Part #13 : SAHABAT SEJATI

Rasa sakit tidak bisa dihindari.
Penderitaan itu pilihan.
– Haruki Murakami

Pagi datang lagi.

Matahari menggelar angkasa cerah ditemani awan yang berarak dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Lampu-lampu rumah mulai dimatikan, harapan baru hadir ketika hari telah berganti. Seperti nyawa yang kembali kumpul di badan usai mengelana di sela malam, kembali aktif menjalani hidup karena waktu tak akan berhenti. Maka nikmatilah hari. Sentuh bening embun dan hirup udara pagi.

Para penghuni kota mulai membuka pintu rumah. Satu persatu melangkah keluar ke untuk merapikan yang bubrah, dan menyapu sampah. Penjaja sayur yang sejak subuh sudah berangkat ke pasar mulai menyebar ke sudut-sudut kota dengan harapan yang membuncah. Mereka membawa berbagai dagangan – mulai dari cabe, brambang, bawang, ayam potong, hingga daging cacah.

Suara denting bel sepeda nyaring terdengar di sebuah pagi di jalanan kampung Rejotegal. Seorang wanita setengah baya yang mengenakan caping asyik bersepeda dengan berjungkat-jungkit tanpa khawatir akan terjungkal. Melaju santai tidak cepat tidak pelan meski jalanan terjal. Di belakang sepedanya, terikat erat tenggok bambu tempat sang wanita menempatkan beberapa botol minuman herbal.

Jamune jamune, Buuuuu…”

Seorang ibu-ibu yang sedang menyapu halaman sekaligus jalanan aspal di depan rumah tersenyum dan melambaikan tangan, menghentikan sang Mbok Jamu. Mulutnya sudah terkecap ingin segera merasakan nikmatnya jamu pegal linu untuk mengatasi badannya yang terasa kaku, sekaligus manisnya beras kencur untuk penawar pahitnya di lidah yang kelu. Ia sudah menanti sejak melihat dari pengkolan jalan lenggak-lenggok sang Mbok Jamu.

Sepeda berhenti di depan rumah. “Jamune, Buuu… kados biasa? Seperti biasa?”

“Biasa, Mbak.”

Nggih.”

Dengan kemahiran bak seorang bartender, sang Mbok Jamu mulai meramu, menggoyang botol, mencampur, dan menuangkan hasilnya dalam gelas. Ada dua gelas yang disiapkan, jamu untuk kesehatan yang cukup legit dan jamu beras kencur sebagai penawar pahit. Kala ramuan selesai dipadu, gelas pun berpindah tangan dari Mbok Jamu ke sang ibu.

Seperti lumrah-nya ibu-ibu, pembicaraan pembelian jamu akan melebar kemana-mana, bahkan ketika sudah tak lagi ada transaksi. Mulai dari membicarakan kelanjutan cerita sinetron Aldebaran dan Andin, menggosipkan tetangga yang sekeluarga gemar goyang Toktik, membicarakan aturan pemerintah hanya dengan berbekal katanya si ini dan si itu, mengeluhkan soal tanggal tua, hingga penyakit encok yang kumat saat mencuci baju. Semua berita dibedah kompit bak portal detik dot kom.

Hingga suatu ketika klakson mobil terdengar dua kali.

Sang Mbok Jamu pun menggeser sepedanya sedikit masuk ke halaman rumah sang Ibu pembeli, memberi jalan pada beberapa mobil warna hitam yang kemudian melintas. Tak urung aksi itu membuat sang penjual jamu bersungut-sungut. Ia merasa sudah memberi jalan teramat lebar bagi mobil-mobil itu.

Lha wong dalane wes jembar lho, cukup nggo liwat mobil loro kok yo ndadak nyentak. Jalan segini lebar kok ya tidak cukup to mobile lewat?”

Ha enggih to. Iya bener, Mbak.”

Tapi mobil-mobil hitam itu tetap saja berlalu dan melintas tanpa mendengar keluhan sang Mbok Jamu. Berjajar perlahan dengan anggun hingga memasuki halaman parkir sebuah warung soto yang tak jauh dari posisi sang penjual jamu melakukan transaksinya. Kalau melihat dari banyaknya jumlah mobil dan motor yang ada di halaman parkir, maka sepertinya hari ini warung soto itu cukup laris.

Padahal tanda Tutup terpasang dengan kentara di pintu depan warung.

Jadi siapa yang berada di dalam?

Di dalam warung soto sudah ada empat orang yang duduk santai di depan sebuah meja dengan sajian teh hangat dan jajanan pasar. Sementara seluruh ruangan di dalam warung soto dikelilingi dan diamankan oleh beberapa pria bertubuh tegap. Uniknya, di hadapan keempat orang itu malah tidak ada nasi soto sama sekali.

Salah satu dari keempat orang yang duduk akhirnya berdiri.

“Jadi beneran Non Nada diculik kemarin siang? Bajingaaaaaaaaaan!” tanya Pak Pos sembari berkacak pinggang. Dia mendengus dengan kesal sembari menggelengkan kepala karena tak paham dengan aksi komplotan penculik. “Kok bisa? Kok mereka berani-beraninya? Gadis malang itu tidak tahu apa-apa dan tidak pernah ikut campur dalam urusan apapun. Tega sekali orang-orang busuk yang menculiknya! Tidak takut sama JXG? Tidak takut Pak Zein?”

“Mungkin mereka tidak tahu siapa dia saat menculiknya.” si Hantu yang tetap duduk berkomentar. “Mungkin aksi ini aksi random. Hihihi… jangan-jangan dia diperkosa dan dijual ke raja minyak. Hihihi.”

“Jangan ngomong sembarangan!” hardik Jagal.

Rogo sang Barakuda hanya terdiam dan menatap dengan tajam ke arah Jagal.

“Ini sudah hampir 24 jam dari hilangnya Non Nada. Kita harus segera mencarinya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” ucap Jagal dengan nada ketus dan serius, dia yang merasa paling bertanggung jawab karena akhir-akhir ini sering antar jemput dan menjaga Nada. Pria tangguh itu sama sekali tidak mengira akan kecolongan seperti ini. Tidak ada maaf untuk para penculiknya. “Terakhir kali terlihat Non Nada sedang menyeberang jalan dari posisi The Donut’s Pub, kafe yang menjadi lokasi kerja salah satu sahabatnya. Dia sering mengunjungi tempat itu untuk belajar, mengerjakan tugas, atau sekedar bersantai. Beberapa kali aku menjemputnya di sana.”

“Info dari mana terakhir kali Non Nada di tempat itu?” tanya Pak Pos yang kembali duduk di kursinya.

“Kita sudah melacak sampai ke teman yang bekerja di kafe itu.”

Pak Pos manggut-manggut, “CCTV?”

“Ada. Tapi tidak berguna banyak, sebenarnya posisi kamera ada di depan kafe tapi lokasi penculikan agak jauh dan hanya menangkap gambar seadanya. Yang bisa dilihat dari CCTV kafe hanya saat Non Nada menyeberang jalan saja. Selebihnya informasi juga kita dapatkan dari CCTV yang ada di komplek ruko seberang. Tapi itupun tidak begitu jelas karena tidak fokus, kualitasnya gambarnya juga buruk.” Sang Jagal mulai mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapatkan di grup WhatsApp.

“Hebat juga sampeyan bisa mendapatkan gambar-gambar ini dengan cepat.” Pak Pos memicingkan mata, mencoba mengamati orang-orang yang mendekati sang putri Bos mereka. “Beneran posisi Non Nada terlalu jauh. Sayang sekali CCTV-nya tanpa warna – jadi tidak terlihat siapa orang-orang ini. Kalian bisa menebak dari postur tubuh?”

“Terlalu kabur tidak terlihat. Mungkin terlihat tapi sangat kabur. Kekekek.” Hantu menimpali.

“Mereka mengenakan pakaian yang biasa saja.” ucap Jagal. “Bukan seragam motor, jadi bisa kita hilangkan kemungkinan bahwa ini pekerjaan Dinasti Baru. QZK juga tidak akan berani menculik putri Pak Zein di siang bolong – mereka sering bertindak kotor, tapi yang ini sudah keterlaluan, tidak mungkin perintah penculikan yang menjijikkan seperti ini turun langsung dari Om Janu. Pasti ini ulah kelompok lain.”

