Part #25 : DARA

Kecantikan adalah kekuatan; senyum adalah pedangnya.
– Charles Reade

Udara panas yang menggelayut sepanjang siang rasanya enggan untuk meninggalkan hari dan tetap bertahan hingga sore nanti tiba. Hawa yang menyengat bagaikan titah kuasa sang mentari pada bumi, memberikan cahaya terang benderang dari sudut yang terpencil hingga sisi yang terjauh. Bagai sayap kekuasan seorang raja yang bertahta, hampir tidak ada yang mampu bersembunyi dari sinarnya.

Namun mentari tidaklah tanpa lawan, bumi masih memiliki penyelamatnya, angin yang bersemilir, pohon rindang yang meneduhkan, air yang mengalir di sungai, dan tembok kokoh yang menyelimuti. Semua memberikan andil untuk menyegarkan bumi dan memberikan perlindungan bagi mereka yang membutuhkan.

Bahkan kipas angin yang berdecit pun bagaikan tetesan air yang menyejukkan. Termasuk di sebuah warung tengkleng dan sate yang ramai pembeli siang itu.

Dinda mengelap keringat yang menetes di dahinya dengan punggung tangan. Sudah seharian ini dia harus menggantikan ibunya berjaga di warung karena beliau sedang pergi mengunjungi saudara yang mengadakan hajatan di kota lain. Di satu sisi ia bersyukur karena hari ini warung ramai sekali dan laris manis, tapi di sisi lain Dinda jadi harus kerja ekstra keras supaya tidak mengecewakan siapapun.

Gadis itu duduk di depan meja kasir, bermain dengan kalkulator sebesar nota, sibuk menghitung pendapatan dan menyesuaikannya dengan uang yang tersedia di laci. Sebentar lagi shift akan berganti dan ia ingin memastikan angka yang tertera di nota sesuai dengan nominal yang ada secara fisik sebelum tukar kasir.

Dua juta tiga ratus.

Meski sudah berusaha keras untuk mencoba fokus, tapi pikiran gadis itu tidak benar-benar tengah terpusat. Ada sosok pemuda tampan dalam batinnya.

Kehadiran Deka kemarin benar-benar mengganggu konsentrasi dan membuat perutnya bergolak. Mules yang bukan karena perut kepedesan, gelisah yang bukan karena kekenyangan. Sebel sendiri gadis itu dengan hatinya, kenapa juga harus Mas Deka? Kenapa tidak yang lain? Kenapa tidak memilih yang bisa memberikan kepastian dan bukan sakitnya perasaan? Kenapa yang sudah memiliki belahan hati dan bukan yang bisa mempersembahkan seluruh jiwa?

Pertanyaannya selalu kenapa, kenapa, dan kenapa. Jawabannya sendiri tidak ada dan tidak tersedia.

Dua juta tiga ratus empat puluh lima ribu.

Terngiang-ngiang di benak Dinda wajah dan senyum Deka yang selalu membuatnya merasa tenang dan aman. Kenapa sih mereka harus dipertemukan kalau pada akhirnya dia hanya akan ditakdirkan untuk disakiti, untuk ditinggalkan, untuk merasakan perbedaan kasta?

Capek tau ga sih? Capek banget rasanya. Sungguh Dinda lelah dengan hatinya sendiri.

Dua juta tiga ratus sembilan puluh ribu.

Kita tidak pernah bisa meminta di mana kita dilahirkan dan kepada siapa kita akan jatuh hati. Yang bisa kita lakukan sebenarnya hanyalah menjalankan apa yang menjadi garis hidup yang sudah ditakdirkan dengan ikhlas dan sebaik-baiknya.

Untuk Dinda, setidaknya untuk saat ini… ia yakin ia tidak ditakdirkan untuk mendampingi Deka. Terlalu lebar dan dalam jurang yang memisahkan mereka berdua. Dia juga tidak yakin Mas Deka menyukainya sebagaimana yang ia rasakan.

Semuanya hanyalah…

Haish.

Karena tidak konsentrasi, jemari Dinda secara tidak sengaja memencet tombol di kalkulator saat hendak meletakkan nota di tusukan nota lama. Hilang sudah angka yang tadinya ia hitung berganti dengan angka yang terpencet. Kalkulator kuno itu tentu saja tidak menyimpan memory.

Hadeeeeeh, ga fokus! Malah mikirin apa sih!? Dua juta tiga ratus… eh empat ratus….Eh, berapa ya tadi? Aaaaahhh! Tuh kan! Kacau semua kan!?

Dengan kesal Dinda menarik lagi nota-nota yang tadinya sudah ia hitung dan ia lesakkan di tusukan untuk mengulang lagi. Pikiranmu itu harus dirombak sepertinya, Din. Susah fokus? Gara-gara panas di luar atau panas di dalam hati? Panas-panas begini mending minum es degan dulu baru ngerjain nota deh. Bikin kacau aja. Udah capek hati, capek pikiran pula. Huh!

“Hai, Din.”

“Hai, Mas. Tunggu sebentar ya.”

Dinda melambaikan tangan kepada seorang pria yang tiba-tiba saja menarik kursi plastik untuk duduk di hadapannya. Gadis itu masih tetap tenggelam dengan kalkulator dan nota-notanya.

“Din?”

“Iya, sebentar… Mas… baru ngitung sebentar. Mau pesen apa hari ini?”

“Sibuk?”

“Lha iya… kan aku sedang…” Dinda dengan kesal mendongakkan kepala yang sejak tadi memetakan nota. Siapa sih yang iseng mengganggu dirinya kali ini? Dia kan sedang berusaha untuk fokus dan…

Betapa terkejutnya gadis itu dengan kehadiran Amar Barok di hadapannya. Hampir-hampir Dinda meloncat dari kursinya.

“Eh ya ampuuuuun, Mas Amar! Bikin kaget, Mas. Kapan dateng?”

“Baru aja. Kamu gimana kabar?” pria bertubuh kekar itu duduk di hadapan Dinda dengan menyilangkan tangan. Senyumnya membias di antara jambang dan brewoknya. Sosok kekarnya membuat beberapa orang segan memandang.

“Baik, Mas. Lumayan nih sibuk, kuliah sama kerja.”

“Kok di sini? Ibu kemana?”

“Sedang ada kondangan, Mas. Makanya Dinda gantiin.” Dinda kembali ke nota-notanya. “Kemarin Mas Deka yang dateng, sekarang Mas Amar. Kenapa ga barengan aja sih kalian? Bisa ngirit ongkos bensin.”

“Oh ya? Si Kun… Deka kesini?”

“Iya.”

“Mau nyariin Pakdhe Wid?”

“Sepertinya begitu, ya kali dia nyariin Dinda, Mas. Hahaha.”

“Siapa tahu.”

“Gak lah, Mas.”

“Kan siapa tahu. Kayak aku sekarang. Aku datang ke sini khusus buat nyariin kamu.”

Dinda tertawa kecil, “bisa aja Mas Amar.”

“Serius, Din.”

“jangan bercanda ah, Mas.” Dinda kembali tertawa, gadis itu menyeka keringat yang turun di dahinya. Kecantikan alaminya muncul saat Dinda sedang bekerja keras seperti ini, rambutnya yang dikucir kuda, wajahnya yang ramah, senyumnya yang ga ada obat.

