Part #11 : ITU AKU

Tanpa penghancuran tidak akan ada penciptaan,
tanpa penghancuran tidak akan ada perubahan.
– Oda Nobunaga

“Seminggu. Ini sudah seminggu.”

Langkah kaki Bian yang berputar-putar di ruang utama markas Sonoz menjadi kentara karena derap kakinya menghentak-hentak lantai, dari nada suaranya juga terdengar kesan tergesa. Dia terlihat tidak sabar, berulang kali menghela napas sembari mendengus, seakan ingin segera melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Bian berulang kali mendekat ke arah pintu seperti hendak keluar karena kesal, mulutnya berdecak menandakan ketidaknyamanan dan ketidaksabaran.

“Ini sudah seminggu sejak Nanto pergi. Kemana dia sebenarnya? Bukankah seharusnya dia sudah pulang?” tanya Bian pada beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja bundar. “Dia tidak mungkin kabur begitu saja meninggalkan begitu banyak tanggung jawab. Tidak biasanya dia seperti ini. Tidak mungkin dia tidak mendengar berita tentang Roy. Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa pulangnya lama sekali?”

Hageng dan Deka berpandangan, mereka juga tidak tahu jawabannya. Nanto tidak memberikan kabar sama sekali seminggu ini. Dihubungi tidak bisa, kontrakannya juga tertutup rapat. Mereka bahkan tidak bisa mengontak Kinan, pacarnya.

“Untuk masalah delegasi dan penugasan di Aliansi, Nanto sudah menyerahkannya padaku dan Rao, jadi semua aman-aman saja.” ujar Simon menimpali, dia juga berada di ruangan itu bersama tiga anggota Lima Jari yang tersisa, Rao, dan Beni Gundul. “tapi memang dia pamitnya hanya tiga hari saja. Jadi kalau mengikuti jadwal seharusnya sejak beberapa hari yang lalu dia sudah ada di kota.”

“Kali-kali aja sekalian jalan-jalan.” Rao menyambung dengan asal.

Deka menghela napas, dia tidak punya jawaban untuk pertanyaan Bian. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada si Bengal? Kenapa dia tidak memberi kabar? Ini tidak seperti biasanya.

“Kalian seharusnya tahu kalau kalian terus-menerus hanya mengandalkan satu orang saja, maka hal seperti ini yang akan terjadi.” Lanjut Rao. “Kalau memang mau berkembang, berkembanglah bersama. Jangan bergantung hanya pada Nanto. Lawan-lawan yang kita hadapi makin hebat, tidak mungkin juga Nanto menghadapi semuanya seorang diri. Kalian – kita semua di sini harus meningkatkan kemampuan untuk bisa berdiri sejajar atau setidak beberapa level di belakang si munyuk itu.”

Deka mengangguk, Rao benar. Mereka harus berhenti menggantungkan semuanya pada si Bengal. Si Gondes pun berdehem, meminta perhatian semuanya.

“Kemungkinan besar kita harus mengatasi ini semua sendiri tanpa Nanto. Bisa tidak bisa harus bisa. Kita anggap saja dia sedang berhalangan karena satu dua hal – itu artinya kita harus memaklumi dan siap untuk menggantikan posisinya,” ucap Deka. Bian sudah hendak protes, tapi Deka tersenyum saat menatapnya. “Ketika kita sedang ditimpa masalah, Nanto selalu datang membantu tanpa pernah mempedulikan apapun. Dia menempatkan kita di posisi teratas perhatiannya. Kini saat dia tidak bisa hadir, kita juga harus siap memakluminya.”

Simon mengangguk menyetujui, begitu juga dengan Rao. Sang Hyena Gila terkekeh, “Nah, begitu baru bener.”

Sebenarnya pendapat kedua pemuka geng kampus ini tidak mengherankan karena secara psikologis mereka sebenarnya tidak pernah terlalu bergantung pada si Bengal. Tapi bagi Lima Jari, ini pertamakalinya mereka menghadapi banyak masalah tanpa kehadiran Nanto, bahkan pertama kalinya hanya bertiga saja – tanpa Nanto dan tanpa Roy.

Bian menghela napas panjang. Ia duduk di kursi dengan lemas. Secara logika dia memahami apa yang diucapkan Deka itu benar meskipun hatinya tidak puas.

Beni Gundul menggigit-gigit bibir bawahnya saat melihat Bian, dia tahu pemuda yang sudah dia anggap sebagai saudara kandung itu sedang galau tanpa tahu harus berbuat apa. Bian pernah menjadi tiang penopang Patnem bersamanya, mereka berdua sudah melalui banyak hal bersama, jadi sekarangpun seharusnya dia bisa membantunya – apalagi Aliansi sepertinya juga sedang berada dalam masalah besar, karena setidaknya ada dua lawan yang datang bersamaan.

“Jadi kalau boleh mengulang pembahasan problem yang harus kita hadapi saat ini, sebenarnya bagaimana duduk persoalannya? Siapa saja ancaman yang datang dan harus kita hadapi? Masalah apa yang harus dipecahkan? Maaf tadi aku datang terlambat sehingga tidak menyimak dengan lengkap.” tanya Beni Gundul sembari memainkan kunci inggris di atas meja.

Deka mulai menjelaskan ulang, “oke, diulang lagi supaya benar-benar jelas dan semuanya paham. Mungkin kalian sudah tahu ya – kalau aku ini adik dari Amar Barok, anggota Dinasti Baru. Pagi tadi dia bilang kalau Dinasti Baru akan menantang Lima Jari di akhir pekan ini. Itu artinya sabtu atau minggu besok ini kami sudah harus menjalani Tarung Antar Wakil di arena netral Universitas Teknologi Digdaya. Sesuai kesepakatan, hasil pertarungan dengan Dinasti Baru akan menentukan posisi Lima Jari di Aliansi, apakah kami akan tetap bergabung atau tidak.”

Rao mendengus. “Sudah tahu lawannya Dinasti Baru, malah ditantang. Edan juga kalian.”

Deka tersenyum menanggapi ocehan Rao – tapi ia melanjutkan lagi penjelasannya, “Masalah kedua adalah pergerakan PSG di wilayah utara. Beberapa hari terakhir, PSG aktif sekali di kawasan utara seperti di dekat UTD, jembatan layang, dan jalan menuju bandara lama. Pertama – mereka membuat dan mensponsori arena-arena baru taruhan balap motor di jalanan, kedua – tebaran graffiti dan mural PSG yang awalnya hanya ada di pusat kota kini menyebar hingga kemana-mana, termasuk ke wilayah utara yang tadi aku sebutkan. Itu artinya PSG melakukan pergerakan untuk menyebar ke seluruh kota, dan mereka memang mampu melakukannya dengan armada pasukan yang mereka miliki. Selebihnya, kita tahu sendiri Aliansi adalah target utama PSG setelah peristiwa dengan KSN.”

“Jadi selain harus melawan Dinasti Baru, kita juga harus berhadapan dengan PSG.” Beni manggut-manggut dan menggeleng, “belum lagi masalah mencari di mana jasad Roy berada dan siapa yang sudah menghabisinya.”

“Akan kubunuh bajingan itu! Dia tidak akan mati dengan cepat! Akan aku potong sedikit demi sedikit tubuhnya untuk dijadikan makanan babi!” Bian menggemeretakkan giginya dengan geram, dia memang wajib geram karena kasus pembunuhan saudara kembarnya sudah seminggu ini tidak menemui hasil yang jelas.

“Masalahnya adalah siapa orang itu kita juga belum tahu.” Beni bangkit, ia lalu duduk di sebelah Bian, dan menepuk pundak pemuda itu untuk sedikit menenangkannya. Tentu saja tidak dapat banyak memberikan bantuan karena Bian masih saja penuh emosi – dan itu wajar saja.

“Bagaimana kalau kita bagi tugas saja?” Simon tiba-tiba memberi usul.

Deka yang masih enggan bertatapan mata langsung dengan Simon karena kesal masalah Ara, bertanya tanpa sekalipun melirik padanya, nada tanyanya pun agak sedikit ketus. “Bagaimana bagi tugasnya? Bagaimana bisa dibagi tugas kalau begini caranya?”

Simon tersenyum, “masalah Lima Jari adalah masalah Aliansi. Kita semua yang ada di sini sudah menjalin hubungan persahabatan baru antara DoP, Sonoz, Patnem, dan Lima Jari. Terbentuknya Aliansi bahkan bisa menjembatani permasalahan Sonoz dan DoP yang sudah berlangsung bertahun-tahun, jadi seharusnya demikian juga dengan Lima Jari. Di sini, all men are brothers, kita semua bersaudara. Jadi masalah kalian, adalah masalah kami. Jawabannya simpel saja. Aku, Rao, Beni Gundul dan semua jajaran di bawah kami akan membantu Lima Jari.”

“Oh ya?” Rao meringis. “Tiba-tiba saja memutuskan untuk kita semua.”

“Kamu tidak setuju?” Simon melebarkan senyum.

“Sangat setuju malah. Tanganku sedang gatal, pengen rasanya pukulin orang.”

“Aku dan anak-anak sisa Patnem bermasalah dengan KSN sekaligus PSG. Biarkan divisi Patnem yang akan mencari informasi mengenai invasi diam-diam PSG di utara. Mereka tidak akan bisa bebas bergerak karena posisinya jauh dari markas pusat di tengah kota.” ujar Beni Gundul sambil mendengus, dendamnya pada PSG memang mendarah daging. PSG-lah yang telah menyebabkan kehancuran Patnem. “Jika memang masalahnya terlalu kompleks dan kekuatan mereka sangat besar, kami akan minta bantuan ke Sonoz dan DoP.”

“Usul yang bagus,” ujar Simon. “Sekarang tinggal masalah Dinasti Baru dan pencarian Roy.”

“Aku akan tetap mencari Roy sampai ketemu. Kalau dia belum diketemukan, hidupku selamanya tidak akan pernah tenang.” Kata Bian, memastikan dia tidak akan mengambil tempat di Tarung Antar Wakil. Semua yang hadir tentu memahami alasan itu.

“Rao?” tanya Simon. “Apakah kamu akan membantu Lima Jari di Tarung Antar Wakil? Hanya tinggal Deka dan Hageng saja yang akan turun.”

