Part #20 : SUARA PIKIRANKU
Opo wae sing dadi masalahmu, kuwat ora kuwat kowe kudu kuwat. tapi misale kowe uwis ora kuwat tenan, yo kudu kuwat.
(Apa saja masalahmu, kuat tidak kuat kamu harus kuat. Ketika kamu sudah benar-benar tidak kuat, kamu harus kuat).
– Didi Kempot
Daan menatap wajah pria yang sebelumnya ia anggap sebagai pemimpinnya – Simon. Tidak perlu menjadi jenius untuk melihat jelas kalau Simon sedang tidak dalam kondisi yang terbaik untuk menjalani pertarungan perebutan gelar Puncak Gunung Menjulang. Jangankan bertarung, berdiri saja mungkin harus bersusah payah.
Mungkin seharusnya mereka membawa Simon ke rumah sakit saat ini, karena setelah pertarungan hebat melawan Rao, ada kemungkinan dia mengalami luka dalam. Tapi justru kondisi parah Simon itulah yang ditunggu-tunggu oleh kelompok pemberontak di Sonoz! Karena jika berhadapan dengan Simon yang masih segar bugar, ada kemungkinan Daan bakal tergilas oleh pukulan geledeknya!
Sebenar-benarnya kata, Daan sungguh tidak mau berhadapan dengan Simon demi kepemimpinan, tapi sudah terlalu lama ia berada di bawah bayang-bayang junior-nya itu. Daan lebih lama di Unzakha, semesternya jauh lebih banyak dari Simon, sebentar lagi terancam drop-out jika tidak segera menyelesaikan kuliah, sedangkan jalan Simon masih panjang.
Jika ada waktu yang tepat untuk merebut tahta Sonoz, kapan lagi kalau bukan sekarang?
“Silahkan, Kang.” Kata Simon dengan santai sambil berdiri di tengah lapangan, sementara pasukan Sonoz pendukung Daan ataupun dirinya berdiri membentuk lingkaran mengelilingi mereka. Simon harus membuktikan dirinya mampu menjaga tahta meski dalam kondisi apapun.
Daan tidak punya waktu lebih, sekarang saatnya menjadi pemuncak!
“Aku tidak akan main-main.” Kata senior Simon itu tegas.
“Aku tidak minta Kang Daan main-main. Kalau ingin merebut gelar ketua, Kang Daan harus serius sejak detik pertama. Jangan khawatir, Kang. Kalau memang Kang Daan mewakili aspirasi teman-teman Sonoz yang tidak puas dengan kepemimpinanku, silahkan diwujudkan dan jadilah pemimpin sejati.”
“Baiklah. Maafkan aku, Simon.”
Simon mengangguk, ia menarik napas panjang dan menghembuskannya.
“Heaaaaaaaaaaaarghhh!!”
Sembari berteriak kencang, Daan melesat ke depan, mencoba menyerang dengan tangan terkepal di samping kepala. Dari segi pengalaman bertarung, Daan mungkin sudah lebih banyak makan asam garam jika dibandingkan Simon. Dia tahu pasti apa saja kekuatan sang pemuncak gunung menjulang; pertahanan, kecepatan, dan tentu saja dahsyatnya pukulan geledek. Tapi pertahanan Simon sudah dibuyarkan Rao, tubuhnya kini mungkin hanya menyisakan kekuatan bertahan yang tidak mencapai dua puluh persen. Kecepatan? Dengan kaki dan rusuk luka, tidak mungkin Simon bisa bergerak cepat. Satu-satunya yang harus dikhawatirkan oleh Daan adalah pukulan geledeknya.
Betapa terkejutnya Daan karena analisanya salah besar.
Belum sampai ia datang ke area pertahanan Simon, sang pemuncak gunung menjulang sudah terlebih dulu menyongsongnya tepat di depan muka!! Terkejut, Daan yang kalah cepat segera menyilangkan tangan menutup akses ke wajah dan merunduk untuk melindungi perut. Bajingan! Ce-cepat sekali sampai ke depan! Bukannya dia sedang terluka parah?!
“Haaaaaarrrrghhhhh!!” Simon berteriak kencang sementara kepalan tangan kanan yang sudah sejak tadi ia simpan bersiap dilontarkan.
Ugh!
Sini! Mau menghantam dari atas? Majuuuuu! Daan sudah siap! Seperti apa pukulan geled… eh?
Bugkkkhhhhh!
Tanpa diduga, Simon ternyata tidak menghantamkan kepalan tangannya! Ia justru melontarkan satu tendangan kencang ke tangan menyilang Daan yang tidak memperkirakan datangnya serangan dari bawah. Tendangan kencang itu menghantam pertahanan Daan yang salah langkah. Ia pun terdesak muncur beberapa tapak.
Belum selesai ia mengatur napas karena terdesak mundur dan mengatur kesiagaan, satu bayangan muncul di atas Daan, menutup cahaya. Jelas itu bukan gerhana matahari. Rupanya saat Daan lengah tadi, Simon sudah meloncat tinggi dan benar-benar siap menghantam dari arah atas.
Daan meraung.
Sekarang atau tidak sama sekali!
Sang penantang melontarkan tinju spekulatif, awalnya tangan dan sikunya membentuk huruf V, yang kemudian digerakkan sekuat tenaga tegak lurus ke atas! Uppercut! Targetnya? Rusuk Simon!
Bugkkkhhhhh!
Terdengar teriakan kencang dan sang pemuncak gunung menjulang terlempar ke belakang sambil terguling, mengerang, meregang, memegang rusuknya yang sakit bukan kepalang!
Daan merasakan panas di jemarinya yang terkepal! Masuk! Pukulan ala-ala-nya masuk! Lanjoooottt!
Tak ingin kehilangan momentum, Daan melejit ke depan, melompat tinggi dan meluncur deras dengan dua kaki menghunjam ke bawah!
Bggfff!
Simon sudah terlebih dahulu bergulir ke samping untuk menghindar. Demi apa dia mau diinjak drop kick ganda!? Sang pemuncak gunung menjulang bangkit dengan satu tangan menapak tanah dan memutar kakinya bagai roda. Tidak banyak yang bisa dilakukan Daan kecuali mundur menghindar. Sial! Momentumnya hilang! Tapi dia tidak akan menyerah begitu saja! Sekali lagi Daan melesat ke depan saat kaki Simon berhenti berputar.
Sayangnya justru itu yang sedang ditunggu-tunggu. Simon memang sedang memancing kedatangannya untuk mendekat. Dengan sekali salto ke belakang, sang pemuncak gunung menjulang sudah berdiri tegap dan meloncat ke depan sembari melontarkan kepalan tangan dengan sangat cepat!
Daan melotot. Bajingaaaaaaan! Lagi-lagi dia salah langkah!!
Boooom!!
Pukulan geledek.
Jurus pamungkas dari Simon itu memang sesuai dengan namanya, hantaman kencang berkekuatan dahsyat yang dilontarkan bak pukulan gada raksasa milik sang dewa petir. Pukulan yang dapat menghancurkan setiap tembok penghalang dan memiliki daya hancur tinggi. Pukulan Simon yang perkasa itu pun menyeruak masuk tanpa bisa dihalangi oleh Daan yang kalah cepat, kalah kuat, dan kalah segalanya.
Sang penantang terlempar ke belakang bagai sehelai kapas yang terbang karena kuatnya hentakan pukulan.
Tubuh Daan terlontar, berputar bak bola gundu, terguling, dan tak bisa berhenti, bagaikan daun dihembus angin kencang. Ia pun terkulai lemas dengan wajah sembab, seluruh tulangnya kaku, dan kesadarannya seakan tercabut. Ia terjerembab dan terhentak berulang kali di tanah.
Anak buahnya yang sejak tadi berteriak-teriak mendukung kini terdiam tak percaya, mereka semua menatap sang pemuncak gunung menjulang dengan takjub. Tidak ada satu orangpun yang menyangka bahwa meski sudah sangat kepayahan, tapi rupanya Simon masih tetap menjadi ancaman yang mengerikan.
Sekali lagi ia membuktikan bahwa nama besarnya bukan kaleng-kaleng. Semua dibuktikan, hanya dengan satu pukulan.
