Part #24 : TAK BISAKAH

Jika kamu ingin membuat mimpimu menjadi kenyataan,
hal pertama yang harus kamu lakukan adalah bangun.
– J.M. Power

Akhirnya fajar bertandang, bersit sinar surya mulai mengintip dari balik cakrawala membiaskan kegelapan yang bertahta menyelimuti langit terbentang dengan kelamnya. Hening sunyi yang damai terasa disentakkan oleh kokok ayam jantan yang mengisyaratkan kewajiban bersyukur akan datangnya hari. Ketukan pelan di microphone surau menandai awal dendang panggilan surgawi agar jiwa-jiwa terlena yang penuh dosa bangkit dari buaian mimpi, untuk segera membasuh diri dengan air mengalir, menyucikan jiwa, dan mengucap segala puja puji atas hadirnya pagi yang baru – entah itu secara bersama ataupun di bilik pribadi.

Suara gemerisik pepohonan yang terusik menjadi berisik di saat jejak kaki dan tangan-tangan berpeluh menyibakkan dahan dan ranting, berlari kencang mencoba lepas dari keangkaramurkaan durjana yang membabi buta. Desah napas berpacu bagai berpadu dengan degup dada yang berdentum. Saat kaki dihentak, saat itu pula jantung disentak. Kepala berulang kali memutar ke belakang untuk memastikan tidak ada orang yang mengejar mereka.

Tiga orang berlari di bawah temaram bulan yang sudah siap digantikan sang mentari. Saat embun masih turun dan kabut masih tebal menyelimuti bumi. Entah sudah beberapa kilometer mereka berlari tanpa henti, yang jelas ketiganya sudah cukup jauh dari Ndalem Banjarjunut, lokasi tempat mereka sebelumnya berada.

Dua dari ketiga orang itu berpakaian acak-acakan dan seadanya, sementara yang satu lagi mengenakan pakaian serba hitam dan menyembunyikan wajahnya di balik hoodie jaket. Ketiga orang itu akhirnya sampai di sebuah lokasi jalan aspal yang bercabang. Tempat ini sudah bukan lagi jalan utama menuju Ndalem Banjarjunut.

Beni Gundul dan kekasihnya terengah-engah, mereka mencoba mengatur napas dan degup jantung yang berdetak teramat kencang. Beni memandang ke arah sosok ber-hoodie yang bersembunyi di balik masker.

“Te… terima kasih sekali, entah bagaimana kami bisa…”

“Sudah. Jangan banyak bicara, simpan tenaga kalian untuk segera pergi dari sini. Saat ini memang tidak ada yang mengejar kalian, tapi bukan berarti tidak ada. Kalau mereka sudah sadar kalian berdua tidak lagi berada di ruang penyekapan, KSN pasti bakal heboh dan mati-matian mencoba mencari kalian. Jadi mulai dari lokasi ini kalian harus segera lari, sementara aku juga harus segera kembali ke sana.” sosok ber-hoodie itu kemudian menunjuk ke arah Beni dan mulai berucap dengan tone suara yang seakan-akan diberatkan. “Untuk sementara waktu kamu jangan keluar ke permukaan dulu, kepalamu yang gundul itu sedang jadi incaran banyak orang. Kalau saranku sih ganti gaya penampilan, tumbuhkan rambut, barangkali bisa dibikin jigrak dulu. Mumpung lagi tren. Wekekekekke.”

Beni terdiam, ia mengangguk. Dia memang dendam sekali pada PSG dan KSN atas semua yang telah menimpa Patnem, apalagi tragedi yang menimpa dirinya dan sang kekasih – yang jelas tak termaafkan. Tapi itu bukan berarti dia harus serta merta melakukan serangan balasan sekarang juga. Kini saatnya menggunakan otak, bukan otot.

“Kalian tahu kan harus pergi kemana sekarang?” tanya si penolong.

Beni dan Wati berpandangan, keduanya menatap kembali sosok ber-hoodie dan mengangguk hampir bersamaan. “Tahu, kami hapal semua jalur di Kalipenyu. Ada tempat teman yang aman yang bisa kami jangkau dari sini dengan menyusur jalan setapak. Di sana ada motor yang bisa kami pinjam untuk turun ke kota kalau dibutuhkan.”

“Bagus. Jangan lupa kalian harus cepat-cepat sampai ke tempat itu sebelum KSN sadar kalian sudah kabur, dan kalau aku jadi kalian… aku tidak akan menghubungi polisi. KSN juga punya backing seperti di kepolisian.”

“Tempatnya tidak jauh dari sini, kami akan segera ke sana dan turun ke kota. Kami tidak akan memunculkan diri untuk sementara waktu.”

Bagoooosh. Nah itu bisa mikir. Ya sudah, pertemuan kita sampai di sini dulu. Aku tidak akan bisa menyelamatkan kalian kalau setelah ini tertangkap lagi. Kok yo kebangeten men kalau sampai ketangkep lagi. Jadi ini kesempatan satu-satunya untuk melarikan diri bagi kalian berdua.”

“Paham.” Beni mengangguk.

“Aku pergi.”

Dengan berlari kencang, sosok ber-hoodie itu sudah menghilang di tengah kabut yang turun tebal di Kalipenyu pagi itu. Kecepatannya berlari sangat mengagumkan karena dalam tempo singkat, ia sudah tak lagi nampak di depan Beni Gundul dan Wati.

“Si-siapa sebenarnya orang itu, Mas? Kenapa dia menyelamatkan kita?”

“Aku tidak tahu, Dek. Kamu kan lihat sendiri wajahnya tidak terlihat karena pakai masker, suaranya juga tidak aku kenal.” Beni mendengus, “tapi aku tidak peduli apa maksud dan tujuannya. Yang jelas kita sudah diberi satu-satunya kesempatan untuk segera menyelamatkan diri! Kita tidak boleh menyia-nyiakannya! Ayo lari, Dek!”

