Part #12 : MELOMPAT LEBIH TINGGI
Inspirasi yang kamu cari, sebenarnya sudah ada dalam dirimu.
Cobalah diam dan dengarkan.
– Rumi
“Jadi… di sini dulu kamu pernah menghabiskan hari-hari kamu ya, Mas?”
Nanto menengok ke samping, ia tersenyum dan mengangguk. Pemuda itu lantas membenahi beberapa helai rambut yang jatuh di depan wajah sang kekasih. Mengaitkan helai lembut rambut lurus Kinan di antara sela telinga. Menjadikan wajah cantiknya lebih terlihat jelas, dari samping ataupun dari depan, cantiknya si Kinan memang ga ada obat.
Si bengal kemudian mengubah posisinya, ia berdiri dan memeluk Kinan dari belakang, erat mengaitkan lengannya kencang di lingkar badan mungil wanita yang ia sayangi. Sementara sang gadis merebahkan diri dalam pelukan eratnya yang hangat.
Mereka berdua menatap hutan di kejauhan dari jendela lantai dua rumah yang disewa oleh Om Janu, sepanjang mereka memandang, hanya ada gelap di kejauhan, hanya ada bayang goyang di antara rindang pepohonan. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam dan dingin hembus angin menembus celah di antara sela-sela ventilasi udara.
Tubuh Kinan yang hanya berbalut selimut putih bergetar pelan. Si Bengal mengelus lembut pundak sang kekasih.
“Dingin?”
“He’em.”
“Kita berada di lereng gunung, jadi wajar saja kalau malam begini dinginnya menusuk. Tapi gilanya, dulu bisa-bisanya dulu Kakek ngajak aku keluar di jam-jam segini hanya untuk berjalan-jalan di hutan. Bayangin aja, dingin, gelap, ngantuk, horor pula – bukannya dibiarin molor malah nyari uka-uka. Kakek macam apa itu tega sama cucunya.”
“Hihihi. Kan demi kebaikan Mas sendiri – toh terbukti hasil latihannya bisa dinikmati sekarang. Aku yakin Kakek dulu punya tujuan tertentu untuk mengajak Mas melakukan hal-hal yang kalau dipikirkan sekarang mungkin kelihatan menyebalkan, tapi ternyata kini terasa manfaatnya.”
“Iya sih, mungkin memang begitu maksudnya.”
“Iya dong.”
“Mudah-mudahan aja nggak bikin bengek, kan bisa aja malah jadi paru-paru basah tiap malam ngelayap. Sekali dua kali sih oke, lha ini tiap malam.” Nanto menangkupkan selimut yang awalnya melindungi badannya ke bagian belakang Kinan. Lilitan selimut putih yang dikenakan Kinan hanya mampu melindungi bagian dada hingga ke atas lutut, sementara pundaknya terekspos dinginnya malam. Si Bengal mengecup pelan pundak gadis itu sebelum menangkupkan selimut di pundak Kinan, membiarkan dirinya sendiri tanpa mengenakan sehelai benang pun, demi hangatnya sang kekasih.
“Tadi kita kan sudah jalan-jalan ke gua sama Hanna, gimana pendapatmu tentang guanya?” tanya Nanto.
“Hmm, ya gitu deh. Dingin, sepi, keras. Bukan lokasi yang bersahabat.” Kinan meringkuk, “jadi kasihan bayangin Mas Nanto di sana sendirian. Aku bakal datang sih tapi cuma boleh sebentar-sebentar saja menengok kata om Janu.”
“Aku bakal kangen banget sama kamu beberapa hari ini.” Bisik Nanto sambil memperkencang pelukannya yang sudah kencang. “Aku bakal berada di tempat itu seorang diri.”
“Hihihi. Aku juga bakal kangen berat, Mas. Tapi aku kan tidur sekamar sama Hanna, jadi masih ada yang diajak ngobrol. Kalau kamu… yah, mudah-mudahan bisa cepet akrab sama temen seapartemen nanti – misalnya bang jangkrik atau mas kodok. Mereka biasanya agak ceriwis, jadi kamu nanti pasti tidak akan kesepian.”
Nanto tertawa pelan.
“Mas…,” Kinan membalik badannya untuk menghadap ke arah Nanto. “Kira-kira yang lain curiga ga kalau Mas tidak ada di kamar sendiri? Kan ga enak kalau mereka tahu Mas masuk ke kamarku.”
Nanto tidak menjawab, dia hanya terdiam dan tersenyum. Kepalanya menunduk ke bawah, bibirnya mengelus lembut bibir sang bidadari. Bibir Kinan terlalu indah untuk dibiarkan terdiam menganggur begitu saja. Tubuh mungilnya, harum wangi tubuhnya, hangat peluknya, bibir yang mengundang, apa lagi ditunggu? Mereka baru saja melakukannya tapi bukan berarti itu sudah cukup menuntaskan rindu.
“Mmmh… Mas… mmh…”
Kinan memejamkan mata, tak kuasa menolak pesona sang kekasih penguasa kastil hatinya. Tubuh sang pemuda memeluk Kinan dengan erat, rasanya tak ingin lepas dari pagutan, tak ingin memisahkan diri dari dia yang tersayang. Tangan si Bengal mulai beraksi, mengelus jengkal lekuk pinggul sang bidadari. Mengikuti garis lekuk yang luar biasa berlenggok.
“Mas… kan barusan udah…”
“Aku kan bakal bertapa beberapa hari… setidaknya ini sebagai bekal supaya tidak terlalu rindu sama kamu, sayang.”
“Hidih… bisa aja. Emang mau berapa kali sih?”
Meski mencibir, tapi tak urung Kinan menurut saat si Bengal menuntunnya ke tempat tidur, mereka duduk di tepian ranjang. Nanto tersenyum, ia mendekatkan wajahnya kembali pada sang bidadari. Sekali lagi mereka berpagutan, kali ini ia lebih menuntut dari sebelumnya. Ciumannya lebih keras, bibirnya lebih haus.
Kinan sangat menikmati ciuman yang dilakukan oleh si Bengal, meski menuntut, ia tetap memperlakukannya dengan lembut dan berhati-hati, membuatnya terbang ke langit ke tujuh, bagai seorang putri. Lihai banget sih si kaleng sarden satu ini? Sudah sering belajar ya? Pasti tidak hanya Kinan yang pernah terbuai diperlakukan istimewa seperti ini, si Bengal sungguh mahir membuat seorang wanita merasa nyaman dengan ciumannya.
Meski tadi mereka sudah bercinta, tapi kini Nanto meminta penambahan jam tayang – perpanjangan waktu dalam gerak slow motion. Ia tidak ingin tergesa-gesa, ia ingin bergerak bagai tim Panzer Jerman di turnamen bola, awalnya lambat lama-lama semua diembat kalau pas lagi hebat. Selimut putih di tubuh sang bidadari dilucuti perlahan hingga menampilkan tubuh indahnya tanpa perlindungan.
Nanto berdecak kagum. Ia selalu kagum dengan mulusnya tubuh sang kekasih.
Wajah Kinan memerah karena walau sudah beberapa kali mereka melakukan ini, tetap saja dia merasa rikuh dan tak nyaman bertelanjang di hadapan seorang pria. Dia melakukan ini tentu saja hanya demi si Bengal – bukan dan belum pernah untuk laki-laki lain.
Nanto lembut mengecup ujung dahi sang kekasih, hidungnya, bibirnya, pipinya, turun ke dada kanan, lalu yang kiri, mengecup pelan ujung mungil yang sudah menjorok keluar, lalu turun ke perut rata ramping yang terlalu menggairahkan untuk gadis seperti Kinan. Si Bengal mengangkat kepalanya untuk kembali mencium bibir sang kekasih.
“Aku sayang kamu, Mas…” lirih suara Kinan tercekat sembari terpejam.
“Aku sayang kamu juga,” bisik Nanto di sela-sela ciumannya yang menghujan.
Tangan kiri si Bengal merangkul Kinan, sementara tangan kanannya bergerak ke bawah, untuk menjelajah ke area yang tak pernah disentuh kekasih Kinan sebelum dirinya. Paha Kinan membuka, memberikan akses istimewa untuk jemari nakal si Bengal.
Jari tengah si Bengal mulai beraksi, masuk dan menerjang ke dalam bak seorang perwira yang sendirian maju ke medan perang untuk menghadapi lawan.
“Esst… pelan… Mas… pelan saja…”
“Sakit?”
Kinan menggeleng, wajar kalau tidak sakit karena liang cintanya masih basah oleh persetubuhan mereka sebelumnya. Tapi tetap saja geli-geli sedap terasa saat jemari nakal Nanto menyentuh dan memainkan semua sisi dinding, bibir, dan tonjolan mungil di sekitar liang cintanya.
Nanto mengubah kecepatan permainan jemarinya di bawah, sementara bibirnya terus mencium bibir Kinan yang tak akan pernah membuatnya bosan. Sang kekasih mulai menggelinjang dalam pelukan, atas bawah diserang, mana bisa tahan?
“Enak?” tanya si Bengal.
“He’em…” Kinan melenguh pelan.
Nanto tidak bergerak dengan kecepatan tinggi, tidak dengan kekasaran, tapi dengan permainan lembut yang membuat Kinan terlena perlahan. Sang bidadari jelita meringkuk dalam pelukan si Bengal, menikmati ciumannya, menikmati elusan lembut jari di jentik kelentitnya. Ia merintih pelan, keenakan, menjelajah nikmat di setiap helaan napas yang berbaur di ruang batas kesadaran.
Nanto memainkan jemarinya dengan memperhatikan gerak-gerik sang dewi, dia bisa tahu sisi mana yang membuatnya melenguh lirih, bagian mana yang membuatnya mengernyit menahan nyeri. Dia tidak ingin gadis yang ia sayangi itu kesakitan, dia ingin mereka berdua ditimang oleh kenikmatan. Ia ingin mereka mendaki rasa itu bersama, sama-sama dibuai oleh getaran rasa yang merangsang untuk kian memuncak. Ia menggunakan perasaan untuk memacu gairah Kinan, saat Kinan bergairah, saat itu pulalah ia makin bernafsu tak terarah. Mendaki bersama. Itu yang terpenting.
Dari bibir, Nanto pindah ke puting susu sang bidadari – rangsangan hebat pun dimulai, atas diserang bawah diterjang. Kinan memejamkan mata, menikmati dan merasakan sentuhan bibir dan tangan di bagian tubuhnya yang paling sensitif. Ia menggelinjang hebat, menjambak rambut si Bengal dan memeluknya erat tak ingin lepas. Gerakan liar si cantik itu pun menghebat, berulangkali ia melenguh, napasnya menjadi berat.
“Mas…”
“Hmm?”
“Aku tidak tahan lagi…”
“Mau sekarang?”
“He’em…”
Nanto pun rebah di pembaringan, ia menarik tangan Kinan. Sang dewi jelita tahu apa yang diinginkan oleh si Bengal – dia ingin agar posisi mereka berubah kali ini – tidak seperti yang sebelumnya tadi. Dia ingin Kinan yang berada di atas. Ini bukan kali pertama mereka melakukannya dengan posisi itu dan sepertinya bukan kali terakhir. Padahal Kinan jelas paling malu kalau bermain cinta menggunakan posisi seperti ini, tapi tak urung ia melakukan apa yang diinginkan oleh si Bengal.
Kinan duduk di atas si Bengal, dengan liang cintanya menangkup perlahan batang kejantanan pria yang ia cintai. Mereka melenguh bersamaan, lalu saling menatap, dan tersenyum. Jemari Kinan menahan beban tubuh di dada bidang sang kekasih.
Si Bengal tersenyum menatap surga dunia di depan mata, keelokan tubuh indah sang bidadari bergerak naik turun dengan goyangan pelan namun aduhai membuatnya terpukau tanpa banyak kata. Kadang ia naik, kadang turun, kadang maju, kadang mundur, kadang ke samping, digoyang sebentar, lalu memutar bak memilin. Ini enak sekali dan tak ingin ia akhiri cepat-cepat.
Selain gerakan erotis sang dewi, Nanto juga terpukau oleh indahnya tubuh sang kekasih. Kinan tidaklah teramat seksi – seperti katakanlah Asty – kekasihnya itu tidak memiliki bongkahan dada mewah yang membuatnya gelagapan, tidak memiliki tubuh dengan lekuk tubuh ibarat sirkuit Monaco yang bikin jakun naik turun. Tapi Kinan tetap memiliki tubuh indah yang proporsional, yang membuatnya mengecap rasa bangga sekaligus membangkitkan nafsu yang menggelegak saat menyaksikan sang pemilik tubuh indah itu menggoyang batang kejantanannya dengan gerakan sensual.
Belum lagi saat sepasang gunung kenyal dengan ukuran yang pas – tidak terlalu besar dan tidak teramat kecil itu bergerak naik turun dengan erotisnya. Desah dan rintihan berpadu, memadu, dan teradu. Menambah semarak kamar kecil yang berada di lantai atas rumah sewaan, memadu kasih di sebuah kamar yang temaram.
Keindahan tubuh Kinan memang membuat Nanto terpesona, jiwanya tenggelam dalam lautan birahi yang seakan ingin dipuaskan namun tak ingin segera mencapai puncak khayalan. Dia masih ingin menikmati ini semua – lama dan lama, terus dan terus.
Gerakan Kinan makin liar, goyangannya makin menggelora, seiring padu padan nafsu yang kian menggelegak mengisi tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kuku. Nanto tersenyum karena tahu gadis itu berusaha mengimbangi gerakannya yang juga sudah ia pacu. Si Bengal memang tidak diam saja, dia juga sedari tadi mengangkat dan menurunkan pinggul, melesakkan dalam-dalam batang kejantanannya di dalam liang cinta sang dewi, dan masih terus melaju.
Kinan kian tak tahan, matanya terus terpejam, kian lama keningnya makin mengerut, cengkramannya makin dalam, ia berusaha menahan desahan, agar tak terlalu menyalak hingga berubah menjadi jeritan. Rintih yang tertahan, menjadi nikmat lain yang terdengar hingga memicu percepatan.
Sampai akhirnya tiba juga di ujung rasa.
Kinan tersentak dan menggeliat, mengeluarkan erangan yang sebisa mungkin ditahan, sebelum akhirnya ada yang mengalir deras dalam liang kewanitaannya. Cengkramannya di pundak si Bengal makin lama makin menggerus, makin tajam, makin kencang, lebih kencang, semakin kencang, teramat kencang, dan akhirnya usai.
Satu sentakan mengakhiri upayanya mendaki, dengan memejamkan mata, ia menggapai puncak yang dicari. Kinan tersengal-sengal. Napasnya satu dua. Ia terengah-engah.
Si Bengal kembali tersenyum, ia mengangkat badannya, dan memeluk erat sang bidadari yang sesaat kemudian luruh dalam pelukannya.
“Bagaimana rasanya?”
Napas Kinan masih terdengar, tidak ada jawaban. Gadis itu hanya merubah posisi kepalanya agar lebih nyaman di pundak sang kekasih. Kinan tak menjawab, tapi tangannya mulai bergerak memeluk si Bengal. Pemuda itu tahu apa yang harus ia lakukan.
Nanto merebahkan tubuh sang kekasih ke belakang, sementara menjaga posisi masing-masing agar kemaluannya tak terlepas dari liang cinta sang jelita. Tubuh Kinan rebah perlahan, dengan lembut mendarat di pembaringan. Matanya menatap si Bengal dengan pandangan yang susah dijelaskan, tapi penuh dengan tuntutan untuk segera menuntaskan.
Posisi missionary yang cukup lazim membuat keduanya bisa saling bertatapan saat batang kejantanan Nanto meraja di liang cinta sang kekasih, kaki Kinan merenggang, membuka akses yang lebih lebar. Kedua matanya bicara, menatap Nanto yang juga memandangnya balik.
Dentuman meraja si bengal di liang bilik ratu milik Kinan makin kencang seiring meningkatnya gunung yang harus didaki. Perlahan tapi pasti, pasti meskipun pelan. Tarik perlahan, desak, tarik, desak lebih dalam, tarik lagi, desak semakin dalam.
“Hsst… hsst… mmh… mmmh… mmhhhh…”
Erangan dan lenguhan bercambur, Kinan sudah tak dapat lagi mengendalikan diri meski baru saja mencapai titik puncaknya. Tapi kini Nanto membuatnya kembali mendaki.
“Enak?” desis Nanto.
“He’em.” Kinan menjawab dengan mata terpejam, “Hsst… hsst… mmh… mmmh… mmhhhh… cepetan, Mas… cepetan…”
Tarik perlahan, desak, tarik, desak lebih dalam, tarik lagi, desak semakin dalam.
“Hsst… hsst… mmh… mmmh… mmhhhh… ooooohmm… ahhh… ahhh… ahhh. Mas… Masssss…”
Tak butuh waktu lama.
Kinan menjadi yang pertama di ujung akhir permainan mereka, ia kembali memuncak dengan cepat – tubuhnya menggelinjang hebat, matanya terpejam, bibirnya bergetar. Asyik sekali dipandang – kecantikannya yang khas yang hanya muncul saat mencapai puncak kenikmatan membuat Nanto makin sayang. Demikian juga Kinan, ia memeluk Nanto erat-erat, tak ingin lepas dan tak ingin disela, membiarkan dirinya sendiri meraih puncak asmara dengan mendaki apa yang sudah tak bisa ditahan.
Tak lama kemudian si Bengal menyusul – hempasan dan pijatan di dalam liang kewanitaan Kinan terus meremas batang kejantanannya. Itu membuatnya tak tahan juga mendaki puncak kenikmatan. Nanto menarik perlahan kemaluannya dari dalam gua asmara, terhenti sejenak di ujung bibir, menimbulkan bunyi lepasan yang menggairahkan dan menyentakkan kenikmatan ke tubuh keduanya.
