Part #24 : KITA
Mereka yang berhasil bertahan hidup, pasti memiliki luka.”
– John Steinbeck
“Jujur wae. Saktenane, opo seng mbok pikirke, Mas?”
Deka geregetan.
Pemuda itu bertanya apa sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh sang kakak yang saat ini tengah berdiri di hadapannya. Deka dan Amar Barok kini berada di sebuah sudut yang dikepung oleh tumpukan-tumpukan perkakas bekas berukuran tinggi sehingga tak terlihat dari ruang bebas di tengah gudang. Tempat ini menjadi tempat yang paling sesuai seandainya hendak berbincang. Lokasi yang tersembunyi membuat pembicaraan apapun kemungkinan besar tidak akan ada yang tahu.
Deka terus mengejar kemanapun Amar pergi karena dia benar-benar geregetan. Keduanya bertemu setelah kucing-kucingan selama beberapa saat lamanya.
Bagaimana mungkin Deka tidak geregetan kalau sang kakak yang selama ini ia hormati dan selalu menjunjung tinggi keadilan, ternyata justru bergabung dengan RKZ dan melindungi Bambang Jenggo. Mau tak mau Deka harus mengkonfrontasi orang yang namanya tertera di satu KK yang sama dengannya itu.
Amar Barok hanya mendengus, pria berjuluk Panglima Singa Emas justru menggelengkan kepala saat mendengar protes Deka. “Kalian ini benar-benar…”
“Ayolah, Mas. Setidaknya beri aku penjelasan paling masuk akal kenapa selepas mundur dari Dinasti Baru kamu justru memilih bergabung dengan kelompok paling brengsek yang ada di kota ini? Mereka ini orang-orang yang sama yang menyerang bengkelmu tempo hari! Mereka bahkan menyerang Dinda! Mereka bajingan, Mas! Kenapa sekarang kamu malah ada di sisi mereka!? Apa-apaan!? Apa yang ada di pikiranmu, Mas? Coba berikan aku jawaban yang paling logis!”
“Kun…” Amar Barok menatap sang adik, “tidak semua yang terlihat di depan mata itu seperti yang kita pikirkan, selalu ada alasan di balik semua tindakan. Kita ini sudah sejak kecil bersama-sama, apa ya kamu harus menanyakan kepadaku kenapa aku bergabung dengan RKZ? Aku punya jawaban yang logis dan kalau kamu pakai otakmu untuk berpikir dengan jernih, kamu seharusnya sudah tahu apa jawabannya. Kenapa juga mesti bertanya? Masa kamu tidak kenal siapa aku!”
“Justru karena aku kenal kamu, Mas. Makanya aku bingung. Apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan? Ini bukan Amar Barok yang aku tahu!”
Sang kakak geleng kepala, ia mengambil ponsel dan mengetuk layarnya dua kali, melihat ke penunjuk waktu. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke kantong, Amar menatap Deka dengan pandangan mata tajam, setajam silet.
“Lihat kondisi saat ini di luar sana, Kun. Kalian sedang dihabisi oleh RKZ. Entah sudah ada korban jiwa atau belum, tapi itu hanya tinggal menunggu waktu saja! Kalaupun sekarang belum ada korban, itu tidak ada bedanya! Kedatangan kalian hanya mengantar nyawa! Akuilah, kemampuan kalian masih di bawah RKZ! Kalian tidak akan pernah menang melawan mereka! Bukan karena kalian kurang berusaha, bukan…! Tapi karena memang level kalian berbeda. Paham tidak? Mereka pejuang jalanan yang sudah bertarung entah berapa lama, sedangkan kalian… kalian masih di tahap awal mencari jati diri. Satu-satunya yang mungkin bisa menyamai atau bahkan melebihi mereka adalah Nanto, kamu, mungkin Hageng, dan juga dua orang yang baru datang… si… si… si Roy dan temannya. Selebihnya? Tidak ada yang setara! Kalian ini hanya mengantarkan nyawa!”
“Lalu? Apa kami harus mundur begitu saja setelah diserang dua kali di teritori kami dan membiarkan mereka menyekap Nanto? Membiarkan mereka menculik seorang gadis tak bersalah yang kalau dibiarkan dapat menimbulkan kekacauan di wilayah kami? Tidak begitu ceritanya, Mas. Harga diri kami sedang diinjak-injak. Kalaupun harus mati…”
“Jangan bodoh! Jangan main-main dengan nyawa orang!” bentak Amar, “Aku tahu bagaimana perasaan kalian yang sedang dilecehkan. Tapi ini bukan saatnya memanjakan ego, bungkus niat kalian yang seperti itu! Apa gunanya harga diri di pucuk gunung sementara di bawah banyak nyawa dikorbankan?”
Deka menghela napas panjang.
“Tugas kalian saat ini sebenarnya hanya satu, bawa Nanto dan gadis itu pergi. Sudah, itu saja! Itu sebabnya aku tadi memanggilmu kemari untuk membantu Nanto pergi dari sini. Bukan untuk rame-rame menyerang begini. Aku sudah menduga semuanya bakal berantakan kalau sudah pakai ego begini.” Amar mendekat ke arah sang adik dan berbisik dengan suara tegas, “Satu hal lagi. Kamu tahu apa yang paling mengerikan dari RKZ? Bukan Bambang Jenggo, bukan dua hulubalang dan bukan pasukannya! Yang paling mengerikan dari kelompok ini adalah sang mastermind, si pengatur rencana di balik layar yang menyebut dirinya dengan nama Ki Juru Martani. Dialah sutradaranya. Dialah yang sedang aku buru!”
“Ki Juru Martani?” Deka mengerutkan kening. “Aku juga pernah mendengar…”
“Nah iya, dialah gembongnya. Siapa dan darimana dia tidak ada yang tahu. Ki Juru Martani adalah orang paling licik yang saat ini tengah merongrong kota dengan kekerasan untuk melancarkan rencana yang entah apa. Dia menciptakan RKZ untuk mempermudah jalannya, meneror empat kelompok besar, menculik, merusak, membunuh, dan menyerang kalian di utara. Walaupun saat ini dia berafiliasi dengan RKZ, tapi jangan salah – dia dapat meninggalkan mereka dengan mudahnya, buktinya sampai saat ini dia tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya dalam pertarungan ini. Di saat-saat genting, ia meninggalkan Jenggo dan kawan-kawan.” kata Amar mencoba menjelaskan pada sang adik apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Aku masuk ke RKZ karena ingin mencari tahu siapa dia sebenarnya dan apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan langkahnya sebelum terlambat. Tapi semuanya bubar buyar hari ini karena pertarungan celaka ini.”
“La-lalu… apa yang sekarang bisa kita lakukan?”
“Hanya satu. Kita harus mengakhiri tawurannya dan sesegera mungkin pergi dari sini. Kondisinya sangat tidak kondusif.” Amar menunjuk ke arah dua orang anggota pasukan Aliansi yang terkapar tak jauh dari mereka. “Bawa anak-anak Aliansi pergi dari gudang RKZ secepatnya. Ini pembantaian. Perintahkan anak buahmu membawa pergi mereka yang terluka dan pingsan terlebih dahulu.”
“Menghentikan tawuran? Itu kan tidak mungkin – kalau korban sudah jatuh, maka…”
Deka tertegun.
Dia tertegun karena tiba-tiba saja Amar Barok meletakkan telunjuknya menyilang di bibir – tanda supaya Deka menutup mulutnya dan berdiam sejenak. Deka langsung diam seribu bahasa. Amar mendongak, melihat ke atas. Deka pun mengikuti.
Ada seseorang di atas. Duduk sambil ongkang-ongkang kaki dengan santainya, seorang pemuda yang cengengesan.
“Turun kesini, Nyuk!” ujar Amar dengan suara lantang.
“Bahahahahahhaahahha… ketahuan ya?! Sudah kuduga kalau seorang pria sejati seperti Amar Barok tidak akan pernah mau dengan sukarela masuk ke RKZ. Itu sebabnya Brom memberikan kunci tempat penyekapan kepadamu karena tahu kamu pasti akan membebaskan mereka.” kata sang pemuda yang duduk di atas tumpukan besi.
Pemuda itu adalah Jay.
Jay bertepuk tangan saat melihat kedua kakak-beradik menatapnya dari bawah. “Kalian terlihat akrab dan rukun sekali. Kakak beradik memang seharusnya begini. Bikin iri saja. Seandainya saja aku seakrab ini dengan kakakku, aku tidak akan terjungkal ke dunia hitam. Eh, tapi… bukannya kalian berdua juga pernah ribut masalah rebutan cewek ya? Waahahhaahahaha.”
Amar mendengus kesal. Dari mana si bangsat ini tahu kalau dia dan Deka…
“Cantik sih memang, aku sudah pernah mampir ke warungnya. Gadis sederhana yang manis, cantik, dan baik. Layak untuk dijadikan koleksi. Hahahahahaah.”
“Mas…! Darimana dia tahu tentang…”
“Diam, Kun!”
Amar dan Jay saling bertatapan. Sang Panglima Singa Emas tahu kalau dia tak akan bisa bergerak dengan bebas sebelum menuntaskan pria yang susah sekali dipegang buntutnya itu. Salah satu kehebatan Jay adalah dia selalu saja bisa lolos dari situasi gawat macam apapun. Entah waktu ngidam dulu emaknya makan apa. Mungkin Jay sangat pantas dijuluki Kancil.
Amar mulai memasang kuda-kuda. Sudahlah dengan semua penyamaran dan kebohongan. Sudah saatnya dia menghadapi RKZ dengan segala kemampuannya.
“Kun, pergilah. Kumpulkan yang terluka dan bawa mereka pergi dari sini, yang masih kuat bertanding usahakan untuk tetap bertahan sampai beberapa saat lagi. Aku janji pertarungan ini tak akan berat sebelah – tapi bersabar, berdoa, dan bertahanlah beberapa menit lagi. Tidak perlu ngotot bertarung kalau lawan lebih kuat. Sembunyi dan lari menghindar dulu supaya aman. Bambang Jenggo dan anak buahnya bukanlah orang yang main-main untuk dihadapi. Dia tidak akan segan-segan menghabisi nyawa semua lawannya.”
“Apa maksudmu beberapa menit lagi?” desis Deka setengah berbisik.
Amar tersenyum kecut, “kalian bukan satu-satunya yang aku panggil untuk datang kemari.”
Deka terperangah, ia menatap Amar Barok dengan pandangan tak percaya tapi langsung mengangguk. Sang adik langsung paham apa yang dimaksud sang kakak. “Apa jadinya kalau kedatangan mereka akan menyebabkan perang besar?”