Rao terkekeh, dia bangkit dari rebahannya. Namun belum sampai Rao menjawab, tiba-tiba ada suara yang membuat anggota Aliansi yang hadir hari itu terkejut, “Tidak. Rao dibutuhkan untuk mengomando DoP. Beberapa hari ini Aliansi akan sibuk, tidak hanya berhadapan dengan PSG dan Dinasti Baru… tapi ada satu ancaman lagi yang kalian lupakan.”

Semua mata menatap ke arah pintu.

Suara itu kan…

Don Bravo.

Sang pemakan bengkuang berdiri santai bersandar di gagang pintu sambil cengengesan. “Kekekek. Sepertinya kalian mengharapkan orang lain yang datang. Kalian seperti melihat hantu, tapi sayangnya aku masih hidup tentu saja. Terima kasih untuk penyambutannya.”

Hanya Rao yang bertepuk tangan, “Sompret! Aku pikir kamu sudah mati, dab! tidak pernah ada kabar berita! Selamat datang kembali, Don Bravo!”

Deka, Hageng, dan Bian saling berpandangan. Bukankah orang ini dulu sudah menyeberang ke KSN? Kenapa sekarang kembali ke sini dengan santainya? Simon tidak bereaksi, dia hanya menatap tajam ke arah Don Bravo. Begitu juga Beni Gundul. Karena Rao sepertinya justru senang dengan kehadiran Don Bravo, mereka menunggu penjelasannya.

Rao langsung menengahi, “tenang kalian semua, tenang. Dia dapat dipercaya. Dia ada di pihak kita, sejak dulu dia selalu ada di pihak kita. Don Bravo sebenarnya adalah orang kepercayaanku yang aku tanam di KSN untuk melihat sepak terjang mereka dari dalam. KSN-nya sendiri yang layu sebelum berkembang.”

Simon langsung manggut-manggut. “Selamat datang, Don Bravo.”

“Sama-sama Simon.”

Ketiga anggota Lima Jari masih menatap Don Bravo tak percaya karena mereka pernah berseteru dengannya. Tapi seakan tak peduli, dengan santainya Don Bravo melangkah ke dalam markas Sonoz tempat mereka sekarang berkumpul. Ia membawa bokken-nya masuk dan meletakkannya di samping sebuah kursi, ia pun duduk di kursi itu setelah melepas jaket yang ia kenakan.

Melihat pandangan beberapa orang menatap tajam ke arahnya, Don Bravo cekikikan lagi. Ia menggelengkan kepala.

“Aku yang akan membantu Lima Jari bertarung jika mereka mengizinkan. Aku akan menjadi orang ketiga di Tarung Antar Wakil melawan Dinasti Baru – jangan khawatir, aku masih punya rekor tak terkalahkan di pertarungan satu lawan satu.” Kata Don Bravo tiba-tiba sambil cengengesan. “Nah, dengan formasi begini Rao bisa fokus memimpin DoP dan Simon dengan Sonoz, karena sebentar lagi kalian akan berhadapan dengan kekuatan ketiga yang juga akan merongrong Aliansi di wilayah utara. Salah besar kalau kalian mengira saat ini hanya ada dua lawan saja.”

Rao mengangguk sedangkan Simon mengerutkan kening. “Kekuatan ketiga?” tanya sang pemuncak gunung menjulang. Sesaat kemudian ia menyadari sesuatu, “Ah ya, aku tahu maksudmu. RKZ ya? Kadang suka lupa kalau mereka juga ada. Mereka memang harus diwaspadai.”

Don Bravo mengangguk, “Kalian tentu sudah mendengar cerita runtuhnya sisa-sisa KSN di tangan RKZ. Jadi begini cerita awalnya… Oppa dan Amon sebenarnya sudah memutuskan bahwa KSN tidak akan bergabung dengan RKZ ataupun PSG dan hendak berdiri sendiri secara mandiri di wilayah utara, tapi ini ditentang oleh beberapa anggota yang lantas memisahkan diri dari KSN – anggota-anggota seperti Kang Daan, Roni, dan Albino awalnya setuju bergabung ke PSG sedangkan yang memilih bergabung ke RKZ ada Tedi Ganesha.”

“Aku mendengar apa yang terjadi pada Oppa dan Amon.” Simon juga telah mendengar bahwa kedua orang itu sudah dilumpuhkan oleh RKZ bahkan sebelum KSN angkatan baru bisa berkembang. “Mereka dipastikan tidak akan dapat tampil di publik selama beberapa bulan ke depan. Aku juga tidak yakin mereka bisa bertarung seperti dulu lagi.”

“Nah itu. Hehehe, sama seperti rumor yang beredar, RKZ ternyata tidak ingin ada yang membantah dan menolak tawaran mereka. Siapapun yang berseberangan dengan mereka, dihajar dan dilumpuhkan. Oppa dan Amon adalah contohnya. Ini sebabnya sisa-sisa KSN sekarang lebih memilih bergabung ke RKZ mengikuti Tedi Ganesha, termasuk Albino dan Roni.” Don Bravo menjelaskan, “seperti aku jelaskan tadi – beberapa anggota memilih benar-benar keluar, seperti aku dan Kori. Hanya Kang Daan yang akhirnya benar-benar membawa pasukan lamanya untuk bergabung ke PSG.”

Bian mendengus kesal. Dia menatap Hageng dan Deka dengan pandangan tajam. “Tambah masalah lagi! Kopet! Wedhus! Kapan selesainya ini semua! Jingan! Munyuk! Kapan kita akan bisa menemukan Roy kalau begini caranya? Belum lagi yang satu beres sudah muncul masalah berikutnya!”

Don Bravo terkekeh. “Bahkan yang kita sebutkan terakhir itu akan segera datang menemui Aliansi untuk mengajukan penawaran yang sama seperti pada KSN. Mereka akan datang tanpa kalian duga-duga. Lebih cepat dari dugaan.”

“RKZ?” Simon mengernyit, “RKZ akan datang menemui Aliansi? Info valid-kah ini? Kapan?”

Don Bravo nyengir lebar, dia melirik ke arah jam dinding. “seharusnya mereka sudah sampai di depan gerbang lapangan Sonoz sekarang.”

Simon, Rao, Beni, Deka, Hageng, dan Bian tentu saja langsung terhenyak mendengar apa yang baru saja dikatakan Don Bravo.

RKZ sudah berada di Unzakha saat ini juga?!

Terdengar teriakan-teriakan dan suara motor yang menderu di luar. Ternyata apa yang disampaikan oleh Don Bravo memang benar. Saat ini, RKZ telah datang ke depan pintu gerbang lapangan Unzakha.

Don Bravo menatap satu demi satu anggota Aliansi yang sama sekali tidak menduga mereka akan didatangi oleh salah satu kekuatan baru di kota secepat ini. Info ini memang baru saja ia dapatkan, sehingga ia juga terlambat menyampaikan. Setidaknya ia beberapa menit lebih cepat sampai di tempat ini dibandingkan orang-orang RKZ.

Si Pemakan Bengkuang terkekeh, “jadi… bagaimana? Kita siap tidak?”

.::..::..::..::.

Pasat Bayuputra menyeruput kopi hitam tanpa melepas pandangan dari jalan. Dia sedang duduk di sebuah warung burjo yang berada tak jauh dari depan rumah sakit. Pasat mencomot gorengan berminyak banyak dan menelannya sedikit demi sedikit. Tidak sehat sih gorengan semacam ini, nikmat sekarang, penyakit di masa depan. Tapi Pasat jelas sedang tidak peduli dengan hal itu.

Yang ia pedulikan sekarang adalah merekam sesuatu. Sembari minum kopi, diam-diam ia mengangkat ponselnya untuk merekam seorang wanita cantik yang ada di seberang jalan. Dia sedang merekam tindak-tanduk Rania yang baru saja menyelesaikan shift kerja dan tengah menunggu jemputan ojek online di pinggir jalan.

Dia hanya merekam perempuan berparas manis itu dari kejauhan saja tanpa berani mendekat, memaksakan kamera ponselnya untuk merekam gerak-gerik Rania dari sudut ke sudut sampai akhirnya ojek online datang untuk menjemput.

Sudah beberapa hari ini Pasat melakukannya, merekam Rania setiap pulang kerja. Bukan kali pertama ia melakukan hal seperti ini karena pekerjaannya memang stalking. Biasanya buntutin Reynaldi, sekarang dia mengikuti Rania.

Ketika tak lama kemudian satu ojek online berjaket hijau hitam datang, Pasat menekan tombol merah untuk menyelesaikan rekamannya hari ini. Dia tersenyum lega saat melihat Rania pulang dari kejauhan, ia pun menganggukkan kepala dan menyelesaikan kopinya.

Pasat sendirian hari ini, tanpa Handoko Hamdani dan Ki Kadar – hari libur baginya karena Reynaldi sedang masuk kerja di SMA Cendikia Berbangsa, jadi sepertinya tidak akan ada kejadian yang memerlukan intervensi mereka kecuali si bangsat itu tidak bisa mengendalikan kontolnya dan berulah lagi. Jadi hari ini dia bisa bebas tugas dan istirahat di rumah.

Pemuda itu pun melangkah ringan menuju motor yang diparkir tepat di samping warung burjo. Sembari bersiul dia mengenakan helm dan menaikkan standar motor. Saat itulah ia melihat seseorang melintas sembari mengendarai motor di depannya.

Sosok itu!?

Pasat terhenyak.

Itu sosok yang yang sangat erat dalam batin dan benaknya, sosok yang membuat emosinya mendidih. Tidak mungkin salah, tidak mungkin keliru. Ia sangat hapal helm, motor, dan gaya berpakaian unik dari salah satu anak panah JXG yang legendaris itu.

Sosok yang sangat ia benci. Sulaiman Seno. Si Jagal.

Dengan sekali menjejakkan kaki di kickstarter, motor Pasat meraung kencang. Tidak boleh hilang! Dia harus mengikutinya!

Motor Pasat melesat mengikuti arah pergi motor yang baru saja melintas melewatinya. Meski hanya mengendarai motor bebek, tapi motor Pasat adalah motor yang punya jargon selalu di depan – jadi dia berusaha menggeber motor itu untuk bisa meliuk-liuk melewati mobil dan motor lain yang berkendara pelan ke arah selatan untuk mengejar yang di depan.

Satu dua mobil disalip, tiga empat motor dilalui.

Motor Jagal melaju ke selatan menuju ke arah stadion tengah kota, namun sebelum sampai di perempatan toko buku besar, motor yang diikuti oleh Pasat itu berbelok ke kanan. Arahnya kini menuju dua SMA negeri yang saling berhadapan. Pasat sebisa mungkin mengikuti tanpa terlalu kentara, jarak sangat ia perhatikan sembari mencoba menghindar dari pandangan yang mungkin didapat Jagal melalui kaca spionnya.

