahan sayang dalam bentuk ikatan, saling mempertemukan bibir yang menandakan bangkitnya rasa dalam dada.
Setelah melepas ciuman, si bengal menggandeng Kinan ke ruang tengah. Lalu mereka berdua duduk di atas kasur dengan saling bertatapan. Saling memuja keindahan yang ada di hadapan mereka.
“Tahu nggak sih, kalau aku suka sama Mas sejak pertama kali kita bertemu?” bisik Kinan sembari mengelus pipi kekasihnya. “Tidak pernah ada malam aku tidak merindu. Ingin setiap pagi selalu bertemu. Terima kasih sudah membalas cintaku.”
“Tidak ada yang akan pernah menolak cinta dari wanita seindah dan sebaik kamu. Aku suka manjamu, aku suka ngeyel-mu, aku suka kemandirianmu, aku suka semuanya dari kamu. Terima kasih sudah menerima cintaku.” Balas si bengal.
Keduanya kembali berciuman, dalam tautan rasa sayang yang bagaikan lautan rasa cinta meluap-luap ditumpahkan. Ciuman kali ini lebih penuh napsu, karena kali ini keduanya sama-sama merasakan banjir cinta dan kasih sayang yang mereka dambakan dari pasangan baru. Ya, pasangan baru. Keduanya sudah menjadi sepasang kekasih. Rasanya masih aneh dan tidak percaya.
“Eh, aku lupa. Sekarang sudah malem banget. Mau aku anterin pulang?” si bengal tiba-tiba saja teringat dan melepaskan ciumannya.
“Ehm… aku mau menginap di sini malam ini. Boleh?” Kinan menatap sang kekasih dengan pandangan memelas.
Nanto tertegun, tapi mengangguk sambil tersenyum. Hanya orang bodoh yang bakal menolak.
Kinan menarik kepala Nanto dan mereka berdua kembali berpagutan. Saling mengelus, saling mencium, saling menikmati surga di bumi yang dipersembahkan oleh tubuh masing-masing pasangan. Tangan Nanto bergerak bebas, menyentuh, mengelus, meremas, membelai semua sudut dan sisi tubuh Kinan. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, dari a sampai z, dari alpha sampai omega.
Entah bagaimana keduanya sudah berbaring bersama di pembaringan. Pakaian Kinan entah di mana. Rambutnya lurusnya yang panjang sepunggung tergerai dengan indah.
Keindahan tubuh Kinan membuat Nanto terperangah, luar biasa – sungguh indah ciptaan-Nya yang satu ini. Dengan buah dada yang meski tidak terlampau besar tapi pas sepenangkup tangan, tubuh langsing dengan pinggang kecil dan bibirnya yang mungil. Luar biasa ranum dan indah sungguh tubuh sang kekasih. Sangat bersyukur Nanto memperoleh pacar seperti Kinan – mungkin satu di antara sejuta.
Beha mungil Kinan terlepas dengan mudah, Nanto sudah terbiasa melepas bra. Payudara Kinan pun segera terpampang, menantang, dengan puting yang mengeras tinggi menjulang. Nanto mengaguminya sejenak, lalu maju perlahan, membungkuk dan menikmati salah satu puting dengan mulutnya – lalu menarik kepala dan berpindah ke payudara yang lain. Dari kiri ke kanan, lalu ke kiri lagi, lalu ke kanan, lalu kiri, kanan, kiri, dan kanan.
Tangan si bengal yang bebas melucuti sisa pakaian dari Kinan hingga gadis itu telanjang bulat.
Kinan mengerang dan mendesah erotis. Untuk pertama kali dalam hidup, ia merasakan buah dadanya dicium, dihisap, dijilat oleh seorang laki-laki. Kinan melakukan hal yang sama dengan si bengal, ia melucuti semua pakaian pemuda itu sementara wajah Nanto terkubur pada kenikmatan yang dipersembahkan oleh buah dadanya.
Keduanya kini sudah telanjang.
“Aaaaaaaaaaaahhhh!!”
Desah panjang Kinan yang tak kuasa menahan diri ketika Nanto makin meraja di payudaranya. Kecupan, jilatan, ciuman, dan hisapan pada pentilnya membuat Kinan makin tak berdaya. Ah, ternyata seenak ini rasanya.
