Part #19 : TOPENG
Ada satu hal yang aku pelajari saat berurusan dengan orang yang menusuk dari belakang. Mereka hanya kuat saat aku membalikkan badan.
– Eminem
Seorang pemuda anggota Talatawon terlihat berlari mendekat ke arah Ableh Ndaho saat Tarung Antar Wakil masih berlangsung di tengah lapangan. Mata sang ketua Talatawon yang bertindak sebagai wasit itu menyala gembira menikmati pertarungan antara dua koleganya yang seru dan brutal. Sang anggota yang baru saja berlari menemui Ableh lantas membisikkan beberapa kata ke telinga sang ketua sementara di lapangan Simon sekali lagi terlontar ke belakang karena pukulan ki dari Rao.
Simon terlempar jauh hampir tiga meter, tubuhnya terbanting berulang ke lantai beton lapangan basket. Seluruh tubuhnya sakit, terutama kaki dan rusuknya. Dia mengumpat dalam hati.
Bangsat! Kalau begini caranya, tidak akan bisa menyelesaikan pertarungan ini kecuali sampai ada yang cacat atau mati.
Teriakan dukungan untuk Rao menggelora dari pihak DoP saat terlihat Simon kembali terlontar. Tabuhan genderang membahana dan teriakan anti Sonoz makin lantang terdengar.
“Dua tiga orang ke pasar, sekali lempar Sonoz modyaaar!”
Simon mencoba menenangkan diri, dia pasti bisa melakukannya! Diaa tidak akan kalah semudah ini. Sang pemuncak gunung menjulang kembali bangkit dengan badan tegap. Ia kembali bersiap dengan kuda-kudanya, sama sekali tidak terlihat kepayahan. Kekuatannya yang menakutkan membuat kubu Sonoz kembali berteriak-teriak dengan semangat.
“Dua tiga beli pepaya, mau bagaimapun Sonoz juaranya!!”
Bagaimana dengan Rao?
Melihat Simon kembali bangkit, semangat Rao menyala. Sang hyena gila sebenarnya sedang terengah-engah, tenaganya sudah hampir habis, mengeluarkan ki bukan perkara mudah. Ia harus menghabiskan tenaganya berkali-kali lipat dan lontaran ki seperti yang berulang kali ia lakukan hanya akan sangat efektif kalau lawan menyerang dengan emosi berlebih.
Sayangnya saat ini si bedebah Simon terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Kalau begini caranya Rao bisa lebih dulu ambruk dibandingkan Simon hanya karena tenaganya sudah sampai di ujung. Bahaya sekali, pabu sacilad. Kakinya sudah mulai mengkhianati, mulai goyang dombret. Setengah mati Rao mencoba untuk tidak menunjukkan goyahnya. Ia menghapus sisa darah di bibir sembari tersenyum lebar.
“Asyik. Masih sama-sama kuat, ya? Ayolah menyerah saja, Dab. Ini sudah hampir sore.” ucap Rao yang langsung didukung sorak-sorai dan yel-yel dari anggota DoP yang tentu saja juga dibalas oleh anggota Sonoz.
“Dua tiga orang berenang, DoP mesti menang!!”
“Aku tidak tahu apakah kamu mencoba membuatku menyerah atau kakimu yang sudah mulai goyah. Lebih baik belajar berdiri dengan benar dulu sebelum menantangku, Rao.” Simon tersenyum sinis. Sonoz kian menggila berteriak jumawa.
“Dua tiga raja dan ratu, pantune Deope ora ono sing bermutu!!”
“SEKALI LAGI!” Rao berteriak kencang sembari melesat ke arah Simon dengan kecepatan yang luar biasa, tangan kanannya diangkat sampai setinggi kepala dengan kepalan terkepal erat, siap membuat wajah Simon hancur jadi debu.
“HAYOOOOOO!!” Simon tidak mau kalah. Ia berlari ikut menyongsong serangan Rao.
Hujan pukulan antara keduanya tidak terhindarkan.
Bkkk! Bkkk! Bkkk! Bkkk! Bkkk!
Bgkhh! Bgkhh! Bgkhh! Bgkhh! Bgkhh!
Kedua tangan Rao dan Simon bergerak bak senapan mesin gattling gun yang menghujani lawan dengan pukulan bergelombang. Tidak ada yang menyerah kalah dan mundur, keduanya bertahan dengan tegap, masing-masing melontarkan pukulan ke wajah, dada, bahu, lengan, kembali ke wajah, dada, wajah lagi, berulang, tak terhenti. Brutal tanpa ada yang ingin bertahan.
Tidak ada lagi pukulan geledek atau lontaran ki. Yang ada hanya adu pukulan dan adu kekuatan. Rao dipukul, ia membalas. Simon dipukul, ia pun membalas. Silih berganti, saling menyerang, saling bertahan.
Bkkk! Bkkk! Bkkk! Bkkk! Bkkk!
Bgkhh! Bgkhh! Bgkhh! Bgkhh! Bgkhh!
“Modyaaaaaarrr!!”
“Mati koweeeeeeee!!”
“STOOOOOPP!!”
Sesosok bayangan melesat dan menghentikan Rao dan Simon dengan gerakan lembut. Pukulan terakir dari kedua belah pihak gagal mencapai sasaran karena pukulan mereka dipindah arah untuk memukul angin dengan tamparan ringan ke pergelangan tangan. Rao dan Simon yang terkejut menghentikan adu pukulan mereka.
Gerakan tangan yang menggagalkan serangan Rao dan Simon itu begitu lembut namun tegas, seperti air yang mampu melubangi batu, mampu mengatasi kegarangan kedua serangan, seperti gerakan taichi. Tentu saja kemampuan seperti itu tidak main-main karena dengan mudahnya mengatasi gerakan brutal dari dua sisi dengan sekali gebrak.
Siapa yang bisa melakukannya?
Ableh Ndaho hadir di tengah-tengah Rao dan Simon.
Keduanya terdiam dan tertegun melihat serangan mereka dimentahkan oleh pimpinan Talatawon sang tuan rumah, ada apa ini?
“Maaf. Tapi sepertinya sekarang kita harus menghentikan dulu Tarung Para Wakil.” Kata Ableh tiba-tiba, ia berdiri dengan tegap dan menatap Rao dan Simon bergantian. “sebagai pihak netral, posisi kami sedang dalam ancaman, Dab. Ada hongib sedang menyisir wilayah utara karena terindikasi adanya tawur antar geng dan menurut informasi memang ada penyerangan dari PSG ke Patnem.”
Rao menatap Ableh dengan geram, “tapi itu bukan alasan buat menghentikan pertarungan ini to, dab? Tempat ini aman kan?”
Ableh berdiri tenang dan memasukkan tangannya ke kantong celana sembari menatap Rao santai. “Peraturan dari Talatawon sudah bulat, tempat ini tidak lagi bisa digunakan jika ada kemungkinan datangnya pihak yang berwajib. Kita bisa lanjutkan lain kali kalau pihak DoP belum puas, tapi untuk saat ini kita bisa anggap pertarungan berakhir seri, bagaimana? Aku tawarkan opsi itu pada kalian. Kita harus cepat ambil keputusan sebelum hongib datang menyisir kawasan ini, dab.”
Rao menarik napas panjang dan menghelanya. Ia melirik ke arah Simon yang wajahnya sembab. “Piye menurutmu, Dab?”
“Kalau memang itu keputusan Talatawon kita sepertinya harus menghormati sebagai tamu. Rasa-rasanya aku sudah cukup puas dengan hasil ini. Kita sama-sama kuat, Rao. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Seperti Ableh bilang, kondisi memang tidak memungkinkan dan akan berbahaya bagi anggota-anggota kita kalau terciduk. Jika memang suatu saat kita harus menuntaskannya, maka kapanpun pasti akan aku layani. Tapi tidak hari ini.”
Cuh!
Rao membuang ludah bercampur darah. “Setuju kalau begitu. Pertarungan ini bukan batal, tapi ditunda. Kita akan cari hari lain untuk bertarung kembali di sini. Bagaimana?”
“Tidak ada masalah.”
Ableh mengangguk, “silahkan bersalaman sebagai tanda penundaan.”
Simon mengulurkan tangan yang langsung dibalas jabatan erat tangan oleh Rao.
“Oke, tarung antar wakil resmi ditunda, kita akan adakan lagi jika memang kedua pihak bersedia melakukannya. Untuk hari ini, aku sarankan kalian pulang berpencar, jangan melewati jalan utama terutama ringroad, lalui saja jalan tikus dan jangan melakukan konvoi di jalan. Pihak berwajib sedang berkeliling wilayah utara. Kalian berdua tahu lah apa yang mesti dilakukan.”