Begitu lepas, Nanto mencurahkan semuanya di perut sang dewi.
Lalu ambruk di samping Kinan sambil mengatur napasnya kembali.
Lalu keduanya terdiam tanpa banyak kata.
Lalu saling pandang dan tersenyum.
Lalu berciuman sesaat.
Lalu terdiam lagi.
Terengah-engah usai mereguk kenikmatan dua kali tanpa jeda lama secara berturut membuat Kinan harus mengambil istirahat agak panjang, ia tidak tergesa-gesa seandainya tiba-tiba saja Nanto meminta jatah lebih – seperti yang pernah terjadi pada suatu ketika, entah berapa kali mereka bermain kala itu.
Kinan memandang kekasihnya dan mengelus pipi si Bengal. Betapa ia sangat memuja sang pemuda. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin perbincangkan dengan si Bengal – sesuatu yang sedikit serius. Tapi apakah ini waktu yang tepat? Di saat sang kekasih hendak melakukan tapa brata yang tidak boleh dicolek oleh gangguan sekecil apapun?
Kinan mencoba memberanikan diri, “Mas…”
“Hmm?”
“Akhir-akhir ini aku merasa aneh. Aku khawatir kalau aku…”
“Aneh gimana? Memangnya kamu kenapa?” Nanto bergerak sedikit, mengambil tissue yang tak terlalu jauh jaraknya dari meja di samping ranjang. Ia mengambil beberapa helai, dan mulai membersihkan cairan asmara yang menggenang di perut ramping sang dewi.
Kinan terdiam saat sang kekasih membersihkan badannya.
Gadis itu hanya menatap jendela yang masih menampilkan gelapnya langit malam. Ia memandang kejauhan, seakan melihat arus angin yang membawanya ke masa depan, ada yang terbayang dalam kegelapan yang membayang.
Gadis berparas jelita itu meneguk ludah dan menggeleng, “Ah tidak. Aku tidak apa-apa, kok.”
Nanto menatap Kinan usai selesai membersihkan, tapi gadis itu sudah memindah posisi rebahnya hingga memunggungi si Bengal. Tadi bilang ada yang aneh, sekarang bilang tidak apa-apa. Kalaupun tidak kenapa-kenapa, lalu kenapa bersikap aneh? Aneh atau tidak apa-apa? Tidak apa-apanya terkesan aneh. Apa yang terjadi? Pasti ada sesuatu yang terjadi.
Tapi Nanto tidak ingin memaksa gadis itu bercerita seandainya dia tidak ingin, si Bengal menarik selimut di bawah kakinya dan sekali lagi melindungi tubuh sang dara dengan kehangatan, ia pun kembali mengecup pundak sang bidadari.
“Aku akan selalu melindungimu.”
Bidadarinya hanya mengangguk tanpa kata. Tak ada ucapan, hanya ada gerakan kepala. Si Bengal tersenyum dan memejamkan mata, tak menyadari kalau Kinan masih terus menatap ke arah jendela. Si cantik itu meletakkan tangannya sendiri di atas dada, mencoba merasakan detak jantungnya yang mulai normal setelah dipacu berlebihan. Kinan berbisik pada dirinya sendiri dalam hati sembari terpejam.
Dia tidak apa-apa.
Semua akan baik-baik saja.
Tidak akan ada yang berubah.
Sembari berkejaran dengan Sagu yang berlari-lari riang akhirnya Nanto sampai juga di suatu sudut di dekat mulut gua. Dari posisi ini, selain melihat mulut gua, ia bisa juga melihat sungai yang mengalir tak jauh dari posisinya sekarang berada. Air sungai nan jernih dan gemericik suaranya terasa sangat menenangkan jiwa.
Hari ini ia akan mulai pengembaraannya di dunia alam bawah sadar di dalam gua – mungkin bersama Sagu. Sembari meregangkan badan yang kedinginan karena dia datang teramat pagi, Nanto mulai menaik turunkan napas, mengatur arus hawa yang berputar di dalam dadanya. Menyelaraskan, membagi, menetralkan. Membiarkan tubuhnya menyatu dengan alam.
“Kamu lagi, Le?”
Ada yang menyapanya?
Om Janu kan tidak ikut tapa brata. Beliau hanya akan sesekali datang untuk memberikan kawruh dan wejangan, dan pagi ini sudah dipastikan dia hanya akan berdua saja dengan Sagu untuk memulai prosesnya. Jadi siapa yang menyapanya itu?
Hiy, jangan-jangan…
Nanto melongok ke samping untuk memastikan pemilik suara itu dan mendapati seorang lelaki tua berjenggot putih panjang yang kemarin berjumpa dengannya di pintu masuk gua.
Ini memang bukan kali pertamanya dalam minggu ini si Bengal datang ke gua yang dulu sering didatangi oleh Kakeknya. Saat kemarin datang ke tempat ini, ia bertemu dengan sang Eyang yang duduk di sebuah batu landai di dekat gua sembari santai – posisinya sama persis seperti kemarin.
Ia tak sendiri kala itu, karena Kinan dan Hanna juga bersama dengannya dan menyapa sang Eyang.
Nanto mengangguk dan tertawa. Ia pun mendekat pada sosok pria tua itu. “Eh, kita ketemu lagi, Eyang. Kemarin hanya berpapasan saja tanpa sempat berkenalan.”
“Hahaha. Iya ya? Mungkin jalan nasib kita berjodoh sehingga bertemu kembali. Hahaha. Siapa namamu, Le? Apa yang kamu lakukan di sini? Ngapain pagi-pagi sudah datang? Sekedar tamasya gua? Atau mau bikin vlog konten horor di dalam gua?” sang Eyang yang sedang duduk di atas bebatuan memainkan sebatang rumput di mulutnya. “Akhir-akhir ini banyak yang mampir untuk sekedar nge-vlog. Beda jaman beda minat ya. Kalau dulu yang mampir ke sini biasanya mau nyari wangsit buat nembus kode porkas.”
“Kode por… apaan itu Eyang?”
“Hahaha, istilah dari jaman mobil ban kayu kuwi. Sudah lupakan saja. Lha mana kru kamu kemarin? Tidak ikut datang ke sini untuk nge-vlog? Gadis-gadis cantik yang kemarin?”
“Walah, nggak kok, Eyang. Hahaha… saya tidak ke sini untuk nge-vlog atau nyari kode apapun,” Nanto menggaruk-garuk kepala dan menjawab satu demi satu pertanyaan pria tua berwajah ramah itu dengan tawa, “hanya sekedar mau belajar tapa brata saja. Mencari ketenangan diri ceritanya, sekalian berdoa biar cepat lulus kuliah. Hahaha. Kenalan dulu, Eyang. Nama saya Nanto.”
“Nanto… ya ya… Lah kok malah elok tenan, kok bagus sekali? Di jaman modern seperti ini masih ada seorang muda yang masih mencari kawruh dengan meniti tapa brata. Apa ini kamu lakukan karena dipaksa, karena terpaksa, kesamber kunti, atau bagaimana?”
“Tidak, Eyang. Ini benar-benar berasal dari niat saya untuk memperbaiki diri. Mencari ketenangan batin demi meningkatkan mutu dan kualitas supaya enak dan tahan lama. Eaaaa,” ucap Nanto sembari berkelakar tanpa tahu waktu, “Kalau Eyang apa yang dicari di sini? Ga mungkin cuma sekedar mau cari jangkrik.”
“Hahaha. Siapa bilang? Aku ke sini memang mau mencari jangkrik. Hahaha.” Sang Eyang tertawa renyah, “Hmm… apa ya? Sama sepertimu, mungkin. Aku juga ingin merasakan ketenangan, terlebih di masa tuaku ini apalagi yang mau dicari? Di masa-masa pensiun begini, tidak ada yang lebih menyenangkan dari sekedar melakukan hal-hal yang sederhana seperti kembali ke alam, merasakan kebesaran sang Pangeran, menyesap embun, menikmati curahan matahari di kala siang, menyaksikan tingkatan sawah, kebun, dan ladang, serta mendengarkan nyanyian jangkrik kala malam menjelang. Hal-hal sederhana tapi mahal harganya.”
Nanto mengangguk-angguk, kakeknya dulu juga pernah mengatakan hal yang sama, pengen pensiun dengan santuy. Sagu ikut menyalak kencang, buntutnya kipat-kipit dan lidahnya menjulur berulang, seakan-akan menyetujui ucapan sang Eyang. Dia melonjak ke atas – melompat di antara batuan yang membentuk tangga untuk menemui sang Eyang dan mendekati sosok itu dengan bahagia, buntutnya terkibas sementara badannya berputar-putar tanda kegirangan.
“Weh, tumben dia akrab sama orang baru.” Nanto terheran melihat Sagu begitu senang.
“Mungkin bukan orang baru, Le. Kami berdua sudah saling mengenal kok.” sang Eyang tersenyum. Ia mengelus-elus Sagu dengan akrab, “Aku dan pemiliknya dulu juga sering bercakap-cakap di sini. Saat itu beliau amat sering mengajak Sagu sehingga kami berdua sudah sangat akrab. Sayang sekali sudah hampir setahun lebih aku tidak melihatnya lagi.”
“Ooh? Dulu Eyang juga kenal sama mendiang Kakek ya?”
“Kakek? Pemilik Sagu itu Kakekmu?”
“Betul, Eyang.”
“Oh yaa… yaa… memang betul ternyata kita ini berjodoh.” sang Eyang tersenyum, ia menengok ke atas untuk melihat posisi matahari, lalu mengedipkan mata pada si Bengal sambil menunjuk ke arah gua. “Sudah waktunya.”
Sang Eyang lantas berdiri, meregangkan badan, dan menyusuri bebatuan untuk berjalan masuk ke gua, Nanto pun mengikuti. Kemarin Nanto sudah datang ke tempat ini untuk mencari posisi yang paling enak dan nyaman untuknya bermeditasi, ia menemukan posisi yang paling nyaman berada tak jauh juga dari mulut gua.
Maka hari ini pun, Ia segera memilih lokasi itu. Ketika sang Eyang lantas duduk di tempat yang tak jauh darinya, Nanto juga mulai duduk bersila. Ia membuka posisi teratai, memejamkan mata, dan mulai memusatkan pikiran.
Sembari bersiap, Nanto bertanya, “Eyang sering mengunjungi gua ini? Selalu bermeditasi di sini?”
Sang Eyang tertawa, “Hahahaha. Cukup sering, tapi tidak selalu. Aku jadi bersemangat untuk melakukannya lagi jutsru setelah melihat persiapanmu kemarin sewaktu ke sini. Sepertinya seru kalau bermeditasi di sini dengan teman sepenanggungan. Aku memang sudah beberapa kali datang kemari – apalagi ini kan gua yang sebenarnya bisa dimasuki oleh siapapun. Namun anehnya lokasinya seakan tersembunyi, jangankan bisa keluar masuk, melihat mulut gua saja sepertinya sangat jarang yang bisa. Mungkin hanya mereka-mereka yang beruntung yang bisa sampai di tempat ini.”
“Oh begitu. Pantas saja Eyang sepertinya sudah hapal betul lokasi ini. Rupanya sudah sering datang kemari ya.” Nanto manggut-manggut. “Memang gua ini terbuka, jadi siapa saja sebenarnya bisa masuk asal mengetahui celah masuk dan keluarnya. Bener juga kata Eyang tadi, meski terbuka tapi anehnya tidak semua orang bisa menemukannya, seperti ada yang selalu membuatnya tersembunyi. Kecuali buat yang tadi Eyang bilang nyari wangsit buat kode togel – kok ya nemu aja mereka.”
“Hahahaha. Betul sekali. Dulu aku juga tidak sengaja menemukan cara untuk masuk ke tempat ini.” Sang Eyang mengelus-elus jenggot panjangnya. Ia menatap Nanto dengan pandangan yang aneh, “yang ganjil itu justru kamu. Mau apa pemuda seperti kamu masuk ke gua ini? Bukannya pemuda seusia kamu justru lebih suka dengan hal-hal duniawi? Kenapa tapa brata?”
“Hahaha. Ga juga, Eyang. Tidak semua anak muda menghamba ke hal duniawi. Tapi bener sih, saya sebenarnya sudah lama tinggal di desa dan menetap di rumah Kakek saya. Dulu saya sering heran dan bertanya-tanya kenapa Kakek suka sekali datang menjelajah hutan dan secara khusus datang ke tempat ini, sekarang barulah saya paham. Ada sesuatu di sini yang memang spesial.”
“Begitu,” Sang Eyang tersenyum.
“Tapi sejak kakek saya meninggal, saya terpaksa pulang ke kota karena rumah kakek akhirnya dijual. Rumah itu tidak jauh dari sini, kok Eyang. Cuma menuruni lereng mengikuti sungai kira-kira beberapa kilo, terus tembus ke hutan pohon pinus, menyusuri pinggiran sungai sedikit lebih jauh lagi, dan kalau sudah di ujung kelokan jalan setapak sampai deh ke kampung saya.”
Sang Eyang menganggukkan kepala, “Aku dulu pernah tinggal di kampung itu, sekarang pindah sedikit ke atas. Tapi benar juga, kalau dilihat-lihat, kamu memang masih ada kemiripan dengan kakekmu.”
Nanto ikut menganggukkan kepala, “jadi Eyang beneran temennya Kakek juga ya.”
Sang Eyang tersenyum, “Kenal – bukan teman. Sebenarnya… apa tujuanmu masuk kemari?”
“Hmm?”
Eyang itu bersantai dan tidur telentang di atas batu landai, seakan-akan batu itu adalah sebuah kasur yang teramat empuk. Nanto bisa merasakan Ki sang Eyang menyala menghangatkan badan. Ia tetap melakukan pelancaran tenaga meski dengan posisi rebah. Tenaganya lembut, adem, dan menenangkan. Sepertinya tidak ada salahnya mempercayai sang Eyang ini, Ki yang dia tunjukkan bukan Ki yang dimiliki oleh sosok dengan nafsu durjana dan angkara murka.
Nanto pun mulai bercerita, “saya ingin menimba kawruh, Eyang.”
“Menimba kawruh? Kenapa menimba? Kamu kehausan?”
“Sepertinya begitu. Apa yang saya miliki sekarang tidak cukup untuk memenuhi rasa haus akan kemampuan yang seakan terganjal. Ada sesuatu yang terkunci dalam diri saya yang ingin saya buka.” Nanto duduk bersila, tangan kiri dibuka menghadap ke atas, tangan kanan dibuka menghadap ke bawah.
Ki milik si Bengal menyala, menghangatkan seluruh tubuhnya.
Sang Eyang tersenyum, seakan-akan bisa merasakan aura dan tingkatan Ki si Bengal.
“Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Lekase lawan kas. Tegese kas kuwi nyantosani, setya budya pangkese dur angkara. Untuk mendapatkan ilmu itu seseorang harus melalui tata lelaku – sesuatu yang wajib dijalankan. Tapi tidak hanya mengerjakan dan menjalankan sesuatu dengan kosong. Sesuatu yang wajib dilakukan itu harus disertai pula dengan kesungguhan, kekokohan budi pekerti, dan kekokohan karakter untuk mendapatkan kenyamanan, kemapanan, kemantapan, ketenangan, dan kesiapan, hingga mampu menyingkirkan sifat dur angkara.
“Hidup itu harus sabar, ulet, kuat, pantang menyerah, dan selalu berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan. Jangan hanya terdiam terpekur tanpa daya melihat ketidakadilan dan kesengsaraan. Hidup tidak hanya sekedar ajaran di mulut tapi juga pelaksanaan di dunia nyata, pahami, jalankan, dan terapkan.
“Ilmu hanya bisa didapatkan dengan cara melaksanakannya, dilakukan dalam perbuatan, perbuatan yang didasari oleh kemauan. Karena kemauan akan menguatkan perbuatan dan pola pikir. Lalu ditopang lagi oleh ketulusan budi dan usaha sebagai penakluk irama angkara di dalam batin dan jiwa kita.”
Si Bengal terdiam, mencoba mengejawantahkan apa yang disampaikan oleh sang Eyang ke dalam pikirannya – dibantu dengan apa yang sudah disampaikan pula oleh om Janu kemarin, dia mencoba memadukannya. Dua pemahaman saling bersinergi, mencoba menerangi apa yang ada dalam batin.
Bisakah dia membuka apa yang terkunci?
.::..::..::..::.
“Maaf menganggu, Den Janu.”
Pak Mangku menghampiri Om Janu yang tengah duduk bermeditasi di dalam kamar yang gelap dan hanya diterangi lilin, di hadapan sang tuan terdapat gambar raksasa berukuran penuh dengan tinggi sejajar seorang pria dewasa berupa lukisan seorang wanita yang sedang memainkan selendangnya. Pria berkumis baplang yang mengenakan blangkon dan batik lurik itu menjura sesaat, dia ingin memastikan kalau kehadirannya disadari oleh sang master.
Lilin penerang yang ada di sisi om Janu rupanya bukan lilin biasa, karena wangi yang berbeda kemudian tercium di seluruh ruangan, seperti ada wewangian khas yang ada di toko-toko batik terkemuka di kota. Lilin dengan teknologi aroma-therapy. Om Janu bukan sedang melakukan hubungan dengan kaum yang berbeda dunia secara paralel, melainkan sedang melakukan penghayatan diri melalui teknik meditasi.
“Nyalakan lampunya,” ujar om Janu masih dengan mata terpejam.
Pak Mangku bergegas menuju ke samping pintu dan mengubah posisi saklar. Cahaya meluas seketika menerangi ruangan yang sebelumnya gelap dan temaram. Ruangan menjadi lebih terlihat nyaman dan mengundang – karena sebelumnya cukup seram saat dipadamkan.