Amar pun berdiri dan menghampiri Dinda, ia menarik kedua tangan gadis itu dan memegangnya erat. Dinda tentu saja terkejut karena tindakan tiba-tiba sang pria bertubuh kekar.

“Mas! Apaan sih!” Dinda mencoba meronta. “Jangan becanda ah. Dinda lagi ngerjain…”

Mata Dinda menatap Amar. Kenapa… kenapa mata Mas Amar serius banget?

“Lepasin, Mas.” Dinda menyentakkan tangannya dengan takut.

Beberapa pengunjung warung melirik ke arah Amar dan Dinda yang menimbulkan sedikit keramaian. Dua sosok insan manusia itu saling berdiri dan berhadapan.

“Aku kesini khusus buat nyariin kamu.” Ucap Amar dengan pasti.

“Ya udah iya… sekarang Dinda sedang sibuk dan…”

“Kedatanganku ke sini… untuk melamarmu.”

Jantung Dinda bagai hendak copot mendengarnya. Ia tak mempercayai pendengarannya, tapi wajah Amar benar-benar sangat serius. Keringat dingin mengalir deras di wajah sang dara.

Ini serius?

Dinda Dewika

.::..::..::..::.

Hanna Dwi Bestari

Makan siang telah usai, Kinan dan Nuke membantu Tante Susan mencuci piring, sementara Hanna merapikan meja makan. Nanto – duduk di teras depan, menikmati segelas es teh sambil memainkan gitarnya. Dasar kaleng sarden, bukannya bantuin beres-beres malah nyantai. Dasar kelakuan.

Hanna yang sudah menyelesaikan bagiannya menyusul si bengal di depan. Gadis itu sengaja berdiri dan bersandar di kusen pintu sembari mendengarkan Nanto memainkan jemarinya di senar-senar yang berdenting. Angin semilir sesekali menghampiri, mengibarkan jambul manja di rambut si bengal. Membuat pemuda itu seperti maestro meski senarnya kadang-kadang mendecit berbeda tujuan dari pakem lagu aslinya.

Hanna melipat kedua tangannya dan menikmati petikan jemari si bengal yang lincah meloncat, kadang berpindah dari satu kunci ke kunci lain, oke dia tidak bisa bermain gitar dengan sempurna, tapi paling tidak semangatnya bolehlah… bolehlah tidak didengarkan, Hehehe.

Ah tidak juga, paling tidak pemuda itu sanggup menyajikan permainan gitar yang lumayan asyik dinikmati di tengah suasana syahdu ditemani semilir angin sepoi. Gadis itu pun menyandarkan kepalanya ke samping. Ah lagu ini… sebuah lagu klasik yang komposisinya diciptakan oleh Johann Pachelbel, seorang komponis asal Jerman – Canon in D. Lagu klasik yang selalu muncul di playlist Hanna entah itu di aplikasi yang ini ataupun aplikasi yang ono.

Ting.

Petikan terakhir terdengar. Nanto menyeruput es tehnya dan mengeluarkan desah rasa nikmat. Ah. Apapun lagunya, minumnya selalu es teh yang di gelas bukan di botol.

“Hai.” Hanna memberanikan diri menyapa.

“Hai.” Nanto tersenyum, terbayang di benak si bengal kebaikan hati gadis jelita itu. Gadis yang baginya bagaikan bintang di langit yang terlalu indah untuk dipandang berlama-lama. Sedikit saja melirik dan pesona Hanna akan membuat mata tak bisa berpaling. Hanna memang seindah itu. “Terima kasih kemarin sudah datang, kemarin hari ini sudah mengantarkan aku ke rumah. Tanpa bantuan kamu, aku mungkin bakal…”

“Ih. Pakai basa-basi, dong. Aku dan kamu dipertemukan dengan cara yang tidak biasa, Mas. Tanpa kita tahu apa alasannya. Tapi kamu sudah pernah membantu aku dan kewajibanku juga untuk membantu kamu. Kita berdua sama-sama tahu kalau kamu juga akan melakukan hal yang sama kalau posisinya dibalik.” Hanna duduk di samping Nanto. “Maaf kalau hari-hari terakhir ini aku sering ngerecokin kamu, Mas. Aku sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa aku bersikap seperti ini sama kamu. Ini kayak bukan aku aja, aku merasa berbeda kalau deket sama kamu.”

“Hmm… gitu ya?” Nanto hanya terkekeh kecil.

“Ih malah ngeledek. Serius ini, Mas. Sudah lama aku tidak merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Tidak pernah lagi sejak…” Hanna berhenti sejenak, ia menatap Nanto serius. “Eh iya! Jadi inget, tadi Tante kamu pesen kalau-kalau kami punya channel lowongan pekerjaan buat Mas Nanto. Kan aku sudah pernah kasih info ke kamu ya? Sudah dihubungi belum? Belum kan?”

“Eh… iya ya?”

“Duh, mesti kamu kelupaan kan, Mas? Ga dihubungi kan nomer yang pernah aku kasih dulu? Nomernya Mbak Linda?”

“Hehehe. Iya e. Aku belum sempat.”

“Tapi kamu keberatan ga kerja di cafe, Mas? Takutnya kamu canggung atau males. Aku ga mau maksain kamu kerja kalau kamu tidak berminat, Mas.”

“Mau aja kok. Cuma belum sempat hubungin.”

Haish. Ya udah, ini orangnya aku telpon sekarang aja…”

“Hah?”

Nanto jadi merasa tidak enak saat Hanna tiba-tiba membuka ponsel dan mencari sebuah nama di deretan kontak WhatsApp. Ketika sudah menemukannya, Hanna kemudian melakukan panggilan telepon. Hebatnya langsung diangkat tak beberapa lama kemudian.

“Halo? Haloooo Mbak Lind!!! Gimana kabaaaar? Iya aku sehat-sehat aja kok. Mbak Lind sendiri sekarang gimana kabarnya?” Hanna sesaat kemudian tenggelam dalam percakapan basa-basi ngalor ngidul ngetan ngulon sebelum akhirnya masuk ke tujuan utama. “Eh… Mbak Lind… aku nanya deh. Cafenya masih jalan kan? Masih ya? Wih mantep! Tambah rame ya? Keren asli… keren… keren… padahal bukanya dari pagi sampe malem yak? Emang Mbak Lind punya tangan Midas, nyentuh usaha apa aja sukses. Pegang tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman. Hihihi.

“Eh, Mbak. Boleh nanya ga? Kira-kira di cafe Mbak Lind masih butuh karyawan ga ya? Ada temenku yang butuh kerjaan nih. Kerja apa aja mau, orangnya fleksibel kok, asal dicelup di air bisa lentur kayak kanebo. Hihihi.”

Gleg. Nanto menatap Hanna dengan pandangan cengo.

“Hah? Bener? Beneran ada lowongan? Asyiiik. Bisa kok bisaaaa. Dia mah apa aja bisa. Masak air bisa dipastikan ga gosong, Mbak. Hihihi.” Ucap Hanna sambil melirik ke arah Nanto dan mengedipkan mata sambil tersenyum manis semanis donat yang mesis coklatnya tumpah-tumpah. Duh yang begini nih yang bikin si bengal meleleh kayak mentega dicemplungin ke wajan. “Besok? Boleh deh, aku anterin dia ya, Mbak Lind. Siaaaaap. Makasih Mbaaaaak.”