Wati berderai air mata, tangannya mengepal, dendamnya akan dibalas suatu saat kelak. Untuk membalas dendam itu… pertama kali yang harus dilakukan adalah tetap hidup dan bebas dari ancaman.

Ia mengangguk.

Lari!

.::..::..::..::.

Ah, sekarang sudah siang.

Nanto melirik ke luar jendela lobby rumah sakit, matahari sudah mulai terik. Siang sudah menyapa, saatnya kembali ke rumah setelah semalaman beristirahat di rumah sakit. Senyaman-nyamannya rumah sakit, kasur sendiri meski tipis jauh lebih nyaman dan nikmat. Tubuhnya masih terasa pegal dan bengap, tapi pasti bisa hilang beberapa hari lagi. Itu kalau dia tidak keburu ketemu masalah baru. Entah kenapa sejak ia kembali ke kota, ada saja masalah yang datang menghampiri seakan-akan dia menjadi magnet segala macam masalah.

Sekarang saja dia harus menghadapi sebuah masalah.

Nanto sedang membereskan segala macam tetek bengek administrasinya sendiri di lobby rumah sakit. Tapi bukan itu masalah yang membuat kepalanya pening, karena urusan administrasi ini sudah diselesaikan oleh sang Tante dengan transfer uang ke rekeningnya.

“Jadi bagaimana, wes dibayar? Wes bisa pulang toh?”

“Sudah Tante. Maaf sekali lagi merepotkan. Benar-benar tidak enak jadinya kalau selalu merepotkan Om dan Tante.” Nanto mengempit ponselnya dengan pipi dan bahu sementara ia menandatangani surat lunas yang diberikan oleh sang perawat. “Kalau ini selesai, aku langsung pulang. Asli… ga enak banget sama Om sama Tante, selalu ngrepotin, selalu nyusahin.”

“Haish, koyo opo wae. Tinggal kami satu-satunya keluargamu yang tersisa, jadi kalau ada alangan seperti ini terjadi ya kita hadapi saja bersama dengan rasa ikhlas dan lapang dada. Habis mau bagaimana lagi, namanya juga alangan tohLe. Ga ada yang minta.” ujar suara di ujung telepon. Nanto mengelus dahinya yang terasa berat siang itu, sekali lagi kekuatan finansial Om dan Tante-nya menyelamatkan kelangsungan hidup si bengal. Sungguh ia sangat sangat bersyukur. Suara sang tante terdengar lagi, “kalau bisa kasih saran… coba kamu pertimbangkan lagi jalan hidup yang kamu pilih, Le. Apa iya kamu mau begini terus? Setiap beberapa hari sekali masuk rumah sakit – tahu begini kamu dulu kuliahnya di Akademi Keperawatan aja, hahaha. Nah sekarang, daripada berantem melulu, coba kamu cari pekerjaan, siapin diri juga buat masuk kuliah – minggu depan sudah mulai masuk, kan?”

“Iya, tante. Maaf…”

Yo wes, kamu langsung pulang aja, ya. Nanti di rumah biar disiapin makan.”

Si bengal hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “I-iya tante, eh tapi apakah kira-kira bisa disiapkan makanan tambahan juga? Kayaknya aku bakal ajak temen yang jemput.”

“Oh? Kamu wes ada yang jemput? Ya wesmalahane Om sama Tante ga perlu jemput ke sana. Siapa yang jemput kamu, Le?”

“Ada… ini temen…”

“Hehehe, cewek ya?”

“I-iya, Tante.”

“Ya wes bawa aja ke rumah, sekalian kenalan sama Tante.”

“Eh… anu… hmm…”

“Ajak ke rumah ya.”

“I-iya, Tante.”

Sekali lagi si bengal menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wew. Mengajak ke rumah? Bakalan jadi masalah tidak ya?

“Kalian berdua habis ini langsung pulang kan? Tante siapin es buah juga nanti.”

“Bertiga, Tante.”

“He?”

“Ini yang jemput Nanto ada dua orang.”

“Oh, dua orang? Maksudnya mereka jemput kamu barengan gitu?”

“Hmm… gimana ya… situasinya agak mbundet, Tante. Nanti Tante lihat sendiri ya.”

“Hahaha… yo wes. Tante tunggu.”

Sesaat setelah Tante Susan menutup panggilan dan ia menyelesaikan semua urusan tetek bengek, Nanto berjalan pelan ke arah kursi tunggu, di sana duduk dua orang gadis yang sama-sama cantik dan mempesona. Yang satu berambut panjang digerai berpakaian casual dengan baju santai dan celana khaki selutut, satu lagi mengenakan kerudung dan mengenakan pakaian yang sopan tapi apik dan anggun. Keduanya duduk berdampingan dengan manisnya menunggu kehadiran si bengal.

Nah, kalau akur begini kan enak.

“Sudah selesai, Mas?” tanya Hanna.

“Sudah.”

“Sudah bisa pulang sekarang?” tanya Kinan.

“Sudah.”

“Ya sudah, aku bawa mobilnya ke sini ya.” kata Hanna sambil bergegas keluar untuk mengambil mobilnya sementara Kinan merapikan barang-barang Nanto dalam satu tas jinjing dari rumah sakit. Sudah termasuk di dalamnya obat-obatan yang diberikan dokter.

“Kamu yakin mau ikut nganter sama Hanna?” tanya Nanto tiba-tiba.

“Iya, ga apa-apa. Dia temenmu kan, Mas. Aku temenmu juga. Jadi tidak masalah. Aku juga pengen tahu rumah Mas, jadi sekalian aja. Dari sana nanti pulangnya aku bisa naik ojek online atau apalah, gampang.”

“Yakin?”

“Yakin.”

“Beneran?”

“Asal jangan keseringan bareng sama Hanna.”

“He?”