Sang Jagal berbelok ke kiri, dan berhenti di pertigaan lampu merah setelah pom bensin di samping restoran ayam goreng. Pasat lagi-lagi harus menunggu agak jauh karena posisinya rawan. Mau kemana orang ini sebenarnya?

Setelah lampu hijau menyala, Pasat kembali mengikuti motor yang ia incar. Motor itu berbelok ke kanan, lurus melewati jembatan, lalu berhenti sebentar di tugu untuk mengikuti panduan lampu merah. Saat kembali menyala, motor incaran Pasat kembali melaju lurus ke arah barat, melewati pasar di sebelah kanan. Kebetulan lampu menyala hijau di perempatan berikutnya, sehingga motor itu juga melaju tanpa berhenti. Begitu juga di pertigaan berikutnya, lagi-lagi lampu menyala hijau, sehingga Pasat dan incarannya bisa melaju lancar ke arah barat.

Laju motor Jagal agak sedikit kencang saat hendak melalui jembatan. Pasat tidak boleh kehilangan jejak. Dia harus tahu rumah dan kediaman orang itu. Pasat harus…

Setelah jembatan, tiba-tiba saja motor itu berbelok ke kiri.

Pasat mendengus. Lewat jalan sini ya? Daerah Tempoyan. Area ini sudah masuk ke kawasan selatan kota.

Motor yang diikuti Pasat ternyata tidak masuk terlalu jauh. Jagal berhenti di halaman parkir sebuah komplek tempat pemakaman umum, membuat sang pemuda juga terpaksa menghentikan kendaraannya – sebenarnya dari posisinya sekarang dia tidak bisa terlalu jelas melihat lokasi dan keberadaan incarannya. Ya sudah tidak apa-apa, asal masih bisa mengamatinya ketika nanti dia keluar dari komplek makam.

Sang pengendara incaran pun turun. Ia membawa satu tas plastik hitam berisi bunga. Rupanya dia hanya akan melakukan ziarah saja. Pasat mendengus lagi, sepertinya akan agak lama. Pemuda itu pun memilih memarkirkan motor di depan sebuah kios warung sego pecel yang tutup yang tak jauh dari gerbang makam sambil berpura-pura memeriksa motor.

Karena gabut, Pasat pun memeriksa kantong jaketnya dan menemukan satu bungkus permen karet. Ia membuka bungkus dan melesakkan isi permen karet itu ke dalam mulut. Sambil mengunyah permen karetnya, Pasat menikmati suasana sore pinggir jalan di atas motornya. Pemuda itu memandang ke arah langit, awan gelap kembali menjelang. Sepertinya hujan akan kembali hadir, akan lebih sulit mengikuti jejak sang incaran jika hari ini hujan dan suasana gelap, harus dimaklumi karena ini memang musim penghujan.

Sulaiman Seno. Jagal.

Nama yang selamanya akan terpatri di hati Pasat sebagai musuh bebuyutan yang harus dimusnahkan. Pasat memejamkan matanya sesaat, mengingat sebuah kejadian di masa yang telah lalu. Pemuda berambut coklat itu pun menggemeretakkan gigi dengan geram. Dendam itu terlampau dalam tersimpan dalam batinnya.

Pasat tahu dia tak akan pernah hidup tenang jika belum membalas dendam pada sang Jagal.

Ingatan Pasat terbang ke suatu masa.

“Kamu pastikan semua kebutuhan Mama terpenuhi. Jangan ragu menelponku kalau butuh apa-apa.” Mbak Priska mengemas pakaian dan memasukkannya satu persatu ke dalam koper besar. “Maaf aku harus pergi mendadak, kamu tahu sendiri seperti apa Mas Dika kalau sudah ditelpon bosnya, harus buru-buru balik ke kantor. Padahal bos-nya itu juga tahu lho kalau Mas Dika sedang liburan ke luar kota.”

“Iya, Mbak.” Pasat tersenyum melihat perut besar Mbak Priska, kakak kandungnya yang jelita yang tengah hamil. “Pokoknya kabarin nanti kalau dedeknya sudah siap dikenalin sama Om Pasat.”

“Pasti lah. Nanti aku kirim tiket supaya kamu sama Mama bisa berangkat menyusul ke ibukota ya. Pokoknya kalian tenang saja di sini. Mbak pasti cari uang supaya kamu bisa lanjut kuliah setelah lulus SMA, rumah Mama juga bakal Mbak bangun lebih bagus lagi. Yang penting kamu sekolah yang bener dan jaga Mama selama Mbak di sana.”

“Iya, Mbak. Pokoknya percaya sama aku. Mama pasti baik-baik saja.”

Mbak Priska dan Mas Dika memang tinggal di ibukota, dan setelah percakapan itu keduanya pulang ke sana – namun sayang Mbak Priska keguguran, sang buah hati yang ditunggu-tunggu meninggal dalam kandungan. Kehidupan sempat menjadi normal sesaat bahkan setelah kejadian menyedihkan itu, sampai ketika Mbak Priska dan Mas Dika kembali ke kota beberapa tahun kemudian.

Saat itu Mbak Priska kembali hamil.

Tapi saat mereka pulang, Pasat seperti bertemu dengan dua orang asing. Mbak Priska dan Mas Dika berubah. Seperti bukan kakaknya lagi. Mbak Priska sering menangis dan mudah marah.

Mas Dika juga kerap duduk merenung tanpa bekerja, padahal dulu dia orang yang sangat rajin.

Entah kenapa sifat mereka berubah, Pasat tidak tahu kenapa kakaknya yang pernah begitu optimis menjadi orang yang sering ketakutan setengah mati, bahkan untuk keluar rumah sekalipun mereka sering harus berpikir dua kali.

Rasanya tidak wajar. Masalah apa yang telah menimpa mereka?

Pasat mengejapkan mata beberapa kali. Memorinya memasuki wilayah ingatan menyakitkan, ingatan yang selalu terulang di setiap helaan napasnya. Ia mendengus sebelum pikirannya terbang kembali ke suatu masa, di suatu lorong gelap di wilayah utara kota beberapa bulan setelah kelahiran anak Mbak Priska.

Pasat masih ingat… ketika ia melihat dengan mata kepala sendiri tubuh Mas Dika tergeletak bersimbah darah bergerak beringsut di atas tanah, memegangi kaki seorang laki-laki. Memohon dan mengharap iba. Kondisi tubuhnya sudah babak belur dengan kaki patah. Pasat menyaksikan itu semua dari sebuah sudut tersembunyi.

“Kembalikan anakku… kembalikan…”

“Kamu tidak berhak atas anak yang bukan milikmu. Dia sudah diserahkan pada pihak yang lebih berhak. Dia akan hidup bahagia.”

“Kembalikan anak Priska…”

“Bodoh. Kamu itu bodoh. Mau-maunya berkorban demi anak yang bukan anak kamu sendiri. Ya sudah, kalau kamu bersikeras, kami akan memberikan pengecualian. Kerjakan apa yang kami minta dan kamu akan mendapatkan anak itu kembali.”

“Ta-tapi kalian sudah janji…”

“Edan! Kamu pikir kami ini apa? Kamu pikir dengan siapa kamu berhadapan? Kami tidak akan mengembalikan orok itu padamu begitu saja! Dasar penjudi tengik! Sudah hutang banyak, tidak mau bayar, nyolot pula! Istrimu juga sama parahnya, ngotot marah-marah ke kami sampai panggil polisi. Kalian sehat?”

“Tapi anak itu…”

“Kalian sadar itu anak siapa? Kalian sadar kalian sebenarnya sudah banyak dibantu? Memangnya kalian mampu menjadi orang tua yang baik? Lebih baik dia sama ayah kandungnya daripada sama kalian berdua!”

“Kembalikan anakku… kembalikan… Jagal… kembalikan dia…”

“Menjijikkan. Kamu orang yang menjijikkan. Menyingkir dariku!” Orang itu menggelengkan kepala dan menendang tubuh Mas Dika. “Menjual istri sendiri demi memperoleh uang, giliran hamil sekarang kebingungan. Makanya pikir semua baik-baik sebelum memutuskan sesuatu! Gebleg!”

“Dia bukan anak Pak… eheg! Dia anakku… dia anak Priska… dia anakku…”

Pasat yang secara tidak sengaja sembunyi dan menyaksikan kejadian itu harus menutup mulutnya agar dia tidak berteriak saat Mas Dika berulang kali dihujani tendangan oleh sang pria kasar yang dipanggil dengan sebutan Jagal itu.

Itu adalah malam terakhir Pasat melihat Mas Dika. Entah apakah dia masih hidup ataukah sudah ditenggelamkan di laut oleh sang Jagal. Keluarga mereka tak pernah berjumpa dengannya lagi. Kehilangan suami dan anak yang baru dilahirkan dengan tinggalan hutang yang tak akan dapat ia bayar sampai tujuh turunan, membuat Mbak Priska kehilangan kewarasan.

Tak berapa lama kemudian, Mbak Priska mati karena gantung diri.

Hingga saat ini, Pasat masih belum tahu secara pasti apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa Mbak Priska dan Mas Dika menemui nasib seperti itu. Pasat hanya bisa mendedikasikan hidupnya untuk menjadi lebih kuat dan lebih paham dunia hitam, supaya suatu saat kelak ia bisa mendapatkan jawaban.

Jawaban yang menurutnya bisa ia dapatkan dari sosok Sulaiman Seno. Sosok yang saat ini dia ikuti.

Brkgh.

Semua bayangan Pasat buyar ketika sebuah mobil tiba-tiba melintas di depannya dan melewati sebuah polisi tidur sampai berbunyi kencang. Mobil itu mobil box tutup serba putih dengan lambang pengantar barang di sisi kanan dan kirinya.

Mobil itu masuk dan berhenti di halaman parkir yang berada di dalam komplek makam. Serombongan orang keluar dari dalam mobil. Satu, dua, tiga – tiga orang turun tidak termasuk sang sopir, begitu keluar dari dalam mobil ketiga orang itu langsung menuju ke area makam. Mereka masuk dengan terburu-buru, wajah-wajah mereka garang dan menyeramkan.

Pasat mengerutkan kening.

Bukankah itu hal yang aneh?