Bagai sengatan bertubi yang bergetar dari sisi ke sisi, kesenangan dan ekstasi menyebar ke seluruh diri. Inikah yang namanya bercinta? Kinan ibarat terbawa ke surga dunia. Cairan pelumas liang cinta Kinan mulai deras membanjir. Terlalu cepat? Mungkin terlalu cepat, mungkin saat ini Kinan belum terbiasa bermain foreplay. Sehingga tidak sanggup bertahan hanya dalam waktu singkat tanpa melakukan variasi bermacam-macam.
Jadi… sudah saatnya?
Ya. Sudah saatnya sekarang, batang kejantanan si bengal sudah siap dilesakkan ke dalam liang cinta sang pasangan, Kinan merenggangkan kakinya jauh lebih lebar dari yang ia pikir ia mampu lakukan. Kinan tahu apa yang akan dilakukan oleh Nanto. Keduanya bertatapan dengan sangat dalam. Nanto tidak akan melanjutkan jika sang kekasih tidak menginginkan, dan untuk sesaat si bengal sadar jika mungkin memang belum diijinkan maka dia tidak akan memaksakan.
Tapi ketika ia menarik diri, Kinan menahannya.
Dengan wajah memerah parah, si cantik itu mengangguk.
Nanto tersenyum lembut. “Yakin?”
Kembali Kinan mengangguk. “Yakin.”
Nanto mengecup bibir Kinan lembut, lalu bergerak maju dengan perlahan – sangat perlahan, maju, lebih dalam, lebih dalam lagi, jauh lebih dalam, semakin dalam, terus masuk, menembus batas dinding kesucian yang sudah sejak lahir dijaga oleh sang kekasih.
Ada tirai yang tersibak, mungkin ada darah yang mengalir, tapi keduanya tidak menyadari.
Kinan merintih sakit. Nanto tertahan sejenak, mencoba memberi kesempatan pada sang dara agar bisa membiasakan diri dengan merasakan adanya batang kejantanannya di dalam dirinya.
Lalu perlahan-lahan, saat tubuh Kinan tak lagi tegang, Nanto menggerakkan pinggangnya pelan. Ia melesakkan penisnya dengan sangat lembut dan pelan, sedikit demi sedikit masuk lebih dalam, semua dilakukan agar Kinan tak merasakan sakit. Bermain cinta seharusnya menyenangkan bagi kedua pasangan, bukan hanya memberi kesempatan pada sang pejantan untuk memuaskan diri.
Untunglah Kinan tak lagi merintih kesakitan, ia mulai menikmati sedikit demi sedikit saat keduanya mulai memainkan peranan. Memang sesekali ada petikan nada nyeri dari bibir sang dara saat Nanto membuka jalan ke dalam liang cinta yang masih belum tersentuh oleh siapapun. Karena itulah si bengal tidak ingin melakukannya dengan kasar, Ia memeluk sang kekasih dengan erat.
Kinan akhirnya menyelami kondisi, situasi, apa yang ia alami, menikmati dan perlahan mulai mengikuti. Si cantik itu menggerakkan pinggulnya dengan lembut untuk menyambut kedatangan gerakan pinggang si bengal.
Nanto tersenyum, betapa beruntungnya dia. Betapa indahnya makhluk ciptaan-Nya yang kini sedang berada di bawah tubuhnya. Keterlaluan banget manisnya, ga ada obat. Kekasihnya… Kinan, kekasihnya. Saat sedang mencoba menyamankan Kinan agar tak terlalu kesakitan, Nanto tidak melihat langsung ke wajah jelita yang tengah tenggelam dalam lautan rasa sakit yang nikmat – baru sekarang dia dapat menyaksikan keindahan duniawi yang tercetak pada pahatan alami di tubuh kekasihnya.
Tubuh indah Kinan menggeliat dengan sepasang bulat buah dada yang tidak terlalu besar namun proporsional menghunjuk tinggi memuncakkan puting mungilnya hingga menonjol ke atas saat balon payudara sang dara terhentak berulang akibat gerakan maju mundur yang dilakukan oleh keduanya. Nanto mengubah posisinya sekarang agar bisa lebih mudah mengatur laju pinggangnya sembari memeluk dan menciumi pipi putih mulus Kinan, basah liang cinta sang dara membuat posisi apapun yang diinginkan Nanto jadi lebih gampang dilakukan.