“Hihihi.” Kinan tertawa renyah. Duh cakepnya kalau lagi ketawa gini, serasa nikmat dan sejuknya, membentang dataran hijau, berseri semesta, menyongsong sejoli. “Eh Mas Nanto paling suka maem sayur apa? Besok kapan-kapan Kinan bawain ke rumah ya.”

“Suka apa… ya? Sayur bening biasa aja suka kok.”

“Kok simpel ya?”

“Hahaha, iya. Kebiasaan di desa Kakekku dulu bolak balik bikin sayurnya jangan bening melulu, karena nanem bayam sendiri. Jadi lidahnya lama-lama terbiasa dan suka.”

Kinan manggut-manggut. Sejuta rencana dan resep masakan bergulir bak pertandingan masterchef di otaknya. Siapin makanan apa yah enaknya buat Mas Nanto? Yang bisa bikin seger sekaligus semangat?

Mobil Hanna sampai di depan lobby, keduanya pun berjalan beriringan dan masuk ke mobil.

Nanto duduk di samping Hanna, sementara Kinan duduk di belakang. Hanna mendengus melihat gadis pesaingnya masuk ke mobil, sementara Kinan hanya menjulurkan lidah dengan bandel. Tak butuh waktu lama sebelum mobil itu bergulir pelan keluar dari rumah sakit dan menyusuri jalanan ringroad untuk menuju ke rumah Tante Susan dan Om Darno.

“Ini alamat sesuai aplikasi kan ya?” tanya Hanna.

“Hahaha, iya sesuai yang aku kirim di WhatsApp.”

“Aku agak muter dulu ya, mau beli sesuatu.” Ucap Hanna kemudian.

“Eh, aku juga mau dong, minta alamatnya Mas Nanto.” sergap Kinan.

“Ish, apaan sih ngikut aja.” Hanna cemberut.

“Biarin, weeek. Siapa tahu kapan-kapan ngirim apa gitu pakai ojek online.”

“Hahaha, iya nanti aku share ya.”

Ding.

Ada WhatsApp masuk. Nanto melirik sekilas ke layar smartphone-nya dan melihat pesan yang tertera tanpa membuka lockscreen.

Kemana aja kamu? Kok ga ada kabar? Pacar macem apa sih, didiemin begini terus? Kangen tau!

Gawat. Mampusmu kapan, Nyuk? Noh, Asty baru saja kirim pesan.

Belum selesai masalah dua cewek yang rebutan menjemputnya, sekarang tambah lagi satu wanita yang bakalan bikin repot hari ini. Sebenarnya bisa saja ia membalas pesan dari Asty dan memilih kekasih gelapnya itu untuk menjemput, masalahnya kalau dia bilang sedang berada di rumah sakit, ibu guru cantik itu pasti akan ngamuk-ngamuk dan menambah pusing kepalanya. Itu hal terakhir yang ia butuhkan, dua ini saja sudah cukup bikin pening.

“Siapa, Mas? Tante ya?” tanya Hanna kepo dari balik kemudi, ia melirik ke arah Nanto yang sepertinya menjadi bingung setelah mendapatkan pesan singkat.

“I-iya. Cuma nanyain kapan sampai.”

“Jalanan ga begitu ramai, sebentar lagi juga nyampai. Sebesar apa sih kota ini. Hehehe.” Hanna terkekeh ringan. Ah, ketawanya gurih segurih snack kentang berbalut seaweed.

“Kalau sudah di rumah jangan lupa dimanfaatkan buat istirahat dulu ya, Mas. Jangan kemana-mana. Pastikan tenaga dan kesehatan nomor satu. Makan-makanan yang sehat, banyakin minum. Pokoknya harus cepetan sehat.” Kinan nyempil di antara percakapan Hanna dan Nanto. “Besok aku datang bawain Mas vitamin ya. Aku punya vitamin manjur banget, dulu ada anak yang…”

“Eh, tukang obat! Mas Nanto juga tahu kali kalau dia harus istirahat dulu.” Balas Hanna keki sambil menatap ke belakang. “Jangan direpotkan sama kedatangan kamu, nantinya dia malah ga bisa istirahat buat nemuin kamu yang datang cuma buat ganggu. Kalau memang ada makanan atau minuman yang dikirim, ya mending dikirim aja pakai ojek online. Simpel kan?”

Kinan cemberut. “Lihat jalan aja deh, Mbak. Takutnya nabrak becak. Mas Nanto-nya aja ga ngelarang aku datang, kok Mbak yang rempong.”

“Soalnya besok aku yang mau datang anterin vitamin.”

“Dih, kok jadi ngrebut ide aku sih?”

“Aku udah kepikiran begitu tadi sebelum kamu bilang barusan.”

Heleh, alesan aja.”

“Ish!”

“Sudah-sudah… besok vitaminnya dikirim aja pakai ojek online ya? Takutnya kalian repot harus nganterin segala. Aku ga apa-apa kok. Sudah biasa seperti ini.”

“Mas maunya vitamin dari siapa?” Tanya Kinan.

“Pilih vitamin dari dia atau aku.” Tanya Hanna.

“Ha ha ha.” Nanto tertawa kaku menghadapi Hanna dan Kinan. Tobat tobat.

Setelah sampai di ujung jalan, mobil Hanna berbelok ke kanan melewati sebuah toko cat kuning di ujung jalan, lalu melalui bioskop yang dulu pernah terbakar di sebelah kiri.

“Eh, kapan-kapan kalau sudah sehat kita nonton, yuk.” Tanya Hanna.

“Boleh. Barengan ya.” jawab Kinan.

“Ish. Nyamber aja kayak kocheng oren ngrebut bandeng.”

“Biarin. Weeek.”

“Ha ha ha.” Si bengal tertawa. Tawa itu kaku sekali.

“Kita beli lumpia bentar ya, buat oleh-oleh Tante.” Kata Hanna. “Nanti aku aja yang keluar ga apa-apa.”

