Part #17 : MELAWAN DUNIA

Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu pertarungan, seribu kemenangan.
– Sun Tzu

Jeritan seorang gadis jelita yang berteriak kesakitan justru membuat Joko Gunar makin mempercepat sodokannya, jerit itu bagaikan musik yang ingin selalu ia dengar berulang. Tubuh sang preman bergerak tanpa henti bak gerak kait roda kereta api.

Maju, mundur, maju, mundur.
Keluar, masuk, keluar, masuk.
Satu, dua, tiga, empat.
Ulang lagi! Ulang terus!

Batang kejantanannya yang raksasa digerakkan dengan kecepatan tinggi untuk menjajah sekaligus menjelajah liang cinta seorang wanita berparas jelita bertubuh bak Dewi Venus yang kini sedang dalam posisi menelungkup seakan merangkak dengan tumpuan pada lutut dan lengannya. Di belakang, sang raja preman Pasargede melakukan penetrasi berulang tanpa ampun, keringat deras membasahi tubuhnya.

Tangan kasar hitam mencengkeram pantat bulat mulus kecoklatan, matanya dipejamkan, pinggul menyodok berulang ke depan. Oh ya… ya! Yang begini ini yang dia suka! Gunar sangat menyukai posisi doggy style seperti sekarang ini. Sesekali tangannya meraih ke depan dan meremas buah dada besar yang bergoyang erotis. Ah… enak sekali diremas buah dadamu, sayang.

“Aaahh! Aaahhh! Ahhhh! Jangaaaaaaaaan! Jangaaaaaaaan, Bang!! Aaaahhh!! Aaahhhh!!!” gadis berambut panjang itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. Rambutnya terbang ke kanan dan ke kiri bagaikan berontak. “Sudaaaaaah! Sudaaaaah!! Sudaaah cukuuuup!!”

“Hrrrrgghhhhhh! Nukeeeee!! Memek kamu enakkghhhhh!! Nukeeeeeee!!!”

“Aaahh! Aaahhh! Ahhhh! Sudaaaaaah! Hentikaaaan!! Nanti aku hamil, Bang! Jangaaaaan!!”

Gunar tidak peduli, ia terus saja mendaki puncak kenikmatan seiring dengan gerakannya yang makin cepat dan makin tak beraturan. Ia sudah tidak tahan lagi. Ia harus segera melepaskan pejuhnya yang makin terkumpul di ujung gundul! Bangsaaaaaaaat! Ini enaaaak!! Mulutnya mengerucut, wajahnya mengejan, keningnya berkerut. Gelombang deras kenikmatan merasuk ke jiwanya.

“Harrrrrghhhhhhhhh!! Memek kamuuuu enakkkkk bangeeeeet, Nukeeeeeeee!!!”

“Aaaaaaaaaaaahhh, Baaaaaaaaaaaang!!! Jangaaaaan di dalaaaaaaaaaaaaam!!”

Seakan tersadar apa yang terjadi, Gunar buru-buru membuka mata dan menarik kasar kontolnya dari memek sang perempuan bertubuh indah yang sedang ia setubuhi. Preman itu pun akhirnya menggoyangkan penisnya di atas pantat bulat mulus sang dewi jelita.

Crssstttt! Crrrtttttt!

Tak bisa lagi ditahan, cairan cinta Gunar meledak di pantat mulus kecoklatan sang perempuan yang sudah kepayahan. Semua yang terpendam dikeluarkan hingga tetes terakhir. Huff… puaasss!! Untung dia masih sempat mengeluarkan kontolnya. Bisa gawat urusannya. Menghamili wanita selain istrinya adalah hal yang tidak ingin ia lakukan saat ini – apalagi istri Gunar baru saja menjalani proses persalinan secara caesar beberapa hari yang lalu dan masih dirawat di rumah sakit.

Sang dara megap-megap mengatur napas. Dentuman demi dentuman sodokan kontol Gunar yang buas dan ukurannya yang bagaikan monster itu adalah hal utama yang membuat sejuta perbedaan dibandingkan bercinta dengan lelaki lain. Memang memuaskan kalau bercinta dengan Bang Gunar. Wanita itu terkekeh sambil mengatur napasnya yang satu dua, ia menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangan.

“Siapa sih Nuke ini, Bang? Kayaknya Abang demen banget.” Tanya sang wanita cantik berkulit kecoklatan yang menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang telanjang. “Sampai-sampai aku disuruh berpura-pura jadi Nuke.”

Joko Gunar diam tanpa mempedulikan pertanyaan sang perempuan, ia justru mencibir sembari membuka dompet. Sang preman menarik beberapa lembar uang berwarna merah dan melemparkannya ke arah si lonte.

“Cukup kan?”

Suara Gunar yang nge-bass membuat sang PSK makin demen.

Wajah si pelacur langsung cerah ketika ia menghitung uang yang diberikan Gunar, cerahnya laksana mentari yang bersinar terang di luar sana. “Cu-cukup, Bang, cukup! Ini malah lebih dari cukup. Terima kasih banget, Bang.” Ia menengadah menatap Gunar yang sudah berdiri dan mengenakan celananya. “Abang memang luar biasa perkasa, saya kadang jadi bingung siapa yang melayani siapa. Setelah ngentot semalam suntuk justru saya yang dibikin puas banget. Lain kali kalau butuh cewek cosplay lagi hubungi saya ya, Bang. Pasti langsung datang dan siap dengan dandanan yang Abang kehendaki, misalnya pengen saya jadi perawat, pramugari, hijaber, mbok-mbok Jamu, atau lagi-lagi harus berpura-pura jadi cewek yang bernama Nuke itu.”

Gunar hanya menghela napas dan mengusap kepala sang lonte itu. “Sudah, sana pulang dulu.”

Dengan manja si PSK mengerang malas, ia berjalan gontai sembari mengambil satu persatu pakaiannya yang tadi ia lepas dan dilempar ke segala penjuru. Dengan maksud menggoda, sang PSK mengenakannya di depan Gunar. Preman sangar itu hanya duduk terdiam sembari melahap pemandangan indah wanita bertubuh seksi di depannya bergoyang nakal untuk mulai mengenakan baju.

“Tinggalkan BH kamu di sini. Ambil lain kali.”

Sang PSK tertawa, ia pun meninggalkan bra-nya seperti permintaan Gunar. Setelah selesai mengenakan semua yang tadi ia lepas kecuali bra, sang PSK kembali mengerang manja. “Abang memang nakal. Gimana nanti aku pulangnya ke rumah dengan dada yang kondisinya begini? Kan jadi kesenengan sopir taksi online-nya, Bang. Lihat barang gondal-gandul.”

Gunar tertawa, sesaat kemudian sang PSK meniupkan kiss-kiss dari bibirnya, “saya pergi dulu ya, Bang. Sekali lagi terima kasih. Akhirnya anak di rumah bisa juga makan enak. Jangan lupa telpon saya lagi kalau kapan-kapan butuh, Abang boleh masukin senjata Abang ke lubang saya yang mana aja yang Abang suka. Saya pasti cuma bakal bisa pasrah.”

Sang preman hanya mendengus dan mencibirkan bibir bawah. Sang PSK tergelak, ia pun membuka pintu dan segera berlalu. Gunar geleng-geleng sembari melesakkan bra sang PSK ke laci lemari pakaian. Di sana sudah tersimpan banyak sekali BH. Salah satu trophy yang ia sukai usai meniduri wanita adalah bra.

Sebentar lagi… BH Nuke bakal jadi miliknya. BH yang paling ia didambakan sejak ia masih mengabdi pada Kang Dirman, ayah Nuke.

Omong-omong soal Nuke, bagaimana kelanjutan serangan PSG ke Patnem?

Gunar lantas mengambil ponselnya dan memeriksa kegiatan penghancuran Patnem seperti yang sudah ia perintahkan. Ia pun mulai mengamati dan memantau pesan yang keluar masuk di grup WhatsApp. Bagus! Operasi itu berlangsung dengan sukses. Sebentar lagi dia harus berangkat ke mabes untuk menginterogasi cecunguk-cecunguk Patnem itu.

Sejak malam tadi Gunar sudah beberapa kali diganggu oleh laporan anak-anak buahnya yang mengatur siasat atau menyatakan keberhasilan tugas. Andai saja ia saat itu tidak sedang bermain cinta dengan sang lonte, ia bisa fokus. Tapi bisa masukin kontol ke memek jelas lebih menarik daripada ngurusin orang digebukin, kan?

Saat ini Gunar berharap semua urusan dengan Patnem sudah hampir selesai dan para petinggi mereka yang sial ditangkap dan disekap. Belum sempat Gunar mengetikkan balasan, terdengar sebuah suara.

Duk! Duk! Duk!