Rao mengangguk, demikian juga Simon.
Ableh mengangkat pengeras suara dan mulai berbicara pada penonton, sembari berjalan mengitari arena lapangan basket. “Karena adanya perkembangan situasi yang berbahaya, pertarungan antar wakil hari ini dihentikan dan ditunda sampai waktu yang belum ditentukan! Ditunda karena ada kabar resmi polisi sedang bergerak menyisir daerah utara termasuk wilayah di sekitar kampus UTD untuk mencari dan menangkap anggota-anggota geng yang hari ini tawuran. Karena kondisi tidak kondusif, pertarungan ini dihentikan sampai di sini dan dinyatakan imbang! Kita akan lanjutkan lain kali!”
Teriakan cemooh dan tidak puas terdengar dari kedua kubu.
“Wooo payah!! Opo kih! Wagu! Kentang! TS-nya nggateli! Penonton kecewa! Njelehi! Kecewa pokmen! Kecewa! Kocheng oren giginya tinggal dua, pokmen kecewa!”
Meski harus menahan rasa kentang, tapi mau bagaimana lagi, kondisi yang memaksa. Padahal sudah tinggal sedikit lagi selesai. Rikson dan Kori dari DoP pun mulai mengatur pasukan untuk pulang ke Kandang Walet secara terpisah dan melalui jalan yang berbeda-beda agar tidak terlihat seperti kawanan geng. Demikian juga dengan korlap-korlap Sonoz yang mengatur jalur pulang pasukannya.
Simon dan Rao masih berdiri di tengah arena.
“Kamu hebat juga, Rao. Ga nyangka kamu sudah menguasai penggunaan ki dengan baik. Tapi aku pasti akan mengasah kemampuanku supaya saat bertemu kembali aku tidak akan bisa kamu lemparkan dengan mudah.”
“Hehehehe. Podo karo kowe, Simon. Sama juga sepertimu, kamu kuat. Pukulan geledekmu memang sesuai dengan reputasinya.” Rao sudah siap membalikkan badan ketika kemudian ia teringat sesuatu, “Simon. Pastikan berdiri di depanku dengan kondisi sehat saat kita nanti bertemu kembali di arena. Aku tidak mau menghajar pesakitan.”
“Pasti. Kamu juga harus seratus persen, kurang dari itu batal.” Simon tersenyum dan menganggukkan kepala.
Kedua pemimpin kelompok geng kampus itu akhirnya memisahkan diri dengan berjalan pelan menuju massa mereka masing-masing. Siap meninggalkan UTD dengan berpencar melalui jalan tikus untuk menghindari kecurigaan pihak berwajib.
.::..::..::..::.
“Sayang pertunjukan bubar sebelum kita menemukan pemenangnya.”
Kata pemuda misterius berpakaian serba putih bernama Jun yang sejak awal menyaksikan Tarung Antar Wakil di pelataran lapangan basket UTD. Berjalan berdua dengan kawannya yang mengenakan jaket kutung bertudung yang dipanggil dengan nama X, Jun menyusuri jalan berdebu yang menghubungkan lapangan basket di belakang kampus dengan ringroad. Keduanya berjalan dengan santai tanpa mempedulikan lalu lalang kendaraan bermotor yang mulai meninggalkan lokasi.
“Setidaknya ada gambaran sebelum kelak kita datang kembali untuk menantang mereka satu persatu.” ucap Jun kemudian. “Kalau dari sekilas pemantauan tadi sih tidak ada yang terlalu istimewa. Kamu dengan mudah akan dapat mengalahkan Rao ataupun Simon, X.”
X terkekeh. “Masih butuh waktu lama sebelum kita benar-benar kembali dan bisa berlaga di kota ini, Jun. Bersabarlah sampai saat itu tiba. Pasukan sudah siap, kita hanya tinggal menyusun strategi-strategi untuk mengetahui dan mengatasi kekuatan para punggawa tiap kelompok di wilayah utara.”
“Hahaha. Menyuruh bersabar tapi dia sendiri bahagia banget kalau ngomongin perang.”
X kembali tertawa.
“Tapi menurutmu, X. Siapa ancaman terkuat di wilayah utara ini sebenarnya?”
“Kalau aku justru mengincar untuk mendapatkan dukungan dari Ableh Ndaho, kamu lihat sendiri bagaimana dia tadi dengan mudah mengatasi serangan cepat baik dari Rao ataupun Simon, apalagi anggota-anggota Talatawon selalu berafiliasi dengan kita. Aku justru penasaran dengan Talatawon.”
“Kalau yang bukan geng kampus?”
“Berita tentang hancurnya Patnem di tangan PSG juga sudah tersiar di grup WhatsApp, aku hanya menunggu kelompok mana yang akan menggantikan Patnem dan mendapat dukungan dari PSG.”
Jun menyarungkan tangan ke saku celana, “apa iya PSG yang akan hadir secara langsung di utara?”
“Masih perkiraan saja. Kalau benar itu yang terjadi, maka ketua kita akan langsung berhadapan dengan Joko Gunar. Monster bertemu monster. Bukankah itu seru? Joko Gunar seharusnya tidak akan gegabah melampaui wilayah yang sudah turun temurun dikuasai oleh kita. Dia tidak akan berani membangunkan naga yang sedang terlelap dalam gua.”
“Asyik menunggu perkembangan di wilayah utara sementara kita membangun kekuatan.”
“Hehehe. Tidak akan ada yang tahu besarnya kekuatan kita sekarang, itulah yang akan membuat kita menjadi bersemangat.”
Jun menggeleng kepala sambil tersenyum, “aku masih terlalu muda untuk memahami segala macam intrik antar kelompok begini. Aku masih terlalu hijau. Tapi seru sekali memang, membuatku sangat bersemangat menghadapi orang-orang ini kelak.”
“Kamu tidak hijau, kamu hanya terlalu putih. Kayak pocong.”
Jun tertawa.
“Tapi kamu kan juga bukan kelas ecek-ecek, Jun. Dengan mudah kamu akan dapat mengalahkan Remon, Abi, Roni, dan Don Bravo jika melihat pertarungan mereka tadi.”
Jun mencibir, “jangan menghina. Aku masih harus banyak belajar.”
“Siapa lawan yang paling kau anggap mengerikan sejauh ini?”
“Sejauh ini?” Jun menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. “Tidak ada sih. Hahaha.”
“Benar kan, kamu dapat dengan mudah mengalahkan mereka berempat tadi bahkan jika mereka menyerangmu bersamaan.”
Jun kembali tertawa mendengar gurauan X, tapi ia kemudian teringat sesuatu. “Sebenarnya ada seseorang sih. Ada lawan yang menurutku paling mengerikan. Tapi dia sudah tidak pernah muncul lagi beberapa tahun terakhir ini, mungkin dia sudah pindah domisili. Dulu semasa SMA, dia aku anggap sebagai lawan yang menurutku mempunyai kemampuan setara denganku atau bahkan lebih.”
“Oh ya? Ada juga angkatan generasimu yang kamu kagumi ya? Tumben orang narsis kayak kamu mau mengakui keberadaan orang lain.”
“Mungkin dialah satu-satunya.”
“Siapa dia?”
“Mungkin namanya hanya tinggal menjadi cerita saja, karena sekarang sudah tidak pernah lagi muncul dan tidak pernah lagi ada kabar berita. Tapi dulu dia berhasil menaklukan hampir semua geng SMA di kota. Aku selalu menunggu-nunggu dia menyerang SMA kami karena penasaran akan kemampuannya dan saat dia dan kelompoknya benar-benar datang, kami berhasil ditumpas habis. Aku memang masih berdiri tegak seorang diri, tapi pukulan seperti apapun yang aku lontarkan tidak pernah bisa mengalahkannya. Dia benar-benar…”
“Itu kendaraan kita sudah datang.”
Sebuah mobil serba hitam yang mirip seperti mobil pengantar uang ATM berhenti di depan Jun dan X. Jendela depan terbuka menampakkan wajah yang sumringah dan bahagia karena berhasil menemukan kedua orang tersebut.
“Kapten Jun, Kapten X. Silahkan masuk.”
“Kita lanjutkan ceritanya lain kali, Jun. Dari mana asal orang yang tadi kamu ceritakan itu?”
“SMA CB. Dia dari SMA CB.”
Ponsel di atas meja pasien bergetar kencang.