Pak Mangku mengulang lagi kalimatnya saat masuk ke ruangan, “Maaf menganggu, Den Janu.”
Om Janu mengangguk tanpa membuka mata, ia menyadari kehadiran sang sopir tanpa harus mengetahui di mana ia berada. “Ono opo, Pak Mangku? Apa ada kabar dari kota?”
“Leres, Den Janu. Benar ada kabar berita dari kota.”
“Berita tentang apa?” Om Janu masih pada posisinya, duduk dengan tenang, mata terpejam, tangan membentuk posisi meditasi yang menurutnya paling nyaman. Tumit kaki kiri di pangkal paha kaki kanan, posisi kaki kanan di depan kaki kiri, telapak tangan terbuka di atas lutut dengan jari manis dan jempol dipertemukan.
“Berita tentang Den Rey.”
Om Janu menghembuskan napas panjang, membuka mata, lalu sekali lagi menarik napas yang lebih panjang. Pria itu tak habis pikir. Lagi-lagi dan lagi-lagi. Lagi-lagi Reynaldi. Entah harus berapa kali dia mengingatkan, memperingatkan, membereskan, dan mengurus semua masalah yang ditimbulkan oleh adiknya. Bukannya membanggakan, isone malah mung nggawe wirang – bisanya cuma bikin malu keluarga.
“Piye, Pak Mangku?” om Janu duduk bersila, ia menatap tajam sang sopir yang kemudian jadi salah tingkah. “Masalah apa lagi yang dia timbulkan? Masalah wedokan meneh? Masalah cewek lagi?”
“Nuwun sewu, Den, berikut berita dari kota seperti disampaikan oleh Ki Kadar.”
Om Janu memang melarang penggunaan ponsel selama di desa – ini berlaku juga untuk Nanto, Kinan, dan Hanna. Satu-satunya yang boleh memegang ponsel adalah Pak Mangku seandainya ada hal-hal penting atau mendadak yang membutuhkan keputusan secepatnya darinya. Dia memang tidak ikut ke gua supaya Nanto bisa lebih fokus, dia hanya akan sesekali datang selama tiga hari ke depan.
Sang pengikut om Janu itu pun menyorongkan satu smartphone lawas yang barangkali sudah tidak mendapatkan lagi update Android versi terbaru. Fungsinya memang jadi terbatas, tapi setidaknya masih bisa buat SMS-an.
Om Janu membaca pesan dari Ki Kadar.
Wajah om Janu sontak berubah.
“Bocah gemblung!” maki om Janu tiba-tiba sembari melepaskan sebuah tenaga besar yang menghantam meja yang ada di belakang Pak Mangku. Satu gelas berisi batu pajangan terlempar karena kerasnya guncangan. Gelas itu jatuh hingga pecah berkeping-keping, sementara isinya berserakan tak tentu arah.
Pak Mangku tentu saja bukan kali pertama ini melihat sang pimpinan dalam kondisi marah besar. Dia cukup sering melihat om Janu melepaskan emosi terutama jika berkaitan dengan massalah sang adik yang bejatnya tidak ketulungan. Entah sudah berapa kali Pak Mangku melihat om Janu harus mengatasi masalah Reynaldi sembari berjibaku dengan pihak yang berwajib – beruntung mereka punya backing di sana.
“Apa yang harus saya ketik untuk membalas pesan tersebut, Den?”
“Haish, embuh lah! Kenapa sih dia ini selalu bikin pusing kepala?!” om Janu geleng-geleng, wajahnya memerah menahan marah – semua praktek zen dan meditasi yang sebelumnya ia latih menjadi berantakan karena ulah sang adik yang menggelitik emosinya, “Apa ya masih kurang apa yang sudah aku berikan selama ini? Semua yang sudah aku beri dan ajarkan pada dia? Kurang baik apalagi aku ini? Kurang sayang apalagi aku ini sebagai seorang kakak? Selama ini dia sudah kuanggap sebagai adik kandung sendiri tapi berulangkali dia membalasnya dengan menjatuhkan masalah di pangkuanku!”
Pak Mangku hanya mengangguk dan menunduk, tak berani berkata apalagi menyahut. Ini semua di luar kuasanya dan bukan masalah yang bisa ia berikan jawaban. Pada saat-saat seperti ini, sudah sepatutnya dia diam sampai nanti sang pimpinan menemukan jalan keluar yang dicari-cari.
Ternyata ia tidak perlu terlalu lama menunggu.
“Pastikan Ki Kadar dan anak buahnya bekerja sesuai prosedur yang sudah disepakati. Jangan sampai ada sisa-sisa kelakuan Rey yang bisa dijadikan alasan oleh keluarga korban untuk membawanya ke bui. Bersihkan TKP seperti biasa. Ki Kadar sudah tahu apa yang harus dikerjakan oleh timnya,” om Janu mendengus kesal, ia geram sekali – setelah urusan desa ini selesai, maka dia dan Rey harus bicara panjang lebar. Dia tidak ingin seluruh rencananya berantakan hanya gara-gara nafsu dan ego sang adik yang bejat. “…dan korbannya. Pastikan sudah benar-benar meninggal supaya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, bakar saja sampai habis mayatnya.”
“Sendhiko dhawuh.”
Pak Mangku menganggukkan kepala dan bersiap untuk berlalu, sembari mengetikkan kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh om Janu melalui SMS pada Ki Kadar.
“Tunggu dulu, Pak Mangku.”
“Nggih, Den?”
“Selama di desa dan setelah urusan si Rey ini selesai, ada baiknya kita sparring bersama. Aku ingin menjajal kemampuanku jika berhadapan langsung dengan punggawa yang mumpuni seperti dirimu,” Om Janu menatap mata sang supir. “Setidaknya aku butuh pelampiasan untuk melepaskan semua beban pikiran ini. Di QZK, kemampuan kanuraganmu setara dengan Syam dan Ki Kadar jadi…”
“Ampun, Den. Saya punya banyak kekurangan, mohon maaf jangan disamakan dengan mereka. Hanya seperti inilah kemampuan saya. Saya hanya mampu melakukan apa yang saya bisa untuk mengabdi di sisi Den Janu.”
“Haish. Sampeyan sudah sangat setia dan ikut denganku bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah sejak aku pertama kali menjalani dan membangun semua ini, jadi sudah sepantasnya mendapatkan hadiah. Aku akan membantu sampeyan meningkatkan kemampuan kanuragan dengan mengunggahkan tingkatan Ki dan mengajarkan ilmu yang baru. Tapi bantu aku dulu untuk mempraktekkan beberapa kemampuan baru yang aku kuasai.”
Hanya satu kalimat yang bisa diucapkan oleh sang bawahan tersebut, yaitu siap melaksanakan semua perintah yang dititahkan oleh om Janu, apapun isi perintah itu.
“Sendhiko dhawuh.”
Om Janu tersenyum seulas, ia lantas membuka jendela yang berada di dekatnya, membiarkan wangi lilin juga semerbak ke luar ruangan. Ia melirik ke luar – hanya ada gelap di sepanjang jangkauan mata. Pepohonan rindang berbaris tanpa aturan, berbagi lahan untuk melindungi bumi dari cahaya surya yang terang ataupun dari lirikan bulan yang manja memandang. Dedaunan bergemerisik diterpa angin nakal, merontokkan beberapa, menghembus yang lain. Lolongan anjing berpadu dengan gegap gempita suara jangkrik, dan hewan malam lain.
Si Bengal sudah seharian ini berada di dalam gua – bagaimana kemajuannya? Apa yang ia dapatkan?
“The calm before the storm,” ucap om Janu sembari terus menatap ke dalam kegelapan yang menangkup seluruh paparan di depan matanya. “Sampeyan tahu apa artinya kalimat itu?”
“Hahaha, wah lha ini Den Janu pasti bercanda. Saya sudah pasti kurang paham, Den. Saya kan tidak mengerti Bahasa Inggris,” Pak Mangku tertawa renyah, “little-little sih I can, Den. Hahaha.”
“The calm before the storm adalah adanya suasana tenang yang mengecoh sesaat sebelum munculnya badai. Lihat keluar sana, Pak Mangku. Tenang, sepi, dan sejuk. Suasana yang sangat nyaman dan damai – tapi kedamaian ini sepertinya bisa menjadi penunjuk bahwa sebentar lagi akan ada badai yang dahsyat.”
Pak Mangku terdiam dan menjura.
Pandangannya berubah.
.::..::..::..::.
“Sudah berapa malam kita duduk di sini?”
“Sepertinya sudah hari ketiga, Eyang.” Jawab si Bengal. “Tiga atau empat ya? Sampai lupa hari.”
“Begitu ya? Jebul yo wes lumayan ya?” Sang Eyang manggut-manggut, “Baiklah. Aku punya sesuatu untukmu. Akan aku ceritakan padamu satu rahasia asalkan kamu mau tinggal di tempat ini lebih lama. Panjangkan tinggalmu di tempat ini hingga satu pekan lamanya, dan aku pastikan kamu akan menerima sesuatu yang kamu cari-cari – bahkan lebih.”
“Rahasia apa itu, Eyang? Wah Eyang main rahasia-rahasiaan, kayak ke Bandung Surabaya.”
“Itu kereta-keretaan.”
“Hehehe, iya ya? Kalau yang itu siapapun yang hendak turut boleh naik dengan percuma. Rugi dong KAI ya, Eyang? Masa naiknya dengan percuma.”
Sang Eyang tidak menimpali, pria sepuh berjenggot panjang itu malah melanjutkan, “Sebenarnya aku tidak berbicara dengan terus terang saat aku bilang aku tidak mengenalmu. Jujur aku tahu siapa kamu, dari mana asalmu, dan kenapa kamu bisa sampai di sini.”
Nanto sempat agak terkejut, tapi ia kemudian menguasai dirinya sendiri untuk tetap melakukan tapa brata yang seharusnya dilakukan tanpa gangguan tapi justru diisi oleh pembicaraan dengan sang Eyang.
Tapi pikirannya mulai goyah. Kenapa sang Eyang harus berbohong tak mengenalnya? Bagaimana beliau bisa tahu siapa dirinya? Mengapa, kenapa, sejak kapan? Berjuta pertanyaan tanpa jawaban.
Sang Eyang tersenyum dan bangga melihat Nanto tetap teguh pada pendiriannya untuk melanjutkan usahanya ber-tapabrata. Pria sepuh itu mengelus jenggot panjangnya berulang, “Aku ceritakan lagi satu rahasia.”
Nanto menatap sang Eyang dengan wajah serius, wah – satu lagi rahasia?
“Sesungguhnya, dulu bukan Ibu-mu yang menutup aliran Ki yang kamu miliki… tapi akulah yang melakukannya. Dulu ibu-mu datang kemari bersama Kakekmu dan meminta padaku untuk menutupnya.”
Kembali si Bengal terkejut, kali ini Nanto tak tahan lagi. Ibu dan Kakek yang meminta pada sang Eyang untuk menutup Ki-nya? Lha kok iso? Ia membuka matanya untuk menatap sang Eyang, “Jadi… dulu Ibu pernah bertemu Eyang? Bagaimana mungkin?”
Sang Eyang tersenyum dan mengangguk, “Aku sangat mengenal ibumu, Le. Sangat sangat mengenalnya. Dulu Ki-mu memang pernah kututup sehingga seberapa keraspun kamu belajar Ki, kamu tidak akan pernah berhasil meraih tingkat yang tinggi. Itulah fungsi segel Ki. Tapi dilihat dari niatmu saat ini, sepertinya sekarang sudah saatnya untuk dibuka kembali. Tapi ingat – jika suatu saat nanti kamu lalai dan menggunakan kemampuanmu untuk melampiaskan angkara murka pada mereka yang lebih lemah darimu dengan alasan yang tidak bisa diterima, maka aku akan datang untuk menutupnya kembali.”
“I-iya, Eyang.”
“Tentu saja tidak semudah itu membuka aliran Ki. Kita pelajari dulu Kidung Sandhyakala secara lengkap. Sekarang duduklah di depanku. Pejamkan mata, alirkan Ki dengan lembut ke bagian ulu hati. Alirkan secara terus menerus tapi tidak perlu terlalu menuntut. Rasakan lembutnya energi berpadu dengan napas yang hilir mudik dalam diri.”
Nanto melakukan apa yang diminta oleh sang Eyang.
“Kidung Sandhyakala tidak hanya mengajarkan kita kemampuan yang berlipat ganda yang dihasilkan dari konsentrasi dan perwujudan prana atau Ki. Melalui kesepuluh gerbang, Kidung Sandhyakala juga mengajarkan petunjuk hidup pada penggunanya. Sebuah tuntunan yang akan membantu dan melengkapi, bukan untuk merajai, bukan pula untuk menjadi tujuan.”
“Saya pernah mendengar hal yang sama dari Kakek.”
Sang Eyang mengangguk. “Itu artinya Kakekmu adalah orang yang memahami dan telah mendalami. Jadi dia berusaha memberikan kawruh juga kepadamu secara berhati-hati dan lengkap. Meskipun kamu malah sempat menggunakan ilmumu untuk hal-hal yang kurang berguna.”
“Iya, Eyang.” Nanto menunduk. Lho kok Eyang tahu ya?
“Ya tahu lah. Tempe kok.”
“Yaela. Guyonan bapack-bapack sekali, Eyang.”
“Dalam seminggu ke depan, kita akan belajar membuka secara utuh ketujuh gerbang pembuka – dan mulai mempelajari gerbang kedelapan hingga kesepuluh. Setelah semua tuntas, kembalilah padaku dan kita akan belajar bersama mendalami Nawalapatra Serat 18 Naga.”
“Siap, Eyang.”
“Ada ucapan di sebuah jaman pada suatu ketika yang berbunyi wong kang eling lan waspada iku kendhit mimang kadang dewa. Orang yang penuh kesadaran dan kewaspadaan akan diberikan keselamatan dan penuh berkah. Itu sebabnya gerbang pertama dibuka dengan didasarkan pada kesadaran,” ucap sang Eyang. “Gerbang pertama adalah gerbang kewaspadaan.”
Nanto mengangguk, ia lantas merapalnya. “Sejatine menungso kudu eling lan waspada.”
“Eling lan waspada sebenarnya merupakan kaidah yang saling mendukung dan bukan ajaran yang bersifat lurus atas bawah. Ketika manusia eling maka dia harus waspada, begitu juga ketika dia waspada maka dia akan eling. Yang satu merupakan sistem pendukung yang berikutnya, bukan atas bawah tapi kesinambungan yang saling bertautan. Suatu lingkaran – lingkaran yang sesuai dengan budaya kita yaitu cakra manggilingan.”
“Cakra manggilingan, lingkaran kehidupan.”
“Betul sekali. Kita lanjut. Apa rapalan kedua? Apa pembuka gerbang kecepatan?”
“Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”
“Betul. Apa rapalan gerbang ketiga? Pertahanan?”
“Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”
“Apa rapalan gerbang keempat? Kekuatan?”
“Angkara gung ing angga anggung gumulung.”
“Apa rapalan gerbang kelima? Tangan baja?”
“Wujud hana tan keno kinira.”
“Gerbang kelima terkait dengan kekuatan tangan. Kenapa secara khusus berkaitan dengan tangan? Karena manusia normal pada dasarnya adalah pekerja yang mencari penghidupan dengan kedua tangannya. Entah itu untuk bercocoktanam, bertani, bertukang, ataupun melakukan pekerjaan lain,” ujar sang Eyang, “dengan membuka gerbang kelima kekuatan tangan akan berlipat ganda entah itu untuk mencengkeram, menggenggam ataupun bertahan.”
Nanto mengangguk dan mendengarkan.
“Kita lanjut lagi, apa rapalan gerbang keenam? Gerbang keenam adalah gerbang penyaluran Ki ke luar. Ada yang menyebutnya sebagai gerbang untuk mengeluarkan Sentakan Ki. Coba sebutkan rapalannya.”
“Gerbang Sentakan Ki. Lir handaya paseban jati.”
“Mantap, yang paling akhir sebelum kita masuk ke selubung kidung. Apa rapalan gerbang ketujuh?”
“Girilusi jalma tan kena ing ngina.”
“Betul sekali, pembuka gerbang yang ketujuh adalah: Giri lusi jalma tan kena ingina.”
“Giri lusi jalma tan kena ingina.” Ulang Nanto.
“Kamu tahu apa artinya kalimat itu?”
“Apa Eyang?”
Sang Eyang terkekeh. “Giri itu artinya gunung, lusi itu bisa diartikan cacing – atau bisa juga diartikan rumput. Tan kena ingina artinya tidak boleh dihina. Kamu tau filosofi di balik kata-kata unik yang menandai rapalan gerbang ketujuh ini?”
“Kalau tidak salah artinya kira-kira mirip dengan paribasan di atas langit masih ada langit.”
“Benar sekali. Secara kata demi kata kita bisa mengartikan bahwa kalimat itu menggambarkan jika gunung yang paling tinggi sekalipun tingginya masih akan kalah oleh cacing atau rumput yang ada di atasnya, meski secara derajat mereka remeh temeh dibandingkan gunung yang megah tapi dalam mencapai puncak, cacing dan rumput lebih unggul dibandingkan sang gunung itu sendiri. Sama seperti perumpaan tersebut, dalam hidup, sebagai manusia kita tidak boleh menyepelekan apalagi menghina orang lain. Tidak boleh berprasangka buruk, atau nyolong pethek. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Banyak yang bisa kita lakukan, tapi banyak juga yang tidak. Apa yang tidak bisa kita lakukan, dikerjakan oleh orang lain dengan sangat mudahnya. Begitulah hidup.”
“Setuju Eyang.”