“Aku juga keluar ah.” Balas Kinan. “Aku mau beli pukis sama leker.”

“Ngikuuuut aja.” Hanna mendesah.

“Ngikut dari mana? Lumpia sama pukis kan beda! Apalagi sama kue leker!”

“Kalau kelamaan aku tinggal.”

“Tinggal naik taksi online kan beres.”

“Sudah-sudah… ha ha ha.”

Kembali Nanto tertawa kaku. Tobat tobat.

Hanna Dwi Bestari

Kinan Larasati

Suara ribut-ribut terdengar begitu kencangnya.

 

 

Don Bravo terbangun dengan mata masih terpejam sebelah. Berat rasanya untuk membuka pelupuk mata yang seakan-akan diganduli mesin setum atau slender, seberat badannya yang juga malas diangkat dari tempatnya berbaring. Cahaya lampu berpendar menyakiti pandangannya yang belum terbiasa melihat terang. Sekilas ia melihat cahaya matahari sudah masuk di balik gorden warna hijau yang dipasang seadanya.

Gorden hijau? Ini jelas bukan kamar kost-nya. Di mana ia bangun sebenarnya ini? Ruangannya terasa asing, bersih tapi tidak nyaman. Ketika matanya mulai terbiasa, Don Bravo baru menyadari di mana dia sebenarnya berada.

Dia sedang berada di pembaringan di sebuah kamar yang terdapat di belakang rumah utama di Ndalem Banjarjunut, satu di antara banyak kamar berjajar yang dulu sepertinya disiapkan sebagai cottage di villa ini. Selain villa, mungkin tempat ini dulunya juga pernah direncanakan sebagai sebuah losmen untuk menginap para pelancong dari kawasan Kalipenyu atau sekedar untuk para pengabdi short timer yang kepengen ihik-ihik tanpa ketahuan aparat.

Karena enggan pulang ke kost-nya, semalam Don Bravo dan beberapa teman lain mantan DoP menginap di Ndalem Banjarjunut termasuk Oppa dan Amon. Tumpek blek di satu kamar bersama beberapa rekan lain. Satu dipan dipake bareng, ada juga yang tidur juga di tikar dan di kursi panjang. Saat terbangun kali ini, hanya Roni yang nampaknya masih ngorok sembari satu tangan masuk ke dalam celana.

Suara ribut-ribut yang sepertinya datang dari depan rumah utama Ndalem Banjarjunut membuat kantuknya terganggu. Begitu kencang suaranya sampai-sampai terdengar ke belakang sini. Ada apa lagi sekarang? Sudah semalaman mereka semua berpesta, apakah pagi ini masih dilanjut juga rame-ramenya?

Don Bravo merenggangkan kedua tangannya. Ia menguap dan menggeliat. Ia menyentuh ponselnya dan mengetuk layarnya dua kali, sudah jam setengah sebelas. Dahsyat juga tidurnya dari semalam. Dengan malas Don Bravo bangkit dari pembaringan, mengambil segelas air minum kemasan gelas dari dalam kardus yang ada di dekat meja televisi, membukanya asal, dan keluar dari kamar sembari berjalan gontai menuju ke arah suara.

Sang pimpinan KSN yang terhormat sedang berdiri berkacak pinggang di depan sepuluh orang yang tadi malam mendapatkan giliran jaga.

“Hilang! Kabur! Bagaimana bisa!? Kok bisa-bisanya!? Mata kalian ditaruh di mana? Telinga kalian disumpel apa!? Kaki di kepala, kepala di kaki?! TOLOL!! ******!!” Darsono menunjukkan wajah marahnya yang garang dan menyeramkan. Tidak ada yang nyaman melihat wajahnya saat marah. “Jagain yang begini saja tidak bisa mau minta lebih? SONTOLOYO!!”

Plaaak!!

Satu tamparan kencang menjatuhkan tubuh kerempeng salah seorang penjaga yang tadi malam seharusnya siaga di teras rumah utama Ndalem Banjarjunut. Gara-gara teledor akibat mabuk, Beni Gundul dan kekasihnya berhasil melarikan diri dari sekapan. Tentu saja hal semacam itu tidak diinginkan sama sekali oleh sang pimpinan KSN yang langsung gusar bukan kepalang.

“Guoooblooog kabeeeh!!” Darsono mendengus kesal. “Yang kayak begini mau gantiin Patnem? Yang kayak begini!?? Kalian disuruh melek beberapa jam aja ga becus bisa-bisanya mimpi gantiin Patnem! Pantesan butuh tahunan baru bisa bangkit!! Ledek munyuk kabeeeh!!”

Sekitar sepuluh orang yang semalam bergiliran jaga mau tak mau saling berpandangan satu sama lain dan setelahnya menunduk. Mereka tadi malam memang berpesta terlalu berlebihan dan disadari maupun tidak, mereka semua lalai menjalankan tugas. Lagipula siapa yang menyangka kalau Beni Gundul dapat membawa serta Wati untuk kabur dari lokasi yang penuh dengan anggota KSN yang masih lalu lalang sampai pagi? Terlalu ajaib rasanya, ibarat kata hanya ulah tukang sihir yang pakai jubah tembus pandang dari Hogwarts yang bisa melakukannya.

“Guooobloooooooog kabeeeeeh!! Utek koyo telek lincung!! Pas pembagian otak kalian kemana? Sibuk mangan sego koyor?” kembali Darsono memaki-maki, ludahnya muncrat kesana-sini, nempel di wajah kesepuluh penjaga yang ketiban sial. “Nenek-nenek jualan lopis aja lebih waspada daripada kalian!! Gak habis pikir aku ini? Gimana bisa? Gimana caranya kita memulai membangun nama besar kalau diawali dengan keteledoran seperti ini?! BODOOOOH!!”

Plaaaakkkk!!