Nuke yang duduk di samping tempat tidur Ridwan takut mengangkat saat melihat layar lockscreen bahwa yang menghubunginya adalah Joko Gunar. Hidupnya terasa begitu gelap dan tak ada harapan. Akankah dia benar-benar memberikan miliknya yang paling berharga pada Bang Gunar? Tidakkah ada cara lain untuk melarikan diri dari harga yang harus ia bayar untuk kehancuran Patnem? Tidakkah ada cara lain untuk kabur dari konsekuensi?
Tanpa ia ketahui, Nuke telah menyebabkan gelora aroma perang hebat terendus di wilayah utara. Meski hanya sebagai trigger yang memang sudah ditunggu-tunggu akan meletup.
Ridwan masih belum sepenuhnya sadar, dia masih belum membuka mata.
Meski hanya getar yang terdengar, tapi mungkin akan sangat mengganggu di kamar pasien yang sepi ini. Nuke pun akhirnya mencoba mengumpulkan keberanian dan mengangkat ponselnya. Ia berjalan ke arah sudut yang gelap, menekan tombol terima.
“Halo.” Bisik Nuke perlahan.
“Akhirnya kamu terima juga. Aku pikir kamu kabur dari kesepakatan kita.”
“Tentu tidak. Aku selalu menepati janji.”
“Patnem seminggu lagi sudah bakal habis total. Aku mau dp-nya besok seperti janjimu.”
“Aku masih menunggu Mas Ridwan di rumah sakit, aku tidak bisa kemana-mana.”
“Jan-ji. Ke-se-pa-kat-an.”
“Terus aku harus bagaimana? Meninggalkan Mas Ridwan sendirian? Tidak mungkin itu aku lakukan kan? Beri aku kesempatan untuk mengatur waktu, Bang. Aku akan memenuhi janji.”
“Sekedar pengingat saja, kalau saja kamu berniat menghindar dari kesepakatan kita, PSG akan memburu kamu dan aku tidak akan peduli siapa yang akan melakukan apa pada tubuh indahmu atau pada mas Ridwan-mu. Kami tidak pernah main-main.”
“Ya Tuhan! Dengerin aku! Aku tidak akan lari, Bang.”
Cari cara Nuke! Cari cara untuk menghindar dari kesepakatan awal! Bayar Bang Gunar dengan cara yang lain! Tapi apa? Pakai cara yang mana? Cara yang…
Sebuah ide terbersit.
“Bang… bagaimana kalau aku mengajukan kesepakatan baru?” kata Nuke setelah beberapa lama terdiam dan berpikir keras.
“Sudah kuduga. Tidak ada kesepakatan baru. Aku mau memek kamu. Kalau kamu menghindar, kamu bakal jadi buruan PSG. Kamu tinggal pilih kok, mau dientotin Jardu dan kawan-kawan atau aku? Tinggal pilih. Bayangkan saja, setelah kamu diperkosa Jardu dan kawan-kawan, tubuhmu bakal diobral di Pasar Bunga! Dijadikan lonte!”
“Tunggu dulu, Bang! Dengerin aku dulu! Ba-bagaimana kalau aku bawakan orang yang dulu pernah menghajar Eben langsung ke abang? Dalam waktu dekat, di lapangan. Kalau abang memberi dia pelajaran di lapangan, maka orang-orang yang sebelumnya sempat membelot ke abang bakal kembali takluk dan pemasukan abang kembali normal. Saat ini kan Eben dan kawan-kawan kehilangan muka di lapangan gara-gara dihajar orang.”
Tidak ada balasan dari Joko Gunar, meski hembusan napasnya terdengar, sepertinya dia sedang berpikir. Nuke hanya bisa berharap mudah-mudahan ia berhasil meloloskan diri dari kesepakatan awal, meski untuk itu dia harus mengorbankan orang lain – tapi orang itu bukan orang yang dia kenal. Mudah-mudahan bisa.
Sejak Nanto menghajar Eben dan kawan-kawannya di lapangan, pemasukan Gunar memang merosot drastis, para penjual tak lagi takut pada PSG. Sebetulnya mudah saja membereskan orang-orang itu satu persatu dengan kekuatan yang dimiliki PSG sekarang, tapi jika beneran Nuke bisa menghadirkan Nanto ke lapangan lagi, maka kesempatan untuk membuktikan kekuatan PSG bakal lebih meyakinkan dan dia akan bisa menarik pajak keamanan yang lebih tinggi lagi.
“Menarik, tapi tidak semenarik memek kamu.”
Nuke menarik napas panjang. Gagal sepertinya. Aduh, pakai cara apalagi ya?
“Begini saja… aku tahu kamu sedang kebingungan.”
Wajah Nuke berubah. “I-iya, Bang.”
“Kalau kamu berhasil mendatangkan orang itu ke lapangan, membiarkan PSG menghajar dan mempermalukannya di depan para penjaja makanan dan penyewa tempat, maka aku akan mempertimbangkan kesepakatan kita…”
Wajah Nuke berubah cerah.
“…tapi kalau semuanya gagal, kalau dia malah kembali mempermalukan PSG atau kamu gagal mendatangkannya ke lapangan, maka kamu harus bersedia menikah siri denganku sebagai istri muda dan melupakan Ridwan. Bagaimana? Ini penawaran terakhirku. Kalau tidak mau, maka kita kembali ke kesepakatan awal.”
Bagaikan tersambar geledek, ucapan Gunar makin menusuk sanubarinya. Nuke seakan-akan mau pingsan mendengar kalimat yang terucap dari Gunar.
Jawaban apa yang harus ia berikan?
.::..::..::..::.
Motor Rao berhenti di Indom@ret yang tidak seberapa jauh dari kampus, bersama dengannya berhenti juga Rikson yang menemani bersama seorang anggota DoP kepercayaannya yang sering dipanggil dengan sebutan Nobita atau Nobi karena rambutnya dipotong model batok dan mengenakan kacamata, bahkan nama aslinya Rikson lupa karena lebih sering memanggilnya Nobita.
Saat ini keduanya sedang dalam mode penjagaan penuh untuk memastikan kalau-kalau para serdadu Sonoz melakukan tindakan yang tidak diinginkan di masa-masa kritis kondisi lelah sang pimpinan.
Rao mendengus melihat perlakuan keduanya. “Opo’o sih, Dab. Payah tenan mesti dijagain kayak bayi tua begini. Aku ga apa-apa wes, Sonoz ga bakalan macem-macem. Percaya sama Simon, dia bukan orang yang suka memanfaatkan kondisi, dia sendiri juga pasti sedang kepayahan.”
“Mungkin Simon memang seperti itu, punya sifat ksatria. Tapi yang kami khawatirkan anak buahnya, Bos. Bukan Simon, kita tidak akan pernah tahu perkembangan apa yang terjadi di balik layar. Demi amannya saja.”
“Woalah embuh wes. Sekarepmu. Aku tuku nyonyon sek. Kalian mau rokok apa?”
“Tidak Bos, terima kasih.”
“Kowe?” tanya Rao pada Nobita.
“Saya sudah bawa juga, Bos. Masih banyak.”
“Yo wes. Aku agak lama lho ya, mau mampir ke toiletnya dulu. Wetengku rodo mules.”
“Siap.”
“Baik, Bos.”
Rao pun mencibir sambil mengangkat bahu. Ia segera masuk ke dalam Indom@ret. Tempat ini tidak terlalu tersembunyi tapi tidak juga terlalu di pinggir jalan utama, cukup nyaman dari sisiran polisi. Apalagi barang-barang yang dijual di cabang ini juga lumayan lengkap, sehingga menjadi favorit lokasi belanja para mahasiswa khususnya dari UAL.
Nobi mengucek hidung. “Duh gatel.”
“Jangan ngupil di tempat umum. Njijiki.” Ujar Rikson.
“Bukan ngupil ini, masbro. Boleh percaya boleh tidak. Tapi hidungku biasanya jadi gatel seperti ini kalau ada masalah yang akan segera datang.” kata Nobi dengan wajah lempeng, “semacam antene pendeteksi begitu.”
“Ada-ada aja.”
Tak lama kemudian ada satu motor menderu yang berhenti di depan toko dan penunggangnya lantas turun dari motor dan melangkah santai ke dalam. Baik Rikson ataupun Nobi sama-sama menatap orang itu dengan pandangan curiga, tapi lantas mereka membiarkan saja.
“Bukan… sepertinya dia bukan ancaman yang…” ucap Nobi yang langsung dibalas dengusan kesal Rikson.
“Udah! Jangan meramalkan hal yang tidak-tidak! Semua itu cuma khayalan di otakmu! Kampret! Aku juga jadi percaya aja, malah parno kalo lihat orang.”