“Itu sebabnya orang-orang diingatkan bahwa ketujuh gerbang bukanlah yang tertinggi, karena masih ada gerbang-gerbang lain pada Selubung Kidung.”
Kedua orang yang duduk berseberangan itu kemudian sama-sama saling membuka mata, Nanto menatap sang Eyang dan tetua berjenggot putih itu menatap si Bengal. Keduanya sama-sama tersenyum karena itu artinya mereka masuk ke pengajaran berikutnya.
“Sekarang masuk ke Selubung Kidung. Apa yang akan Eyang ajarkan ini belum dan tidak akan pernah diketahui dan diajarkan oleh orang lain, jadi sebaiknya kamu rahasiakan apa-apa saja yang akan Eyang berikan ini dari pengetahuan orang yang tidak siap dan tidak pantas. Takutnya hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.”
“Baik Eyang.”
“Rapalan gerbang kedelapan adalah kalimat berikut: Weruh rosing rasa kang rinuruh. Kira-kira apa artinya, le?” Sang Eyang duduk sambil berongkang-ongkang kaki di atas batu landai sementara Nanto duduk dan mengatur aliran Ki dalam tubuhnya. “Paham ora sama arti kalimat itu?”
“Weruh rosing rasa kang rinuruh. Kalau tidak salah – ini kalau ga salah lho ya, Eyang. Kalau salah ya mon maap ni. Kalau tidak salah artinya itu mengetahui pusat rasa yang sedang ditargetkan. Intinya inti, core of the core. Kira-kira begitu kali ya, Eyang?”
“Lha kok elok. Kok ngerti kowe, Le? Asem ik. Ngguayaaa. Jawabannya memang semacam itu, dadi yo wes tak anggep bener daripada kesuwen. Aku anggap benar saja jawabanmu daripada kelamaan jelasin. Kalimat itu berarti mengetahui inti dari rasa yang dicari. Petunjuk ini memberikan gambaran dari apa-apa saja yang akan kamu dapatkan ketika mempelajari Gerbang Kedelapan Kidung Sandhyakala, yaitu dapat mengetahui inti dari rasa. Memahami kemampuan lawan dengan cepat dan seksama. Gerbang Pengamatan. Kamu bisa membaca dan mengetahui arah gerakan lawan bahkan sebelum gerakan itu dilepaskan. Gerbang ini adalah pasangan dari Gerbang Kewaspadaan. Hanya saja gerbang ini tidak dapat digunakan berulang-ulang.” Ujar Sang Eyang. “Paham sampai sini?”
“Paham, Eyang.”
“Bagus. Wangun kowe, le. Sangat bagus bisa memahami apa yang aku ucapkan. Sementara aku sendiri yo mumet.”
“Hla? Emangnya gimana, Eyang?”
“Aku saja kadang juga tidak paham apa yang aku sendiri ucapkan.”
“Walah lhadalah. Gimana sih!?”
“Hahahaha.” Sang Eyang tertawa geli. “Setelah kamu mempelajari ketujuh rapalan pembuka gerbang secara utuh, aku akan kembali kemari besok untuk memberikan dasar yang kedelapan. Kita akan pelajari penggunaan kesepuluh gerbang tersebut secara perlahan-lahan.”
“Eyang bisa menggunakan sepuluh gerbang? Wih elok. Wangun.”
“Lha ya jelas. Aku og.” Sang Eyang terkekeh. Dia pun bangkit sambil berjalan menuju pintu keluar gua, orang tua itu sempat berhenti melangkah sejenak. Ia membalikkan badan untuk menatap Nanto secara langsung, “ingat bahwa yang hitam belum tentu hitam, dan putih tak selamanya putih. Dalam hidup, masih ada banyak hal yang perlu kamu pahami dan kamu ketahui.”
“Baik Eyang.”
“Aku mulih ndhisik ya. Aku pulang dulu. Besok kita ketemu lagi. Takutnya kalau jam segini istriku sudah nyariin. Hahaha.”
“Siap. Salam buat Eyang Putri.”
“Yo yo… Jangan lupa yo, besok pacarmu suruh datang bawa sate.”
“Heh?”
“Lha emangnya ngajarin kamu itu ga pakai capek apa? Kesel je. Ngomyang jam-jaman. Sampai berbusa mulutnya ngomong terus. Butuh asupan daging. Hahaha. Tuek-tuek begini aku masih kuat makan tongseng. Hahaha.”
“Wekekeek. Siap, Eyang.” Nanto menyanggupi. Kapan lagi dia bertemu dengan seorang guru yang punya banyak kawruh begini. Nanto kembali duduk bersila untuk melatih beberapa kali lagi apa yang sudah diajarkan oleh sang Eyang, Kakek-nya, dan juga Om Janu yang datang ke gua ini beberapa kali untuk memberikan kawruh.
Dia beruntung mendapatkan banyak pengajaran dari beberapa orang yang berbeda-beda untuk melengkapi kesempurnaan penguasaannya akan Kidung Sandhyakala.
.::..::..::..::.
“Lho? Om Janu mau pulang duluan ke kota?”
“Iya, maaf ya. Kebetulan ada urusan bisnis yang mendesak yang mengharuskanku hadir di pertemuan pimpinan, jadi aku tak bisa berlama-lama di sini karena dibutuhkan di sana. Sebetulnya ingin sekali menunggu sampai kalian tuntas belajar dan Nanto juga selesai menimba kawruh. Tapi ini sudah hari ketiga dan dia belum juga keluar – jadi sepertinya aku harus pulang lebih awal dari kalian bertiga.”
“Oh gitu. Memang entah kenapa Mas Nanto lebih lama dari seharusnya, tapi sepertinya dia sehat-sehat saja di dalam sana.” Kinan mengantarkan om Janu sampai ke halaman depan rumah, di sana sudah ada mobil menanti. Pak Mangku membantu om Janu memasuk-masukkan tas.
“Yaaah, jadi ga seru kalau ga ada om Janu.” Hanna sudah menganggap om Janu sebagai pengganti orang tua yang patut dihormati. Beliau juga mengajarkan banyak hal selain kemampuan bela diri, seperti meditasi, dan memberikan banyak wejangan pada dirinya dan Kinan. “Om Janu kok sudah dijemput aja nih.”
“Iya, ini aku sudah dijemput sama sopirku dari kota. Jangan khawatir – masih akan ada Pak Mangku di sini yang membantu dan mencukupi semua kebutuhan kalian – termasuk menjamin kalian pulang dengan selamat,” ujar om Janu sembari menaikkan koper ke dalam bagasi mobil, “Sampaikan salamku pada si Nanto. Bilang saja kalau aku berharap dia sukses mendapatkan apa yang dia cari di dalam gua itu. Mudah-mudahan saat kita kembali bertemu nanti, dia sudah meningkat kemampuannya. Aku sudah memberikan pengajaran juga selama bermeditasi dengannya di gua.”
“Baik, Om. Kami berdua juga berterima kasih banyak atas apa yang sudah Om ajarkan pada kami,” ujar Kinan sembari tersenyum hangat.
“Kalian berdua… terutama kamu, Kinan…” om Janu berhenti sejenak, menepuk tangannya yang berdebu, dan menatap Hanna dan Kinan bergantian, “adalah orang-orang yang akan bertanggungjawab pada perkembangan Nanto. Temani dan dampingi dia, pastikan dia mendapatkan apa yang dia cari.”
“Pasti, Om.”
.::..::..::..::.
Nanto memandang ke sekeliling.
Hari ini adalah hari terakhirnya di gua dan di desa. Setelah ini dia akan pulang kembali ke kota dan kembali ke dunia luar, ke kenyataan hidup yang sesungguhnya. Si Bengal tidak pernah mengira gua yang dingin, gelap, lembab, dan jauh dari kemewahan ini menjadi area yang begitu hangat, tenang, dan membuatnya merasa seperti di rumah.
Di belakang si Bengal, suatu gerakan terdengar. Si Eyang sepertinya sudah akan pulang. Tanpa membalik badan, si Bengal pun mengucapkan salam perpisahan. “Sepertinya ini hari terakhir aku berada di sini, Eyang. Nanti malam kami akan pulang ke kota. Seminggu ini sungguh mencerahkan, jadi aku sangat berterimakasih pada Eyang. Meski baru level rendah, aku berjanji untuk mempelajari tujuh gerbang dan belajar Selubung Kidung yang teori-teorinya sudah Eyang ajarkan.”
“Begitu ya. Mudah-mudahan apa yang telah kamu pelajari berguna ke depannya. Baik-baiklah di kota, jangan memakai kemampuanmu untuk tindakan kejahatan. Ki yang kamu miliki adalah Ki keturunan Watulanang yang murni, jadilah bijak dalam penggunaannya.”
“Baik.” Nanto mengangguk, tak berapa lama ia memanggil kembali, “Eyang?”
Sang Eyang membalik badan, “Ya?”
“Sampai saat ini aku belum mengenal nama Eyang. Mohon berkenan memberikan nama. Mungkin kelak jika aku datang kembali ke desa ini, aku dapat mencari dan menemui Eyang kembali. Tentu akan banyak sekali hal yang bisa aku perbincangkan dengan Eyang.”
“Kamu tidak perlu mencariku. Aku yang akan menemuimu setiap hari, di setiap malam, di batas bayang kesadaran, di saat-saat yang tidak akan kamu bayangkan, kapan saja kamu membutuhkan. Aku akan datang untuk memberikanmu kawruh sepuluh menuju delapan belas, sesuai janjiku pada mereka yang telah berhasil menguasai sepuluh gerbang. Karena dalam darahmu, Le… juga mengalir darahku. Khasiat buah-buahan ajaib yang menjadikan siapa aku, menurun kepadamu menjadikan siapa kamu sekarang.” Sang Eyang tersenyum lebar penuh misteri di bawah sinar mentari yang mencorong menerangi dari liang kecil di atas gua. Cahaya putih mengitari tubuhnya dengan megah. Sang pria tua itu pun tersenyum, “Sudah bertahun-tahun lamanya tak pernah lagi kusebutkan nama. Kamu bisa memanggilku… Bara.”
“Bara?” Nanto mengulang nama. “Eyang Bara?”
“Betul.” Sang Eyang hendak melangkah pergi, tapi kemudian terhenti seperti mengingat sesuatu. “Ada satu hal yang seharusnya aku lakukan sebelum kita benar-benar berpisah.”
“Apa it…” Nanto tersentak, “Oh.”
Nanto merasa seperti ada tangan menyentuh punggungnya. Eyang Bara seperti mengalirkan sesuatu ke dalam tubuh si Bengal.
Lalu tak lama kemudian, terasa ada hangat yang mengalir dalam tubuhnya, ada yang merasuk dan menjelajah tiap sudut rongga badan. Jika tubuhnya adalah satu template cetakan raksasa dengan bagian dalam kosong, maka saat ini cetakan itu sedang diguyur dengan Ki yang didesak ke dalam untuk memenuhi setiap rongga yang kosong.
Saat itulah ada satu rasa yang berbeda dalam dirinya. Ada yang hendak mendesak keluar, hendak lepas, tak ingin dikekang, tak ingin ditekan. Ada yang hendak meledak.
Nanto terbelalak merasakan desakan luar biasa dari dalam dirinya.
I-ini…
“Haaaaaaaaaaaaargh!”
Teriakan kencang Nanto berkumandang saat sentakan Ki besar lepas dari badannya yang tak lagi kuat menahan. Seperti ada pengatup air yang jebol dan tenaga besar mengalir lepas. Ibarat bendungan yang tak mampu lagi bertahan. Debu-debu berterbangan di sekitar tubuhnya, terhempas melebar membentuk lingkaran keluar yang menghempas dinding-dinding gua. Menimbulkan bunyi nyaring memekakkan telinga saking kencangnya.
Sampai akhirnya semua gejolak dalam diri Nanto perlahan-lahan menyingsing dan memberikannya ketenangan luar dalam.
Segar lahir batin! Seperti ada yang berbeda di dalam tubuhnya!
Nanto tersenyum lebar. Akhirnya…
Si Bengal pun berdiri hendak menghampiri sang Eyang untuk memberikan penghormatan pada sosok yang telah membantunya dengan banyak hal beberapa hari terakhir ini, termasuk apa yang baru saja beliau lakukan untuk membantunya.
Namun ketika ia berbalik, sang Eyang sudah tak nampak lagi.
“Eyang…?”
Pria tua itu sudah tak ada.
Nanto mencoba memanggil beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Si Bengal mengerutkan kening, ke mana gerangan sesepuh yang dalam seminggu ini selalu mengajarinya itu? Apakah beliau sudah keluar dari gua? Masa secepat itu? Dia tidak mendengar kecipak kaki di air yang menggenang di lantai batu. Tidak ada jejak di atas batu yang berdebu. Apakah kemampuannya memang sehebat itu? Bahkan saat pergi pun tak terdengar.
Tapi ya sudahlah, tidak perlu berandai-andai.
Mungkin Sang Eyang memang mampu bergerak dengan sangat cepat sehingga bisa melesat pergi tanpa Nanto sadari. Karena seperti yang pernah Eyang bilang – istrinya sering marah-marah kalau Eyang pergi terlalu lama jadi dia harus buru-buru pulang.
Meski sampai saat ini Nanto tak pernah tahu di mana rumah dan tempat tinggalnya.
Siapa sebenarnya Eyang Bara? Katanya beliau pernah bertemu dengan Kakek ya? Tapi si Bengal tidak pernah mendengar ada sahabat Kakek yang bernama Eyang Bara. Sang Kakek juga tak pernah membicarakannya.
Atau…
Atau mungkin semua ini memang hanya ada di alam pikirannya saja?
Sebuah pseudo-reality yang mengungkung, memenjara, sekaligus membenahi batin dan pikirannya selama berada di dalam gua. Satu keadaan tanpa sadar yang memberikannya jalur menuju hal yang ia inginkan. Mungkin dia dikelabui oleh kesadarannya sendiri sehingga tenggelam dalam halusinasi nan magis yang tak nyata.
Nanto tersenyum.
Ada-ada saja. Dia menepuk kepalanya sendiri. Dasar bodoh.
Mana ada hal seperti itu di dunia modern.
Tapi… kalaupun iya, tidak apa-apa juga kan? Mungkin Eyang sesungguhnya memang tak pernah ada. Mungkin semua ini sebenarnya hanya ilusi, atau satu kenyataan yang tak terbayangkan, khayalan nyata yang nyata-nyata adalah khayalan. Entahlah, belum saatnya dia untuk tahu. Garis batas antara kenyataan dan khayalan bagai berbayang kabur jika Nanto duduk di dalam gua ini.
Dia seperti tahu tapi juga tidak paham dalam waktu yang bersamaan.
Yang jelas, ada yang berbeda dalam tubuhnya saat ini.
Ada hangat dalam dada dan jiwanya, ada perasaan menyatu, ada satu rasa. Ki-nya berasa menyebar lebih lancar, dari ujung rambut ke ujung kaki dan sebaliknya. Ada sesuatu yang berbeda dan berputar, berpilin, dan mengalir. Lebih segar, lebih lancar, lebih membuatnya sadar. Si Bengal memejamkan mata, kembali bersila, membuka tangan dan mengatur posisi tangan, lalu mulai mengatur pernapasannya seperti yang semula memang ia lakukan.
Pergunakan dengan baik. Kuasai yang tujuh dengan baik, aku akan datang. Kuasai yang sepuluh dengan baik, aku akan datang.
Eh?
Suara itu? Bukankah itu gerbang pertamanya? Tapi suara itu… itu suara Eyang Bara. Jadi selama ini beliaukah yang menjadi gerbang pertama?
Belajar dari kesalahan, perbaiki masa depan.
Eh bukan?
Suara itu berubah? Kalau tadi jelas itu suara Eyang Bara. Tapi sekarang berubah. Suara itu menjadi suara seorang wanita. Suara sang Ibunda yang telah lama ia rindukan. Degup jantung si Bengal berdetak teramat kencang.
Nanto memejamkan mata dan tersenyum.
Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab seperti misalnya bagaimana menuntaskan tujuh gerbang, bagaimana masuk ke Selubung Kidung, bagaimana mendapatkan Nawalapatra 18 Serat Naga.
Hanya ada satu hal yang pasti.
Segelnya sudah terbuka.
.::..::..::..::.
“Bagaimana, sudah mau pulang?”
“Sudah persiapan. Mungkin dalam beberapa jam lagi – mungkin juga masih malam nanti. Semua tergantung Mas Nanto.”
“Kamu tidak bilang siapa-siapa kan kalau aku ada di sini?”
“Tidak. Mana berani saya membuka mulut. Tentu saja tidak.” Pak Mangku berkeringat dingin saat satu demi satu pertanyaan diajukan oleh sosok di depannya.
Saat ini pria yang mengenakan blangkon itu sedang berhadapan dengan seorang pria yang tengah tersenyum menyeringai – bukan seringai yang biasa saja, seringainya menyeramkan bak seekor serigala. Pria itu menyembunyikan wajahnya di balik tudung dan masker kesehatan berwarna hijau.
Pak Mangku sendiri duduk di bawah sang pria bertudung yang tengah bersila di atas batu landai. Wajah Pak Mangku seperti memohon, “Tidak ada yang tahu kehadiran sampeyan baik dari anak-anak muda itu ataupun beberapa orang QZK yang ditempatkan di sini secara diam-diam, tapi dengan amat sangat… mohon jangan kacaukan semuanya. Takutnya nanti ujung-ujungnya saya yang repot.”
“Hahaha. Tenang saja – aku datang ke sini hanya sebagai pengawas, hanya mengamati, hanya ingin melihat rencanaku berjalan sesuai dengan keinginan, aku belum akan bercampur tangan. Tenang saja, belum saatnya. Aku tidak akan melakukan apapun yang tidak kamu inginkan.” Sosok itu terkekeh, “asalkan Pak Mangku juga diam, maka tidak akan ada yang tahu kehadiranku. Tidak ada masalah kan?”