Tanpa harus menjadi Detektif Conan, Kindaichi ataupun Saeba Ryo, dia sudah bisa tahu ada beberapa hal yang tidak beres. Satu – seragam itu bukan seragam pengantar barang. Mereka hanya mengenakan baju dan ikat kepala putih. Dua, mau mengantarkan apa mereka sampai harus masuk ke dalam makam? Absurd.

Jadi siapa mereka?

Jangan-jangan ada hubungannya dengan Jagal?

Rasa penasaran menguasai Pasat, dia pun memutuskan untuk ikut masuk ke makam.

.::..::..::..::.

Raungan suara sepeda motor berhenti saat Simon dan kawan-kawan memutuskan keluar dari markas Sonoz untuk menemui para pengacau. Motor yang datang ke Unzakha hari itu tidak sebanyak yang mendatangi bengkel Amar tempo hari. Tapi ini wajah-wajah yang sama – Deka, Hageng, dan Bian mengenali beberapa di antara mereka.

Terutama tiga yang berdiri paling depan. Galung, Gamal, dan Agun. Trio ancur.

“Apa maksud kalian datang ke Unzakha seperti ini, hah!?” Simon menghardik ketiga orang RKZ yang datang tak diundang itu. “Siapa kalian? Apa mau kalian?”

Hageng segera pasang badan di depan Simon, tubuhnya yang besar memblokir akses trio ancur ke arah sang pemuncak gunung menjulang.

“Hahahahaha. Mohon maaf datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Sebelumnya kami perkenalkan diri kami dulu karena tak kenal maka tak zheyeng. Hahaha. Kami dari RKZ, aku Galung, ini Gamal, dan itu Agun. Kami datang dengan damai. Tidak ada niatan sedikitpun untuk bertengkar apalagi bertarung. Kami datang hanya untuk menyampaikan penawaran saja. Tenang saja ini bukan tawaran MLM.” Galung yang berdiri terdepan memperkenalkan diri mereka, ia tersenyum aneh. “Kalau tawarannya diterima asyik, tapi kalau tidak diterima bakalan ada konsekuensinya. Hehehe.”

Rao bersidekap, “Kami tidak terima tawarannya.”

Simon ikut menambahkan, “Kalian hanya buang-buang waktu saja.”

Deka juga tidak ketinggalan, “Putar balik motor kalian dan pergi dari sini sekarang juga. Kalian berada di wilayah Aliansi dan tidak diterima di sini.”

“Hahahahaha. Shombong amadh. Kalian bahkan belum mendengar penawaran dari kami. Inikah yang namanya Aliansi? Gabungan orang-orang cerdas yang berhasil menaklukan KSN? Kok sama sekali tidak menggunakan akal sehat, menolak tawaran yang bahkan belum disebutkan apa-apanya. Arogan sekali. Ayolah, dengarkan kami dulu, telaah dalam hati – dipertimbangkan, baru kasih jawaban. Begitu lho cara kerjanya… haduh payah kalian ini. Padahal ini tawaran yang menarik sekali.”

Tak lama setelah mengucapkan itu, Roni dan Albino menyeruak dari dalam rombongan, mereka mengenakan pakaian dan ikat kepala putih seperti layaknya anggota RKZ lain. Simon dan Hageng sama-sama mengeraskan kepalan tangan mereka saat melihat kedua pengkhianat Sonoz itu.

Roni melangkah terus tanpa takut apa-apa, dia hanya saling melirik dengan Hageng saat melaluinya. Roni akhirnya berdiri di hadapan Simon sembari tersenyum, “Salam Simon, syukurlah kamu sehat-sehat saja. Sudah cukup lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”

“Kabarnya baik, sayang jadi kurang baik karena tiba-tiba kalian nongol. Merusak mood sekali.”

Roni tertawa, “Simon, biasanya kamulah yang selalu menggunakan logika. Selalu menggunakan akal sehat. Cobalah bujuk kawan-kawan Aliansi untuk mendengarkan dulu penjelasan dari perwakilan RKZ ini. Aku dan si Albino sudah ikut mereka dan menemukan banyak keuntungan, percayalah mereka punya visi dan misi yang jelas dan terstruktur. Mereka bukan sekedar geng jalanan biasa. Pahamilah dulu posisi kami sekarang ini, bahwa kami bisa menjadi besar. Kami bisa memberikan penawaran yang menarik – jika Aliansi juga bergabung dengan RKZ.”

“RKZ itu rombongan tukang jambret, begal, copet, pencuri, pelaku pelecehan seksual jalanan, dan perampok. Bagian mana dari kalian yang belum kami pahami?” ketus Simon membalas bujukan Roni. “Rasa-rasanya visi dan misi tae kocheng semacam itu tidak akan cocok dengan tujuan kami membentuk Aliansi. Jadi sudah pasti kami akan menolak apapun usulan kalian. Mumpung kami masih sopan, silakan berbalik dan pergi dari sini. Jangan pernah berani menginjakkan kaki di tanah Sonoz lagi dengan tidak hormat. Aku dan yang lain tidak akan segan-segan.”

Roni mendengus, sepertinya dia agak kesal. Dengan berani dia maju mendekat ke arah Simon. “Simon, selama ini aku selalu sopan. Kemarin aku bergabung dengan KSN dan harus mengakui kebesaran Aliansi. Tapi setelah sekarang bergabung dengan RKZ, kondisi kita berbeda. RKZ dan Aliansi tidak selevel. Kami yang akan menggantikan kelompok-kelompok tua seperti QZK dan JXG!”

“Wuu! Dari dulu zeperti itu teruz ngomongnya! Kamu mengulang kalimat yang zama zeperti ketika bergabung dengan KZN. Payah! Ra mutu! Ndezit! Wagu!” Hageng kembali berdiri di samping Simon. “Kamu tentu zaja mazih boleh mazuk ke wilayah Unzakha karena kuliahmu di zini, tapi jangan pernah mengajak rombongan perkedel dan ozeng tempe zeperti mereka mazuk juga. Zeharusnya kamu tahu yang lebih baik. Cari teman yang lebih mumpuni.”

Albino mendekat ke arah Hageng, wajah mereka sangat dekat. Dengusan napas keduanya saling terasa, mata mereka saling menatap dengan tajam, keduanya bagai hendak mematahkan leher masing-masing.

Albino yang pertama kali berucap, “justru karena Unzakha ini kampusku jadi aku merasa berhak berada di sini tanpa intimidasi siapapun. Harap diingat bahwa kami datang dengan damai, mengajak kalian bergabung dengan RKZ untuk menguasai kota bersama – tidak hanya wilayah utara! Kalian yang arogan jangan lupa diri! Kalian hanya berhasil menjadi penguasa wilayah utara karena QZK vakum dan KSN mengalami nasib sial. Tapi saat ini kami tidak main-main. RKZ bukan KSN yang terlalu mengandalkan PSG.”

“Blablabla. Prex su! Kakehan lambe! Bacot!” Bian sudah tidak sabar lagi. Dia mendekati si Albino. “Kami sudah bilang tidak mau – berarti tidak mau! Silakan pergi dari sini. Kami masih banyak masalah yang harus kami urus! Enyah!”

Galung menepuk pundak Roni dan Albino. “Sudahlah.”

Roni tersenyum saat melihat Galung yang menyeringai. Dia dan Albino pun mundur teratur di belakang Galung, Gamal, dan Agun.

Seringai Galung tak menghilang, “Kalian sudah menentukan nasib kalian sendiri hari ini. Jangan salahkan kami kalau kelak Aliansi menderita nasib yang sama dengan KSN saat menolak bergabung dengan RKZ. Menolak gabung RKZ itu bikin nasib kalian rekosoWes… angel… angel… pernah dengar apa yang terjadi pada Amon dan Oppa? Siapa yang mau menyusul duluan?”

Kembali Bian panas hati. “Munyuk! Berani-beraninya kamu mengancam…”

Boooom!

Tiba-tiba saja saat itu ada hempasan tanah dan debu-debu bertebaran, seakan-akan membentuk kabut di antara kubu RKZ dan Aliansi. Beberapa orang terdekat langsung batuk-batuk. Termasuk Bian dan Albino. Kedua kubu langsung mundur beberapa langkah untuk menghindar dari debu yang terangkat dari tanah. Sebagian menggunakan tangan untuk menutup mulut dan hidung, sebagian menggunakan ujung kerah baju.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuat hempasan debu itu menyebar?

Ketika debu menyingkir, barulah mereka bisa melihat ada sosok yang hadir di tengah mereka, dia mengenakan hoodie abu-abu tua dan topi yang menutup wajah. Tanpa mengucap sepatah kata pun, orang ini berdiri dengan tegap. Ia memutar badan, seakan menatap satu persatu wajah yang hadir di tempat itu. Tangannya yang mengenakan sarung tangan motor terkepal sangat kencang.

“Siapa lagi kam-“ Simon mengernyitkan dahi, dia mencoba maju dan bertanya untuk mencari tahu, tapi pertanyaannya dihentikan oleh sang sosok misterius yang langsung mengangkat tangan dan mengacungkan dua jari dengan tegas ke arah sang pemuncak gunung menjulang, menyuruhnya untuk diam.

Entah kenapa Simon pun mundur dan berpandangan dengan Rao.

Ki yang muncul dari orang ini… seperti…

Galung yang maju dari sisi RKZ. Dia agak panas karena tiba-tiba saja ada yang turun ke arena tanpa diduga-duga. “Anjrot. Denger ya, su. kami tidak tahu siapa kamu, tapi kami sedang ada urusan dengan Aliansi. Kalau kamu tidak tahu apa-apa sebaiknya menyingkir dari sini dan jangan ikut campur. Ini masalah serius. Kamu bisa terluk…”

Jbooookkkghhh!

Galung terhempas dua meter ke belakang saat kaki dari si hoodie melayang ke wajahnya, hidung pemuda dari RKZ itu langsung moncrot.

Roni dan Albino terbelalak, mereka sama sekali tidak menduga orang itu tiba-tiba saja akan menyerang. Mereka juga tidak menduga kalau orang itu dengan kecepatan tinggi mendekat ke arah mereka. Tangan kanan si hoodie memegang belakang kepala Roni, tangan kiri memegang belakang kepala Albino.

Sudah diduga apa yang akan terjadi. Kepala keduanya dibenturkan keras dengan kecepatan tinggi!

Bletaaaaaaaaaakkgh!