Amar menatap Deka sekali lagi. Ia terus menatap sembari mengucapkan satu kalimat yang pernah ia ucapkan saat masih remaja dulu. Kalimat yang harus diucapkan oleh mereka yang masuk sebagai prajurit dan menjadi pertanda janji setia pada sebuah kelompok geng di wilayah tengah kota.
“Sekali bergabung, pantang untuk mundur.”
Boom!
Amar Barok mengangkasa hanya dengan sekali merunduk ke bawah dan menggunakan kekuatan kakinya untuk melompat tinggi ke udara. Energi Ki sang Panglima Singa Emas memang tidak main-main. Ia mengerahkan Ki-nya untuk menerbangkan diri, ilmu kanuragan meringankan tubuh yang sudah kelas atas.
Begitu ia sudah berada di atas, Amar tidak langsung menjejakkan kaki di manapun. Ia justru membuka mulutnya untuk berteriak sekuat tenaga. Raungan Singa Emas beraksi!
ROAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRR!!
Tumpukan besi kokoh yang menjadi pijakan Jay langsung bergetar hebat. Beberapa potongan besi yang tak kokoh menopang lepas dari posisinya, bunyi berisik mulai terdengar, satu persatu lempengan roboh. Jay pun buru-buru mencari tempat aman, ia melompat kesana kemari dengan lincahnya. Sekali lagi kemampuannya berkelit menyelamatkannya dari marabahaya.
Sembari tertawa-tawa, Jay mencari pijakan untuk turun ke tanah dengan aman.
Hebatnya, Jay berhasil – dia selalu berhasil. Setelah menjejakkan kakinya ke tanah, Jay segera berlari sekuat tenaga menghindari ambruknya tumpukan besi tinggi yang belum lama tadi dijadikannya tempat duduk-duduk. Kanan, kiri, kanan, kiri, kiri lagi! Awas pancang besi! Awas papan pipih! Kiri, kiri lagi!
Berhasil.
Jay selalu berhasil lolos dari…
“Hgkkkkghhh!”
Kepala Jay diterkam dari belakang oleh satu tangkupan tangan yang kencang.
Ada kalanya lari kencang tidak akan menyelesaikan persoalan. Jay yang pintar berkelit, sepertinya sudah tak lagi punya sisa keberuntungan. Tangan yang kekar dan tegap itu mendorong kepala Jay maju, maju, maju, dan terus maju.
Hingga jatuh tertelungkup ke bawah! Tangan yang mencengkeram kepala Jay menyeretnya ke depan, menyusur tanah, terus, dan terus, dan terus. Jay kali ini berteriak-teriak kesakitan namun tak berdaya. Sang penyerang tak berhenti menyeret Jay hingga akhirnya mereka sampai di sebuah tumpukan velg mobil.
Jay sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk melawan atau menyerang balik. Dengan mudahnya tubuh pemuda yang kepalanya masih terus dicengkeram oleh satu tangan kekar itu dilemparkan ke arah velg-velg yang berjajar ke atas. Suara berdebam terdengar kencang, debu-debu bertebaran, reruntuhan ambyar kemana-mana.
Jbrrrraaaghhh!
Jay tak lagi nampak, ia tertimbun rubuhan.
Amar Barok berdiri dengan perkasa tak kurang suatu apa.
.::..::..::..::.
Deka berlari sembari mengamati keadaan sekitarnya.
Amar Barok betul.
RKZ memang unggul segalanya dari Aliansi. Saat ini satu-satunya yang bisa membuat Deka dan kawan-kawan bertahan adalah karena kuantitas – karena Aliansi menang jumlah. Meski secara kualitas RKZ unggul dari segi kemampuan tapi tetap saja mereka kewalahan menghadapi serangan dari Aliansi yang bergelombang.
Nah, sayangnya hal tersebut tak bisa bertahan lama. Kondisi di lapangan dapat berubah dengan cepat karena di kejauhan sudah terdengar deru motor susul menyusul masuk ke halaman, teriakan-teriakan khas RKZ berkumandang. Itu artinya pasukan RKZ yang tadinya berkeliling kota akhirnya sudah datang menyusul ke gudang karena tahu ada serangan.
Kalau sudah begitu, Aliansi tidak hanya kalah kemampuan, mereka juga akan kalah jumlah. Satu-satunya jalan untuk memenangkan pertarungan adalah memotong kepala para ular.
Deka berlari sekencang mungkin untuk memberitahukan kepada teman-temannya bahwa mereka akan segera mendapatkan bala bantuan, tapi sebelum itu terjadi tidak boleh ada korban jatuh, tidak boleh ada yang mati hari ini. Mereka hanya harus bertahan dan mencari tempat aman yang sebisa mungkin untuk sementara waktu…
Deka merasakan angin lembut menyeruak. Kewaspadaannya meningkat. Ada perasaan yang tidak nyaman. Ia mulai waspada.
“Mau kemana?”
Langkah Deka berhenti.
Hppp.
Tiba-tiba saja di hadapannya kini sudah berdiri Galung si Tangan Pedang – orang RKZ yang sejak awal sebenarnya dia cari-cari. Deka mendengus dengan kesal menatap lawannya. Kok ya ada saja halangan ketika ia harus bergegas. Kenapa bedebah sialan ini justru nongol di saat-saat seperti ini? Sial memang hari ini.
Tapi mau mengeluh bagaimana lagi? Dia harus menghadapi sontoloyo kutukupret satu ini.
Deka mengamati calon lawannya. Si bajingan itu wajahnya sudah penuh keringat, ada luka lebam dan ada luka gores kecil. Bekas debu dan tanah bercampur-baur mengotori seluruh badan dan pakaian. Orang ini pasti sudah bertarung sejak awal tadi.
Hmm… ada juga bercak darah di sisi dalam tangan, entah sudah berapa kali ia membabat anggota Aliansi. Si Gondes menggemeretakkan giginya dengan geram. Demi kawan-kawan Aliansi, Deka mesti bergerak dengan lebih cepat. Dia harus segera menyelesaikan si bajingan ini sebelum lebih banyak lagi korban jatuh.
Si Gondes pun bersiap-siap dengan kuda-kudanya sembari tersenyum. “Sekedar peringatan saja. Aku yang dulu tidak sama dengan aku yang sekarang. Tapi dulu saja kamu tidak bisa mengalahkanku – apalagi sekarang. Jadi aku harap kamu tidak mengambil hati kalau kalah lagi. Sudah takdirmu yang seperti itu.”
“Huh. Bacot.” Galung juga mempersiapkan kuda-kudanya dengan jari-jemari tangan lurus disilangkan dan berulangkali ditarik naik turun seperti sedang diasah. Dia melakukannya setelah melihat kuda-kuda si Gondes yang seperti orang sedang bersiap memanah. Kaki kanan Deka maju ke depan dan kaki kirinya mundur ke belakang. Heleh, kuda-kuda macam apa itu!? Ora mutu! Itu kuda-kuda atau selebrasi Edinson Cavani?
Galung tersenyum sinis, “Sekadar mengingatkan, sebentar lagi semua anggota Aliansi akan kami basmi sampai tuntas tak tersisa. Mayat-mayat kalian akan kami bacok, mutilasi, potong-potong, dan dijadikan makanan babi.”
“Asyu. Ngoook.” Deka menirukan suara babi. Deka menyalakan tenaga Ki, membiarkan aliran tenaga merambah ke seluruh tubuh – terutama ke tangan dan kakinya, hanya beberapa orang saja yang bisa melihat ada api biru menyelimuti tubuh Deka.
Si Gondes segera merapal ajiannya, “Lelabuhan kirab poro ratu, titiwanci jayaning sang dewandaru.”
Api biru yang mengelilingi tubuh Deka dipadukan dengan Perisai Genta Emas yang selalu melindunginya. Sinerginya lantas ber-fusion menjadi satu armor besar yang tak kasat mata, di mata mereka yang mampu membaca Ki maka akan langsung terlihat kalau saat ini Deka punya pertahanan yang luar biasa – meski masih belum menapaki pertahanan level kelas atas.
“Api biru? Jangan-jangan jurus Kuasa Api Biru dari Gunung Ijen?” Galung merengut. Pria kurus itu termasuk orang yang bisa melihat Ki yang dikuasai sang lawan meski lamat-lamat. Tubuh Deka sudah ditelan oleh suatu nyala api astral berwarna biru, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Bahkan dari jarak yang cukup jauh pun, Galung bisa merasakan hawa yang hangat lama-lama menjadi panas. “Hajinguk! Apa-apaan itu?”
Deka tidak menjawab tentu saja. Dengan sekali lompat ia menerjang ke depan. Pukulannya mengalir lancar. Kiri, kanan, kiri, depan, atas, depan, tengah, kiri, kanan, tengah.
Bdph! Bdph! Bdph! Bdph! Bdph! Bdph! Bdph! Bdph! Bdph! Bdph!
Galung tak kalah cepatnya. Setiap serangan Deka dibalas dengan tangan yang sekuat baja dan setajam pedang. Setiap langkahnya seperti irama. Ia merunduk, mundur, maju, beralih ke samping kanan dan kiri dengan kecepatan yang sangat terukur. Seakan-akan dia sudah tahu kemana Deka akan menyerang sebelum serangan itu dilakukan, dia juga sanggup mengirimkan balasan yang berulang kali masuk ke dada si Gondes.
Beruntung Deka punya Perisai Genta Emas. Si bangsat ini… bukankah dia ini yang dulu bilang kalau dia bisa melihat titik kematian Deka? Beneran atau tipu-tipu? Deka melirik ke wajah Galung – ia melihat mata sang lawan berkilat-kilat aneh, seperti ada lampu blitz-nya. Kalau tidak salah, dulu dia bilang kalau ini kemampuannya ini didapatkan berkat tenaga Ki Laduni atau Ki yang didapatkan sejak lahir.
Ah, masa?
Mari kita coba.
Kaki Deka mengait kaki Galung, mencoba menjatuhkannya. Tapi sekali lagi Galung mampu melihat arah serangan si Gondes. Pemuda itu menarik kakinya tepat sebelum kaki Deka maju ke depan.
Asem, maki Deka dalam hati. Lha terus gimana ini ngalahinnya? Angel wes… angel…
Kedua orang itu meloncat mundur ke posisi berlawanan dengan posisi tubuh masih berhadangan. Istirahat sejenak untuk memperkirakan kemampuan lawan. Galung memiring-miringkan kepalanya dan komat-kamit seperti berbicara dengan seseorang.
Deka tidak paham apa yang dilakukan oleh Galung, tapi bukan Deka namanya kalau kurang akal.
Mari ditelaah.