Klik.

“Tuuuuuh. Beres kan? Besok pagi jam 10an siap-siap ya. Aku jemput ke sini, lalu aku anterin ke cafe-nya Mbak Lind buat wawancara.”

“Wuaduh, kok jadi kamu yang turun tangan langsung, hehehe. Makasih banyak ya, Hanna.”

“Aku tahu kamu butuh pekerjaan, Mas.” Hanna tersenyum lembut, “ini bisa jadi solusi sementara. Yah, jangan berharap gajinya langsung gede. Yang penting ada pemasukan dulu dan ada pengalaman. Kalau nanti memang ada yang lebih baik, ya pindah aja.”

Nanto mengangguk-angguk sambil memainkan bibir bawah dengan sesekali menggigitnya. Bisa jadi memang ini salah satu peluang yang bisa disambar, toh dia tidak bisa selamanya mengandalkan hidup di bawah atap Om dan Tante-nya. Meski hanya memiliki gaji kecil dan seadanya… setidaknya dia ingin bisa hidup mandiri, dia harus membuktikan terutama kepada dirinya sendiri bahwa dia laki-laki.

Kalau kata kakeknya dulu, laki-laki itu seharusnya memiliki jiwa mandiri yang kuat, yang tidak boleh bergantung pada orang lain, memiliki mental terasah yang terus menerus berusaha dengan tangan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, tidak mengharapkan dan tidak bergantung kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan. Bukankah berusaha dengan tangan sendiri lebih baik ketimbang menengadahkan tangan untuk meminta kepada orang lain?

Jadi ya sudahlah dia oke-in aja. “Oke deh.”

Tapi… ada satu pertanyaan yang selalu menaungi pikiran si bengal jika melihat Hanna.

“Omong-omong… sudah beberapa hari ini kamu tidak cerita, cowok kamu itu gimana kabar?”

Wajah Hanna yang tadinya ceria berubah menjadi gelap dalam sesaat. Seakan-akan ada awan gelap yang menutup wajahnya bagaikan filter kamera gaul salah pencet ke mode dark. Apalagi tak lama kemudian, angin nakal mampir sejenak ke teras rumah, memainkan rambut panjang Hanna. Haduh, bisa aja angin ngasih efek-efek dramatis yang bikin Nanto makin gelisah. Geli-geli basah.

“Ga tau lah, Mas. Aku juga bingung gimana baiknya. Udah ah, jangan tanya yang itu dulu ya… bikin bad mood. Heheh.” Hanna tersenyum lembut. “Pokoknya besok aku ke sini jemput Mas Nanto dan kita bareng-bareng ke cafe Mbak Linda. Oke?”

Nanto mengangguk dan membalas senyumannya. Okelah kalau begitu.

.::..::..::..::.

“Jangan. Pernah. Hubungi. Ponselku.”

Adrian menatap Eva dengan pandangan tajam penuh emosi, kalimatnya patah-patah dan penuh amarah di setiap titiknya. Si cantik itu pun menanggapi Adrian dengan santai sembari menyilangkan kakinya yang jenjang di depan suami Asty dengan senyum sinisnya. Kimono ala hotel warna putih yang dikenakan Eva membuatnya tampil seksi dan penuh pesona seorang wanita matang. Sekilas bisa terlihat pakaian dalamnya baik yang atas maupun bawah yang berwarna merah di sela-sela kimono, kontras dengan kulitnya yang seputih pualam. Tapi dasar Eva, ia tidak peduli apakah Adrian bisa melihat dalamannya ataupun tidak.

Tidak akan ada orang di dunia ini yang menyatakan kalau Eva tidak cantik, karena dia sungguh amat mempesona.

Adrian meneguk ludah untuk mengakui. Seksi gila memang cewek di depannya ini. Eva hanya tersenyum melihat pria itu terpaku menikmati keindahan tubuhnya.

“Mas Adrian datang ke apartemenku tanpa diundang, masuk ke dalam kamarku dengan memaksa, dan sekarang mengancam dan memerintahkan aku untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan wewenang Mas Adrian? Mas Adrian sehat? Aku bukan istrimu, Mas. Mas tidak berhak melarangku ini itu. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau.” Eva memainkan jemarinya dengan menepukkan jari tangan kiri dan kanan dengan pelan satu sama lain. “Dengan sekali pencet ke telepon, aku bisa memanggil sekuriti untuk melemparkan Mas Adrian dari lantai teratas gedung ini. Jadi jangan main-main sama aku, Mas.”

“Aku sudah bilang aku akan membereskan semuanya. Jadi jangan ganggu aku dan jangan pernah hubungi aku apalagi sewaktu aku bersama istriku.”

Eva tertawa, suaranya yang serak terasa tidak nyaman didengarkan. “Terserah aku, dong. Kenapa? Takut istri Mas cemburu? Takut istri Mas mengetahui dosa-dosa yang selama ini Mas simpan sebagai rahasia?”

“Baji… Dasar lont… Huuuhhh!!!?”

“Lont… apa? Lont apa!!? Ayo sebutkan saja! Jangan ditahan, jangan sungkan! Ya, aku memang lonte! Aku memang lonte, Mas! Tapi lonte ini bisa menghancurkan semua yang kalian bangun dari nol hingga sebesar sekarang dengan mudahnya! Sekali lagi, jangan main-main sama aku! Turuti kemauanku, ikuti semua petunjuk yang aku berikan, maka semuanya akan berjalan dengan tenang dan tanpa masalah. Tidak akan ada yang dirugikan dan tidak ada yang perlu merasa kesal. Kalian sudah aku berikan opsi yang mudah, sudah aku berikan cara yang gampang, tapi kalian malah cari yang sulit. Bukan salahku, kan?”

“Kamu ini…!” geram rasanya Adrian menghadapi wanita di hadapannya ini. Jelas-jelas justru dia yang menjerumuskan semuanya ke jurang keterpurukan! Dia memang sungguh cantik, dia memang sungguh seksi, tapi hatinya culas dan licik!

Adrian berusaha menahan diri, menahan emosi, dan menahan napas supaya sanggup menerima semua kenyataan pahit yang akan terjadi di hari-hari mendatang. Pria itu sedang dalam kondisi bimbang dan bingung.

“Aku bisa menghancurkan semuanya, Mas. Aku bahkan bisa menghancurkan istri Mas. Aku bisa menjebloskan istri mas yang cantik jelita itu ke pasar bunga untuk melayani hidung belang kalau sampai permintaanku tidak dituruti.” Eva tersenyum sinis. “Atau mas bisa bayangkan saja istri Mas yang putih itu kakinya ngangkang untuk menerima sodokan dari om-om kuli proyek yang akan aku perintahkan untuk memperkosanya beramai-ramai. Mas mau seperti itu!?”

“LONTEEEEE!!!” Adrian sudah tidak bisa bersabar lagi, “Jangan pernah libatkan istriku dalam urusan ini! jangan pernah libatkan keluargaku! Jangan pernah!! Aku akan…”

“Akan apa? Kayak bisa aja melawan aku…” Eva tertawa, “ya sudah kalau begitu… turuti permintaanku dan semuanya aman, semuanya selamat. Hanya begitu saja kok. Kenapa sesuatu yang mudah harus dibikin repot sih, Mas?”