Roni dan Albino terlempar ke belakang bersamaan tanpa sempat berbuat apa-apa. Mereka terguling dengan memegang kepala yang nyeri bukan kepalang, keduanya berteriak kesakitan berulang. Agun dan Gamal terdiam sesaat dan saling berpandangan, butuh beberapa saat bagi mereka untuk menyadari bahwa orang ini adalah ancaman!

Gamal membuka mulutnya dan berteriak kencang, “seraaaaaaaang!”

.::..::..::..::.

Makam di TPU Tempoyan ini besar-besar dan tidak susah mencari tempat sembunyi, sebagai makam yang mungkin ada sejak jaman penjajahan, bangunan makam banyak yang masif dan berkubah. Meski begitu, Pasat harus mengerahkan kemampuannya dengan teramat cermat. Sebisa mungkin tidak mengeluarkan Ki agar orang-orang yang berada di tempat ini tidak dapat membaca posisinya. Pasat nangkring di atas tembok pagar yang berada di belakang beberapa pohon kamboja.

Dari posisinya, dia dapat melihat dan mendengarkan lamat-lamat pertemuan antara tiga orang yang baru datang yang seperti perkiraannya benar-benar menjumpai Jagal.

Ketiga orang yang menemui Jagal berpencar, dua menjauh dan satu orang mendekat ke arah Jagal yang tengah jongkok di depan sebuah makam. Bunga-bunga yang tadinya berada di tas plastik sudah ditebarkan di atas makam itu.

“Kenapa suka sekali bertemu di sini, Seno?” pria yang menemui Jagal mulai berbicara. Karena suaranya lantang, Pasat dapat mendengar dari posisinya berada sekarang.

Pertanyaan itu tidak dijawab oleh sang Jagal yang masih tetap fokus di posisinya semula.

“Jadi ini istrimu ya. Sayang sekali memang, orangnya cantik nasibnya buruk.” Sang pria mulai bicara sembarangan saat melihat nama di nisan. “Kalau anakmu di mana makamnya?”

Jagal pun berdiri sembari menatap sang pria yang baru datang. “Aku tahu kamu telah banyak berbuat untukku semasa di penjara dulu. Tapi saat ini kita tinggal di dunia yang berbeda dan sebaiknya juga berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Kita mulai dengan peraturan pertama. Jangan pernah berani-berani menyebut istri dan anakku lagi dimanapun, kapanpun, dengan alasan apapun. Tentunya kamu tidak ingin kepalamu lepas dari tubuh.”

“Hekekekekek. Ga usah baper begitu, dab. Aku kan tidak mengucapkan apapun yang menghina istri atau anakmu.” Sang pria tertawa, dia tahu betul bagaimana menekan tombol emosi pada sang Jagal. “Lagipula siapa kamu berani-beraninya mengancamku? Sudah lupa semua kejadian selama kamu dipenjara? Kamu berhutang banyak padaku.”

Jagal mendengus kesal, “Apa maumu… Bambang Jenggo?”

Ya.

Pria yang menemui Sulaiman Seno itu adalah Bambang Jenggo, pimpinan RKZ – geng baru yang perlahan-lahan mulai besar di kota. Sedangkan dua orang yang menemaninya tentu saja lackey setianya, Alang Kumitir dan Tunggul Seto. Tapi keduanya tidak mendekat dan membiarkan sang bos bisa berbicara secara tenang berdua dengan sang Jagal.

Sang pimpinan RKZ mengangkat tangannya, ia membuka jemarinya yang gemuk. Jari-jemari tangan kanannya itu ditegakkan untuk membentuk angka lima. “Lima permintaan, Seno. Jangan pura-pura lupa. Kamu berjanji akan mengabulkan lima permintaan dariku. Laki-laki itu harus dipegang janjinya.”

Sulaiman Seno mendengus. “Langsung saja. Apa yang pertama?”

Bambang Jenggo tertawa, “Bwahahahahaha. Demen pakai banget, Seno. Kamu memang tidak suka basa-basi. Bwahahahaha. Tahu saja kalau kedatanganku untuk menagih janji.”

Sang Jagal tidak bereaksi, dia menepuk-nepuk makam di depannya. Mengelus nisan, seperti seakan sedang membelai rambut. Dia mengelus dengan lembut sekali.

“Permintaan pertama. Aku minta kamu untuk membawakan padaku seorang pemuda. Dia sangat berbakat dan akhir-akhir ini namanya mulai dikenal oleh kalangan kita. Dia tergabung dalam kelompok baru yang saat ini cukup besar di kawasan utara. Meski kemampuannya lumayan, rasa-rasanya dia tak akan terlalu merepotkan untukmu.”

Jagal menggerakkan bahu. “Nama?”

Bambang Jenggo terkekeh. Dia mengambil kertas dari dalam kantong celananya dan menyerahkannya pada sang Jagal. “Ini data-data yang kamu butuhkan tentang dia. Berapa lama kira-kira waktu yang kamu butuhkan untuk membawa dia padaku? Seminggu? Dua minggu?”

Jagal menerima kertas yang diberikan oleh Jenggo dan mulai membacanya, dia mendengus saat memeriksa data yang ada dalam kertas. Sesaat kemudian Seno mengejapkan mata saat melihat foto yang tertera dalam kertas itu! Orang ini… sepertinya dia pernah lihat. Bukankah dia yang… hmm… iya. Sepertinya mereka pernah bertemu. Ternyata pemuda ini. Kebetulan sekali.

“Dua tiga hari cukup.”

“Bwahahahahhaha! Mantaaaaaap!” Bambang Jenggo menyodorkan kedua jempolnya dan menepuk pundak Sulaiman Seno. “Ga sia-sia memang aku menjalin kontrak denganmu. Mantap!”

Sang Jagal sebenarnya risih dengan orang yang satu ini. Tapi dia sudah terlanjur mengatur perjanjian dengannya. Kalau saja tidak khawatir dengan kawan-kawannya yang lain, Jagal tidak akan sudi memenuhi kontrak apapun dengan Jenggo. Tapi saat ini keselamatan kawan-kawannya yang masih berada dalam penjara di sebuah pulau ada di tangan Bambang Jenggo. Jaringan Jenggo di dalam penjara bukan kaleng-kaleng. Mulai dari tahanan sampai sipir semua ada di tangannya.

“Kalau sudah cukup segera angkat kaki dari sini.” Tukas Jagal dengan dingin. “Tinggalkan aku sendiri.”

“Hahaha. Baik… baik…” tapi sebelum Jenggo pergi lebih jauh, pimpinan RKZ itu tiba-tiba membalikkan badan. “Hahahahaha. Satu lagi, Seno.”

Jagal mengangkat bahu. “Apa?”

“Permintaan kedua. Kami akan melakukan sesuatu yang mungkin membuat Pak Zein dan JXG marah besar. Tapi jangan khawatir, kami tidak akan melakukan tindakan yang merugikan bagi kalian. Kami hanya ingin memancing Pak Zein turun gunung lebih cepat.” Jenggo menyeringai, “permintaan keduaku adalah… kamu tidak berhak ikut campur dalam urusan yang satu ini. Siapapun dari JXG boleh memburu kami, tapi tidak kamu. Hehehe.”

Jagal mengerutkan kening, apa lagi rencana si busuk ini?

Tapi Jenggo tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia berlalu pergi sembari ditemani oleh kedua anak buahnya, meninggalkan Jagal yang masih bertanya-tanya dengan rencana yang sedang disusun oleh RKZ. Mereka benar-benar berbahaya.

Setelah ketiga sosok itu pergi, barulah Jagal bergumam. “Bambang Jenggo. Tidak pernah kuduga kamu akan menjadi pimpinan RKZ. Kita bakal sering ketemu di masa-masa mendatang.”

Saat mendengar ucapan Jagal barusan, Pasat pun langsung terkesiap, jadi orang tadi itu adalah pimpinan RKZ? Bambang Jenggo?

Saat itu sang Jagal memang berada di dekat lokasi Pasat bersembunyi. Meski ucapannya lirih, tapi karena posisi keduanya dekat maka sang pemuda berambut coklat yang tengah menguping itu dapat mendengar tiap kata dari Sulaiman Seno, sayang dia tidak bisa mendengar dan memahami percakapan antara Bambang Jenggo dan Jagal tadi.

Apa yang diinginkan Bambang Jenggo dengan Jagal? Kenapa mereka bertemu di tempat seperti ini? Apakah sebenarnya Jagal sudah pindah afiliasi dan bergabung dengan RKZ? Kalau memang iya, JXG pasti akan mengalami pukulan dahsyat karena Jagal adalah salah satu andalan mereka. Tapi entah apapun yang terjadi antara Jagal dan Bambang Jenggo, hal sepenting ini harus dia sampaikan pada Ki Kad…

“Bagaimana, sudah mendapatkan informasi yang kamu butuhkan, dab?”

Terdengar suara yang begitu dekat dari posisi Pasat berada. Pemuda itu melongok ke bawah dan melihat wajah Jagal menatapnya dengan pandangan tajam. Jantung Pasat seperti berhenti berdetak.

Bangsat! Dia ketahuan!

Jadi ucapan Jagal tadi itu pancingan!? Gawat. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Sudah siapkah dia berhadapan dengan Jagal? Bukankah ini yang dia cari-cari sejak dulu? Bukankah ini yang menjadi golnya selama ini? Jadi siapkah dia? Siap tidak?

Di saat Pasat ragu-ragu, sepertinya justru Jagal-lah yang sudah memutuskan.

Jagal melompat ke atas mencoba mendekati Pasat. Tangannya terangkat ke atas, mencoba mencengkeram sang pemuda. Tapi tangan yang mencengkeram itu didorong balik oleh kekuatan besar lain.

Bkkghh!

Sang pemuda berambut coklat langsung kabur setelah tangannya menghentak cengkraman tangan Jagal yang hampir sampai di tubuhnya. Pasat menjadikan serangan sang lawan sebagai tumpuan untuk melesat pergi. Bak seorang ninja, Pasat berlari menyusuri pagar beton dengan kecepatan tinggi. Kalau soal parkour, Pasat tidak akan kalah dengan siapapun.

Jagal memegang tangannya yang tiba-tiba seperti kebas. Rasanya aneh. Hentakan tangan itu… terasa dingin, terlalu dingin untuk ukuran normal. Sulaiman Seno mendengus sembari memegang tangannya, bukankah itu jurus yang dikuasai oleh… hmm… apakah Pasat juga menguasainya? Bocah berambut coklat itu sepertinya sosok yang menarik. Dia tidak boleh dilepaskan begitu saja!