Daan kembang kempis, ia tak lagi berdiri. Bukan karena tidak ingin, tapi karena tidak bisa. Napasnya sesak sekali dan betapapun sekuat tenaga ia mencoba membuka mata, pelupuknya selalu terasa amat berat.
Simon berdiri jumawa. Badannya sudah teramat goyang dan sebisa mungkin ditahan supaya tegak. Kaki dan rusuknya mungkin sudah tidak lagi bisa ditahan nyerinya, siapapun bisa melihat getarannya. Tapi meski kondisinya sudah tidak lagi prima, tidak ada satu orangpun di Sonoz yang saat itu tidak mengakui kedigdayaan sang pemuncak gunung menjulang.
“Sudah? Begitu saja?” desisnya pelan namun tegas. “Ada lagi yang mau maju?”
Tidak ada satu orangpun yang berani.
“Aku ulangi. ADA LAGI YANG MAU MAJU?” tanyanya lagi.
Semua orang masih terdiam.
Semua menunduk. Antara malu, terkejut, pasrah, dan yang paling jelas terlihat – dari wajah-wajah mereka yang tadinya ingin menggulingkannya adalah wajah kalah.
Abi dan kawanannya memanfaatkan situasi ini untuk membentuk lingkaran pelindung bagi Simon.
Daan yang kalah telak setelah berhadapan secara langsung dengan Simon berusaha keras menahan sakit untuk dapat duduk bertongkat lutut, sang penantang terkekeh, level mereka memang beda jauh. Saat ini harus diakui bahwa di Sonoz tidak ada orang lain lagi yang mampu menggulingkan Simon. Oleh karenanya tidak ada yang lebih pantas menjabat sebagai ketua.
Daan mengangkat satu tangan, ia mengangguk dan tersenyum, mengakui kekalahannya dan memberikan hormat. “Daan Suryana, Korlap. Dengan ini mundur dari jabatan dan menyerahkan posisi tersebut kepada sang pemuncak gunung menjulang. Saya menyerah kalah dan bersedia menerima hukuman. Silahkan ditempatkan di posisi apa saja. Akan saya terima keputusan ketua dan sejak saat ini bersumpah setia.”
Albino mendengus, ia sebenarnya masih sebal dengan kekalahan Kang Daan yang terlalu cepat. Tapi melawan di saat Simon mampu menunjukkan kemampuannya dua kali berturut-turut dalam satu hari – dengan melawan Rao dan Kang Daan, sepertinya bukan ide yang bagus. Ia juga mengangkat tangannya. “Albino, korlap. Dengan ini menyerahkan jabatan kembali pada ketua. Mohon kebijaksanaannya untuk ditempatkan di posisi apa saja.”
“I-itu nanti saja.” ucap Simon dengan susah payah. “Ki-Kita semua harus bersatu… satu suara…”
Simon berusaha mengatur napas yang makin lama makin berat. Beberapa orang anggota Sonoz anak buah Abi yang setia segera menghampiri sang ketua dan membantu memapah Simon. Tak butuh waku lama bagi Abi untuk mengatur anggota Sonoz yang lain membawa mereka-mereka yang terluka ke rumah sakit, Simon salah satu diantaranya.
Meski sebagian besar anggota Sonoz kini mulai tenang dan menerima dengan ikhlas bahwa Simon tetaplah ketua terbaik, ada beberapa orang yang tiba-tiba saja menghilang dan tak nampak lagi, termasuk diantaranya Roni dan beberapa anggota Sonoz yang lebih setia kepada sang pengkhianat.
Albino mendengus kesal saat melihat Simon dibawa ke rumah sakit. Di tempat ini hanya ada Abi yang akan menjadi pejabat sementara karena sang pemuncak sudah tidak menjaga kandang, Roni menghilang, ia dan Kang Daan sudah menyerahkan jabatan.
Ini yang dinamakan kesempatan! Abi jauh lebih mudah ditundukkan daripada Simon. Sepertinya sudah saatnya mengobarkan bara api yang lebih besar lagi.
Tunggu saja.
.::..::..::..::.
Sambil cekakakan, Rao dan Nanto melangkah keluar dari Indom@ret. Penuh canda dan tawa, mentertawakan kisah sebungkus kondom warna merah.
“Dulu awalnya aku persis sampeyan juga, dab. Beli kondom di toko beginian. Kalau ga indom@ret ya alf@mart. Tapi setelah baca komen di salah satu forum, ada yang kasih saran kalau lain kali beli kondom di tempat yang lebih sepi aja. Misalnya di apotek.” Ujar Rao mengajarkan. Ia membuka bungkus rokok, mengeluarkan sebatang, dan menyelipkannya ke bibir. “Aku sering begitu kok.”
“Wooohh ya… ya… sering ya…”
“Ho’oh. Ngomong-ngomong soal kondom, ayo tebakan iseng, Dab. Pemain bola… pemain bola apa yang beratnya ga nyampe 3kg?”
“Bambang tabung-gas. Halah tebakan suwi kuwi, dab. Recehan basi, dicari di Google juga nemu. Wakakakaka. Lagian apa hubungannya pemain bola sama kondom, coba? Iso ae sampeyan.”
Tapi Rao hanya diam, tak menanggapi kelakar Nanto.
Dia justru menghalangi Nanto untuk melangkah lebih jauh dengan memalangkan lengannya di depan tubuh si bengal, padahal mereka baru beberapa langkah keluar dari pintu indom@aret.
“Eh, kenapa nih? Ono opo, dab?” Nanto bertanya-tanya, sebelum sesaat kemudian memahami situasi yang sudah rame-rame.
Mereka berdua tak menyangka bahwa saat keduanya keluar, belasan anggota DoP yang dipimpin oleh Amon dan Oppa sudah mengepung. Termasuk mengepung Rikson dan Nobita yang melindungi dan menutup jalur ke arah sang ketua mereka.
Tapi Rao adalah Rao. Ia justru maju ke depan dan berhadapan langsung dengan Oppa dan Amon meski dari jarak aman sekitar tiga meter. Nanto dengan santai berdiri di sebelahnya.
“Jadi ternyata kalian ya? Selama ini kalianlah pengkhianatnya? Kalian yang mau menghancurkan DoP dari dalam?”
Nanto terkejut mendengar ucapan Rao. DoP? Ini semua urusan DoP? Jingak. Oh iya bener juga, dia sudah pernah lihat si buto ireng dan si rambut jamur itu – batin Nanto saat mengamati Amon dan Oppa! Dia bertemu mereka kalau tidak salah sewaktu dia menyelesaikan urusan sama Jo di kampus.
“Salam dari kami untuk Rao sang ketua.” Kekeh Oppa. “Mulai hari ini, kami akan menggulingkan posisimu dari jabatan ketua. Seandainya gagal – maka kami akan membentuk kelompok oposisi di UAL.”
Rao ngakak. “Oposisi? Apaan oposisi? Kalian jangan ngelawak. Sejak jaman jebot sampai sekarang, satu-satunya kelompok nomor satu di UAL itu ya DoP, rumahnya ya Kandang Walet. Kalian-kalian ini kan sudah bertahun-tahun di DoP seharusnya lebih tahu kalau ada kelompok lain di UAL, pasti langsung digilas!”
“HEH!? Sampeyan pimpinan DoP?” Nanto terkejut menatap Rao, jantungnya hampir copot.
“Kekekeke. Iya e. Wagu ya? Gimana? Lebih cocoknya sebagai apa?”
“Edyaaan, jadi sampeyan ketua DoP ini? Wooohh Ampuuuh! Tapi beneran lho ga ngira, aku pikir sampeyan cocoknya jadi ketua Paguyuban Pemuda Rindu Pelukan Janda.”
“Wahahahaha. Wasu.”
Oppa tak melepas pandangan, orang di sebelah Rao itu…
Bukankah itu orang yang sama yang tempo hari bertanding dengan Don Bravo? Si pengguna jurus pekcun? Siapa namanya ya? Kalau tidak salah Don Bravo sempat menanyakan namanya… kenapa jadi pelupa begini sih…? Siapa nama monyet satu ini? Namanya kalau tidak salah… ah iya…! Nanto! Iya bener… namanya Nanto. Kenapa sekarang dia bisa berada di sebelah Rao? Akrab pula.
Oppa mencibir sambil menatap si bengal dengan tatapan galak, “kalau tidak ingin masuk rumah sakit, sebaiknya letakkan hidungmu di tempat seharusnya, Nyuk. Pilih minggat atau kami babat.”