Ada dua hal yang paling mencolok dari Galung. Yang pertama adalah tangannya yang luar biasa – bahkan mampu berfungsi menyayat bagaikan pedang berkat Jurus Tangan Pedang yang ia kuasai. Yang kedua adalah mata yang berkilat bagaikan lampu blitz itu. Entah apa hubungannya tapi sepertinya mata berkilat Galung ada kaitannya dengan kemampuannya membaca gerakan lawan termasuk mengetahui titik kematian dari Perisai Genta Emas milik Deka.
Galung tiba-tiba saja berkata lantang saat Deka masih sibuk memindainya, “Api birumu itu pasti jurus Kuasa Api Biru dari Gunung Ijen! Benar atau benar? Hahaha… tidak ada satupun jurus yang bisa lolos dari pengamatanku! Hahaha! Ketahuan kan? Ngapain repot-repot belajar jurus semacam itu? Mainan anak-anak! Jurus itu hanya bagus dilihat tapi tidak bagus dipraktekkan! Sulap bocah! Hahaha.”
Si Gondes tersenyum, baguslah kalau itu yang dia perkirakan.
Ki Deka menyala lembut, Perisai Genta Emas diaktfikan, satu pertahanan kuat melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam yang disebarkan merata. Tangan pemuda itu lantas bergerak dengan unik, melambai kanan kiri dengan tidak sejajar, bagaikan seekor burung mengepakkan sayap. Hawa api biru yang terus menyala di sekitar tubuh Deka kini menyala makin terang, Ki-nya makin menghebat.
Galung terperangah dan mendesis geram. Be-berubah? Bukan jurus yang ia perkirakan!?
Apa-apaan ini? Awalnya hanya Kuasa Api Biru dari Gunung Ijen. Kenapa sekarang aura Ki-nya bisa berubah? Bahkan api biru itu kini hanya separuh, sebelah tubuh Deka kini memiliki aura api merah membara. Lha kok iso? Jingan asyu! Jurus apa sekarang?
Deka tersenyum sinis melihat Galung yang kebingungan. “Rahasiamu juga sudah aku ketahui. Bilang pada makhluk yang membisik kepadamu. Jurus yang satu ini pasti belum pernah dia lihat. Tidak semuanya dia ketahui.”
Galung yang geram tidak mau berlama-lama lagi. Dia melaju ke depan dengan tangan yang sudah terhunus layaknya pedang. Jarak sekitar empat meter dilalap dengan dua kali lompatan. Lompatan pertama berhasil, hal yang berbeda saat ia hendak melompat untuk yang kedua kalinya.
Deka menyorongkan tangan ke depan dengan satu ayunan lembut.
Sbkgh!
Galung terhenyak dan terlempar ke belakang! Ia terbanting beberapa kali, tubuhnya bagaikan ditumbuk dan disentak-sentak ke tanah. Setelah terguling berulang-ulang kali, Galung terhenti saat menumbuk satu papan besar yang menahan tubuhnya. Pemuda kurus itu mencoba untuk berdiri kembali. Dia harus membalasnya! Dia harus…
Eh?
“Hnkkkkkghhhhhh!”
Galung tidak dapat menggerakkan kedua kakinya! Dia seperti terkunci di tanah, ngesot tak tentu arah. Jingan asyu munyuk babi kadal bekicot tempeeeek! Galung memaki-maki tubuhnya yang tak mau kompromi. Dia geram sekali! Si Deka sialan itu berhasil mengunci tubuhnya bahkan sebelum tangan pedangnya beraksi.
“Ini namanya lockdown. Pertama di-lock. Setelah itu dibikin down.” Deka tiba-tiba saja sudah berada di atas Galung, ia mengangkasa dengan tangan yang kemerahan dipersiapkan. Kepalan tangan kiri diayunkan sekuat tenaga.
Bledaaaaaaaaaaammm!
Kepala Galung dihempaskan ke bawah dengan satu pukulan yang meledak di pelipisnya. Matanya langsung berubah menjadi putih sesaat, gelap pandangan tak terlihat. Kepala Galung yang dijatuhkan sempat terbanting ke atas setelah terantuk di tanah, tapi Deka ingin memastikan agar si Tangan Pedang tak lagi bisa beraksi.
Bledaaaaaaaaaaammm!
Kepalan kedua beraksi. Lalu kepalan yang berikutnya, yang berikutnya, dan yang berikutnya. Begitu terus berulang-ulang.
Jbooogkkh! Jbooogkkh! Jbooogkkh! Jbooogkkh! Jbooogkkh!
Tangan kanan dan kiri Deka menumbuk bergantian kepala Galung agar semakin luruh ke tanah. Kali ini Galung tak bisa lagi melawan. Tubuhnya tak kuasa bertahan, tangannya menggapai dengan percuma, kepalanya pusing, darah di hidung muncrat, dan pandangannya sirna. Ia tenggelam dalam kegelapan. Pingsan seketika oleh badai pukulan dari tangan kanan dan kiri si Gondes.
Galung tertelungkup tak bergerak.
Deka berdiri dan terengah-engah sesaat. Ia kemudian luruh dan duduk bersila, lalu memejamkan mata dengan konsentrasi penuh. Kedua tangan berputar dan mendarat di ujung lutut dengan telapak tangan menghadap ke atas, jari tengah bertemu dengan jempol. Kondisi pertarungan memang sedang gawat, tapi mau tidak mau ia harus melakukan ini secepatnya kalau tidak ingin mati konyol nanti. Tenaga dalamnya berputar, menyala liar.
Huff.
Tiga. Dua. Satu.
Selesai.
Deka membuka matanya. Ia baru saja meredakan kekuatannya dengan teknik zen, menyimpan energi yang berharga karena dia tahu masih banyak pertarungan yang harus ia hadapi. Si Gondes berdiri kembali dan mencoba mencari Jo dan si Jack – perwakilan dari DoP dan Sonoz, mereka pasti berada di luar! Deka pun segera berlari dengan kencang.
Saat berlari, Deka mendengar satu teriakan kesakitan yang menyayat. Dia seperti hapal dengan suara sakit itu… jangan-jangan… si T-Rex? Di mana dia berada? Deka tak bisa melihat posisi Hageng. Tapi Deka juga masih belum bisa melihat Jo dan si Jack yang sedang bertarung di luar sana.
Mana yang harus ia bantu terlebih dahulu?
Deka berhenti sejenak, membuat pertimbangan dengan cepat, dan berlari ke salah satu arah.
.::..::..::..::.
Jbkg! Jbkg! Jbkgh!
Tiga sepakan di bagian rusuk membuat Hageng meradang dan berteriak kesakitan. Ia sama sekali tak menduga akan ada serangan dari belakang. Di saat Hageng sedang sibuk memperhatikan Brom, di saat itu pula ada seseorang yang menyerangnya. Tiga tendangan masuk tanpa terhalang apapun, membuat sang T-Rex ambruk ke depan dengan kesakitan. Tendangan itu tepat mengenai bagian rusuknya yang terluka dalam pertarungan sebelumnya – luka yang juga terus menerus diincar oleh Brom.
Meski terjatuh, Hageng sempat melontarkan serangan ke arah sang lawan di belakang. Satu sentakan sikut berkecepatan tinggi mengenai kening sang lawan yang langsung puyeng keliyengan. Prajurit RKZ itu berdiri sempoyongan selama beberapa saat sebelum akhirnya jatuh tanpa daya.
“Pembokong! Bangzat! Doyannya zama bokong! Dazar munyuk! Tolkon! Zetan kredit!” Maki Hageng sembari berguling-guling dan sebisa mungkin tidak memegang bagian sekitar perut, padahal sakitnya bisa bikin Zombie sehat lagi. Sang T-Rex mencoba berdiri sembari mengernyitkan wajah, meraba sedikit bagian rusuk yang terluka. Ah sial rasanya nyeri sekali, seperti lihat rumah pacar di depannya ada tenda biru. Rusuk Hageng mungkin ada yang retak atau bahkan patah. Nyerinya luar biasa.
“Menyerah sajalah. Aku bukan orang tanpa nurani. Kalau saja kita tidak berada di sisi yang berseberangan, ada kemungkinan kita bisa menjadi kawan satu angkringan. Lebih baik segera pergi dari tempat ini sebelum Bos Jenggo melakukan hal yang di luar nalar.” ujar Brom. “Apalagi aku tahu apa yang sedang kamu rasakan saat ini.”
“Hzzt. Zotoy nih pazti.” Hageng tersenyum sinis, “Boleh deh tebakan. Memangnya apa yang zedang aku razakan? Kalau jawabannya benar akan aku beri bonuz cazhback dan gratiz ongkir.”
“Weits, main teka-teki nih? Boleh!” Brom cengengesan, “Ke pasar beli lombok rawit.”
“Cakep.”
“Kalau dilihat-lihat pasti perutnya yang sakit.”
“Eaaaa.”
“Heheh. Kalau tidak salah tebak perutmu pasti mules karena sakit jadinya melintir serasa seperti dicubit. Coba perbanyak minum air putih, makan kates atau pisang supaya tidak pahit. Biasanya manjur dan hilang semua rasa melilit, Kalau masih belum bisa lancar juga bisa dicoba cari oralit. Kalau soal diare sudah pasti nomor wahid.”
Pertama pantun, berikutnya nge-rap. Asikin aja, pokoknya mantap. Mungkin Brom penggemar Saykoji. Sang T-Rex garuk-garuk kepala. Badalah, Iha wong ini rusuknya luka karena berantem kok malah dikira diare. Kepriben kiye.
Hageng mencoba berdiri meski berulang kali menggemeretakkan gigi menahan rasa nyeri. Kepalannya digenggam dan tenaga Ki disalurkan hingga ke ujung jari. Tidak seperti Nanto, Roy, ataupun Deka yang sudah mampu memahami, menyimpan, dan menggunakan konsep energi Ki… Hageng sebenarnya baru bisa mengeluarkan sedikit saja Ki-nya. Ia masih belum sepenuhnya memahami pemanfaatan tenaga dalam.
Si raksasa bodor itu menghela satu lecutan napas panjang saat tenaganya sudah mulai terkumpul di tangan yang menggenggam erat. Pukulan Palu Dewa Petir sudah ia siapkan. “Jangan pernah menyezal kalau nanti aku yang menang. Itu karena aku lebih ganteng.”
“Hheeh. Selain kocak, kamu juga banyak bacot. Akan aku berikan pelajaran berharga supaya ke depan nanti kamu tidak akan mati konyol.” Brom melempar lengannya ke kanan dan kiri, memperlihatkan otot-otot kekar yang besar mengancam. “Tenang saja, aku tak akan membiarkanmu mati. Semoga saja kelak kita bisa ketemu di jalan dan bisa ngobrol santai di angkringan. Kalau kamu bisa mengalahkanku sekarang, besok aku traktir wedang jahe, lima nasi kucing, tiga tahu bacem, dan lima sate telor.”
