Part #18 : SEPERTI KEMARIN

Tidak ada perjuangan, tidak ada kekuatan.
– Oprah Winfrey

Nanto melirik layar ponselnya sekali lagi. Hwaduh alamakjang. Ada dua pesan masuk yang sama-sama mengajaknya melakukan se-fruit kegiatan esok lusa. Yang satu dari si manis Kinan, satu lagi dari si cantik Hanna. Mana waktunya hampir bersamaan pula, jadi mau tidak mau harus dipilih salah satunya. Njuk piye iki, Nyuk?

Bisa tidak ya datang ke dua-duanya?

Ha kok urikYo ga bisa, harus dipilih salah satu, ntar tuman.

Ha mbok ben wae to. Duh, kalau mau pilih salah satu juga bikin bingung. Yang mana yang dijawab iyesLak yo bingung saestu to? Yang mana, Nyuk? Pengennya sih memenuhi undangan kedua cewek itu. Hwarakadah, Nanto paling benci kalau harus memilih begini. Kira-kira Asty marah tidak ya kalau dia menyanggupi undangan dari kedua cewek itu?

Ajakan Kinan atau Hanna?

Kinan atau Hanna?

Kiri atau kanan?

Atau jangan-jangan dia ujung-ujungnya ga akan bisa memenuhi kedua undangan itu? Karena pada saat yang bersamaan sahabat-sahabatnya juga sedang sangat membutuhkan perhatiannya. Ya, fokus pada tantangan yang ada di depan dulu, Nyuk. Keputusan soal cewek itu bisa menunggu nanti. Nanto pun melesakkan ponselnya ke saku celana.

Si bengal sendiri saat itu tengah duduk di salah satu jajaran kursi besi yang ada di depan apotek RS Sehat Husada, sebuah rumah sakit kecil yang berada tidak jauh dari perbatasan kota. Rumah sakit tempat ia dan para sahabat mengantarkan Bian agar segera dirawat. Rumah sakit ini sengaja dipilih karena lokasinya yang jauh dari kawasan kota, terutama untuk menghindari para musuh dari kawanan PSG yang masih berkeliaran.

Nanto duduk di sana bukan untuk menunggu obat, tapi untuk menghabiskan waktu sambil menonton televisi yang hanya disediakan di ruang tunggu apotek. Sang sahabat Bian sudah masuk ke bangsal dan kemungkinan harus dirawat untuk beberapa hari. Saat ini dia sedang beristirahat, sehabis minum obat mungkin sedang lelap.

Hageng, Roy, dan Deka menghampiri Nanto dan duduk mengitarinya. Tidak banyak pasien dan pengunjung yang berada di rumah sakit itu, jadi mereka bisa bercakap-cakap dengan tenang.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyuk?” tanya Deka.

Nanto terdiam sesaat dan tidak segera menjawab, pandangan tetap lurus ke depan ke arah pesawat televisi meski pikirannya melanglang buana. Entah ada berita atau sinetron apa yang sedang ditampilkan di layar, namun tidak ada satu kalimat dan gambar pun yang masuk ke dalam otaknya.

Karena melihat Nanto tidak segera memberikan reaksi, Hageng mencoba menjawab pertanyaan Deka.

“Kalau melihat zituazi zekarang, kemungkinan besar kita tidak biza melakukan apa-apa, PZG terlalu kuat untuk Patnem. Zerangan mereka juga zangat mendadak, kecil kemungkinan Patnem bisa memberikan reakzi balazan, ajaib rasanya kalau mereka biza tetap berdiri dan bertahan.” ujar Hageng. “Mungkin untuk zementara kita diam zejenak tanpa ulah berlebihan dan menjalani hidup kita zeperti zebelumnya.”

Roy menundukkan kepala – dia tahu situasinya memang sulit. Dengan suara parau saudara kembar Bian itu kemudian bertanya, “Berarti kita biarin saja orang-orang yang menghajar Bian sampai klebus getih itu melenggang dengan santai di jalan?”

“Untuk zaat ini kita tidak punya pilihan lain, kan?” Hageng menggeleng kepala dengan pesimis sementara ia mengunyah roti kismis. “Apa yang dilakukan PZG tidak akan mampu kita tangani sendiri karena mereka terlalu kuat. Kita berlima… hmmm… untuk zaat ini kita bahkan cuma berempat zaja… tidak akan mampu berbuat banyak melawan kekuatan mereka. Lihat zaja tadi, mereka biza dengan mudahnya mengirim tiga gelombang pazukan hanya untuk menangkap Bian zeorang, mereka bahkan dengan mudah melahap Patnem dengan pergerakan pazukan yang zangat terencana. Dari zitu kan zudah kegambar gimana bezarnya kekuatan para preman Pazargede.

“Di kota zaat ini ada empat kekuatan bezar, Komplotan Pazargede PZG, Joxo Gendeng JXG, Qhaoz-Kingz QZK, dan Dinazti Baru DBR. Hanya ketiga kelompok itu yang bisa menandingi kekuatan PZG, yang lain kecil-kecil atau malah jadi underbow zalah zatu dari empat. Jadi kalau menantang mereka zekarang? Yang ada mati konyol. Untuk zaat ini kita tidak biza mengalahkan mereka dengan cara frontal.”

“Tapi itu artinya membiarkan orang-orang PSG terus memburu Bian sampai dapat.” Ucap Roy gelisah yang tentu saja wajar mengingat ia mengkhawatirkan kesehatan saudara kembarnya. Sekarang sih oke mereka bisa selamat, tapi bagaimana lain kali ketika mereka berlima tidak bisa berkumpul? “Apa kita tidak bisa mengusahakan sesuatu apa gitu?”

Deka menarik napas panjang, dia benci mengakuinya tapi Hageng benar – untuk saat ini mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena kekuatan PSG sedang di atas angin dan jauh di atas mereka. “Untuk sementara kita hanya bisa menyembunyikan Bian sampai situasi dan kondisi reda, mungkin kita bisa bergantian jaga di sini setiap hari sampai Bian boleh pulang – hanya untuk amannya saja.”

Hageng mengangguk-angguk. Roti kismis habis, lanjut membuka bungkus eggroll yang baru saja ia beli di Indom@ret depan rumah sakit. Tas plastik Hageng memang ibarat kantong Doraemon, ada saja makanan yang keluar dari sana seperti tak ada habisnya. “Zetuju zaja.”

Nanto yang sejak tadi terdiam melirik ke arah Roy, “gimana dengan biaya pengobatan Bian? Kamu ada?”

Roy mengangguk lesu meski kemudian tersenyum simpul. “Ada. Diada-adain seadanya. Heheh. Terpaksa mecah celengan ayam.”

Nanto tersenyum. “Oke, fokus kita sekarang ke Bian. Kita tunggu sampai dia sembuh sambil tiap hari berjaga di sini. Nantinya kalau rumah sakit sudah mengijinkan Bian pulang, baru kita bawa – tapi ada baiknya jangan balik ke kontrakan dia sendiri – bawa dulu ke kos Hageng dan ubah penampilannya. Cukur rambut mohawk-nya sampai gundul, tumbuhin kumis, jenggot, rambut ketek, apalah yang bisa menyembunyikan identitasnya. Sementara itu dulu saja, usahkan semua aman dan kita tidak berada di jalur tembak PSG.”

“Bian bakal ngamuk kalau tahu teman-temannya di Patnem dihabisin PSG. Begitu sembuh, dia pasti bakal balas dendam. Seorang diri lawan PSG, ga kebayang bakal jadi apa dia.” ujar Roy sambil menarik napas dengan berat. “Kalian tahu sendiri gimana si Bian. Kepalanya lebih panas daripada tungku menyala ditaruh di hot plate. Dia pasti ga akan terima dan ga akan mungkin diam begitu aja.”