Pak Mangku mengangguk, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri – ia khawatir sekali akan ada orang yang melihatnya, entah itu Hanna, Kinan, Nanto, atau bahkan orang QZK. Ia takut kalau-kalau ada yang melihat dan mendengar pembicaraannya dengan orang yang duduk di atas bebatuan di tengah hutan. Apalagi lokasi mereka yang tak jauh dari posisi di mana pintu gua Nanto berada – hanya saja mereka tersembunyi di balik banyak pohon rindang dan semak belukar.
Pria di hadapan sopir om Janu itu mengenakan kacamata hitam berbentuk bulat ala John Lennon dan memegang tongkat kayu dari akar selasih. Sembari tersenyum ia mengajukan pertanyaan berikutnya, “Apakah ada orang lain lagi di rumah itu?”
“Hanya dua gadis itu saja,” jawab Pak Mangku. “Mereka selalu berada di dalam rumah.”
“Bagus.”
“Apanya bagus?”
“Bagus kalau masih ada mereka berdua karena aku ingin Pak Mangku melakukan hal ini,” orang itu kemudian membungkuk dan berbisik ke telinga Pak Mangku yang perlahan-lahan membelalakkan mata karena terkejut.
“I-I-Itu akan membuat mereka bertiga saling…”
“Hehehe, itulah tujuannya, Pak Mangku. Itulah tujuannya,” ucap sang pria bertongkat sembari menepuk pundak Pak Mangku. “Itulah yang akan mengejutkan semuanya, tidak akan ada yang paham kalau rencana besarnya justru dimulai dari sekarang.”
“Tapi… saya kasihan dengan gadis-gadis itu. Saya juga kasihan dengan Mas Nanto yang…”
“Hahaha. Pemuda yang penuh harapan itu juga akan menjadi pemuda yang mengacaukan semuanya. Huahahahaha… Hahahaaaaa…!” Pria bertongkat itu pun tertawa terbahak-bahak seolah apa yang diucapkannya adalah sesuatu yang sangat lucu. “Inti Angin Sakti, Jurus Kodok, Prana Pasopati. Tidak saja aku akan berhasil menguasai semua ilmu dari berbagai aliran, kini aku juga akan menguasai Kidung Sandhyakala dan membuka seluruh gerbangnya – termasuk sesuatu yang konon jadi rahasia utamanya yaitu Selubung Kidung berkat bocah penuh harapan itu. Huahahahhaaha…”
Pak Mangku geleng-geleng kepala melihat orang bertongkat itu tergelak.
Orang ini pasti sudah kehilangan akal sehatnya. “Den Janu pernah bilang hanya keturunan terpilih dari Trah Watulanang yang sanggup menguasai dengan sempurna Kidung Sandhyakala.”
“Tidak akan ada yang tahu kecuali dicoba bukan? Hahahahahaha… aku akan menjadi orang pertama yang dapat menggabungkan semua ilmu dari semua aliran. Percaya?”
“Mungkin saja.”
“Tapi omong di omong,” Kembali sang pria bertongkat memegang pundak Pak Mangku saat ia sudah menyelesaikan tawa dan gelinya. Ada aura yang lepas dan menelisik untuk menilai tingkat tenaga dalam Pak Mangku. “Aku merasakan kemampuanmu sudah meningkat pesat. Luar biasa. Ki-mu memiliki aura yang berbeda sejak terakhir kali kita bertemu. Apakah kamu sudah belajar lagi?”
“Tentu saja. Sebelum pulang ke kota Den Janu sempat memberikanku kawruh kanuragan yang setiap hari aku latih, hasilnya ternyata berhasil meningkatkan Ki-ku dengan pesat.”
“Baguuus! Baguuuus! Dengan begitu rencana kita seharusnya dapat dilaksanakan dengan lebih lancar lagi karena kemampuanmu yang semakin mantap. Hahahahaha… tidak sia-sia kamu belajar dari Den Janu. Hahahahaaha. Jalankan semua rencana kita!”
Pak Mangku menarik napas panjang, menggelengkan kepala, dan meneguk ludah. Orang ini benar-benar sudah kehilangan akal memang. Untuk menjalankan rencana yang ia bilang itu berarti ia harus ngerusuhi hubungan antara Nanto, Kinan, dan Hanna.
Ada rasa tidak tega saat melihat kejauhan. Ke arah tempat di mana rumah singgah om Janu berada. Di mana ada Kinan dan Hanna. Beberapa hari hidup bersama mereka menyadarkannya bahwa mereka adalah gadis-gadis yang baik.
Sayang kedua gadis itu tidak tahu.
Bahwa selain akan menemani Nanto ke arah yang lebih baik, mereka berdua juga yang akan menjadi sosok yang membawanya pada kejatuhan. Orang di depan Pak Mangku ini yang akan memastikan semua berjalan sesuai dengan yang dia rancang dan inginkan – termasuk mengorbankan sosok yang digadang-gadang akan menjadi tokoh masa depan di kota.
Roda nasib sedang digerakkan. Jebakan bertumpuk sedang dipersiapkan.
Bisakah Nanto lolos? Akankah kedua gadis itu selamat dari rancangan yang akan melibatkan mereka?
Atau justru semua akan tenggelam dan hancur di hadapan angkara murka di tangan orang di depannya ini? Pak Mangku hanya mampu menatap rumah di kejauhan.
Meski terlibat, tapi dia tidak ingin membayangkan.
Hanna sedang duduk santai sembari menatap kolam ikan koi yang berkecipak-kecipuk menimbulkan suara yang menenangkan jiwa. Meski di pedesaan, tapi rumah yang dibeli oleh Om Janu ini memiliki satu taman bertema Zen Garden yang apik. Mungkin Om Janu sudah sedikit memberikan sentuhan ala kota di sini.
Selain kolam, terdapat rerumputan dan bebatuan putih di petak yang diplot sebagai taman Zen dengan benteng pagar bambu mengitari. Dibelah oleh jembatan kayu yang berpadu harmonis menghubungkan antara jalan belakang menuju kebun dan rumah utama.
Hanna tidak akan keberatan jika suatu saat kelak ia punya rumah dengan taman Zen model begini. Benar-benar membuatnya merasa damai dan tenang. Ia bersyukur diajak ke desa oleh Om Janu, Nanto, dan Kinan. Sejak bermasalah dengan kekasihnya, dia akhirnya bisa merasa tenang dan memperoleh kepercayaan dirinya kembali – apalagi setelah belajar beberapa jurus pertahanan diri yang diberikan oleh Om Janu.
Seperti halnya Kinan yang…
Hanna mengerutkan kening saat ia tak lama kemudian melihat Kinan yang berjalan terhuyung-huyung usai keluar dari kamar mandi di dekat ruang keluarga di dalam rumah. Si cantik berkerudung itu memegang kepala dan perutnya.
“Kinan?” Hanna buru-buru berdiri dan menghampiri kekasih si Bengal.
“Kamu kenapa?” Hanna membantu Kinan yang berjalan tertatih untuk kembali ke kamar mereka. Semasa di desa mereka memang tidur berdua. Tubuh gadis itu terasa lemas dan berat. Apa yang terjadi padanya? Kenapa tiba-tiba saja seperti ini? Bukankah tadi mereka masih sempat masak dan bercanda bersama. “Kinan…?”
“Ti-tidak apa-apa, kok. Hanya merasa tidak enak badan saja. Mungkin masuk angin. Sudah beberapa hari ini sering tiba-tiba saja begini. Perut mual seperti diaduk-aduk dan beberapa kali muntah. Bersyukur banget kita datang kesini ya. Kalau tinggal di desa begini, aku jadi merasa lebih santai dan nyaman. Hawa pedesaan juga sangat sejuk dan asri, membuat badan terasa segar dan lebih enak.”
“Enak sih enak,” Hanna mendengus, setelah membantu Kinan duduk di tepian pembaringan.
Melihat Kinan sepertinya sudah mendingan, Hanna pun beralih untuk merapikan baju-baju yang sudah dicuci untuk dimasukkan ke dalam tas karena besok mereka akan kembali ke kota. Dia masih terus nyerocos memberi petuah pada sang teman sepenanggungan.
“Tapi jangan terus menganggap enteng apa yang kamu rasakan juga. Mungkin kamu perlu berobat ke dokter kalau apa yang kamu alami ini sudah mengganggu sampai berhari-hari. Sekedar antisipasi saja kalau-kalau tidak hanya sekedar masuk angin. Dengan datang ke dokter, kamu juga bakal tahu lebih pasti sebenarnya kamu ini sakit ap…”
Saat menyadari sesuatu, beberapa saat kemudian, gadis yang sedang merapikan baju itu terbelalak. Ia membalik badan dan menatap Kinan lekat-lekat. Hanna menutup mulutnya dengan tangan. “Ja-jangan-jangan…”
Kinan menatap gadis yang kini menjadi sahabatnya itu dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan, seakan dia sedang mengalami kekagetan yang teramat sangat. Ada rasa bahagia yang dilapis kekhawatiran berlipat ganda.
Hanna buru-buru mendekat untuk memegang sisi kedua lengan Kinan. Ia menatap mata sang sahabat dengan pandangan serius. “Ja-jangan bilang kalau kamu…”
Kinan mengangguk, lalu menggeleng, terus mengangguk, tapi tak lama kemudian menggeleng lagi. Ada air menggenang berbayang di pelupuk matanya. Sudah jelas dia tak punya jawaban pasti. Dia sendiri juga tidak tahu. “Aku takut banget mau mencoba tesnya. Apa yang harus aku lakukan?”
Hanna memeluk Kinan erat.
Ada hal-hal berat yang akan segera mereka hadapi di hari-hari mendatang.
Ini salah satunya.
==============================================================================================
TEMANI AKU
Burung kecil dalam sangkar,
kalau kamu tidak mau bernyanyi untukku.
Maka aku akan memaksamu bernyanyi.
– Toyotomi Hideyoshi
Nanto berdiri dengan tegap, tak ada lawan dan kawan yang berani mendekat – kecuali tentu saja Lima Jari yang sudah menunggu kedatangannya. Hageng, Bian, dan Deka buru-buru berlari menghampiri sang kawan karib. Wajah bahagia tergambar jelas di wajah mereka.
“Nyuuuuk! Dari mana aja kamu!?” Bian berlari menghampiri dan memukul pundak Nanto.
Pemuda bandel itu berkaca-kaca karena begitu banyak masalah yang rasa-rasanya baru akan terlepas kalau ia sudah bisa melihat dan berdiri tegap bersama si Bengal. Dia tahu Nanto bukanlah alien super bercawet merah yang bisa terbang dan menembakkan sinar dari kedua matanya, dia juga tahu Nanto bukanlah seorang mutan yang bisa mengeluarkan tiga pisau dari punggung tangan dan selalu bisa sembuh dari luka apapun dalam sekejap.
Tapi si Bengal adalah si Bengal. Dia memiliki aura yang berbeda yang membuat siapapun yang bersamanya tahu kalau mereka akan memenangkan sesuatu saat berdiri sejajar dengannya. Saat bersama Nanto, anak-anak Lima Jari tahu kalau semua seakan akan baik-baik saja. Keberadaannya semenentramkan itu.
“Roy… dia sudah… dia sudah…” terbata-bata Bian mencoba menjelaskan. Antara terengah, excited, tapi juga sedih harus mengungkapkan kenyataan yang terus menerus ia ingkari. Tapi dia harus segera mengutarakan kegundahannya. Saat ini juga. Tidak bisa lagi dipendam dan menunggu lama. Dia sudah tidak tahan lagi.
Nanto mengangguk paham, wajahnya juga menyiratkan kesedihan luar biasa, matanya berkaca-kaca. Tanpa babibu si Bengal langsung merangkul Bian erat dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memukul lengan saudara kembar Roy itu dengan perlahan. “Maaf aku lebih lama dari seharusnya, setelah membaca pesan di grup aku langsung secepat kilat pulang. Memang butuh waktu, tapi jangan khawatir, aku sudah di sini sekarang.”
“Aku tahu kamu pasti langsung baca pesan-pesan di grup WhatsApp kita.” Bian bergetar. “Roy… dia… kita tidak dapat menemukan dia, sudah seminggu ini kami mencarinya tanpa hasil. Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi…”
“Kita pasti akan menemukannya. Pasti. Demi apapun aku akan menemukannya. Bahkan kalau perlu akan aku obrak-abrik seluruh kota ini untuk mencarinya.” Nanto merasa sangat bersalah karena dia baru bisa membuka smartphone-nya tepat seminggu setelah laku tapa brata selesai ia jalani. Demikian juga dengan smartphone Kinan dan Hanna yang sama-sama dimatikan karena takut akan ada gangguan.
Betapa kagetnya ia membaca pesan dari anak-anak Lima Jari mengenai kejadian yang menimpa Roy di WhatsApp dan langsung buru-buru pulang untuk menemui kawan-kawannya.
Hageng ikut merangkul si Bengal. “Akhirnya datang juga, dab. Kedatanganmu tepat waktu zekali. Tepat di zaat Alianzi dan Lima Jari butuh boz-nya. Itu orang-orang RKZ yang datang tanpa permizi memang minta digaplok. Mereka datang untuk memakza kita bergabung, kalau kita tidak mau bergabung, mereka mengancam akan ambil tindakan. Zeperti yang zudah mereka lakukan ke KZN.”
Deka bersidekap di depan Hageng, Bian, dan Nanto yang saling merangkul. Ada bayang bening di pelupuk matanya. Si Gondes geleng-geleng kepala sembari tersenyum bahagia. Keberadaan si Bengal memang semenentramkan itu. Hatinya yang berulang kali diuji dan pikirannya yang terselimuti kabut mendadak menjadi cerah. “Pulang dan langsung pamer. Bajingan memang. Mbois kowe, Su.”
“Karena wedhus-wedhus ini perlu dikasih pelajaran,” ucap Nanto sembari mendengus kesal. Ia menatap orang-orang RKZ yang masih berada di tempat itu dengan pandangan mata tajam yang seolah-olah sanggup membelah tubuh mereka itu hanya dengan sekali kedip.
Lepas dari rangkulan Bian dan Hageng, si Bengal melangkah ke depan menuju ke batas antara Aliansi dan RKZ. Dia membalikkan badan dan berbicara langsung pada seluruh anggota Aliansi yang ada di depannya – berbicara seolah-olah RKZ tak mendengar, padahal mereka ada di belakangnya persis.
“Tidak perlu ditegaskan karena kalian semua pasti sudah tahu. Aliansi tidak akan pernah bergabung dengan gerombolan bajingan seperti RKZ. Buat apa? Tidak ada gunanya. Mereka mau main kasar karena kita tolak? Biar saja. Biar saja mereka mencoba kalau mampu. Kita justru harus berusaha keras untuk membumihanguskan kelompok-kelompok tae kocheng seperti RKZ dan sebangsanya yang meresahkan,” ucap Nanto tegas – memastikan di mana posisi Aliansi berada.
Aliansi dan RKZ? Berseberangan.
Para anggota Aliansi yang ada saat itu bersorak-sorai. Rao dan Simon tersenyum lebar. Beni Gundul tertawa sembari geleng-geleng kepala dan menyelipkan tangannya ke dalam saku celana.
Hageng tertawa puas. Raksasa itu kemudian dengan jumawa berkacak pinggang sembari tersenyum lebar ke arah orang-orang RKZ. “Nah, kalian zudah dengar zendiri apa keputuzan pimpinan kami!” Matanya tajam menatap ke arah orang-orang RKZ yang belum meninggalkan markas Sonoz. “Kalian ini benar-benar nekat, berani-beraninya datang ke markaz Alianzi sambil petentengan! Zudah tidak diundang, ga bawa oleh-oleh bakpia pula! Apa ya minta dibelah bijinya?”
Si Bengal meninggalkan ketiga temannya dan melangkah menuju Galung, Gamal, dan Agun yang ia anggap merupakan perwakilan utama dari RKZ kali ini.
Ketiganya menatap Nanto dengan pandangan yang ngeri-ngeri sedap. Mereka pernah bertemu di depan bengkel Amar Barok dan menjadi saksi kemampuannya. Tapi apa yang mereka lihat hari ini sangat berbeda dengan apa yang mereka lihat saat pertama kali berjumpa dengannya. Mereka seperti berjumpa dengan orang lain, dengan sosok yang berbeda bumi langit.
“Kalian sudah lihat apa yang bisa aku lakukan. Kalian sudah tahu apa yang aku mampu. Jadi aku tunggu niat baik dari kalian untuk segera meninggalkan tempat ini tanpa pertumpahan darah. Mumpung kami masih mau bersikap baik. Ini bukan ancaman, hanya sekedar memberi saran berdasarkan pengalaman yang aku punya,” Nanto menatap satu persatu mata para cecunguk RKZ di depannya. “Pengalaman yang aku punya adalah menghajar begundal seperti kalian.”
Agun berdiri tegap, dia mendengus dan menyeringai. Dia berdehem dan mencoba tampil berani meski jantungnya berdegup kencang. “Kamu… kamu pikir kamu sudah punya kemampuan taraf dewa? Apa yang kamu lakukan sekarang akan berimbas pada keselamatan seluruh anggota Aliansi. Kalian bakal dimusnahkan oleh RKZ. Ini bukan ancaman, ini bukan janji, ini juga tidak berdasarkan pada pengalaman. Ini kenyataan yang akan segera terjadi.”
“Dab.” Nanto mendekatkan wajah ke punggawa RKZ itu, lalu mengernyitkan dahi dan mundur dua langkah. Si Bengal geleng kepala. “Ngomongmu gede, uratmu kenceng, tapi jigong-mu ambune ra umum. Baunya gila. Nggaya yo nggaya tapi ojo lali sikatan to, Dab. Kapan-kapan jangan lupa sikat gigi.”