Brom berlari kecil, satu kakinya menjejak ke tanah sebagai tumpuan, lalu melompat dengan tenaga yang luar biasa, ia mengayunkan tangan hingga sampai ke atas kepala, menggenggam jari-jemari yang saling menangkup, dan siap melontarkan serangan dengan kedua tangannya.
King Kong Smash!
Tangan kanan dan kiri Brom sang King Kong sama-sama menyeramkan, keduanya punya muatan tenaga yang sangat besar. Sekali pukul bikin ambyar, dua kali pukul bikin hancur, tiga kali pukul ga kebayang. Kini kedua tangan milik Brom justru ditangkup menjadi satu kesatuan yang siap untuk diledakkan. Pukulan berikutnya akan membuat sang lawan tahu bagaimana rasanya remuk redam disambar truk padat muatan.
Tapi tentu saja ini bukan pertama kalinya Hageng menghadapi serangan Brom. Itu sebabnya dia sudah menyiapkan kenang-kenangan di tangannya. Dia sudah memperkirakan kalau truk tangki berbulu di depannya ini akan melakukan serangan yang sama seperti yang sebelum-sebelumnya.
Tepat di saat tangan Brom diayunkan ke bawah, Hageng memutar badan dan menghindar, tidak dengan mundur tapi justru dengan maju – masuk ke dalam lingkar pertahanan sang King Kong. Ibarat dua titan yang tengah bertanding, Hageng bukannya mundur tapi justru menyeruduk masuk dengan mendorong badannya ke depan, memaksakan diri meloncat dengan rusuk yang nyeri bukan kepalang.
Berhasil!
Brom terkesiap kaget dengan ulah Hageng yang menyeruduk maju bagaikan kerbau mengamuk, tapi dia tak berhenti meneruskan niatnya! King-Kong Smash tetap meluncur deras ke bawah, mencoba masuk ke pertahanan si T-Rex. Hageng tahu, ini saat paling kritis. Mana dahulu yang akan mengenai lawan? King Kong Smash punya Brom atau Palu Dewa Petir miliknya? Adu cepat dan adu kuat pada saat bersamaan.
Hageng merasakan rasa hangat menyeruak di punggungnya, hanya tinggal hitungan detik sebelum King Kong Smash mengenai tubuhnya. Hantaman Brom sudah pasti akan kena. Bagaimana dengan pukulannya?
“Heaaaaaaaaaaarrrrrrgh!”
Hageng terus mendesak masuk ke area pertahanan sang lawan, tangan yang sudah dipersiapkan dilontarkan ke atas. Serangan itu tak akan mungkin bisa diantisipasi oleh tangan Brom yang tengah menghantam di saat yang bersamaan.
Jduaaaaaaaaaaagkkh!
Rahang Brom terpapar kepalan Hageng, kepalanya sampai terlempar ke belakang, darah muncrah dari mulut. Entah apa yang pecah. Tubuh pria bongsor itu tak lagi terlindungi, kepalanya pening dengan pandangan yang tiba-tiba saja berubah menjadi gelap.
Jduaaaaaaaaaaagkkh!
Tapi Brom tak sepenuhnya menyerah kalah. Pukulannya menyeruak ke punggung sang T-Rex, dibenamkan dalam-dalam di punggung Hageng – membuatnya berteriak kesakitan sementara tulang punggungnya terasa remuk.
Brom terlontar ke belakang dengan kepala mendongak dan bola mata bergulir hingga ke warna putih, kakinya tertatih-tatih mundur, sementara Hageng jatuh terjerembab ke bawah dengan punggung luar biasa remuk redam. Keduanya terkena bersamaan, keduanya terluka berbarengan.
Meski terluka, tapi Hageng tahu, inilah saat terbaiknya. Di saat Brom sedang lemah-lemahnya inilah waktunya mengambil alih arus serangan dan membalikkan keadaan. Hageng yang tubuhnya terjerembab langsung menjejakkan kakinya ke tanah dan menghantamkan tangannya ke bawah. Kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang, masing-masing menjadi tumpuan yang mengangkat beban tubuhnya. Kuat menahan, kuat bertahan.
Berhasil.
Dengan satu lompatan yang teramat cepat, Hageng meloncat ke depan, menuju ke badan Brom yang masih mundur dengan sempoyongan. Lengan dikalungkan di dada atas lawan, lalu dikunci posisi lengan Brom dengan diletakkannya di atas bahu. Setelah posisinya tepat, sekuat tenaga Hageng melemparkan diri ke atas, sembari membawa tubuh Brom bersamanya!
“Do you zmell what the Rock iz cookin?!” Hageng berteriak dengan kencang, ia mengangkat tubuh Brom dengan satu lampiasan energi yang teramat besar, dan secepatnya membanting badan sang King Kong sekuat tenaga. “Rockbottom!!”
Bruaaaaaaaaaaaaakghhh!
Tubuh bongsor Brom tersentak hebat saat terbanting hingga tubuhnya terlentang di atas tanah tanpa daya. Pertemuan daya antara punggung dan tanah menimbulkan hentakan yang tak karuan rasanya. Kencang sekali bantingan sang T-Rex. Brom pun mengerang hebat. Kali ini ia juga merasakan bagaimana sakitnya tulang punggung setelah terkena bantingan.
Hageng sempat berdiri dengan tegap untuk sesaat meskipun terengah-engah, sebelum akhirnya ambruk tertelungkup ke depan. Baik Brom maupun Hageng kini sama-sama tak lagi kuasa menahan dan menopang tubuh dengan normal. Mereka berdua sudah habis-habisan, tenaga entah masih ada entah tidak.
“Jangan lupa traktir di angkringan.” Bisik Hageng pada sang lawan.
Brom sudah tak menjawab, ia tenggelam dalam kegelapan yang tenang. Napasnya satu dua, satu-satunya pertanda bahwa Brom masih berjiwa adalah gerakan lembut di dadanya yang naik turun. Matanya terpejam dan darah mengalir dari bibirnya.
Hageng mendengus. Ia melirik ke arah jauh dan melihat sosok Nanto… atau setidaknya mirip seperti Nanto. Hageng mencoba memicingkan mata yang sudah susah sekali dibuka. Eh, Nanto atau bukan? Tidak tahu. Terlalu jauh dari sini. Sang T-Rex hanya berharap kalau si Bengal sanggup menyelesaikan ini semua. Harapannya ada di pundak sang sahabat.
Mata Hageng terpejam.
Tak lama kemudian ia mendengkur.
.::..::..::..::.
Nanto berdiri dengan tegap di hadapan Alang Kumitir dan Tunggul Seto – bertanya-tanya mengenai nasib Roy dan Pasat yang sebelumnya bertarung dengan kedua orang itu. Bercak darah di pakaian mereka membuat si Bengal bertanya-tanya sekaligus sangat-sangat khawatir. Ada kemungkinan sesuatu yang buruk menimpa mereka mengingat kemampuan Roy dan juga Pasat sepertinya masih jauh di bawah kedua hulubalang Jenggo.
“Apa yang terjadi pada kedua temanku?” suara Nanto terdengar parau. Ia menundukkan kepala meski matanya tetap tajam menatap ke depan. Bagi yang sanggup melihat, ada aura gelap menyelimuti si Bengal, Ki-nya mulai menyala. Sedikit demi sedikit melingkari tubuhnya dengan energi, sejengkal demi sejengkal, setangkup demi setangkup, perlahan-lahan sehingga hampir seluruh badan terselimuti tenaga. Dengan tangan tergenggam erat, tenaga sang pimpinan Aliansi terpusat.
Tunggul Seto dan Alang Kumitir saling berpandangan saat mendengar pertanyaan si Bengal dan merasakan Ki sang pemuda itu mulai menyala, tapi mereka tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Nanto. Mereka justru kembali menatapnya dengan wajah geram dan mata memerah, seperti dua ekor banteng yang tengah mengincar seorang matador. Keduanya tidak menunggu lama, mereka berlari ke depan mengincar sang pemuda yang hanya seorang diri.
“Hiyaaaaaaaaaaaa!”
“Modyaaaaaaaaaaaaaarrr!!”
Kedua hulubalang tak lagi basa-basi. Mereka menerjang ke depan tanpa tedeng aling-aling.
Sampai sejauh ini Nanto sudah berhadapan dengan berhadapan dengan beberapa punggawa RKZ termasuk TKO Johnson dan Agun, rasa lelah mulai menghinggapi, tapi semakin dia bartarung, semakin dia menjadi buas. Mereka mau maju untuk mengeroyoknya? Bagus! Majulah!
Ada rasa penat dalam dadanya yang ingin segera dilampiaskan.
Nanto menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menangkup jari jemari tangan kanan dengan tangan kiri dan menggemeretakkannya. Alang akan menyerang dari atas, sedangkan Tunggul dari bawah, itu yang bisa diamati oleh Nanto dari sepintas lalu. Ia berbisik lirih, “sejatine menungso, kudu eling lan waspodo.”
Ada hawa lembut melindungi si Bengal, seperti ada seseorang yang tak terlihat yang memeluknya dari belakang dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Nanto bersiap dengan kuda-kuda seperti biasa, tubuh tegap dengan posisi kaki sedikit merunduk, kedua tangan di depan dada, satu di depan yang lain.
“Heaaaaaaaaaaaaaaaa!!” Tunggul melancarkan pukulan bertubi dari depan.
Pkgh! Pkgh! Pkgh! Pkgh! Pkgh! Pkgh!
Nanto meladeni tanpa gentar, setiap pukulan bisa ditepis oleh si Bengal dengan cekatan. Terdengar suara bisikan. Ia melirik ke atas, ada bayangan menangkup. Itu pasti si monyet yang satu lagi. Si Bengal menggunakan satu tangan untuk menahan serangan Tunggul yang masih belum berhenti, ia lantas memutar badan ke samping dan menggunakan lengan tangan kanan untuk melindungi kepalanya.
Jbkkkgh!
Benar saja, tendangan dari Alang berhasil ia tahan. Sang lawan pun melompat ke samping dan langsung menghujani Nanto dengan tendangan bertubi. Sial! Si Bengal terjebak di tengah. Dari arah kiri diserang pukulan Tunggul, dari kanan ada badai tendangan. Tangannya bergerak secepat mungkin sembari membaca arah serangan lawan dari kanan dan kiri. Tapi kalau begini terus dia tidak akan bisa mengalahkan mereka berdua.
Pkgh! Pkgh! Pkgh! Pkgh! Pkgh! Pkgh!
Kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan. Serangan bertubi semua ditahan. Tidak peduli Tunggul ataupun Alang yang datang, tidak peduli pertahanan kokoh bikin berang. Nanto memastikan dirinya masih mampu membaca arah pukulan dan tendangan sembari siap menyerang.
Usaha pemuda itu termasuk membaca satu kalimat lirih, “kawulo namung saderma. Mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”
Pkgh! Pkgh! Pkgh!
Jbssss…
Pukulan Tunggul mengenai ruang kosong, ia hampir terjerembab ke depan, begitu pula Alang Kumitir yang tidak habis pikir kenapa tendangannya mengenai udara kosong saja. Kedua hulubalang Jenggo itu saling berpandangan dalam kebingungan.
“A-apa yang terjadi?”
“Kemana dia?”
“Jangan-jangan dia kabur.”
“Aku tidak melihatnya.”
Mereka berdua sama-sama bertanya dan sama-sama tidak tahu jawabannya. Kemana Nanto? Apakah bajingan itu lari ketakutan menghadapi dua hulubalang? Ternyata hanya segitu saja nyali pimpinan Aliansi! Memalukan!
Kedua hulubalang Jenggo mungkin tidak mengenal dekat si Bengal, itu sebabnya mereka mengira Nanto akan kabur. Seandainya saja mereka tahu. Nanto tak akan lari dari pertarungan manapun. Oh tidak, Nanto akan berusaha sampai titik darah penghabisan. Dia tidak akan kabur begitu saja dari pertarungan yang belum ia selesaikan. Dia tidak akan pernah meninggalkan arena dengan cara memalukan. Itu tidak ada di kamusnya… dan kamusnya hanya memuat sedikit kata. Salah satu kata itu adalah: hajar.
“Mencariku?”
Tunggul dan Alang sama-sama terkejut! Mereka saat ini sedang saling memunggungi, mencoba mencari kemana kira-kira si bangsat itu lari. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau si Bengal justru secara mak bedunduk nongol di tengah-tengah keduanya. Tunggul dan Alang buru-buru membalikkan badan.
Terlambat.
Gerakan cepat dari gerbang kedua si Bengal berfungsi dengan baik, dia seakan bisa membaca serangan lawan. Tangannya bergerak cepat, memukul dada Alang sebelum dia bisa melompat. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Semua hentakan pukulan beruntun masuk dengan cepatnya tanpa sempat dihentikan oleh sang lawan yang tersengal-sengal saat dadanya dihentak-hentak oleh pukulan-pukulan si Bengal, baik dari kepalan maupun dari siku dan lengan.
Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!
Alang semakin mundur dan mundur, kakinya bergeser ke belakang selangkah demi selangkah. Dadanya terasa sesak karena sedang dibombardir oleh gontokan tangan Nanto yang seakan-akan terus menghentak tanpa kenal henti, terus menghajar tanpa ampun. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa kecepatan yang selama ini ia andalkan akan berbalik menjadi serangan yang membuatnya terdesak! Bocah ini… lebih cepat darinya!
Tunggul yang melihat Nanto menyerang Alang dengan hujan kepalan, mencoba menyelamatkan kawan karibnya. Ia melompat ke punggung si Bengal untuk menangkup lehernya dengan tangan kiri dan kanan, mencoba mencekik.
Belakang.
Sekali lagi bisikan dalam batin si Bengal memberikan alarm tanda bahaya. Nanto bukannya berdiam saja atau berkelit, ia malah mundur dengan kecepatan tinggi! Kenapa? Apa tujuannya? The best defense is a good offense. Daripada bertahan lebih baik menyerang! Kepala Nanto ke belakang dan dihantamkan ke wajah Tunggul dengan kencang!
Jduaaaaaaaaaaaaaaghhhkkkkhhh!
Kepala si Bengal dan wajah Tunggul bertemu. Bukan pemandangan yang indah saat melihat hidung sang hulubalang bengkok ke posisi yang tidak pas dan langsung moncrot mengeluarkan darah. Ia berteriak kesakitan dan secara reflek memegang hidungnya yang bocor. Ia tertatih-tatih ke belakang.
Si Bengal bukannya tak kenapa-kenapa. Setelah berantukan tadi rasanya pusing bukan kepalang, pandangannya mulai kabur karena tenaganya terus menerus digerus. Tapi ia tahu ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk bisa mengungguli kedua hulubalang – yaitu saat mereka sedang lengah. Dia harus bergerak dengan cepat karena masih banyak lawan yang harus ia hadapi.
“Angkara gung ing angga anggung gumulung,” ucap Nanto lirih.
Terbukalah gerbang kekuatan.
Begitu terasa Ki-nya deras membanjir, Nanto segera memutar badan hampir 360 derajat, sekitar satu lingkaran penuh. Tangannya tiba-tiba saja berselimutkan tenaga yang makin meningkat seiring putaran tubuh. Tujuannya sudah jelas, ia mengincar satu arah… rahang lawan. Bagi Nanto, gerakannya ibarat slow motion, bagi Tunggul Seto dan Alang Kumitir – mereka sama sekali tak bisa melihat gerakan si Bengal, dia lenyap begitu saja dari hadapan mereka.
“Pungkasan.” bisik si Bengal sembari tersenyum.
Satu pukulan dahsyat meledak di rahang Tunggul yang tak bisa melihat keberadaan si Bengal. Dia terlampau cepat. Ketika melihatnya kembali, Tunggul hanya menyaksikan satu kepalan melesat dengan teramat cepat ke wajahnya.
“Bajinga…”
Jboooooooooooooooooogkkkhhh!
Tubuh Tunggul melayang hampir tiga meter jauhnya karena kencangnya pukulan si Bengal. Ada suara retakan yang menandakan bergesernya susunan tulang secara paksa. Tubuhnya terpelanting ke belakang, terlontar ke sebuah pagar yang membuat punggungnya terasa dihajar balok besi, dan terbanting ke depan dengan kerasnya, Tunggul terjerembab ke tanah.
Melihat rekannya tak lagi bergerak, Alang Kumitir berteriak kencang. Meski awalnya sempat tertatih-tatih saat dipaksa mundur beberapa langkah, akhirnya Ia berhasil meloncat dengan sekuat tenaga dan melakukan tendangan berputar.
Nanto melirik ke arah Alang.
Pertahanan. Dia butuh pertahanan. Akankah Nanto menghabiskan tenaga dengan membuka gerbang pertahanan? Tidak. Belum saatnya. Gerbang pertahanan akan membuatnya kewalahan dan menghabiskan energi Ki yang sebaiknya disimpan. Ini justru waktu untuk membuka gerbang yang berikutnya.
“Wujud hana tan kena kinira.”
Tangan Nanto langsung berbalut kekuatan yang luar biasa dahsyat terpusat di jari-jemarinya. Dengan tangan yang bagaikan baja ini, Nanto akan mencengkeram kaki Alang Kumitir dan membantingnya ke samping!
Jduaaaaaaghhkkkhhh!!
Tendangan Alang ditahan oleh lengan si Bengal yang dipalangkan ke atas. Lengan kuat itu bahkan sampai bergetar karena kencangnya tendangan Alang Kumitir. Tubuh Nanto pun sempat terdesak hingga kakinya bergeser ke samping beberapa langkah. Untung tadi Tunggul sudah dia selesaikan, sehingga fokusnya bisa total ke sosok Alang Kumitir yang…
Hpp.
Nanto terkejut ketika tiba-tiba saja ia merasakan kakinya yang memijak tanah terkunci oleh genggaman dua tangan. Si Bengal melirik ke bawah dan melihat sosok orang yang tadi dia kira sudah selesai. Tunggul! Dia masih bisa bergerak!? Tidak saja Tunggul bisa bergerak jauh, dia bahkan merangkak untuk bisa sampai ke posisi Nanto dan mencengkeram kakinya dengan erat.
“Pu-pungkasan…” bisik Tunggul dengan suara yang gemetar dan tak jelas terdengar. Inikah tenaga terakhirnya? Rahangnya bahkan sudah tidak berada pada posisi seharusnya.
Alang Kumitir melakukan satu lagi tendangan berputar.
Nanto tahu waktu berpikirnya tidak banyak.
Ia memejamkan mata.
.::..::..::..::.
Krgh.
Terdengar suara kayu dipijak.
“Lepaskan dia, Jenggo.”
Bambang Jenggo mendengus, dia merasakan Ki yang luar biasa besar mendekatinya dari balik punggungnya. Pria yang menjuluki dirinya sendiri dengan nama Raja Para Anjing itu pun mendekatkan wajahnya pada Bian. “Kamu beruntung, kamu bukan mangsaku yang berikutnya.”
Jenggo memutar tangannya dan melontarkan satu kepalan dengan kencang ke arah ulu hati si Bandel.
Jdddoghhhkkk!
“Hkghhh!” kedua mata Bian berputar ke atas hingga putih seluruhnya. Serangan barusan benar-benar membuat dadanya sesak dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya terbuka lebar, meski hanya mampu mengeluarkan jeritan hampa tergaung yang tak mampu menembus udara.
“Kemampuanmu tidak ada apa-apanya. Mung koyo tumo kathok. Menyingkirlah.”
Bambang Jenggo mencekik Bian sekali lagi dan melempar tubuh saudara kembar Roy itu dengan satu tangan ke arah sebuah tumpukan ban bekas yang langsung roboh menimpa sang anggota Aliansi. Entah hidup, entah mati.
Dengan seringai mengerikan, Jenggo membalikkan badan dan berhadapan dengan orang yang lebih jago dari Bian.
“Bagaimana, apakah kamu sudah menentukan kemana akan berlabuh… wahai Amar Barok nan perkasa?” ledek Jenggo dengan senyum sinisnya. “Bergabung kesana, lalu kemari, lalu ke sono. Maumu apa sih? Plinplan seperti bocah. Hahahaha. Hmm, tapi coba aku tebak… sesungguhnya kamu adalah orang yang paling setia di Dinasti Baru. Sang Panglima Singa Emas adalah aset paling unggul kesayangan Bos BMW, bahkan melebihi anak-anak Empat Belati andalan Dinasti Baru. Jadi mana mungkin dia akan melepaskanmu begitu saja? Tidak tidak… dia mengirimkanmu ke RKZ karena penasaran dengan semua rahasia-rahasia kami dan berharap kehadiranmu di sini akan membuat kami membongkar semua yang kami sembunyikan! Benar begitu kan? Hahahaha, kepo sekali kalian! Pasti kalian pengen tahu siapa pimpinan kami yang sebenarnya! Hahaha…”
Amar Barok mendengus, ia makin meningkatkan Ki-nya. “Tidak perlu basa basi, bukan? Kamu sudah tahu apa yang aku inginkan. Jadi terus terang sajalah. Lebih cepat lebih baik.”