“Hanya ada tiga kelompok yang belum kamu sebutkan.” Pak Pos mengelus dagunya. “Aliansi, PSG, dan tentu saja geng motor RKZ.”

“Aliansi itu cuma kumpulan anak kuliahan yang ditambah Patnem. Bukan lawan kita dan bisa kita kesampingkan dari daftar target, sejauh ini mereka belum pernah melakukan aksi kotor. Jadi hanya tinggal PSG dan RKZ.” Jagal mendengus. “Tapi tidak menutup kemungkinan Dinasti Baru dan QZK juga bisa dengan sengaja melakukan ini untuk menjebak PSG dan RKZ supaya dijadikan sasaran kemarahan Pak Zein dengan menggunakan pakaian kasual tanpa atribut yang biasa mereka pakai.”

“Kalau begitu kita hajar keempatnya!!”

Suara menggelegar membuat keempat anak panah JXG terkejut. Buru-buru mereka berdiri di samping meja yang sudah dipersiapkan di tengah-tengah warung.

Seorang laki-laki berpakaian santai masuk ke dalam ruangan. Dia mengenakan pakaian semi casual kaus hitam lengan panjang dengan leher turtle neck, celana panjang jeans biru muda pudar, sepatu sneaker dengan merk yang memberikan keseimbangan baru, dan kacamata bulat. Tubuhnya kurus tapi kencang dan tegap, kepalanya hampir sepenuhnya plontos dengan rambut tipis yang jarang, perawakannya tinggi dengan wajah oval beralis tebal, rahang tinggi, dan punya pandangan mata tajam di balik kacamata.

Sekilas lihat mungkin sosoknya terkesan lemah dan lemas, tapi jika dilihat lebih serius, orang ini sungguh tidak memancarkan aura kelemahan dan kelengahan sedikitpun. Dia penuh percaya diri dan mengintimidasi. Bahkan jika sanggup membaca Ki – maka akan mendapatkan pembacaan kekuatan yang tidak main-main.

Di belakang sang pria berkaus hitam ada tiga orang berjalan mengikutinya, dua pria dan satu wanita. Satu pria gagah bak taruna, satu pria bertubuh ramping, dan seorang wanita cantik berpakaian seksi. Mereka semua berwajah tenang tapi mengintimidasi.

Sang pria yang bertubuh gagah bak seorang taruna buru-buru mendahului pria berkaus hitam dan menarik satu kursi di depan meja kayu yang lebar, lalu mempersilakan sang pria itu untuk duduk. Sang wanita yang cantik dan berpakaian seksi serba mini bergegas untuk menyiapkan semangkok soto yang sebelumnya sudah disiapkan oleh sang pemilik warung dengan sebuah nampan, dan melengkapinya dengan segelas teh poci hangat beserta teko tanah liat di hadapan sang pria berkaus hitam.

Keempat punggawa JXG langsung memberi hormat saat pria itu duduk. Pak Pos, Jagal, Hantu, dan Rogo sang Barakuda – keempatnya berdiri tegap.

“Selamat datang di kedai, Bos.”

“Selamat datang.”

“Selamat…”

Orang itu hanya berdehem, tapi keempat anak panah langsung terdiam seribu bahasa – terutama Jagal yang baru saja dipotong kalimatnya.

Sebenarnya pantas saja jika sang Jagal, Pak Pos, si Hantu, dan Rogo memberikan hormat yang cukup berlebih kepada pria yang baru saja datang. Karena dia tak lain dan tak bukan adalah sang pimpinan JXG yang sangat dihormati di wilayah selatan kota, pria berjuluk Raja Selatan – Nazaruddin Zein.

Tempat mereka berkumpul sejatinya adalah sebuah warung soto yang posisinya agak masuk ke dalam wilayah urban, di sebuah perkampungan yang mengitari satu bekas rumah Jawa megah berbentuk limasan yang menjadi saksi sebuah peristiwa bersejarah. Rumah yang juga mirip benteng kecil itu sekarang dijadikan monumen dan museum. Konon ada seorang Pangeran di masa lalu yang berhasil meloloskan diri dari sergapan tentara penjajah dengan menendang satu tembok di rumah tersebut untuk kabur dan akhirnya memimpin serangan gerilya untuk melawan kaum penjajah.

Kembali ke warung soto, warung soto yang populer itu hari ini ditutup secara khusus dan mengusir tamu-tamu yang datang hanya untuk mengakomodir pertemuan antara Pak Zein dengan keempat punggawa utamanya. Tentu saja bukan hanya mereka anak buah Pak Zein, tapi keempat orang inilah yang menjadi punggawa papan atas di JXG – orang-orang andalan sang Bos.

“Soto di sini terkenal enak. Sudah lama aku tidak mencicipinya. Wes suwe ora ngiras soto nang kene.” ucap Pak Zein dengan tenang setelah ia duduk. Sang Raja Selatan menyiapkan sendok dan mencelupkannya ke mangkok. Ia mengaduk sedikit, mengambil secukupnya, dan menyeruput kuah soto yang bening.

Ah. Memang segar.

Tapi tak lama kemudian ia memuntahkan kuah yang baru saja ia seruput ke lantai.

Puah!

Para anak panah JXG menunduk melihat tindakan sang Bos karena mereka sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya seorang saja di antara mereka yang masih bergoyang-goyang dengan aneh dan senyum-senyum, yaitu si Hantu. SI ganjil itu masih tetap menatap ke depan dengan seringai menakutkan yang ditimbulkan karena luka menganga di mulutnya. Dia satu-satunya yang masih bersikap tenang dan santai.

“Soto di sini terkenal enak, tapi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai menikmatinya sementara putriku tercinta sedang berada di luar sana dan jatuh ke tangan orang yang bisa kapan saja berbuat jahat padanya!?” Pak Zein menggebrak meja dengan keras. “Katakan padaku bagaimana aku bisa menikmatinya!?? KATAKAN!!”

Bruaaak!

“Sudah kuduga hal semacam ini akan terjadi jika membiarkan anak gadisku di luar sana sendirian saja tanpa pengawalan!” Pak Zein memandang satu persatu puggawanya sampai matanya menatap pada seorang di antara mereka. “JAGAAAL!”

Sang Jagal maju ke depan. Ia menunduk dan menjura. “Saya.”

“Jagal. Kenapa kau tidak bersama dengan putriku kemarin?”

“Kebetulan memang bukan waktunya saya menjemput dan mengantarkan Non Nada. Sesuai perintah Pak Bos, saya hanya akan melakukan tugas antar jemput Non Nada ketika sudah waktunya pulang kuliah, pada akhir pekan, atau…”

“Aaaahhh! Sudah!” Pak Zein menggelengkan kepala karena kecewa, tangannya dilambaikan menandakan bahwa apapun alasan Jagal, hal itu hanya akan membuatnya merasa kesal. Wajar jika merasa kesal karena dia bukannya sama sekali tidak menduga putri tersayangnya akan menjadi korban penculikan atau sasaran kejahatan lain. Sejak Nada memutuskan memisahkan diri dan tinggal di wilayah utara kota, dia sudah khawatir.

Ia lantas menunjuk satu demi satu keempat punggawanya. “Kamu, kamu, kamu, dan kamu. Obrak-abrik kota dan temukan siapa pelakunya. Aku tidak peduli apakah dia kawan atau lawan. Habisi dia tanpa banyak kata. Siapapun yang telah melakukan ini tentu tidak ingin hidup lebih lama. Penggal kepalanya dan gantung di tepi Pojok Benteng sebagai peringatan.”

Sendiko dhawuh.”

“Siap, Bos.”

“Baik.”

Hanya Rogo yang tidak mengucapkan sepatah kata-pun, tapi dia mengangguk dan menunduk hormat.

Pak Zein menegakkan badan dan memutar tangan. “Dadi aji.”

Swooosssh.

Bruaaaakkk! Braaaakkk!! Braaakkk!!