Mulut Deka mengerucut, dia meletakkan tangannya di atas sandaran kursi yang ada di depan, dan menggunakannya untuk menopang dagu. “Meski berat, tapi tugas kita sekarang adalah menenangkan Bian dan mencari cara untuk menyelamatkan orang-orang Patnem yang masih bisa kita selamatkan – tentunya tidak semua bisa diciduk PSG hari ini, pasti masih ada yang bisa selamat atau sembunyi.

“Jujur ada beberapa hal yang bikin aku penasaran, kenapa PSG membasmi Patnem sampai habis dan kemana mereka membawa orang-orang Patnem yang sudah mereka tundukkan. Apa alasannya? Apa tujuannya?”

“Entah apa yang…” Belum sampai Nanto selesai membalas pertanyaan dari Deka, tiba-tiba si gondes tersadar dan membelalakkan mata setelah teringat sesuatu. Deka pun menatap Nanto dengan wajah serius, ia menepuk pundak si bengal berulang.

Badalah! Aku baru ingat! Bukan hanya Patnem yang diburu PSG! Kamu juga, Nyuk!

“Ha!?” Nanto sedikit terkejut. “Kok aku?”

Jingan, Nyuk! Beneran baru inget! Kamu juga diburu orang-orang PSG gara-gara pernah habisin beberapa anggota mereka di dekat lapangan di kota! Itu alasan kenapa aku ngumpulin bocah-bocah ini, karena tahu kamu itu selain bermasalah sama DoP, juga sedang dicari-cari sama PSG! Woalah munyuk tenanMusuhmu ki akeh je, Nyuk!

“Ha? Serius aku lupa. Kapan aku pern… ooooh!” Nanto akhirnya teringat. Iya juga ya, dia pernah kepancing gebukin orang gara-gara mereka penyokin motor Om Darno. Kunyuk-kunyuk yang ngompasin bapak-bapak tukang ronde kapan hari itu di lapangan kota. Sompret, jadi mereka anggota PSG? Bisa panjang nih urusan.

Hageng tertawa, “makanya jangan main tampol orang, Boz!”

Nanto mendesah. “Kampret, ya mau gimana lagi kalau sudah begini. Ga ada jalan lain, aku juga bakal ngumpet dulu di kolong amben. Hahaha.”

Wasu.” Deka nyengir. “Oke kalau gitu, sementara Bian dan Nanto stay low, kita bertiga bakal bantuin jadi benteng. Untuk sementara sih sebaiknya kita cari aman, jangan ada yang keliling-keliling dulu ke tengah kota, di sana basis mereka. Pakai topi dan masker kalau jalan, Nyuk. Terutama kalau ke kampus! Apalagi sebentar lagi kita sudah mulai masuk, kalau ga salah kelas karyawan ada pertemuan mahasiswa di gedung pusat beberapa hari mendatang.”

Roy menggeleng. “Weleh, tidak ke kota? Itu tidak berlaku buat aku kan? Aku ga bisa ga ke tengah kota. Secara kerjaan sama kontrakan ada di sana. Tapi penampilanku kan pasaran, jadi mereka juga ga bakal cepet inget muka-muka cupu model aku begini, jadi masih aman lah. Paling ganti cat rambut biar aman, supaya ga banyak yang ngenalin aku. Gampang lah kalau aku, beda sama Hageng yang susah sekali diumpetin. Kepalanya aja segede nangka, gimana mau disembunyiin?”

“Aku biza sembunyi di bawah rok Mbak Wika Salim. Hahahahah.” balas Hageng disusul tawa yang langsung membuat eggroll di mulut tercerai-berai.

“Rasa-rasanya daerah utara bakal panas banget, Ndes.” Ujar Roy sambil menatap Deka. “Setelah para petinggi Patnem di-KO dan disingkirkan, PSG pasti mau ambil alih posisinya – atau kalau bukan mereka ya underbow-nya. Belum lagi kalau ada kelompok lain yang mau manfaatin situasi vakum – mungkin QZK atau DBR yang mau lebarin wilayah diam-diam. Bisa jadi bakal ada Bharatayudha. Hageng dan Nanto bener, kalau kita berada di tengah-tengah perang yang ada justru mati konyol.”

Deka mengangguk, ia diam sesaat, membenamkan wajahnya diantara jemari. Mencoba berpikir dan membolak-balik permasalahan dari sisi A ke sisi B, dari sisi C ke sisi D. “Sebenarnya ada beberapa opsi tentang bagaimana cara kita akan menghadapi semua masalah ini.”

Hageng dan Roy menatap Deka dengan pandangan bertanya-tanya. Nanto tersenyum dengan tetap memperhatikan pesawat televisi yang tengah memainkan sebuah sinetron tidak penting.

“Yang pertama – adalah kita menghadap langsung ke Joko Gunar sang pimpinan PSG lalu meminta maaf jika ada kesalahan, serta memohon ampun. Ini cara yang paling pengecut, masih ada resiko digebuki, bakal dianggap celana bekas cepirit, tapi masih tetap jadi salah satu opsi.”

“Hrmph.” Hageng mendengus, ia tidak suka cara itu pasti. Mengemis meminta ampun? Yang benar saja. Itu tidak pernah ada dalam sejarah mereka. “Tidak mau cara itu.”

“Ya… ya… kedengerannya menjijikkan memang harus mengemis-ngemis ke PSG, tapi itu tetap salah satu opsi. Pro-nya adalah kita tahu apa yang harus kita lakukan dan apa saja kemungkinan-kemungkian terburuk yang akan terjadi. Kontra-nya adalah selain menjatuhkan harga diri kita, kita juga tidak akan tahu apa yang bakal terjadi pada Bian dan Nanto begitu kita menyerah pada PSG.”

“Opsi lainnya apa?” tanya Roy.

“Opsi kedua adalah bergabung dengan kelompok dengan kekuatan seimbang atau setara PSG. Pilihannya tentu QZK, JXG, atau DBR – bukan cuma kelas geng kampus lagi. Yang paling memungkinkan tentunya DBR karena kakakku Amar Barok jadi salah satu penggede. Apalagi untuk saat ini baik QZK ataupun JXG sedang dalam pengawasan ketat polisi jadi mereka tidak bisa bergerak leluasa.” Lanjut Deka, “tapi ini juga ada pro dan kontra. Pro-nya jelas, DBR meski termasuk geng paling muda dari keempatnya dari segi usia berdiri tapi kekuatannya sudah setara tiga kelompok yang lain. Kontranya… nah ini… DBR bukanlah kelompok yang lebih baik dari yang lain.

“Aku tahu Amar tidak bakalan mau mengakui terang-terangan kalau DBR terlibat dengan jaringan penyebaran narkoba, prostitusi, dan miras yang jauh lebih menyeramkan dibandingkan PSG. DBR hanya beruntung punya backing pihak berwajib.”

“Terlalu rizkan.”

“Iya, terlalu gede resikonya kalau kita gabung ke DBR. Itu juga belum tentu diterima, belum lagi akan sangat makan waktu bagi kita untuk mendapatkan kepercayaan orang-orang Dinasti Baru. Belum tentu bisa langsung punya suara, dan belum tentu bakal disetujui dewan pimpinan DBR untuk mengajukan perang melawan PSG.”

“Ada opsi lain?” Roy bertanya-tanya.

“Hehehe, aku kenal Deka sudah lama. Jadi aku tahu opsi ketiganya apa.” kata Nanto yang tiba-tiba saja angkat bicara setelah sekian lama terdiam. Senyum kepedihan terbias di wajahnya yang bandel. “Tapi untuk melakukannya kita benar-benar harus bersiap, karena tidak ada lagi jalan memutar balik ke belakang.”