Sulaiman Seno merapal pembuka gerbang kecepatan dan melesat mengejar sang pemuda berambut coklat. Hanya dengan satu lompatan saja Jagal mampu menyusul Pasat. Meski Pasat berlari di atas pagar beton, Jagal mampu mensejajarinya di udara.

Jboookkkgh!

Dengan satu hentakan tangan kanan, wajah Pasat terpapar pukulan Jagal. Pukulan itu tidak terlalu kencang karena dilakukan saat Jagal berada di udara. Tapi tak urung membuat sang pemuda berambut coklat kehilangan keseimbangan dan terhempas ke kiri.

“Haaakghhh!”

Pasat terlempar dari atas tembok dan jatuh terguling ke halaman sebelah di samping makam. Ia terbanting dengan keras. Tubuhnya terasa bagai dihantam besi baja. Tulang-tulang terasa remuk dan badan pasti memar.

Tapi dia tak bisa berlama-lama kesakitan begini!

Usai berguling beberapa kali, Pasat buru-buru bangkit untuk berlari keluar dari komplek pemakaman. Namun dengan mengagumkan Jagal melompat tinggi dan melewati tembok dua meter dengan sekali lompat. Dengan menggunakan tangan untuk bertumpu di ujung atas tembok, Jagal melalui rintangan dengan mudahnya untuk menjumpai Pasat!

Bajingan!

Sepertinya mau tidak mau Pasat harus menghadapinya saat ini juga. Tapi tunggu dulu… di belakang makam ada kampus yang dipisahkan jarak oleh satu sungai yang membelah. Barangkali ia bisa melarikan diri lewat sana? Siapa tahu dia bisa menyeberangi sungai untuk sampai di kampus itu! Di kampus yang ramai oleh mahasiswa Jagal tidak akan berani berbuat banyak!

Tak perlu banyak berpikir! Pasat melesat meninggalkan Jagal untuk sekali lagi berlari. Tapi kali ini tidak keluar dari komplek makam, melainkan menuju area di belakang makam! Menuju ke sungai!

Tahu bahwa kemampuannya masih di bawah sang anak panah JXG, Pasat harus menggunakan Ki-nya untuk bisa meloloskan diri dari si Jagal. Ia melesat sekuat yang ia bisa.

Swwooosh.

Bak hantu yang sekejap mata menghilang, Pasat sudah lenyap dari hadapan Jagal.

Dengan kesal sang pemburu dari JXG mendengus, sekali lagi Sulaiman Seno merapal dan membuka gerbang kecepatan Kidung Sandhyakala! Kejar-kejaran pun terjadi di area makam. Melompat, berguling, menyisir sisi sempit, melalui lubang pagar, melompati semak-semak, keduanya seimbang dan punya kecepatan yang setanding!

Lompat sana, lari di sini, loncat ke arah yang berbeda.

Jagal makin penasaran, siapa orang ini sebenarnya? Sepertinya bukan orang sembarangan. Dari mana dia berasal? Pemuda berambut coklat itu tidak menggunakan pakaian yang biasa dikenakan oleh orang-orang Dinasti Baru yang biasanya mengenakan aksesoris geng motor, tidak berpakaian putih seperti orang-orang RKZ, dan tidak senorak orang-orang PSG.

Apakah dia dari QZK?

Batas terluar makam akhirnya terlihat di depan mata. Tapi sial karena sungai itu ternyata dalam dan curam, tak mungkin dilompati. Pasat mengumpat dalam hati. Dia bisa mati kalau nekat melompat dari atas sini!

Bagaimana caranya meloloskan diri dari Jagal? Dia harus cari cara lain. Tapi mungkin hanya ada satu cara saja yang terisa.

Hadapi secara langsung.

Pasat mendengus kesal, sepertinya mau tidak mau dia harus menggunakan jurus rahasia! Sial! Pemuda berambut coklat itu mencoba memilih satu lokasi yang agak lapang, dia membalik badan dan mulai memasang kuda-kuda. Mungkin memang sudah saatnya dia berhadapan dengan bedebah satu ini, menuntaskan segala dendam, melapangkan dada dari rasa kesal, dan mempersembahkan kemenangan pada kakaknya tercinta.

Bersiap!

Jagal sampai dengan cepat ke posisi Pasat yang sudah terdesak di ujung area makam. Si kurang ajar yang diam-diam menguping pertemuannya dengan Bambang Jenggo itu sudah tak punya lagi jalur untuk menyelamatkan diri. Salah mundur selangkah dan dia bisa jatuh ke sungai yang hampir kering dan berbatu-batu. Lawannya sudah terpojok seperti tikus terperangkap!

Jagal mendengus, dia merapal pembuka gerbang pukulan dahsyat. “Angkara gung…”

Tapi sesaat kemudian dia berhenti. Dia memperhatikan Pasat juga memulai rapalan.

Pasat memejamkan mata. Tubuhnya agak membungkuk sedikit, jari-jemarinya bergerak cepat, membentuk lima gerakan sambung-sinambung di depan dada dengan tangannya. Ia pun segera merapal ajiannya. “Langit terbelah awan menangis membasahi bumi. Guntur berderak marah mengisi relung hati. Putus asa tercurah dalam madah, malam sedih berkabut air mata darah.

Jagal tertegun. Jurus ini…

Geram Jagal menarik tangannya, hanya ada satu orang yang ia kenal yang mampu menguasai jurus Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah, dan orang itu adalah Ki Kadar dari QZK. Jangan-jangan bocah ini ada hubungan dengan Ki Kadar?

Semakin menarik.

Marilah kita coba saja.

Jagal yang penasaran membuka kuda-kuda pertahanannya. Sudah lama dia tidak menyaksikan jurus unik ini. Seperti apa sekarang perkembangannya? Bagaimana bocah berambut coklat ini bisa menguasainya?

Yang juga menarik bagi Sulaiman Seno adalah perbandingan yang akan mereka lakukan. Kidung Sandhyakala lawan Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah. Sang pemburu mendengus, mana yang lebih unggul? Perbandingan hari ini bisa dijadikan acuan jika kelak dia berhadapan langsung dengan Ki Kadar di arena.

“Majuuu!” teriak Jagal memancing, dia tak sabar.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaa!” Pasat juga tak main-main lagi, ia menyerang.

Siang itu di tepian area makam, di sebuah tebing di pinggir sungai, panas matahari yang menyengat kian hangat membakar kulit yang lekat oleh keringat.

.::..::..::..::.

The Donut’s Pub sepi siang itu.

Jam makan siang juga sudah lewat.

Supaya tidak ngantuk saat menunggu pelanggan datang, Lady sang penjaga cafe mulai beraksi. Ia membersihkan bar dengan kain pembersih, semprot sana sini, lalu mengelap dari sudut ke sudut. Mulutnya sedari tadi nyerocos menyanyikan lirik lagu sementara badannya bergoyang mengikuti dentuman irama musik Dynamite dari BTS yang dimainkan di pengeras suara. Si manis itu melenggak-lenggokkan badan dengan cekatan.

Suara jari-jemari lentik mengetik di atas laptop di sebuah meja yang ada di dalam cafe dikalahkan oleh suara nyanyian Lady. Si cantik yang tengah mengetik pun ikut-ikutan menyanyikan lagu yang sama dengan sang pekerja cafe itu.

Sampai akhirnya ia selesai dan menuntaskan tugas kuliah yang baru saja ia ketik.

Nada

“Ah akhirnya selesai! Hore!” Nada mengangkat kedua tangannya menandakan kemenangan. “Tugas Pengantar Basis Data sama Bahasa Inggris akhirnya selesai juga. Fuh. Bener-bener gila minggu ini, tugasnya seabrek-abrek.”

“Mantap jiwa, memang panutanku. Tapi jangan lupa ya.” ucap Lady tiba-tiba.

Nada yang duduk di sebelah jendela di depan bar pun mengernyit dengan sejuta tanda tanya di benaknya. “Eh? Jangan lupa apa?”

“Jangan lupa dikirim ke e-mail aku, hime. Kan mau nyontek juga.”

“Hahahaha. Siaaaap. Apa sih yang Mbak Lady minta ga aku turutin? Hahaha.” Mumpung masih terkoneksi internet, Nada pun mengirimkan beberapa file ke e-mail Lady. “Udah nih. Tapi diganti-ganti dikit ya, jangan asal pasang nama sama NIM aja. Ada beberapa yang mesti dirubah karena berbeda-beda tiap orang. Jawabannya disesuaikan sama nomor induk mahasiswa kamu.”

“Oke siyap.” Lady membuat tanda hormat dengan tangan kanannya di atas kening. Nada pun tertawa renyah. Sesaat kemudian Lady baru teringat sesuatu, “Eh iya, kalau punya si Nanto gimana?”

“Sudah aku buatkan juga kok, ini aku kirim sekalian ke email kamu. Berhubung dia absen, yang punya dia sudah aku sesuaikan kayak NIM dia.” jawab Nada sambil tersenyum riang.

Lady manggut-manggut. “Mantap. Makasih ya, hime. Sori banget kami jadi banyak ngrepotin kamu. Kamu itu princess sekaligus hero.”

“Wahahahah. Bisa aja.” Nada tergelak, “Oh iya, si Nanto emang belum masuk juga ya?”

“Beluuuum. Ga tau itu anak kemana. Udah beberapa hari ini ga ada kabar. Di sini absen, di kampus juga absen. Ya kalau cuma seminggu sih kayaknya ga apa-apa kalau di kampus, takutnya yang di sini. Kalau sampai ga ada kabar kan sudah pasti gajinya juga dipotong. Nekat juga sih tuh anak. Telponnya dimatiin, WhatsApp SMS ga dibales. Kontak ke ceweknya juga sama aja.”

Nada manggut-manggut, “ya ambil positifnya saja. Mungkin dia sedang terlibat sama sesuatu yang penting atau liburan ke tempat yang tidak ada akses internetnya.”

“Huu. Aku juga pengen liburan.”

Nada tertawa. “Perasaan baru dua minggu kemarin kamu ngajuin cuti pulang ke rumah nenek. Kan aku yang nganterin surat izin kamu ke dosen-dosen. Dasar.”

“Ke rumah nenek itu bukan liburan, hime. Itu kewajiban. Kalau udah sampai di desa, yang ada disuruh bersih-bersih, masak, ngajak simbah-simbah ngobrol seharian, ngikut acara temu warga. Huu, bukannya ga asyik – tapi aku pengen suasana yang berbeda. Aku kan termasuk generasi rebahan.”