“Permintaanmuuu itu! Permintaanmu itu tidak bisa kami…” Adrian sudah bersiap maju sembari mengangkat tangan. Entah hendak menampar atau melakukan hal lain. Tapi ia tidak jadi melakukannya. “Kami tidak mampu… kami…”

“Mas, aku tidak mau dengar alasan apapun. Kayak abg aja bisanya cuma alesan melulu. Kalau kalian tidak mampu ya usahakan sampai mampu. Kalau kalian menyerah… ya sudah kan? Akan aku eksekusi ancamanku. Kalau permintaanku tidak dipenuhi, maka Mas tahu sendiri apa resikonya. Kalau Mas mencelakakan aku, maka asistenku di tempat lain akan secara otomatis mengirimkan bukti-buktinya ke media. Aku telah menceritakan semua kejadian yang dulu berlangsung pada asisten-asistenku yang terpercaya, jadi rahasia kalian tetap akan tersebar.”

“Kamu ini…” gigi Adrian bergemeretak dengan penuh amarah.

“Kalau aku sudah menginginkan sesuatu, maka aku akan mendapatkan yang aku mau, Mas.” Eva berdiri sambil berkacak pinggang, “Kalau tidak sanggup memenuhi permintaanku, sekarang keluar dengan baik-baik dan pulang. Aku bosan lihat wajah Mas.”

Adrian tertunduk lesu.

Kalah.

Dia merasa kalah.

Eva Kusuma

.::..::..::..::.

Kinan Larasati

“Makasih ya, Mas. Sudah dikenalin ke Tante, ke Om, diajak ke rumah.” Ucap Kinan setengah berbisik. Saat itu Nuke, Hanna, dan Tante Susan sedang sibuk bertukar resep makanan sementara Kinan duduk di samping Nanto yang sibuk mengunyah potato chips. Kinan sebenarnya juga suka berbagi resep, tapi kali ini dia lebih ingin menempel ke si bengal.

“Hehehe, apaan sih… justru aku yang harus banyak-banyak berterima kasih, Kinan sudah banyak sekali bantuin mulai dari di rumah sakit sampai sekarang nyampai di rumah. Makasih banget ya.”

“Boleh ga sekali-sekali aku main ke sini?”

“Kenapa ga? Boleh kok, asal ngabarin dulu. Aku lebih sering keluyuran kemana-mana daripada di rumah, hehehe.”

“Boleh ikut keluyurannya ga?”

“Hahahaha, apaan sih, Kinan. Aku jarang kok ngumpul sama cewek-cewek, kebanyakan temenku garangan semua. Takutnya ga cocok sama gaulnya Kinan.”

“Atau sekali-sekali jalan keluar berdua aja gitu…” Kinan mengucapkannya setengah berbisik, takut kedengeran yang lain. Gadis itu menunduk sembari menyembunyikan pipinya yang memerah semerah strawberry. “Cuma kepengen ngerasain apa yang dulu pernah kita jalanin sewaktu hujan itu sih.”

Nanto tersenyum. “Aku juga pengen. Ya udah, minggu depan kita jalan berdua aja.”

“BENERAN?”

Suara Kinan yang sedikit kencang tentu membuat Hanna, Nuke, dan Tante Susan menengok. Kinan langsung salah tingkah – sementara si bengal hanya tertawa kecil dan menggaruk-garuk kepala.

“Ja-jadi beneran ya, Mas? Ka-kalau mencukur alis itu bisa ngelihat hantu?” ucap Kinan sambil melirik ke arah Tante Susan, Nuke, dan Hanna yang langsung mengernyitkan dahi mereka. Duh, ngomong apa sih dia barusan. Random banget… tobaaat.

Setelah yang lain kembali sibuk pada bahasan resep, barulah Kinan menarik napas lega.

“Hehehe, random banget ya yang barusan.”

Random abis, Mas. Ga tau lagi mesti ngomong apa. Ahahhaa.” Gadis cantik berhijab itu tersenyum.

Senyuman Kinan adalah senyuman yang membuat laki-laki normal akan langsung terpesona. Si bengal juga laki-laki biasa, itu sebabnya dia sampai mangap ga bisa ngomong apa-apa. Edyan, si Kinan ini terbuat dari apa ya bisa cantik, putih, bening, dan baik begini? Dibikin dari tepung yang seperti apa ya dulu adonannya? Yang model begini ini biasanya orang akan berlomba-lomba untuk halalin.

Sementara itu jantung Kinan juga langsung berdegup kencang. Minggu depan jalan bareng, minggu depan jalan bareng. Be-berarti itu kencan kan? Kencan pertama mereka? Kyaaaaaa!!

Blssshhh.

Wajahnya kembali memerah.

Tom yum seafood.”

“Eh?” Apa nih kok tiba-tiba Nanto bilang tom yum? “Ada apa dengan tom yum seafood, Mas?”

Nanto tersenyum nakal, “Kinan kan pernah nanya aku pengen makan apa. Tempo hari tante pernah beli tom yum yang enak banget. Doyan banget tuh aku. Kinan bisa kan bikinnya? Pengen banget makan lagi.”

“Eeehhh!?” senyum Kinan melebar. “Gampang itu mah, tinggal cemplungin bahan ini itu. Tapi enaknya kalau anget-anget, Mas.”

“Ya sudah, ntar kita belanja bareng buat siapin bahan-bahannya, lalu abis itu kita masak bareng di sini, gimana?”

“Ahhhhh!!”

Berbunga-bunga rasanya hati Kinan. Ia langsung mengangguk.

.::..::..::..::.

Asty merengut. Dia memainkan hapenya dengan wajah mirip gorengan sisa kemarin. Alot tur atos. Gimana sih ini? Adrian sang suami tidak bisa dihubungi, di-whatsapp ga dibales. Nanto apalagi, dari kemarin lusa susah banget dikontak. Whatsapp juga ga ada respon sama sekali. Kemana lagi si bengal sekarang? Ga tau apa kalau Asty sudah kangen banget? Apalagi akhir pekan ini rencananya dia pengen ngajakin si bengal berduaan, tapi dihubungin aja susah. Bikin sebel!

Kantin sudah sepi siang itu karena anak-anak sudah kembali masuk ke kelas dan pelajaran sudah dimulai. Asty kebetulan sedang tidak ada jam mengajar sehingga dia memilih duduk-duduk santai di kantin sekolah sembari minum jus mangga yang segar. Sengaja minum yang beginian untuk mendinginkan kepalanya yang panas – ia tidak makan karena sebelumnya sudah membawa bekal.

Melirik ponselnya sekali lagi, Asty mendengus kesal.

Huh! Dasar cowok di mana-mana sama aja!

“Hahaaai, Bu Asty!!”

Terwelu mangan sotong!! Kaget monyoooong!!

Suara itu sudah sangat terpatri di sanubari Asty untuk dihindari. Kenapa juga di siang yang panas dan menyebalkan ini justru sosok yang bertebaran aroma amis ini yang datang? Kenapa bukan Lee Min Ho atau Jungkook BTS? Cuekin aja kali ya? Nantinya siapa tahu bisa pergi sendiri.