“Apakah kamu mau melakukannya, Nyuk?” tanya Deka dengan suara yang terdengar bimbang, dia tahu opsi ketiga akan menjadi opsi yang paling dhindari oleh Nanto, karena sejak balik ke kota hal-hal seperti inilah yang sebenarnya dihindari oleh si bengal. “Ini bakalan berat banget. Jangan memaksa diri untuk melakukan apapun, tidak ada yang memaksa kamu – memaksa kita semua – untuk melakukan apapun. Kita bisa saja cari aman untuk saat ini.”

Nanto terdiam, wajahnya masih terlihat galau. Ia hanya memandangi jemari tangannya sendiri. Dibuka, lalu dikepal, dibuka lagi, lalu dikepalkan kembali. Berulang-ulang kali. Kepalanya menunduk dalam-dalam.

Deka memandang wajah sahabatnya dan tahu apa yang dipikirkan oleh Nanto. Ia berdiri dan menepuk pundak si bengal. “Kita cari cara lain, untuk sementara ini kita tunggu saja Bian sembuh dan bagaimana kita menghindar dari PSG.”

Roy dan Hageng saling bertatapan. Ini dua orang benernya ngomongin apa sih? Kasih penjelasan kek, petunjuk kek, kesempatan kek, dana umum kek, apa kek, kakek kek. Ga jelas banget dah!

Tapi baik Deka ataupun Nanto masih sama-sama bungkam.

.::..::..::..::.

Di Universitas Teknologi Digdaya atau UTD, udara hangat yang menyengat menjadi makin terasa panas dengan teriakan pendukung dari kedua kubu yang silih berganti menghina lawan sementara dua komandan tertinggi DoP dan Sonoz bertemu di tengah lapangan, siap beradu pukulan menentukan siapa yang terbaik.

Tapi sejenak beralih dari hiruk pikuk yang tengah terjadi, tak jauh dari lapangan basket yang digunakan sebagai arena pertempuran, di dekat sebuah pohon rambutan yang rindang, di antara beberapa penikmat pertarungan, terdapat dua orang yang sebenarnya tidak termasuk anggota dari salah satu kelompok yang bertikai. Kedua orang ini juga turut mengamati kejadian di tengah lapangan dengan asyiknya.

Orang yang pertama duduk jongkok di depan, meski rambutnya dicat perak namun sesungguhnya usianya masih sangat muda, bahkan mungkin baru awal-awal kuliah. Pemuda itu mengenakan bandana putih yang mengikat rambut jigrak warna peraknya, selain itu ia juga mengenakan kaus putih, celana jeans putih, dan sepatu putih. Semua serba putih, satu-satunya yang membedakannya dari pocong mungkin hanyalah kacamata hitam yang ia kenakan, di mulutnya juga terselip tusuk gigi yang dimainkan dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan.

Sedangkan orang yang kedua berdiri dengan bersidekap di belakangnya sembari menyandarkan badan ke batang pohon, ia mengenakan jaket bertudung kepala tanpa lengan yang menjadikan wajah aslinya tersembunyi di balik gelap. Tapi dari tubuhnya yang tegap dan otot-otot besar membentuk lengan, orang ini pasti sangat sering berkunjung ke gym. Ada tato tribal yang membungkus hampir seluruh lengan kiri.

“Jun,” panggil si pria bertudung pada kawannya, suaranya berat dan dalam, “pertandingan yang sekarang… menurutmu siapa yang akan menang? Sudah dua kali prediksimu bener. Untungnya aku tidak memasang taruhan.”

Pria yang pakaiannya serba putih dan dipanggil dengan nama Jun tertawa. “Hahahaha, entahlah, kalau yang ini aku tidak bisa menebak, tapi justru itu yang membuat pertarungan ini menarik. Begitu bukan? Karena kalau menurut aku sih keduanya sama-sama kuat. Dari rumor yang beredar Rao memiliki kecepatan dan kekuatan yang luar biasa, meskipun kemampuannya seperti apa masih sangat misterius, dia jarang sekali tampil di depan publik. Sejauh yang aku tahu, hingga saat ini Rao masih belum terkalahkan dalam pertarungan satu lawan satu.”

“Belum terkalahkan? Menarik. Kalau Simon?”

“Simon itu pria yang menyeramkan karena dia memiliki kekuatan yang dahsyat. Dia punya power dan endurance yang mampu menutup kelemahannya dalam hal kecepatan. Pertahanan dan durability-nya gila-gilaan. Ada yang cerita kalau pernah pada suatu pertarungan melawan seorang petinggi QZK, Simon sempat tidak melawan sedikitpun selama lima menit dan harus bertahan meski terus menerus dihujani pukulan. Hebatnya dia tetap berdiri tegap seolah-olah tidak tersakiti, dia bahkan akhirnya meng-KO lawan dari QZK itu hanya dengan sekali pukulan saja. Pukulan yang konon sering disebut pukulan geledek.”

“Oh ya?” Si tudung terkekeh senang. “Dua orang dengan kemampuan yang menarik. Pertarungan ini akan jadi sangat seru sekali.”

“Kelihatannya di angkatan kali ini baik DoP maupun Sonoz memiliki generasi penerus yang sama-sama tangguh dan mengerikan, bukan begitu?” Jun tersenyum lebar sembari melirik ke arah sang kawan yang tudungnya tiba-tiba tersibak tertiup angin kencang. “Menyenangkan. Kita memiliki kawan-kawan seangkatan yang sama-sama ampuh, jadi tidak membosankan. Akan seru rasanya jika suatu saat nanti kita bisa sparring bebas dengan mereka kalau kegiatan kita sudah tidak lagi dalam pengawasan polisi. Bukankah begitu… X?”

Pria yang dipanggil dengan sebutan X tersenyum lebar sembari memperlihatkan mata yang menyala-nyala menatap penuh semangat ke tengah arena. Di wajahnya terhias bekas luka menyilang yang sangat menyeramkan. Dari ujung dahi kiri ke pipi kanan dan sebaliknya dari dahi kanan ke pipi kiri, bersilangan tepat di tengah-tengah kening. Menyadari tudungnya terbuka, ia buru-buru mengenakan kembali tudungnya, untuk menghindari ada orang yang mengenalinya.

Jun tertawa, “Hahahaha. Mari kita nikmati pertarungan ini dan lihat kira-kira siapa dari dua orang pimpinan geng kampus ini yang mampu menyamai kekuatanmu.”

Kali ini giliran X yang tertawa.

.::..::..::..::.

Genderang perang dibunyikan! Wajah garang berteriak kencang! Kepalan disiapkan! Pertahanan dikeraskan! Pertarungan dimulai!

Rao berteriak kencang, ia berlari dengan kecepatan tinggi, lalu seketika berhenti sambil menjejakkan kaki ke tanah tepat sebelum ia mencapai Simon, saat itu juga ia mengayunkan tangan dengan sekuat tenaga, mengincar bagian kiri kepala sang lawan.

Tapi serangan pertama dari Rao itu terlalu mudah dibaca Simon, ia mengangkat tangan kirinya, mencoba memblok ayunan tangan Rao. Benturan kencang terjadi, kepalan bertemu lengan. Tapi tak ada yang beranjak, keduanya sama-sama masih berdiri tanpa goncang. Kaki Rao terangkat cepat bak sabetan pedang, mengincar pinggang Simon. Tapi sang pemuncak gunung menjulang hanya perlu beringsut sedikit dan menurunkan tangan kiri yang tadi ia gunakan untuk menahan serangan dari atas.

Bkkk!

Hantaman tangan kiri Simon mementalkan kaki Rao yang lagi-lagi gagal menyarangkan serangan. Kali ini giliran Simon! Ia melontarkan pukulan deras berkekuatan penuh dari tangan kanan!!