“Kuberitahukan saja sekarang kalau kamu penasaran. Tidak ada gunanya juga lebih lama disembunyikan! Siapa sebenarnya pimpinan dan penasehat utama kami, pria berjuluk Ki Juru Martani? Hahaha…”
Amar mencibir, masa iya Jenggo akan membuka rahasia besar RKZ itu sebegini mudahnya? Dia tidak percaya. Mana bisa dia percaya dengan orang yang menjuluki dirinya sendiri Raja Para Anjing? Tapi wajah Amar tidak bisa tidak menampakkan rasa penasarannya. “Siapa?”
Jenggo tertawa terbahak-bahak, “Beliau adalah… Hahahaha… beliau adalah… orang yang namanya tidak akan pernah kamu ketahui! Hahahahahah! Ayolah, Amar! Kamu membuat permainan ini menjadi tidak seru! Tidak semudah itu lah! Hahahahaha! Oh iya… ini ada kado buatmu.”
Saat usai tertawa, tiba-tiba saja ada bola api merah menyala yang terbuat dari kumpulan lepasan Ki di tangan Bambang Jenggo! Bola api yang sebesar bola sepak. Menyala mengerikan di tangan kiri Jenggo. Tentu saja hanya pengguna Ki yang sanggup menyaksikan bola api energi itu.
Amar Barok terbelalak. Sial! Dia lengah! Si bangsat ini sejak tadi mengulur waktu dengan percakapan ngalor-ngidul hanya untuk membuat bola energi! Bangsat! Sialan! Dia juga harus bersiap! Amar pun merenggangkan kakinya, menarik tangan ke samping pinggang, dan mulai merapal jurus andalan yang paling bisa menetralkan serangan bola api energi!
“Hahahahahha. Baiklah. Diterima ya! Masa iya sudah dibungkusin tidak dibawa pulang!? Hahaha! Maaf kadonya tidak pakai pita. Kekekek. Kadonya ini nih… Hadouken!” Jenggo melecutkan tangan kirinya ke depan, melemparkan bola api tenaga yang besar itu ke arah Amar Barok!
Amar bersiap. Menerima bola api energi dengan jurus pertahanan Perisai Genta Emas justru akan melontarkan tubuhnya ke belakang. Itu harus dihindari karena bisa saja saat itu Jenggo lari atau memanfaatkan kelengahannya! Itu sebabnya Amar harus langsung menetralisirnya. Secara kinerja, bola api energi mirip seperti lontaran Ki tapi auranya berwujud. Kalau tidak bisa diterima, ya dikembalikan saja.
“Maaf, mengirimnya kok perangkonya kurang? Aku kembalikan, Jenggo!”
ROAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARR!!
Bola api energi dibalas dengan hempasan tenaga dari Raungan Singa Emas milik Amar Barok. Keduanya adalah jurus dari root yang sama, lontaran Ki – pada intinya adalah kiriman tenaga dalam dari jarak jauh.
Bledaaaaaaaaaaaaaaammmm!!
Pertemuan kedua tenaga menimbulkan ledakan energi di udara. Baik Jenggo maupun Amar Barok terdorong mundur beberapa langkah akibat jurus serangan jarak jauh dari keduanya.
Jenggo memanfaatkan kecepatan yang dimilikinya dan melaju ke depan dengan cepat. Ia menghentakkan beberapa kali pukulan ke arah Amar Barok. Sang Panglima Singa Emas bukan petarung kelas tarkam, dia menggerakkan tangannya dengan cepat dan tepat – bahkan tanpa mengaktifkan jurus pertahanannya yang prima dan populer. Semua serangan Jenggo berhasil ditahannya.
“Hebat! Satu dibalas satu! Dua dibalas dua! Ini yang namanya petarung sejati!” Jenggo tertawa-tawa sambil terus memborbardir Amar dengan pukulannya. “Kamu punya Raungan Singa Emas, aku punya Hikayat Pemuja Malam.”
Amar tidak mau berlama-lama dengan percakapan ala tong kosong, pria gagah itu berlari ke depan dan balik menghujani sang lawan dengan pukulan beruntun. Tangannya bergerak teramat cepat, mengubah pertarungan berbalik alurnya. Kini Amar yang pegang kendali serangan dan si Jenggo yang bertahan.
Jbp! Jbp! Jbp! Jbp! Jbp!
Setiap kepalan yang meluncur dari tangan Amar disambut dengan sentakan lengan atau tangkupan jemari Jenggo. Setiap hentakan yang lemah, dikembalikan dengan dorongan siku. Tidak ada yang bisa lolos dan masuk ke dalam area pertahanan sang pria bertubuh besar bongsor bagaikan Big Ben itu.
“Kita seimbang, Amar Barok.”
“Huh. Bacot.”
Jbp! Jbp! Jbp! Jbp! Jbp! Jbp! Jbp! Jbp! Jbp! Jbp!
“Ayolah… seranganmu tidak akan pernah masuk. Aku akan selalu bisa menghalanginya.” Jenggo terus menerus cengengesan. “Lebih baik perhatikan pasukan yang dibawa oleh adikmu itu. Mereka bubrah uyah kewalahan karena pasukan RKZ sudah mulai berdatangan. Tidak ada lagi cerita Aliansi menang jumlah pasukan malam ini. Kami sudah mengunggulinya. Dengarkan itu.”
Amar menggemeretakkan gigi dengan geram.
Motor demi motor berdatangan, suara knalpot digeber terdengar hingga ke dalam gudang. Sudah bisa dipastikan yang datang itu semua adalah pasukan RKZ, karena sesaat kemudian pasukan Aliansi kocar-kacir dan mencari tempat perlindungan. Geng motor RKZ berhasil mendesak masuk orang-orang Aliansi yang kian turun drastis jumlahnya. Awalnya Aliansi menang kuantitas personil, kini – keadaan sudah berubah. RKZ unggul dari segi kemampuan dan jumlah.
“Bagaimana menurutmu, Amar? Apakah pertarungan kita sudah mencapai tahap akhir?” seringai Jenggo makin lebar. “Sayang-sayang kalau pertarungan hari ini tidak memperoleh hasil pelajaran yang maksimal. Jadi akan kuperkenalkan kau pada Hikayat Pemuja Malam.“
Amar Barok mendengus, ia melirik ke kanan dan ke kiri. Ia benci mengakui kalau Jenggo benar. Malam ini angin kemenangan sepertinya menjauh dari Aliansi, tapi setidaknya mereka sudah berjuang mati-matian. Apakah Jenggo bakal berhasil menghabisi mereka semua? Ia melihat dari kejauhan kalau Deka sedang berusaha keras membawa masuk dan menyebar pasukan Aliansi, sementara di sebuah sudut Nanto sedang menghadapi dua hulubalang.
Situasi ini gawat. Ia bahkan tidak bisa melihat di mana Hageng, Bian, dan Roy berada.
“Percayalah, aku tidak menikmati jurus ini sama sekali, Amar. Kemunculannya harus selalu diawali dengan penderitaan – aku yang harus kesakitan. Yang pertama…” Bambang Jenggo mendengus-dengus, ia rubuh ke tanah, meremas-remas apapun yang bisa ia genggam. Giginya bergemeretak. Tubuhnya meringkuk seperti seekor binatang berkaki empat. Kepalanya mendongak dan menatap ke depan, seringainya perlahan-lahan menghilang. “Hikayat Pemuja Malam. Rekursi pertama. Pemuja Hantu Pencabik.”
“Asyu. Opo meneh iki?” maki Amar Barok saat melihat penampakan dari sang pimpinan RKZ. Pria gagah itu tertegun menatap Bambang Jenggo. Jurus apa lagi yang ia tunjukkan? Auranya gelap tidak karuan, seperti ada asap yang keluar dari tubuh si Raja Para Anjing. Mirip seperti sihir, dengan perangai seperti kerasukan. Hanya ada satu penjelasan; ini jurus aliran hitam.
“Akan kusayat dan kukuliti kau hidup-hidup,” ujar Jenggo sembari menggeram – suaranya sudah berubah menjadi serak yang tak nyaman didengarkan. Tampang gempal yang semula cengengesan, kini berubah menjadi mengerikan. Raut wajahnya memerah, matanya melotot dengan guratan merah kian bercabang di sela putihnya, giginya bergemeretak, dan deru getar dari mulutnya berubah seperti dengusan seekor hewan. Bambang Jenggo sudah tidak lagi nampak seperti Bambang Jenggo. Ia kini nampak seperti sesosok monster berwajah merah. Air liurnya menetes-netes dan entah kenapa giginya terlihat lebih tajam dari seharusnya.
Jari jemari Jenggo merenggang, seakan seperti cakar.
Ia lalu melompat dan berlari dengan kecepatan tinggi, anehnya tidak dengan kedua kaki, tapi dengan kedua tangan dan dua kakinya. Benar-benar mirip seperti seekor binatang! Masalahnya sekarang… dia memburu Amar Barok!
Sang Panglima Singa Emas tidak gentar dengan serangan aneh Bambang Jenggo. Ia hanya berdiri tegap dan terus menyalakan Ki untuk membungkus tubuhnya dengan Perisai Genta Emas. Kepalan tangannya disiapkan, ditarik ke belakang sedikit, dan diputar di samping badan.
Jenggo menubruk Amar, tangannya bergerak dengan cepat seakan seperti berusaha mencakar, sang Raja Para Anjing menancapkan kuku di kulit Amar seakan-akan tengah berusaha mencabik-cabik dagingnya.
Tentu saja serangan itu gagal karena Amar dilindungi oleh Perisai Genta Emas. Tapi Jenggo tetap menyerang. Ia mencoba menggigit leher Amar!
Amar melontarkan pukulan yang sejak tadi ia simpan!
Swwshh!
Kelebat cepat Jenggo mengagetkan sang Panglima Singa Emas. Ia menyangka pukulannya akan masuk ke tubuh Jenggo, tapi nyatanya pukulan Amar hanya mengenai daerah kosong!! Jenggo sudah berkelit dan berpindah ke belakang tubuhnya. Tangan cakar Jenggo kembali beraksi dan mencoba masuk ke wajah Amar. Ia menyerang matanya!
Bedebah bangsat!
Amar mengayunkan kakinya ke belakang, mencoba mengacaukan serangan Jenggo, serangannya ke arah mata Amar gagal. Tapi sekali lagi pimpinan RKZ bertubuh gempal itu dengan ringannya berkelit. Ia sempat-sempatnya menggunakan bahu Amar sebagai tumpuan dan dengan tangan yang sama melesat melompat dengan satu gerakan salto yang seakan-akan mudah dan enteng dilakukan dengan tubuh yang gempal namun terlihat ringan.