“Munyuk! Bajingaaaaaaa…” Agun ke-triggered. Dia melaju ke depan sembari melontarkan pukulan kencang. Tangannya melesat dengan cepat, sasarannya rahang si Bengal. Tapi alih-alih menghindar atau mengangkat tangan untuk menahan serangan, si Bengal justru membiarkan pukulan itu masuk secara telak!
Bdkkkgh!
Tidak ada perlawanan? Rugi sendiri!
Agun mundur beberapa langkah ke belakang, mengambil ancang-ancang, menggoyangkan badan, mengangkat kedua tangan di depan wajah, membentuk benteng pertahanan sekaligus siap menghentak lawan dengan badai pukulan. Tanpa menunggu lama, dia melepaskannya. Tidak satu, tidak dua, tidak tiga, tapi enam pukulan beruntun!
Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh! Bdkkkgh!
Tangan kanan dan kiri Agun bergerak cepat, menghentak, mundur, bergoyang, lalu dilepaskan. Berulang dan bertubi. Secara alami, Agun memang punya latar belakang boxer. Dia tersenyum karena semua pukulannya masuk tanpa dapat ditahan atau dielakkan.
Padahal memang Nanto tidak berniat sedikitpun untuk menahan atau mengelak.
“Sudah?”
Agun tertegun. Matanya terbelalak saat menatap ke depan. Nanto berdiri terdiam tak kurang suatu apa, tergores pun tidak. Tidak mungkin!! Sama sekali tidak terluka!? Kok bisa!? Dia sudah menggunakan kekuatannya dengan begitu membabi-buta, masa sama sekali tak ada efeknya?
Pkgh!
Telapak tangan Nanto tiba-tiba saja sudah menempel di wajah Agun!
Susah payah pemuda RKZ itu mencoba meronta, tangan kanan dan kiri sekuat tenaga menggoyang lengan kanan Nanto yang tengah mencengkeramnya dengan sangat erat namun tanpa hasil. Justru si Bengal yang kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Agun. “Bagaimana? Bagaimana rasanya merasakan seluruh hidupmu serasa tersedot ke dalam rasa takut yang amat sangat? Apakah saat ini kamu membayangkan kematian? Berani melawan Aliansi lagi, dan itulah yang akan kalian hadapi. Tidak hanya sekali, tak cuma dua kali – tapi kami juga akan datang meneror kalian semua setiap hari, dalam sadar maupun mimpi.”
Melihat kondisi gawat, Galung dan Gamal buru-buru bangkit untuk membantu teman mereka. Tapi belum sampai selangkah mereka berjalan, si Bengal sudah mengangkat tangan kirinya yang bebas ke arah mereka. Tatapan matanya tajam dan dingin, ia memicingkan mata. Kedua orang anggota RKZ itu tidak mendengarnya mengucap lirih rapalan gerbang keenam.
“Lir handaya paseban jati.”
Booom!
Tubuh Galung dan Gamal terhenyak ke belakang karena sentakan Ki yang dilepaskan oleh si Bengal. Mereka terlempar bagai orang-orangan sawah tersembur badai, tercerabut dari tanah, dan terbang tanpa tahu arah.
Agun mencoba berteriak, tapi gagal. Cengkraman tangan si Bengal teramat kuat. Ini bukan cengkraman biasa, sepertinya ada Ki yang terlibat karena tenaga cengkramannya berlipat ganda. Si Bengal kembali mendekatkan wajahnya ke telinga Agun. “Pastikan menyampaikan pesan ini kepada Bos-mu, sampaikan dengan tepat tanpa dikurangi satu patah kata pun. Sampaikan… kalau kalian terus memaksa maka Aliansi akan melawan. Kalau perang yang kalian mau, maka perang yang akan kalian dapatkan.”
Usai mengucapkan kalimat tersebut, Nanto bergerak.
Si Bengal menarik kepala Agun ke arahnya sedikit, lalu sembari menjejakkan kaki dengan kencang, ia mendorong kepala Agun ke tanah dengan kecepatan tinggi. Tubuh sang anggota RKZ itu pun terjengkang ke belakang sementara cengkraman tangan si Bengal menyorongnya. Tubuh Agun terhentak sampai ke bawah, bagian belakang kepalanya terantuk tanah. Beruntung tanah itu cukup lembut karena hujan sehingga hentakannya tidak terlalu menyakitkan.
Brkgh!
Tetap saja keras. Hanya dengan sekali sentak, Agun pusing bukan main. Lama-lama ia hanya dapat melihat gelap. Kesadarannya menghilang.
Gamal dan Galung yang melihat kejadian itu menatap sengit ke arah si Bengal. Napas mereka tersengal-sengal, ini jelas bukan kali terakhir mereka akan bertemu! RKZ akan memberikan neraka ke Aliansi suatu saat nanti! Tunggu saja!
Buru-buru mereka menarik Agun yang pingsan dan meninggalkan lapangan Sonoz. Satu persatu anggota RKZ kabur mengikuti ketiga punggawa. Ada yang berlari, ada yang berjalan cepat, ada yang mengacungkan jari tengah sambil berjalan mundur. Semuanya pergi.
Pasukan Aliansi berteriak dan bersorak-sorai.
Don Bravo tersenyum melihat para anggota RKZ yang buru-buru kabur dengan penuh rasa kesal, penasaran, sekaligus takut. Mereka bingung harus berbuat apa saat melihat Nanto.
Sang pemakan bengkuang yang mengamati kejadian itu pun terkekeh, “Mereka pasti akan datang lagi. Dengan kekuatan yang lebih besar dan lebih mengerikan. Ini semua hanyalah lingkaran setan. Dendam berbalas dendam, yang kalah akan membalas yang kalah.”
Beni Gundul yang mendengar ucapan Don Bravo mengangguk setuju, ia menepuk pundak sang pemakan bengkuang. “Benar sekali dan itu sudah pasti. Itu artinya kita juga harus lebih siap, lebih kuat, dan lebih mengerikan dari sekarang. Mereka mengancam kita seakan-akan mereka adalah monster. Mereka tidak tahu kalau mereka juga sedang berhadapan dengan monster.”
Don Bravo terkekeh. “Monster apa yang kemana-mana bawa kunci Inggris?”
Beni Gundul tertawa.
.::..::..::..::.
Jurus yang pertama kali diperlihatkan dari ilmunya oleh Pasat pada sang Jagal adalah jurus pukulan beruntun yang dilakukan hanya dengan satu tangan – tangan kanan. Serangan itu cepat, buas, dan ganas. Melaju cepat tanpa jeda. Posisi tubuh menyamping, memudahkan untuk berkelit dan menghindar. Meski hanya dengan satu tangan, tidak berarti tangan kiri tetap diam. Selain untuk mengatur keseimbangan, juga disiapkan untuk serangan tak terduga atau penahan serangan.
Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!
Hunjaman ujung jari yang membentuk telapak kencang keras menerpa sisi lengan sang Jagal yang tak mengeluarkan balasan dan hanya bertahan. Tiap hentakan keras menghunjam bak sergapan baja pipih, padahal hanya sisi-sisi jari tangan, tapi sangat nyeri ketika tersambar. Entah apa yang sudah dilakukan oleh bocah ini untuk membuat tangannya hingga sampai bisa sekuat itu – Ki Kadar pasti tidak main-main saat melatih Pasat. Dia menyiapkannya untuk hal besar.
Napas Pasat diatur satu dua, dilepas dan ditarik panjang berulang dipadu dengan serangan cepat dan bertubi. Ki Kadar pernah bilang bahwa Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah awalnya adalah ilmu pedang di sebuah masa pada suatu ketika. Semakin kemari jurus ini diadopsi menjadi jurus tapak dan tendangan, karena penggunaan pedang semakin tidak praktis di masa modern. Oleh karenanya tangan dan kaki harus dilatih hingga bisa seefektif pedang.
Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!
“Huff! Huff!” Pasat mulai kebingungan mencari celah di pertahanan Jagal yang prima. Perbedaan kemampuan mulai terlihat. Meski Pasat sudah melepas jurusnya dan sang Jagal hanya bertahan, tapi tidak nampak peluang dan kelemahan dari sang punggawa JXG. Rapat sekali pertahanannya! Kualitas dan kuantitas pengalaman bertarung bertahun-tahun memang beda.
Meski begitu, Jagal juga sadar kalau pertahanannya tidak akan bisa bertahan lama dengan serangan membabi-buta Pasat yang berbahaya. Dia harus merubah arus serangan karena pertahanan terbaik adalah dengan menyerang.
Sulaiman Seno mengucap satu rapalan perlahan. “Wujud hana tan kena kinira.”
Tak menyadari Seno sudah mulai mengatur strategi, Pasat masih terus menyerang dari segala arah dengan hanya satu tangan yang bergerak lincah.
Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!
Jari jemari Pasat kian memerah karena tangannya yang sudah keras ternyata dihadang juga oleh lengan yang tak kalah keras. Baja menempur baja. Tapi kenapa tiba-tiba saja lengan Jagal bisa keras? Pasat sama sekali tak menduganya, sedangkan Jagal bisa melihat wajah heran tercermin di raut muka sang pemuda.
Sulaiman Seno mendengus, “bukan kamu saja yang bisa membuat tangan mengeras seperti baja, bocah.”
Setelah berkata seperti itu, Jagal mengubah arah tangan yang tadinya bertahan dan membuka jemarinya, membentuk cengkraman. Ketika sekali lagi Pasat mencoba menyerang dengan tapaknya, lengan Jagal menghindar, berputar dan satu kecepatan tinggi tangan pria tangguh itu lantas mencengkeram lengan Pasat yang belum sempat mundur. Serangan balik super kilat.
“Aaahh!”
Begitu cengkramannya tak terbalas, Jagal memutar lengan kanan Pasat ke arah berlawanan, memuntir lengan sekaligus badan sang pemuda hingga terbanting ke samping! Pasat kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh!
Bdddkkghhhh!
Tubuh Pasat roboh terlempar ke samping, ke arah sebuah makam berukuran pendek. Pundaknya memar menghantam pinggiran makam. Sang pemuda berambut coklat itu mengernyit mencoba menahan sakit, tapi tak boleh terlalu lama. Tangan Jagal masih mencengkeram erat lengan Pasat. Pemuda itu berusaha lepas dengan bergulir, tapi kaki sang Jagal bergerak lebih cepat, telapak kakinya melesat menghunjam bak torpedo.
Jboooookkghhh!
Wajah Pasat terpapar telapak kaki sang Jagal. Wajah ditendang, belakang kepala terantuk kencang terkena nisan. Pandangan sang pemuda berambut coklat langsung berkunang-kunang. Bak harimau menerkam kijang, Pasat lumpuh dalam satu terjangan. Jagal tak berhenti, ia semakin buas. Cengkraman tangan kiri memegang lengan, tangan kanan menerjang leher. Mencekik sang pemuda rambut coklat.
“Hkkkkkghhh!”
Pasat meronta tanpa hasil, dengan asa perlahan mulai menghilang lenyap ditelan kenyataan. Dia makin bingung bagaimana harus melawan. Inikah akhir jaman?
“Apakah kamu dari QZK? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa hubunganmu dengan Ki Kadar?”
Pasat menggeram, suaranya tak bisa keluar meski ia sudah mencoba. Tangan kirinya sudah berusaha keras tapi tak mampu menggoyahkan cengkraman tangan sang Jagal. Cengkraman tangan baja itu tidak main-main! Dia bisa mati kalau terus menerus dicekik seperti ini!
Bangsaaaaaaat!
“Aku tahu ilmu kanuragan yang kamu gunakan tadi hanya pernah dipraktekkan oleh Ki Kadar di kota ini. Yang tadi kamu lepaskan adalah bait pertama dari Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah yaitu Tapak Duka Nestapa. Apa hubunganmu dengan Ki Kadar? Apakah kamu QZK? Kenapa kamu mengikutiku?”
Demi apa Pasat mau menjawabnya! Pasat hanya mendelik.
Kalaupun dia mau menjawab, cengkraman tangan sang Jagal membuatnya tak mampu berucap. Si bajingan satu ini memang semprul. Memaksanya bicara padahal sedang mencekik lehernya! Gimana bisa jawab coba?
Pasat tahu dia harus mengeksekusi gerakan dengan tangkas dan berpikir dengan lebih cepat. Apa yang pernah dipesan oleh Guru Rambut Perak-nya? Dalam sebuah pertarungan, rencanakan dua tiga langkah gerakan ke depan, pertimbangkan opsi dan implikasinya di angan. Seperti halnya motor, petarung harus selalu selangkah di depan – bahkan lebih.
Pandangan mata sang pemuda rambut coklat melirik ke arah kanan dan kiri, melihat dan mengamati posisi dan lokasi dalam sekelebatan mata saja, mencoba mencari peluang.
“Hkkgh!”
Pasat mencoba sekali lagi. Kali ini kakinya yang masih bebas mencoba bergerak. Mampukah ia menggunakannya untuk menendang selangkangan sang Jagal?
Jbkgh!
Ketika kaki kiri Pasat yang bebas mencoba naik, kaki Jagal juga bergerak untuk menahan dan mengunci gerakannya! Serangannya gagal dan malah berbalik kakinya yang terkunci! Wedhus! Sama sekali tidak ada celah kah? Cengkraman tangan Jagal makin kencang mencekik leher Pasat. Arus napasnya hampir terputus. Gawat, dia harus bertindak cepat kalau tidak mau mati konyol!
Fokus, fokus, fokus!
Apa yang disadari oleh Pasat kemudian? Ia menyadari kalau tangan kirinya masih bebas, sedangkan kedua tangan jagal tidak. Manfaatkan.
Jbooooogkkh!
Pasat menghajar perut sang Jagal yang tak terlindungi. Jagal mengernyit karena kaget juga nyeri, tapi cengkramannya tak lepas. Pasat senang karena setidaknya ada reaksi! Ulangi lagi! Ulangi terus sampe modaaaaaaaar!!
Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh! Jbooooogkkh!
Cengkraman tangan Jagal merenggang. Ia mundur karena sodokan bertubi di perut membuatnya kehilangan fokus untuk bertahan dari serangan sang pemuda berambut coklat.
Tangan kanan Pasat mencoba meronta untuk lepas.
Berhasil.
Kedua tangan Pasat segera bergerak sejajar di depan dada. Jemari dan telapak tangannya lurus dan tegak, bagai pedang. Pasat mulai menarik kedua tangannya ke bawah, lalu dilepaskan ke atas menghunjam dada dan tenggorokan sang Jagal dengan kuat dan berkecepatan tinggi.
Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!
Berulang, diulang, diulang, diulang, diulang, dan kembali diulang. Serangan tangan Pasat benar-benar menyesak dada dan leher sang Jagal, membuat pria itu tersedak dan melepaskan cengkramannya pada sang pemuda berambut coklat.
Pasat tahu dia tak akan memenangkan pertarungan ini. Sulaiman Seno lebih tangguh, lebih sigap, lebih tangkas, dan lebih taktis. Dia harus melakukan hal yang tak terbayangkan oleh sang Jagal untuk bisa lepas dari terkamannya. Pasat berguling ke samping dengan cepat, bergulir, mengangkat tubuh, dan langsung melompat dari satu makam ke makam lain memanfaatkan kelenturan tubuhnya dan juga memanfaatkan nisan yang besar dan kokoh sebagai pijakan dan tumpuan.
Seno memegang lehernya yang tercekat setelah disodok Pasat tadi. Ia mengumpat karena bisa saja dia tadi mati kalau posisi serangan si pemuda rambut coklat telak menghajar jakun. Untung saja hanya tipis mendesak karena dia sempat mundur. Wasu. Beginilah kalau tidak lengkap menguasai Kidung, dia tak bisa membuka gerbang pertama yang meningkatkan kewaspadaan. Bisa-bisanya dia didesak bocah bau kencur begini!
Jagal berteriak kencang untuk melonggarkan tenggorokan sekaligus meningkatkan Ki dan mengalirkannya ke seluruh tubuh. Sembari mendengus-dengus bak binatang buas, mata sang Jagal menelisik ke kanan dan ke kiri. Memindai wilayah makam untuk mencari posisi sang sasaran. Kemana bocah itu sekarang?
Tidak kemana-mana.
Setelah berhasil bergulir dan lolos dari cengkraman tangan baja Seno, Pasat melompat dari satu makam ke makam lain untuk mengembalikan napas sekaligus mengatur strategi. Dia tak pernah lupa satu pesan sang guru. Saat bertarung dan melepaskan tindakan, atur strategi untuk dua tiga gerakan ke depan, perhatikan juga opsi seandainya serangan itu gagal. Inilah hasilnya.
Meski sudah berusaha mengalirkan Ki, tapi Jagal tak bisa mengingkari kalau lehernya kesakitan. Bocah itu menguasai Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah – setahu Jagal ilmu kanuragan ini punya lima jurus utama yang disebut bait. Bait pertama sudah ia lepaskan tadi, jurus tangan pedang baja yang disebut Tapak Duka Nestapa.
Apa selanjutnya?
Secara tiba-tiba satu tendangan kencang merombak wajah sang perwira JXG. Sebuah tendangan setengah lingkaran yang diledakkan oleh Pasat sembari melompat dari atas kubah satu makam berukuran besar. Sembari memutar tubuh, tendangan itu semakin kencang dengan energi dari putaran yang dilakukan.
Jduaaaaaaaaaaagkh!!
Seno terlempar ke samping saat kepalanya terpapar tendangan. Posisi tubuhnya goyah dan tergeser, tapi ia masih tetap teguh berpijak. Saat kembali tegak, lagi-lagi ia tak dapat melihat Pasat. Sang Jagal mendengus, kecepatan bukan masalah. Ia hanya tinggal membuka gerbang…
Jduaaaaaaaaaaagkh!!