Sekali lagi satu tamparan kencang merubuhkan salah satu penjaga malam yang kena giliran ditampar. Hampir semuanya kini sudah memiliki bekas merah di pipi dan cap tapak sepatu di perut. Selain ditampar dan ditendang, Darsono juga tidak segan-segan memukul para penjaganya. Tapi mereka semua selalu bangkit dan berdiri dengan kepala menunduk. Tidak ada yang berani melawan apalagi membantah sang komandan Komando Samber Nyowo.

“Biar jadi pelajaran buat kalian semua! Baru sehari jadi raja sudah lupa diri! Isin aku!! Malu tenan! Mau ditaruh mana mukaku di hadapan pemimpin-pemimpin yang lain? Segini banyak orang yang ada di sini kok sampai tidak ada yang lihat dua orang kabur itu bagaimana logikanya?! Guooobloooooog kabeeeeh!!!”

Duooooghkk!

Kali ini tendangan menghentak penjaga lain yang ketiban giliran.

Don Bravo menggeser posisi berdirinya ke samping Oppa, Amon, dan Lek Suman yang saat itu sedang berdiri bersebelahan di teras.

“Ada apa ini?” tanya Don sambil mencoba merapikan rambut jigraknya yang acak-acakan.

“Dua orang yang disekap Kang Dar lepas. Beni Gundul dan kekasihnya kabur di bawah hidung penjaga malam. Entah bagaimana caranya mereka bisa melewati penjagaan sekaligus banyaknya anggota KSN yang lalu lalang.” Ucap Oppa. “Memang teledor, sepuluh orang yang berjaga itu ikut mabuk-mabukan semalam dan ketiduran. Tapi itu bukan berarti anggota kita yang lain juga terlelap. Ada yang tidak beres di sini…”

“Yang berjaga malam itu… bukankah itu ada beberapa mantan DoP?”

Oppa mengangguk kesal.

“Kekekekek. Semalam aku sama Darsono tidur di kamar belakang tidak mendengar apa-apa sampai larut malam, jadi kami mengira semua aman-aman saja, karena kami percaya sama kalian. Tapi bisa-bisanya keduanya lepas dari pengawasan kalian semua begitu saja. Dasar payah.” Ledek Lek Suman yang menyinggung Oppa karena beberapa penjaga semalam adalah anak buahnya semasa di DoP, ia kemudian menatap sang kapten yang nampaknya sedang berpikir. Secara otak, Oppa memang memiliki kemampuan lebih. Lek Suman tersenyum saja melihat otak kalkulator Oppa berkerja. “kalau menurut kamu bagaimana, Le? Ini bukan hanya masalah orang kabur, ada masalah yang lebih besar daripada itu. Kamu paham situasi yang terjadi ini kan? Rasa-rasanya kita harus segera mulai proses penyaringan kalau memang benar hal yang aku takutkan terjadi. Kekekekek.”

“Paham, Lek.” Oppa mendengus. Suaranya terdengar kesal.

“Paham apane sih?” Don Bravo masih tidak paham apa yang dibicarakan oleh Oppa dan Lek Suman. “Jadi ada dua orang kabur gara-gara keteledoran para penjaga yang ikutan mabuk. Udah begitu aja kan? Tinggal mengerahkan pasukan buat mencari mereka kembali. Kalau perlu kerjasama dengan PSG untuk memperoleh informasi. Tidak butuh waktu lama juga bakal ketangkap kembali kalau kita cepat bergerak.”

Oppa menggeleng – kepalanya bergerak memandang dinding yang mengitari Ndalem Banjarjunut, seperti sedang mencari sesuatu. “Tidak semudah itu, ferguso. Ada yang tidak beres di sini. Semalam kamu tahu sendiri bagaimana ramai dan hiruk pikuknya KSN berpesta. Rasa-rasanya tidak mungkin ada orang yang bisa menyelinap masuk dan membebaskan kedua orang itu secara diam-diam tanpa terdeteksi, lebih lagi orang yang membebaskan mereka pasti sudah mengetahui posisi pasti penyekapan, dan membawa Beni Gundul sama ceweknya melalui jalur aman yang sebelumnya sudah ia pahami tanpa ketahuan penjaga di gerbang ataupun anggota lain yang lalu lalang. Yang jelas tidak mungkin melalui pintu depan.”

“Hmm, begitu ya.” otak Don Bravo mulai jalan.

“Hal semacam ini hanya dimungkinkan jika si cecunguk tahu apa yang terjadi di dalam Ndalem Banjarjunut, tahu penempatan Beni Gundul dan kekasihnya, tahu jalur yang harus ia ambil meski kondisi ramai, lalu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksinya.”

Kali ini giliran Amon yang mendengus, wajahnya terlihat masam. Ia juga memahami maksud Oppa.

Don Bravo melongo. “Heh? Menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya? Bukankah itu berarti…”

“Ya.” Oppa menggemeretakkan gigi, “bajingannya sudah ada di dalam sejak tadi malam. Kita tidak sedang berhadapan dengan orang dari luar, kita sedang berhadapan dengan orang yang sudah ada di dalam. Ada penyusup jahanam di antara kita.”

Don Bravo terbelalak, sekejap ia meneguk ludah. Tapi ia kemudian mengangguk-angguk. “Wah… wah… baru mulai berdiri sudah ada pengkhianat di antara kita? Bagaimana bisa…?”

Puk.

Tiba-tiba saja Lek Suman menepuk pundak Don Bravo, “tidak usah khawatir, hal seperti itu sudah lumrah terjadi, pasti kita akan baik-baik saja dengan ataupun tanpa pengkhianat. Setelah ini kita akan melalui proses penyaringan anggota, semua harus disaring agar dari 108 didapatkan siapa munyuknya. Kamu tidak perlu takut kalau kamu bukan pengkhianat, Le. Karena cepat atau lambat, Darsono pasti akan membongkar seluruh jaringan telik sandi di dalam KSN. Jangan pernah meremehkan kemampuannya membongkar pengkhianatan! Kekekekek…”

Don Bravo tersenyum lebar. “Sepertinya akan seru…”

“Kekekkeekek, pasti seru. Pasti.” Lek Suman menatap tajam mata Don Bravo. “Kita akan basmi semua penyusup di KSN.”