Jenggo turun dari lompatan dua meter jaraknya dari Amar Barok. Ia berdiri dengan tegap dengan tangan bersidekap. Wajahnya sudah tak lagi memerah, sekarang justru terlihat pucat. Pandangan matanya tak lagi terbelalak seperti monster, kini seperti orang mengantuk – sayu dan redup, dengan ujung luar mata turun ke bawah.
Amar yang waspada tahu dengan pasti kalau itu bukan karena Jenggo menjadi lemah, melainkan karena Jenggo sudah kembali berubah. Amar merubah kuda-kudanya agar bisa lebih ofensif. Jurus si Jenggo ini benar-benar aneh dan tak bisa ditebak. Dia harus bersiap dengan segala kemungkinan.
Bambang Jenggo mengelus-elus janggutnya hingga ke bawah, ke depan dada, seakan-akan ada jenggot panjang yang halus meski ia sama sekali tak berjenggot. “Wahai pendekar… kulitmu tebal sekali susah ditembus. Perisai Genta Emas memang bukan tempe gembus. Tapi ora urus, karena kini saatnya aku yang bakal menggerus. Bersiaplah menghadapi perlakuan khusus.” Suara Jenggo sudah berubah lagi, kali ini terdengar seperti pria yang sudah tua. Jenggo menatap Amar Barok dengan pandangan kosong, “Hikayat Pemuja Malam. Rekursi kedua. Pemuja Hantu Seribu Pedang.”
Tiba-tiba saja di kedua tangan Jenggo masing-masing ada sebatang besi kecil yang panjangnya sekitar tiga puluh sentimeter dan lebar lingkarannya cukup tipis, entah sejak kapan ia mendapatkannya. Dengan teramat mahir, Jenggo memainkan kedua tongkat besi itu seolah-olah dia sudah sejak lama menjadi seorang pemain pedang.
Amar Menggerutu.
Bisa-bisane si punya jurus beginian?
Bikin repot saja. Ini tak akan jadi pertarungan yang mudah. Ini akan menjadi…
Tiba-tiba saja terdengar suara yang teramat keras.
KA-BOOOOOOM!!
Suara ledakan? Suara keras apa itu? Terdengar teriakan-teriakan penuh semangat yang teramat dikenalnya! Teriakan dan raungan knalpot motor membahana. Amar Barok tersenyum saat melihat rombongan pemuda berjaket jeans mengejar anggota RKZ. Bagus! Mereka sudah dat…
Eh, sial! Ia lupa mengamati lawannya sendiri! Amar pun melirik ke arah posisi Jenggo. Kosong melompong tak ada siapa-siapa! Lenyap tak berbekas! Bajinguk! Kemana dia!? Si bedebah itu hilang kembali bersamaan dengan suara ledakan! Sial. Licin kayak belut si anying! Kemana dia sekarang?
Amar menggerutu, apakah dia harus mencari Jenggo atau pergi ke arah suara ledakan yang baru saja terdengar?
Amar Barok berlari ke arah suara secepatnya.
.::..::..::..::.
Bkkkkghhhh!
Si Bengal memutar tubuhnya dan membiarkan tendangan Alang Kumitir masuk ke bahunya! Nanto mendesis kesakitan dan terdesak ke samping hingga hampir terpelanting ke samping, tapi semua fokus ia curahkan ke satu arah sekarang, itu sebabnya ia masih bisa bertahan.
Fokus Nanto mengarah ke kakinya, ke Tunggul yang ternyata masih mampu menahan kakinya supaya Alang bisa menyerang si Bengal!
“Maafkan aku.” Lirih Nanto berucap.
Sejujurnya ia kagum dengan kegigihan Tunggul dan merasa tidak adil melakukan ini, tapi sekarang bukan saatnya untuk kagum-mengagumi atau kasihan-mengasihani. Ditelan atau menelan, harus memilih salah satu. Ini perang.
Jddddduaaaagh!
Nanto menyepak kepala Tunggul yang sebenarnya sudah tidak berdaya. Tubuh pria itu pun terpelanting ke samping. Kawannya sudah diantisipasi, Alang Kumitir menyerang Nanto kembali. Kakinya berputar, kali ini mengincar kepala si Bengal. Nanto berkelit ke bawah sehingga serangan Alang gagal menemui sasaran, di luar dugaan Alang, si Bengal justru berhasil meletakkan tangannya di dada sang lawan!
Alang terbelalak ketika menyadari tangan Nanto ada di dadanya! “Ba-bajing…”
Nanto mendesis lirih. “Lir handaya paseban jati.”
Boooooooooooooooooooooom!
Tubuh Alang mencelat sangat jauh ketika gerbang sentakan Ki milik si Bengal berhasil melontarkan Alang hingga ke tumpukan besi yang jaraknya lebih dari lima meter. Alang terbanting kiri terkena tumpukan besi yang langsung bergetar hebat, lalu ke kanan dan terguling-guling.
Nanto menghela napas. Ia melirik ke arah Tunggul lagi… kalau-kalau lawannya bisa kembali bangkit. Tapi tidak… saat ini sudah benar-benar pingsan.
Berhasil mengatasi Alang dan Tunggul, Nanto melesat mencari Bambang Jenggo.
KA-BOOOOOOM!!
Nanto terkejut.
Ledakan teramat keras terdengar dari sisi kiri gudang. Satu dinding tinggi roboh ke dalam. Situasi yang sudah kacau kini semakin porak-poranda karena kekagetan dari dua kubu. Aliansi maupun RKZ sama-sama tidak tahu siapa yang baru saja bikin ulah. Kedua pasukan pun akhirnya sama-sama menyingkir dari posisi dinding kiri yang kini terekspos ke area ladang milik warga di samping gudang.
Dari ladang yang gelap muncul barisan pasukan yang datang entah dari mana menyeruak ke dalam, mendesak pasukan RKZ untuk mundur masuk ke dalam gudang, tapi begitu masuk – mereka disambut pasukan Aliansi yang sudah geregetan dan menghajar satu demi satu RKZ yang kebingungan. Serasa mendapat suntikan tenaga, Pasukan Aliansi yang merasa mendapat angin ikut mengejar orang-orang RKZ. Keadaan sudah berbalik sekarang.
“Munduuuuuur!! Munduuuuur!”
“Cari tempat amaaan! Masuk ke gudang!!”
“Kejaaaaaaaaaaaarr!!”
“Ojo mlayuuuuu we, suuuuuuuuu!!”
“Jingaaaaaaaaaaaaannn!!!”
“Kok mlayuuuuuu suuuuu? Ai lap yuuuuuuuuuuuu!!”
Gelombang pasukan yang baru datang untuk membantu Aliansi ternyata datang dari kelompok geng motor yang sebagian anggotanya mengenakan jaket dan celana jeans. Dengan garang pasukan yang baru datang itu menyerang tanpa ampun. Pasukan berpakaian putih milik RKZ akhirnya terdesak mundur sampai harus masuk ke kantor utama yang berada di bagian paling belakang gudang.
“Siapa mereka? Siapa yang baru datang?” Si Jack dari Sonoz bertanya pada Jo sang kapten DoP.
“A-aku juga tidak paham siapa mer…” Jo terbelalak saat akhirnya mengenali beberapa orang yang masuk ke gudang milik RKZ dengan paksa itu. Ia terbata-bata dan berbicara pelan pada teman-temannya dari Aliansi – seolah-olah tidak ingin ada yang tahu apa yang akan dia ucapkan. “Pa-Pakaian ala biker itu… hanya ada satu kelompok di kota yang punya ciri khas seperti itu.”
“Hanya ada satu kelompok,” kata Bondan yang berdiri tak jauh dari Jo.
Surya ikut mengangguk. Mereka paham apa yang dimaksud Jo. Satu-satunya kelompok dengan atribut geng motor yang paling besar di kota adalah mereka sang penguasa wilayah tengah, Dinasti Baru.
Jo, Bondan, Surya, si Jack, dan Abed menatap kehadiran seorang pimpinan kelompok geng besar yang teramat berkharisma. Rambut gondrongnya yang mulai memutih dikuncir ke belakang, kacamata hitam tak lepas dari wajahnya meski hari sebenarnya sudah malam dan langit gelap. Slayer warna-warni dikenakan sebagai ikat kepala di dahi. Ia hadir dengan senyum lebar dan wajah gembira melihat kekacauan. Saat melemparkan helm batok yang tadinya ia kenakan kepada salah seorang anggota, wajah pria tua nan sableng itu akhirnya muncul di hadapan RZK dan Aliansi, inilah dia, sang penguasa wilayah tengah, Bintoro Muji Wiguno! The Bad Ass BMW!
Dinasti Baru telah hadir di kekacauan malam ini!
Mereka sudah datang!
“Om BMW!” Deka terkesiap saat melihat kehadiran Dinasti Baru, apakah mereka akan memenuhi janji mereka sesuai kesepakatan di Tarung Antar Wakil atau malah berbalik akan menghancurkan RKZ sekaligus Aliansi dalam sekali tepuk? Seperti halnya JXG dan QZK, mereka adalah pasukan yang cukup besar dan semua sedang mengincar wilayah utara. Bisakah mereka dipercaya?
Entah apa yang dipikirkan om BMW saat ini tentang Aliansi, tapi Dinasti Baru tetap harus diwaspadai. Mereka bukan pasukan yang serba baik budi, gemar menabung, patuh pada orang tua dan guru. Mereka tetaplah geng preman.
Di depan dan belakang om BMW, pasukan Dinasti Baru mulai menyebar. Jumlah prajurit yang saat ini bertarung mulai seimbang bahkan berat sebelah, RKZ yang tadi sudah mendapat suntikan tenaga baru dari mereka-mereka yang sebelumnya berpencar di kota kini kembali meradang karena kalah jumlah – sekaligus kemampuan, sedangkan Aliansi yang sebelumnya terdesak, kini mendapatkan tambahan tenaga dari Dinasti Baru.
“Yahoooooooooooooooo!!”
Om Kimpling dan Sukrex Badak memimpin pasukannya menyeruak masuk ke dalam gudang. Begitu mereka masuk, RKZ pun mundur dan mencari tempat aman. Gila aja berbenturan langsung dengan Dinasti Baru!
Kebetulan sekali pasukan om Kimpling dekat dengan posisi di mana Amar Barok berada.
Amar Barok bertatapan dengan om Kimpling sang kolega lama dari unit New World Order, tatapan mereka bertemu dan keduanya saling mengangguk satu sama lain. Saling memberikan penghormatan. Apapun masalah yang mereka hadapi sebelumnya, saat ini seluruh anggota Dinasti Baru hanya punya satu tujuan – bumi hanguskan RKZ!