Suara itu suara ketukan di pintu.

Gunar menarik napas kesal. Ada apa lagi dengan lonte satu itu? Apa ada yang ketinggalan? Duitnya kurang? Sang preman pun mengenakan celananya sebelum akhirnya membuka pintu kamar.

“Ada apa lag… oh sampeyan, Mbah.”

Saat membuka pintu, sang asisten rumah tangganya yang setia – Mbah Mung, sudah berdiri di depan pintu. Mbah Mung ini dulu sempat mengabdi pada orang tuanya dan karena mereka sudah tiada, pengabdiannya kemudian diwariskan ke Gunar.

Ono opo yo, Mbah?”

“Nganu, Den. Itu di depan ada tamu.”

Sopo?”

“Lek Suman, Den.”

“Lek Suman?” Joko Gunar terpekur dalam diam untuk beberapa saat. Mau apa lagi si tua brengsek itu datang? Ada urusan apa? “Yo wescepakno unjukan. Kasih saja teh manis anget sama jajanan seadanya di toples, Lek Suman setahuku tidak minum kopi. Aku sebentar lagi ke depan.”

Sendiko, Den.”

Suman?

.::..::..::..::.

Riuh rendah di lapangan basket UTD masih belum berakhir, suasana justru semakin memanas.

Roni berhasil menundukkan Remon dan Abi dikalahkan Don Bravo. Kondisi sekarang satu-satu. Hasil akhir tentunya akan ditentukan oleh pertempuran sang perwira tertinggi, Rao dari DoP lawan Simon dari Sonoz.

Teriakan gegap gempita dari anggota kedua kelompok yang hadir saat itu bergemuruh keras bagai hendak membelah langit saat Rao dan Simon turun ke arena, keduanya melangkah pasti ke tengah lapangan. Ableh Ndaho dari Talatawon menjumpai keduanya di lingkaran tengah, sekali lagi memastikan kedua belah pihak sama-sama memahami apa yang dipertaruhkan di pertarungan penentuan.

“Sudah paham semua aturan?” tanya Ableh perlahan pada Rao dan Simon.

Ableh Ndaho adalah pria yang unik – berambut gondrong dengan pitak besar di sisi kiri, bergigi tonggos, bermata jereng, dan mengenakan topi buluk yang dibalik. Penampilannya yang tidak ada bagus-bagusnya memang tidak nyaman dipandang, tapi dia adalah salah satu petarung paling menakutkan yang pernah ada di wilayah utara – pantas rasanya menyandang jabatan sebagai komandan tertinggi Talatawon.

Untungnya pula Ableh Ndaho selalu berdiri di pihak netral dan selalu menjadi jembatan penghubung pertikaian antar kelompok, dialah yang sering menjadi wasit Tarung Para Wakil.

Ableh melanjutkan penjelasannya pada Rao dan Simon. “Pemenang akan memutuskan status quo bagi yang kalah. Tidak mematuhi aturan maka Talatawon dan seluruh geng kampus di kota akan memastikan pihak yang curang bakal hancur jadi debu dan habis tak tersisa. Sudah banyak contoh jadi tidak perlu disebutkan. Paham?”

Rao mengangguk, Simon tak lama kemudian ikut mengangguk.

Ableh tersenyum dengan menampilkan deretan gigi tonggosnya yang tidak apik. “Sukses buat kalian berdua, semoga yang terbaik yang menang.”

Sang wasit kembali menyingkir ke pinggir lapangan, memberi kesempatan pada Rao dan Simon untuk saling bertukar pikiran atau langsung gebuk-gebukan.

Semua orang terdiam saat dua komandan yang sama-sama disegani itu saling berhadapan santai dengan jarak hanya sekitar satu setengah meter. Keduanya berdiri angkuh dan sama-sama yakin dengan kemampuan diri sendiri. Harus diakui kalau inilah pertarungan yang paling dinantikan di generasi ini, Si Hyena Gila lawan Pemuncak Gunung Menjulang. Degup dada setiap anggota DoP dan Sonoz berdebar menatap pemimpin mereka akhirnya berjumpa di arena Tarung Para Wakil. Siapa yang sebenarnya lebih hebat?

“Selamat sore Simon, gimana kabar sampeyanDab? Hahaha! Tambah ganteng ae, lho.”

“Sore juga Rao. Bagaimana kabarmu?”

“Baik… baik… hahaha! Aku sih selalu baik.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Ya… ya…”

Keduanya terdiam untuk beberapa saat, menunggu siapa yang akan menembakkan meriam pertama.

“Agak gila juga ya keadaan sekarang ini? Hanya dalam waktu singkat sudah banyak kondisi berubah, beberapa bulan yang lalu kita berdua masih sempat kongkow bersama di kafe kopi. Sekarang bisa-bisanya kita harus bertempur di sini untuk hal yang tidak bermutu. Njelehi.” Rao menggelengkan kepala, ia menarik bungkus rokok dari saku celana, mengambil satu batang, dan menyalakannya dengan korek api. Pimpinan DoP itu menghunjukkan bungkus rokok dan korek ke Simon.

Simon menggeleng dan menolak dengan sopan, “mungkin tidak bermutu, Rao. Tapi sebenarnya ini masalah prinsip dan harga diri yang harus ditegakkan.”

“Prinsip dan harga diri? Apa prinsip sampeyan ditunjukkan dengan menyerang DoP? Harga dirinya dipamerkan dengan menggebuki anak-anak DoP di jalan? Justru itu yang namanya ora mutuDab.” Rao melirik Simon dengan pandangan tajam sembari melesakkan kembali bungkus rokoknya ke kantong celana. Asap rokoknya berbentuk lingkaran membumbung tinggi.

“Kami dari Sonoz tidak pernah lempar batu sembunyi tangan. Jika memang kami bertindak, pasti akan kami akui. Tapi kami tidak menyerang DoP, justru kalianlah yang memulai perang dengan tindakan konyol di kampus Unzakha. Mencorat-coret patung pendiri Unzakha dengan tidak hormat – bukankah itu artinya kami harus menegakkan harga diri? Prinsip kami simpel kok, kalau ada yang ingin berteman, disambut ramah. Kalau ada yang mengganggu, disambut bogem mentah.”

“Begitu rupanya.” Rao mengebulkan asap tinggi dari mulutnya, “licik nemen taktik sampeyanDab. Jadi setelah kalian meminta Patnem untuk melakukan semua tindakan kotor kalian, sekarang kalian hendak mengelak ketika dikonfirmasi? Kalian mau cuci tangan seolah-olah semua penyerangan pada DoP itu bukan permintaan Sonoz?”

“Karena memang bukan. Kami tidak pernah…”

Rao menarik rokok dari mulut dan menunjuk-nunjuk ke batang rokok itu. “Sampeyan lihat rokok ini, Dab? Ga akan ada asapnya kalau ga dinyalakan pakai api. DoP tidak akan sudi mengotori Unzakha kalau Sonoz tidak memulainya dengan serangan-serangan gerilya – yang dilakukan dengan perantaraan Patnem.”

“Jangan menuduh kalau tidak ada bukti.”

“Kalau ada orang Patnem yang buka mulut dan secara jujur mengatakan kalau kalianlah yang menyuruh penyerangan terhadap DoP bagaimana? Apa ya masih tidak mau mengakui kesalahan?”

“Silahkan saja. Aku sangat yakin Sonoz tidak akan mengelak dan mengakui jika kami memang terbukti bersalah. Aku menjunjung tinggi persahabatan kita, Rao. Jujur kalau aku tidak pernah memerintahkan tindakan apapun yang merugikan DoP apalagi Sonoz. Aku tidak ingin pertikaian yang diwariskan dari tahun ke tahun berlanjut ke generasi kita. Aku tidak akan mengambil keputusan dan memerintahkan Sonoz melakukan tindakan yang akan merugikan semua pihak.”

“Apakah tidak merugikan semua pihak itu termasuk menyerang anak-anak DoP di jalan? Termasuk menyerang beberapa anggota kami di angkutan umum? Termasuk menyerangku?” Rao mendesis, “ya ya ya… aku tahu itu semua ulah Patnem, tapi mereka berafiliasi dengan Sonoz. Jadi setidaknya harus ada yang menjadi laki-laki sejati, dan mengakui semua kesalahan. Ayolah, DabSampeyan akui saja. Jadi gentleman ngunu loh. Setelah itu kita akhiri ini semua dengan jantan.”