Sang Jagal terhenyak ke samping. Tendangan tepat di rahang, membuat tubuhnya melayang. Bukan rasa sakit yang membuat sang Jagal penasaran, tapi rasa malu bukan kepalang! Bagaimana mungkin si pemuda berambut coklat yang lemah itu bisa menendangnya dengan kekuatan seperti ini dua kali? Mempermalukan dirinya!
Merasa di atas awan, Pasat belum mau berhenti.
Ia menekuk kakinya ke belakang, memutar badan, dan melepaskan tendangan sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, bertubi bak gattling gun ke arah satu sasaran yang sama. Rahang, wajah, badan, dan lengan sang Jagal, menumbuk perwira JXG hingga jatuh ke satu makam dengan pinggiran semen.
Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!
Seno bahkan harus mengangkat tangan untuk menahan serangan yang tak bisa ia elakkan itu. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya yang tak dapat sempurna menguasai Kidung Sandhyakala. Bukan rasa sakit, tapi rasa malu karena dirinya dijatuhkan oleh bocah yang masih hijau.
Sulaiman Seno mengerahkan kemampuannya. Sebelum ia benar-benar jatuh, telapak tangannya sudah menghantam makam. Digunakan sebagai tumpuan, ia memutar badan, melenturkan tangan, dan segera melepaskannya dengan sekuat tenaga.
“Angkara gung ing angga anggung gumulung.”
Bledaaaaaaaaaam!
Satu kubah makam terbongkar. Meski tidak hancur, tapi remuk di beberapa bagian. Jelas bukan itu yang diinginkan sang Jagal. Yang diinginkannya hanya Pasat. Paling tidak hantaman tadi mencegah ia jatuh secara memalukan. Sekarang kemana perginya bocah itu? Tiba-tiba saja menghilang tak terlihat?
Mau main-main? Boleeeeh! Sulaiman Seno berdiam diri dan memejamkan mata, bibirnya berbisik mengucap rapalan. Ia memusatkan perhatian dan tak berapa lama kemudian mendengus kesal. Ia kesal karena sejak tadi merasa dipermainkan oleh permainan bocah.
Ternyata hanya begini saja.
Dengan satu lompatan tinggi, Seno menerjang ke arah kubah satu makam besar yang menaungi dua makam dengan nisan berkepala dua malaikat. Sesampainya di sana, ia lalu melepaskan pukulan ke salah satu bagian dinding kubah yang lapang.
Bledaaaaaaaaaam!
Pukulannya tidak menghancurkan makam, tapi tenaganya menyalur ke belakang kubah.
“Haaaaaaaaaargh!” terdengar teriakan menyayat. Pasat yang awalnya menggunakan kubah demi untuk sembunyi dan meloncat, kini terhenyak ke belakang dengan rusuk terhampar Ki yang diledakkan oleh sang Jagal dari balik dindingnya.
Sialan! Tidak boleh semudah ini kalah!
Sempat terguling dan terjatuh, buru-buru Pasat bangkit dan melesat. Dia masih berusaha menggunakan strategi hit and run.
“Kemana lagi, bocah!?” Sang Jagal meloncat dan menendang.
Jboookkgh! Brrkgh!
Satu makam terkena tendangan, lapisan semennya ambyar. Pasat meloncat menjauh, mencoba menghindar dari serangan. Mati-matian ia melompat.
Jboookkgh! Brrkgh!
Satu makam lagi nisannya terlepas karena serangan Jagal. Pasat tak ingin melihat ke belakang. Jelas dia tidak mau bernasib seperti nisan itu! Ia pun melompat, melalui kubah, menyusuri lorong, dan menaiki pagar beton. Dari sudut ke sudut, loncat, lari, dan lalui semuanya.
Jboookkgh! Brrkgh! Jboookkgh! Brrkgh! Jboookkgh! Brrkgh!
Entah sudah berapa makam yang harus diperbaiki karena ulah Jagal yang melepaskan amukannya. Tapi dia masih belum berhasil menjangkau Pasat. Mereka berkejar-kejaran dengan kecepatan tinggi, melompat, menghindar, bertaut, bertengger, dan berputar.
Sampai akhirnya sang pemuda berambut coklat itu berdiri di tepian pagar terjauh. Tepat di bibir jurang di samping sungai kering berbatu.
Jagal mendengus, lalu mengangkat tangan dan merapal satu kalimat. Ia membuka gerbang keenam. “Lir handaya paseban jati.”
Jbooom!
Jarak mereka cukup jauh, tapi tenaga sang Jagal sedemikian besarnya. Sentakan Ki-nya membadai. Pasat tak bisa menghindar. Pemuda berambut coklat itu hanya bisa terbelalak saat tubuhnya terbang, ia berteriak kencang, tapi terlambat. Tubuhnya terlempar ke belakang, terjun bebas ke arah sungai kering dengan tebing terjal.
Pasat memejamkan mata.
Akankah ia mati saat ini juga?
Sang pemuda berambut coklat itu pun menghilang di batas tebing setelah terjatuh dari pagar ke arah sungai kering dengan batu-batu raksasa. Dari ketinggian ini, dia tak akan bisa selamat.
Jagal meloncat sekali lagi. Ia sampai di tepian ujung terluar makam dengan mudahnya. Pria itu melongok ke bawah, ia bersiap pada kemungkinan akan melihat tubuh Pasat yang sudah pecah kepalanya di atas bebatuan.
Seno mengernyit.
Dia tak melihat apa-apa, tak ada siapa-siapa di bawah sana. Bocah itu tak kelihatan. Kepalanya melongok ke kanan, melongok ke kiri. Tapi dia tidak menemukan apapun. Si bangsat itu bisa lolos dari jurang sedalam ini? Bagaimana bisa?
“Kampret.”
Bkgh!
Sulaiman Seno mendengus kesal dan menghantam tembok beton karena kesal. Ia tak dapat melihat tubuh sang bocah berambut coklat brengsek tadi di mana pun. Tidak mungkin ia bisa pergi dengan cepat dan selamat semudah itu kalau melihat posisi jatuhnya.
Jadi apa yang sebenarnya terjadi?
Ponsel Jagal berdering.
Tentu saja dia tidak mengangkatnya karena masih penasaran dengan arah kepergian Pasat, alih-alih mengangkat panggilan yang masuk, sang Jagal justru mengamati sungai di samping makam. Sang pemuda berambut coklat itu bisa merepotkannya kelak, jadi sebisa mungkin segala masalah dengannya dituntaskan segera, ia harus dibungkam. Tapi Pasat tak kelihatan di arah manapun, di sungai di bawah tidak mengalir banyak air, batu-batu menonjol besar terlihat bak monster yang siap menghajar kalau ada yang terjatuh ke sana.
Sepertinya tidak mungkin dia jatuh atau terjun ke bawah, tapi bagaimana caranya dia bisa selamat? Ajaib kalau memang bisa. Pasti sangat-sangat beruntung. Pasat menghilang bak ditelan bumi.
Jagal mendengus kesal karena masih penasaran. Ke mana perginya bocah itu? Bahkan Ki-nya pun tak bisa terbaca oleh sang Jagal.
Smartphone Jagal tak berhenti menyalak dan terus menerus bergetar, bagai bocah kecil yang merengek karena ingin diberi perhatian.
Jagal menarik napas panjang. Apa-apaan sih? Mengganggu saja.
Dengan kesal pria menyeramkan itu menilik ke layar dan melihat pesan singkat yang muncul di deret notifikasi. Hanya butuh beberapa detik sebelum matanya terbelalak menatap pesan yang muncul. Tanpa menunggu lama, sang Jagal langsung melesat pergi.
Ini bukan perkara main-main!
Non Nada diculik!
.::..::..::..::.
“Jadi bagaimana keputusannya? Kita tidak bisa berlama-lama, hari sudah menjelang malam.” tanya Simon. Sang pemuncak gunung menjulang melirik ke luar jendela dan melihat langit kian gelap. Sudah seharian mereka berada di markas Sonoz ini.
Nanto mengangkat wajahnya. ia menatap Beni Gundul, Rao dan Simon, lalu mengangguk – menandakan ia sudah menemukan suatu cara. “Kita tidak bisa menyelesaikan semua urusan secara bersamaan tanpa membagi tugas. Sepertinya rencana yang semula sudah sesuai dengan pengaturan yang kita butuhkan dengan sedikit perubahan.”
Satu persatu anggota Lima Jari yang tersisa duduk di meja bundar yang terdapat di ruangan pimpinan di markas Sonoz. Selain Lima Jari, di sisi mereka ada Simon, Rao, Don Bravo, dan Beni Gundul. Mereka semua duduk saling berdampingan seakan-akan membentuk sebuah kesatuan – para ksatria meja bundar, Knights of the Round Table.
Mereka semua memusatkan perhatian pada si Bengal.
“Tarung Antar Wakil akan dilangsungkan di akhir pekan. Itu artinya harus ada tiga wakil Lima Jari yang akan ikut. Kita masih belum pasti siapa yang akan diturunkan oleh Dinasti Baru, tapi kita bersiap saja. Hageng, Deka, dan aku yang akan turun menghadapi mereka. Bian, Beni Gundul, dan divisi Patnem khusus mencari informasi mengenai PSG dan Roy.” Nanto mulai membagi tugas. “Rao dan Simon tentu saja harus mengamankan basis masing-masing di DoP dan Sonoz dari serangan susulan yang mungkin akan dilakukan oleh RKZ. Kita tidak tahu kapan mereka akan menyerang.”
Rao dan Simon saling berpandangan dan mengangguk.
“Fair sih. Aku juga sedikit khawatir dengan kiprah RKZ, mereka bisa datang kapan saja. Dengan Hageng ikut Tarung Antar Wakil, maka Sonoz butuh pimpinan di tempat.” Simon bersidekap, “Meski begitu kami dari Sonoz akan selalu siap jika Patnem yang bertugas mencari info membutuhkan bantuan pasukan.”
Rao menimpali, “DoP juga siap membantu. Tinggal kontak lewat WA, dan kami langsung berangkat. DoP juga akan menjadi tameng Lima Jari di Tarung Antar Wakil – kami akan hadir di sana nanti.”
“Kalau begitu formasinya sudah fix ya. Aku hanya perlu bergabung kembali ke DoP. Lumayanlah, aku bebas tugas dari Tarung Antar Wakil. Hehehe.” Don Bravo yang sedang berdiri memeluk bokken dan bersandar di dinding terkekeh ringan.
Nanto tersenyum dengan seringai aneh – sepertinya dia punya rencana, “Jangan senang dulu, ferguso. Pekerjaan kita banyak, jadi aku punya satu tugas khusus yang cocok untuk anggota yang punya kapabilitas bak ninja sepertimu, Don Bravo-san.”
“Oh?” sang pemakan bengkuang bangkit minatnya, senyumnya terkembang. Tugas apa yang akan diberikan oleh si Bengal padanya? Don Bravo terkekeh. “Sepertinya menarik. Aku siap mendengarkan. Bahkan kalau penjelasan tugasnya panjang lebar sampai malam tiba pun akan aku dengarkan. Hehehe.”
“Begini…”
.::..::..::..::.
Rao membuka pintu dengan perlahan, berharap Nuke sudah beristirahat di kamar saat ia pulang. Terlebih hari sudah menjelang malam. Sudah waktunya tidur. Rao berjingkat supaya tidak menimbulkan suara yang kencang.
Tapi saat sang Hyena Gila melangkah masuk ke ruang tengah, ia justru langsung bertemu dengan Nuke yang baru saja mandi. Kok bisa tahu dia baru saja mandi?
Karena rambutnya masih basah sehabis keramas dan Nuke hanya mengenakan handuk untuk melilit tubuh indahnya. Lagi-lagi hanya mengenakan handuk saja. Aduduh. Bagian atas bawah putih mulus, paha udah seperti ubin masjid. Kenapa seperti ini yang menyambutnya pulang? Rao menarik napas panjang.
Bahaya kalau seperti ini terus.
Tenangkan diri… tenangkan diri… atur napas, biarkan mengalir lepas. Jangan pusatkan pikiran pada body Nuke yang seksi. Jangan pusatkan pikiran pada gundakan empuk yang menjadi penyangga handuk yang tak rela ditutup dan terpaksa menggantung. Jangan pusatkan pikiran pada kaki jenjang dan paha Nuke yang seputih pualam itu. Jangan pusatkan pikiran pada kon…
“Eh, sudah pulang, Mas!?” Nuke kaget.
“…tol.” Rao terhenyak kaget karena Nuke kaget, dan lebih kaget lagi saat kata-kata aneh keluar dari mulutnya ketika dia sendiri kaget.
“Tol?”
“A-aku tadi makan sayur kol.”
“Ha? O-ok… sayur kol?”
“I-iya. Makan daging kambing dengan sayur kol. Sayuur kol sayuuur kol. Makan daging kambing dengan sayur kol.” Gebleg. Oalah juuum juuum. Ngemeng opo tah kowe ki? Rao berdehem untuk mengurangi rasa tidak nyamannya. Dia mengalihkan pandangan dan meletakkan jaket yang ia kenakan di gantungan belakang pintu, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik sedikitpun ke arah Nuke yang seksinya bikin mimisan.
Tapi tubuh seseksi itu masa ya tidak dilirik to. Rugi banget.
“Dari mana saja, Mas?” tanya Nuke.
Rao mendengus, dia sedang berusaha keras untuk tidak melirik ke arah Nuke yang hanya mengenakan handuk. Tapi begitu Nuke bicara, kepalanya langsung menengok ke samping. “Dari mana aku pergi kan bukan urusanmu. Begini-begini aku ini orang yang lumayan penting. Kalau mau tidur dulu ya sana. Tidur saja dulu.”
Nuke mengangguk. Wajahnya menunjukkan raut muka kecewa dengan jawaban sang Hyena Gila yang terkesan dingin dan galak. Rao yang sempat curi-curi pandang melihat perubahan wajah sang gadis jelita. Kenapa kok dia kecewa? Apa ada yang salah?
Rao berdehem, “kenapa memangnya?”
“Ah ti-tidak apa-apa, kok. Aku tahu kamu cukup sibuk, Mas.”
Meski menanyakan perihal lain, tapi pandangan Rao mau tidak mau langsung fokus ke bagian atas tubuh Nuke yang tidak tertutup handuk. Pundak putih seperti tertuang susu milik Nuke membuat kepala Rao berkunang-kunang. Dia jadi teringat iklan minuman susu sapi cap beruang yang iklannya naga. Gawat ini gawat. Duh ampun. Ni anak kenapa juga mesti seksi banget sih?
Gleg.
Suara Rao meneguk ludah sendiri menjadi nyaring di suasana yang sepi. Keduanya saling bertatap mata. Barulah saat itu Nuke sadar kalau dia hanya mengenakan handuk.
“Ya ampuuuun! Ma-maaf, Mas.”
“Nga-nganu…” Rao menjadi merasa bersalah, “A-aku mau…”
“Astaga! Ma-maaf, Mas. Aku ganti baju dulu.” Wajah Nuke yang baru menyadari kalau sedari tadi dia hanya mengenakan handuk langsung memerah bak tomat yang diblender dengan cabe. Raine nganti abang koyo gendero londo. Buru-buru gadis itu berlari kecil untuk mengenakan pakaian.
Plak.
Rao menepuk dahinya dan geleng-geleng kepala. Dia gadis yang butuh bantuan untuk menata hidup kembali dan lepas dari segala masalah yang menimpa. Bukan untuk dijadikan obyek birahi. Oalah.
Saat melalui ruang tengah barulah Rao melihat sesuatu di atas meja kayu yang biasa digunakan untuk menaruh laptop. Di sana sudah ada nasi dan beberapa lauk seperti ayam goreng, sop, dan tempe garit. Ini… makan malam?
Gadis itu… apakah dia yang menyiapkan ini semua?
Ada dua piring yang kosong dan saling menumpuk, di atasnya ada dua sendok dan garpu.
Nuke pasti menunggunya pulang dan tidak makan sampai sekarang. Mungkin sudah sejak sore tadi.
Ya ampun.
Rao menghela napas panjang. Kadang-kadang pikiran busuk, jahat, dan egois membuat kabut yang menutup kejernihan hati. Setelah cuci tangan, Rao duduk di depan meja kecilnya – menunggu Nuke datang.
Tak berapa lama kemudian, gadis itu muncul. Ia mengenakan sweater lengan panjang milik Rao dan celana pendek mungil yang tetap tidak mampu menutup keseksian paha mulusnya. Tapi kali ini Rao tidak mempedulikan keseksian Nuke.
Si Hyena Gila tersenyum. “Kamu yang nyiapin?”
Nuke mengangguk, wajahnya memerah. “Mak-maksudku supaya Mas hemat juga, tidak selalu beli makanan di luar. Bahan-bahan ada di warung depan situ dan harganya lebih murah. Kompor, gas, semua juga lengkap, jadi…”
Rao berdiri, mendekati Nuke tanpa melepas tatapan matanya.
“E-eh… Mas?” wajah Nuke memerah.
Tangan Rao menggenggam tangan gadis itu, lalu menggandengnya untuk duduk bersama. Saling berhadapan di depan meja kecil.
“Temani aku makan ya.”
“Bukannya tadi katanya sudah makan sayur kol?”
“Aku sudah lapar lagi. Yuk makan. Boleh minta tolong ambilkan nasi secukupnya?”
“Si-siap.”
Wajah Nuke pun berubah menjadi cerah. Ia menjadi lebih bersemangat. Saat gadis itu menyiapkan nasi untuk sang Hyena Gila, Rao mengamati wajah cantiknya dan merasa ada ketenangan dalam batinnya. Ada rasa tentram yang berbeda dari biasanya. Gawat juuum gawaaaat. Terlalu mempesona memang si Nuke ini.