Sukrosono atau yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Sukrex Badak bergegas mendatangi Amar Barok dan menepuk bahunya. “Untung kamu menghubungi kami tepat waktu – jadi kami bisa segera mengumpulkan pasukan dan menyerang tempat ini bersama-sama. Aku tahu kamu sebenarnya mung gawe-gawe gabung dengan RKZ. Mana ada lah orang seperti Amar Barok gabung sama bajingan-bajingan tengik semacam Jenggo…”
“Semua datang?” tanya Amar sambil membalas tepukan di bahunya dengan tepukan di bahu Sukrex.
Pria itu menggeleng, “Tidak semua tentu – hanya yang bisa dikumpulkan dalam waktu singkat. Hanya ada New World Order, si Bos, dan empat belati.”
“Empat Belati!? Bos BMW bawa empat belati kemari? Seserius itukah RKZ sampai-sampai kalian harus membawa juga empat belati? Sial, tempat ini pasti bakal ancur kalau mereka yang datang.” Amar meneguk ludah, hari ini sepertinya bukan hari terbaiknya, karena dia masih belum dapat menemukan jati diri sosok misterius Ki Juru Martani. “Kenapa empat belati?”
“Jangan tanya ke aku dong, itu kan perintah dari bos BMW. Kalau kroco sekelas kami-kami ini ya hanya mengikuti perintah dari beliaunya. Kayak kamu ga tau aja.”
Amar menatap ke arah om BMW yang menatapnya balik.
Om BMW menyeringai mengerikan. Dia menggelengkan kepala melihat pertarungan antara RKZ dan Aliansi yang tidak seimbang dan tertawa terbahak-bahak di hadapan anak buah RKZ, “Huahaahahaha! Menggelikan sekali! Apa-apaan ini? Melawan anak-anak kecil begini kok serius sekali? Kami saja mengalah saat melawan mereka. Oalah Jenggo… Jenggo… si Bangsat yang ngakunya sebagai Raja Para Anjing. Mari kita adu kekuatan dengan lebih seimbang. Kita buktikan siapa yang lebih anjing! Asyu mungsuh asyu!! Hahaha! Wasyuuuuu tenan!!”
Pasukan RKZ yang tak gentar dengan gertakan om BMW maju ke depan. Orang-orang yang direkrut dari berbagai daerah di luar kota ini memang belum paham betul siapa sebenarnya om BMW. Tapi sang pimpinan Dinasti Baru hanya tertawa saat belasan orang mendekatinya. Dengan santai om BMW mengayunkan tangan.
Saat itu pula empat orang pria yang memiliki penampilan unik maju ke depan om BMW. Keempat orang itu bukanlah sosok yang biasa-biasa saja, bahkan Amar Barok pun merasa kalau kedatangan keempat orang yang menjadi andalan dan mitos di Dinasti Baru itu terlalu berlebihan – dari sisi kemampuan, mereka berempat mungkin hampir setara bahkan melebihi sang Panglima Singa Emas, jelas bukan lawan bagi semua orang-orang ini.
Deka yang juga menyaksikan kedatangan Dinasti Baru menatap ngeri keempat punggawa tertinggi yang selama ini keberadaannya ibarat legenda. Ada yang bilang mereka beneran ada, ada yang bilang Dinasti Baru cuma mengada-ada mengarang mitos untuk menandingi JXG dan QZK.
Si Gondes berbisik pada dirinya sendiri saat melihat keempat sosok pria gagah yang masing-masing punya tongkrongan unik, “Akhirnya nongol juga mereka. Akhirnya bisa kulihat juga di depan mata – empat komandan pasukan khusus dari Dinasti Baru… Kalau JXG punya Empat Anak Panah, QZK punya Empat Perisai, maka Dinasti Baru punya mereka… Empat Belati.”
Keempat orang itu adalah JB, Jilmek, QB Kartubi, dan Subotai.
Empat belati tajam yang mengerikan. Seandainya mereka berempat yang turun saat Dinasti Baru berhadapan dengan Aliansi, maka Aliansi tidak akan punya kesempatan menang sama sekali. Melalui tangan merekalah Dinasti Baru bisa meningkatkan derajat level komplotan mereka sehingga bisa menyamai QZK dan JXG, berkat merekalah Dinasti Baru bisa menancapkan kuku kekuatan New World Order di wilayah tengah.
Tapi Deka tidak sempat mengamati keempatnya. Suara teriakan dari samping membuatnya hilang fokus.
“Bakaaaaaaaaaaaaar!! Bakaaaaaaaaaaaaarrr!”
Dinasti Baru mulai beraksi, rombongan mereka menuangkan galon-galon bensin ke seluruh tempat, dan mulai menyalakan api. Gudang milik RKZ sedikit demi sedikit mulai terbakar. Asap mulai membumbung tinggi dan teriakan perjuangan makin menggelora. Mereka memang tidak main-main kalau menyerang kelompok lain.
Medan pertarungan terakhir telah tercipta.
Inilah puncaknya.
Api mulai membakar gudang. Si jago merah semakin meluas dan menghanguskan barang-barang yang mudah ia hancurkan – kayu, plastik, dan kardus. Derak suara kayu terbakar berkumandang, patah, menghitam, menjadi arang. Dinding-dinding mulai dilalap, hanya pagar dan perkakas besi yang menjadi penghalang.
“Bagus sekali! Baguuuus sekali! Bakar saja semuanyaaaa! Hancurkan semuanyaa!! Hahaha!”
Terdengar suara lantang dari sebuah tumpukan bukit besi di tengah-tengah gudang. Di atasnya, sang pimpinan RKZ duduk dengan santai di atas sebuah ember yang dibalik. Ia menenggak satu botol minuman keras. “Malam ini memang malam yang dingin, jadi sudah sepantasnya kita hangatkan dengan api yang menyala. Biarkan kembang api berpijar di langit-langit! Ramaikan malam ini! Saatnya kita semua berpesta pora! Hahahahaha!”
Orang-orang Aliansi dan Dinasti Baru terkejut melihat kehadiran sang pimpinan RKZ yang nyata-nyata masih segar bugar itu. Dia bahkan bersikap seakan-akan kebakaran gudang ini menjadi perihal yang biasa saja sementara anak buahnya kebingungan hendak melarikan diri kemana karena kedua jalur keluar ditutup oleh lawan.
“Sudah saatnya kita mengakhiri ini semua, Bambang Jenggo.” Amar Barok yang sejak tadi mencarinya melangkah perlahan mendekati sang incaran utama.
“Atas nama semua yang gugur di tempat ini, dan demi mereka yang telah ditindas RKZ, aku akan membuatmu menyesal pernah dilahirkan, babi busuk.” Nanto melangkah ke depan dari arah yang lain.
“Demi kawan-kawan Aliansi. Kami akan menundukkanmu.” Deka memasang wajah serius dan melangkah ke depan tak gentar.
Om BMW hanya terkekeh sembari leyeh-leyeh, sementara Empat Belati mengitari dan menjaganya dari serangan anggota RKZ tak tahu diri yang dengan mudah diselesaikan.
Bambang Jenggo yang tadinya duduk dengan santai kini tertawa-tawa, tak nampak sedikitpun tanda keraguan atau ketakutan dari wajahnya meskipun sedang didatangi oleh tiga orang pemuda gagah. Lagian kenapa juga harus takut? Hanya mereka ini… bukan om BMW.
Kalau tidak hidup ya mati. Hanya dua itu saja pilihannya. Bambang Jenggo merasa ia sudah menjalani hidup seperti yang ia inginkan, kalaupun mati maka tidak ada penyesalan.
Setelah melihat satu persatu lawan yang ada di depan, Jenggo lantas berdiri dengan jumawa di atas bukit besi. Raja Para Anjing itu melemparkan botol minuman kerasnya, mengeluarkan satu kotak vape dari dalam kantong dan menghisap sedikit, mengembuskan asap berbau vanila yang langsung membumbung ke udara, dan tersenyum ke arah orang-orang yang tengah mengerumuninya. Entah darimana dia mendapatkan kotak vape dengan bercak darah itu. Sang pria bertubuh besar itu lantas melambaikan tangan pada lawan-lawan yang mengerumuninya, seakan mengundang Dinasti Baru dan Aliansi untuk menyerangnya bersama-sama.
Nanto, Deka, dan Amar Barok maju ke depan sang lawan, meninggalkan om BMW yang memilih untuk tidak ikut menyerang sang pimpinan RKZ – pria yang terus menerus tertawa dengan pedenya itu beranggapan kalau ini urusan yang muda-muda.
Melihat kedatangan ketiga pemuda, Jenggo tersenyum dan menjilat darah yang menetes di sisi bibirnya – darah dari vape. Pria bertubuh gempal itu bersiap dengan santai seperti biasa. Sang Raja Para Anjing menyeringai sembari memasang kuda-kuda, “Ketika burung camar mengikuti kapal pukat, itu karena mereka mengira ikan sarden akan dibuang ke laut.”
Amar Barok menggeleng kepala, “Hanya tinggal kamu saja yang berdiri, Bambang Jenggo. Ayolah, kita sama-sama tahu kamu bukanlah orang yang sesetia itu. Kita tidak perlu melanjutkan pertarungan ga guna ini, kita bisa mengambil jalan aman kita masing-masing. Aku akan membawa Aliansi dan Dinasti Baru pergi dari sini dan gudangmu akan selamat – aku yakin aku pasti bisa membujuk Bos BMW dan Nanto. Kamu juga bisa menyelamatkan bocah-bocahmu menghindari malapetaka di gudang yang terbakar ini. Ayolah… beritahukan padaku siapa sebenarnya Ki Juru Martani, dan semua orang selamat. Tidak perlu sebebal itu.”
Bambang Jenggo tersenyum sinis, seperti sedang menahan tawa. “Selamat? Kenapa memikirkan tentang keselamatan? Malam ini ada bau kematian yang lebih wangi. Tahukah kalian tentang kematian? Kematian tidak pernah menunggu kita siap. Kematian tidak pernah memerlukan pertimbangan ataupun berlaku adil, oh tidak. Kematian akan datang apapun yang kita lakukan – jika sudah waktunya, mati ya mati… dan malam ini, saudara-saudara sekalian. Kalian sedang berhadapan dengan kematian.”
Jenggo meledakkan Ki-nya. Ia tersenyum, “Hikayat Pemuja Malam. Rekursi pertama…”
Hembusan tenaga besar terasa hingga ke posisi ketiga orang yang tengah berhadapan dengannya.
Api terus membakar gudang RKZ.
Bersambung