Tangan Kinan yang sebelumnya erat mencengkeram seprei si bengal, mulai melunak dan mengendur, tangannya kini beralih memeluk leher sang kekasih dan mendekatkan kepala Nanto agar turun ke bawah, menemuinya, mencumbunya, mengecup seluruh wajah dan menumpahkan rasa cinta hanya kepadanya.
“Sakit?” bisik Nanto khawatir.
“He’em.”
“Mau berhenti?”
“Terus sayang… jangan berhenti…” balas Kinan lirih.
Nanto tersenyum dan mengeluskan ujung hidungnya ke hidung sang bidadari.
Buah dada Kinan menempel kencang di dada si bengal, putingnya tergesek saat Nanto memaju-mundurkan pinggang, membuat si cantik itu makin tak kuasa menahan tingkatan nafsu birahi yang kencang menerjang tanpa bisa ditahan. Gerilya batang kejantanan di liang cintanya membuat Kinan melenguh penuh nikmat, ia berulang kali menggeleng kepala dengan teriakan lirih karena takut akan ada orang yang mendengar. Tangan sang bidadari memeluk pria pujaannya dengan erat. Jauh lebih erat. Semakin erat. Makin erat. Sangat erat.
Gerak tubuh Kinan makin tak terkontrol, makin lama makin liar, makin buas, makin menuju puncak. Pikirannya tak lagi bisa mengatur gerak tubuh yang dikendalikan kenikmatan bermuatan birahi.
“Maaaaaaass… emmhhh… emmmmhhhh!!”
Kinan bingung apa yang harus ia lakukan, bertahan dan menahan merupakan hal yang sepertinya tidak mungkin ia lakukan pada saat ini. Ia terlanjur tenggelam ke dalam gelombang tsunami yang menenggelamkannya dalam lautan birahi. Ada perasaan akan memuncaknya sesuatu yang sama sekali belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Sesuatu yang nikmat dan indah, yang pantas saja bila diinginkan dan didambakan oleh semua insan manusia normal.
Kaki jenjang Kinan melingkar di pinggang Nanto, membuat gerakan si bengal makin laju, membuat hubungan intim keduanya makin padu dan menyatu. Erat ikat lingkar kaki Kinan membuat Nanto makin gencar menggerus liang cinta sang pasangan, maju sekali, dua kali, tiga, empat, lima, enam, terus, dan terus, lagi, dan lagi.
Menggeliat tubuh Kinan, mendesah bibirnya, bahkan ketika memejamkan mata, kenikmatan itu membungkam seluruh logika melebihi imajinya. Apalagi ketika perlahan-lahan ada yang lonjakan minat, keinginan, pendambaan, pemusatan seluruh tubuh, pemusatan seluruh pikiran, seluruh nafsu yang sebelumnya tak terbayangkan ia miliki. Naik, naik, terus naik, semakin naik, terus, terus, lagi, lagi, terus, teruuuuuus.
Hingga akhirnya memuncak.
Tubuh Kinan bergetar kencang sambil memeluk erat tubuh Nanto.
Pada saat yang bersamaan dengan derasnya cairan cinta membanjiri liangnya, dinding vagina sang bidadari mengendur dan mengencang berulang, erat meremas batang kejantanan Nanto, membuatnya merasakan satu hal yang sangat berbeda dari yang sebelumnya ia bayangkan. Pijatan pada penisnya sungguh di luar dugaan. Aaaaaah, sempitnya vagina sang kekasih bagaikan surga dunia. Nanto memeluk Kinan erat, menyelipkan kepala indah sang dara dalam dekap lengannya yang tegap, sementara ia menghentakkan berulang pinggulnya. Maju mundur dan maju mundur. Keluar masuk dan keluar masuk, makin lama, makin cepat.
Sampai akhirnya Nanto tak tahan lagi.
Ia menarik batang kejantanannya hingga ujung gundulnya berada tepat di bibir vagina Kinan, lalu sesaat kemudian melesakkannya dengan kekuatan penuh yang ia simpan sejak awal. Lalu, ditariknya lagi sampai ke ujung, lalu sekali lagi melesakkannya dengan sangat kencang.