“Kebetulan aku suka daging iso sama daging babat. Meski babat itu mirip kayak handuk dipotong kotak-kotak, tapi gurih sedep. Jadi aku tetap tinggal saja di sini.”
Rao terkekeh, ia menepuk pundak Nanto, “Oppa bener, dab. Ini bukan urusanmu, pergilah. Aku jamin aman kalau sampeyan pulang sekarang. Kalau nanti-nanti, aku ga bisa jamin.”
Nanto tertawa, “telat, dab. Ini kayaknya menarik. Aku mau riset dan melakukan penelitian demi kepentingan sains. Topiknya tentang pengaruh terlalu sering memakan babat bagi petarung-petarung jalanan.”
Amon mendengus. Kelamaan bahas hal tidak jelas! Mau tetap di sini, mau tidak, terserah! Hajar saja! Lagipula babat itu memang enak! Apalagi kalau di-gongso!
Nanto menatap si beruang raksasa dengan pandangan tajam. “Aku tertarik sama traktor bongsor yang satu itu. Dia pasti yang kuat sekali ya? Itu orang atau tangki tinja?”
Rao mengangguk sambil terkekeh. “Amon memang memiliki kekuatan yang mengerikan. Jangan salah mengira juga kalau gara-gara tubuh bongsornya dia tidak punya kecepatan, sebaliknya, bedebah satu itu lincah sekali.”
Sang hyena gila memutar kepalanya ke kanan dan kiri. Ia lantas menunjuk ke sebuah arah. Dia berujar dengan tegas kepada Oppa dan kawan-kawan. “Di depan sana ada ruang terbuka yang luas. Kita selesaikan urusan kita di sana! Masih banyak polisi patroli!”
Dengan santai bos tertinggi DoP itu berjalan menyeberangi jalan menuju ke sebuah tempat yang ada di seberang Indom@ret. Nanto, Rikson, dan Nobita mengikutinya, demikian juga Oppa, Amon, dan belasan pemuda DoP yang meninggalkan motor mereka di lokasi parkir.
DoP lawan DoP.
Perang saudara dimulai.
“Akhir-akhir ini kamu sering banget ngelamun, sayang.”
“Eh… ah… mmm… apa iya?”
Salah tingkah Asty menjawab pertanyaan Adrian sang suami. Dia buru-buru meminum Blue Ocean – minuman yang mencampurkan soda rasa blueberry, sirup mangga, dan biji selasih. Rasanya? Segar dan menyentak. Beneran menyentak karena setelah minum, tegukan sodanya menggelitik kerongkongan membuat sang guru jelita tersadar dari pikiran yang terlalu melanglangbuana.
Ya, suaminya benar, akhir-akhir ini dia sering banget ngelamun. Padahal ga jelas juga apa yang dilamunkan.
“Apa ada masalah di sekolah?” tanya Adrian lagi sembari mencocol sosis frankfurter berbalut pastry rolls ke dalam saus black pepper BBQ. Sebuah menu appetizer di restoran pizza tempat mereka berdua sekarang berada. “Cerita dong sama aku kalau ada masalah. Dulu-dulu kamu juga selalu berbagi cerita, tapi akhir-akhir ini kamu jadi dingin banget. Brrr. Dingin. Kayak es krim di dalam freezer yang ada di kulkas ditaruh di padang es Alaska di tengah musim salju.”
Asty tertawa renyah. “Apaan sih, Mas. Garing tau.”
Duh Adrian paling suka melihat istrinya tertawa dan tersenyum. Senyumnya itu senyum bidadari, indah dipandang nikmat dikulum. Sungguh beruntung ia telah menikahi seseorang seindah Asty. Sebisa mungkin ia menghadirkan senyum itu setiap hari, sebisa mungkin memberikannya bahagia. Tapi sungguhkah Asty sudah bahagia?
“Ga ada, Mas. Beneran, ga ada masalah.”
Ini seperti dejavu. Tidak beberapa lama yang lalu mereka berdua juga berbincang di restoran ini, dengan pertanyaan dan jawaban yang sama.
“Terus kenapa kok sering ngelamun? Sadar ga kalau kamu sejak tadi sudah mengaduk-aduk minuman di depanmu itu selama hampir sepuluh menit sambil menyebar tatapan kosong?”
Asty terkejut. Separah itukah? “Hah, yang bener, Mas? Ada tadi sepuluh menit?”
“Baru lima menit sih, tapi takut aja kamu tiba-tiba kesambet sundel bolang – sundel bolong yang bawa-bawa tas ransel buat travelling.” Canda Adrian sambil menunjuk tas ransel yang diletakkan di sofa di samping Asty.
“Wkwkwkw. Ah si Mas ih, malah becandain.”
“Kamu ga seneng dijemput terus diajakin ke sini lagi? Ditraktir pula.”
“Seneng dong, Mas. Makasih yaaaaa.”
“Iya, sayang. Tapi beneran sedih lihat mata kamu kosong, terus wajahnya dari tadi lempeng gitu. Kayak ada hal besar yang membebani pikiran, bikin kamu melamun berhari-hari. Cerita dong, sayang… kamu tidak sedang mempertimbangkan diri masuk militer Korea Utara kan?”
Sekali lagi Asty tertawa dan menggeleng. “Wkkwkwk. Ga ada, Mas. Beneran ga ada hal penting yang aku pikirin, yang tadi itu bener-bener melamun aja. Kosong aja gitu. Mungkin akhir-akhir ini aku merasa bosan dengan pekerjaan di sekolah yang begitu-begitu aja, ga ada anak nakal. Wkwkwk.”
Asty hanya berharap Adrian akan memakan kebohongannya. Batin seorang pembohong pasti tersayat-sayat.
Maafkan aku, Mas. Maafkan aku yang harus berbohong. Besar sekali dosaku kepadamu, kepada adek. Tapi… tapi aku tidak bisa berbohong pada perasaan sendiri, aku mengasihi Nanto, menyayangi pemuda bengal itu, merindukannya. Membutuhkan peluk dan ciumnya. Aku sungguh sangat berdosa, Mas. Sangat-sangat berdosa.
“Eh, ada sih yang aku pikirin.” Kata Asty tiba-tiba.
“Apa tuh?”
“Rencananya akhir pekan aku mau ikutan persami – perkemahan sabtu minggu. Camping trip gitu sama anak-anak pramuka sekolah. Boleh ga, Mas?”
“Ya selama kegiatannya positif kenapa enggak. Boleh dong.” Jawab Adrian tersenyum. “Jauh tempatnya?”
“Agak jauh, di luar kota.”
Adrian manggut-manggut. “Boleh aja. Apalagi ada Bibi yang bakal jagain adek dan aku weekend ini juga ga ada acara penting. Mungkin kamu butuh udara segar, sayang. Mungkin kita semua butuh.”
Acara kemping pramuka? Tentu saja itu cuma alasan Asty saja. Dia sedang memendam rindu membuncah yang tak terkira untuk segera berjumpa dengan sang kekasih. Apa yang sedang ia lamunkan mungkin adalah cara membungkus rencana pengkhianatannya.
Pengkhianatannya…
Sengatan kenyataan pahit menyentak tubuh indah sang guru muda yang cantik, ia sudah berkhianat. Dia yang sudah bersumpah setia pada lelaki baik hati di depannya ini, pada lelaki yang sudah memberikannya kehidupan yang indah, pada lelaki yang sudah memberikannya seorang anak yang mungil dan baik.
Ah. Bagaimana ini, Mas? Apa yang harus ia lakukan?
“A-aku sayang kamu, Mas.” Ucap Asty random. Ia sama sekali tidak selera makan, garpu dan pisaunya berputar di pizza yang ada di hadapannya tanpa ada yang diciduk untuk masuk ke mulut.
“Aku juga.” Jawab Adrian dengan senyuman. “Aku juga sayang kam…”
Terdengar bunyi ringtone dari ponsel Adrian yang diletakkan di meja. Adrian melirik ke samping ke arah smartphone-nya. Nama Eva Kusuma muncul di layar. Dengan cekatan Adrian mengetuk tombol tolak.
Asty yang tidak melihat nama yang muncul di ponsel sang suami bertanya-tanya. “Siapa yang telpon, sayang? Kok tidak diangkat?”