Satu angin kencang tiba-tiba saja berputar di dalam warung soto itu, putarannya mengingatkan pada satu tornado kecil. Angin yang tiba-tiba muncul langsung memporak-porandakan meja dan kursi yang berada di antara Pak Zein dan keempat punggawanya. Jagal, Pak Pos, Hantu, dan Rogo sama-sama mundur teratur. Mereka sudah sangat sering melihat Pak Zein mempraktekkan jurus ini.

Salah satu jurus dari ilmu kanuragan pilih tanding Inti Angin Sakti.

Pak Zein yang masih duduk di kursi lantas memutar tangan kembali ke arah kebalikan sembari menurunkan tangan.

Pusaran angin kecil yang tadi terbentuk secara tiba-tiba kini juga langsung hilang tak berbekas. Menyisakan kayu-kayu yang berhamburan, meja kursi yang sudah tak lagi berada di tempat seharusnya, dan perkakas warung soto yang sudah berantakan.

Sang pemilik warung soto dan para pekerja hanya dapat menatap dengan pandangan pedih. Meskipun setelah ini mereka pasti dibayar dua kali lipat dari kerugian sesungguhnya, namun pekerjaan beres-beres pasti akan sangat melelahkan karena penampakan warung menjadi amat berantakan.

Uniknya, sang gadis cantik berpakaian mini yang tadi berada di belakang Pak Zein masih sempat menyelamatkan poci teh dan tekonya. Kini setelah pusaran angin menghilang, gadis itu kembali menuang teh yang sempat terbuang dan memberikan pada Pak Zein dengan menggunakan sebuah nampan.

“Diminum dulu tehnya, Bapak. Untuk kesehatan.” Kata Gadis dengan rok mini sembari tersenyum manis. Tidak ada yang dapat melihat wajahnya secara utuh karena ia mengenakan topeng kayu khas Jepang berbentuk wajah kelinci putih yang menutup separuh wajah atasnya. Meski belum pernah melihat wajah sang gadis, tapi semua anggota JXG mengenalnya sebagai Usagi-chan, asisten pribadi Pak Zein.

Pak Zein mengambil poci teh dan meminumnya. Aroma kesegaran teh menyegarkan badan sang Raja Selatan. Setelah meletakkan poci teh di atas nampan milik Usagi-chan, sang pimpinan JXG menatap tajam keempat anak buah utamanya di balik kacamata yang ia kenakan. Suaranya tegas ketika berbicara, “Dalam hitungan ketiga, berangkat. Temukan anak gadisku. Bunuh siapapun yang sudah menahan atau menyakitinya. Dalam waktu tiga hari tidak ada kabar, aku sendiri yang akan mengobrak-abrik seluruh kota. Pernikahan anakku lanang akan diadakan dalam waktu dekat – jika Nada tidak hadir, maka pernikahan kakaknya akan dibatalkan.”

Suasana hening sesaat, tidak ada satu orang pun yang berani bersuara. Hanya ada satu orang yang bergerak, yaitu sang pimpinan. Pak Zein kembali minum beberapa teguk teh yang segar. Dengan memejamkan mata, dia mulai menghitung.

“Satu.”

Swssssh. Swssssh. Swssssh. Swssssh.

Keempat anak panah JXG langsung melesat tanpa menunggu hitungan berikutnya. Mereka sudah tahu apa yang diinginkan sang Bos, mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Hanya satu yang mereka tidak tahu, mereka semua tidak tahu harus mencari kemana.

…semua tidak tahu.

…semua, kecuali satu.

Jagal berhenti berlari saat ia sudah mencapai satu posisi yang aman dan tak terlihat oleh siapapun. Ia mulai mengenakan jaket kulit dan helm ketika ia tiba-tiba saja teringat pertemuan kemarin dengan Bambang Jenggo. Si bangsat dari RKZ.

Dia bilang akan melakukan sesuatu yang membuat Pak Zein dan JXG marah besar, sesuatu yang bisa membuat Pak Zein turun gunung lebih cepat dari seharusnya. Tentu saja Jagal sangat paham bahwa hanya ada sedikit hal di dunia ini yang dapat memaksa Pak Zein murka, salah satunya tentu saja adalah dengan mengancam keselamatan anak-anaknya – terutama keselamatan Nada sang putri paling disayang. Menyentuh sejengkal kulit Nada, maka sudah dipastikan semua anggota keluarga akan dikebiri.

Jagal mendengus kesal saat teringat perkataan si Jenggo.

Si bangsat itu! Jangan-jangan dia yang berulah!? Pantas saja dia memaksa Jagal supaya tidak ikut campur urusan ini! Dia pasti tidak ingin Jagal ikut ambil bagian dalam perburuan orang-orang yang bertanggungjawab di balik peristiwa penculikan Nada!

Tapi ini bukan main-main, Nada harus segera dikembalikan dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa. Jika tidak, perang akan segera dimulai.

Bukan saatnya, belum waktunya perang terjadi.

Jagal harus buru-buru menemuinya!

.::..::..::..::.

Ayam jantan berkokok, burung-burung berkicau riang.

Tanda hari telah dimulai.

Tapi rasa-rasanya ada yang berbeda. Ini bukan kamarnya, suara ayam jantan berkokok biasanya tidak bisa ia dengar di pagi harinya. Lalu bantal ini, sepertinya juga bukan bantalnya. Ara mengejapkan mata.

Di mana dia berada?

Oh iya. Stupid girl. Ya jelas saja ini bukan kamarnya. Semalam kan dia menginap di rumah kontrakan si Bengal. Si cantik itu meregangkan tangan dan menguap lebar-lebar. Ah, dia lelah sekali semalam sehingga bisa tidur dengan nyenyak. Entah kenapa tidur di dekat si Bengal itu menentramkan. Rasanya damai dan tenang sekali.

Mungkin sebaiknya ia buatkan sarapan untuk Nanto, sekedar membalas budi telah mengijinkan ia tidur di sini malam ini. Dengan santai Ara bangkit dari tidurnya. Ia menyibakkan selimut dan mulai melangkah keluar dari kasur yang…

Selimut?

Bukannya tadi malam dia tidur tanpa selimut ya? Ara menatap selimut yang tak ia pasang semalam namun sudah melindunginya dari dingin di pagi ini. Siapa lagi yang memasangnya kalau bukan Nanto? Ara tersenyum. Ia merapikan tempat tidur dan mulai beranjak ke kamar mandi. Beberapa menit setelahnya gadis itu keluar dari kamar mandi, mengikat rambut panjangnya ke atas, bersiap untuk memasak di dapur.

Tapi betapa terkejutnya dia ketika melihat di dapur sudah ada nampan berisi gelas dengan se-sachet teh dan roti tawar bakar isi meses yang sudah dipotong empat. Ada post-it note di samping nampan. Pesan dari si Bengal.

Aku berangkat dulu. Kamu tidurnya nyenyak banget, aku ga tega bangunin.
Ini ada teh dan roti bakar. Teh tinggal tuang air hangat dari dispenser.
Kalau mau pulang, tinggalkan saja kunci di dalam kendi di samping pot tanaman yang ada di teras.
Aku tidak tahu kapan aku pulang, atau apakah aku bakal pulang ke kontrakan hari ini.
Jadi kamu sebaiknya pulang saja.
Kalau masih galau, hubungi Deka.
Aku tahu kamu lebih kuat daripada ini.
– Nanto.

Ara tersenyum.

Si Bengal adalah si Bengal. Dia masih tetap jadi Nanto yang baik, meski mereka sudah tak lagi bersama. Cerita mereka mungkin memang sudah usai, tapi untuk melupakan si Bengal barangkali akan menjadi hal yang paling tidak mudah yang pernah ia lakukan seumur hidup. Bahkan sampai sekarang pun ia masih terus mencoba dan selalu gagal.

Ara pun menuang air hangat dari dispenser ke dalam gelas teh, menuang dua sendok makan gula pasir, dan mengaduknya. Ia meletakkan teh dan piring berisi roti bakar di meja kecil yang ada di depan TV, lalu mulai menikmati sarapannya sembari menonton berita di televisi. Entah ada berita apa karena pikiran gadis itu malah melayang kemana-mana.

Gadis itu merasa tenang dan damai. Kenapa tidak bisa begini setiap hari sih?

Ya tidak bisa dong.