Kinan terbelalak sesaat, lalu memejamkan matanya sambil memeluk sang kekasih erat, sangat erat. Lirih lenguhan Kinan terdengar. Bukan kesakitan, lebih ke efek sentakan berpadupadan dengan kenikmatan.
“Hkkkkghhhhh! Hkkkghhh!”
Nanto terengah, ia sudah sampai di ujung. Ia melakukannya sekali lagi, menenggelamkan dalam-dalam batang kejantanannya ke dalam liang cinta sang kekasih.
“Hrrrgghhhh!”
Buru-buru si bengal menarik kemaluannya keluar dengan cepat dan menembakkan cairan cintanya di perut sang kekasih. Semprotan cairan cinta terhambur acak di perut Kinan, jatuh kemana-mana. Si bengal yang lemas ambruk di samping Kinan.
Terengah, namun senang. Lelah, namun tenang. Ia mengambil tissue yang ada di samping kasur, lalu membersihkan bercak-bercak yang ia tinggalkan di perut sang kekasih. Ketika sudah bersih, ia letakkan tissue kotor itu ke samping.
Tangan Kinan mengelus pipi Nanto, membuat si bengal kembali fokus menatap wajah indah kekasihnya. Nanto masih tidak habis pikir apa yang membuatnya dapat memiliki cinta wanita seindah Kinan.
Keduanya bertatapan sambil tersenyum.
Kinan berguling ke samping, masuk dalam pelukan Nanto, lalu mengangkat kepalanya untuk mencium bibir si bengal. Keduanya berpagutan, lembut, tak menuntut, hanya saling menikmati, merengguk buah cinta yang mungkin belum seharusnya mereka miliki.
Saat kecupan terlepas, mata keduanya masih tak ingin ke lain arah. Masih menatap mata masing-masing, penuh cinta.
“Mas…”
“Hmm?”
“Aku sayang kamu.”
Nanto mengecup dahi kekasihnya dan memeluknya erat.
.::..::..::..::.
Joko Gunar duduk santai sambil menyeruput kopinya yang kental. Tak jauh darinya, seorang abdi memainkan siter dan bernyanyi lirih. Suaranya bergetar, tidak kencang tidak lembut, tapi mendayu dan merambat dalam jiwa di setiap tarikan senar, tidak ada nada terbuang hambar, dendang menggelayut melenakan benak pada nada tinggi, rendah, maupun datar.
Tidak peduli kalau saat ini sudah menembus jam dua belas malam, kedua orang itu menikmati sedikit banyak suasana yang syahdu dan temaram. Bunyi serangga malam dan dedaunan yang saling tergesek saat terkena angin membuat malam menjadi sakral.
Joko Gunar memejamkan mata menikmati tembang yang dinyanyikan sang pemain siter. Menikmati udara dingin yang diobati oleh kopi yang hangat.
Umpomo sliramu sekar melati.
Aku kumbang nyidam sari.
Umpomo sliramu margi, wong manis.
Aku kang bakal ngliwati.
Sineksen lintange luku, semono.
Janji prasetyaning ati.
Tansah kumantil ing netro rinoso.
Kerasa rasaning ndrio.
Midero sak jagat royo.
Kalingono wukir lan samudro.
Ora ilang memanise, aduh.
Dadi ati selawase.
Naliko niro ing dalu, atiku.
Lam-lamen siro wong ayu.
Nganti mati ora bakal lali.
Lha kae lintange mlaku.
“Mana fotonya? Kamu sudah berjanji memberikan DP, tapi sampai sekarang tidak menepati. Aku bisa saja bertindak kasar kapan saja, tapi aku masih memberimu kesempatan, aku masih memberimu jalan.” Joko Gunar mengetik pesan singkat melalui WhatsApp. “Bagaimana keputusannya? Kamu mau jadi istriku?”
Lama sekali balasan muncul, sementara malam kian larut. Joko menggelengkan kepala. Ia sudah sangat sering berhubungan dengan para lonte, para wanita yang merengek minta ia kawini, para gadis yang menangis ketika keperawanannya ia ambil, tapi tidak pernah ia merasa seperti saat ini. Baru kali ini dia sungguh bernapsu ingin mengawini Nuke – sang wanita jelita berwatak tomboy yang membuat kontolnya naik turun, ngaceng tanpa tempat tidak tahu diri.