Simon menundukkan wajah dan terkekeh, pria tampan itu menggelengkan kepala. “Sejak tadi kamu sendiri yang bilang kalau semua serangan dilakukan oleh Patnem. Kalau semua serangan dilakukan oleh Patnem, kenapa kamu selalu mengaitkannya dengan Sonoz? Seolah-olah jika Patnem melakukan sesuatu maka perintah itu berasal langsung dari Sonoz?” Simon menggelengkan kepala, “Patnem punya pimpinan sendiri, Rao. Mereka punya hirarki sendiri, dan aku juga tidak pernah mencampuri urusan mereka. Sepertinya kamu salah paham mengenai afiliasi Sonoz dan Patnem. Jika DoP punya masalah dengan Patnem, maka selesaikan dengan Patnem, bukan dengan Sonoz. Bukankah permasalahan kita sebenarnya segampang itu?”

“Hahahahaha! Ayolah, Simon! Aku bukan bocah kemarin sore. Aku tidak akan siap maju ke tengah lapangan dan menerima tantangan darimu di Tarung Para Wakil seperti ini jika tidak membawa bukti. Ada beberapa anggota Patnem yang sudah kami tangkap hidup-hidup! Kami sudah menginterogasi mereka dan orang-orang Patnem itu sendiri yang menceritakan kalau niat mereka menyerang DoP sebenarnya adalah atas suruhan Sonoz.”

Simon mendengus dan bersidekap, ia kukuh menolak dakwaan Rao. “Bawa kesini buktinya. Kalau memang kami yang bersalah, maka akan aku lakukan tindakan hukuman secara internal karena aku tidak pernah mengeluarkan perintah untuk menyerang DoP. Walaupun tentu saja, vandalisme di kampus kami juga harus diselesaikan secara jantan.”

Rao melirik ke arah Kori dan melambaikan tangannya, memberi kode yang sudah disepakati. Jenderal DoP itu mengangguk dan berlari ke belakang. Tak lama kemudian, ia sudah membawa dua orang pemuda yang babak belur. Di tangan mereka ada tato angka empat dan enam. Kedua orang itu langsung menyerocos dan membuka mulut dengan ribut mengaku kalau mereka diminta oleh Sonoz untuk mengganggu dan menyerang anak-anak DoP.

Gemuruh teriakan anak-anak DoP terdengar mendengarkan pengakuan kedua orang itu. Massa DoP memaki-maki Sonoz. Massa Sonoz yang mendengar makian DoP tidak terima dan menghina balik. Suasana makin panas dan ramai.

Simon mencoba mengamati anggota Patnem yang dijadikan bukti hidup oleh Rao. Simon jelas belum pernah bertemu kedua orang saksi itu dan tidak mungkin ia bisa menghapal satu persatu anggota Patnem. Tapi apapun yang keluar dari mulut dua orang Patnem itu tidak bisa dipertanggungjawabkan kalau tidak ada yang mengenal mereka, bisa saja mereka hanya aktor bayaran, bisa juga pernyataan mereka di-setting oleh juru gebuk DoP.

Simon mengayunkan tangan untuk memanggil Roni. Korlap muda Sonoz itu segera berlari dan mendekati Simon. Sang komandan berbisik ke telinga Roni yang langsung mengangguk. Ia berlari ke sudut khusus dan melakukan panggilan telepon dengan telepon genggamnya – mereka jelas sedang mencari petinggi Patnem yang bisa datang untuk mengenali dua saksi dari DoP.

Nihil. Tidak ada satu pun perwira Patnem yang dapat dihubungi, tidak ada yang mengangkat ponsel seperti seakan-akan sedang terjadi sesuatu. Biasanya hanya di-bell beberapa kali saja orang-orang Patnem akan mengangkatnya.

Roni menggelengkan kepala pada Simon.

Seorang laki-laki yang baru datang ke UTD berlari tergopoh-gopoh ke arah Roni, keringatnya deras mengalir, sampai-sampai bajunya basah kuyup. Ia membisikkan sesuatu yang membuat Roni terhenyak. Sang korlap kembali maju mendekat ke arah Simon dan membisikkan sesuatu di telinga Simon.

Mata sang komandan sempat terbelalak sesaat. Tapi ia tersenyum, mengangguk, dan melambaikan tangan. Mempersilahkan Roni kembali ke tempatnya semula.

“Ada perkembangan terbaru sepertinya.” Kata Simon pada Rao, wajahnya masih tetap tenang. “orang-orang kota – kemungkinan dari kelompok Pasargede sepertinya sedang memburu semua petinggi Patnem, jadi aku tidak bisa menghadirkan mereka sebagai saksiku hari ini. Dengan alasan yang sama maka saksimu juga tidak bisa aku akui.” Simon mendesah, “Aku sahabat yang buruk Rao. Patnem sahabat kami sedang menghadapi masalah tapi aku tidak bisa membantu mereka karena harus menghadapi DoP di sini. Bagaimana menurutmu jalan yang sebaiknya kita tempuh, Rao?”

“Aku tidak ada urusan dengan orang-orang Pasargede. Sejauh ini urusan yang harus dituntaskan adalah perseteruan lama dengan Sonoz yang harus berakhir di sini, sekarang juga, Dab.”

Simon menggaruk-garuk kepala dan tersenyum. “Baiklah… baiklah… perseteruan antara DoP dan Sonoz memang tidak sehat, sudah kelamaan dan berlarut-larut, hampir-hampir seperti warisan turun temurun.”

“Kita tuntaskan dendam warisan, Simon!”

“Rao… mumpung kita di sini… sigh. Jujur tadinya aku berpikir kalau kita harus bertarung karena DoP berniat meluluhlantakkan Sonoz. Tapi setelah berbincang begini aku baru sadar kalau kemungkinan besar ada kesalahpahaman luar biasa yang sebenarnya bisa diluruskan tanpa perlu memakan korban.” Kata Simon mencoba bijak, “kita sama-sama punya akal sehat dan logika. Ayo duduk dulu, kita berbincang serius.”

Simon duduk bersila di tengah lapangan, Rao tertawa dan menyusul duduk.

“Kita hidup di masa-masa yang seru, Rao. Benar kan? Semua orang, semua individu, semua kelompok, semua regu berusaha menjadi yang paling. Paling ini atau paling itu. Untuk mencapai tujuan tersebut dihalalkan segala cara, lawan dilibas, kawan bahkan tega makan kawan. Semua cara ditempuh, hanya untuk menggapai hasil yang paling diinginkan – yaitu yang paling. Benar kalau di Sonoz hal seperti itu bahkan dijadikan rutinitas dengan tujuan yang pasti, yaitu puncak gunung menjulang. Entah apa di DoP.

“Bukankah itu tujuan kita membentuk kelompok di kampus seperti ini? Menjadi yang paling. Itulah impian yang sedang berusaha kita wujudkan, impian yang didambakan oleh cecunguk macam kita berdua – menjadi yang paling di dunia yang kejam. Dunia yang hanya bisa didiami oleh begundal-begundal busuk tanpa perlu khawatir campur tangan aparat atau gangguan preman kota yang keparat. JXG dan QZK itu masa lalu, kita bisa membangun kerajaan baru dengan menggabungkan kekuatan. Aliansi Sonoz dan DoP dapat menciptakan tim tangguh yang pasti disegani tidak hanya di wilayah utara, tapi juga di seantero kota. Bayangkan saja!”

Rao mendengus, “Weleh! Serius tuh, Dab? Karena aku tidak yakin kita bisa bergabung dengan…”

“Sebentar aku selesaikan dulu, Rao. Aku tahu kalian dari DoP pasti tidak pengen bergabung dengan Sonoz. Tapi jika mempertimbangkan kekuatan yang kita miliki, kita akan menjadi kekuatan terbesar kedua di wilayah utara – jauh di atas Talatawon, dan hanya akan kalah dari QZK yang tentunya tidak bisa dipungkiri jumlah anggotanya. Kita bangun hirarki yang baru, kerajaan yang baru. Bayangkan potensinya. Bagaimana menurutmu?”

Simon mengulurkan tangan pada Rao dengan senyum yang menampakkan barisan gigi rapi.

“Hahahahaha! Edyaaaan! Jadi itu yang ada di pikiran sampeyan, Dab?” Rao menatap sang komandan Sonoz. “Mimpi yang indah, bahkan mungkin terlalu indah. Menggabungkan dua geng kampus? Bisa saja. Tapi ada beberapa hal yang membuat aku risih. Aku punya satu pertanyaan krusial yang perlu sampeyan jawab, Simon.”

“Apa itu?”

“Kerajaan baru yang sampeyan sebut-sebut itu…”

“Ya?”

“Siapa yang akan menjadi rajanya? Karena aku tidak ingin menjadi anak buah siapapun. Aku ya aku dan aku hanya mau menjadi diriku sendiri.”

Simon tertegun sesaat dan menatap tajam mata Rao. Tangan yang tadi diulurkan oleh Simon pun ditarik kembali. Kedua laki-laki yang dipercaya menjadi pemimpin oleh dua kelompok geng kampus itu pun kembali saling bertatapan, saling menakar kemampuan.