Don Bravo mengangguk. Ia menenggak air minum kemasannya.

.::..::..::..::.

Sembari Nanto dan Om Darno mempersiapkan meja makan, Tante Susan pun menemui Hanna dan Kinan. Sekali-sekali para pria yang bekerja menyiapkan makan dan para wanita yang duduk santai sambil ngobrol.

“Yang ini namanya?” Tante Susan menunjuk ke gadis yang di kiri terlebih dahulu.

“Saya Hanna, Tante.”

“Oh Hanna. Duh cantiknya kamu.” Tante Susan memuji sang dara yang memang kebangetan cantiknya. Hanna pun tersipu malu dengan wajah memerah. Sambil tersenyum sang Tante beralih ke gadis berhijab di samping Hanna. “Kalau yang ini?”

“Saya Kinan, Tante.”

“Ah Kinan. Duh yang ini juga cantik banget.” Tante Susan juga memuji Kinan yang cakepnya ga ada obat. Gadis berkerudung itu pun juga tersipu malu. “Bisa-bisanya Nanto ketemu sama kalian yang cantik-cantik begini. Maafin ponakan Tante ngrepotin kalian ya. Untung saja ada kalian, jadi Nanto ada yang merawat sewaktu pingsan kemarin.”

“Aaahh tidak kok, Tante. Tidak merepotkan.” Jawab Hanna ramah. “Apalagi kami juga ikhlas membantu Nanto.

“Iya tidak repot kok, Tante. Untungnya saya datang tepat waktu. Hanna juga menyusul setelah itu.”

Menyusul setelah itu? Telat datang maksudnya? Mau ngadu ya? Oh oke… oke… Hanna melirik Kinan dengan pandangan keji pakai satu alis terangkat ala sinetron India. Ngadu ya? Siapa takut? Ayo kita mulai lagi. “Iya, kemarin saya datangnya belakangan, tapi hari ini justru sebaliknya. Hanna yang duluan, Kinan yang belakangan. Untung saja dia ga ditinggal saking telatnya.”

“Duh iya, Tante. Hari ini Kinan terlambat datang… tapi itu karena ojek online-nya, Tante. Padahal Kinan sudah pesan sejak lama. Tapi datangnya telat. Itu bikin sebel.”

“Seharusnya tidak perlu memaksakan diri ya, Tante. Kalau memang tidak bisa datang tidak perlu dipaksakan. Takutnya malah ribet atau repot sendiri. Kan jadi nyalahin ojek online yang tidak berdosa, ga baik yang seperti itu ya, Tante?”

“Ah, nggak repot kok, Tante. Beneran ga repot. Tukang ojeknya juga langsung ngebut.”

“Ngebut kan berbahaya ya, Tante.”

Tante Susan tertawa sambil melirik Nanto yang langsung mengkeret keriput bagaikan habis berenang di kolam bebek. “Wah… wah… kalian berdua ini. Hihihi.”

“Mantep, Le.” bisik Om Darno sambil terkekeh dan menepuk pundak Nanto yang tetap berusaha sibuk merapikan meja makan sambil berpura-pura cuek. “Begini ini baru ponakannya Om.”

Nanto menghela napas panjang.

Oalah Om… Om..

Si bengal tak mendengar panggilan telepon di ponselnya yang sedang di-mute dan diletakkan di meja kamarnya.

Panggilan dari Asty.

.::..::..::..::.

Markas Pemuncak Gunung Menjulang yang biasanya ramai tiba-tiba saja menjadi sunyi, sepi, tanpa ada suara sedikitpun yang mengganggu. Tidak ada suara jangkrik, burung berkicau, ataupun helaan napas terdengar kala sosok tinggi besar tiba-tiba saja hadir dan mengaku sebagai pejabat sementara Sonoz.

Siapa orang ini?

Kang Daan menatap pria tinggi besar berambut acak-acakan yang berdiri sembari menyilangkan tangan dengan jumawa di hadapannya. Siapa orang ini? Bagaimana mungkin Simon tiba-tiba saja menunjuk orang tak dikenal sebagai wakilnya? Meski hanya untuk beberapa hari saja yang seperti ini berpotensi memecah persatuan mereka, apalagi beberapa hari terakhir kondisi sudah tidak karuan. Bukankah ini keputusan gegabah?

Tapi Daan percaya penuh pada Abi yang berdiri di samping sang pemuda tinggi besar. WhatsApp Simon pada sebagian besar anggota Sonoz pun mengisyaratkan bahwa penunjukkan itu sah. Tapi kenapa? Apa alasannya memilih orang baru?

“Ini konyol namanya! Tiba-tiba saja datang dan langsung menduduki peringkat tertinggi. Kok enak banget? Tidak ada cerita! Kamu tidak akan semudah itu melenggang menuju puncak gunung menjulang, Nyuk!” Desis Albino sengit. “Tidak sebelum kamu bisa meyakinkan aku dan Kang Daan bersama.”

Hageng hanya tersenyum sinis.

Albino dan Daan berdiri sejajar di hadapan Hageng dan Abi. Daan pun penasaran dengan kemampuan Hageng, kalau memang harus dengan cara ini untuk membuktikannya, maka jadilah!

“Makzudmu gimana?” sang raksasa menekuk keningnya. “Kamu tidak percaya Zimon menunjukku?”

“Kami baru akan percaya setelah kami menghadapimu. Simon tidak akan mempercayakan jabatan penting ke orang sembarang! Kami akan maju berdua untuk menghadapimu bersamaan. Pertarungan handicapped. Satu lawan dua. Kalau kamu bisa meyakinkan kami dengan kemampuanmu, kami akan mengakuimu sebagai pengganti sementara bagi Simon, tapi kalau kamu kalah dengan mudah… jangankan menggantikan Simon, masuk ke ruangan ini pun kamu tak akan pernah kami ijinkan lagi!” Albino menggulung lengan kausnya yang panjang hingga ke siku. “Ayooo! Berani menerima tantangan?!”