Rao mengernyit dan secepat kilat menyilangkan tangan di depan wajah!

Bkkghhhh!

Gagal menembus pertahanan Rao! Pukulan Simon menemui tameng lengan bersilang!

Tapi Simon adalah Simon, tinjunya bahkan terlalu dahsyat untuk Rao sekalipun. Pukulan sang komandan Sonoz itu deras menghunjam lengan Rao bak dorongan palu gada membongkar tembok!

“Hnnngghhhhhh!”

Rao terdorong ke belakang beberapa tapak karena hantaman dahsyat itu. Punggung tangannya memerah dan berdenyut pedas. Luar biasa memang pukulan Simon, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kalau Rao terlambat beberapa detik saja mengangkat lengannya.

Melihat komandan DoP terdesak mundur hanya dengan satu pukulan, teriakan para pendukung Sonoz menggema begitu kerasnya! Teriakan-teriakan menghina dibalas oleh pendukung DoP yang tidak terima begitu saja!

Kowe mundur alon-alon, mergo sadar Sonoz sopo!

Tukuo kembang neng kuto Kediri! Seng luwih penting, DoP menang keri!

Rao mendengus dan tetap fokus menatap lawan yang berdiri tegak lurus. Bangsat! Dengan tubuh tinggi besar, wajah tampan, dan hantaman sekencang ini, Rao bagaikan berhadapan dengan sang dewa petir Thor yang bersenjatakan palu saktinya – Mjolnir. Pukulannya bukan pukulan main-main. Bibir sang Hyena gila membentuk senyuman lebar, tapi justru ini yang bikin seru!!

Rao bergerak ringan dengan cepatnya dan sudah berada tepat di depan Simon yang terkejut dengan kecepatan sang lawan, “sekarang giliranku.”

Dua tangan Rao bergerak lincah melontarkan kepalan demi kepalan ke arah kepala Simon! Kanan, kiri, kanan, kiri, kanan!

Tidak ada satupun yang mengenai sasaran?! Bagaimana bisa!??

Dengan bergerak mundur dan mengelak, Simon berhasil menghindar dari pukulan sang hyena. Satu pukulan lagi diluncurkan oleh Rao! Kembali gagal! Kali ini Simon menghindar dengan menurunkan tubuhnya sembari mendorong Rao menjauh.

Rao yang sempat terdorong mundur tentu tidak lantas berhenti, dia kembali maju ke depan.

Ia melontarkan kembali bombardir pukulan dari kedua tangannya! Kanan! Kiri! Kanan! Kiri! Tobaaaaaaat! Lagi-lagi tidak ada yang kenaaaa!!

Simon memang tidak secepat Rao, tapi setidaknya dia sanggup membaca arah pukulan, itulah alasan kenapa serangan dari Rao dapat dimentahkan. Satu tendangan sang hyena lagi-lagi menemui ruang kosong setelah Simon beringsut ke samping. Sudah saatnya berbalik menyerang! Sang komandan Sonoz itu pun melayangkan satu pukulan ke arah pinggang!

Bkkgghhh!

Gagal! Siku tangan kiri Rao yang tiba-tiba saja ditekuk turun berhasil menghalangi! Tapi Simon sudah memperkirakan bahwa gerakan itulah yang akan dilakukan oleh Rao. Kaki kiri sang pemuncak gunung menjulang terangkat cepat dan dihentakkan keras ke perut Rao!

Bkkgggghhhhhh!

“Hrrghhhh!” Rao melenguh, siaaaaaal!!! Kali ini dia kena!! Rao terpaksa mundur beberapa langkah dengan tertatih sambil merasakan nyeri di perut.

Dboooghhhhhh!!

Gara-gara lengah, satu lagi kepalan Simon masuk! Kena telak di pipi kiri Rao, menggoyangkan kepala sang komandan DoP. Tapi tidak cukup untuk menjatuhkannya atau membuatnya mundur lebih jauh!! Tidak cukup setaaaaaaaaaaan!!

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Dengan satu teriakan kencang, Rao melancarkan pukulan balasan!

Swooosssh!

Gagal lagi! Simon sekali lagi membuktikan kejeliannya, dia mampu bergerak lebih cepat dari orang yang dianggap memiliki kecepatan lebih baik darinya! Simon berjalan mundur secara lincah untuk menghindar dari pukulan Rao.

Oho!

Tapi salah besar kalau ada yang meremehkan, karena kali ini Rao sudah siap, ia mencengkeram pangkal lengan kanan Simon yang masih dapat diraihnya saat lawan bergerak mundur! Simon tertahan! Satu pukulan yang diluncurkan bak peluru kendali deras dilepas tangan kanan sang hyena.

Jboooooghhhhkkk!!

Masuk ke wajah lawan!!

Simon sempat terhenyak, tapi ia kemudian menyentakkan tangan dan memberontak dari cengkraman tangan Rao! Berhasil! Tidak perlu berlama-lama! Lanjut dengan kepalan kanan melesat!

Jboooooghhhhkkk!

Kena telak! Rao terhuyung.

Tapi tenaga Simon tidak tuntas terlepas di pukulan terakhirnya karena sang hyena masih dapat berdiri tegak! Ini pasti bukan pukulan geledek! Rao mencoba membalas dengan satu tendangan keras di pinggang lawan.

Bgkhhhhhhh!

“Hnnnghhhhhhh!” Simon mengernyit kesakitan dan terdiam sesaat. Siaaaaaal!! Hilang fokusnyaaa!

Tangan kiri Rao meraih pundak Simon dan mencengkeramnya erat. Sebelum dia sadar apa yang terjadi, sang hyena sudah meluncurkan pukulan dari kepalan tangan kanan. Simon tidak dapat menghindar kali ini, ia mencoba bergerak cepat dengan pertahanan, SImon mensejajarkan lengan membentuk perisai.

Terlambat.

Bgkhhhhhhh! Bgkhhhhhhh! Bgkhhhhhhh!

Tiga pukulan melesat kencang menumbuk wajah bagian kiri Simon, merombak wajah gantengnya menjadi sasaran tinju yang membiru.

Rao meluncurkan pukulan keempat!

Dbbb!

Perisai Simon bekerja kali ini, pukulan Rao mengenai tembok baja.

Bgkkkhhhh!

Kaki Simon menghentak perut Rao yang terhempas mundur dan terpaksa melepas cengkramannya di bahu sang lawan. Kesempatan datang! Simon tidak menyia-nyiakannya. Ia menarik tangan kanannya sendiri dan dilepaskannya sekuat tenaga!

Jbooooooooogkkkhhh!!!

Giliran hantaman kencang Simon yang sekarang membongkar wajah lawan! Sang hyena gila terlempar mundur bak disambar shinkansen berkecepatan tinggi. Tubuh Rao melayang dan berguling-guling di tanah, sebelum akhirnya terdiam tak bergerak.

Sedetik, dua detik…

Ableh Ndaho mulai menghitung.

Simon berdiri terengah-engah dengan tangan kanan yang terkepal terangkat tinggi. Itulah dia pukulan geledek! Jurus pukulan tangan kanan maha dahsyat yang menjadi andalannya. Entah sudah berapa korban sebelum Rao yang sudah hancur oleh pukulan ini.

Kerumunan pendukung Sonoz bersorak-sorai menggila! Raja mereka sudah menunjukkan kemampuan yang membuktikan kepantasannya menjadi sang pemuncak tahta! Teriakan menghina DoP makin kencang terdengar.

Ono Mikimos tuku solar! Sekali jotos, deope modyaaaaar!!

Gelak tawa bahagia memenuhi relung hati orang-orang Sonoz.