“Bu Asty. Hahahai.” Halah kata sapanya cuma dibalik doang.

Jangan sekarang… jangan sekarang… jangan sekarang… arrrghhh!

Asty mencoba pura-pura tidak mendengar.

“Ahahahai! Aduh tidak menduga tidak mengira, ada bidadari duduk bermuram durja di kedai sekolah yang temaram, lembut, dan bersahaja.” Pak Man duduk di kursi yang ada di depan Asty. Padahal kursi-kursi lain juga tidak ada yang menempati. Emang dasar orang satu ini. Apa ya ga kapok tempo hari dia hajar? Eh tapi rupanya dia tidak sendiri. Siapa orang ini?

“Mari Pak, duduk di sini. Kita temani saja Bu Asty yang sedang sendirian ini.” Pak Man dengan seenaknya menarik kursi di sampingnya bagi orang yang bersamanya. Padahal tidak ada yang nyuruh, Asty juga tidak menawarkan. Sembrono emang wedul gembes satu ini.

“Maaf mengganggu ya, Bu.” suara sopan yang lembut itu berbeda dengan suara nyablaknya Pak Man. Jauh lebih enak didengarkan.

“Eh iya, Pak. Tidak apa-apa.” Asty mencoba membalas sopan santunnya dengan ramah.

Ketika orang itu duduk barulah Asty sanggup mengamati. Eh lumayan juga ternyata, bahkan bisa dibilang ganteng. Kulit putih, berkacamata, tubuh tegap seperti biasa masuk gym dengan membership level gold atau platinum, rambut kelimis, pakaian rapi jali dan wangi, ada sedikit kumis tipis melintang manja di atas bibir yang memerah. Benar-benar sosok yang seakan-akan menculat keluar dari layar drama korea.

Ganteng? Banget.

“Bu Asty, kenalkan ini guru baru kita, Pak Rey-rey-rey-Reynaldi. Ihihihik.” Dih, ketawanya kok gitu ya, Pak Man? “Pak Rey, kenalkan, ibu guru super cantik manis mempesona seperti gula di taman berbunga ini namanya Bu Asty, dia guru BK kita.”

Wuh lebay. Asty tetap mencoba tersenyum manis sambil menganggukkan kepala, berusaha untuk bersikap ramah. Meski tatapannya masih dingin. “Asty.”

“Salam kenal ya, Bu. Saya Reynaldi, mulai hari ini resmi bergabung ke SMA Cendikia Berbangsa untuk menggantikan guru sebelumnya. Maaf mengganggu makan siangnya ini. Eh makan siang atau minum siang ya, hahaha.”

Ganteng emang, tapi ga bisa becanda. Garing.

“Oh guru baru.”

Pak Man pun nyerocos menimpali, “Nah iya. Jadi Bu… Pak Reynaldi ini jadi guru baru kita yang akan mengajar mapel seni dan budaya. Ihihihik. Gurunya seni aja ganteng begini, pasti banyak siswi-siswi yang mendaftar ya, Bu? Asli, beneran, yakin, bakal banyak yang daftar di tahun ajaran baru nanti. Yang cewek-cewek kepincutnya sama Pak Rey, yang cowok-cowok pengennya nempel sama Bu Asty. Cocok sudah! Dream team ini namanya! Beneran! Yakin! Asli!”

Uhuk.

Bisa-bisanya sih orang ini!? Asty jelas tidak ingin berlama-lama bersama Pak Man. Jengah banget rasanya. “Kebetulan saya sudah selesai, Pak Man, Pak Rey. Saya duluan ya.”

“Oh ya ya… duh sayang sekali siang ini tidak akan ada bidadari yang menerangi cahaya temaram di kantin yang jualan mie ayam.”

Tuh kan. Sok puitis tapi asal banget.

Begitu Asty berdiri, secara tidak sengaja tangannya mendorong kencang ponselnya yang terletak di meja. Hp itu pun terlempar ke arah pinggir dengan kecepatan tinggi.

“Aaaaah!!” Asty berteriak kaget sekaligus khawatir dengan ponselnya.

Yang tidak diduga-duga adalah Pak Rey ternyata memiliki kecepatan yang luar biasa. Dengan cekatan ia bergerak ke arah ponsel itu dan menahannya tepat sebelum ponsel Asty jatuh berantakan ke lantai kantin. Tepat di detik-detik krusial, ponsel Asty berhasil diselamatkan.

Rey pun berdiri dan memberikan ponsel itu ke Asty. Jari-jari mereka bertemu dalam sebuah sentuhan singkat. Sentuhan yang mungkin innocent tanpa tendensi. Tapi sentuhan tetaplah sentuhan, apalagi antara seorang wanita dan pria yang sama-sama mempesona.

“Ponselnya, Bu. Mungkin lain kali hati-hati.” Tatapan tajam Pak Rey dengan alisnya yang tebal dan jantan membuat panah-panah pesona menghujani Asty, senyumnya juga sangat teduh, apa-apaan sih orang ini? Tahu-tahu datang dengan pesonanya yang mengkhawatirkan? Sosoknya yang tinggi menjulang dan tegap seakan siap melindungi dan memberikan keteduhan.

“Te-terima kasih.” Mata Asty tak bisa lepas dari mata Rey. Ada sesuatu yang…

Jangan terpancing!

Buru-buru Asty berbalik dan berlari kecil untuk kembali ke ruang BK sementara Pak Man kebingungan. Ada apa ya ini? Ono opo to iki? What’s happening?

Tapi Asty tahu dia harus segera pergi dari kantin. Harus. Segera. Pergi.

Duh, gawat ini gawat.

Nanto… di mana kamu…? Di mana kamu…? Di mana kamu…?

Asty menggenggam ponselnya di dada sembari setengah berlari.

Si cantik itu tidak tahu Rey mengamatinya dari kejauhan sembari membenahi kacamatanya. Sang pria tampan itu pun tersenyum.

Hanna Dwi Bestari

.::..::..::..::.

Nuke Kurniasih

Nanto menutup pintu kamar, menepuk saku celananya yang kini sudah berisikan sesuatu, dan turun melalui tangga untuk menemui para gadis dan Tante Susan. Matanya menelusuri ruangan yang sekilas terlihat dari atas, Om Darno tidak terlihat. Mungkin sedang sibuk di garasi sedang entah mengoprek apa lagi karena terdengar beberapa kali suara mobil dinyalakan – biasanya sih kalau sudah oprek gitu ujung-ujungnya rusak dan dibawa ke bengkel.

Dari tangga tempatnya turun, Nanto bisa berbelok ke kanan untuk menuju ruang tamu atau ke kiri untuk menuju ke dapur dan toilet. Ia tentu memilih berbelok ke kanan. Tapi baru saja ia sampai di ruang tamu, suara seorang gadis terdengar memanggilnya dari dapur yang berseberangan dengan kamar kecil.

“Mas Nanto, boleh aku minta tolong sebentar?”

Suara dari arah dapur itu suara Nuke. Nanto yang baru beberapa langkah masuk ke ruang tamu pun menengok ke belakang dan ke arah Tante Susan yang mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya si bengal tidak enak membiarkan tante-nya harus menghadapi para gadis sendirian. Tapi Tante-nya tidak keberatan.