“Terima kasih,” ucap Rao perlahan.
Ucapan yang sangat lembut.
Nuke tidak menengok ke belakang dan melihat langsung ke wajah Rao. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk tanpa membalikkan badan. Ia tidak ingin Rao melihat wajahnya yang memerah parah.
“Sama-sama.”
Jawaban yang juga sangat lembut.
Keduanya melalui malam dengan makan bersama.
Malam telah tiba.
Kota mulai sepi, orang-orang sudah mengunci diri di petak rumah mereka, menyaksikan televisi, melanjutkan pekerjaan, bermain game, berendam di air hangat, bersenda gurau dengan keluarga. Begitu juga dengan si Bengal, dia akhirnya pulang juga ke kontrakannya setelah seharian mengerjakan banyak hal. Siang sampai sore di Sonoz, malam bekerja di kafe, dan sekarang akhirnya beristirahat.
Si Bengal memainkan kunci kontrakan di tangannya. Hari ini dia pulang agak larut setelah bekerja di kafe, ia masih sempat berlatih dengan anak-anak Lima Jari untuk mempertebal kemampuan mereka sekaligus mengatur apa yang akan dilakukan sepanjang hari esok saat berhadapan dengan Dinasti Baru di ajang Tarung Antar Wakil.
Sembari memutar otak dan strategi untuk esok hari, Nanto menaiki tangga di luar rumah untuk naik ke lantai dua yang langsung menuju teras depan kontrakannya.
Tak terlalu banyak lampu di halaman depan hingga ke rumah-rumah tetangga, sehingga jalan naik ke kontrakannya akan sangat gelap jika lampu tak dinyalakan. Bayangkan saja jika tiba-tiba ada sosok makhluk ga jelas yang nongol di atas sambil bilang…
“Halo.”
Nanto nyaris meloncat mundur karena kaget. Dia sama sekali tak menduga akan bertemu dengan seseorang di depan kontrakannya. Dia tidak bisa melihat apa-apa karena minim lampu, yang ada hanya penerangan seadanya yang menampilkan sesosok orang dalam wujud siluet.
Siluet itu mengejutkan si Bengal.
Terkejut, bukan takut.
Jelas Nanto terkejut lah. Siapa juga yang mau pulang larut malam dalam keadaan lelah, sewaktu pulang ke rumah bukannya bertemu dengan keluarga tercinta malah ketemu biang kerok model beginian. Pait pait pait. Eh, tapi ini penampakan atau manusia beneran sih?
“Hai.”
Manusia. Untunglah. Itu suara cewek.
Nanto menarik napas panjang. Woalah. Siapa itu? Si Bengal menatap kaget ketika akhirnya cahaya lampu yang minim menyinari wajah cantik di depannya. Mau tidak mau Nanto pun terkejut saat menyadari siapa yang sedang menunggunya hingga larut malam begini.
“Kamu!? Kok kamu ada di sini?” tanya Nanto.
“Kenapa? Tidak boleh?”
“Ya nggak gitu juga, tapi semalam ini? Kamu sendirian? Sudah lama?”
“Sudah lama. Aku sudah hampir tiga jam di sini. Ga tau harus kemana lagi. Cuma tempat ini yang bisa aku pikirkan.” Sosok itu mulai mengungkapkan keluhannya. “Aku tidak bisa tidur, tidak bisa rileks, tidak bisa berpikir logis, tidak bisa tenang dan tidak bisa menentramkan hati sendiri. Pikiranku kacau… terlebih setelah Roy menghilang. Pokoknya kamu yang harus bertanggung jawab.” ucap seseorang itu dengan nada bergetar sembari mencoba berdiri dari posisi jongkoknya. Ucapannya sebenarnya dimaksudkan untuk bercanda, tapi entah kenapa nadanya terdengar menjadi ungkapan dari hati yang terdalam.“Aku jadi seperti ini terutama setelah putus dari kamu.”
Ternyata sosok itu adalah Ara, mantan kekasih si Bengal.
Nanto mendengus dan tertawa kecil, berusaha menganggap gadis itu hanya bercanda. Toh mereka sudah jalan dengan orang lain sekarang. Nanto dengan Kinan, dan Ara dengan Deka.
“Ayolah, Ra…. itu kan masa lalu. Sudah lama sekali. Ngapain juga diingat-ingat lagi. Kita sudah berjalan di jalur rel masing-masing. Kalau kamu galau dan sedih – kamu seharusnya tidak datang ke sini, kamu seharusnya datang ke Deka. Kalian kan sudah tunangan, sudah semestinya bisa berbagi perasaan… ayolah…, jangan seperti ini. Kamu jauh lebih kuat dari ini, kan? Lagian ngapain juga kesini malam-malam? Serem aja cewek sendirian. Papa Mama kamu tahu?”
“Tahu. Tapi mereka tahunya aku menginap di rumah teman cewek.”
“Duh, mana bohong pula.”
“Demi siapa coba? Demi ketemu kamu.” Ara merengut dalam gelap. “Aku hanya butuh berada di dekatmu malam ini. Kita tidak perlu ngobrol, tidak perlu saling dekat, tidak perlu melakukan apa-apa. Aku hanya ingin berada di dekatmu semalam ini saja. Tidak kurang dan tidak lebih. Sudah itu saja. Apa ya tidak boleh?”
Nanto geleng-geleng kepala, dia membuka pintunya. Cuaca di luar sedang dingin-dinginnya dan Ara sepertinya sudah menunggunya selama berjam-jam. Tidak baik membiarkan gadis itu pulang malam-malam begini dengan kondisi yang seperti ini. Setidaknya dia bisa menawarkan kopi atau teh hangat – atau bahkan sekalian membiarkannya tinggal dan tidur di sini semalam.
“Ya sudah, kamu boleh tidur di sini malam ini. tapi hanya untuk malam ini saja, aku tidak mau ada kesalahpahaman sama orang tua kamu, atau sama si Deka. Kita tidur di kamar yang berbeda. Aku akan tidur di depan, kamu di tengah,” desah Nanto akhirnya mengalah, dia tidak tega meminta Ara pulang larut malam, dan ia sudah sangat lelah untuk mengantarkan gadis itu.
Ara mengangguk, ia berlari kecil menghampiri si Bengal dan tiba-tiba saja memeluknya!
“Eh!? Ra! Apa-apaan sih!?”
Nanto mencoba mendorong lembut agar Ara melepaskan pelukannya, tapi gadis itu masih tetap memeluknya dengan nekat. “Aku tidak tahu lagi harus kemana dan harus bagaimana. Semuanya sepertinya tidak berjalan dengan baik sesuai keinginanku. Deka dan aku… saat ini kami sedang tak sejalan, jadi kami memutuskan untuk break dulu. Menurutmu apakah itu keputusan yang benar?”
Nanto sekali lagi menggelengkan kepala mendengar kabar itu, dia mencoba lepas dari pelukan sang mantan. Kali ini berhasil, tangan Ara lepas dari badan si Bengal.
“Aku… jujur tidak tahu apa-apa tentang bagaimana membina hubungan yang baik. Kamu jadi saksinya kan. Jadi sepertinya aku bukan orang yang tepat untuk memberimu solusi. Tapi kalau boleh aku menyarankan sih, sebaiknya kamu perbaiki dulu apa-apa yang salah pada hubunganmu dan Deka. Kalian berdua orang baik dan sama-sama jadi temanku sejak lama. Kalian berhak bahagia. Perjuangkan hubungan kalian, masih banyak kesempatan.”
Ara terdiam seribu bahasa, ia menunduk, dan akhirnya berucap lirih. “Biarkan aku tidur di sini malam ini. Kamu sudah seminggu tidak ada kabar. Kinan juga tidak bisa dihubungi. Dasar kalian ini, apa tidak tahu kami-kami ini sedang sangat khawatir? Belum lagi masalah Roy.”
“Maafkan aku. Aku memang bersalah kalau soal itu. Tapi sungguh kami tak dapat menggunakan ponsel selama di sana. Aku juga melakukan tapa brata di gua. Jadi fokus kami memang…”
“Iya aku tahu. Tapi kamu pikir kalau tidak ada kabar begitu aku tidak khawatir? Tidak bertanya-tanya di mana kamu berada? Aku khawatir banget tahu. Apalagi setelah apa yang terjadi pada Roy. Aku takut kehilangan kamu lagi. Aku benar-benar takut kalau kamu…”
“Ara…”
Gadis itu terdiam, ia melelehkan segaris air mata dan mengangguk. Dia mengkhawatirkan orang yang salah, dengan cara yang salah, dan punya perasaan yang mungkin ditujukan untuk orang yang salah. Tapi cinta sebenarnya tak pernah salah.
Nanto tersenyum dan mengelus rambut sang mantan. “Masuklah. Di luar dingin. Mau kopi?”
Ara tersenyum dan mengangguk.
Keduanya masuk ke dalam.
Pintu pun ditutup.
Pertemuan dadakan kala malam telah mulai larut diadakan di dalam sebuah rumah makan jadul sederhana yang lokasinya ada di jalan utama kota. Disebut rumah makan tidak tepat karena hanya menyediakan lawuh sego kucing, disebut warung tidak tepat karena ruangnya cukup besar. Mungkin lebih tepat disebut tempat makan.
Tempat makan bergedung jadul itu tepat berada di seberang Pasargede, di depan sebuah bioskop tua yang telah lama gulung tikar. Keutuhan bangunan yang usianya puluhan tahun masih dipertahankan, antara demi estetika, tidak diperbolehkan memugar, ataupun memang tidak ada dana untuk memperbaiki. Bagi pengunjung, gedung tua yang digunakan sebagai tempat makan itu bagaikan sebuah perwujudan kenangan akan masa yang telah lampau.
Mungkin berpuluh tahun yang lalu, ada juga orang-orang yang makan di tempat yang sama, yang belum merasakan kebebasan berbicara, yang mungkin masih berbatas laku karena berada di bawah kendali kompeni atau nippon, atau lebih maju lagi hidup di saat manusia mulai menelusuri keajaiban kehidupan dengan ilmu sains, atau sekedar duduk-duduk sambil ngopi dan mengedipkan mata penuh goda pada gadis-gadis yang berbelanja di pasar.
Satu kursi disiapkan di pojok, sedikit jauh dari pengunjung lain. Piring-piring lelawuhan lengkap di atas meja. Berbagai macam gorengan, sate-satean, hingga ceker bacem disediakan. Murah harganya mewah rasanya. Sak lungguhan iso nganti wareg ra nganggo ngelu piro mbayare.
Dua orang duduk di sana, berbincang, menyeruput kopi, tertawa, bercanda, dan tidak ambil pusing mengenai apapun. Satu orang mengenakan pakaian sederhana – hanya mengenakan kaus warna putih dan celana pendek warna coklat muda dan sendal jepit, sementara yang satu lagi menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan dan sesekali mengenakan masker saat tidak makan. Fitur unik yang ditampilkannya adalah ia mengenakan kacamata bulat dan menggunakan tongkat unik dari akar kayu selasih sebagai alat bantu jalan.
“Ingat. Jangan melakukan apa-apa pada gadis itu kecuali aku minta. Aku sudah punya rencana yang kususun di kepala. Jadi jangan pernah coba-coba mengacaukan semuanya hanya demi hasrat kontol bosok kalian,” kata sang pembawa tongkat dengan sopan, tenang, namun mengancam. Tongkatnya ia ayunkan pelan ke kaki Bambang Jenggo – sang pria berkaus, untuk sekedar menepuknya. “Aku tidak peduli kalau kalian mau nge-rudopekso gadis lain – tapi jangan gadis ini. Gadis ini istimewa.”
“Heheheh. Tentu saja kami paham, Bos. Dia bukan cewek sembarangan. Akan kami pastikan kami memberikan cewek ini pelayanan prima. Tempat penyekapannya spesial, semua ada, makanan tiga kali sehari. Anggota yang menjaga juga aku pastikan bukan yang suka perkosa cewek.” Bambang Jenggo tertawa dan memastikan keamanan tahanannya. “Tapi sebenarnya… kita juga tak akan menahannya terlalu lama, kan?”
“Tidak… tidak… kita hanya butuh sekitar seminggu dua minggu saja. Berbahaya kalau terlalu lama, bisa-bisa merubuhkan langit ke atas kepala kita. Kita hanya terpaksa menahan gadis itu lebih lama, kalau ada perhitungan kita yang meleset. Itu sebabnya kita harus menjalankan rencana sesuai kebutuhan dan sebisa mungkin menafikan Plan B dan Plan C.”
“Mantep. Semua sudah diatur sedemikian rupa. Sampeyan pancen ngeten. Anda memang begini.” Bambang Jenggo mengangkat dua jempol tangannya. “Hanya saja…”
“Hanya saja? Hanya saja opo?” si orang misterius melirik ke arah Jenggo dengan cibiran yang tak terlihat karena ia memakai masker, sekali dua kali dia mengetukkan tongkat ke tanah. “Apa? njaluk bayaran? Minta bayaran? Rupamu kuwi lho, Mbang. Wes konangan. Gak jauh-jauh dari duit.”
“Heheheheh. Tau aja, Bos – kami memang minta bayaran, tapi kami tidak mau duit. Pasukan RKZ pasti sedang sange setengah mati karena ada cewek cakep nganggur di rumah sekap tanpa bisa melampiaskan. Meski yang menjaga adalah orang-orang yang aman, tapi tetap saja yang lain butuh pelepasan – bisa berbahaya kalau terus menerus dikekang.”
“Maksudmu kamu butuh lonthe?”
“Ladalah, pancen njenengan paling paham. Hahaha. Ya bukan aku yang butuh, Bos. Pasukanku yang butuh. Kalau aku sih dikasih ya ga bakal nolak. Hahahah.”
“Woo… kopet. Hahahah.” Si pria bertongkat tertawa, “bawa pasukanmu ke Hotel Limun di Pasar Bunga. Masuk gang lewat warung Suparman, ketemu atau cari orang bernama Lek Tar, dan bilang aku yang mengutus kalian. Seminggu ke depan silakan pakai saja lonthe-lonthe yang ada di sana. Batas sehari sepuluh orang yang datang dan hanya boleh sekali jajan, tapi bebas mau pakai yang mana saja. free of charge. Gratis. Piye? Kurang apikan opo aku iki? Kurang baik bagaimana lagi?”
“Mantaaap. Lha kalo begini kan kita juga jadi semangat, Bos.”
“Rupamuuuu, Mbaaaang… Mbaaaang…”
Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak. Tapi dia gembira karena usahanya mencari asupan enak-enak di-acc oleh laki-laki misterius itu.
“Tapi sebenarnya kenapa harus melakukan segala repot ini, Bos? Kenapa harus menculik cewek itu? Kenapa menggunakan jalan yang rumit untuk melakukan hal ini? Bukankah bisa dengan cara lain yang lebih mudah?” Bambang Jenggo menggoyangkan kakinya sembari mengikuti irama lagu campursari yang diputar oleh pengeras suara.
Sang pemegang tongkat tersenyum di balik maskernya. “Tidak ada hal yang benar-benar mudah dan tidak ada hal yang benar-benar susah. Aku hanya melakukan hal yang ingin aku lakukan untuk menjamin sebuah kepastian di masa yang akan datang. Kalau memang ingin berkuasa, bersiaplah sebagai penguasa – caranya adalah dengan meletakkan bidak catur di posisinya masing-masing secara tepat. Setelah semua diletakkan di posisi yang tepat, baru kita gerakkan serangan silih berganti. Kita tidak sedang mencoba-coba, kita sedang mengatur agar semua hal berlaku tepat seperti yang kita inginkan. Untuk itu butuh waktu.”
“Yung, repot nemen sih, Bos, mengatur bidak-bidak catur segala macam. Bukankah bisa saja kita atur agar semuanya berjalan lebih cepat tanpa serumit ini? Kita bisa melakukan hal random saja dan mungkin efeknya akan sama.”
“Jer basuki mawa beya, Mbang. Tidak ada hal yang gratis di dunia ini, semua ada harganya, semua ada biayanya. Terlebih lagi kamu tahu sendiri, posisi menentukan prestasi – RKZ saat ini bukanlah siapa-siapa dibandingkan empat besar, tapi dengan melakukan ini, kita akan memperoleh keuntungan dari kesulitan orang lain.”
Bambang Jenggo terkekeh, “menanam sana sini tapi pada akhirnya semua akan berbuah. Kira-kira begitu ya, Bos?”
“Kira-kira begitu.”
Bambang Jenggo menyeruput minumannya. “Aku itu hanya orang desa yang datang ke kota ini dari luar kota karena Bos memanggil dan mengumpulkan kita semua. Jadi aku ngikut saja lah apa maunya Bos, dijadikan pimpinan RKZ pun aku tidak masalah. Yang penting semua senang, semua menang.”
“Kemampuanmu yang njelehi itu tidak ada duanya, Mbang. Susah mencari orang dengan kemampuan sepertimu di jaman sekarang – yang bahkan bisa berdiri sama tegak dengan pimpinan Dinasti Baru, JXG, PSG, bahkan QZK sekalipun.”
“Bisa-bisanya. Itu namanya mbumbung dhuwur, pasti ujungnya cuma mau jatuhin.”
“Hahaha. Sudah malam, Mbang. Besok pagi aku punya banyak pekerjaan. Jadi aku harus pergi dulu.” Si pria bertongkat berdiri dari kursi kayu. Dia terkekeh, “dengan ini kita akan memastikan kehancuran semua kelompok yang sebelumnya bertahta di kota. Semua bakal out – dan RKZ bakal in.”
Bambang Jenggo tertawa kembali.
Bersambung