Atau mungkin karena gadis itu anak bekas gurunya? sehingga dia jadi merasa perkasa jika sanggup memilikinya?
Lonceng WhatsApp Joko Gunar berbunyi dua kali. Gage-gage sang pria tua memeriksa. Ternyata hanya ada satu pesan dan satu foto.
“Ya.”
Fotonya sendiri menampilkan foto buah dada Nuke yang masih berbalut bra di tempat tidur. Joko Gunar meneguk ludah, ini dada enak banget pasti dikenyot. Sudah tidak sabar ia menikmatinya. Kapan dia bisa memaksa Nuke datang ya? Atau sebaiknya ia kirim saja anak buahnya untuk menjemput sang bidadari? Masalahnya dengan Nuke sudah terlalu bertele-tele dan tidak kunjung ada ujungnya. Suatu saat harus segera diakhiri.
Ya sudah, ia kirim orang saja untuk membawa Nuke ke salah satu villa yang ia miliki. Dengan begitu Nuke tidak akan bisa melarikan diri dan banyak alasan lagi. Tubuh indahnya harus ia miliki. Cuma mau ngentotin cewek satu saja kok repot banget!
Angin berhembus kencang.
Angin yang aneh.
Joko Gunar mematikan layar ponsel dan meletakkannya di meja. Asap rokok membumbung tinggi dari mulutnya. Kakinya disilangkan dan ia duduk sambil bersidekap santai.
“Sampeyan malam-malam begini datang…” Joko Gunar mendengus, ia menghembuskan asap rokok yang tebal ke udara, lalu mengetuk puntungnya ke asbak, tanpa sekalipun menatap ke depan. “Apa yang sampeyan inginkan?”
“Retribusi.”
Satu sosok tiba-tiba saja sudah duduk di kursi kosong di depan Joko Gunar. Suara berat dan serak darinya membuat Joko Gunar sedikit terhenyak kaget. Sama sekali ia tidak menduga orang ini yang datang. Tapi pimpinan PSG itu tentu tak ingin nampak terkejut. Ia melirik ke depan.
Di depannya sudah ada sosok berpakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki, ia bahkan mengenakan kacamata hitam padahal ini di tengah malam. Agak discontinue atau gimana nih otaknya? Mbengi-bengi kok yo nggo riben.
“Njenengan siapa?” tanya Joko Gunar.
“Namaku tidak penting.” Laki-laki berpakaian serba hitam itu membuka kacamata dan melepas topi sekaligus kerudung dari jaketnya. “Pesan dari pimpinan: PSG sudah terlalu lama memakai lahan kami di wilayah selatan. Sudah saatnya membayar pajak.”
Joko Gunar mencibir sambil mengangkat bahu. “Silahkan ambil uangnya kemari. Tapi Om Pimpinan sebaiknya ambil sendiri ke sini. Bukan malah saya yang mengantar ke sana. Ini sifatnya kan sumbangan atau donasi, bukan retribusi. Sampeyan salah.”
“Nantang JXG?”
“Aku hanya meluruskan apa yang bengkok. Tidak ada tantang-tantangan di sini, kita sama-sama hidup dan besar di wilayah yang sama. Kenapa tidak kerjasama saja untuk mendapatkan hasil yang maksimal?” Joko Gunar meletakkan puntungnya di asbak. “Aku juga akhirnya ingat siapa sampeyan. Karena tidak ada lagi orang di JXG yang malam-malam hobi pakai kacamata riben kecuali sampeyan. Sampeyan adalah tangan kanan langsung dari Om Pimpinan. Sampeyan orang yang dijuluki sebagai sang Jagal dari JXG – dia yang tak pernah kalah dalam pertarungan – Sulaiman Seno.”
Joko Gunar memutar badannya ke samping untuk mengambil gelas minum dan menyeruputnya. “Sulaiman Seno menghilang bertahun-tahun yang lalu, banyak yang bilang sampeyan sudah almarhum. Tidak menyangka sampeyan masih hidup. Sampeyan sebaiknya…”
Saat dia berbalik kembali, kursi di depan Joko Gunar sudah kosong. Sosok itu tak lagi nampak kemanapun Joko mencari. Sang pimpinan PSG hanya tersenyum. Jadi… JXG juga sudah turun gunung ya? Menarik sekali.