“Tapi ini kan kemungkinan saja. Mungkin iya, mungkin juga tid…”
Tiba-tiba terdengar deru beberapa motor masuk ke parkiran, dua dari belasan orang yang datang turun dari motor dan mendekati Rikson serta Nobi. Mereka membuka helm yang menunjukkan wajah yang amat mereka kenal.
Rikson tertegun melihat wajah-wajah yang ada di hadapannya. “Kenapa kalian tidak langsung pulang ke kandang walet?”
Amon dan Oppa tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Di belakang Amon dan Oppa motor-motor berhenti menderu, belasan anggota DoP bersiaga di belakang kedua kapten, belasan anak buah dari Amon dan Oppa yang bergerak mengitar dan mengepung Rikson dan Nobita.
Rikson menundukkan kepala dengan mata tetap menatap tajam ke depan ke arah Oppa. Entah kenapa tapi perasaannya bergejolak. Seperti ada yang tidak beres. Jantungnya berdetak dengan lebih cepat. Sial, jangan-jangan ramalan Nobi yang bodoh jadi kenyataan?
Tinjunya terkepal.
.::..::..::..::.
Akhirnya sampai juga.
Untuk mencapai tempat ini Deka harus memacu motornya dengan kecepatan tinggi agar bisa sampai ke lokasi dengan waktu lebih cepat dari seharusnya. Untung jalan antar kota tidak semacet biasanya, jadi dia hanya perlu mengikuti jalur utama ke arah timur.
Rumah yang dituju Deka memang berada di luar kota, bahkan beda provinsi, kurang lebih sekitar 60an kilometer. Setelah melewati candi di perbatasan kota, ia tinggal lurus saja mengikuti jalan hingga menyusuri beberapa kota, sampai akhirnya mentok di sebuah pertigaan dan kemudian belok ke kanan. Jalurnya sih mudah, jauhnya yang lumayan.
Saat membuka jaket, badannya terasa maknyesss terkena sepoi angin yang sejuk. Di balik jaket itu memang keringatnya deras mengalir sejak tadi dan bajunya sudah basah kuyup. Dengan helm cakil ditenteng, Deka memasuki halaman sebuah rumah megah yang berukuran luas. Rumah berwarna putih dengan pilar-pilar besar menghiasi jalur menuju pintu depan, jauh dari gerbang utama tempat beberapa satpam berjaga. Jelas bukan rumah orang biasa.
Tapi Deka tidak berjalan masuk ke rumah, ia berjalan ke samping menyusuri jalan setapak menuju ke arah sebuah gubuk yang terletak di samping kolam-kolam ikan terbentang luas. Ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk di sana.
“Selamat sore, Pakdhe.” Kata Deka sambil mengumbar senyum.
“Weeeeee ladalah kejutan iki jenenge! Hahaha! Tumben ngetan kowe, le! Tumben banget datang ke sini. Rene… rene… lungguh kene. Duduk sini deket Pakdhe.” Seorang laki-laki tua yang nampaknya sangat dihormati tersenyum sembari menyambut kedatangan Deka. Mereka bersalaman sementara si laki-laki tua itu menepuk-nepuk pundak Deka. “Gimana kabar keluarga? Sehat semua to?”
“Sehat semua, Pakdhe.”
“Ya syukur kalau begitu.”
Pria itu memang Pakdhe kandung Deka, kakak dari Ibundanya. Nama lengkapnya Yama Widura, Deka biasanya memanggilnya dengan sebutan Pakdhe Wid. Orangnya sederhana, tapi auranya luar biasa, ada sesuatu yang berbeda dari orang ini. Setahu Deka, pekerjaan utama Pakdhe Wid adalah seorang penggede di salah satu universitas negeri lokal dan terlibat dengan salah satu partai politik.
“Mancing sore-sore, Pakdhe?”
“Hahaha, menikmati suasana sore wae di sini. Kecipak-kecipuk iwak itu bikin adem di telinga Pakdhe. Seneng kalau ikannya berkembang biak banyak dan sehat-sehat.”
“Ikan apa aja sekarang yang ada di kolam Pakdhe?”
“Banyak. Ada nila, bawal, patin, lele. Gowonen bali kalau mau, buat oleh-oleh orang rumah.”
“Hahaha, nggak Pakdhe. Malah ngrepotin.” Deka duduk di samping sang Pakdhe. Tak lupa pemuda itu memberikan hormat pada tiga orang penjaga yang berdiri di sekitar Pakdhe Wid. Dilihat dari perawakan mereka yang tegap dan kaku serta sikap siap sedia, jelas terlihat kalau mereka bukanlah teman main Pakdhe Wid, mereka adalah penjaga-penjaganya. Istilah kerennya? Bodyguard.
“Sugeng sonten Om Subur, Om Betet, Om Bas.” Deka yang mengenali ketiga bodyguard sang Pakdhe memberi salam.
Ketiganya mengangguk sambil tersenyum sekilas. Mereka memang bukan orang yang gemar bercakap-cakap lama, selalu memasang muka serius, dan tak jarang galak pada orang lain. Tapi jangan pernah menanyakan kesetiaan mereka pada Pakdhe Wid.
“Piye? Ono opo kok awakmu dolan mrene? Sudah ketemu Budhe?”
“Saya belum masuk ke rumah, Pakdhe. Langsung ke sini karena memang tujuannya mau ketemu Pakdhe. Satpam yang bilang kalau Pakdhe lagi duduk-duduk di kolam.” Deka mencoba mengatur napas supaya bisa berbincang dengan santai. “Begini lho, Pakdhe… saya pengen konsultasi mengenai masalah yang sedang saya dan teman-teman hadapi. Tadinya mau telpon saja, tapi kok lebih mantep kalau ketemu langsung sama Pakdhe.”
“Weee. Ono masalah opo awakmu saiki?”
“Jadi begini, Pakdhe…”
Belum sempat bercerita, seorang pria berperawakan tegap seperti layaknya seorang anggota militer datang dan menemui Pakdhe Wid. Karena sungkan pada Deka, pria tersebut berbisik pada sang pria yang dihormati. Pakdhe Wid mengangguk-angguk dan mengayunkan tangan ke arah gubuknya.
“Bawa ke sini saja, aku temui di sini.”
“Siap.” Tergopoh-gopoh pria bertubuh tegap itu kembali ke gerbang rumah.
“Wes lungguh nang kene ndhisik ya, le. Aku arep nemoni tamu. Ndak apa-apa kamu di sini aja ga usah kemana-mana, wes kamu duduk manis dulu aja di situ santai wae, gelem sate buntel? Sate buntel atau tengkleng?”
Deka tertawa, “Walaaaah, lha kok malah jadi ngrepotin, Pakdhe.”
“Ngrepoti opo tah. Yo tidak apa-apa to, sama ponakan sendiri kok repot itu gimana? Lha wong warunge aku seng duwe, aku seng dodol nang warung sebelah omah.” Pakdhe Wid mengayunkan tangan pada seorang asisten rumah tangga yang sedang mencabuti rumput liar di sekitar kolam. “Gon! Mreneo, Gon! Ga ngrepotin apa-apa, namanya juga warungku itu warung sederhana yang jualan apa adanya. Wes kamu manut saja.”
Deka hanya tertawa rikuh.
“Nggih, Den.” asisten rumah tangga yang dipanggil datang menemui Pakdhe Wid.
“Gon, kamu tolong mintakan ke warung sebelah – seporsi nasi putih, sate buntel, tengkleng, sama es jeruk. Ga pake lama.”
“Siap, Den.”
Orang itu pun berlalu. Ngacir pergi dari hadapan Pakdhe Wid, Deka, dan orang-orangnya. Tak lama kemudian datang pengawal yang tadi memberikan kabar sembari menunjukkan jalan pada seseorang untuk menemui Pakdhe Wid.
Deka pun bertanya-tanya dalam hati, siapa tamu yang datang menemui pakdhe-nya.
Pria itu duduk di sebelah Pakdhe Wid setelah sebelumnya memberikan salam sembari mencium tangan sang Pakdhe. Wih, mantep juga batin Deka. Kayaknya semakin tinggi ya sekarang jabatan sang Pakdhe?
“Pak Trisno? Ada apa kok menemui saya sore begini? Ada yang bisa dibantu?”