Nanto kan sudah bukan milikmu lagi. Huu… seandainya saja si Bengal dan dirinya tak pernah berpisah, mungkin cerita mereka akan berbeda sekarang.

Ding.

Satu pesan WhatsApp masuk di layar ponsel Ara. Gadis itu melirik ke deret notifikasi tanpa masuk ke aplikasi pesan online. Dari siapa? Nanto? Ah mudah-mudahan dari si Beng…

Hai. Sudah bangun?
Semoga hari ini indah.
Bagaimana soal ajakan nontonku? Terima atau tidak?

Dari Simon Sebastian. Ara tersenyum. Kenapa bukan dari si Bengal sih? Gadis itu meletakkan ponselnya kembali. Mungkin dia akan membalasnya mungkin juga tidak. Dia masih ragu-ragu soal Simon. Apakah akan dia terima ajakannya? Mungkin saja.

Ding.

Satu lagi pesan WhatsApp masuk. Dari siapa sekarang? Simon lagi? Si Bengal?

Bangun. Mandi.

Ternyata dari Bian. Ara terkekeh. Kalau si Bian memang seperti ini, terkesan ketus tapi sangat perhatian padanya. Gadis cantik itu pun menarik napas panjang. Dari Nanto ada pesan, dari Simon juga ada, terakhir dari Bian.

Kenapa justru dari Deka tidak ada?

Masa iya harus Ara yang mulai menghubungi? Seharusnya cowok yang berinisiatif terlebih dahulu. Kalau dia memang benar-benar sayang ke Ara, seharusnya Deka juga bergerak dong, bukan Ara yang harus memulai terlebih dahulu. Cewek kan maunya dikejar. Gimana sih si Deka?

Ya sudah… dia akan menunggu Deka dalam seminggu ini. Kalau tidak ada kabar barulah Ara yang akan mendekatinya – seandainya hubungan mereka masih bisa diselamatkan, maka jadilah, kalau tidak ya sudah. Mungkin memang bukan jodoh.

Tiba-tiba saja terdengar pintu depan dibuka.

“Maaaaas? Kamu di dalam? Belum berangkat kan? Aku bawain sarapan.” Terdengar suara seorang cewek dari ruang depan. “Tanaman di depan udah disiram belum? Jangan lupa disiram sebelum berangkat kerja dong. Kebiasaan banget sering lupa nyiram tanaman. Untung aku sering datang…”

Ara meneguk ludah. Waduh. Siapa itu? Gadis itu pun kebingungan, dia harus bagaimana ini?

“Maaaaa… eh!?”

Kinan yang membawa tas plastik di tangan kanan dan kiri terkejut ketika melihat Ara berada di ruang tengah. Mereka saling bertatapan. Lama. Mencoba menelaah perasaan dan pikiran masing-masing. Ribuan persamaan matematika bak sedang diputar di otak keduanya. Mulai dari persamaan linear sampai ke diagram venn.

Kinan jelas kaget. Kok tiba-tiba ada Kak Ara di sini sepagi ini? Tidak perlu menjadi jenius untuk bisa menebak kalau Ara semalam bermalam di sini. Tapi kenapa, bagaimana, terus semalam berbuat apa?

Kinan yang terkejut langsung bertanya, “Ka-Kakak kok ada di sini?”

Ara hanya menatap Kinan dengan kebingungan, tapi lantas tertawa karena kekasih Nanto itu langsung cemburu. Pasti salah paham nih. “Tenang Kinan, aku bisa jelaskan.”

“Ih…”

“Hahaha, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Iya, aku memang menginap di sini semalam. Tapi mas-mu tidur di depan, aku tidur di sini. Gara-garanya semalam aku mau pulang tapi sudah terlalu larut.”

“Ya tapi masa harus menginap di sini sih? Kakak mau apa emang semalam? Mas Nanto mana?”

“Dia sudah berangkat dari pagi. Aku saja tidak tahu kalau dia sudah pergi. Tuh dia ninggal pesan di nampan di dapur. Kalau tidak percaya lihat saja.”

Kinan buru-buru lari ke belakang untuk mengambil pesan yang ditinggalkan oleh Nanto, membaca pesan itu membuat Kinan sedikit tenang – karena Ara sepertinya tidak bohong. Mereka sepertinya memang tidak melakukan apa-apa. Tapi bayangan ada seorang cewek yang bermalam di kontrakan sang kekasih tentunya tidak nyaman sama sekali bagi Kinan.

Ketika kembali lagi ke ruang tengah, Kinan tidak tahu harus ngomong apa pada Ara.

Karena penasaran, gadis itu lalu memeriksa ponselnya, siapa tahu ada pesan dari… ah ya. Memang ada pesan dari si Bengal. Oalah, beginilah kalau berangkat tanpa terlebih dahulu memeriksa ponsel. Jadinya ada pesan yang terlewat dari sang kekasih.

Sayang, kamu datang ke rumah ga?
Hari ini aku berangkat pagi jadi ga usah dibawain sarapan ya.
Tapi kalau sudah terlanjur ya sudah tidak apa-apa.
Di rumah kebetulan ada si Ara yang semalam menginap di ruang tengah.
Ceritanya agak panjang kalau diceritain. Tapi semua aman kok.
Dia baru galau atau gimana gitu lah.
Nanti jatah sarapanku kasih aja ke Ara kalau dia mau.

Kinan mendengus, ya – kekasihnya sudah memberi kabar. Tapi kok semudah ini sih? Kok segampang itu sediain kontrakannya buat nginep cewek lain? Apa kepengen digeruduk warga? Dasar Mas Nanto. Kalau nanti dia pulang harus diceramahin supaya tidak sembarangan lagi seperti ini. Ga lucu bayangin ada cewek nginep di rumah sang kekasih, kan? Kalau situasinya dibalik gimana? Apa Nantonya rela kalau ada cowok nginep di rumah Kinan? Pasti ga kan? Jadi harus ada yang diluruskan.

“Tenang saja, Kinan.” Ara rupanya melihat raut wajah Kinan yang khawatir dan marah, tapi itu wajar. Cemburu tandanya sayang. Curiga juga wajar, siapa yang tidak akan marah kalau ada kejadian seperti ini. “Kami sudah bukan siapa-siapa lagi kok, jadi kamu tidak perlu khawatir. Semua aman terkendali. Aku-nya yang bersalah karena tadi malam bingung harus curhat ke siapa. Terus nekat datang ke sini malam-malam. Nanto sebenarnya mau nganterin pulang, tapi dia kayaknya sudah capek banget.”

“Sebentar… sebentar… Su-sudah bukan siapa-siapa lagi? Memangnya dulu siapanya?” Kinan mengernyitkan dahi dengan sejuta pertanyaan. “Jangan-jangan… kalian…”

“Lho? Nanto belum cerita sampai sekarang? Kami dulu sempat pacaran sebelum aku dekat sama Deka.”

“Haaaah!? Kalian dulu sempat…” Kinan menggeleng, “ga bener ini, ga bener…”

Waduh, Ara keceplosan. Gimana nih? Situasi udah gawat malah ditambah gawat. Blaikane. Gek kepiye iki carane ngeluruske? “A-anu, maksudku kami dulu memang sempat pacaran semasa SMA, waktu dia masih sekolah di CB, tapi sudah putus sangat lama. Sangat-sangat lama… jadi… kami sudah tidak ada perasaan apa-apa sekarang. Semalam aja kami tidur di kamar yang berbeda.”

Huaaaaa… Kinan makin kewer-kewer hatinya. Cewek mana yang rela kontrakan kekasihnya diinepin sama mantan? Gimana sih Mas Nanto ini? Si Ara juga sama aja. “Kok bisa-bisanya sih Kakak begini? Bukannya Kakak sudah ada Mas Deka? Ngapain datang ke sini? Mas Nanto kan sudah jalan sama aku. Kakak ga mikirin perasaanku?”

“Iya Kinan, duh maaf aku egois banget. Aku juga tidak tahu… aku sedang kebingungan, satu-satunya orang yang aku percaya cuma Nanto, jadi ingin curhat sama dia.”

“Tapi ga perlu nginep juga kali.”