“Coba kamu bantuin itu Si Nuke kenapa. Tadi dia pamit ke belakang sebentar.”

“Siap Tante.” Nanto tersenyum dan mengangguk. Ia menurut saja dan berbalik arah. Ada apa ya? Apa pintu kamar kecilnya macet? Atau malah tidak bisa ditutup? Si bengal melangkah ringan untuk menemui Nuke.

“Hai? Ada yang bisa dibantu?”

Ketika Nanto menyembulkan kepalanya di dapur, Nuke ternyata hanya sedang bersandar santai di dekat pintu kamar kecil sembari mengunyah permen karet. Gadis itu tersenyum melihat kedatangan si bengal.

“Barusan manggil? Ada yang bisa dibantu kah?” Sekali lagi Nanto mengulang pertanyaannya.

Sepertinya gadis itu baik-baik saja, tidak ada masalah. Dapur sepi, cucian beres, kamar mandi tidak bersalah. Lalu kenapa Nuke memanggilnya barusan ya? Ada perasaan aneh saat Nanto memperhatikan wajah Nuke, gadis itu menatap Nanto dengan pandangan tajam yang tidak bisa dijelaskan si bengal. Pandangan yang berbeda, seperti sedang menyelidik, tajam menusuk, tapi juga membuatnya merasa iba. Pandangan itu tidak seperti yang ditunjukkan Hanna, Kinan, atau bahkan Asty – ada sesuatu yang misterius yang membuat si bengal penasaran.

Nuke tertawa kecil, manis sekali. Semanis madu yang dicelupin ke gula batu dicampur oreyo. Gadis itu mengedipkan mata sambil setengah berbisik, mungkin biar orang-orang di depan tidak mendengarnya. “Kamu benar-benar lupa ya siapa aku?”

Si bengal tersenyum, dia berjalan mendekat ke arah Nuke. Si bengal menarik sesuatu dari dalam saku celananya, sesuatu yang baru saja ia ambil dari kamarnya saat para gadis sedang ngobrol dengan sang Tante – ketika ia menariknya dari dalam saku, terlihatlah barang apa itu. Powerbank yang pernah dipinjamkan Nuke pada suatu ketika. Nanto dengan berani membuka telapak tangan Nuke dan meletakkan perangkat itu.

“Tidak, aku tidak lupa. Kepalaku memang sering digetok, tapi aku belum amnesia. Aku hanya pura-pura lupa siapa kamu demi efek dramatis.”

Nuke tersenyum kecil, dia menundukkan kepala. “Terima kasih. Terima kasih telah mengembalikan powerbank-ku, dan terima kasih telah mengingat siapa aku.”

“Aku yang seharusnya berterima kasih, maaf baru sempat mengembalikannya sekarang. Seharusnya aku mengantarkannya ke lapangan ya, bukan di sini, bukan sekarang. ”

“Tidak apa-apa… aku belum membutuhkannya.”

“Ya sudah. Yuk ke depan lagi.”

“Aku masih mau ke belakang sebentar…”

Si bengal tersenyum dan mengangguk, ia berjalan pelan meninggalkan Nuke yang entah kenapa hanya melamun saja sejak tadi di sini. Ya sudah, biarkan dulu gadis itu melanjutkan lamunannya untuk kembali pada Hanna, Kinan, dan Tante Susan. Ada sesuatu yang sangat dalam yang sedang ia pikirkan, dan kalau Nuke masih tidak ingin berbagi, ya tidak apa-apa juga.

“Tu-tunggu…”

Si bengal berhenti dan menengok ke belakang.

“Aku butuh bantuanmu.”

Butuh beneran atau nggak nih?

Nuke melangkah ringan mendekati Nanto dan berbisik perlahan. Gadis itu sempat melirik ke arah ruangan tempat Kinan dan Hanna berada. Dari sini tak ada yang bisa melihat posisi dirinya dan Nanto karena terhalang tembok, suara kedua gadis itu juga terdengar karena keduanya sedang sibuk bersenda gurau dengan Tante Susan.

Nanto tersenyum. “Bantuan apa nih? Beliin kelapa parut? Beli gula jawa? Bantu ngapain? Pasti akan aku bantu selama aku bisa melakukannya.”

Nuke terkekeh ringan mendengar ocehan receh garing ora mutu dari si bengal, ia lantas mendesah pelan, bisikannya terdengar parau. “Aku butuh…”

Tidak ada orang yang melihat kan? Memanfaatkan keadaan, Nuke mendorong si bengal sampai bersandar ke tembok lalu mendekatkan dirinya ke tubuh Nanto. sangat-sangat dekat hingga napas gadis itu bisa terdengar oleh si bengal. Nuke memainkan jemarinya di pundak sang pemuda yang perlahan-lahan turun ke dada.

Glek.

Nanto berniat mundur selangkah karena kaget, tapi bagaimana mau mundur wong sudah mepet ke tembok. Saking mepetnya udah kayak cicak-cicak di dinding

“Aku butuh… ditemani untuk datang ke suatu tempat. Sepertinya cuma Mas Nanto yang akan cocok menemaniku pergi. Jangan bilang-bilang Kinan ya, tapi ini sungguh penting, Mas.” bisik Nuke dengan suara yang berbeda. Agak… menggoda?

Nanto mengerutkan kening, ada yang aneh ini. Kenapa Nuke tiba-tiba bertingkah seperti ini? Kenapa dia tidak ingin Kinan tahu? Bukannya mereka berdua sahabatan ya? Si bengal mau tidak mau harus bertanya. Nuke tersenyum genit dan mengedipkan mata. Dengan berani gadis itu memainkan lipatan kaus di dada si bengal. Tubuhnya makin lama makin dekat dan makin dekat, benda yang bulat tapi bukan tekad makin menempel di dada si bengal.

Wadidaw.

Semakin si bengal gelisah, rasanya semakin lengket payudara montok Nuke menempel di dada si bengal. Pemuda itupun menelan ludah karena tenggorokannya rasanya seperti tercekat. “Penyi… Uhuk… Pergi ke mana?”

Paradise city. Heheh. Kalau Mas Nanto mau, malam sabtu hubungi nomorku. Nanti aku jemput ke sini pakai motor. Tapi ingat, syaratnya ga boleh bilang-bilang Kinan. Mau ga mau pokoknya aku tunggu kabarnya.”

Apa-apaan sih ini!? Serius nih ada yang aneh! Kok tiba-tiba saja Nuke jadi wagu begini? Bukannya dia sudah punya cowok ya? Lagipula jelas-jelas Kinan juga ada di depan. Kenapa Nuke godain dia ga wajar begini? Nakal juga ya ternyata.

Yang aneh-aneh begini kadang yang justru membuat si bengal penasaran. Nanto kok ditantang.

Hmm… Paradise city? Disambangi atau nggak enaknya?

 

Take me down to the paradise city,
where the grass is green and the girls are pretty.

.::..::..::..::.