Pria yang dipanggil dengan nama Trisno itu berwajah kalut, dia tegang, penampilan acak-acakan, seakan sudah tidak makan tidak tidur selama beberapa hari. Ia menatap Pakdhe Wid dengan wajah ketakutan. “Pa… Pak Wid… be-begini… sa-saya ini orang yang setia pada negara, selalu menjunjung tinggi peraturan, taat bayar pajak, apapun saya lakukan demi negara. Saya juga mendidik anak perempuan saya untuk selalu setia pada negara, saya bahkan membebaskannya melakukan apa saja – asal selalu menghormati dan tidak membuat malu nama keluarga.
“Anak perempuan saya bertemu dengan pacar yang menurut dia baik, bukan asli sini – datang dari luar pulau. Mereka sering nonton bareng, sering begadang entah kemana, dan pulang malam. Saya tidak pernah sekalipun protes, tidak pernah sekalipun, karena saya percaya pada penilaian anak saya. Akan tetapi… akan tetapi… dua bulan yang lalu… sang pacar mengajak anak perempuan saya jalan-jalan ke luar kota untuk berwisata, bersama mereka ada satu lagi teman pria.
“Mereka… mereka… dengan sadis mencekoki anak saya minuman keras… dan… dan… mengambil keuntungan dari situasi itu dengan memaksakan kehendak mereka pada anak perempuan saya!! Anak gadis saya jelas melawan, ingin mempertahankan mahkotanya… lantas mereka berdua memaksa dan menghajarnya…! Menghajar anak saya seperti memukuli seekor tikus got! Mereka memukuli anak gadis saya yang tercinta!
“Saya baru bisa menemuinya di rumah sakit keesokan harinya. Hidungnya sudah bengkok, rahangnya patah… kemungkinan harus dikait dengan pin. Anak gadis saya yang tercinta itu bahkan tak bisa menangis karena harus menahan rasa sakit yang luar biasa. Saya lah yang menangis… saya hancur. Anak itu adalah cahaya hidup saya… anak saya yang cantik… yang tidak akan pernah lagi menjadi gadis cantik dengan cacat yang sekarang dideritanya.”
Bapak-bapak yang dipanggil dengan nama Trisno itu kemudian menangis sesunggukan. Pengawal Pakdhe Wid yang dipanggil dengan nama Bas mengambil air minum kemasan gelas dari dalam sebuah kardus, dan menyediakannya untuk Pak Trisno sembari menyediakan juga sedotan kecil.
“Te-terima kasih… mohon maaf merepotkan.” Pak Trisno mengambil air minum itu, menusuk sedotan, dan minum sampai separuh.
“Saya lantas pergi ke pihak yang berwajib,” kata Pak Trisno melanjutkan, “seperti seorang warga negara yang baik saya membawa kasus ini ke pihak yang berwajib. Kata pengacara orang-orang yang menodai anak gadis saya bisa dihukum hingga tiga tahun penjara… tapi… tapi… karena dinyatakan tidak cukup bukti, keduanya bebas! Mereka bebas! Melenggang tanpa bisa disentuh sementara anak saya terbaring cacat di rumah sakit!!
“Mereka tersenyum pada saya di kantor polisi, meremehkan saya, merendahkan saya. Menganggap saya ini orang tolol yang tidak akan dapat menggiring mereka ke meja hukum. Tolong saya Pak Wid… saya mohon tolonglah…”
Pak Trisno mengakhiri ceritanya.
Pakdhe Wid menatap Pak Trisno dengan tatapan tajam, “Lho, kalau sampeyan sudah mengunjungi polisi kenapa sampeyan lantas datang ke sini menemui saya?”
“Saya mohon… saya akan memberikan apapun yang Pak Wid mau, apapun! Tapi saya mohon bantuan untuk satu hal ini saja, Pak Wid. Saya mohon, Pak Wid.”
“Hal apa itu?”
Pak Tris menatap sekitar, menatap Deka, lalu bangkit, dan mendekati Pak Wid untuk membisikkan kalimat langsung ke telinganya.
Pak Wid menggeleng, “piye to pak… pak… yang seperti itu ya tidak bisa aku penuhi.”
“Saya akan memberikan semua yang anda inginkan, Pak Wid. Apapun itu!”
“Sudah bertahun-tahun kita kenal, Pak Tris, tapi ini pertama kalinya sampeyan datang ke saya untuk meminta pendapat, untuk meminta bantuan. Mbok ya sekali-sekali sampeyan itu datang ke rumah saya, atau mengundang saya ke rumah sampeyan hanya untuk silaturahmi, bukan jika hanya perlu dan bukan untuk urusan seperti ini. Akui sajalah Pak Tris, sampeyan butuh tenaga saya tapi tidak suka berhubungan atau berteman dengan saya. Singkatnya, sampeyan takut sampeyan harus membalas budi pada saya. Kalau begitu urusannya bagaimana saya bisa membantu sampeyan?”
“Saya hanya takut nantinya akan mengundang masalah jika terlalu dekat dengan Pak Wid…”
“Saya paham kok. Asli. Sampeyan sudah menemukan surga dunia di bumi, usaha berjalan dengan lancar, dan hidup nyaman. Sampeyan juga membayar pajak dengan harapan negara akan melindungi dan hukum berpihak pada sampeyan. Begitu kan? Karena merasa aman sampeyan tidak pernah membutuhkan hubungan persahabatan antara kita karena merasa semua akan baik-baik saja. Sekarang tiba-tiba saja, tidak ada hujan tidak ada petir – sampeyan datang dan menuntut saya untuk membantu sampeyan menegakkan keadilan…
“Dengan datang seperti ini, tujuan sampeyan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memanfaatkan kemampuan saya! Alih-alih menawarkan persahabatan, sampeyan hanya ingin menuntaskan masalah anda saja. Masalah yang saya sama sekali tidak mau tahu. Sampeyan bahkan sudah mengganggu acara keluarga dengan keponakan saya dan dengan santainya sampeyan meminta saya untuk mencabut nyawa orang yang sama sekali tidak saya kenal. Sampeyan pikir saya ini siapa? Malaikat maut?”
“Sa-saya hanya meminta keadilan ditegakkan untuk anak saya.”
“Tapi ini bukan keadilan, anak sampeyan kan masih hidup dan masih bisa sembuh. Yang seperti ini balas dendam namanya.”
“Saya hanya ingin mereka menderita sebagaimana mereka menyakiti putri saya tercinta. Berapapun akan saya bayar, Pak Wid. Berapapun.”
“Pak Tris… Pak Tris… apa sih yang harus saya lakukan supaya sampeyan itu membedakan saya dengan preman? Seandainya sampeyan datang kepada saya dengan menawarkan persahabatan, tentu bajingan busuk yang menghancurkan masa depan putri anda itu akan menderita hari ini juga! Jika orang selurus sampeyan saja akhirnya punya musuh, maka mereka akan menjadi musuh saya juga! Musuh sahabat saya musuh saya juga! Jika tahu saya yang mem-backing sampeyan mereka sudah pasti akan tunggang langgang ketakutan.”
“Saya mohon… apapun akan saya lakukan! Apapun! Saya bersedia mengabdi penuh pada Pak Wid.”
“Nah bagus! Bagus begitu yang saya minta! Sesuatu saat nanti, jika dibutuhkan… saya akan memanggil sampeyan. Mengerti? Saya hanya menginginkan persahabatan sampeyan. Setelah ini kita akan membuat perjanjian yang tidak akan merugikan bagi siapapun. Persahabatan kita akan makin kental, perusahaan sampeyan akan jadi perusahaan persahabatan kita bersama.”
“Me-mengerti…”
“Sekarang, anggap saja saya akan melaksanakan keadilan yang sampeyan inginkan sebagai hadiah bergabungnya perusahaan sampeyan dengan perusahaan saya. Bagaimana?”
“Terima kasih! Terima kasih, Pak! Terima kasih!”
Wajah orang di depan Pakdhe Wid berubah menjadi berbinar. Berulang-ulang kali ia mengucapkan rasa terima kasihnya sambil mengecup tangan. Tak lama kemudian ia pun dipersilahkan untuk meninggalkan tempat itu.
Pakdhe Wid kemudian mengayunkan tangan pada Om Bas saat Pak Tris benar-benar sudah menghilang, “berikan kasus ini pada si Gepeng. Aku ingin orang yang mengerjakannya mampu menahan diri untuk tidak bertindak terlalu jauh. Kita ini bukan pembunuh, meski si bedebah barusan menuduh kita hanyalah eksekutor kelas bawah. Patahkan tulang tangan, kaki, dan buat pemerkosa-pemerkosa itu lumpuh total.”
“Sendiko dawuh.”
Hari itu Deka menyaksikan sisi yang berbeda dari sang Pakdhe.