“Tidak apa-apa, urusan kantor. Yuk dilanjut maemnya.”
“He’em.”
Kali ini giliran Adrian yang sepertinya gelisah.
Membuat Asty bertanya-tanya, siapa yang menelpon suaminya tadi?
.::..::..::..::.
Di seberang Indom@ret yang ada di belakang kampus, terbentang luas halaman rimbun dengan pagar tanaman tinggi dan rindang yang menutup sekeliling pekarangan, tanaman liar menyesuaikan arah tumbuh dengan pagar batako yang ditata mengitar. Dulunya di tempat ini ada sebuah warung pecel bertembok bambu namun sekarang hanya menyisakan ruang lapang yang kadang di sana sini tumbuh rumput ilalang. Ruang lapang dengan ilalang liar ini memang mengotori pemandangan di simpang lima kecil yang ada di belakang kampus, terlebih lagi jika ke selatan sedikit, akan sampai ke warung upnorm@l yang konon cukup hits dan sering dikunjungi anak-anak muda.
Tapi karena terbengkalai, tempat ini justru menjadi cocok untuk kondisi yang diinginkan Rao saat ini. Karena selain luas, ada kemungkinan mereka tidak dapat terlihat oleh polisi yang sedang lalu-lalang memburu preman. Rao memang sedang dalam posisi akan dikudeta, tapi sebagai pimpinan dia tetap tidak rela anggota DoP ditangkap polisi.
Nanto berjalan di samping Rao.
“Sekali lagi aku peringatkan. Kamu beneran tidak perlu ikut, dab. Ini masalah internal kami. Silahkan pulang saja, aku pasti akan menyelesaikan semua permasalahan ini.”
“Heleh. Aku masih hutang jajan angkringan sekali. Anggap ini pelunasannya.” Jawab Nanto. “Paling tidak suka kalau harus balas budi.”
“Serius ini, dab.”
“Aku dua rius. Takutnya nanti sampeyan keburu mati sebelum aku bayar hutang.”
Rao tertawa, “wokelah kalau begitu. Kita mungkin baru kenal, tapi sepertinya jodoh. Kita banyak kecocokan, terutama dalam hal merk kondom. Wakkakaka. Sayang sampeyan cowok, kalau cewek sudah…”
“Jangan dilanjutkan kalimat sampeyan, dab. Aku malah jadi merinding.”
Rao ngakak.
Mereka semua sampai di lokasi tanah lapang yang berbatasan langsung dengan sebuah jalur menuju kawasan perumahan yang tadi ditunjuk oleh Rao. Tempatnya memang benar-benar cocok.
Oppa dan Amon memimpin pasukan mereka untuk mengepung Rao, Nanto, Rikson, dan Nobita. Jumlahnya memang tidak seimbang, tapi tujuan Oppa dan Amon memang bukan untuk berlaku adil. Mereka memang hadir untuk meruntuhkan hegemoni sang hyena gila – sehingga cara apapun ditempuh. Meski terdesak, Rao tetap sanggup melakukan hal yang tidak disangka-sangka. Oppa tahu pasti itu, tidak ada yang tidak mungkin bagi Rao.
Sang hyena gila berjongkok dengan santai, dia menyalakan batang rokoknya yang sejak tadi hanya bergulir di mulutnya. Dia menatap tajam kaptennya yang sudah berkhianat.
“Ada satu pertanyaan yang mengganjal, Oppa. Kenapa? Apa yang telah begitu buruknya aku lakukan sehingga kamu memilih mengambil jalur ini?”
“Orang yang ingin maju harus terlebih dahulu menyingkirkan batu penghalang sebelum bisa benar-benar melangkah ke depan. Berada di bawahmu memang menyenangkan, Rao yang agung. Sayang sikap cuekmu terhadap kemajuan kelompok membuat kami tak bisa maju kemana-mana. Kami stagnan, jalan di tempat. Tidak membesar padahal tidak juga kecil. Tidak maju padahal enggan mundur. Kami butuh sesuatu yang lebih untuk menjadi besar, Rao – kami butuh kekuasaan. Kamu tidak mungkin memberikan ketenaran itu pada kami.”
“Elahbuset, jadi ini semua tujuannya hanya karena kalian pengen tenar? Pengen pansos?”
“Hehehe. Terserah mau dibilang apa, tapi kekuatan kami saat ini didukung oleh banyak pihak dan dari berbagai kelompok, kami tidak lagi menjadi sekedar geng kampus asal jadi. Kami terkoordinir, kami menjelma menjadi besar karena kami bergabung dalam satu jaringan yang menggurita. Satu kekuatan raksasa yang akan menguasai wilayah utara di tengah vakum-nya QZK!”
“Wasu. Jadi ini semua sudah direncanakan sejak lama?”
“Bisa dibilang begitu, wahai Rao yang agung. Hanya butuh trigger saja, kami mendapatkannya hari ini.”
“Hadeh, ruwet banget uripmu. Rumit sekali hidup kalian. Jika pemberontakan kalian gagal, kalian mau pindah kampus?”
“Hahahahaa, buat apa? Tidak perlu! Seperti yang tadi kami sampaikan tadi, kalau DoP gagal direbut, maka kami akan membentangkan bendera baru di UAL. Kita akan lihat siapa yang lebih mampu bertahan.” Kata Oppa sambil membenahi posisi kacamatanya yang sedikit turun. “Itu sebabnya DoP petahana harus dibabat habis.”
“Hobi banget sama babat.” Sindir Nanto.
“Menengo to, su!” maki Oppa yang mulai panas dan meminta Nanto diam.
“Ya sudah kalau itu yang kalian inginkan.” Rao mendengus. “Kalian sendiri yang minta, aku akan mempertahankan DoP dengan seluruh kekuatanku!”
Rao, Nanto, Nobita, dan Rikson saling membelakangi satu sama lain, bersiap dengan kuda-kuda sementara para pemberontak melingkari mereka dan bergerak maju, membuat lingkarannya makin lama makin mengecil. Di belakang para pemberontak, Oppa dan Amon hanya menyaksikan dengan santai.
Amon mendengus.
Oppa terkekeh memahami kegelisahan sahabatnya, “aku tahu – jangan khawatir. Pasukan kita jelas tidak akan bisa menundukkan keempat orang itu dengan mudah. Tapi tidak ada salahnya memulai pertarungan ini dengan kembang api.”
Amon mendengus lagi.
“Ya. Saat kita masuk nanti, kita akan memulai upacara penyembelihan hyena.”
.::..::..::..::.
“Adek?”
“Sudah bobo, Mas. Mungkin cape habis main sepanjang siang sama temen-temennya. Bibi sudah masakin sayur asem sama tempe goreng, Mas mau maem lagi?” tanya Asty yang masih mengenakan handuk melilit tubuh indahnya. Rambutnya yang panjang dan indah dibiarkan tergerai. Pundaknya yang putih berkilau ditimpa cahaya lampu kamar. “Kalau mau, ambil saja di meja makan. Tapi kalau sudah kenyang mau aku masukin ke kulkas.”
“Kayaknya sih sudah kenyang, sayang. Perutku ga muat lagi. Tadi aja pizza-nya ga abis jadi di-takeaway.” Kata Adrian sambil mencari-cari remote AC di atas meja. Remote mungil berwarna putih itu ditemukannya bersanding manis dengan remote TV.
Sembari berbaring di kasur, ia menyalakan AC, menikmati istirahat setelah penat seharian bekerja. Kasur ini terasa empuk, bantal ini terasa nyaman, dan pemandangan indah istrinya yang hanya mengenakan handuk itu terasa amat menggairahkan.
“Sayang…” desah Adrian.
“He’em?”
“Minta dong…”
“Minta ap-…” Asty tidak perlu melanjutkan kalimatnya karena sesaat kemudian ia menatap wajah mupeng sang suami yang memperhatikannya dari pantulan cermin. “Ih mas ih.”
“Aku kangen.”
Asty diam saja, dia bukan istri yang baik kalau sampai menolak. Ia harus menuruti Adrian meski ada sesuatu yang kosong, gamang dan terasa salah dalam diri sang bidadari. Perasaan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Malam ini rasanya bukan malam untuk Nanto, tapi untuk sang suami. Si cantik itu membalikkan badan dan tersenyum sembari mengangguk.