Menarik sekali!
Joko Gunar tertawa terbahak-bahak di tengah malam. Kota ini akan segera ramai oleh kembang api baik di wilayah utara maupun selatan!
.::..::..::..::.
Mata Jalak Harnanto berkedap-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan gelapnya ruangan yang kini harus ia akui sebagai kamarnya. Meski kecil, sederhana dan cekli, sungguh ia berterima kasih kepada kawan-kawannya yang sudah mencarikan dia kontrakan. Mereka memang teman-teman yang luar biasa. Si bengal menggeliatkan badan, merentangkan setiap urat pegal di badan hingga semua aliran darah lancar – atau setidaknya itu yang ia inginkan. Yang jelas ia selalu lebih merasa nyaman setiap kali setelah menggeliat.
Jam berapa sekarang? Nanto melirik ke arah jam meja kotak berwarna putih yang ia beli seharga lima belas ribu sebulan yang lalu. Ia harus mendekatkan jam meja itu ke matanya agar terlihat karena ruangan benar-benar gelap dan pelupuknya benar-benar berat.
Ah, pukul setengah empat pagi. Pantas saja jendela kontrakannya yang terletak di lantai dua ini masih belum kebagian siraman cahaya matahari, tidak ada cahaya iseng menyelinap masuk dan bermain-main di dalam. Di luar sana pasti masih gelap.
Ketika masih tinggal dengan kakeknya, Nanto memang selalu bangun sekitar jam segini. Lalu membangunkan orang tua konyol itu dan mereka akan mengajak Sagu jalan-jalan sembari berolahraga ke hutan terdekat.
Entah bagaimana nasib Sagu sekarang, ia sudah dihibahkan dan dirawat oleh anak tetangga di desa. Kadang ada rindu untuk bertemu. Mungkin dia akan mengajak Kinan ke desa sebentar, untuk sekedar menjenguk Sagu.
Pemuda itu mencoba meraih gelasnya karena tiba-tiba saja ia kebelet kencing. Lho? Kebelet kencing kok malah mau ambil gelas? Masa mau pipis di gelas? Nggaklah. Ini hanya salah satu prinsip aneh dalam hidupnya saja. Sebelum buang air kecil sempetin minum dulu terutama kalau haus, biar nanti ga kebelet lagi. Prinsip apaan dah? Itu mah cuma males bangun lagi namanya.
Sekarang pun dia haus dan mau minum dulu sebelum buang air kecil.
Tapi gelas itu kosong dan Nanto pun menggerutu. Ia melirik ke arah aqua galon yang isinya air isi ulang lima ribuan – tapi ah, kosong juga. Masa iya ia harus masak air dulu sebelum kencing, sih?
Pemuda itu bangkit, menguap lebar-lebar, dan dengan gontai melangkah ke kamar mandi yang ada di bagian belakang rumah kontrakannya. Rumah kontrakan tiga petak minimalis yang cat ijo-nya mulai luntur karena lembab. Seperti kontrakan petak lain, tempat ini terdiri dari tiga sekat ruangan; ruang depan – biasanya untuk ruang tamu, ruang tengah – biasanya untuk kamar tidur, dan ruang belakang yang biasanya tempat kamar mandi dan dapur.
Sejak pintunya rusak karena dijebol Hageng yang ketakutan lihat kecoak terbang pas boker, kamar mandi di kontrakan Nanto dibiarkan terbuka dan hanya menggunakan kain seadanya sebagai penutup untuk sementara sampai besok dibetulkan kembali oleh sang pemilik kontrakan. Untuk saat ini biarkan saja seperti itu. Malah seru. Mau mengintip? Silahkan saja.
Nanto menyalakan keran air agar embernya lebih terisi.
“Lagi apa?”
Terdengar suara Kinan memanggil dari ruang tengah. Suaranya parau, si cantik itu pasti belum benar-benar membuka matanya. Begitupun Nanto, matanya terasa berat sekali dibuka.
“Pipis bentar.” Jawab Nanto singkat. Entah Kinan mendengar suara lirihnya atau tidak. Lagipula udah jelas-jelas ke kamar mandi jam segini, sudah pasti tujuannya salah satu diantara dua.