.::..::..::..::.
Simon duduk dengan santai di lincak yang ada di ruang khusus ketua di markas Sonoz. Ia merentangkan tangannya sambil bersandar ke belakang, rasanya pegal di sekujur badan. Ah, untung sekali mereka sudah sampai di Unzakha, akhirnya bisa juga ia beristirahat.
Beberapa bagian tubuhnya masih sakit dan harus diperban. Lumayan juga si Rao, dia punya kekuatan yang tidak main-main – apalagi ki-nya. Bagaimana menghadapi kekuatan itu kalau Rao sudah mampu menguasainya dengan sempurna? Bakalan lebih alot lagi pertemuan mereka.
Ruangan yang sepi dan gelap membuat Simon makin lama makin mengantuk. Sungguh ia butuh istirahat. Lebam, penat, dan linu di sekujur tubuh tidak nyaman rasanya dibawa tidur. Tapi dia teramat lelah dan sangat membutuhkan istirahat. Kalau tidak sekarang kapan lagi waktu yang tepat.
Mata sang pemuncak gunung menjulang dipejamkan.
Sungguh ia butuh istirahat. Ia butuh istirahat.
Butuh isti…
Pimpinan Sonoz yang sudah sangat letih itu akhirnya terlelap.
Akhirnya terle…
GUBRAAAAGKKK!
Simon terbangun dan terjaga. Suara apa itu tadi? Seperti seseorang sedang menendang sesuatu. Belum ada lima menit ia lelap, terdengar teriakan-teriakan garang di luar ruangannya. Ada apa sih?
Dengan gontai pria itu bangkit dan melangkah ke pintu.
Saat membukanya, Simon menatap kaget pada wajah-wajah garang yang tetiba hadir di hadapannya. Wajah-wajah anggota Sonoz yang beberapa jam yang lalu mendukungnya di arena Tarung Antar Wakil. Mereka kini menatapnya marah dan berteriak-teriak. Mereka semua, mereka adalah anggota Sonoz! Apa-apaan ini?
“Kami menuntut diadakannya pertarungan perebutan gelar ketua!”
“Pertarungan gunung menjulang! Sekarang!”
“Pertarungan! Sekarang!”
Beberapa orang penjaga dan anggota Sonoz yang setia menutup jalur para anggota yang ingin berjalan ke arah Simon. Abi memimpin pasukan penjaga, sementara di sisi seberang ada Roni dan salah satu korlap yang dijuluki Albino karena memang ia memiliki kelainan pigmen pada kulit.
Roni? Roni juga memberontak?
Abi yang kondisinya payah dan seharusnya dibawa ke rumah sakit berdiri melindungi sang ketua. “Bajingan kalian, jadi seperti ini rupanya aslinya wajah-wajah kalian, pengkhianat busuk!! Berani-beraninya kalian memanfaatkan kondisi saat Simon sedang lemah setelah bertarung habis-habisan dengan Rao? Kayak begitu mau dibilang jantan? Banci semua!! Potong kontol kalian!”
“Ini sudah peraturan!” gertak si Albino, “siapapun yang menjabat ketua – harus bersedia menerima tantangan dari seorang korlap jika dua pertiga pasukan Sonoz menyetujui diadakannya pertarungan Puncak Gunung Menjulang! Ini sudah dua pertiga yang kita bawa!”
Abi menggeram, “tapi ga sekarang juga, kopet panganan lele!! Simon baru saja mati-matian mempertahankan nama baik Sonoz di Tarung Para Wakil dan sekarang kalian hendak memanfaatkan situasi lemahnya Simon! Yang begitu itu jantan? Bisa-bisanya kalian memancing di air keruh!!”
Sang korlap albino maju ke hadapan Abi, matanya tajam menatap sang perwira Sonoz. “Bukan kami yang membuat peraturan ini, boncel. Kamu sebaiknya menyingkir kalau tidak mau dihajar lebih parah lagi seperti saat kamu melawan Don Bravo tadi. Jangan lupa kalau gara-gara kamu kami menderita kekalahan saat seharusnya menang 2-0. Bukan kami yang membuat kondisi Simon lemah, tapi kamu! Kalau kamu menang, Simon tidak perlu turun tangan!”
Abi yang penuh perban menggeram emosi. “Bajingaaaaaaaaan!!”
Wajahnya memerah dengan urat-urat yang hampir meletup keluar. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan orang-orang ini! Setelah apa yang dilakukan Simon selama ini dengan membesarkan nama Sonoz? Setelah apa yang tadi Simon tunjukkan dengan gagah berani berdiri sejajar dengan pimpinan DoP! Sekarang mereka justru tega melakukan tantangan di saat Simon sedang tidak fit! Banci! Bajingan! Bosok! Beginikah kualitas para pria Sonoz?
“Stop.”
Jemari Simon pelan menahan Abi. Dia tahu kalau korlap-nya yang setia itu sudah tidak lagi dalam kondisi sempurna untuk bertempur dengan semua luka yang ia derita. Kalau nekat menghalangi mereka yang ada di hadapannya, Abi justru hanya akan mati konyol.
“Mundur, kamu sudah melakukan yang terbaik.” kata sang pimpinan.
Simon melangkah tertatih ke depan beberapa korlapnya yang mengajukan tantangan, kakinya belum sembuh dari nyeri dan rusuknya masih terasa remuk. Tapi dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan para penantang puncak gunung menjulang. Simon meregangkan tangan untuk melancarkan peredaran darah dan berdiri tegap di hadapan anggota Sonoz yang mendesaknya.
“Seorang pimpinan Sonoz harus siap menghadapi tantangan kapan saja. Siapa di antara kalian yang akan menantangku untuk memperebutkan puncak gunung menjulang?” ucapnya dengan lantang.
Yang pertama kali maju ke hadapan Simon adalah seseorang yang sejak tadi duduk santai di belakang rombongan pasukan berwajah garang, ia melangkah ke depan seiring dengan tersibaknya pasukan Sonoz yang hendak memberontak pada Simon, di sisi lain pasukan yang setia masih tetap berjaga di samping Abi. Jumlah yang setia mungkin hanya sepertiga.
Bahkan Roni dan si Albino menyingkir ke samping untuk memberi tempat bagi pria ini.
Di depan Simon kini berdiri seorang laki-laki gundul dengan kulit coklat berkilat berkeringat terbakar matahari, kumis tipis melintang, badan kekar dengan urat menonjol, dan tato memenuhi hampir seluruh leher, dada dan punggung. Mulai dari tato harimau, cewek seksi, Bumblebee, hingga Mario Bros ada di badannya. Yang membuat orang ini mudah dikenali adalah bagian atas wajahnya yang polos seperti tak memiliki alis, mungkin disengaja dibikin begitu supaya dia bisa mudah melihat setan.
“Salam hormat sang pimpinan tertinggi. Aku yang akan melakukan tantangan, Daan Suryana.” Pria yang bernama Daan itu berdiri tepat di depan Simon dengan jumawa. “Dengan ini aku menantang Simon Sebastian dalam pertarungan tangan kosong satu lawan satu secara ksatria demi jabatan ketua Sonoz. SIAPA SETUJU?”
Terdengar teriakan dukungan di belakangnya.
“Dua pertiga anggota Sonoz sudah bersuara. Tantangan ini resmi.”
“Jadi kamu, Kang?” Simon yang memegang jabatan sebagai pemuncak gunung menjulang tersenyum menatap Daan yang merupakan seniornya di Unzakha, Kang Daan memang dianggap sebagai salah satu korlap terbaik dan terkuat di Sonoz. Dia sama sekali tidak mengira jenderal terbaik ini adalah orang yang menggerakkan pasukan untuk menggulingkannya. “Baik. Mau di mana? Di sini? Di lapangan?”
“Kita ke lapangan.”
“Ayo.”
“Kak Simon…” Abi mencoba mencegah Simon melawan Kang Daan. Dari semua korlap Sonoz, orang ini termasuk salah satu yang paling kuat. Membiarkan Simon melawan Daan dalam kondisi tidak fit jelas kesalahan besar.
“Tenang saja. Kalau nanti aku kalah berarti memang sudah saatnya istirahat sebagai ketua.”
“Kak SImon…”
Simon berjalan tertatih menuju lapangan bersama Kang Daan.
.::..::..::..::.
Mata Bian terkejap sekali. Dua kali. Tiga kali.
Akhirnya kesadarannya pulih, sudah berapa lama ia tertidur? Ah, tubuhnya terasa remuk redam. Seluruh tulang ngilu dan badan lebam. Ibarat kata seakan-akan dia baru saja ditabrak truk pengangkut pasir yang di bak belakangnya ada gambar cewek dan bertuliskan: ora usah dolanan barang nylempit, enake sak menit, rekosone sundul langit.