“Nah itu… aku salahnya di situ.” Ara meneguk ludah, masalah ini tidak boleh berlarut-larut. Sebisa mungkin dia harus meluruskan. “Seharusnya aku tidak menginap di sini, karena pasti akan menimbulkan salah paham seperti yang terjadi sekarang ini. Tapi sungguh, kami sebenarnya tidak berbuat apa-apa. Percaya deh, aku tidak akan membuat kamu bersedih. Kamu juga percaya sama Nanto kan? Kami dari Lima Jari memang sangat akrab – aku sering mereka anggap sebagai anggota keenam. Lalu peristiwa dengan Roy ini membuat kami jadi lebih dekat bagai saudara dan… maksudku… semalam tidak ada apa-apa yang terjadi, Kinan. Sungguh. Pagi ini saja aku baru sadar kalau Nanto sudah pergi.”

“Ya tapi… tetap saja aku… ah, sudahlah. Aku pergi dulu saja… aku tidak bisa…” Kinan yang tak tahan pun segera melangkah untuk keluar dari kontrakan. Kalau Ara mau menginap di sini ya sudah biar saja lah! Kinan saja yang mengalah untuk pulang!

“Kinan…! Eh, Kinan! Tunggu sebentar.” buru-buru Ara mengejarnya. Kalau sampai Kinan ngambek, si Bengal bakal marah besar padanya. Semua harus diluruskan dulu sampai tuntas.

Tapi sebelum sempat Ara menggamit tangan Kinan untuk menahan si cantik itu pergi, sudah terdengar ketukan di pintu depan.

“Permisi… Nanto? Kamu di rumah tidak? Sarapan yuk.”

Ara dan Kinan berhenti berjalan dan saling berpandangan. Suara cewek? Siapa lagi yang pagi-pagi begini datang? Kinan pun membuka pintu dan tiga wajah saling bertatapan kaget.

Ara terkejut.

Kinan lebih terkejut.

Apalagi Bu Asty yang sedang berdiri di depan pintu. Dia sangat terkejut.

Tiara

Kinan

Tarung Antar Wakil digelar kembali!”

Keras terdengar suara Ableh Ndaho yang memekakkan telinga, mencoba membangkitkan semangat para begundal dari kedua kubu yang hari itu hadir di lapangan basket di samping kampus Universitas Teknologi Digdaya. Meski pertarungan hari ini tak dihadiri oleh banyak massa, tapi sang pimpinan Talatawon tetap merasa harus mengeluarkan suara yang nyaring bak announcer tinju di Las Vegas. Ableh Ndaho memang selalu menggunakan megaphone saat berperan sebagai juri dalam pertarungan yang diadakan di lapangan samping UTD di kawasan ringroad utara kota.

Berjalan di tengah lapangan, Ableh Ndaho merasa bahagia karena akhirnya lapangan itu kembali digunakan sebagai ajang penentuan dua kubu yang berseteru setelah vakum cukup lama. Sekali lagi markas Talatawon digunakan sebagai ajang adu kemampuan yang bisa diandalkan.

Sejak pertama kali kampus UTD berdiri, tempat itu langsung dianggap sebagai lokasi DMZ – zona demiliterisasi atau lokasi netral yang bebas dipakai oleh kelompok manapun untuk ajang Tarung Antar Wakil. Ajang yang dipercaya dapat memberikan penyelesaian terbaik sekaligus mencegah terjadinya perang besar dari dua kelompok yang berseteru – kelompok manapun itu.

Tarung Antar Wakil atau Tarung Para Wakil menjadi pilihan cerdas karena korban yang tumbang tidak akan berjumlah banyak, mereka yang tumbang hanyalah mereka yang akan menjadi wakil saja. Dengan begitu kedua kubu yang berseteru akan terhindar dari pertumpahan darah besar sekaligus menyelesaikan pertikaian mereka dengan cepat. Pertarungan seperti ini nyatanya berhasil menyelesaikan pertarungan hebat QZK dan JXG bertahun-tahun lalu, serta belum lama ini menuntaskan permusuhan bertahun-tahun antara geng kampus UAL yakni DoP dan geng kampus Unzakha yaitu Sonoz.

Karena dianggap efektif, banyak kelompok sering mempertimbangkan Tarung Antar Wakil sebagai penyelesaian akhir dengan taruhan besar. Termasuk hari ini. Tarung Antar Wakil diadakan di sebuah hari di akhir pekan untuk menuntaskan pertikaian antara dua kubu.

Lapangan basket UTD yang berada di samping kampus menjadi tujuan anggota unit NWO dari Dinasti Baru, beberapa anggota Aliansi, dan pasukan Talatawon sebagai tuan rumah. Lapangan ini memang sangat pantas menjadi ajang pertarungan satu lawan satu karena lokasinya yang tidak jauh dari jalan utama ringroad utara, punya jalur jalan tanah menuju kampung belakang, sekaligus terhalang oleh gedung olahraga dan pepohonan yang rindang dari posisi depan.

Luas, sejuk, sekaligus terlindung. Lokasi yang tepat untuk baku hantam.

Rao dan Simon mengirim beberapa orang anggota DoP dan Sonoz untuk menjadi pengawal Lima Jari, meski jumlah mereka jelas kalah jauh dari Dinasti Baru yang datang.

Jo, Surya, dan Bondan yang baru saja diangkat menjadi kapten baru di DoP ikut datang setelah menggantikan posisi Remon dan Don Bravo yang kini naik jabatan menjadi jendral baru DoP. Sementara dari kubu Sonoz hadir dua korlap anyar yaitu Jack dan Abed yang mendukung wakil ketua mereka, Hageng sang T-Rex yang akan turun ke arena untuk mewakili Lima Jari. Kehadiran ketiga kapten DoP dan dua korlap Sonoz tentu menjadi penegas posisi Nanto sebagai pimpinan Aliansi meski Rao dan Simon tak hadir.

Tiga Perwakilan dari masing-masing dua kubu saling berhadapan. Dua kubu yang sama-sama haus akan pengakuan. Aliansi yang didirikan oleh sekumpulan geng kampus akan bertarung dengan Dinasti Baru, preman kota generasi kedua yang berdaulat di kawasan tengah. Aliansi punya misi untuk menyetarakan diri, Dinasti Baru punya misi untuk menjadi yang terbaik dan mensejajari dua besar.

Gerombolan yang satu sudah banyak makan asam garam, yang satu lagi isinya anak kuliahan. Kedengarannya tidak seimbang? Mungkin. Tapi justru itulah yang akan dibuktikan hari ini. Kalau Dinasti Baru menang maka Lima Jari harus mundur dari Aliansi dan beralih afiliasi. Kalau Lima Jari yang menang, maka Dinasti Baru akan membantu Aliansi dalam pertarungan-pertarungan besar.

Aliansi yang menjadi underdog hadir dengan unit yang paling bertanggung jawab pada pertarungan kali ini – Lima Jari. Meski namanya Lima Jari, namun saat ini mereka hanya akan datang dengan tiga wakil saja: Nanto sang pimpinan Aliansi, Deka, dan Hageng wakil pimpinan Sonoz. Bian ikut dengan Patnem untuk mencari keberadaan saudara kembarnya yang makamnya belum ditemukan sampai sekarang dan siapa yang bertanggungjawab akan kematiannya.

Sedangkan Dinasti Baru akan diwakili oleh perwakilan dari unit New World Order yang berseteru langsung dengan Lima Jari. Di antara mereka tidak nampak wajah Om BMW dan punggawa-punggawa dari sayap kiri. Satu-satunya wajah yang dikenal baik dan tidak memandang remeh ketiga anggota Lima Jari mungkin hanyalah Amar Barok. Entah apakah dia akan turun atau tidak pada perhelatan kali ini. Seandainya dia turun sebagai salah satu wakil, maka Lima Jari bakal punya masalah besar karena kemampuan Amar Barok sudah jelas tidak main-main.

Rombongan pendukung dari masing-masing pihak yang ikut memang tidak ramai, tidak banyak, dan tidak saling menghina karena harus diakui pertikaian kali ini bukan pertarungan langsung antara Dinasti Baru melawan Aliansi melainkan unit Lima Jari vs unit NWO. Tapi sejuknya angin dingin yang bertiup menyejukkan panasnya hari karena sengatan mentari tetap saja tak mampu mendinginkan panasnya hati yang membakar dan terbakar, menyala dan bernyala.