“Ah nggak ah, Lady rajin kok. Sekarang aja saat seharusnya gabut malah bersih-bersih cafe. Sungguh membanggakan. Kalau Mbak Linda yang punya cafe lihat pasti kasih jempol dan dikasih naik gaji.”

“Ya kan di sini ada CCTV, hime. Kalau gabut mulu nanti kena tegur juga. Kalau begini kan bisa pencitraan. Hahahaha.”

“Walaaaah. Kirain beneran rajin, hihihi.” Nada melirik ke ponsel dan mulai berkemas-kemas. “Udah siang nih, aku mau jalan ke depan ya, Lady. Sekalian nungguin ojek online dateng di seberang.”

“Lho? Ga nunggu di sini aja? Malah panas-panasan di depan sana.” Tanya Lady.

Nada menggeleng, “nggak ah, aku kasihan sama abang ojeknya. Kalau ke sini dia harus muter dulu pindah jalur. Kalau aku menyeberang ke sisi sana kan bisa langsung lurus pulang ke kanan.”

“Ealah oke deh. Yakin nih ga mau nunggu di sini aja?”

“Yakin banget. Udah, kamu istirahat aja, say. Mumpung pas ada waktu luang begini dimanfaatin, bisa juga buat ngerjain tugas kalau kepala ga berat.”

“Kepala sih ga berat, perut yang agak aneh.”

“Yee si Lady mah. Kalau itu namanya laper.”

“Hihihihi.”

“Bawa laptop kan? Kalau ga ada aku pinjemin.”

“Ada kok… ada. Tas aku ada di belakang.”

“Ya udah, aku cus dulu ya.”

“Siap. Ati-ati di jalan, hime.”

“Dah Lady.”

“Dah Nada.”

Nada pun melangkah keluar dari The Donut’s Pub, meninggalkan Lady sendirian. Terdengar lagu begadang tiba-tba berdendang. Nada cekikikan dan menggelengkan kepala. Gadis cantik itu pun melewati bagian depan cafe, melirik ke kiri dan ke kanan, lalu menyeberang sampai ke pembatas jalan. Pembatas jalan memiliki taman kecil dan pepohonan rindang yang berjajar di tengah. Kembali Nada melirik ke kiri dan ke kanan, lalu menyeberang lagi untuk sampai di sisi yang lain.

Sambil menggumamkan lagu Dynamite kembali, Nada dengan riang memeriksa ulang sudah sampai di mana ojek online yang dia pesan melalui aplikasi. Dari posisinya sekarang ini, cafe The Donut’s Pub tidak terlihat. Trotoar tempat Nada berada sekarang juga sepi. Hanya ada satu motor yang mendadak berhenti di dekatnya, lalu dua orang yang mengendarainya turun untuk memeriksa sesuatu di ban atau mesin.

Karena gabut ga jelas, Nada pun membuka instagram dan mulai melihat foto-foto yang di-share oleh teman-temannya.

Gadis cantik itu tak menyadari ada orang mendekat.

“Apa kabar Neng Nada?”

Hah!?

Nada memutar badan, ia menjumpai dua orang pria yang tak ia kenal, dua orang yang tadi sedang berhenti untuk memeriksa motor. Siapa mereka? Apakah mereka saling kenal? Tidak sepertinya, wajah mereka asing.

Siapa mereka?

“Ba-baik, eh.. siapa ya?.”

“Perkenalkan, Neng… nama saya Jay dan ini Brom.”

Melihat dua orang di depannya, Nada secara reflek mundur teratur. Perasaannya tidak enak.

Orang yang konon bernama Jay tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang jarang-jarang. Dengan tubuh yang tinggi dan kerempeng bisa dibilang ia mirip seperti sosok hantu slender-man dengan tangan dan kaki yang panjang. Sementara di sebelahnya, seorang pemuda bertubuh tinggi besar berdiri dengan santai sembari memasukkan kedua tangan ke saku celana. Pria tinggi besar ini berkulit gelap dan memiliki senyum menyeringai yang mengerikan. Keduanya mengenakan jaket putih dengan corak hijau.

“Si-siapa kalian?”

“Ah. Jangan takut. Kami sebenarnya hanya turis di kota wisata yang indah ini. Kami ingin bepergian kesana kemari, tapi sayang sering tidak tahu jalan. Mohon maklum kami ini sebenarnya pendatang.” Melihat kedua orang di depannya seperti punya niat buruk, Nada buru-buru hendak menghindar. Kemana dia harus lari? Kembali ke Lady?

“Kami butuh seorang guide. Jadi kami berniat mengajak Neng Nada jalan-jalan.”

Jay mengangkat tangan, lalu mengayunkan dua jarinya seakan memberi kode untuk entah siapa.

“Ti-tidak mau… aku…”

Begitu Jay mengayunkan jari, ternyata ada dua sosok lain mengendap-endap di belakang Nada. Mereka bergerak dengan cepat. Sapu tangan yang sudah dibubuhi obat membekap mulut sang dara.

Gawat!

Ini penculikan!

Hpmh! To-tooolo…”

Tidak.

Nada tidak bisa berbuat banyak. Hanya dalam hitungan detik tubuhnya melemas, pandangannya mulai kabur, suaranya hilang seakan tak mampu mengeluarkan sepatah kata, dan perlahan-lahan semuanya gelap.

Nada pingsan seketika.

Dua orang anggota RKZ yang ada di belakang sang dara bersiap menerima posisi jatuh Nada agar tidak terhempas ke trotoar. Satu mobil putih bergaris hijau mendekati mereka, ketika pintu mobil terbuka, Nada segera dibawa masuk ke dalam mobil. Jay dan Brom melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang lain yang melihat aksi mereka.

Setelah semua aman, Jay dan Brom masuk ke dalam mobil yang sama.

Mobil itu melaju entah kemana.

.::..::..::..::.

Sesuai perintah Gamal, sepuluh orang maju bersamaan, mengitari, menjebak, dan memerangkap. Satu persatu dari mereka saling berpandangan, mempertanyakan siapa sosok ber-hoodie dan bertopi yang baru datang, tapi secara sepakat mereka setuju – orang ini perlu diberi pelajaran karena sudah ikut campur urusan RKZ. Tidak peduli dia siapa dan dari kelompok mana!

Orang pertama maju ke depan, mencoba menjajal si hoodie dengan satu tendangan putar ke belakang untuk mengincar kepala. Kena? Tidak semudah itu, ferguso. Dengan langkah kaki ringan si hoodie beringsut ke samping, sambil sedikit merunduk, ia menggunakan tangan kiri untuk mengait kaki penyerangnya, dan mendorong untuk menghempaskannya ke bawah dengan kencang.

Bkkkgh!

Punggung sang anggota RKZ langsung terasa remuk ketika badannya dihentakkan ke tanah. Ia pun segera mencoba bangkit. Tapi sebelum ia sempat melakukan sesuatu, si hoodie berjalan dengan santai melaluinya, dan menginjak kepalanya dengan sangat kencang.

Bleddaaaakkkgh!

Kepala sang pemuda dihentakkan ke tanah begitu keras hingga bunyinya terdengar oleh semua orang. Mata anggota RKZ itu langsung berkunang-kunang dan rahangnya bagai hendak lepas, pusing sekali ia sekarang tak bisa membedakan khayalan dan kenyataan. Lama-lama ia hanya melihat gelap dan kehilangan kesadaran. Ia pun pingsan.

Melihat kawannya ditaklukkan, anggota RKZ lain segera meradang. Mereka menyerang ke arah sang pria ber-hoodie dengan wajah garang. Meski bahaya mulai datang, sang incaran tetap saja berdiri dengan tenang.

Orang kedua, ketiga, dan keempat datang menyerang bersamaan. Mereka berlari mendekat ke arah si hoodie. Tapi dengan cekatan kaki sang hoodie bergerak dengan cepat. Orang kedua disambar dengan sepatu dijejakkan ke wajah hingga terpental mundur.

Jbookgh!

Orang ketiga disambar dengan sodokan siku di perut dan saat orang itu mengaduh dan merunduk, si hoodie menggunakan lututnya untuk menghajar rahang lawan dari bawah!

Jboookgh! Krrrkgh!

Rahang itu langsung berubah posisi!

Sang penyerang ketiga terhentak ke belakang dan berguling dengan kesakitan sembari memegangi rahang.

Beralih ke lawan berikutnya. Pukulan orang keempat yang datang tak sempat dihindari si hoodie. Tapi ia masih bisa menangkisnya dengan punggung tangan.

Bkkgh!

Selamat dari pukulan lawan, si hoodie memutar badan dengan cekatan. Ia memegang tangan kiri orang keempat itu dengan erat, lalu memutar lengan sehingga lawan terpaksa menjorok ke depan dengan tangan terkunci. Tentu saja orang itu berteriak kesakitan karena lengannya dipelintir!

“Aaaaaaaaaarghhh!”

Tapi si hoodie tidak melepaskannya. Dengan tangan kanan mengunci lawan, tangan kirinya bergerak dengan cepat, membentuk kepalan, ditarik ke belakang sedikit, dan diledakkan berulang-ulang dengan kecepatan tinggi ke arah wajah si orang keempat.

Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh!

Sepuluh rentetan pukulan menghentak-hentak wajah si orang keempat tanpa bisa dilawan, tanpa bisa berteriak, tanpa bisa berbuat apapun. Wajahnya hancur tak berbentuk, darah mulai mengucur. Ketika sudah lemas, si hoodie menghentak tubuh lawan ke bawah, lalu memutar tangan si orang keempat ke arah berlawanan.

Kraaak!

Bunyi yang tidak menyenangkan itu memastikan tulang tangan si orang keempat saat ini mengarah ke posisi yang tidak seharusnya. Dia berteriak kesakitan dengan teramat kencang.

Si hoodie lanjut menerjang dua lawan berikutnya. Si orang kelima dan keenam. Orang kelima mencoba menendang ke depan, tapi si hoodie berkelit dengan cepat ke samping. Gerakan itu begitu cepat dan mengagetkan sehingga sang lawan tak sempat bereaksi. Sekali lagi tangan si hoodie berlaku bagai kait, ia mengunci kaki si orang kelima yang tadi hendak menendang!

Bahaya bagi sang anggota RKZ!

Orang keenam mencoba membantu dan menyerang membabi buta. Tapi si hoodie sekali lagi lebih cepat dan lebih tangguh. Ia melepaskan tendangan kaki kanan yang teramat kencang ke arah bahu, dada, dan wajah untuk menghempaskan orang keenam sampai terlontar ke belakang hingga dua meter.

Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh!

Begitu orang keenam terkapar, si hoodie kembali fokus ke orang kelima yang mencoba memukul karena kakinya masih dikunci dengan kuatnya! Si hoodie kali ini mengelak ke kanan, mengangkat kaki, dan dengan teramat kencang menendang wajah sang lawan!

Jbkkkkghh!

Orang kelima terhentak ke belakang, tapi tak terlempar karena kaki kanannya masih terkunci! Si hoodie menarik kaki sang lawan hingga membentang lebar, ia menurunkan kaki orang kelima yang masih terkunci, dan memutarnya ke arah kiri sembari menendang dengan teramat kencang ke arah paha!

Kraaaaaak!

Lagi-lagi bunyi yang tidak menyenangkan terdengar. Orang kelima bisa dipastikan kakinya patah karena posisi kakinya tak lagi normal. Ia berteriak sangat kencang karena kesakitan, matanya berair mencoba menahan rasa yang tak bisa ditahan.

Orang ketujuh melompat tinggi dengan tendangan berputar menyerang si hoodie, tapi ia bisa dengan mudah menghindar. Sang hoodie luruh ke bawah dan melecutkan kakinya dengan kencang, menghentakkan tumit ke arah selangkangan sang orang ketujuh dengan kecepatan tinggi!

Jbkkkkghh!

“Haaaaaaaaaaaaaaarghhh!”

Tidak ada orang yang ingin menjadi orang ketujuh itu saat ini, ia jatuh berguling kesakitan dan memukul-mukul tanah! Sakitnya bukan kepalang!

Orang kedelapan maju ke depan dan menyerang membabi-buta dengan pukulan tangan kiri dan kanan berkesinambungan, tanpa henti bak senapan mesin gattling gun. Desakannya membuat si hoodie mundur beberapa langkah ke belakang sembari menggerakkan tangan untuk menangkis. Tapi entah bagaimana, saat orang kedelapan tiba-tiba saja lengah, dengan cekatan pria itu langsung berada di belakang si orang kedelapan!

Kecepatannya gila! Bagai angin!

Kepala si orang kedelapan diputar ke arah belakang, otomatis badannya ikut bergerak, saat itulah siku dalam lengan tangan si hoodie bergerak untuk menohok tenggorokan lawan! Dengan satu gerakan cepat ia membanting tubuh sang lawan ke tanah menggunakan sisi dalam siku!

Jbooookkgh! Brkgh!

Si orang kedelapan terhempas ke tanah dengan kerasnya!

Si hoodie sepertinya tidak ingin berhenti. Dia melepaskan pukulan berulang seperti yang tadi dilepaskan oleh si orang kedelapan dengan rentetan pukulan tangan kanan. Tapi kali ini semua pukulan itu masuk!

Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh!

Sepuluh pukulan menghentak ulu hati, dada, dan wajah si orang kedelapan. Berulang, ulang, ulang, dan ulang. Tanpa sempat berteriak, minta tolong, ataupun menjerit kesakitan semua pukulan berhasil dilesakkan. Kepala orang kedelapan terhentak-hentak ke tanah.

Kepalan tangan si hoodie tak kunjung berhenti, wajah si orang kedelapan dirombak dengan darah muncrat dari bibirnya yang pecah dan hidung yang tiba-tiba bengkok. Dia bahkan tak sempat menarik napas ketika kesadarannya menghilang dan ia tenggelam dalam pingsan.

Orang kedua dan keenam yang tadi masih selamat kembali menyerang bersamaan. Si hoodie mundur teratur, melakukan kuda-kuda singkat dan seakan membaca rapalan. Ia lantas menurunkan wajah dan bagian atas badan, lalu menyorongkan tangan kiri dan kanan ke depan secara bersamaan dengan satu hentakan kencang.

Itu sentakan Ki!

Orang kedua dan keenam yang masih berjarak satu setengah meter dari si hoodie langsung tersentak belakang. Mereka terguling, terhempas, dan terbanting berulang di tanah. Dada mereka berasa seperti baru saja disodok excavator! Keduanya kesulitan untuk bangkit kembali dengan dada yang sangat sesak!

Gelombang serangan belum berakhir. Tendangan orang kesembilan datang dari belakang!

Lagi-lagii si hoodie beringsut dengan mudah seakan dia sudah tahu ada serangan dari belakang. Dengan menggunakan tangan yang teramat kuat, ia mengunci kaki sang lawan yang baru saja menendang namun gagal menemukan sasaran! Si hoodie memutar kaki itu dan mendorong badan orang kesembilan hingga terhempas telungkup ke atas tanah!

Tangan kanannya diangkat ke atas tinggi dan diledakkan dua kali ke punggung si orang kesembilan!

Jboooookgh! Jboooooooookgh!

“Haaaaaaaaaaaarghhhh!” punggungnya terasa remuk, si orang kesembilan berteriak kesakitan.

Tapi si hoodie belum berhenti. Dia melompat dan lutut kaki kanannya dihempaskan ke punggung yang sama!

Jboooooooookgh! Krrkgh!

Si orang kesembilan melotot, mulutnya terbuka lebar, seakan-akan hendak berteriak tapi tak ada satupun suara yang keluar karena sakitnya tak terperi. Ada beberapa tulang yang sudah pasti patah.

Si hoodie berdiri untuk menghadapi orang kesepuluh yang ragu-ragu untuk menyerangnya setelah melihat kesembilan temannya kini bernasib mengerikan, tapi perintah adalah perintah. Dia pun maju ke depan untuk menyerang.

Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh!

Sang orang kesepuluh tidak sempat berbuat apa-apa. Kaki kiri si hoodie sudah melesat dan menendang bergantian dari dua arah untuk merombak wajahnya. Dari kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, dan kanan!

Dia dihancurkan hanya dengan satu kaki.

Sang orang kesepuluh sempat berdiri sempoyongan untuk beberapa detik setelah badai serangan kaki usai dilepaskan. Sesaat kemudian dia jatuh berdebam dan hilang kesadaran.

Si hoodie berdiri dengan tenang, menanti lawan.

Tapi tak ada yang maju lagi untuk menyerangnya.

Suasana hening sesaat.

Rao, Simon, Don Bravo, Beni Gundul, Deka, Hageng, dan Bian terpana. Apa yang baru saja terjadi? Siapa yang datang dan menekuk RKZ dengan mudahnya ini?

Orang misterius itu berdiri tak bergerak di tengah lawan-lawan yang sudah terkapar. Ia mengangkat tangan dan memperhatikan jemari tangannya yang belepotan darah. Ia pun mengelapnya secara asal di celana. Di sekelilingnya, semua anggota RKZ yang tadi sempat petentengan sudah ambruk, sepuluh orang terkapar tak berdaya dengan tulang patah atau malah langsung pingsan. Kesepuluhnya ditundukkan dengan cepat.

Roni dan Albino masih berguling memegang kepala, Gamal dan Agun menarik Galung untuk memastikan keselamatannya.

Beberapa anggota lawan yang lain mundur teratur melihat kemampuan si hoodie yang misterius. Mereka bersiap-siap seandainya orang ini akan melabrak mereka juga. Tapi pria yang baru saja menekuk anggota RKZ dengan mudah itu hanya berdiri terdiam dengan dingin – dia tak mempedulikan orang-orang yang baru saja dihajarnya ataupun rombongan sisa yang ketakutan melihatnya. Mereka mulai menyingkir dengan membuat lingkaran besar menghindarinya.

Orang-orang RKZ mencoba menarik kesepuluh kawan-kawan mereka yang baru saja dihajar. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan sama sekali untuk RKZ. Mereka harus segera menyingkir dari sini dan kembali di lain hari.

Tapi siapa orang ini sebenarnya?

Sang misterius mengangkat kepala dan membuka hoodie warna abu-abu tua yang ia kenakan – meski sudah mulai terlihat, tapi topi yang ia kenakan masih menyembunyikan wajahnya dalam gelap. Saat ia melepas topi dan membalik posisinya ke belakang barulah Aliansi ditunjukkan pada satu wajah yang keras, geram, dan tanpa senyum. Wajahnya sangat serius, matanya tajam menatap ke depan. Tidak ada wajah bandel, cengengesan, atau bercanda. Matanya memerah seperti baru saja menangis, entah karena kesedihan teramat sangat, atau karena kemarahan yang luar biasa. Kepalannya tergenggam kencang dan masih terus meremas jemari seperti gemas dan geram akan sesuatu.

Setelah membuka hoodie dan membalik topinya, orang misterius itu menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menangkup tangan kanan dengan tangan kiri dan menggemeretakkan jari. Ia mengulanginya lagi dengan tangan kiri menangkup tanan kanan. Itulah kebiasaan si hoodie saat hendak bertempur dengan serius.

Hageng, Bian, dan Deka terbelalak menatap sang penyelamat. Hanya satu orang yang mereka kenal yang punya kebiasaan seperti itu, hanya satu orang. Saat orang itu akhirnya hadir di hadapan mereka, dunia seakan berhenti berputar dan waktu berhenti berdetak.

Si Bengal menatap sahabatnya satu demi satu dan berbicara dengan nada yang tegas menahan amarah. “Ada yang bisa menjelaskan padaku apa yang terjadi pada Roy?”

Bersambung

Burung Jalak
gadis binal cerita
Demi Memuaskan Nafsu Binal Sahabatku
mama muda hot
Memuaskan nafsu Siska yang gak pernah puas dengan suaminya sendiri
Foto Telanjang Gadis Bilyard Diatas Meja
Terpaksa Menikahi Gadis Berjilbab Yang Masih SMA
ayam kampus sexy
Nikmatnya kuluman ayam kampus yang sexy di dalam mobil
janda muda
Cerita dewasa ngentot janda muda yang kaya raya
Aku Diperkosa Oleh Guruku Sendiri
Cerita sexs di entot keponakan ku yang sexy dan genit
Foto cewek cantik telanjang masih perawan suka berkaca mata
Tante Sange Sodok Memek Pake Guling
mbak kost
Perjalanan kisah sex ku dari pacar sampai tetangga kost
Foto Bugil Jilbab Calon Ustazah Korek Memek
500 foto chika bandung memek tembem dan toket gede enak di entot
mami Mertua sexy
Mami Mertua Tergila-gila Dengan Kontol Ku
ngentot dengan pakdhe
Cerita ngentot saat berteduh dengan pak dhe