Hageng berdiri jumawa di hadapan Albino dan Kang Daan yang kembali berdiri dan bersiap. Albino menarik napas pendek berulang-ulang dengan mata nyalang, mengincar Hageng penuh amarah. Daan menepuk debu dari pakaian yang ia kenakan, lalu mengambil kuda-kuda untuk kembali menyerang. Keduanya sudah cukup merasa dipermalukan oleh sang pria bertubuh raksasa, berambut kribo, dan berwajah dongo ini. Saatnya menuntaskan apa yang sudah dimulai! Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Baik Daan maupun Albino tentunya tidak ingin mengakhiri pertarungan kali ini dengan kekalahan. Reputasi mereka berdua di depan para pendukungnya dipertaruhkan.

Cuma ada dua opsi dan satu keluaran. Babat habis atau dihajar tuntas.

Set pertama bolehlah untuk Hageng, tapi hal yang sama tidak akan berulang kembali dengan mudahnya. Enak saja. Tidak akan ada dua kali. Keduanya berasumsi, Hageng mengincar satu persatu lawan karena dia gentar menghadapi keduanya bersamaan. Jadi itulah yang harus mereka lakukan sekarang.

Albino berkelebat cepat dari sisi kanan, sementara Kang Daan menyerbu dari kiri. Si kulit putih meloncat naik dengan cepatnya, mencoba mengakhiri pertarungan dengan satu tendangan ke arah kepala, sementara di saat yang bersamaan Kang Daan menunduk dan menyapukan kakinya di bawah, siasat cekatan untuk menjatuhkan tubuh si bongsor dari atas maupun bawah.

Modyar! Tidak akan mungkin menahan keduanya bersamaan! Mana yang akan kamu pilih, su?

Hageng mundur selangkah dan bersiap.

“Lumayan. Ziazat yang lumayan. Tapi bukan pertama kalinya aku menghadapi zerangan yang zemacam ini.” ucap Hageng untuk memancing emosi kedua lawannya. “Dazar amatiran.”

Modyaaaaarooooo, suuuuuuu!” teriak Albino kencang.

Hageng tahu dia tidak akan bisa menahan kedua serangan sekaligus dan menyerang balik bersamaan secara cepat sekaligus mengandalkan refleknya. Tidak ada cerita indah seperti itu, karena ia tidak memiliki kecepatan ataupun reflek yang mumpuni. Tapi walaupun tidak bisa membalas kedua serangan bersamaan, setidaknya dia bisa menahan satu serangan dan mementahkan yang lain.

Sekarang tinggal memilih. Ada dua serangan. Dari atas dan dari bawah, mana yang ditahan – mana yang disergap? Semua harus dilakukan secara cepat tanpa banyak berpikir karena kecepatan gerakan di atas kecepatan pikiran, salah langkah badan lebam. Secara logika, Hageng tidak akan sempat melompat untuk menahan si Albino sekaligus melakukan serangan untuk mementahkan tendangan menyapu dari Kang Daan.

Tapi dia jelas bisa membalas yang dari bawah! Adu tendangan! Hageng memilih opsi itu!

Kang Daan yang melepaskan tendangan mengait terkejut bukan kepalang ketika kakinya yang melaju disambut pula oleh tendangan dari kaki raksasa Hageng!

“Haaaaaaaaaarrrghhhhh!”

Bdaaakkghhh!

Tulang kering bertemu, dua orang berteriak kesakitan.

Daan mundur dengan kaki terasa remuk redam, sementara Hageng memindahkan fokusnya sembari menahan rasa linu di kaki.

Pada saat mengayunkan kaki untuk menyambut serangan Daan dari bawah, Hageng memasang lengan di atas kepala, membuat palang pintu penjaga agar tendangan Albino tidak masuk ke kepala. Teknik pertahanan itu berhasil, tendangan Albino hanya menyengat lengan sang T-Rex.

Bkgh!

Tapi si kulit putih bukan tanpa akal, Si Albino dengan lihai melontarkan tubuhnya dengan menggunakan lengan Hageng sebagai tumpuan dan memutar bak salto di atas kepala lawan, diikuti dengan gerakan melecutkan kaki ke belakang kepala sang raksasa.

Bdaaakkghhh!

“Hnggghhhhhh!”

Tubuh sang T-Rex rubuh ke depan saat kepalanya disambar tumit si kulit putih. Hageng yang tersodok berusaha keras agar tidak jatuh terjerembab. Dia melakukannya dengan satu tangan menahan di tanah karena posisi tubuhnya yang tidak balance. Hageng menarik napas lega ketika usahanya berhasil.

Melihat posisi Hageng yang rentan, baik Daan maupun Albino berusaha memanfaatkan kesempatan! Serbu sekarang!!

“Heeeeaaaaaaaaa!!!”

Kang Daan melompat ke atas dan dengan cekatan melepaskan injakan kaki ganda ke punggung Hageng! Double foot stomp!

Beeeegkkkkhhhhhh!

Hageng yang tadinya masih bisa seimbang hanya dengan satu tangan, akhirnya tak kuasa menahan serangan di punggungnya. Ia pun luruh ke tanah dengan wajah terjerembab menghajar tanah berumput. Sang senior tak berhenti, saat masih berdiri di atas tubuh Hageng, kakinya bergerak cekatan untuk sekali lagi melepaskan serangan, menjejak bagian belakang kepala Hageng!

Sboookgghhkk!!

Sekali lagi wajah sang raksasa berjumpa dengan tanah dan rerumputan. Bukan main pusing kepalanya karena dijejak dari belakang! Tapi bukan T-Rex namanya kalau Hageng lantas menyerah begitu saja. Tubuhnya yang besar bergulir ke samping seiring turunnya Daan dari atas punggung. Tapi belum sampai Hageng menggulingkan tubuhnya terlalu jauh, Albino datang dengan kecepatan tinggi bermaksud untuk menyepak kepalanya.

Jbgggkkkhhhh!

Sial bagi Hageng! Maksud Albino kesampaian. Kakinya menyambar kepala si rambut kribo yang langsung terlempar ke samping. Pusing kepala Hageng bertambah. Bangsaaaaaat! Kirain mudah menghadapi dua orang ini sekaligus, tapi ternyata perhitungannya meleset, mereka bukan kelas ecek-ecek. Cepat dan manjur sekali hajarannya! Kalau tidak secepatnya dibereskan, keduanya bakal bikin masalah berlarut-larut nantinya!

Darah menetes dari hidung Hageng yang sempat terkena sepakan Albino. Si kulit putih itupun membalik badan dengan cepat dan bersiap menyodokkan sepakan kedua.

Huh! Jangan dipikir Hageng akan dengan mudahnya jatuh ke lubang sial yang sama! Dia bukan keledai dungu. Sang T-Rex pun gage-gage merengkuh kaki Albino tepat pada saat ia hendak melepaskan tendangan yang kedua untuk menyepak kepalanya. Tendangan itu gagal karena pada saat yang tepat Hageng berhasil menangkap kaki si kulit putih.

Jbgggkkkhhhhhh!

“Hraaaaaaaaaghhhh!”

Hageng melepaskan pukulan sekuat tenaga ke betis Albino, membuat pria berkulit putih itu menjerit kesakitan dan jatuh berdebam ke samping dengan badan dan kaki berasa seperti potongan puzzle yang terberai.