Kedua orang ini sebenarnya mirip, sama-sama punya visi, sama-sama muda, sama-sama tahu apa yang diinginkan, dan sama-sama tahu apa yang terbaik untuk anak buahnya. Kebetulan sekali keduanya juga sama-sama memiliki kemampuan yang hebat.

Tapi siapa sebenarnya yang lebih baik?

“Rao… Rao… Rao… apakah kamu mau mencoba menjadi pemuncak gunung menjulang?” tanya Simon sambil tersenyum sinis..

“Ga wesmaturnuwun tapi mending ora. Aku tidak perlu menjadi pemuncak apapun.” Balas Rao dengan senyum lebar sekilas. Sekilas – karena tak lama kemudian senyum itu berubah menjadi sebuah seringai yang menakutkan – ciri khas sang Hyena Gila. “Kami tidak perlu bergabung dengan siapapun untuk menunjukkan kekuatan kami, Dab. Apalagi hanya sekedar Sonoz. Sebentar lagi gunung menjulang yang dibanggakan itu akan rata dengan tanah dan masalah yang terlalu lama berlarut-larut ini akan usai.”

Simon tersenyum sinis. “Kita lihat saja! Sayang kalian tidak akan bisa pulang dari sini hidup-hidup, Kandang Walet akan jadi Kandang Kelelawar karena sepi tanpa penghuni!”

Tangan dikepalkan. Dua pria berhadapan.

Teriakan penonton menggema kembali.

Inilah saatnya.

Kinan Larasati

“Daaah Dewi. Daaah Via.”

Kinan melambaikan tangannya saat kedua temannya berboncengan pulang setelah mengajar anak-anak. Si cantik berhijab itu membasuh peluh di dahinya. Uff. Akhirnya selesai juga hari ini, dia harus mengajar beberapa kali karena Nuke lagi-lagi tidak datang. Untunglah anak-anak bersikap kooperatif dan tidak bermasalah selama dia menggantikan kawan karibnya.

Kinan membenahi posisi tas ransel yang ia gunakan dan si cantik itu berjalan pelan menuju tempat parkir motor. Sejak tadi ada yang mengganggu pikirannya – percakapannya dengan Dewi dan Via.

Apa yang tadi dia sampaikan ke Dewi dan Via memang benar-benar jujur, kan? Dia bertukar nomor dengan Nanto awalnya hanya untuk sekedar berkenalan saja. Tapi… nah ada tapinya… sampai saat ini entah kenapa dia masih takut-takut untuk mengundang Nanto datang ke sini padahal dalam hati ia sangat menantikan saat itu tiba.

Padahal takut apa coba? Takut terlalu berharap? Hahaha. Nggak lah. Harapan apaan. Kan hanya sekedar mengundang orang untuk menyaksikan kegiatan bermanfaat bagi anak jalanan. Yang kayak itu salahnya di mana?

Ya sudah. Coba ah. Iseng-iseng berhadiah. Siapa tahu? Mungkin dia bersedia datang dan membantu?

Kinan menarik ponsel dari dalam tas, lalu mengetik pesan singkat ke nomor WhatsApp si bengal.

Hai. Lagi apa nih? Masih ingat sama aku kan? Yang ketemu hujan-hujan dan makan di warung burjo tempo hari? Maaf mengganggu waktu kamu ya. Cuma mau ngasih penawaran kalau-kalau kamu mau datang dan menonton kami dari K3S mengajar anak-anak jalanan besok lusa. Siapa tahu kamu tertarik. Makasih sebelumnya ya. Kalau bisa datang kabarin, kalau tidak bisa datang, kabarin juga. Biar tambah semangat, habis ngajar aku traktir deh, di deket sini ada soto yang ueaaaak pisan. Harus dicoba, sangat recommended. Hihihi. Empat kali empat enam belas, sempat tidak sempat harap dibalas.

Huff. Kinan menarik napas panjang dan menghembuskannya keluar dengan perlahan setelah menekan tombol send. Heh! Ngapain kamu deg-degan begini? Kamu kan cuma ngirimin pesan biasa saja. Kamu kan sudah sering melakukannya! Apa bedanya? Si cantik itu memejamkan mata sejenak sembari meletakkan ponsel di dada. Huff. Rasanya memang ada yang berbeda dari si bengal, meski Kinan tidak bisa menjelaskan apa yang berbeda.

“Hai.”

E copot copot! Kocheng oren makan potlot!

Kinan tersentak kaget.

Angga tertawa sembari minta maaf pada sang dara cantik yang terkejut, “Aduh. Maaf. Aku bikin kamu kaget ya? Hahaha… sori ya… sori banget…”

“Hahaha, gapapa, Kak. Aku yang minta maaf ga fokus barusan. Kok masih di sini? Kirain Kak Angga udah pulang duluan sedari tadi.” Kata Kinan sembari menebar senyum yang membuat dada Angga bagai disengat ribuan lebah.

“Eh.. eum… belum, Kinan.” Angga berjalan membarengi Kinan menuju tempat parkir, sesungguhnya ia memang sengaja menunggu sang dara jelita ini berjalan ke tempat parkir. “Oh iya… rumah kita kan searah, gimana kalau berangkat ke sini kita bareng aja? Aku bisa jemput dan antar pulang kamu.”

Wajah Kinan memerah. “Hmm… iya, Kak. Emang searah sih… tapi aku sering jalan-jalan dulu sepulang dari sini, ga langsung pulang. Jadi kayaknya ga bisa bareng deh.”

“Oh gitu ya.” ada nada kecewa di suara Angga, tapi senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. “Emm… Kinan… aku boleh tanya ga?”

Tangan Kinan erat mencengkeram ponselnya, meski ia jalan di sebelah Angga, entah kenapa pikirannya justru terbang jauh ke beberapa saat yang lalu saat hujan turun di suatu ketika. Gara-gara bengong pertanyaan dari Angga tidak masuk ke kepala Kinan yang indah.

“Kinan?”

E copot copotKocheng oren makan Gundam! Lho kok ga nyambung ya?

Kembali Kinan tersentak karena kaget, buru-buru si cantik itu memasukkan ponsel ke dalam tas. Bisa gawat kalau begini terus, kenapa sih pikirannya jadi kacau balau? Fokus, Kinan. Fokus. Kenapa sih kamu!?

“Eh iya Kak. Duh maaf maaf… lagi-lagi melamun nih, Kak. Ga tau kenapa.”

“Hahahaha… kayaknya akhir-akhir kamu sering banget ngelamun deh.”

“Iya nih, Kak.”

“Emang ada yang dipikirin?”

Wajah Kinan memerah, “Ga ada kok, Kak. Cuma keinget Nuke. Belum ada kabar.”

“Oh iya. Kenapa ya dia, tumben beberapa hari ini tidak ada kabar sama sekali.”

“Iya…”

“Ehmm… Kinan… aku mau nanya sesuatu boleh?”

“Apa tuh, Kak?”

“Ibu aku kan sebentar lagi ulang tahun. Kira-kira sepulang ngajar besok lusa Kinan bisa nemenin aku cari kado dan kue tart ga ya? Aku bingung nih. Enaknya dibeliin kado apa ya.”

Kinan terbelalak. “Hah? Lu… lusa? Eh… ehmm… anu…”

Hmm… Lusa?

Hanna Dwi Bestari

Hanna menyeruput Caramel Macchiato-nya dengan santai, matanya tertuju pada deretan kata yang baru saja ia ketik. Ah… tidak mudah memang membuat cerpen, kadang ia merasa ragu dengan barisan kata yang sudah dia pilih. Harus dibaca lagi dari awal, ketik yang dirasa rancu, lalu baca ulang lagi, ubah lagi, baca lagi, ubah lagi.

Tapi dasarnya hobi, Hanna tetap menyukai proses editing karyanya. Memang sih, selama ini dia tidak pernah mengirimkan karya-karyanya kemanapun. Dipikir sendiri, diketik sendiri, dibaca sendiri. Kalaupun ada yang membaca, itu hanya deretan beberapa teman terpilih yang juga suka membuat cerpen. Habis dibaca temennya? Malu sendiri.

Si cantik itu melirik ke arah ponselnya yang berbaring manis selama hampir dua jam ini tanpa tersentuh, diketuknya layar ponsel untuk memeriksa seandainya ada pesan singkat yang masuk. Ia mencibir saat memeriksa pesan-pesan yang tidak penting.

Kemana ya Glen?

Sudah beberapa hari ini tiba-tiba saja Glen menghilang, tidak ada kabar tidak ada berita. Dihubungi pun susahnya minta ampun. Hanna mendesah. Sebenarnya dia punya kekasih ga sih? Tapi ya sudahlah, toh biasanya tiba-tiba saja Glen akan muncul makbedunduk sembari membawa berita dan alasan menghilang yang tidak Hanna minta.