Sinar lampu yang terang mencorong di mata. Membuat Bian untuk kesekiankalinya mengejapkan mata. Dia mencoba menyadari di mana dirinya berada. Sebuah kamar yang sepertinya di rumah sakit, entah rumah sakit mana karena dia sudah tak sadarkan diri saat masuk kemari tadi. Sekamar bertiga, tapi dua tempat tidur di sebelah kirinya masih kosong.
“Wes tangi tah.”
Terdengar suara dari seseorang yang duduk di samping kanan Bian. Roy duduk di sana sembari memainkan ponselnya.
“Kemana yang lain?”
“Napa? Kangen tah?”
“Dagadu.”
Roy tersenyum ia meletakkan ponselnya di atas meja dan mengambil segelas air minum bersedotan untuk Bian, saudara kembarnya itu menyeruput beberapa kali. Setelahnya ia meletakkan kembali gelas Bian di meja.
Roy duduk kembali di kursi. “Kita berempat bakal gantian ngurusin kamu setengah harian. Malam ini giliranku, besok pagi Hageng, malamnya Nanto, dilanjut Deka besok lusa, dan seterusnya gantian lagi sampai kamu pulang. Mudah-mudahan gak lama di sini. Hageng sendiri sedang balik buat merapikan kost-annya. Sepulang dari sini kamu bakal nginep di sana beberapa hari untuk menghindari PSG.”
“Ga perlu ditungguin ga apa-apa.”
“Memang, tapi jaga-jaga aja kalau PSG patroli.”
“PSG. Jingan.” Bian mendesah panjang sambil memegang jidatnya dengan satu tangan.
“Yoi.”
“Ada masalah apa sih mereka? Kenapa PSG menyasar Patnem? Sudah ada kabar beredar?”
“Ga ada. Aku yang sekarang kudet. Mana ngerti hal-hal begituan.”
“Aku khawatir ini semua berkaitan dengan kelompok peniru yang mengaku-ngaku sebagai Patnem.” kata Bian dengan geram. “Tae kocheng. Mereka cuma sekedar meniru tato kami dan keliling wilayah utara bikin kekacauan. Beberapa kali Patnem bertemu dengan kelompok Patnem KW begitu.”
Roy tertegun, “ada yang begituan?”
“Ada. Mereka yang biasa klitih dengan mengaku-aku sebagai Patnem. Celakanya, apa yang mereka lakukan justru diikuti oleh generasi baru anak-anak Patnem yang masih muda, egois, sok jago, sok keren, dan sukanya cari masalah. Mereka yang seperti itu biasanya justru malah menyeberang ke Patnem KW. Sudah beberapa bulan ini kami mencoba mencari tahu asal muasal Patnem KW tapi selalu gagal.”
“Begitu ya. Coba nanti aku cari tahu.”
“Katanya kudet.”
“Bukan berarti aku ga bisa nyari informasi. Begini-begini informanku banyak kalau sudah niat. Wes kamu itu meneng wae, leren, istirahat, pulihkan kondisi.”
“Nggaya. Emangnya beneran ada channel?”
“Ada wes.”
“Sekalian kalau begitu… tolong cari keberadaan dua petinggi utama Patnem: Toro dan Beni Gundul. Mereka berdua nyawa Patnem. Kalau mereka selamat, Patnem kemungkinan masih bisa bernapas. Kalau mereka hilang diciduk PSG, ya sudah. Bubar jalan.”
“Ada nomor mereka?”
“Ada. Tapi hapeku remuk. Kalau hapeku bisa dibuka nomer mereka ada di situ.”
“Oke, coba nanti aku cari tahu. hapemu aku bawa.”
“Yo.”
Roy menggulirkan ponsel Bian di tangannya. Dia terkekeh. “Mesti akeh gambar jethen wudoh. Banyak gambar porno. Kelihatan dari berat ponselnya, kayak kebanyakan dosa.”
“Dagadu. Ya banyak lah, aku kan normal.”
“Mbok ya cari cewek yang beneran.”
“Wes to meneng ae. Sedelok meneh.”
“Ntar keduluan aku.”
“Ra mungkin. Cowok ganteng mana lagi yang mau sama kamu?”
“Wasu. Begini-begini aku bisa cari lah jethen pahin.”
“Cewek cantik maunya sama yang pake dosing. Bukan yang kerjaannya cuci piring di restoran.”
“Behhh. Meremehkan. Siap-siap wae, kita taruhan! Siapa duluan yang bisa gaet cewek buat nikah! Jethen-nya harus pahin! Gimana? Yang kalah taruhan bayarin katering nikahan!”
“Wasu. Hasiaaaaap.”
Keduanya tertawa. Saudara kembar itu tak menyadari bahwa inilah pertama kalinya keduanya kembali bercanda bersama setelah beberapa purnama.
Keluarga cemara memang benar adanya.
Harta yang paling berharga adalah keluarga.
.::..::..::..::.
Setelah bercerita panjang lebar mengenai masalah yang dihadapi oleh Kelompok Lima Jari – nama kelompok mereka aslinya sih bukan Lima Jari, tapi ya sudah pakai nama itu aja sekarang sebagai identitas mereka berlima untuk sementara… Deka memandang ke arah Pakdhe Wid untuk memohon kawruh.
“Bagaimana menurut Pakdhe Wid?”
Sang pria tua menuang teh yang masih panas ke lepek, mengangin-anginkannya sebentar, lalu menyeruputnya dengan segar. Cara minum teh yang di jaman ini mungkin sudah jarang terlihat.
“Aku iki mung wong biasa yang terlalu banyak belajar sejarah dan biasanya akan memberikan masukan berdasarkan sejarah atau pengalaman dari orang lain yang aku pelajari dan ketahui. Jadi bukan karena aku ini bijak atau punya penglihatan super, tapi karena aku memang dasarnya sok tahu dan ngerti kejadian jaman jebot.” kata sang pria tua sambil diakhiri dengan kekehan.
Deka mengangguk paham.
“Oke oke… aku ngerti sekarang dengan masalah yang sedang kalian hadapi. Semua persoalan sudah kamu beberkan dengan gamblang. Kok yo aneh-aneh urusanmu to le.” Pria tua itu menghela napas dengan berat, tapi kemudian tersenyum simpul. “Karena terikat dengan banyak hal, aku ki raiso ngewangi langsung, walaupun kamu ini keponakanku sendiri tapi aku ora iso obah – tidak bisa banyak bergerak, tanganku banyak yang mengikat. Aku isone mung ngenehi dalan opo saran, arep dienggo monggo ora yo monggo. Cuma bisa bantu kasih saran. Amar juga sering datang ke sini untuk meminta masukan kalau ada apa-apa dengan kelompoknya. Sama juga, aku juga cuma bisa ngasih saran.”
Deka paham sekali, kalau Pakdhe-nya turun tangan langsung maka masalah mereka justru akan tambah luas dan ribet, karena jabatan yang ia punya. “Kira-kira apa yang bisa kami lakukan, Pakdhe Wid?”
Yama Widura tersenyum.
“Kenapa tidak dihadapi saja perangnya?”
“Kami tidak akan mampu bertahan jika perang terjadi di wilayah utara. Paling banter terjepit dan jadi wanted. Mereka semua punya pasukan besar, kami tidak punya apa-apa. Yang lebih besar dari kami seperti Patnem saja dilibas, apalagi kami yang hanya berlima.”
“Kalian punya kemampuan yang sudah teruji dan punya otak. Gunakan keduanya, mungkin kalian tidak membutuhkan pasukan. Sebagaimana orang yang mungkin ada di belakang semua kekacauan di kota kalian – jangan-jangan dia juga sebenarnya tidak punya pasukan.”
Deka mendengarkan dengan seksama.
“Dua ratus tahun yang lalu di Austria – kamu tahu kan negara Austria? Nah, Austria punya seorang pemimpin yang namanya Klemens von Metternich – uangil ya nyebut jenenge. Austria itu negara kecil yang lemah, tidak punya alutsista yang memadai dan tidak punya pasukan yang banyak di masa itu. Lalu apa yang mereka miliki? Mereka hanya memiliki positioning yang tepat dan tetangga yang kuat. Aset itulah yang dimanfaatkan oleh si Klepon Materai tadi. Dia menjadi seekor kancil yang cerdik dan menyusun banyak perhitungan sana sini dengan mengatur kesepakatan. Jika ada negara yang tumbuh terlalu kuat, maka dia akan membentuk aliansi dengan negara-negara lain dengan menyebarkan propaganda untuk menyingkirkan negara tersebut – kalau sekarang kalian menyebutnya dengan istilah hoax.