Tapi tidak terlalu lama, teriakan yang awalnya menggila itu tiba-tiba redam. Terdengar kekehan kencang seiring gerak nyata yang terlihat dari Rao yang dikira sudah pingsan. Pimpinan DoP itu melompat dengan sekali salto tepat pada hitungan ketiga dari Ableh.

Simon menurunkan tangan dan bersiap kembali, matanya tajam mengincar lawan.

Rao jelas tidak terlihat baik-baik saja, wajahnya bagaikan kolam darah dengan hidung dan bibir bocor, namun sang hyena masih tetap mengeluarkan senyum lebar yang makin nampak mengerikan karena ada darah di sela-sela giginya. Jelas sekali dia belum bakal menyerah.

Ableh Ndaho pun menghentikan hitungannya. Pertarungan ini masih belum usai.

Rao mengangkat kedua tangannya yang mengepal ke udara.

Pukulan geledek diuntal! Rasane mung koyo ngekep bantal!

Giliran sorak-sorai pendukung DoP yang kini membahana, mereka menggila karena ternyata Rao setangguh yang mereka harapkan. Pukulan geledek yang terkenal dari Simon berhasil ia telan secara jantan!

Puh!

Rao meludahkan darah yang memenuhi mulut. Senyumnya kembali menyeruak, “Kekekekeke. Cuma begitu saja? Kupikir bakal kayak apa! Maju meneh, DabAntemanmu marai nagih, koyo dicipok lonte.”

Simon berteriak kencang sembari berlari kencang, mendekat ke arah Rao.

Rao melakukan hal yang sama.

Kedua petarung bertemu di tengah lapangan. Kali ini tidak ada jurus! Tidak ada pertahanan! Tidak lagi menahan hantaman! Brutal tanpa kendali!

Bgkkkhhhh! Bgkkkhhhh! Bgkkkhhhh! Bgkkkhhhh!

Tukar pukulan dan tendangan yang kian brutal tak terhindarkan.

Pukul dari kiri dibalas pukulan kanan, hantam dari kiri disambut hantaman arah kanan. Wajah yang makin sembab dan darah muncrat kian tak beraturan.

Simon memukul sisi kiri wajah Rao, dibalas dengan tendangan di rusuk! Simon yang tersedak mundur setapak, tulang rusuknya bagai dihantam truk trailer! Pria yang menjadi pemuncak gunung menjulang di Sonoz itu berusaha bertahan untuk tak jatuh. Ia mengernyit kesakitan karena lagi-lagi Rao mengincar lokasi sasaran yang sama. Bedebah satu ini memang beda!

Sempat terpejam sejenak, saat membuka mata, Simon menatap langsung kepalan Rao meluncur deras ke arahnya.

Bgkkkhhhh!

Kepalan Rao masuk ke rahang kanan. Simon yang sebelumnya sudah bersiap menguatkan pertahanan sempat goyah tapi tak sampai membuatnya terhuyung. Kondisi malah berbalik! Tangan Rao yang baru saja melesat menyambar rahang sekeras beton kini dicengkeram dengan erat!

Rao melirik ke bawah, kaki Simon melesat naik! Sang hyena sempat menyerongkan kepala sesaat, namun tendangan Simon tetap masuk ke bahu!

Bgkkkhhhh!

Rao terjerembab ke bawah hingga berlutut satu kaki, tapi tangannya sempat melesakkan pukulan ke arah rusuk!

Bgkkkhhhh!

Simon terhentak kembali karena Rao kembali mengincar bagian rusuk di atas pinggang yang tadi berulang kali dihajar, ia pun jatuh bertongkat lutut!

Keduanya sama-sama berhadapan, keduanya sama-sama bergerak cepat sebelum keduluan, keduanya melontarkan pukulan dari tangan kanan masing-masing.

Beeghkkkkkkkkk!!! Bledaaaakghhh!

Dua-duanya masuk!

Baik Rao ataupun Simon terlontar ke samping dengan darah muncrat dari mulut dan hidung. Tapi keduanya menolak jatuh. Kaki mereka tegap menjejak tanah. Wajah yang sempat berpaling kembali memandang lurus ke depan, menatap lawan yang garang hendak menerjang.

Bledaaaghhkkkk!

Pukulan telak menghantam dagu Rao, melemparkan tubuh sang pimpinan DoP itu bagaikan bola tolak peluru. Hook yang entah darimana datangnya itu dilepaskan oleh Simon dan membuat tubuh Rao melayang dan jatuh terguling ke belakang.

Dkkghhh!

Saat Simon maju menyerang, kaki Rao yang terguling masih sempat menghentak lutut lawannya dengan cepat, menghentikan langkah sang pemimpin Sonoz. Tidak hanya sampai di situ! Berdiri cepat dengan satu lompatan salto, kaki Rao yang tak terlihat sudah kembali menyambar rusuk Simon!

Bgggkkkhhhh!

“Haaaaaargghhhhh!”

Simon berteriak kesakitan, ia memukul dengan serampangan, tapi tidak menemui sasaran! Rao mengelak dengan membanting bagian atas tubuh ke samping kanan, samping kiri, dan ke belakang. Pokoknya menghindar!

“Modyaaaaaaaaaaaarrr!!”

Bledaaaakghhh!

Simon sudah tidak lagi main-main, sekali lagi ia meluncurkan pukulan geledek dan sekali lagi tubuh Rao terlempar dan terguling-guling ke belakang. Bahkan dengan pertahanan sekalipun, pukulan Simon masih mampu menembusnya.

Simon mundur sembari mengatur napas yang mulai kembang kempis, ia masih mencoba berdiri dengan jumawa, berusaha menahan semua sakit yang ia rasakan, tegap tenang menantang. Sembari tertatih-tatih Simon maju ke depan perlahan, bersiap menyarangkan satu pukulan lagi, ia kumpulkan seluruh tenaga dalam satu kepalan tangan kanan.

“Kita akhiri di sini saja, Rao. Sudah cukup perlawananmu. Kamu tidak akan bisa mengalahkan aku dengan cara begini.” bisik Simon perlahan dengan suara yang hanya terdengar bagai gumaman di sela-sela darah mengaliri bibir. Rao tidak akan mendengarnya dari jaraknya mereka sekarang, namun Simon makin lama makin mendekat.

Rao yang terkapar terkekeh, ia mencoba berdiri dengan badan sudah remuk redam, meski awalnya sempat terhuyung, namun kini komandan DoP itu berdiri dengan tegap. Memandang tajam Simon yang berjalan mendekat.

Mulutnya bergumam… dan Rao memejamkan mata.

Sementara Simon makin mendekat dengan kepalannya.

.::..::..::..::.

Amon dan Oppa duduk di ranting-ranting kokoh sebuah pohon beringin raksasa yang cukup jauh dari pertarungan Rao dan Simon, meskipun jauh – tapi dari posisi ini mereka masih dapat melihat apa yang terjadi di tengah arena. Pertarungan itu begitu menyita perhatian sehingga tidak ada yang menyadari bahwa kedua kapten DoP itu sudah tidak lagi berada di dekat arena – termasuk Rikson dan Kori yang seharusnya mengawasi mereka.

Posisi duduk Amon dan Oppa yang disembunyikan dedaunan dan batang beringin tidak akan terlihat oleh siapapun di arena. Hanya ada satu orang yang menyadari perpindahan kedua kapten DoP itu dari arena ke pohon beringin.

Seorang laki-laki muda mendekati kedua kapten DoP itu sambil terkekeh.

“Sepertinya seimbang ya? Sampai saat ini masih belum terlihat siapa yang akan memenangkan pertarungan.” Ucapnya pada Amon dan Oppa.

“Apapun hasilnya tidak akan banyak mempengaruhi status quo di masing-masing kubu. Rao tidak akan membubarkan Sonoz sebagaimana Simon tidak akan membubarkan DoP karena risikonya terlalu besar.” Oppa bersidekap sambil tersenyum, menjawab pernyataan pemuda yang baru saja datang. “Bagaimana menurutmu?”