Si cantik itu justru teringat dengan seseorang yang membuatnya penasaran. Hanna terkekeh sambil mengetik pesan singkat ke sebuah nomor WhatsApp.

Hei anak bandel. Aku kangen nasi empal Warung Mbah Wig nih. Gimana kalau besok lusa aku traktir kamu makan bareng di sana? Kabarin secepatnya kalau mau ya.”

Hanna meletakkan ponselnya kembali dengan hati berdegup kencang, bibirnya tersenyum lebar. Sekarang tinggal menunggu jawaban dari Nanto. Hmm… kenapa tiba-tiba dia jadi deg-degan sih? Kan cuma nunggu jawaban WhatsApp doang? Konyol ah!

Ding!

Eh? Udah dibales? Cepatnyaaa.

Dengan hati berbunga Hanna membuka lockscreen ponselnya.

Lho? Bukan Nanto?

Hanna memeriksa pesan singkat dari nomor asing itu.

Hai kakak cantik. Perkenalkan aku Edo, ini ada kiriman kado spesial dari Abang Glen yang dibeli di toko kami. Kapan bisa kami antar ke kakak cantik? Karena barangnya teramat spesial, harus kami antar langsung ke tangan kakak cantik, tidak bisa dikirim lewat kurir atau ojek online.

Kado dari Glen? Dalam rangka apa ya? Tumben banget ngasih-ngasih ginian.

Apakah mungkin kami antar besok lusa?

Hmm… Lusa?

.::..::..::..::.

“Sengkuni. Sampeyan ngerti to siapa itu Sengkuni?”

Joko Gunar duduk di kursi kesayangannya, sebuah kursi rotan dengan bantalan kapuk empuk yang ada di pendopo rumahnya. Dari tempatnya duduk, ia bisa menikmati halaman rumah yang luas dan asri dengan pepohonan rindang menghijau. Halaman seluas ini tentunya merupakan sebuah pemandangan yang langka di pemukiman yang berada di kawasan padat penduduk di tengah kota.

Rumah jawa apik yang kini ditempati oleh Gunar didapatkan dari orang sepuh yang dulunya abdi dalem berjabatan tinggi. Rumah ini merupakan rumah joglo tua yang direnovasi agar bertahan di masa modern. Di masa jaya sang abdi dalem dulu tidak semua orang mampu membangun rumah seperti ini, jadi kepemilikan rumah menjadi lambang kesejahteraan. Hanya orang-orang kaya yang bisa membangun rumah lengkap dengan pendopoperinggitan, dan senthong.

Di halaman rumah Gunar, ayam kate berkeliaran dengan bebas – ayam jago mengejar babon-babon yang menjerit genit manja, burung-burung berwarna cantik berkicauan berlompatan di sangkar-sangkar yang digantung seakan menikmati indahnya hari, dan ikan-ikan koi berenang berkecipak berkejaran di sebuah kolam ikan besar yang mengitari pendopo.

“Sengkuni itu meski cerdas tapi orangnya menggunakan kepintarannya dengan cara yang licik, dia pintar menghasut, pintar mengatur strategi, pintar mengatur siasat. Persis kayak sampeyanLek.” Lanjut Gunar. Rokok klobot tjap GG tidak pernah meninggalkan bibirnya yang telah menghitam karena kebanyakan ngebul.

Tubuh besar dan kekar Joko Gunar sama sekali tidak menampakkan usianya yang jauh lebih muda dari kelihatannya. Pimpinan preman ini berwajah seram dan terlihat tua meski hidup nyaman, mungkin karena kenyamanannya didapatkan dengan cara yang tidak halal.

Preman paling ditakuti di kawasan Pasargede dan sekitarnya itu tampil menyeramkan dengan kumis sangar, mata nyalang, dan rambut gondrong sebahu. Tidak hanya itu saja, Gunar memiliki ciri khas lain yaitu kegemarannya mengenakan baju lurik serta terkadang memakai juga iket kepala atau udeng.

Di depan Gunar saat ini duduk salah seorang pria yang tidak tergabung dengan kelompok manapun, meski begitu dia teramat sering bertukar pikiran dengan Gunar. Pria itu bertubuh kurus, berjenggot panjang, memiliki pelupuk mata tebal yang membuat matanya seakan-akan selalu terlihat mengantuk, kulit kecoklatan terbakar matahari, dan rambut yang dipotong rapi yang mulai menampakkan uban. Orang ini bernama Harya Suman, biasanya dipanggil Lek Suman. Dia sudah pasti berumur tapi entah berapa usianya tidak ada yang tahu kecuali mungkin Dukcapil. Suman adalah seorang oportunis yang dikenal oleh hampir sebagian besar petinggi kelompok geng kota.

Lek Suman memiliki suara tertawa ngekek yang khas. “Kekekekke… kok Sengkuni pripun to Dek Gunar itu. Bagaimana bisa menyamakan saya dengan tokoh pewayangan. Saya ini semata-mata bertindak kan ya cuma demi memberikan keuntungan buat Dek Gunar toh.”

“Keuntungan gimana, Lek? Ini kan bejan-bejan.” Hembusan asap tebal keluar dari mulut Gunar. “Lek Suman pasti mendekati siapapun yang mengambil keuntungan dari runtuhnya Patnem. Iya, kan?”

“Lho lho lho… kekekeke… yo nuduhnya ndak gitu-begitu amat to, Dek Gunar. Kekekek…” Lek Suman tertawa-tawa, jemarinya saling berkait. Tubuhnya yang bungkuk makin melengkung saat ia menunduk ke depan, menautkan sikunya di meja di depan Gunar. “tapi yo memang aku itu dasare agak-agak mangkel sama bocah-bocah Patnem yang sok-sok suci gitu. Jadi preman kok nanggung, preman kok apikan. Preman macam opo kuwi. Kan ga mutu yo, Dek Gunar. Yang kayak gitu yo ga pantes punya tempat di kota ini.”

“Hrmmph.” Gunar mencibir, tidak mengiyakan tidak juga menolak. “Ulatmu ki lho, Lek… nggegirisi. Terus kekarepane sampeyan niku pripun? Maunya Lek Suman itu benernya gimana? Ini keluargaku sudah memburu semua petinggi Patnem, mereka bakal habis dalam seminggu ini, kalau pimpinannya ambyar maka anak buahnya bubar. Karena kalau kami dari Pasargede sudah turun tangan, ga bakal ada yang selamat. Pantang pulang sebelum ganyang.”

“Muanteeeep, Dek Gun. Muanteeep. Kekekeke…”

“Celakanya, sudah keburu bubarin Patnem, jebul salah sasaran. Sama sekali ga ngiro kalau ternyata semua ini ulah Patnem versi KW yang jadi binaanmu, Lek.”

“Kekekkeke… lha iyo itu makanya saya langsung buru-buru nyempatke sowan, untungnya rumah saya deket dari sini. Jadi saya itu datang setelah dengar kabar kalau Dek Gunar ngasih titah mbungkus Patnem saklawase. Wih, itu kan berita gede. Kaget tenan lho saya. Tenanan, beneran kaget saya ini. Tapi yo ndak apa-apa, Dek. Malahane. Memang itu tujuan saya mengatur semua ini. Kalau dibiarin terus Patnem kan bisa mbalelo.” Lek Suman menebar senyum liciknya, giginya sudah tidak utuh dan ada yang digantikan emas. “Tato papat sama enem kan gampang banget ditiru. Tinggal hasut bocah-bocah yang baru lulus atau yang pengangguran, kasih mereka tato 46, kasih mereka duit, kasih mereka motivasi dikit buat klitih, jadilah kelompok Patnem KW. Kekekek… lambat laun akan ada geng kota yang pasti risih dengan ulah klitih mereka – tapi karena semua mengira ulah ini dilakukan oleh Patnem, ya yang dibasmi justru Patnem asli, mantep kan? Wes kebetulan sisan, kelompoknya Dek Gunar yang menangani. Pucuk dicinta ulam pun tiba.”

“Hrmphh… ckckckck, jadi kalau bukan keluargaku, pasti akan ada kelompok lain yang turun tangan – dan sampeyan juga bakal ndeketin mereka gitu toh maksudnya? Dasar wong licik. Rencana jangka panjang sampeyan memang nggegirisi. Oalah Sengkuni… Sengkuni. Terus sekarang maunya apa?”