Ia melepas handuk dan berjalan santai ke arah pembaringan, mempertontonkan tubuh indahnya yang bak gitar Spanyol dengan lenggok santun tapi seksi. Rambutnya disibakkan ke samping, memperlihatkan leher jenjang putih bersih dan dada menggunung yang masih kencang memikat menggairahkan.
Adrian duduk di sisi pembaringan sementara Asty mendatanginya.
“Sore-sore kok minta sih, Mas.” Desah Asty pelan. Hanya dengan suara manjanya saja sang suaminya sudah belingsatan nafsu tidak karuan.
Adrian meneguk ludah, tubuh sang istri yang indah terpampang tepat di depan matanya. Gundukan indah belahan kewanitaan yang dihiasi bulu-bulu halus yang dipotong rapi membuat suami Asty itu mengucapkan syukur berulang-ulang kali bahwa wanita semolek Asty mau ia nikahi.
Dengan nafsu yang kian membuncah tanpa bisa dikendalikan, tangan Adrian meremas gundukan buah dada sang istri.
“Mmmhh… pelan, Mas…” erang Asty manja, “jangan kencang-kencang… sakit…”
“Ma-maaf… tapi susu kamu apik banget, sayang. Masih kencang dan enak diremas.”
“Mas suka?”
“Suka dong.”
“Mau disayang…”
Adrian tersenyum, ia mendongak dan menarik lengan Asty, mendudukkan sang bidadari di pangkuannya. “Aku sayang banget sama kamu. Jangan pernah pergi dari sisiku.”
Asty sedikit tersentak dengan pernyataan itu, tapi dia tidak ingin membuat sang suami merasa curiga atau bertanya-tanya. Ibu muda yang cantik itu kemudian menurunkan kepalanya dan mengusapkan bibirnya ke bibir sang suami. Lalu membuka sedikit bibir seksinya dan menangkup bibir Adrian.
“Mmmhh…” Adrian mengerang pelan, menikmati ciuman sang istri yang memang selalu membuatnya tak mampu berkata-kata saking enaknya. Bibir mengoles bibir, lidah beradu lidah, napas berembus disambut helaan. Tubuh saling menempel, tangan saling menyentuh, jemari mengelus, bibir berpagutan.
Bibir Adrian bergerak lembut, menyusuri mulut Asty, turun ke pipi, mengecupnya pelan, lalu digeser lagi ke bawah, ke arah leher yang seputih susu. Kecupan demi kecupan meninggalkan jejak memerah seakan sebagai tanda kepemilikan. Sementara bibirnya beraksi, tangannya pun tak tinggal diam. Menjelajah buah dada sang istri, meremas, memutar, memilin, mencubit, menggoyang, memainkan dengan gemas.
Dengan lembut Adrian berbalik dan merebahkan tubuh Asty di bawah tubuhnya sendiri di ranjang. Sementara sang suami bertumpu pada lutut dan lengan. Kedua tangannya bergerak ke selangkangan sang istri, mengusap paha mulusnya yang seputih pualam dan merenggangkannya, menyiapkan atraksi utama.
“Hmm…” Asty memejamkan mata mencoba menikmati saat-saat nikmat ketika ada batang kejantanan perlahan-lahan menyeruak memasuki liang cintanya. Membuka pintu gerbang dengan lembut dan menjajah di dalam.
“Hnngghhh…” lenguh Adrian perlahan.
Ia juga merasakan kenikmatan yang tak terperi saat batang kejantanannya bagaikan dipijat saat memasuki liang cinta magical yang masih saja terasa sempit meski sudah pernah melahirkan. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Jamu ajaib macam apa yang selalu diminum Asty?
“Enaaaakghhh…” ucap Adrian sambil menahan napas.
Asty setuju, ini nikmat sekali. Liang cintanya banjir oleh cairan pelumas yang memperlancar tumbukan batang kejantanan sang suami. Setiap senti dinding vaginanya menyetrumkan gairah cinta dan nafsu birahi ke otak. Gairah birahi hewani yang menjadi dasar kebutuhan batin tiap manusia.
Tapi benarkah ia puas? Benarkah Asty? Kenapa masih ada yang terasa kurang? Terasa belum lengkap?
Adrian memundurkan pantatnya, menarik kemaluannya keluar, lalu dengan lembut mengeluskannya di bibir kemaluan Asty, sebelum akhirnya melesakkannya kembali ke dalam, lalu ditarik lagi, lalu diselipkan lagi, mundur, maju, mundur, maju, keluar,masuk, keluar, masuk. Menyebarkan sensasi sensual ke seluruh tubuh pasangan suami istri yang tengah memadu cinta itu. Tumbukan batang kejantanan Adrian bagaikan surga yang dinantikan oleh Asty.
Sembari menurunkan kepala, bibir Adrian kembali bertemu dengan bibir mungil sang istri, saling memagut, mencium, mengelus, mengoles, mengusap, menggerus, mengecup, berulang, ulang, ulang, sekali lagi, terus, ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Ahhh, nikmat banget memang berciuman sama Asty.
Lidah keduanya bertemu bagai ular keluar dari sarang, saling melintir, saling memagut, bermain-main di puncak kenikmatan masing-masing. Gairah menyala seperti minyak disiram api.
Kedua kaki jenjang Asty diangkat sampai ke pundak Adrian, memudahkan gerakan menumbuk sang suami, membuat seluruh batang kejantanan Adrian makin melesak ke dalam tanpa terhalang apapun.
Asty pun mengerang keenakan, ia melenguh manja yang terdengar bagaikan musik di telinga sang suami. “Aaahhhhh… ehhmmmm… terusss, Maaas. Teruuuusss…”
Mencoba menyamakan ritme dengan sang suami, Asty menggoyang pinggulnya, memudahkan sang suami untuk semakin gencar memaju-mundurkan kejantanannya. Semakin lama semakin dalam, semakin masuk, semakin berkuasa di kawah kenikmatan milik sang bidadari.
Ketika nafsu bicara, ketika gairah menyala, ketika nikmat duniawi terasa, gerakan Adrian pun makin cepat dan makin kencang. Suara erangan terdengar bagai dengusan hewani, bibir tak henti bergerak menyusuri tiap lekuk tubuh sang istri. Pipi, bibir, leher, buah dada, pentil, semua dijelajahi. Tangannya pun tak berhenti meremas-remas dan menjamah.
Asty tenggelam dalam alam bahwa sadar, merasakan kenikmatan yang makin meningkat, membawa keduanya melangkah bergandengan menapaki tangga naik yang satu persatu mereka daki bersama, “aaahhh… ehhhmmmm!!! Enaaaakghhhh, Maaas!! Enaaaakghh!! Terussss!”
Membalas ciuman sang suami, Asty menggerakkan pinggulnya sementara kakinya masih terus terkait di pundak Adrian. Goyangan Asty membuat sang suami merem melek tidak karuan.
“Ahahhhhhh… aaaahhhhhaaaahhhh. Saaaayaaaaang, kok enaaaaakkk…” ucap Adrian dalam gumaman tak jelas yang terselip kala matanya terpejam menikmati sensasi memek sang istri yang luar biasa nikmat. “Aku sudaaaaah maaaau…”
Haaaaahhhh!? Sudah?
Sang guru muda yang cantik mencoba menahan helaan napas kecewa karena ia belum ingin mengakhiri kenikmatan bersama suaminya ini. Kenikmatan yang lagi-lagi tidak ia dapatkan. Dari sepuluh kali bermain cinta, mungkin hanya sekali dua kali saja Asty sanggup mencapai puncak bersamaan dengan Adrian.
Tapi sudahlah, dia ingin membahagiakan sang suami.
Asty tidak membiarkan konsentrasinya buyar, ia terus mengikut irama gerakan tumbukan sang suami, melenguh-lenguh manja untuk menambah sensasi percintaan mereka berdua.
Tak lama kemudian tubuh Adrian mengejang kencang sementara pelukan keduanya tak lepas, erat dan satu.
“Harrrrrrrghhhhhhh!!!”
Saat itulah, cairan cinta kental milik Adrian membanjiri liang kewanitaan sang guru muda, memenuhinya bagaikan keran yang mengisi penuh ember kosong. Deras, kencang, kental, penuh, berulang, terhenyak-henyak, bergelinjang, mengejan, terlontar, terus, terus, terus, sekali lagi, sekali lagi, dan aaaaahhhhhhh.