“Aku juga tidak peduli dengan hasil akhir pertarungan ini, karena kami sudah siap bergerak tanpa harus menunggu siapa pemenangnya. Beberapa korlap Sonoz sudah menyatakan siap bergabung.”

Oppa tersenyum, “tidak ada yang mencarimu di sana, Roni?”

Pemuda yang ternyata adalah Roni itu tersenyum sembari menatap ke arena, ada senyum licik terbias di wajahnya. “Untuk saat ini perhatian mereka teralih. Tidak. Tidak ada yang akan menyadari aku sedang berada di sini.”

“Apa rencanamu?”

“Simon yang kelelahan usai bertarung melawan Rao adalah target yang sempurna bagi mereka yang ingin menjungkalkan dia dari puncak gunung menjulang. Kekuatannya yang sudah habis-habisan di sini menjadikannya jauh lebih mudah untuk ditundukkan dan sebagai seorang ketua, Simon tidak akan bisa menolak tantangan Puncak Gunung Menjulang. Itu sudah aturan.”

“Sedap bukan? Kapan lagi ada kesempatan sebagus ini untuk kudeta berbarengan, revolusi di Sonoz dan di DoP akan terjadi lebih cepat dari perkiraan.” Oppa membenahi kacamatanya sambil menepuk pundak Amon. “Malam nanti kami juga akan menjungkalkan dua jenderal DoP dari samping Rao, tanpa Rikson dan Kori, akan lebih mudah menundukkan Rao.”

Amon tersenyum tanpa kata, wajahnya yang sangar makin terlihat sadis saat meringis.

“Jujur aku kaget sewaktu tahu Patnem ditumpas habis PSG hari ini, hal yang justru makin melancarkan rencana awal kita.” Kata Roni kemudian. “Lek Suman memang busuk, tapi rencananya selalu berjalan lancar. Terlalu lancar malah. Jika kudeta berhasil, maka Sonoz, DoP, dan kelompok baru Lek Suman akan bersama-sama bergabung untuk mengikis sisa lawan di wilayah utara.”

Teriakan para pendukung di lapangan makin menggila, sepertinya baik Rao maupun Simon beradu pukulan dengan sengitnya.

“Siapa menurutmu yang akan menang?”

“Simon.” Ucap Roni dengan penuh keyakinan, “sejak tadi dia yang mendominasi. Pukulan Rao juga tak menggoyahkan pertahanannya. Belum lagi Rao tidak memiliki jawaban untuk menahan pukulan geledek.”

Amon tersenyum sementara Oppa terkekeh.

“Apa?” Roni mengernyit melihat reaksi kedua kapten DoP itu, “apa ada yang salah dari ucapanku?”

“Tunggu saja.” jawab Oppa. “Tunggu sampai Rao menunjukkan siapa dia sebenarnya.”

Roni kembali mengalihkan pandangan ke arah arena.

.::..::..::..::.

Rao terdiam, ia berdiri lurus-lurus dengan mata terpejam. Samar terlihat bibirnya bergerak pelan. Tiba-tiba tangan kirinya mengepal sesaat sebelum jemarinya direntangkan dan berputar.

Simon kian dekat. Bagaikan dewa petir yang siap menghujani tubuh Rao dengan geledek bertalu-talu, sang pemuncak gunung menjulang berlari kencang dengan tangan kanan mengepal terangkat sejajar kepala. Siap tidak siap, Rao! Ini dia pukulan geledek!!

“Heeeaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Simon berlari kencang ke arah Rao. Pertama kalinya hari ini ia berlari menerjang sang lawan dengan tujuan untuk menghabisi dengan tuntas. Simon benar-benar ingin menyudahi pertarungan ini.

Tinggal beberapa langkah lagi!

Rao membuka mata.

“Hfaah.” desah lirih terlepas dari mulut sang komandan DoP, desah yang nyaris tak terdengar oleh siapapun karena teramat pelan. Desah lirih yang terucap bersamaan dengan terangkatnya tangan kirinya ke depan. Tangan yang kemudian membuat gerakan menghentak pelan.

Bddooooooom!!

Tubuh Simon yang tadinya sudah tinggal beberapa langkah lagi sampai untuk menyambar si hyena gila mendadak terlempar sangat jauh!!!

Tersentak hingga beberapa meter padahal ia tak tersentuh sedikit pun oleh Rao! Melayang bagaikan diseruduk truk berkecepatan tinggi! Tubuh pimpinan Sonoz yang terlontar itu pun jatuh berdebam saat terhampar tanah, berguling berulang.

Simon mengerang kesakitan.

Sunyi.

Semua orang yang ada di tempat itu terdiam menatap apa yang baru saja terjadi.

Bahkan rokok yang tadinya bertengger di mulut Ableh Ndaho sampai terjatuh ke tanah, sementara matanya terbelalak menatap ke arena. Apa-apaan yang barusan?

Simon yang terpental dan jatuh mencoba bangkit dengan badan remuk redam, satu tangannya menapak tanah dan dijadikan penyangga seluruh badan untuk bangkit. Sialan…! Bangsat satu itu ternyata juga menguasai konsep penggunaan ki. Pantas saja percaya diri, rupanya kemampuannya luar biasa tinggi! Tidak nampak dari wajahnya yang bloon dan suka cengengesan.

Simon membersihkan badannya dari debu yang menempel. Oke, sekarang sudah mulai serius ya? Ia pun membuka baju yang ia kenakan dan melemparkannya asal hingga menyisakan kaus berwarna putih. Otot-otot yang menonjol di badannya yang tegap kian terlihat menyeramkan, wajahnya yang tampan kini terlihat garang, tekadnya makin membulat untuk menumbangkan Rao sekarang juga.

“Hraaaaaaaaaaaa!!!”

Sekali lagi Simon berlari kencang ke depan, ia menyiapkan tangan kanannya yang terangkat sampai sejajar dengan kepala.

Rao kembali mengambil ancang-ancang, nyaris mirip seperti tadi, tangan kiri lurus ke depan.

Simon yang melihat gerakan tangan Rao masih terus berlari ke depan, namun kali ini ia menyilangkan lengan di depan wajah! Peduli setan dengan semua serangan ajaibnya! Mati kamu, setaaaan!!

Tapi serangan yang ia tunggu-tunggu tak kunjung muncul, tidak ada hentakan tenaga seperti sebelumnya! Simon bahkan tidak merasakan apapun. Tidak ada hantaman jarak jauh lagi. Ia bahkan tak melihat sosok Rao di depannya!! Bangsat! Kemana dia!?

“Heeeaaaaaaaaaaaa.”

Terdengar teriakan dari samping!! Kampreeeeet! Dia terkecoh!

Jbooooogkhhhh!

Sebuah pukulan yang dilontarkan sekuat tenaga dari arah samping kiri Simon mendarat dengan telak di wajahnya! Sang pemuncak Sonoz tidak sempat mengangkat tangan. Ia kembali jatuh untuk kedua kalinya berturut-turut setelah terkena hantaman keras dari Rao.

Tubuh Simon jatuh berdebam, kepalanya terantuk lapangan dengan kerasnya. Ia berguling dan meringkuk supaya Rao tidak menyarangkan serangan susulan. Namun bedebah petinggi DoP itu sangat cepat gerakannya, ia tiba-tiba saja sudah mengejar Simon dan kakinya secepat kilat terlontar untuk menyepak kepala sang pemuncak gunung menjulang!

Bletaaaaakkkkkgghhh!

Kena. Kepala Simon bagaikan puck yang diterjang oleh tongkat hoki dengan kecepatan tinggi! Darah pun muncrat kemana-mana.