“Wilayah utara bakal jadi rebutan dengan dibasminya Patnem. Bakal ada goro-goro, bakal ada perang perebutan wilayah. QZK sudah dipastikan ga akan turun karena apapun kegiatan mereka sedang diawasi polisi.” Senyum Harya Suman melebar, bicaranya lirih tapi pasti. “Saya juga sudah bikin kisruh bocah-bocah kampus area utara yang otomatis membuat mereka tidak mampu menggantikan Patnem sementara waktu – utamanya bocah-bocah UAL dan Unzakha yang sudah sejak lama berseteru. Ini kesempatan emas lho, Dek Gunar. Wilayah Kalipenyu dan sekitarnya yang tadinya disedot Patnem bisa digantikan oleh PSG. Daerah ijo royo-royo lho niku. Lumayan buat pemasukan. Bahkan kalau kisruh antar kampus di ringroad utara sampai berkelanjutan – kesempatan PSG buat ambil alih juga semua area itu dengan memanfaatkan kondisi. Lak manyus to.”

“Hrmphh… isoooo wae sampeyan ini, Lek. Karena sampeyan sudah punya pasukan di sana, sampeyan pengen langsung nancepin bendera dengan pasukan sampeyan – tapi butuh dukungan dari kelompok gede, gitu?”

Leres. Bener sekali. Kita bisa klitih, bisa ambil lahan parkir, bisa malak, bisa naikin pajek sebebasnya, bisa apa saja. Hasil keuntungan sampeyan 60, kulo 40 persen. Gimana? Lak sedep toh? Gimana ga sedep kalau Dek Gunar dapet 60%? Kekekeke…”

Asap Gunar kembali membumbung tinggi. Daerah utara belum pernah ia jamah sama sekali, kalau mengandalkan kemampuan keluarganya bukannya tidak mampu, tapi jelas itu bakal makan waktu. Sebelum ini memang QZK yang berkuasa di kawasan utara, namun akhir-akhir ini mereka diredam oleh polisi akibat tawur massal dengan JXG beberapa tahun lalu. Yang dibutuhkan adalah kesempatan tercepat untuk mengambil untung. Lek Suman bukan ancaman. Dia pasti bisa menyingkirkan bocah-bocahnya Lek Suman jika memang harus dilakukan kelak.

“70-30. Nek ora gelem, kalau Lek Suman ndak mau – saya yang bakal urus sendiri Kalipenyu. Penawaran pertama dan terakhir, diambil atau tidak? Kelompok baru sampeyan bakal dapat perlindungan langsung dari keluarga PSG.”

Harya Suman mundur sedikit, mengernyit. Wajah tirusnya berpikir keras. “We lah, kok diundhakke? Kok dinaikin to, Dek Gunar.”

“70-30, bocah-bocah sampeyan bebas berkeliaran cari untung dari mana saja, tapi keluargaku juga bakal keliling. Kalau butuh apa-apa keluargaku bakal bentengin bocah-bocah sampeyan. Wes, gimana?”

Sang Sengkuni mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya.

Senyumnya mengembang.

Wilayah utara akan menjadi sedikit lebih ramai setelah ini.

.::..::..::..::.

Kompleks pertokoan Casaguava masih menjadi medan perang.

Arena tercipta dengan cepat. Lima lawan dua puluh lebih. Di satu sisi Nanto dan keempat sahabatnya, di sisi lain kawanan preman kota yang tergabung dalam kelompok begundal Pasargede atau sering disingkat dengan nama geng PSG yang kali ini dikomando oleh seorang pria kurus berkumis kotak mirip komedian Charlie Chaplin.

Nanto dan kawan-kawan tidak perlu menunggu waktu terlalu lama untuk tawur, mereka berlari menerjang sembari berteriak kencang.

Roy yang berkaki angin bagaikan terbang menapak awan mendahului keempat teman yang lain. Salah satu kelebihan Roy memang pada kecepatan dan kemampuannya memainkan kedua kaki. Tubuhnya ringan bagaikan bulu yang diterbangkan angin sepoi-sepoi. Entah bagaimana caranya dia bisa bergerak begitu cepat dan mampu melompat dengan ringan. Terbang tinggi dengan kencang dan menyerang bagai elang – layak dijuluki si pengendara angin!

“Heeeaaaaahhhh!!”

Bledaakkghh! Bledaakkghh! Bledaakkghh! Bledaakkghh!

Kaki Roy bergerak laksana kilat menyambar dua anggota PSG yang tak bereaksi dan tak mampu mengimbangi kecepatan Roy dengan beberapa kali tendangan kencang ke arah kepala mereka masing-masing! Keduanya pun langsung tersungkur tak berdaya!

Usai meng-KO dua orang lawan, si pengendara angin menjejak tanah dengan ringan dengan satu kaki terangkat sampai ke dada, siap menyambar siapapun yang mendekat. Orang-orang PSG menatap geram, tapi mereka tak sempat bereaksi cepat karena serangan berikutnya sudah hadir menyapa!

Buuuggh! Buuuggh! Buuuggh!

Lengan besar Hageng bergerak bak traktor menggilas dan menghempaskan lawan satu persatu! Sang raksasa berambut afro itu memanfaatkan kekagetan lawan dan merobohkan tiga orang sekaligus dalam sekali terjang dengan gerakan clothesline – lengan merentang panjang sambil berlari kencang untuk menyambar leher dan dada lawan.

Tapi serangan itu tidak sempurna! Ada satu orang yang sempat menghindar dari serangan Hageng yang lantas berteriak kencang sembari mengirim pukulan kencang ke arah sang raksasa!

“Hraaaaaaaaaa!!! H… nngghhhhkkk!!”

Teriakannya dibungkam oleh telapak tangan raksasa Hageng yang mencengkeram lehernya, tangan raksasa itu pula yang kemudian mengangkat tubuhnya dengan tangan kedua menekan punggung. Sang preman berambut pelangi mencengkeram pergelangan tangan Hageng, mati-matian mencoba melepaskan kuncian di leher. Namun sia-sia! Tubuhnya sudah terangkat terlalu tinggi dan…

Boom!

Luluh lantak dihentakkan ke bumi!! Chokeslam!

Korban serangan Hageng hanya dapat mengejang kesakitan karena seluruh tulangnya bagaikan remuk dibanting teramat kencang. Sang monster T-Rex tersenyum lebar sambil membentuk V dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Heheh. Banzai.”

Di sudut lain Bian memang sudah kepayahan, tapi bukan berarti dia akan menyerah begitu saja. Ketika ada satu orang berlari hendak memukulnya dengan pukulan uppercut dari bawah, Bian masih gesit mengelak dengan bergeser ke samping dan melepaskan empat pukulan beruntun telak ke dada sang lawan.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Lawan Bian mundur beberapa langkah saking terkaget-kaget dengan dada sesak – sama sekali ia tak mengira Bian yang sudah hampir mati itu masih bisa mengirimkan pukulan yang menyengat. Wajahnya pucat pasi sebelum kemudian mengejang tanpa kata. Sakit luar biasa terasa di dada, dia bahkan tak bisa bergerak karena terpaku di tempat.

“Kamu sial berhadapan denganku.” Kata Bian sambil berjalan tertatih, “anak-anak Patnem sering memanggilku Bian Si Raja Godam. Alasannya ini…” Bian mengangkat kedua kepalannya di depan wajah ala teknik Boxing. “Mimi lan mintuno.”

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Tiga pukulan jab beruntun dari tangan kanan dan kiri Bian mendarat telak tanpa bisa dielak. Sesuai dengan julukannya, lawan Bian merasa kepalanya sedang dihajar oleh sebuah palu godam. Ia oleng. Bian masing belum berhenti, ia melontarkan satu pukulan swing kencang!

Bletaaaakghh!

Selesai. Sang lawan ambruk menelungkup dengan kesadaran lenyap. Pingsan!

Beralih ke sudut lain. Melihat ketiga kawannya berhasil melumpuhkan lawan-lawan mereka, Deka tak mau kalah tentunya. Pemuda itu berhadapan dengan tiga orang sekaligus yang mengepung. Tangan Deka bergerak tanpa henti – telapaknya berputar dan memperkirakan posisi, kakinya juga berputar dengan kuda-kuda yang kukuh. Kepalanya menunduk dan siaga, tidak sekejap pun ia melepas perhatian dari keadaan sekitar. Gerakan Deka bukanlah gerakan yang menghentak patah-patah, gerakannya justru sangat lembut dan mengalir bak air, pelan tapi pasti.

Gerakan Deka yang seperti menari membuat pengepungnya saling bertatapan. Apa-apaan ini? TaichiPencak? Bodooooh! Pikir salah seorang pengepung Deka. Memangnya teknik seperti itu bakalan ampuh dipakai di pertempuran jalanan? Ia pun melompat sekuat tenaga dan mengirimkan tendangan ke arah kepala Deka! Ajur ndasmu, suuuuu!!!

Deka tentu sudah bersiap.