“Dengan licik dia akan menggiring Eropa ke pintu gerbang perang antar negara yang besar dan dia pula yang akan menyebabkan perang itu batal. Lucunya semua pihak justru lantas berterima kasih pada Metternich karena telah menyelamatkan Eropa dari ancaman peperangan – padahal sesungguhnya justru dia sendiri yang mengawali.”
“Dan semuanya dia lakukan tanpa pasukan?”
“Tanpa pasukan, hanya negosiasi – tapi dia bisa mengendalikan hampir sebagian besar uni-Eropa di masa itu. Inti dari cerita itu adalah kita tidak membutuhkan pasukan untuk bisa menjadi yang paling kuat. Kita butuh otak yang cerdas.”
Deka mengangguk. Meski setuju tapi agak susah rasanya diterapkan, bisakah dia melakukannya?
“Butuh contoh lagi? Raden Wijaya.”
“Raden Wijaya?”
“Raden Wijaya itu pendiri Majapahit, yang kemudian menjadi salah satu kerajaan besar di Nusantara – bahkan mungkin yang terbesar. Kamu tahu bagaimana cara dia meraih tahta? Awalnya dia tidak memiliki kekuatan hebat, tapi dengan kecerdasan dia mampu mengalahkan pasukan besar dari Kerajaan Mongol dan Singasari sekaligus. Bayangkan itu. Dia bisa menaklukkan dua kerajaan besar dan membangun Majapahit yang saat itu hanyalah sebuah desa biasa saja.
“Bagaimana caranya? Pertama dia menggandeng Mongol membumihanguskan Singasari, dan setelah Singasari hancur, Raden Wijaya berbalik menusuk Mongol kala mereka lengah – menghancurkan mereka dengan serangan mendadak yang cepat dan tak terelakkan saat Mongol berpesta.”
Deka terdiam.
“Aku tidak ingin memberimu ceramah tentang sejarah, le. Cerita yang terlalu panjang cuma bakal bikin ngantuk. Aku cuma mau memberimu fakta sejarah, kenyataan – bahwa sekuat apapun sebuah kelompok, sebesar apapun, sebanyak apapun – akan kalah dengan orang yang menggunakan otak. Kayaknya kamu adalah otak di kelompokmu, gunakan itu.”
Deka menunduk dalam diam.
“Wes cukup ceritane, ayo dipangan sate buntel-e.”
Deka tertawa, malam nanti dia akan bermalam di tempat ini.
.::..::..::..::.
Nanto berdiri gamang saat sepasang mata bulat menatapnya.
“Ini aja, Mas?”
Ayo dilihat lagi, Nyuk.
Rokok sebungkus, root beer sekaleng, permen nona-nona yang manis asem asin rame rasanya dua bungkus, es teh botol tapi kotak satu. Sepertinya udah ya? Mau apalagi? Ayo, mumpung lagi di Indom@ret lho ini.
Hmm… kondom?
Bangsat, kondisi begini malah kepikiran kondom, kan kemarin udah beli? Ga kepake semua kan? yang kemarin ditaruh di mana?
Lah iya juga. Di mana ya naruhnya?
Kampret jadi inget! Bener juga dia lupa naruh di mana. Waduh blaik! Kenapa bisa kelupaan gini ya? Jangan-jangan malah ketinggalan di rumah Bu Asty? Bajindut. Udah tau dapetinnya penuh perjuangan cita, cinta, dan rahasia. Malah ilang.
Beli lagi aja apa ya?
Si bengal menepuk dahinya sendiri karena jengkel. Mungkin kepalanya dulu kebanyakan digetok Kakek sewaktu berlatih di desa jadi bikin pikun usia dini begini. Oalah. Lagian kowe ki yo edan tenan kok. Utekmu ki isine opo to, le? Bukannya mikirin keselamatan Bian dan yang lain malah bingung urusan kondom. Gek yo pekok tenan jan, naruh kondom kok sembarangan, ilang kan?! Gimana kalau ketinggalan di rumah Bu Asty terus yang nemuin suaminya? Lak yo modyar to kowe, le.
Jinguk. Serius Nanto beneran lupa naruh di mana kondom yang kemarin. Ya udah beli lagi aja kali ya? Beli yang isi dua belas sekalian. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan, rawe rawe rantas malang malang putung.
Mangan botok nganggo duduh piringe batok. Tjakep!
Daripada begijigan, besok kalau butuh sudah ada stok. Asyek!
“Sudah ini aja, Mas? Ada kartu anggota? Pulsanya sekalian mungkin?” mbak-mbak berhijab di kasir mencoba mengajukan pertanyaan standar ke si bengal yang berdiri di depannya.
“Na-nambah, Mbak. Ko… kondomnya satu. Yang itu, yang bungkus merah.” kata Nanto malu-malu tapi mau sambil menunjuk ke rak di belakang si mbak-mbak berhijab. Tak lupa lirik kanan lirik kiri. Aman kan suasana? Aman kok. Ga ada yang antri. Si mbak-mbak pun menempelkan bungkus kondom ke mesin scanner.
Si bengal beruntung kali ini, karena tidak ada lagi error entry barcode seperti tempo hari, sehingga kali ini kondomnya bisa dihitung dengan aman.
Jalan sama pacar berhenti dulu di prapatan. Tjakep!
Mesin kasir lancar, ga malu, kondom pun aman. Asyek!
“Semuanya Rp. XXX, Mas.”
Nanto meletakkan lembaran uang di meja kasir.
“Uangnya Rp. XXX. Maaf, untuk kembaliannya Rp. X apakah bersedia didonasikan?”
“Boleh.”
Nanto pun mengangkat tas plastik kreseknya dari meja kasir dengan wajah berbunga seperti seorang pemancing yang baru saja berhasil mengail ikan di lautan luas dan berteriak wooow strike! Mancing maniaaaaaak!
Akhirnya si bengal melangkah menuju pintu keluar dengan wajah sumringah dan otong merindu. Baru beberapa langkah dari meja kasir – belum lagi ia memegang kait pintu yang bertuliskan dorong, si mbak berhijab yang di kasir memanggilnya dengan suara kencang.
“Maaaas… Maaaas…! MASSSS! INI KONDOMNYA KETINGGALAN! MASS! KONDOMNYAAA!”
Tobaaaat!!
Jagad dewa batara. Kok yo kenceng banget suaramu, Mbak. Seluruh dunia rasanya berhenti bergerak dan menatapnya dengan pandangan curiga.
“MASS! KONDOMNYAAA!”
Iyoooo! Iyooooo! Woalah jaaan!
Nanto belum membalikkan badan saat terdengar suara tawa cekakakan dari seorang pria yang berdiri di depan kasir untuk membayar barang belanjaan. Pria itu lantas mengambil kotak merah yang melambangkan harga diri Nanto dan membantu kasir dengan menyerahkannya ke si bengal secara langsung, ia masih saja tertawa berulang sementara wajah Nanto merah padam.
“Masbro dab? Ini lho ketinggalan! Kan bisa ribet urusannya, ya to? Nek meteng dowo je urusane. Hahaha. Ntar aku minta yo, sak emplek rong emplek! Jape methe to? Wahahaha!”
Nanto meraih kotak kondomnya dan memasukkannya ke tas sambil mengucap terima kasih di bibir, dan memaki diri sendiri dalam hati. Entah ada masalah apa antara dirinya dengan kondom, selalu aja berhasil bikin malu. Ingin rasanya membenamkan kepala ke dalam freezer es krim saat ini juga.
“Makasih, Mas.” Ucap Nanto yang masih malu-malu mengangkat kepalanya.
“Podo-podo, Dab. Sama-sam…”
Sosok di depan Nanto tidak beranjak, dia diam saja sambil mengamati si bengal.
“Kok sampeyan kayak ga asing ya?” kata orang itu. “Koyo wes tau weruh. Kayaknya pernah lihat.”
Nanto mendongak dan menatap wajah pria itu. “Lho, kok sampeyan juga ga asing ya?”
“Badalah! Ketemu pirang perkoro kih ketemu sampeyan meneh, dab! Masih inget sama aku ga?”
“Beeeeeh! Iya ya! Sampeyan yang dulu di angkringan itu kan?” Senyum Nanto melebar sambil mengulurkan tangan.
Rao menjabat tangan si bengal dengan erat.
Bersambung