“Kenapa harus maju berdua? Simon saja hanya harus berhadapan dengan kalian satu per sa…” Abi mencoba memprotes Albino.

Kang Daan mengangkat tangannya menghentikan protes Abi. “Pengganti Simon walaupun sementara sekalipun seharusnya memiliki kemampuan untuk menghadapi kami berdua bersamaan – Si Albino tadi tidak bilang mengalahkan, hanya meyakinkan kami saja. Kalau tidak bisa, apa bedanya dia dengan kami berdua? Atau kamu, Abi? Kenapa Simon tidak memilih anggota yang sudah ada dan memilih orang luar? Pertanyaan yang wajar kami ajukan, bukan? Pembuktian ini sekaligus akan melegitimasi kemampuan di hadapan anggota Sonoz yang menyaksikan.”

Beberapa anggota Sonoz saling berdiskusi, kata-kata yang diucapkan si kulit putih dan Kang Daan ada benarnya. Kenapa Simon tidak memilih orang dalam dan menunjuk orang asing ini sebagai wakilnya?

Hageng kembali hanya tersenyum sinis, ia menatap Abi yang menggelengkan kepala. Hageng membalasnya dengan kedipan mata – tanda bahwa ia tak masalah dengan syarat dari Si Albino dan Kang Daan.

Abi sebenarnya tidak ingin Hageng berbuat gegabah. Berhadapan dengan satu dari dua orang ini saja pasti sudah akan merepotkan, apalagi keduanya bersamaan, pasti bakal ribet urusannya – apalagi mereka baru saja melakukan tantangan Pemuncak Gunung Menjulang. Hageng sebenarnya tidak perlu membuktikan apa-apa karena jelas-jelas titah dari Simon sudah turun dan itu seharusnya dipatuhi karena berasal langsung dari Puncak Gunung Menjulang.

Tapi Abi jelas tidak bisa memaksa Hageng.

“Tidak perlu panjang lebar, hahahahaha! Kita ke lapangan zaja! Lebih luaz lebih nyaman!” Hageng berjalan lebih dulu ke pintu. Sosoknya yang tinggi besar bagaikan menutup seluruh frame pintu, ia terlihat menyeramkan saat membalik badan untuk menatap Daan dan Albino. “Tapi kalian berdua juga haruz berziap. Kalau kalian zampai kalah, kalian berdua akan mengikuti zemua ucapanku tanpa pernah bertanya lagi.”

Cuh.

Albino meludah. Seenak wudel bikin peraturan. Memangnya siapa dia berani-beraninya mengatur ini itu? Banyak bacot!

Lapangan di samping markas Sonoz kembali ramai dengan anggota-anggota yang berkumpul melingkar. Arena tercipta kembali! Di satu sisi, Hageng yang berdiri tegap, di sisi lain – Daan dan Albino berdiri sejajar. Pertarungan seperti ini bagaikan pertunjukan yang hanya ada di arena WWE.

Hageng mendengus, dan menekuk jari-jemarinya dengan santai. Tatapan mata pemuda itu tajam dan fokus pada sosok lelaki berkulit putih di hadapannya. Sosok pemuda yang seenak sendiri dan tadinya ngocol berubah menjadi tenang dan serius dengan pandangan mata tajam, setajam silet. Daan jauh lebih berbahaya daripada Albino, tapi bacot si kulit putih ini sepertinya harus dibungkam terlebih dahulu kalau mau dunia aman tata tentrem kerto raharjo.

Meski Hageng jelas lebih besar, bertubuh gempal, nampak kuat, dan bukan lawan yang main-main bagi pemuda normal bertubuh lebih kecil namun baik Albino maupun Kang Daan sudah sangat sering menghadapi lawan yang bongsor. Biasanya dengan besar tubuhnya saja, Hageng sudah dapat mengintimidasi lawannya, dan itu sudah dibuktikan berulang-ulang. Namun tidak kali ini.

Hageng berdiri tenang sambil tetap menyilangkan tangan, tanpa kuda-kuda.

Albino mendengus kesal melihat gaya Hageng yang cuek dan hanya berdiri kaku tanpa mengubah posisi sedikitpun, tak ada kuda-kuda dan tak ada pose ala Power Rangers. Baguslah, dikasih dua kali ketupat juga tepar nih si telo kaspo. Berani-beraninya orang baru sok jagoan di sini, sok petentang petenteng. Yang kayak begini ini yang mesti dikasih pelaja…

Bledaaagkkhh!

Satu hantaman lengan kiri Hageng yang melakukan clothesline masuk ke rahang Albino. Membuat pemuda berkulit putih itu terguling ke belakang hingga jatuh terjengkang cukup jauh. Mantan korlap Sonoz itupun tersengal-sengal sambil berusaha bangkit dengan susah payah. Giginya berasa ada yang goyah. Ia menatap penuh kebencian pada Hageng di sela-sela dunia yang berputar karena peningnya clothesline barusan.

Bangsat! Tiba-tiba sekali!! Jingaaaaan!

Hageng tidak berhenti begitu saja, dengan cepat ia menggapai tubuh Kang Daan yang terkejut dan tidak siap! Serangan itu datang dari belakang, Hageng memegang kencang pinggang dan paha sang mantan korlap, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum membantingnya 180 derajat ke belakang dengan posisi terbalik sehingga punggung mereka berdua yang terjerembab terlebih dahulu!! Suplex Belly to Back!

Bruuuugkkkhhhh!

Daan yang tak mengira Hageng justru akan menyerang mereka duluan tanpa aba-aba hanya bisa mengerang kesakitan di tanah sembari memegang punggung. Bangsat! Ini harus dibalas!