Pemuda yang sering dipanggil gondes oleh keempat kawannya itu bergeser lembut, menghindari serangan ke kepalanya dengan beringsut ke samping. Tubuhnya lantas berputar dengan ringan, seperti tanpa mengeluarkan usaha berlebih. Sejenak kemudian kakinya diangkat, ikut diputar – namun kali ini tidak lagi lembut, gerakannya berubah menjadi sangat sangat kencang.

Tumit Deka menyambar pelipis lawan.

Bletaaakghhhh!

Si penyerang terlempar ke samping dan jatuh berdebam terguling-guling beberapa kali tanpa sanggup berdiri. Ia tak pernah tahu apa yang baru saja menyambarnya.

Kedua kawannya saling bertatapan dengan geram. Mereka tidak terima! Keduanya maju bersamaan!

Serangan ganda begini tidak bisa dihadapi bersamaan! Melecutkan tubuh sendiri ke bawah, Deka menyerang lawan yang kanan dengan sepakan cepat dengan mengincar mata kaki.

Jbbgghh!

“Wadddooooooh!!”

Berhasil! Orang kedua rubuh!

Harus dipastikan ia tidak akan dapat bangkit! Deka melejit ke atas dengan satu lompatan, lalu bak tombak yang tajam ia mendaratkan kedua kakinya di dada lawan yang sudah terjatuh! Diving double foot stomp! Jejakan kaki ganda!!

“Hngggghhh!!”

Orang itu hanya sanggup menahan sakit luar biasa, menggemeretakkan gigi, dan melotot saat dadanya diinjak oleh Deka. Dia bahkan tak sempat mengeluarkan suara untuk berteriak, hanya bisa berguling pelan dengan dada nyeri seperti dilindas mesin penggilas aspal.

Melihat kedua kawannya kesakitan, lawan ketiga Deka menatapnya dengan pandangan yang berbeda – antara marah, ngeri, tapi juga penasaran. Jika sebelumnya ia meremehkan, kali ini dia memutuskan untuk bergerak maju dan melabraknya dari belakang sebelum si bedebah satu ini sadar!

Bkkgghh! Bkkgghh! Bkkgghh!

Kanan! Kiri! Kanan!

Mampuuuuus!!!

Tiga pukulan beruntun masuk menyambar kepala Deka!!

Saat menarik tangan, si penyerang sadar, ketiga pukulannya memang masuk – tapi tidak ada artinya untuk Deka. Si gondes menoleh sambil tersenyum sinis. “Seribu kali pun pukulanmu masuk, tidak akan mampu merobohkan bentengku. Skak mat.

Bletaaaakghhhhh!!

Lagi-lagi Deka memutar pinggangnya sembilan puluh derajat untuk melontarkan tendangan andalan. Satu sambaran tumit dengan tendangan berputar yang teramat cepat tidak dapat dihindari oleh lawan Deka. Pria itu sempat oleng beberapa langkah sebelum akhirnya ambruk tak sadarkan diri.

Bkkgghh! Bkkgghh!

Tanpa diduga-duga, dua pukulan telak masuk ke pipi kiri Deka, si gondes pun terhuyung ke samping. Seorang anggota PSG yang entah darimana datangnya langsung menerjang kawan Nanto itu tanpa babibu dan menjadi lawan keempatnya. Wajah si penyerang langsung senang karena kedua pukulannya berhasil membuat sang lawan goyang. Wajahnya berubah menciut karena Deka tak menunjukkan wajah kesakitan.

Sekali lagi Deka membuktikan pertahanannya yang luar biasa. Kedua pukulan itu tidak berarti bagai menerjang tembok besi. Orang itu pun terbata-bata dan mundur langkah demi langkah dengan terkejut. Ba… bagaimana mungkin Deka dapat bertahan dari pukulan telaknya?

Pertahanan Deka yang luar biasa itu adalah kemampuan yang diturunkan oleh almarhum engkong-nya yang konon pernah belajar dari seorang jawara dari tanah Tiongkok – jenis pertahanan apakah itu? Sebuah cerita untuk lain kali. Digembleng sejak kecil, Deka dan kakaknya Amar Barok menguasai teknik pertahanan yang teramat prima. Tidak sembarang lawan bisa menembus pertahanan mereka.

Wasssuuuuuu. Kamu pikir serangan remeh begitu bisa menembus bentengku, Nyuk?” Deka terkekeh sambil meringis keji.

Sang lawan yang tidak tahu-menahu dengan kemampuan Deka jelas mengumpat. Bangsat! Apa iya orang ini tidak bisa digebuk dengan normal? Bajingan! Dia harus mencari cara untuk bisa menghantam dengan lebih keras lagi. Entah bagaimana caranya dia harus bisa merobohkan Deka!

Lawan Deka melirik ke kanan, kebetulan! Dia melihat sebuah pipa besi! Buru-buru ia mengambil barang yang tergeletak tak jauh darinya itu. Dengan panjang sekitar satu meter, pipa itu bisa menjadi senjata yang mematikan di tangannya. Lawan Deka pun memegang pipa besi itu bak pedang, ia tersenyum karena merasa sudah menang. Sekuat apapun pertahanan si kunyuk satu ini, apa ya bisa menang lawan pipa besi? Yang ada bonyok!

Nek saiki piye? Majuo, su.” Kata lawan Deka dengan jumawa, Deka mengernyit sengit.

Ndes!”

Terdengar teriakan Roy dari kejauhan.

Kali ini Deka yang meringis, oh iya lupa! Dia kan bawa yang satu itu!

Untung saja tadi dia sudah bersiap sebelum berangkat ke sini, untung Hageng masih menyimpan satu barang kesayangan yang dulu pernah ia titipkan, untung tadi ia menitipkannya ke Roy, dan untung Roy mengeluarkannya sekarang. Dia sudah hampir memintanya ke Roy sewaktu kondisi sempat kritis tadi, saat itu Nanto tiba-tiba datang.

Roy mengambil sesuatu dari tas selempang yang ia bawa-bawa dan melemparkan sebuah barang bergemerincing ke arah Deka.

Lawan Deka terkesiap saat menatap pemuda itu tak lama kemudian sudah memegang doublestick berbilah besi silinder di tangan kanannya. Deka memutar nunchaku-nya dengan santai, putar di kanan, ambil dari kiri, putar dari kiri, ambil kanan. Berputar di sekitaran lengan bak roda yang teramat cepat. Sang lawan tidak mungkin bisa mengikuti gerakan tangan Deka yang berubah menjadi bayangan blur.

Jika Roy bisa dibilang paling mahir menggunakan kaki, Bian menggunakan kepalan, Hageng dengan gerakan wrestling serta grappling, maka Deka memiliki pertahanan super dan jago memainkan segala macam senjata – terutama ruyung atau nunchaku! Seharusnya tadi dia menggunakan senjata ini sewaktu melawan si kumis Jojon! Kok yo lali mau – kelupaan tadi.

Usai memutar-mutar doublestick-nya, Deka mengambil kuda-kuda dengan lengan merentang di samping badan. Masing-masing tangan memegang ujung bilah besi. Tubuh depan diturunkan dengan siaga, mata fokus menatap sang lawan.

Lawan Deka berteriak kencang dan mulai merangsek ke depan sembari mengayunkan berulang pipa besinya. Kanan kiri, kiri kanan, berulang tak beraturan. Sepertinya dia hanya acak saja mengayunkan pipa. Asal ayun, asal sambar, yang penting kena. Tapi ya sayangnya tidak kena, wong ya cuma asal.

Berhubung asal, tiap kali pipa besi itu terayun, Deka bisa dengan mudah menghindar. Gerakan lawan sangat mudah terbaca bahkan tanpa perlu membaca telegraphic movement. Ruyung di tangan Deka bergerak cepat, dilepas untuk menghentak dan menghempas pipa besi yang menerjang. Suara denting terdengar nyaring kala benturan terjadi, besi bertemu besi. Pipa sang lawan bergetar keras ketika hantaman ruyung menjumpainya.

Deka tidak ingin berlama-lama hanya untuk menghadapi satu lawan saja, dengan dua kali hantam ruyung ke pipa besi yang dipegang lawan, Deka membuat musuhnya menegang dan kaget saat pipanya bergetar hebat. Saat itulah dia melingkarkan rantai ruyungnya ke pipa besi yang masih dipegang lawan. Ketika rantai sudah memutari besi, bilah dipegang erat dengan gerakan mengunci. Sang lawan terkejut melihat serangan Deka yang tiba-tiba. Tapi terlambat. Saat ia tak mampu menggerakkan pipa, Deka sudah menghentakkan tendangan keras ke arah dadanya!

Tendangan kencang yang bak sambaran petir itu melejitkan lawan hingga pegangannya pada pipa terlepas. Dia pun roboh setelah terlontar jauh, kepalanya menghantam paving block dengan keras – pusing bukan kepalang!