Batang kemaluan yang meraja di liang cinta Asty tertancap sangat dalam, menimbulkan bunyi berkecipak. Hangat terasa rongga kewanitaan sang ibu muda, dibanjiri cairan cinta yang berebut masuk ingin bersatu dengan sang permaisuri utama jauh di dalam sana, di singgasana.
Beberapa saat lamanya, Adrian hanya diam tak bergerak di atas tubuh Asty. Terdiam begitu saja dengan keringat deras mengucur, membasahi tubuhnya yang kelelahan setelah didorong sampai menuju puncak kenikmatan. Keringat dan tubuh mereka bersatu, menjadi sebenar-benarnya hakikat suami istri, menjadi satu.
Adrian akhirnya bergulir ke samping sambil tersenyum puas, napasnya terengah, ia kelelahan, ia mencoba mengatur satu dua helaan oksigen yang keluar masuk ke tubuhnya. “Kamu memang luar biasa, sayang. Benar-benar luar biasa. Selalu membuatku kewalahan.” Bisik Adrian sambil mengecup pipi ranum sang istri sebelum akhirnya ambruk di ranjang dengan tubuh lelah.
Asty hanya terdiam.
Yang terdengar hanya detak jam dinding dan suara angin menderu lembut dari AC yang menyala.
Tak lama kemudian Asty bangkit. “Aku ke kamar mandi dulu, Mas.”
Adrian mengangguk.
Untung sang suami memejamkan mata, sehingga Adrian tidak dapat melihat ada setetes air mata turun di pipi yang tadi diciumnya. Kenapa sekarang Mas Adrian tidak peka? Hanya mencoba memuaskan diri sendiri tanpa ingin tahu kalau Asty juga butuh mencapai titik kepuasan tertinggi? Mengapa menyudahi di kala mereka belum sama-sama mencapai puncak?
Apakah karena Adrian tidak memahami konsep orgasme dua arah? Setelah dirinya merasa puas lantas semuanya selesai dan dia bisa tidur dengan santainya? Bukankah itu sama aja menyamakan Asty dengan obyek sekali pakai lantas dilupakan?
Kok curang? Sudah berapa kali seperti ini, Mas? Sadar tidak kalau sudah terlalu sering kejadian seperti ini berulang?
Masuk ke kamar mandi, Asty menuntaskan dirinya sendiri, memainkan jemarinya di selangkangan untuk beberapa saat lamanya, membayangkan Nanto memeluk, mencium, dan menyetubuhinya. Menutup mulut agar tidak ada orang mendengar suara lenguhannya. Sebelum akhirnya mencapai tingkat tertinggi kenikmatan yang ia cari.
Tubuhnya menegang beberapa kali, tersentak-sentak, lalu berhenti. Air mata menetes di pipi sang guru muda yang cantik.
Asty terengah-engah sambil terisak, tapi ia berusaha menekannya. Berusaha membuat dirinya sendiri sadar bahwa suaminya tidak boleh tahu apa yang terjadi. Asty menghapus airmatanya dan memutuskan untuk mandi besar sekali lagi.
Dia tahu apa yang akan ia hadapi setelah ini.
Setelah menyelesaikan mandinya, Asty akan berjingkat keluar untuk kembali ke kamar dan mendapati sang suami pasti sudah terlelap. Selalu saja seperti itu, karena sudah beberapa kali kejadian seperti itu. Sore ini pasti tidak ada bedanya. Padahal langit pun baru beranjak pelan untuk menjadi gelap.
Asty menyalakan shower. Air mengguyur kepala hingga kaki, menyegarkan kembali tubuh indahnya.
Betapa rindunya ia pada si bengal.
.::..::..::..::.
Di tanah lapang terbengkalai di belakang kampus menjelang malam tiba, arena tercipta. Lawan terkotak-kotak, siapa melawan siapa. DoP petahana melawan DoP pemberontak, hanya satu orang mungkin yang tidak seharusnya berada di sana.
Nanto.
Tiga lawan di depan Nanto tertawa, menyeringai, dan memandangnya sebelah mata, mungkin karena memang mereka sebelumnya belum pernah berhadapan dengan si bengal dan belum pernah melihat ia beraksi.
Mungkin sudah saatnya mereka tahu.
Lawan Nanto ada tiga. Si hidung mancung yang wajahnya agak-agak timur tengah, si tengil berhidung pesek yang ketawa ketiwi, dan satu lagi pemuda dengan kaus warna ungu.
Si kaus ungu itulah yang pertama kali maju. Menganggap remeh lawan, ia menyerang dengan ganas, menaruh kekuatan penuh di tiap kepalan, dan yakin dengan kekuatan diri sendiri bahwa ia sanggup meruntuhkan tembok Cina sekalipun. Sesuatu yang mungkin harus ia tanyakan ulang pada diri sendiri jika suatu saat instrospeksi.
Pemuda DoP itu berlari sampai posisi paling pas di hadapan Nanto yang entah kenapa sama sekali tak bergeming saat diserang, bahkan merubah posisi pun tidak.
Ia mencoba menelaah pose kuda-kuda Nanto yang lain daripada yang lain dengan pandangan singkat. Si bengal berdiri terdiam dengan tubuh tegap dan kaki ditekuk setengah, diikuti tubuh yang turun sedikit. Lengan kanannya ditarik ke bagian tengah badan, sementara telapak tangannya menghadap ke atas di depan wajah dengan jempol ditarik ke dalam.
Kaki si kaus ungu maju sampai posisi terdekat dengan Nanto dan segera menjejak tanah, tubuhnya berputar setengah lingkaran dengan cepat, dengan kaki yang ditarik ke belakang siap disambarkan ke depan.
Si kaus ungu berteriak kencang. “Modyaaaar dapurmuuuu, Nyuuuuuk!!”
Tapi tidak ada apa-apa yang terjadi. Tubuhnya hanya diam saja. Lho? Kok?
Nanto tersenyum.
“Sikilmuuuu, Nyuuuuk!” teriak si mancung dari jauh.
Si kaus ungu pun akhirnya menatap kakinya sendiri. Ia terbelalak melihat Nanto sudah menahan kakinya yang menapak tanah!! Weladalah! Sejak kapan dia menginjaknya!? Bagaimana bisa!? Tidak mungkin! Ia tidak melihat Nanto bergerak!! Bagaimana dia sudah bisa mencapai dirinya terlebih dahulu!?
Si kaus ungu berusaha mengangkat kakinya, namun gagal! Kaitan kunci kaki Nanto membuatnya tak dapat bergerak! Sama sekali tak bisa bergerak!
Sungguh sial bagi si kaus ungu yang terlalu lama menatap dan mengkhawatirkan kakinya karena Nanto sudah siap menyergap. Tangan kanan si bengal terkepal membentuk tinju, ditarik ke belakang sesaat, dan akhirnya meluncur deras ke depan ke arah wajah si kaus ungu!!
“Taeeee kocheeeeeng!!” Kaus ungu yang akhirnya sadar mencoba melindungi wajah.
Terlambat.
Bledaaaaaghhkk!
Pukulan kencang si bengal merombak wajah si kaus ungu yang kakinya terkunci dengan injakan! Saat hantamannya menyeruak masuk, Nanto melepaskan injakannya dan tubuh lawan pun terlontar ke belakang! Si kaus ungu terjerembab, terkapar dan mengerang kesakitan karena darah leleh dari hidung dan mulutnya. Mungkin ada gigi yang tanggal.
Si hidung mancung dan hidung pesek terkejut bukan kepalang melihat wajah kawan mereka bersimbah darah bagaikan dihajar palu godam hanya dengan satu pukulan. Mereka saling berpandangan, kemudian mengangguk. Bersama menyerang ke depan!
“Haaahh!?”
Tapi alih-alih menyerang duluan, keduanya terkaget-kaget setengah mati karena Nanto tiba-tiba saja sudah berada di depan mereka! Si mancung dan si pesek langsung siaga!
Ba-bagaimana bisa si bengal bergerak dengan sangat cepat dan bisa mencapai posisi mereka tanpa terlihat? Tidak mungkin! Mana mungkin bisa secepat itu! Ajaib! Mustahil!