Beberapa anggota NWO jelas kesal karena beberapa kali dipermalukan oleh Lima Jari, jadi ini saatnya membalas dendam dan mengembalikan harga diri mereka. Walau kesal dengan Lima Jari, tapi anggota Dinasti Baru adalah gerombolan preman yang cukup mempercayai hirarki dan mereka sangat hormat pada Amar Barok dan Om Kimpling sang pimpinan unit NWO. Karena hadangan Amar-lah, tidak terjadi ejek mengejek meski orang-orang Dinasti Baru benar-benar ingin menginjak-injak anggota Aliansi.

Sang Panglima Singa Emas dari Dinasti Baru mendekati Nanto yang sedang duduk di bawah pohon rindang, sementara Hageng mengatur anak-anak Sonoz dan Deka berbincang-bincang dengan Jo mengenai pasukan DoP.

“Kalian baik-baik saja? Aku mendengar apa yang terjadi pada Roy,” tanya Amar.

“Tidak.” Nanto menjawab dengan dingin. “Kami sedang tidak baik-baik saja. Kami akan menyelesaikan pertarungan ini secepat mungkin untuk segera mengalihkan fokus dan mencari Roy. Hidup atau mati dia akan kami temukan, dan siapapun yang bertanggungjawab akan menanggung akibatnya.”

Amar mengangguk, sudah sewajarnya. “Sudah ada pencerahan siapa yang berbuat?”

Nanto menggeleng.

Amar menghela napas panjang. Kehilangan teman, apalagi teman dekat memang tidak akan pernah mudah. Seperti ada napas yang tiba-tiba berat, kosong yang tiba-tiba hadir, dan sepi yang menjalar ke seluruh sisi relung batin. Dia tahu perasaan itu.

“Kalau menyaksikan kehadiran anggota Dinasti Baru yang hadir hari ini, aku tidak melihat ada Om BMW, Mas Amar?” tanya Nanto. Ia berdiri dan bersiap sembari memutar-mutar tangan kanan sementara tangan kiri memegang erat pergelangan tangan kanan itu. “Apakah beliau tidak mau hadir? Apakah kami diremehkan?”

Amar melirik ke arah Nanto dan tersenyum. “Kenapa berpikiran begitu? Kalian tidak diremehkan, meski Bos BMW tidak datang tapi masih Om Kimpling, Om Sukrosono, dan beberapa punggawa Dinasti Baru lain. Mereka juga memiliki kemampuan yang tidak main-main. Dengar, aku sudah berusaha keras agar kalian bisa mendapatkan keuntungan hari ini. Tolong jangan sia-siakan. Dinasti Baru tidak hanya Om BMW saja, kami semua mewakili Dinasti Baru.” Kata Amar Barok dengan pandangan penuh ke arah si Bengal, “anggap saja ketidakhadiran beliau jadi keuntungan untuk kalian. Karena dengan begitu, akan berkurang satu halangan besar yang akan kalian hadapi di Tarung Antar Wakil hari ini.”

“Jujur aku kecewa, Mas Amar. Karena aku justru menunggu saat aku bisa berhadapan dengan beliau secara langsung. Aliansi ingin berdiri sebagai kelompok yang diakui di utara, tidak hanya sebagai kelompok anak kuliahan yang sok jago. Itu artinya kami harus berhadapan dengan orang tertinggi di setiap kelompok – agar bisa membuktikan bahwa kami sejajar.” Kata Nanto dengan berani. “Kalau seperti ini, kami justru sedang diremehkan.”

Amar Barok mendengus sembari tersenyum kecil. “Aku tahu rasa percaya dirimu sedang tinggi-tingginya. Aku juga tahu kamu punya kemampuan yang luar biasa. Tapi percayalah, sebenarnya level kalian masih berada jauh di bawah empat kelompok besar di kota. Okelah kamu sangat mampu, tapi bagaimana dengan yang lain? Deka? Hageng? Bian bahkan. Apa kamu tidak memikirkan mereka? Tidak ada gunanya kamu menang kalau mereka habis ditelan – bukti pertama adalah robohnya Roy. Kamu sungguh hebat, tapi di Lima Jari kekuatan kalian tidak seimbang. Jadilah pimpinan yang bijak, pikirkan orang-orang di bawahmu. Aku tahu kamu bisa. Jadilah pimpinan yang bijak dengan memilih lawan yang tepat dan menyadari posisi kalian yang sebenarnya di kota ini. Jangan mengambil resiko yang akan merugikan kawan-kawanmu sendiri. Camkan itu baik-baik.”

Amar Barok berbalik dan perlahan berjalan meninggalkan si Bengal.

“Apakah Mas Amar akan turun hari ini?” tanya Nanto kemudian.

Amar hanya melirik ke belakang dengan santai, kepalanya berputar separuh, memandang Nanto dari balik kacamata hitamnya. “Kenapa memangnya?”

“Kalau Mas Amar turun, kami akan menghadapi Mas dengan seratus persen kekuatan tanpa ewuh. Tanpa basa-basi.”

Amar Barok mengangguk. “Justru itu yang aku tunggu. Tapi aku tidak tahu apakah aku akan turun atau tidak. Masih ada sesepuh lain di atasku yang juga datang. Jadi… Good luck.”

Nanto menyeringai.

Tak berapa lama kemudian terdengar Ableh Ndaho berteriak kencang melalui megaphone untuk memanggil kedua kubu yang akan bertarung karena pertarungan pertama sudah siap digelar. “Let’s get ready to rumbleeeeee!

Terdengar teriakan membahana dari bagian kanan dan kiri lapangan basket. Terjadi massa yang saling berhadapan, tidak banyak – hanya sekitar 40 anggota Dinasti Baru dan 20an orang anggota Aliansi. Yel-yel dan teriakan pendukung Dinasti Baru jelas menelan teriakan semangat dari kubu Aliansi. Genderang ditabuh, terompet ditiup kencang.

“Dari sudut kiri – Dinasti Baru menurunkan wakil pertamanya… Sukrosono! Jawara yang juga wakil pimpinan unit New World Order!” pengumuman disampaikan oleh Ableh Ndaho saat melihat seorang pria berkepala gundul, berwajah buruk, berperut gendut, dan memiliki tubuh pendek sudah bersiap dan berjalan ke tengah lapangan basket yang dijadikan ajang tempur. “Dan dari sudut kanan…”

Sukrosono adalah orang yang kasar, buruk rupa, tapi setia. Dia sudah sejak muda mengabdi pada om BMW dan Dinasti Baru. Begitu lulus dari SMP dia bahkan langsung terjun ke dunia gelap tanpa pernah mengenyam pendidikan menengah lanjutan. Sukrosono yang sering dipanggil Sukrex memiliki andalan dua kepalan ganda dan serudukan keras yang membuatnya dijuluki Sukrex Badak. Pria kasar ini sudah malang melintang sejak lama dan gemar mematahkan lengan musuh yang meremehkan posturnya yang gemuk dan pendek. Sudah jelas kalau orang ini bukan lawan abal-abal untuk mewakili Dinasti Baru melawan Lima Jari.

Siapa yang akan menjadi wakil pertama dari Lima Jari untuk menghadapi Sukrex Badak?

Deka dan Hageng saling berpandangan. Mereka sudah menebak kalau lawan pertama akan jadi lawan yang akan mereka berdua hadapi. Saat menatap si Bengal, Deka melihat temannya itu tengah berpikir, Nanto hanya terdiam sambil bersidekap tanpa mengucap sepatah katapun. Deka harus cepat bertindak untuk membantu Nanto mengambil keputusan.

“Sukrosono bukan lawan yang mudah. Pertama – karena ditilik dari posisinya sebagai wakil pimpinan NWO, tentu sudah dapat ditebak dia punya kemampuan yang mumpuni, apalagi dipercaya turun di laga Tarung Antar Wakil. Kedua – kebetulan aku dulu sudah pernah melihatnya bertarung, dia berangasan dan agak brutal, sangat mengandalkan kekuatan. Pijakannya kuat karena tubuhnya juga pendek. Kepalanya yang sekeras batu harus jadi perhatian utama. Yang jadi lawan Sukrosono selalu masuk rumah sakit.” Deka melirik ke arah Nanto, mencari jawaban. Tapi Nanto masih terdiam, “Jadi bagaimana? Siapa yang akan turun lebih dahulu? Bagaimana kalau kita atur strategi? Hageng atau aku dulu saja yang turun. Dari postur tubuh sepertinya Hageng lebih cocok, sama-sama gede. Tapi kalau dari pengalaman lihat dia bertarung, aku juga sepertinya bisa mengatasinya.”