Nanto menurunkan celananya, mengeluarkan belalai gajahnya dan mulai memejamkan mata sambil menyemprot kencang ke arah pembuangan kloset jongkoknya. Ah enaknya surga di bumi, syukurlah ia masih bisa merasakan nikmatnya kencing lancar di pagi seperti ini.
Sembari menggoyang-goyang belalai untuk mengeluarkan sisa air kencingnya, pikiran Nanto mengelana. Bagaimana ia bisa sampai di tempat ini? Bagaimana ia bisa mendapatkan wanita indah yang kini sedang terbaring tanpa busana di tempat tidurnya? Kok bisa ya? Hal baik macam apa yang pernah ia lakukan di masa lalu yang menganugerahinya dengan sosok seindah Kinan saat ini?
Keberuntungan? Kesialan? Hidupnya memang tidak pernah benar-benar sepi.
Ia berjalan pelan menuju ruang depan. Mampir sebentar ke kasur untuk membenahi selimut yang gagal menyembunyikan tubuh indah Kinan, lalu mengecup pipinya lembut.
Si bengal kembali berdiri, mengambil gelas kosongnya, lalu memeriksa tumbler milik Kinan. Eh masih ada air hangatnya. Si bengal menuangnya sedikit ke gelas, mengambil teh celup dari kotaknya dan mencelupkannya. Ia mengaduknya sambil duduk lama bersandar tembok ruang depan menatap jendela yang masih tertutup.
Seberapa lama?
Cukup lama.
Lama.
Si bengal tersenyum.
Nanto memejamkan mata sambil membayangkan apa yang sudah ia capai hingga saat ini.
Luar biasa hidupnya. Dikaruniai kemampuan yang cukup lumayan yang bisa terus dikembangkan, sudah mulai kuliah, sudah mulai kerja, tinggal di kontrakan yang lumayan, dipasrahi memimpin kelompok aliansi, punya seorang kekasih yang baik dan jelita… yang untungnya belum tahu kalau dia juga punya kekasih lain seorang binor yang juga baik dan jelita.
Luar biasa.
Secercah cahaya mengintip.
Si bengal berdiri dan melangkah ringan menuju jendela yang masih tertutup. Ia membuka gorden sedikit, membuka jendela dengan lembut agar suaranya tidak mengganggu tidur sang kekasih yang berada di sekat kedua.
Nanto membiarkan sinar mentari yang masih malu-malu menyapa hadir untuk memperkenalkan diri seakan baru sekali ini berjumpa, menyapa sambil menyibakkan tirai halus awan berarak di ujung panorama.
Jalak Harnanto kembali tersenyum, lalu menggoyang gelasnya sambil menatap keluar jendela. Sunrise hadir dengan kemegahan mimbar cakrawala yang tak akan pernah bisa dijabarkan oleh kecilnya pemahaman otak manusia. Kita memang hanya bisa mengejawantahkan sampai ke titik bahwa ini semua adalah ciptaan-Nya, tanpa mampu memahami bagaimana rumitnya proses penciptaan dan alur masa.
Mungkin memang tidak perlu dipahami, hanya perlu dinikmati dan disyukuri.
Seperti halnya Nanto yang bersyukur. Siapa yang menduga dia akan sampai di titik ini? Setelah semua kekacauan di masa lalu, setelah semua masalah yang mendera dan membuatnya kehilangan semua. Kini dia berada di titik balik.
Memang masih banyak rahasia yang belum terjawab, masih banyak simpul temali yang belum terurai, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, dan masih banyak celah untuk meningkatkan diri. Semua harus dihadapi satu demi satu, dilengkapi dengan kata pantang menyerah, dan memperbanyak sikap berserah diri.
Karena siapa yang tahu seperti apalagi keseruan yang akan terjadi di masa depan?
Nanto tersenyum dan menatap penuh pesona indahnya sinar mentari pagi. Ia menyeruput teh hangatnya, merasakan kesegaran membasahi tenggorokannya yang tak mampu berucap menatap lengkapnya pagi ini.
Inilah dunianya sekarang dan dia siap menghadapi semua tantangan.
Masa depan, datanglah.
Dia siap.
Selesai
Lanjut Season 2