Si mancung bersiap dengan tangan terkepal dan ia lontarkan dengan sembarang. Nanto bisa mengelak dengan mudah karena gerakan lawan sangat terbaca. Ia melingkarkan tangan kirinya ke sisi dalam pergelangan tangan kanan lawan yang mencoba memukul, lalu menariknya maju mendekat, mengagetkan si hidung mancung!
Secara reflek si hidung mancung pun mencoba mengangkat tangan kiri untuk mendorong Nanto.
Tidak ada gunanya.
Dbgghhkkk!!
Kaki si bengal sudah terlebih dahulu bergerak, menyeruak masuk ke dada si hidung mancung! Sang lawan pun terlontar mundur, bahkan hingga jatuh terjengkang.
Kampreeeet! Si hidung pesek mencoba membantu temannya dengan melesakkan pukulan satu dua ke sisi kanan Nanto.
Swwsh. Swsssh.
Dua-duanya gagal menemui sasaran, pergelangan tangannya dengan mudah dapat ditepis oleh tangan si bengal yang tak pernah meninggalkan garis tengah tubuhnya. Kaki si pesek mencoba naik, namun Nanto lebih cepat. Kaki si bengal menghentak lutut si pesek sampai hilang keseimbangan!
Si pesek tersentak! Gerbang pertahanannya terbuka.
Sepasang kepalan dari tangan Nanto tanpa ampun menyerbu bagian tengah dadanya. Bergantian bergerak menghantam, seperti laju roda kereta api yang menderu. Berulang kali, bergantian, hantam, hantam, dada, dada, dada, dada, dada.
Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh!
Si pesek terjengkang mundur dengan dada terasa sesak! Si bengal belum berhenti! Satu tendangan kencang menyeruak masuk menghajar dada yang sejak tadi menjadi sasaran! Yang sesak tambah sesak! Tubuh si pesek terlempar jauh, ke sebelah si kaus ungu yang sedang mencoba bangkit meski masih mengerang kesakitan.
Si hidung mancung yang belum menyerah menubruk dari belakang dan mencoba mengunci tubuh Nanto saat si bengal baru saja menyelesaikan tendangannya! Lengan kiri mengempit leher, sementara tangan kanan menghantam bawah punggungnya beberapa kali.
Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh!
Satu! Dua! Tiga! Masuk semua!
“Modyaaaaaaaaaaarr weeeeee, suuuuu!! Nyooh!! Nyohhhhh! Nyohhhhh!”
Nanto mengernyit sakit saat tiga pukulan mampir ke pinggang. Ia pun segera menyentakkan kepalanya ke belakang dengan kencangnya!!
Bledaagkhhh!!
“Waadddoooooooooh!”
Bagian belakang kepala Nanto membuyarkan hidung si mancung yang tak lagi mancung. Darah muncrat dan si penyerang melepas kaitnya di leher Nanto. Tapi si bengal tidak mau dilepas. Ia justru memegang erat lengan yang masih terkait di lehernya dengan tangan kiri, sementara siku tangan kanannya disentakkan ke belakang berulang kali untuk menghajar perut si mancung.
Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh!
“Addooooohhh!! Adoooohhh! Adooooh!! Heeehhhh!?” Si mancung yang awalnya kesakitan perutnya disodok berulang terbelalak saat tubuhnya tiba-tiba terangkat ke atas!
Dengan menggunakan lengan lawan yang masih terkait, Nanto membungkukkan badan, mendesak ke belakang dan menempatkan berat ke depan sembari menarik lengan si mancung, mencoba melempar tubuh sang lawan ke depan!
Buugkkkkkkh!!!
Si mancung terbanting dengan kerasnya! Ia mengerang kesakitan!
Nanto melirik ke arah si kaus ungu dan si pesek, keduanya juga tidak bangkit lagi. Cukup sudah, tiga lawan berhasil diselesaikan. Ada lagi? Bagaimana yang lain?
Rao meraung kencang diikuti tawa menggila, bagai seekor hyena menunjukkan dominasinya pada lawan. Di sekeliling sang pimpinan enam anggota DoP sudah tak berdaya.
Saat Nanto melihat ke arah lain, Rikson tengah membanting seorang anggota pemberontak dengan gaya wrestling yang mengingatkannya pada Hageng – sepertinya keduanya memiliki gaya bertarung yang mirip. Ia juga sudah menyelesaikan tiga orang. Dua belas orang sudah beres!
Satu-satunya yang terlihat dalam bahaya mungkin Nobita, ia sejak tadi hanya menghindar dari lawan, yang akhirnya diselesaikan oleh Rikson yang berulangkali menyelamatkannya. Nanto mencoba maju ke depan untuk ikut melindungi Nobita saat beberapa orang anggota DoP kembali menyerang dan mengepung Rao dan Rikson.
Tapi Nobita entah kenapa justru melesat maju!
“Tungg-“ belum sempat Nanto berucap, Nobita sudah kencang berlari sembari mengangkat kepalan untuk menyerang Amon!! Bujuuuugggg!! Otak udang!! Kok ya Amon yang ditujuuuuu!??
“Haaaaaaaaaarrrghhhhhh!!!” teriak Nobita penuh amarah.
Belum sampai ke depan Amon dan Oppa, si beruang sudah menyergap maju untuk menyambut Nobita. Kepalannya yang mungkin sebesar buah duren meluncur deras untuk menemui wajah anak buah kepercayaan Rikson itu!
Bledaaaaagkkkhhhh!!
Satu pukulan dahsyat dari sang beruang, tubuh Nobita terlempar balik ke arah Rikson, terguling, berdebam, terhentak-hentak, entah apakah nyawanya sudah tercabut atau belum.
Rikson terbelalak dan menggemeretakkan giginya dengan geram ke arah si beruang yang menatap Rikson tanpa ekspresi. “Amooooooonnn!!”
Nanto dan Rao menatap kejadian itu namun hanya bisa sekilas, karena sesaat kemudian, serangan dari anggota DoP pemberontak yang masih tersisa menyerang mereka.
Oppa menepuk pundak Amon dan tertawa.
“Sebentar lagi. Sebentar lagi kita ramaikan arena, simpan dulu pukulan meriammu, sobat.”
Rikson yang sedang diserang oleh dua orang berteriak kencang, ia mengamuk dengan melontarkan pukulan dan tendangan asal yang tidak menemui sasaran. “Amoooooon!!! Kamu bagiaaankuuu!!”
Rao mendengus, ia menatap Oppa yang menatapnya balik sambil tersenyum sinis.
Sampai kapan keduanya baru akan turun ke arena?
“Eh, Mas Deka. Kapan datang, Mas?”
Deka yang sedang duduk santai sambil memainkan gitar di teras rumah Pakdhe Wid menengok ke arah suara yang terdengar memanggil namanya. Wajah seorang gadis manis muncul menyembul dari balik umbul-umbul. Deka tersenyum menyambut gadis yang baru saja menyapa.
“Eh, Dinda. Sini duduk sini, Din. Lama banget ga ketemu kamu. Aku baru tadi datang, pulang besok pagi.” Deka menekan kunci C pada gitar, dan mulai menyanyikan lagu lama karya Katon Bagaskara – yang berjudul Dinda. Suaranya sih biasa aja, tapi main gitar di depan cewek itu berasa sisi kegantengan meningkat beberapa oktaf. “Dindaaaa dimanakah kau beradaaa, rindu aku ingin jumpaaa, meski lewat nadaaa…”
Gadis yang dipanggil dengan nama Dinda itu tertawa dan duduk di kursi kayu yang ada di depan Deka, kakinya bergoyang-goyang kecil sembari mengikuti nada lagu yang dimainkan Deka. “Suaranya masih tetap bagus, Mas.”
“Eh, kata siapa.” timpal Deka sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik kerah sweater yang diangkat makin tinggi, malu juga suaranya pas-pasan dipuji bagus sama orang yang manis begini. Udara dingin kota menyetujui rencananya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Dulu Deka dan DInda memang sering sekali bertemu dan mungkin hampir saja jadian – karena keluarga Dinda adalah tetangga Kakek dan Nenek Deka, tapi sejak Dinda pindah kota karena ikut keluarganya mengabdi pada Pakdhe Wid, nyala api di antara keduanya meredup. Yang biasanya saling bertukar sapa lewat pesan singkat setiap hari, berubah menjadi sekali seminggu, sekali sebulan, beberapa bulan sekali, dan akhirnya tidak sama sekali.