Begitu Albino terkapar, Hageng tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melontarkan tubuhnya seakan terbang untuk mengejar si kulit putih! Hageng menautkan kepalan tangan kanan dengan lima jari tangan kiri, lalu mendorong tangan kanan dengan ujung lancip siku di bagian bawah. Tujuannya jelas, meluncurkan serangan siku ke titik vital! Mengincar dada sang lawan!

Jbgggkkkhhhhhh!!!

“Haaaaaaaaarrrghhhh”

Sekali lagi Albino berteriak kesakitan ketika dadanya dihantam sikut Hageng!! Bagaikan rontok semua tulangnya! Terbongkar isi dadanya! Si kulit putih itu pun mengerang kesakitan tak kepalang. Satu lawan rontok bukan berarti sang raksasa bisa beristirahat, karena Kang Daan sudah mengincar kepalanya. Kaki kanan sang senior terayun kencang bagai cambuk kencang hendak mengincar kepala. Buru-buru Hageng menyilangkan kedua tangannya untuk menahan tendangan sang senior.

Bkggghhhh!

Tendangan Daan bagaikan menggempur tembok baja. Sial! Baru lengan saja sudah sekencang ini! Makan apa sih dulu emak si Hageng sampai-sampai anaknya sekokoh ini? Roti isi batako? Daan meluncurkan tendangan yang saling susul menyusul bagaikan gergaji mesin yang geriginya bergerak bergantian tanpa henti saling berganti saling melaju. Lengan Hageng pun menutup bergantian tanpa jeda. Satu turun, yang lain naik.

Kanan turun, kiri naik, kanan bertahan, kiri turun, kanan lagi, lalu kiri, kiri, kanan, kanan, kiri.

Hageng terpaksa mundur selangkah demi selangkah, bukan karena kalah tenaga, tapi lebih memilih mundur untuk mencari momentum yang tepat. Saat yang tepat itu datang ketika Daan menarik kaki usai melakukan tendangan dan menyiapkan tangan untuk menghantam.

Hageng tersenyum. “Zoom!”

Tubuh sang T-Rex yang se-gaban maju ke depan menyambut Daan yang tidak siap. Tangannya yang besar meluncur untuk menarik kerah sang senior, dan dengan satu sentakan kencang, telapak tangan Hageng berhasil mencengkeram leher Daan. Sang senior mencoba meronta, namun tiap kali ia berontak, napasnya makin sesak. Pada saat yang bersamaan, tangan kiri sang T-Rex mendorong punggung Daan ke atas. Dua tangan Hageng bekerja untuk mencengkeram dan mengangkat tubuh Kang Daan, tubuh sang senior pun terangkat!! Tanpa ampun Hageng membanting Daan sekuat tenaga ke tanah! Chokeslam!

“Haaaaaaaaaarrrrghhhh!!”

Boom!!

Tubuh Kang Daan terjerembab telentang di tanah dengan leher dan punggung kesakitan, ia mengerang tanpa daya. Dua lawan takluk sudah.

“Ziapa lagi yang mau majuuuuuu!!? Ziapaaaaaa!?”

Kerumunan anggota Sonoz yang tadinya berkumpul dan menyaksikan kemampuan Hageng akhirnya menyadari bahwa sosok yang ditunjuk oleh Simon ini bukan mahasiswa main-main. Abi memimpin pasukannya untuk bertepuk tangan, yang langsung diikuti oleh seluruh anggota Sonoz.

Usai sudah.

Tidak ada lagi yang akan melawan.

Pilihan Simon sepertinya tepat.

Albino mendekati Kang Daan yang masih memegang punggung dan lehernya yang terasa sakit.

Koff… kofff… bangsat, berasa remuk dadaku. Wasu bajingak satu itu punya kemampuan juga rupanya. Dia kuat dan ada banyak stok gerakan wrestling.” bisik si kulit putih dengan penuh kebencian. “Kita harus segera melaporkan perkembangan ini ke Roni, Kang. Ga bisa diem begini aja, kesempatan kita bakal melayang nih.”

Daan hanya mendengus. Apa-apaan ini… kemarin kalah dari Simon, sekarang kalah dari Hageng. Mau ditaruh di mana mukanya di depan anak buahnya? Malu rasanya dia sebagai senior kalau di hadapan yunior-yuniornya ternyata terbukti dia tidak bisa apa-apa!

Dia harus membalasnya! Harus! Harus menyelamatkan mukanya!

Mahasiswa senior itu menepuk pundak Albino, wajahnya geram. Kang Daan yang biasanya tenang kali ini sudah tidak bisa lagi menahan diri. “Kamu bener. Hubungi Roni secepatnya dan bilang kalau KSN harus sesegera mungkin menginvasi Unzakha. Ini satu-satunya kesempatan kita untuk menaklukan Sonoz sebelum sang pemuncak pulang kandang. Mumpung penjaga gawangnya hanya Hageng dan Abi.”

“Siap, bosque.”

Debu-debu bekas pertarungan Hageng, si Albino, dan Kang Daan yang berterbangan akhirnya luruh hentak ke tanah. Usai sudah pembuktian sang T-Rex yang disambut dengan keterpaksaan Albino, Kang Daan, dan pasukan pendukungnya untuk menerima bahwa orang yang ditunjuk Simon sebagai pejabat sementara ini benar-benar mumpuni.

Orang-orang Sonoz mulai bergerak kembali ke mabes mereka dan meninggalkan lapangan.

Hanya saja…

Mereka bahkan tidak menyadari kalau pertarungan Hageng dan dua orang lawannya disaksikan oleh seorang pemuda pengendara motor Yamaha YZF R25 yang mengenakan helm full face dengan warna gelap yang senada dengan warna motornya. Orang itu memang berada di sudut tak terlihat yang cukup jauh namun bisa menyaksikan pertarungan orang-orang Sonoz.

Di balik helmnya, pria itu tersenyum puas.

Ia menekan tombol electric starter, motor biru gelap itupun meraung dan melaju meninggalkan lokasi.

Raungan suara motor membuat satu orang Sonoz yang tertinggal paling belakang baru menyadari kehadiran sang pria misterius. Satu orang itu adalah Abi. Ia mencoba memincingkan mata untuk melihat siapa sebenarnya orang yang tadinya menyaksikan pertarungan internal Sonoz itu.

Abi hanya menatap saja sampai motor itu hilang dari pandangan.

Bersambung

Foto Tante Ngangkang Memek Masih Sempit
Foto bugil bispak sange abg lokal remaja promosi di facebook
cewek cantik gak pake bh
Nikmatya Memperkosa Anak Kost Yang Cantik
Mahasiswi montok toket gede montok dan bulat
Foto Memek Gundul Tante Janda Sange Ngangkang
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
gadis perawan di perkosa
Memperkosa Gadis Perawan Sampai Berak
mama mertua hot
Pesona Kecantikan Ibu Mertuaku
500 foto chika bandung bugil mandi dulu sebelum ngentot dengan pacar
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dokter Cantik
500 foto chika bandung bugil di luar kamar hotel jembut lebat
Berbuat mesum di warnet waktu mati lampu
jilbob cantik
Cerita ngentot terjebak hutang budi dengan atasan
Petualangan Sexs Liar Ku Season 2
Foto janda kembang cantik mulus lagi pengen
Foto janda kembang cantik mulus lagi sange
ABG montok sange colmek di kamar