“Berantemnya ga uzah pake lama ya, Bang.” Kata Hageng sembari berdiri dengan tenang dan melenturkan pergelangan tangannya. “Aku mazih punya banyak uruzan. Tadi emak pezen minta dibeliin telur di warung.”

Albino bangkit dan berteriak kesal.

Cukup sudah! Mati kamu!!

.::..::..::..::.

Sebuah motor Be@t berhenti di depan rumah Om dan Tante Nanto. Pengendaranya mengeluarkan ponsel, memeriksa peta online, memeriksa jajaran rumah, memeriksa peta lagi, lalu membuka helmnya. Wajah di balik helm itu adalah seorang gadis cantik manis dengan rambut panjang yang diikat santai. Ia membuka aplikasi WhatsApp, mencari satu nama dan menelponnya.

Halo?

“Halo Noy? Aku sudah sampai di depan nih, tapi aku ga yakin rumahnya yang mana, maps-nya cuma kasih petunjuk sampai di depan rumah-rumah ini. Kamu jadi dijemput kan? Mumpung aku pake jaket item ijo, nih. Hehehe.”

Hah? Kok udah nyampe? Aku kan bilangnya nanti. Oke-oke. Aku keluar yaaa.” Ucap lawan bicaranya di ujung dengan buru-buru. Suara gadis yang di ujung itu terdengar merdu – menandakan hatinya yang sedang riang. Si pengendara Be@t tertawa geli, dasar ini cewek atu, kalau sedang kasmaran ya begini ini. Ah kangen dia sudah beberapa lama tidak bertemu.

Tak lama kemudian terdengar pintu gerbang dibuka di rumah yang tak jauh dari posisi si pengendara Be@t. Seorang gadis cantik berkerudung melambaikan tangan dengan wajah gembira. “Nuk! Haaai!”

Gadis yang melambaikan tangan itu Kinan, yang rupa-rupanya memilih pulang dijemput kawannya ketimbang diantar Hanna atau menggunakan ojek online. Sang pengendara Be@t tersenyum dan ikut melambaikan tangan. Ia pun memutar gas supaya motornya melaju pelan ke depan untuk menyongsong si cantik berkerudung.

“Waaah, beneran dijemput, Nuk. Kirain ga jadi! Udah lama banget ga denger kabar kamu! Kaget banget tadi kamu WhatsApp.”

“Jadi dong. Aku juga udah kangen sama anak-anak, Noy.” Si pengendara Be@t memarkirkan motor, dan berjalan pelan ke arah di mana Kinan berdiri. “Kamu masih lama?”

“Iyaaa. Tadi sih rencananya cuma nganterin aja, tapi ini malah sama Tante-nya diminta makan siang.”

“Nganterin temen kamu yang dari rumah sakit itu? Yang seperti kamu ceritain di WhatsApp?”

“Iyaa, habis bedrest semalem. Pingsan begitu kemarin, kasihan ya?” Wajah Kinan bercahaya tertimpa sinar mentari yang mulai meredup setelah lelah menggetarkan jagad dengan cahaya teriknya. Wajah Kinan pun terlihat glowing dan mempesona. Shining shimmering splendid pokoknya. Bahkan si pengendara Be@t pun harus mengakui cantiknya temennya yang satu ini. Kinan menarik pergelangan tangannya. “Yuuuk, masuk bentar aku kenalin.”

“Widih, udah kayak rumah sendiri aja.”

“Wkwkwkwk.”

“Udah lama banget ya kita ga ketemu. Sekalinya ketemu eh, di rumah orang.”

“Iyaaaa. Kemana aja sih? Aku denger kabar katanya Mas R…”

“Dia tidak apa-apa kok, jangan khawatir.”

Sesosok pria keluar dari balik pintu dan berjalan pelan menuju ke gerbang depan. ia menunduk untuk memastikan mengenakan sendal jepit dengan benar sebelum menyongsong Kinan dan si pengendara Be@t.

“Ini yang mau jemput kamu? Kok udah datang aja? Ayo diajak masuk dulu.” Nanto tersenyum ramah, dan memperkenalkan diri. “Halo, aku Nanto. Yuk masuk dulu. Di dalam kebetulan kami sedang makan siang bareng.”

Si pengendara Be@t terbelalak menatap wajah si bengal.

Ini kan…

Nanto menatap wajah sang cewek cantik manis yang sepertinya tidak asing. Tapi pernah ketemu di mana ya? Kalaupun pernah kenal sepertinya hanya bertemu sekilas saja, itu yang membuatnya lupa-lupa ingat. Tapi masa iya dia lupa pernah kenal cewek semanis ini?

Sebaliknya, Nuke tidak akan pernah lupa wajah Nanto.

Tangan gadis itu terkepal.

Ini temennya Kinan?

Tak bisakah dunia berhenti memberikannya kejutan?

Nuke Kurniasih

Bersambung

 

sma sange minta di entot
Menikmati Keperkasaan Penis Guru Ganteng
Foto bugil model JAV cantik seksi
Tiga dara cantik ngajakin ngentot di hotel
Foto ngentot memek bersih SPG rokok
500 foto chika bandung bugil mandi dulu sebelum ngentot dengan pacar
Ngentot dengan mahasiswi cantik di kost
gadis manja
Cerita cewek manja yang punya nafsu gede
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
mbak kost
Perjalanan kisah sex ku dari pacar sampai tetangga kost
istri teman sexy
Nikmatya Tubuh Sexy Istri Temanku
Kontol orang negro memang tiada dua nya
foto manis bugil
Kenikmatan Gara-Gara Melihat Foto Mesum
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dosen Di Kampus
Foto Bugil Mahasiswi Bohay Siap Booking
Pembantu sebelah rumah yang menggoda birahiku
Perselingkuhan Yang Hingga Kini Masih Berlanjut