Rao bukan orang yang mengenal konsep ampun jika sedang bertarung. Antara lawan yang jatuh atau dia yang modar. Sudah, pilihannya cuma dua itu saja! Sang hyena gila tertawa terbahak-bahak sambil menyarangkan tendangan demi tendangan ke badan Simon yang hanya sanggup meringkuk melindungi badan.

Bgggkkkhhh! Bgggkkkhhh! Bgggkkkhhh! Bgggkkkhhh! Bgggkkkhhh!

Berulang kali kaki Rao menyepak rusuk Simon, mencoba meremukkannya.

Tapi bukan pemuncak gunung menjulang namanya kalau Simon akan kalah begitu saja!

Ketika sekali lagi Rao siap menyepak, kedua lengan perkasa Simon menangkap dan mengunci kaki sang hyena gila. Dengan kekuatan penuh ia pun menghajar betis Rao menggunakan hantaman tangan kanannya sambil berteriak kencang penuh amarah!!

“Hraaaaaaaaaaarrghhhhh!!!”

Bgggghhhhhkkkk!! Krrrkkkgghh!!

Rao berteriak tanpa suara ketika kakinya bak dipukul martil. Ia ambruk dan memegangi kakinya yang kesakitan sambil berguling-guling. Kesempatan ini tentu saja digunakan oleh Simon untuk bangkit! Badan yang mulai sakit membuat Simon hampir tak mampu berdiri tegap, rusuknya terasa retak dan kepalanya pusing bukin kepalang.

Munyuuuukkk!! Tendangan balas tendangan!!

Simon kembali maju tertatih ke depan, siap menyepak kepala Rao. “Mampuuuuuuuuuuss!!”

Belum sampai kakinya menyentuh kepala sang hyena gila yang terkapar, Simon terbelalak saat melihat perubahan wajah Rao yang tadinya kesakitan kini tersenyum. Jemari tangan Rao direntangkan lebar sembari bergerak menghentak dengan pelan, gerakan itu disertai desahan lirih yang keluar dari bibirnya.

“Hfaah.”

Bddooooooom!!

Tubuh Simon untuk kedua kalinya melayang. Kali ini ia terlontar ke udara dan terbang menjauh hampir tiga meter jaraknya dari Rao. Jatuh berdebam bagaikan dilemparkan ke udara dan dihentakkan ke tanah sekuat tenaga. Seluruh tulang-tulangnya terasa remuk terhempas konkrit lapangan basket.

Baik Simon maupun Rao masih sama-sama terkapar tanpa kata menatap langit dan awan yang berderap memacu langkah di langit membiru. Wajah bengap, darah meleleh, tulang terasa remuk. Tapi itu semua belum cukup untuk mematahkan semangat keduanya.

Masih belum. Masih belum usai.

Keduanya mencoba bangkit mendahului lawan.

Masih bisa! Masih bisa berdiri! Masih bisa memukul! Ayo! Tuntaskan!

Hanna Dwi Bestari

Tch! Muka kamu jelek banget sih? Kusut! Di mana kamu sekarang?

 

“Lagi ada di rumah sakit, nungguin si Bian. Masih inget kan Bian? Yang dulu sering nongkrong bareng aku jaman SMA? Dia habis digebukin orang.”

Ya ampuuuuuuun! Masih inget lah, kalian semua kan murid-murid sini. Terus gimana kondisinya sekarang? Kalian masih sering jalan bareng berlima? Dulu udah kayak Teletubbies aja kemana-mana bareng.

“Sudah dirawat.” Tangan Nanto memegang ponselnya dengan stabil. Ia menatap ke wajah yang sedang nampak di jaringan video call yang ia lakukan – wajah cantik Asty. Paling tidak ia masih bisa menatap wajah seorang kekasih di tengah deraan masalah yang sedang dihadapi. Bagaikan oase di tengah padang pasir kering kerontang dengan hawa panas menyengat.

Kamu… jangan-jangan juga berantem lagi?

Nanto terdiam.

Awas aja kalau kamu sampai berantem!

Nanto masih terdiam.

Heh! Jawab!

SI bengal hanya tersenyum, “omong-omong hari ini kamu cantik banget. Kangen sama kamu, sayang.”

Wajah Asty yang terlihat di layar smartphone mungkin tidak terlihat memerah, tapi dia jelas berbunga-bunga dipuji oleh sang kekasih hati. “Ish… kamu! Ditanyain apa jawabnya apa. Pokoknya kalau sampai kamu berantem lagi… hmm… tahu sendiri. Awas ya!

“Lagi di ruang BK?”

Iya. Lagi gabut. Kelas udah rampung, seharian ga anak bandel. Sepi deh BK, hahaha.

“Hari ini ga bisa ketemuan ya?”

Ga bisaaa.” Asty memajukan bibir bawahnya dengan wajah sedih. Ia juga merindukan si bengal. “Aku atur waktu dulu ya, sayang. Aku cari-cari jadwal kosong biar kita bisa ketemuan. Mudah-mudahan secepatnya yaaa. Aku juga kangen banget…

“Aku kangen pengen masukin.”

Hish! Nakal banget! Udah ah. Aku off bentar, mau ke kantin cari cemilan. Gabut begini laper juga. Kamu baik-baik ya, sayang. Awas kalo bandel! Pokoknya ga boleh berantem!

“Oke deh. Sayang kamu.”

Sayang kamu juga.

Nanto menekan tombol merah dan menutup panggilan video call penuh cinta dengan kekasihnya – kekasih hati yang juga istri orang. Dasar bangsat memang. Si bengal menimang-nimang ponsel itu di tangannya, sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam saku celana.

Pilih yang mana? Kinan atau Hanna?

Kinan atau Hanna?

Kiri atau kanan?

Kenapa tidak menceritakannya pada Asty? Takut dicaci-maki? Takut diputusin? Emang apa ruginya buat kamu? Kamu kan sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Atau jangan-jangan takut ga dapet jatah meki? Dasar bajingan kamu, Nanto. Apa kamu lupa kalau dia itu istri orang? Lupa kalau dia itu bukan jatah kamu? Bagaimana kalau suaminya nanti tahu? Kamu siap dihukum pancung?

Memang sih, Bu Asty itu idola kamu banget dari sejak SMA, tapi sudahkah kamu mempertimbangkan ini semua dengan matang? Yakinkah kamu menjalani hubungan yang tidak sehat ini? Akan ada orang yang bakal disakiti, pasti. Jadi bersiaplah, monyet tengik.

Sekaleng root beer diletakkan di depan si bengal. Deka duduk di kursi besi di sebelahnya. “Siapa, Nyuk? Cengengesan aja kayak babi ditusuk sate. Cewek? Hebat bener baru nyampe kota udah nyamber anak orang.”

Bukan anak orang, Ndes. Istri orang. Guru BK kitaKamu pasti kaget kalau tahu.

Nanto hanya mencibir dengan canda. Tentu saja dia tidak akan membuka rahasia besarnya yang gawat kalau diketahui orang itu, “biasalah, ada cewek sana. Kemana T-Rex sama Roy?”

“Hageng nyari cemilan lagi ke Indom@ret depan, itu anak emang gawat kalau urusan jajan. Kalau Si Roy lagi ngurusin surat-surat BPJS di kasir. Untung saja biayanya bisa di-cover, jadi habisnya ga begitu banyak.”

Nanto manggut-manggut.

Deka membuka kaleng minuman sodanya, suara kemranyas terdengar dari bukaan kaleng. Si gondes melirik Nanto yang menyusulnya membuka kaleng root beer yang ia bawakan. “Gimana? Sudah kamu pikirin masak-masak? Aku tahu kamu sebenarnya tidak ingin kembali ke dunia seperti ini, maaf kami sudah menyeretmu masuk – tapi mungkin sudah cukup sampai di sini saja kita meneruskan aksi lima jari, tidak perlu dilanjutkan.”