“Bagaimana rasanya tinggal di sini?” tanya Deka memecah kesunyian.
Pemuda itu mencuri-curi pandang ke arah Dinda. Masih tetap manis, dengan wajah bersahaja dan sikap yang sopan – masih seperti dulu, malu-malu imut. Gadis itu menunduk, seakan tidak ingin menatap wajah Deka terlalu lama. Tapi meski menunduk, tidak cukup untuk menyembunyikan kecantikannya.
“Tinggal di sini enak. Apalagi Om Wid selalu mencukupi kebutuhan kami, setelah beberapa tahun mengabdi beliau bahkan mengangkat derajat kami dari sekedar asisten rumah tangga menjadi karyawan-karyawan kepercayaan. Papa dipercaya menjadi pengurus penyewaan mobil dan tenda kursi untuk hajatan, sedangkan Mama dipercaya jadi pengurus warung sate dan tongseng di sebelah.”
“Kamu sendiri?”
“A-aku? Aku ya begini-begini aja, Mas.”
“Begini bagaimana?” Deka penasaran. Dulu mereka tidak sekaku ini, lebih nyaman bercerita, lebih nyaman guyon – bercanda, dan bertukar pikiran. Apa yang terjadi sama kamu, Din? Apa yang terjadi sama kita? Jika saja dia tidak memiliki Ara, mungkin akan… eh!? Ah lupakan pikiran itu.
“Aku dikuliahin Om Wid, sembari mengurus keuangan di salah satu usahanya.”
“Wow. Keren, Din.”
“Biasa aja, Mas Deka.”
“Kamu nggak nanyain kabarku?”
“Mas Deka sudah kuliah kan? Pernah denger Mas Sanjaya cerita.” Kata Dinda sambil menyebutkan nama putra Pakdhe Wid. Deka mengenal Dinda dengan baik, meskipun sebenarnya dalam hati gadis itu penasaran dia pasti lebih memilih untuk diam saja karena takut bertanya lebih jauh.
“Gitu aja?”
“Memang kenapa, Mas?”
“Ga pengen dengar kabar lebih jauh?”
Dinda terdiam. “Pengen sih, Mas. Tapi…”
“Tapi kenapa?”
“Takut.”
“Lah? Kenapa harus takut? Kita kan dulu kecil sering bareng-bareng, Din. Seru banget dulu, sayang habis itu terus kita kepisah. Ayolah, kita kan temen. Takut kenapa, Din?”
“Ga kok, Mas. Ga kenapa-kenapa. Cuma belum sempat aja.”
“Ayolah, Din.”
“Beneran, Mas.”
“Din. Serius. Aku sudah lama banget pengen kontak kamu, pengen kirim WhatsApp, menyapa di Facebook, atau menanyakan akun Instagram. Tapi kamu kayak lenyap ditelan bumi, susah banget dicari. Padahal sejak dulu kamu itu sahabat paling nyaman tempat aku berkeluh kesah, menceritakan semuanya, bercerita apa adanya.”
Wajah Dinda yang manis bersemu merah, semakin menambah manis wajah indahnya.
“Tidak perlu dicari, Mas. Aku kan tidak kemana-mana.”
“Kamu tidak pernah lagi membalas WhatsApp-ku.”
“Nomor aku ganti.”
“Lho kok ga bilang?”
Dinda mendesah. Dia masih tetap diam, meskipun dalam hatinya ingin menjawab.
Kasta kita beda, Mas. Tidak pantas rasanya aku deket sama Mas. Lagipula Mas Deka kan sudah tunangan? Lebih tidak pantas lagi aku deket sama Mas.
Deka menghela napas. “Kenapa, Din?”
“Ga apa-apa, Mas. Nanti aku beri nomornya.”
“Nanti kap-“
“Udah ya, Mas. Aku mau ke warung dulu. Ini tadi Mama nanyain stok uang kembalian. Takutnya mau dipakai buru-buru. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, Mas.” Dinda buru-buru bangkit dan meninggalkan Deka sendirian terpaku sembari memangku gitar.
“Eh Din…!” Deka meletakkan gitar yang ia bawa dan berdiri, “Din!”
Tapi gadis itu sudah berlari kecil meninggalkan Deka sendirian.
Suara petir menyambar bertalu di atas langit yang mulai gelap.
Sebentar lagi mungkin hujan.
.::..::..::..::.
Siapa yang tadi bilang jumlah petarungnya tidak seimbang?
Rao, Rikson, dan Nanto berhasil menundukkan satu demi satu cecunguk lawan yang menyerang mereka sementara Oppa dan Amon hanya menyaksikan gelombang serangan yang mereka luncurkan diberantas satu demi satu.
Ada perbedaan wajah di kedua pemberontak.
Amon mendengus kesal, sedangkan Oppa hanya terkekeh.
“Santai aja, Amon. Semua akan indah pada waktunya.” Kata sang Oppa yang penuh perhitungan dengan santai. “Meskipun hanya tinggal berdua pun kita masih bisa menang. Karena kita masih punya kartu as.”
Rao terengah-engah dengan tenaga yang sudah hampir mencapai ujung, pertarungannya dengan Simon membuat energinya tidak mencapai seratus persen, bahkan mungkin hanya separuhnya. Ampas memang, tapi setidaknya dia bisa membungkus para pengkhianat. Ia melihat ke arah teman-temannya.
Nanto masih terlihat segar, Rikson juga. Sedangkan Nobita sudah terkapar tak berdaya setelah sempat disambar oleh pukulan Amon tadi. Bagus kalau dia tidak apa-apa, sepertinya mereka bisa membalikkan keadaan.
Dua orang cecunguk mencoba menyerang Nobita untuk benar-benar menghabisinya, tapi Rikson sudah menutup jalur mereka yang langsung mundur.
“Kowe isih iso ngadeg ora? Masih bisa berdiri?” tanya sang jendral DoP pada Nobita.
“Ga-gak tahu… su-sumpah itu tadi bukan tangan, rasanya kaya dipalu. Ngelu banget sirahku. Pusing banget! Aseeem!” Nobita menjawab dengan napas kembang kempis. Mata Nobita terbelalak ketika melihat saat itu kedua penyerang kembali maju dari sisi kanan dan kiri! Fucek! Nobita berteriak kencang karena ia masih belum bisa berdiri. “Ma-masbroooo!”
Kedua lawan tak ambil peduli, mereka menyergap bersamaan, Rikson langsung sigap memutar kaki mencoba melindungi Nobita dari sergapan beberapa serdadu DoP pengkhianat.
“Jangan khawatir, Nyuk. Rasah wedi. Kamu tidak akan apa-apa, selama aku masih berdi-…”
Jleb.
“Hnghhkkkhh!!!” terasa ada benda asing memasuki badan sang jenderal DoP, benda tajam yang menyakitkan yang membuat dirinya teramat nyeri.
Jleb. Jleb.
Benda asing itu ditarik dan ditusukkan dua kali lagi. Rikson tertatih dua langkah ke depan dengan pisau tertancap di punggung bagian bawah. Ia melangkah pelan sembari mencoba menutup luka yang nyeri sambil menengok ke belakang.
Wajah jenderal DoP itu menatap tak percaya ke arah Nobita yang justru menyeringai.
“Kekekeke… bagaimana rasanya, masbro Doraemon? Benar kan yang aku bilang? Kalau hidungku gatal itu pertanda akan ada bahaya yang datang. Aku yakin betul bahayanya bakalan datang karena aku yang mengundang mereka kemari.” ucap Nobi sambil berulang kali terkekeh, tanpa diduga ia mengangkat jempol ke atas ke arah Oppa. Dia tidak menduga rencana mereka akan berjalan semulus ini untuk menyerang Rao. “Malam ini rezim incumbent DoP akan runtuh dan digantikan dengan generasi baru!”
“Ba-bajing…” Rikson tidak dapat menyelesaikan ucapannya karena badannya yang besar kemudian ambruk ke tanah setelah beberapa saat limbung. Pandangannya mulai berkunang saat nyawanya bagaikan tersedot ke arah rasa sakit tak terperi di punggungnya.
Darah mengucur deras.
Bersambung