Hageng mengangguk setuju, “boleh zaja. Aku tidak mazalah. Menang atau kalah bukan mazalah. Yang penting terus melawan dan tak menyerah.”

Deka mengangkat jempolnya dan melanjutkan, ia bertanya pada sang T-Rex, “Kita undi dengan pingsut wae piye? Kami berdua suit untuk menentukan siapa yang turun di pertarungan pertama.”

Tapi sebelum Hageng menjawab, Nanto menggeleng.

Si Bengal berdiri tegap dan menepuk pundak kedua sahabatnya secara bersamaan.

“Kalian istirahat saja dulu. Selama ini kalian sudah terlalu lelah kesana kemari mencari Roy dan berhadapan dengan banyak masalah. Jangan khawatir, aku yang akan turun di pertarungan pertama. Sebagai balasan karena kalian sudah menungguku selama seminggu ini. Jangan khawatir, kalian pasti sanggup melanjutkan nanti setelah aku selesai.”

Deka dan Hageng saling berpandangan. Ha? Kok malah dia minta yang pertama? Bagaimana kalau nanti…? Bukankah masih ada Om Kimpling dan…? Tapi sebelum mereka sempat protes, Nanto sudah berjalan ke tengah lapangan untuk berhadapan dengan Sukrosono tanpa bisa mereka cegah.

Melihat Nanto berjalan ke tengah lapangan, Ableh Ndaho segera mengumumkan. “Dari sudut kanan… pimpinan Aliansi, Jalak Harnanto!”

Terdengar teriakan membahana dari kubu Aliansi, sementara teriakan menghina berkumandang dari kubu Dinasti Baru. Dua kubu saling serang secara verbal – tapi sebagian besar dari mereka sebenarnya bertanya-tanya, kenapa Nanto sudah akan turun di pertarungan pertama? Bukannya dia yang paling kuat dari ketiga anggota Lima Jari yang ada hari ini?

Bahkan Ableh Ndaho pun mengerutkan kening dengan heran, kenapa Nanto turun pertama? Dia justru menyerahkan dua lawan berikutnya pada Deka dan Hageng? Apakah itu bijaksana? Padahal lawan kedua nanti bisa jadi Om Kimpling sang pimpinan NWO. Apakah Nanto membiarkan Deka atau Hageng dibantai om Kimpling sementara dia menghadapi lawan yang lebih mudah?

Hmm.

Ah. Tapi itu urusan nanti.

Sekarang saatnya pertarungan pertama.

Si Bengal menatap lawannya dengan pandangan dingin, mereka pernah bertemu pada suatu malam ketika anggota Dinasti Baru mengganggu Kinan, meski si Sukrex ini tidak termasuk yang turun untuk berhadapan dengannya kala itu. Dulu Nanto lolos dari keroyokan anggota NWO berkat bantuan Amar Barok, hari ini mereka akan berhadapan one on one tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri. Saatnya membuktikan diri.

Si Bengal menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri lalu melemaskan jari-jarinya dengan tangkupan tangan.

Sukrosono tertawa, “Hahaha. Bocah edan. Kenapa justru kamu yang maju pertama? Tidak takut nanti kawan-kawanmu dibantai punggawa-punggawa kami? Hahaha! Bosok!! Utek bocah! Tidak bisa membuat strategi! Bahahahah!”

Nanto tidak peduli, dia hanya berdiri dengan tenang. Matanya tajam menatap ke sang lawan. Setelah beberapa saat, bibirnya terbuka sedikit, rapalan diucapkan perlahan. “Kawulo namung sadermo, mobah-mosik kersaning hyang sukmo.”

Boooom!

Si Bengal melesat dengan kecepatan tinggi tepat di depan Sukrosono yang masih tertawa. Begitu cepatnya sampai-sampai Sukrosono tidak sempat mengeluarkan reaksi apapun ketika Nanto sudah tiba di depan wajahnya!

Si Bengal menyiapkan tangan kanannya yang sudah terkepal erat, ia menariknya ke belakang sedikit, dan meledakkannya dengan satu lecutan ke wajah sang lawan dengan kecepatan tinggi sembari mengucapkan rapalan gerbang kekuatan dari Kidung Sandhyakala. “Angkara gung ing angga anggung gumulung.

“Ka-kamu…!” Sukrosono buru-buru bersiap mengangkat tangan untuk menahan serangan.

Terlambat.

Kboooooom!

Sukrosono terpapar kepalan si Bengal. Wajahnya terbongkar begitu saja.

Tonjokan tangan kanan si Bengal yang terlepas bagai meriam menembakkan peluru. Sukrex tidak akan sempat menghindar seberapa keraspun kepalanya, tubuh gempalnya terbang bak diterjang angin ribut.

Sang pria gemuk terlontar ke belakang dengan kerasnya. Satu, dua, tiga meter sudah terlewat. Begitu jauh terlempar sampai melewati batas pinggir lapangan bola basket. Tubuhnya terbanting, terguling, tersentak, terlontar beberapa kali ke udara, lalu terbanting lagi di lahan beton lapangan basket.

Sang wakil pimpinan NWO itu baru benar-benar berhenti terguling saat ia mendarat di tanah kosong di samping lapangan basket. Napasnya satu dua, matanya terpejam, tubuhnya biru lebam di sana sini akibat berulang kali terbanting. Dia benar-benar tidak sempat menaikkan pertahanan karena serangan Nanto begitu cepatnya. Dengan napas kembang kempis, Sukrex mencoba mengumpulkan kesadarannya.

Apa yang barusan terjadi? Beginikah rasanya ditabrak truk? Sang wakil NWO mencoba bangkit untuk duduk, tapi tubuhnya bergetar hebat, ada desakan dari dalam badan. Kesadarannya mulai menipis, lalu perlahan-lahan gelap. Ia tak kuat lagi.

Sukrex ambruk dan pingsan.

Semua yang hadir langsung terdiam.

Apa yang terjadi?

Sukrex Badak roboh hanya dengan sekali hantam? Yang benar saja!!

Mata mereka yang menyaksikan kejadian itu pun terbelalak, suasana yang sunyi menjadi makin mencekam karena rasa takut, takjub, sekaligus heran menyebar ke penonton. Hampir semua yang hadir terkejut dengan apa yang terjadi. Mereka mengira pertarungan ini akan seimbang atau setidaknya Nanto bisa menyamai kemampuan Sukrosono sang Badak jika dia berusaha keras.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya, si Bengal membalikkan perkiraan semula. Karena hanya dengan satu pukulan saja, si Bengal sudah sanggup menuntaskan lawan. Ini yang namanya anti-klimaks.

Tidak hanya lawan yang terheran, kawan pun kebingungan.

“A-apakah kamu bisa melihat gerakan si Nanto?” tanya Deka yang terkaget-kaget.

Hageng menggeleng, mulutnya masih menganga terbuka. “Aku hanya zempat melihat gerakan tangannya karena zaat melakukan gerakan itu dia ada jeda. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya dia tiba-tiba biza zampai di dekat Sukrosono begitu cepatnya. Yang pazti, kecepatannya bertambah, zangat bertambah – dia lebih cepat dari zebelumnya. Ini zih gila.”

Ableh Ndaho mengayunkan tangan pada salah satu anggota Talatawon untuk memeriksa kondisi Sukrosono. Orang itu pun berlari dengan tergopoh-gopoh, ia mendekati lawan Nanto dan memeriksanya. Sekali, dua kali, tiga, empat, lima. Semua sisi diperiksa. Apakah dia masih sanggup berdiri dan melawan?

Tangan Sukrosono diangkat. Tapi lantas luruh ke bawah dengan lemas.