Nanto terdiam, tidak memberikan jawaban pasti. Ia menenggak minumannya.

“Dengerin, Nyuk… tidak ada yang memaksa kamu untuk melakukan apa-apa, kamu tidak perlu merasa bertanggungjawab dengan nasib kami-kami ini. Apa yang akan dilakukan Bian setelah dia sembuh nanti, itu adalah urusan Bian setelah dia sembuh. Kita hanya bisa memberikan nasehat dan pandangan dari akal sehat. Itu saja. Mungkin itu bisa membantumu menentukan pilihan, tidak perlu terjun langsung, kita punya kehidupan yang lain.”

“Kamu tahu hal semacam itu tidak akan pernah masuk ke pikiranku sebagai pilihan.”

“Bangsat.” Deka tersenyum, “aku tahu karena aku kenal kamu banget. Kamu bakal lebih memilih mati melindungi keempat jari lain. Tapi aku juga mulai menyadari kalau kamu yang sekarang sudah bukan monster seperti yang dulu aku kenal. Kamu yang sekarang tidak pernah menunjukkan siapa kamu sebenarnya karena kamu tidak ingin mengulang kejadian yang telah lalu.”

“Jangan mengung…”

“Tenang. Aku tidak akan mengungkit-ungkit masa lalu, yang kita bicarakan sekarang adalah apa yang terjadi sekarang, karena apapun keputusan yang akan kita ambil sebagai kelompok, akan berpengaruh ke masa depan kita nantinya.”

Nanto menundukkan kepala.

“Aku berusaha mengumpulkan kembali Roy, Hageng, dan Bian – awalnya untuk melindungimu dari DoP dan PSG. Tapi sekarang aku tahu itu mungkin tidak bisa lagi diterapkan dengan mudah melihat kekuatan lawan yang sangat-sangat besar. Lawan kita sekarang sudah bukan anak-anak SMA seperti dulu lagi, Nyuk. Kita berhadapan dengan kelompok yang sangat besar, sangat kuat, dan sangat berbahaya. Ini nyawa taruhannya.”

Nanto mendengus dan tersenyum, “kita dihadapkan ke tembok yang sangat tinggi. Apakah akan diterobos, dipanjat, atau malah berbalik mundur ke belakang. Aku bukan orang yang hobi memanjat apalagi mundur ke belakang.”

Deka kembali meminum sodanya, mendengarkan ucapan Nanto.

“Kita berlima punya sifat yang berbeda-beda. Bian adalah orang yang lebih mementingkan kepalan daripada kepala, dia berangasan dan biasa main hantam di depan mikir belakangan, beda banget sama Roy yang rasional dan selalu mikir untung rugi. Kembar tapi beda sifat.” Si bengal tertawa sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. Ia memutar-mutar kaleng minumannya. “Meski mudah naik darah, tapi Bian jelas bukan orang jahat, dia teguh pada pendirian dan amat setia kawan. Aku tidak akan pernah lupa pukulannya di hari terakhir masuk sekolah di SMA CB sewaktu aku pamitan. Dia jadi orang yang terakhir tahu aku pergi dan dia kecewa sekali.”

Deka meletakkan kaleng sodanya yang sudah tinggal sepertiga, ia menatap ke depan, ke arah sebuah poster kesehatan yang dia tak akan pernah tahu apa artinya, baginya poster itu hanyalah kartun dengan gambar usus dua belas jari. Ya, dia juga ingat hari terakhir Nanto masuk SMA Cendikia Berbangsa bertahun-tahun lalu, tidak hanya Bian yang ngamuk, Deka juga harus menenangkan Ara yang tak berhenti menangis.

“Aku ga akan mau mengecewakan lagi orang-orang yang percaya padaku, Ndes. Aku tidak akan pernah membiarkan orang-orang PSG menjemput Bian secara paksa sama seperti Bian yang juga tak akan tinggal diam kalau aku sedang mengalami masalah. Aku percaya pada Bian dan percaya pada caranya memilih teman-temannya yang baru di Patnem. Kamu percaya sama Bian kan, Ndes?”

Yo iyolah. Tentu saja aku percaya. Tapi maksudmu apa, NyukBlas aku ra mudeng, ga tahu apa maksud kamu.”

“Patnem memang sudah habis, mereka kemungkinan besar tidak akan bisa berdiri kembali, dan itu mungkin bukan urusan kita.” Nanto berhenti sejenak untuk menyeruput minumannya. “Aku tahu ini seperti menelan ludah sendiri, karena aku sudah berjanji untuk berubah menjadi lebih baik, tidak akan lagi melangkah di jalur kekerasan, menjalani hidup yang lebih baik. Tapi aku tidak akan bisa hidup tenang membiarkan Bian berjuang sendiri.”

“Denger, Nyuk. Ini bukan main-main lho, aku cuma takut…”

“Menurutmu apa yang lebih cepat menyebar dibandingkan virus, Ndes? Dibandingkan penyakit?”

Deka menggeleng, dia tidak tahu jawabannya.

“Rasa takut, Ndes. Rasa takut dapat menyebar dengan sangat cepat jika tak dikendalikan, menyebar luas jika tak terbendung. Hanya ada dua cara menghadapi rasa takut. Cara yang pertama adalah lari. Kita bisa memilih untuk melupakan semua yang kita perjuangkan dan lari menghindar demi keselamatan diri sendiri… atau kita bisa memilih cara kedua, bangkit dan menghadapi sumber rasa takutnya secara langsung.”

Deka menatap Nanto dengan mata melebar, dia bahkan hampir tersedak soda. Jangan-jangan si bengal sedang memikirkan apa yang tengah ia pikirkan? Dia tahu Nanto tidak akan pernah mau melihat keempat sahabatnya dilanda kemalangan, munyuk bedes yang satu ini bakal lebih memilih mengorbankan diri sendiri daripada melihat satu dari keempat sahabat menderita.

“Bisa jadi bakal kalah, bisa jadi bakal dihajar habis-habisan. Tapi ini bukan masalah bagaimana kita jatuh atau dijatuhkan, ini tentang bagaimana kita akan bangkit setiap kali kita jatuh. Persetan seberapa besar kekuatan PSG. Kita mungkin tidak bisa menyerang dan hanya bisa bertahan dari serangan bergelombang mereka, tapi selama masih ada napas berhembus dan jantung berdetak, aku akan berjuang di samping Bian, Ndes.”

Deka meminum sodanya sampai habis dan meletakkannya dengan perlahan.

Dia tersenyum.

Bersambung

mertua tersayang
Cerita sex nikmatnya ngentot ibu mertua ku
Foto Bugil Mahasiswi Memek Bertatto
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
cewek toge
Keinginanku Menikmati Gadis Bertoket Gede Kini Menjadi Kenyataan
mama tiri
Mama tiri ku yang sangat dahsyat di ranjang
Tiga dara cantik ngajakin ngentot di hotel
ayu
Menikmati memek ayu gadis cantik berkerudung
Tante Linda Yang Ganas Dan Haus Akan Sex
teman kuliah
Jadi bahan praktek memijit teman kuliah yang punya dada montok
Foto memek tembem mahasiswi cantik suka selfie bugil
ngenot mantan pacar
Cerita sexs hubungan ku dengan mantan pacar adik ku
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Wanita Malam
Dua Cewek Jilbab Kurus Show Memek Pengen Ngentot
dukun cabul
Cerita sex menikmati cumbuan dukun yang menyembuhkan penyakitku
Foto bugil pengantin baru yang sexy pakai CD transparan
cerita remaja
Pengalaman masa muda yang tak akan pernah terlupakan bagian 2