Sang anggota Talatawon berdiri dan menyilangkan tangan di atas kepala. Ia menggeleng kepada Ableh Ndaho. Tidak – laki-laki ini sudah habis. Dia tak akan bisa lagi melawan. Jika nekat, bisa saja nyawanya melayang. Ableh Ndaho pun mengangguk melihat kabar dari sang anggota yang memeriksa kondisi Sukrex. Ia segera mengangkat megaphone-nya.

“Pertarungan pertama berakhir! Wow cepat sekali ya!? Pertarungan pertama dimenangkan oleh kubu Lima Jari dari Aliansi! Kedudukan 0-1!!” Ucap Ableh Ndaho dengan lantang di megaphone.

Orang-orang Aliansi pun berteriak kegirangan. Mereka menggila karena sama-sekali tidak mengira pertarungan akan berakhir begitu cepatnya. Pimpinan mereka memang bisa diandalkan. Siapa yang mengira Aliansi akan mengungguli Dinasti Baru?

Ableh Ndaho tidak mengambil jeda dan melanjutkan pengumumannya, “Kita lanjut ke pertarungan kedua!! Siapa yang akan turun di pertarungan kedua?”

Om Kimpling maju perlahan ke tengah lapangan, melihat wakil NWO dihabisi dengan mudah oleh si Bengal membuat pria tua itu merasa panas. Bocah-bocah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja! Mereka harus diberangus!

Om Kimpling tersenyum penuh percaya diri dan bersiap-siap sembari meregangkan badan. Dia menatap Nanto yang masih berdiri di tengah lapangan dengan pandangan kosong dan tangan terkepal erat. “Bagus sekali. Keren banget. Hanya dengan sekali pukulan sanggup menetralisir wakil NWO. Kamu memang punya sesuatu, cah. Tapi kowe ki wasu! Marai pengen muntah karena sok pamer. Tapi tidak semua orang bisa seperti kamu, bajingan wasu. Sekarang turunkan orang kedua! Aku akan tunjukkan padamu bagaimana rasanya melihat temanmu diperlakukan dengan hina seperti tadi!”

Nanto mendengus.

“Tidak akan ada orang kedua atau orang ketiga.” Si Bengal berdiri dengan tegak di tengah lapangan. Ia melesakkan tangan ke dalam saku celana dan memandangi satu persatu anggota Dinasti Baru yang tiba-tiba saja terdiam. “Akulah satu-satunya anggota Lima Jari yang akan turun! Cuma aku yang akan bertarung melawan ketiga wakil Dinasti Baru hari ini! Cuma aku yang akan menghadapi mereka semua! Sendiri-sendiri ataupun bertiga aku tidak peduli! Lebih cepat lebih baik! Cepat maju dan kita selesaikan sesegera mungkin! Kami masih punya masalah besar yang harus kami hadapi!”

Amar Barok terbelalak. Begitu juga Deka, Hageng, dan semua orang yang menyaksikan Tarung Antar Wakil saat mendengar kata-kata si Bengal. Melihat Deka dan Hageng sepertinya kaget, kagum, khawatir, sekaligus penasaran – maka Amar Barok memastikan bahwa mereka berdua juga tidak tahu akan keputusan Nanto ini.

Martoyo Kimpling memaki, “Wasu! Jinguk! Memangnya kami apaan? Jangan anggap remeh!”

Nanto mendengus dan balik menghardik, “SIAPA YANG MENGANGGAP REMEH DULUAN!? Tarung Antar Wakil ini seharusnya jadi ajang pertarunganku dengan om BMW. Tapi beliau tidak hadir tanpa alasan. Beliau sepertinya tidak mau turun ke bawah untuk berhadapan dengan kami, itu artinya beliau meremehkan kami. Karena beliau sudah meremehkan kami, maka aku juga akan meremehkan kalian. Akan aku buktikan kalau orang-orang yang dia kirim tidak ada apa-apanya! Akan kubungkam semua wakil Dinasti Baru!”

Om Kimpling terbelalak. BajinguuuuukWasu! Sombong sekali bocah ini!

Martoyo Kimpling menghardik Nanto, “bocah! Jangan sombong kamu! Baru mengalahkan Sukrex sudah berkoar-koar! Tak toklek gulumu, le! Bakal aku potong lehermu!”

Nanto mendengus dan mencibir.

Amar geleng kepala. Pria bertubuh tegap itu pun mendekati Deka yang berdiri tidak jauh darinya. Ada hal yang harus segera dibicarakan. “Kun.”

Deka yang masih kaget melihat apa yang dilakukan si Bengal disentakkan ke dunia nyata oleh Amar Barok, dia pun menjawab panggilan sang kakak tanpa menengok ke arahnya. “Ya?”

Amar mensejajari sang adik.

“Aku tahu kepercayaan diri bocah itu sedang besar, tapi sepertinya ada sifat sombong dan lupa daratan yang sedang memakan dirinya dari dalam. Sebelum ini tidak pernah ada satu orang pun yang melawan tiga orang sekaligus di Tarung Antar Wakil. Itu terlalu gegabah. Keputusan yang ceroboh sekali.” Amar menunjuk ke arah si Bengal, “kalau dia meremehkan Om Kimpling, maka semuanya akan berakhir. Om Kimpling tidak selemah Sukrosono, Nanto tidak tahu apa-apa tentang kemampuan Om Kimpling. Pimpinan NWO itu punya jurus…”

Deka mendengus sebelum Amar menyelesaikan kalimatnya.

Jujur dia juga tidak pernah menduga Nanto akan melakukan ini. Tapi bedanya dengan Amar – Lima Jari dan Aliansi menaruh kepercayaan seratus persen pada si Bengal. Kalau dia bilang dia mampu, maka itu artinya dia benar-benar mampu. “Kamu juga jangan meremehkan Nanto, Mas. Kemampuannya sudah meningkat dan…”

“Seandainya pun dia dapat melewati Om Kimpling, maka lawan ketiga akan membuatnya hancur. Segera tarik dia dan gantikan dengan anggota yang lain yang sudah ditentukan sebelumnya karena pertaruhannya berbeda. Jika yang kalah itu bukan ketua Aliansi, maka permasalahan tidak akan menjadi besar ke belakangnya nanti. Tapi jika Nanto kalah melawan Om Kimpling atau lawan ketiga, maka reputasi Aliansi akan tercoreng. Kalian tahu sendiri apa yang akan terjadi kalau reputasi Nanto jatuh, lawan seperti PSG dan RKZ akan berlomba-lomba menginvasi wilayah utara. Inilah alasan kenapa Om BMW tidak turun kali ini, dia menganggap kalian masih belum layak dibandingkan dengan Dinasti Baru.”

Hrmph. Memangnya siapa lawan yang ketiga nanti?” tanya Deka sembari menatap ke tengah lapangan. Dalam hatinya, si Gondes sudah bisa menebak.

“Aku. Akulah lawan ketiga,” ucap Amar dengan tegas sembari menatap sang adik.

Deka menatap balik Amar Barok.

Nah.

Bersambung

Foto Telanjang Siswi SMP Berseragam
mantan sexy
Perpisahan ternikmat dengan mantan pacar tercinta
Cerita sexs di entot keponakan ku yang sexy dan genit
cantik suka ngentot
Ngentot Cewek Tetangga Di Kamar Kost
smp bugil
Menikmati Tubuh Andini, Cewek Cantik Imut Primadona Sekolah
teman kuliah
Jadi bahan praktek memijit teman kuliah yang punya dada montok
Foto Ngentot Abg Cantik di Hotel Melati
500 foto chika bandung terbaru 2019 anak abg toge di foto bugil
cewek toge
Keinginanku Menikmati Gadis Bertoket Gede Kini Menjadi Kenyataan
istri bejat
Ku biarkan istriku main dengan lelaki yang lain
ibu guru mandi
Gairah Sex Bu Firdha, Guru Biologi Berjilbab Yang Alim
gadis 16 tahun
Cerita hot keperawananku di renggut oleh anak geng motor
wanita sexy
Nikmatnya ngentot dengan wanita sexy yang punya tubuh menggoda
Foto Tante Memek Tembem Ngangkang Jembut Tipis
Cerita sex kehormatan yang ternodai
cantik
Cerita sex suami yang tak mampu memuaskan nafsu ku