“Haiyaaaaaaaaaaagghhhh!!!”

Deka melompat tinggi dan mengayunkan ruyung ke arah kepala lawannya yang sudah terjatuh.

Duesssshhhhhhhhh!

Tersambar tepat di pucuk bilah. Tak sempat berteriak, lawan Deka sudah langsung pingsan dan kehilangan kesadaran seketika.

Deka mendengus, mengempit doublestick-nya di lengan, dan menepuk debu dari telapak tangannya sembari melewati empat tubuh yang ambruk tak berdaya di sekelilingnya. Empat sudah takluk. Mana yang lain? Pemuda itu pun berlari menerjang mengincar lawan lain sembari memutar nunchaku-nya bak kincir maut.

Satu-satunya yang kewalahan dari kelima sahabat mungkin adalah Bian yang memang kondisinya sudah terlalu lemah. Untuk berdiri saja dia harus berusaha sekuat tenaga – apalagi saat ini dia berhadapan dengan beberapa orang berangasan sekaligus.

Bugghkkkk!!

Satu pukulan masuk dan Bian terlempar dengan mudah, ia terkapar sekali lagi. Matanya sudah terlalu bengkak dan susah dibuka. Berpendar nanar seperti melihat bintang di langit kerlip engkau di sana. Para anggota PSG yang beringas menatapnya buas bagai menemukan target.

Tiga orang menyerang bersamaan dan menghujaninya dengan sepakan ke seluruh tubuh. Satu diantara ketiga orang itu yang bercat rambut perak bertindak paling brutal, ia berteriak kencang dan empat kali menendang perut Bian, ingin menghancurkan rusuknya.

Gek ndang modyaaaarooooo, suuuuuuuuuu!!!”

Bkkgggghhh! Bkkgggghhh! Bkkgggghhh! Bkkgggghhh!

Si rambut mohawk langsung tersedak-sedak. Dunianya perlahan-lahan mulai gelap, tangannya mencoba memegang kaki si rambut perak namun sudah terlalu lemah untuk digerakkan. Kedua teman rambut perak mengalihkan perhatian ke lawan lain karena Bian sudah tak berdaya dan menganggap teman mereka sanggup menyelesaikannya. Si rambut perak pun bersiap-siap menyepak kepala Bian sekuat tenaga. Kakinya terayun kencang!

Modyaaaaaa…”

Bggkkkkhhhhhhhh!!

“Gaaaaahhhhh!!”

Tiba-tiba saja perut sang penyerang tersodok hantaman teramat kencang yang seakan-akan tembus hingga ke punggung. Semua yang ia makan pagi ini bagai berbalik naik melalui mulut, membuatnya mau muntah. Ia terdorong tertatih ke belakang beberapa tapak. Kedua temannya yang tadi bersiap pergi kini membalikkan badan dan menatap ngeri apa yang mereka saksikan.

Si rambut perak baru saja terkena pukulan dahsyat.

Pemilik pukulan itu? Nanto.

Si bengal mengejar orang yang baru saja ia sodok perutnya dan menghujani tubuh bagian bawahnya dengan tendangan beruntun menggunakan kaki kanan dan kiri. Serangan diluncurkan ke paha kanan, paha kiri, paha kanan, perut kiri, perut kanan, paha kiri, paha kanan, perut kiri. Tanpa jeda, tanpa ampun, semua dengan tenaga penuh!

Bgkkkh!! Bgkkkh!! Bgkkkh!! Bgkkkh!! Bgkkkh!! Bgkkkh!! Bgkkkh!! Bgkkkh!!

“Hraaaaaaaaaaahh!”

Serangan Nanto tidak dapat dihindari dan dielakkan oleh si rambut perak. Rasa sakit di kakinya berdenyut hingga membuatnya kehilangan fokus, pertahanannya buyar. Kesempatan buat si bengal. Long hook kanan dan kirinya beraksi dengan kecepatan tinggi!

Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!!

Kepala si rambut perak terlontar ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri. Terus berulang tanpa henti, darahnya muncrat berulang dengan sakit tak terperi. Hidungnya seperti meledak, bibirnya bocor, kesadarannya mulai menghilang karena kepalanya terus menerus menjadi sasaran tinju yang diledakkan berulang-ulang kali.

Bola mata si rambut perak mulai bergulir naik meninggalkan bagian putih saja. Nanto meledakkan satu pukulan dari kiri sekali lagi.

Swoooooossshhh! Jbooooooogkkhhh!!

Si rambut perak jatuh terjerembab tak sadarkan diri.

Dua teman yang tadi sudah bersiap pergi dan membalikkan badan terkejut dengan mulut menganga melihat kondisi tidak seperti yang mereka harapkan. Keduanya saling berpandangan dan tak menunggu lama sebelum keduanya menyerang Nanto bersamaan. Satu dari kanan! Satu dari kiri!

Nanto melompat sembari mengirimkan tendangan ke penyerang kanan!!

Bdddddggghh!!

Penyerang dari kanan tak menyangka si bengal mampu melompat teramat tinggi, ia mencoba memasang lengan menyilang untuk melindungi wajah dan… gagal! Tendangan Nanto menyeruak masuk teramat kencang. Tubuh si penyerang terlempar jauh ke belakang.

Si bengal turun dan memutar badan, melontarkan tubuh ke samping untuk menghindari serangan dari penyerang kiri yang mencoba mendekati area pertahanannya. Berhasil! Tinju lawan hanya mengenai ruang kosong! Nanto pun melepaskan tinjunya ke arah dada lawan.

Kanan, kiri, tengah, tengah, tengah, tengah!

Bggkhh! Bggkkhh! Bggkhh! Bggkkhh! Bggkhh! Bggkkhh!

Masuk semua! Sang lawan mundur terhuyung sembari mengernyit kesakitan, pertahanannya buyar. Nanto tersenyum. Saatnya meledakkan peluru kendali!

Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!! Jboogkkhhh!!

Tanpa ampun si bengal melepaskan pukulan beruntun yang membuat kepala lawan terlontar ke kanan dan kiri tanpa henti, wajah sang lawan mulai tak berbentuk, darah muncrat kemana-mana. Saatnya diselesaikan! Satu uppercut yang cepat dan terarah tak akan dapat dihindari.

Bleddddddaaggghh!!

Kena dagunya!

Lawan Nanto terbang ke belakang, jatuh terjerembab, dan tumbang. Tak akan lagi sanggup berdiri dalam waktu lama.

Tapi belum selesai! Penyerang dari arah kanan kembali datang dan kali ini dia sudah bersiap! Dia tidak akan mau lagi terperosok ke dalam lubang yang sa…

Bdddddggghh!!

Tendangan Nanto lagi-lagi mengenai dadanya! Lawan si bengal mundur beberapa langkah karena kesakitan! Sesak sekali! Bangsat! Tubuhnya terhuyung, tangannya memegang dada yang terasa remuk.

Matanya menatap ngeri saat sekali lagi si bengal melompat!

“Hiyaaaaaaaaaaaa!!”

Bleddddddaaggghh!!

Tendangan kencang membongkar rahang sang lawan. Ia ambruk ke samping. Tak bisa lagi berdiri, ia berguling-guling kesakitan sembari memegangi rahang.

Nanto melirik ke kanan dan kiri, yang pertama sudah telentang tak berdaya, yang kedua berguling-guling kesakitan di tanah. Oke sudah beres. Mereka tidak perlu lagi ditakutkan.

Si bengal mendengus dan menggosok hidung dengan punggung tangannya.

Tiga orang cecunguk PSG sudah dibereskan Nanto. Si bengal pun menatap ke depan dengan santai sambil mencermati sisa pasukan PSG yang tersisa, tidak ada yang memiliki kemampuan istimewa, sahabat-sahabatnya bisa menangani mereka. Tangan si bengal diulurkan ke belakang – ke arah Bian. “Masih bisa berdiri?”

Cuh. Bian meludahkan darah kental di mulutnya, tubuhnya sudah sangat payah, sekujur badannya sakit, dan matanya bahkan sulit dibuka lebar. Tapi selama hayat masih di kandung badan, mana mau ia menyerah. Ia menyambut uluran tangan Nanto dan berdiri dengan tubuh limbung. “Masih.”

Nanto tersenyum tanpa memandang langsung ke arah si rambut mohawk, tapi si bengal menepuk pundak saudara kembar Roy itu. “Bagus, aku butuh kamu jagain motorku sementara aku hajar si kumis Chaplin. Kita harus selesaikan ini cepat sebelum bantuan mereka datang lagi. Motor itu punya Om-ku, kalau kenapa-kenapa aku yang bakal repot. Boleh kan minta tolong jagain?”

Bian menunduk dan terkekeh. “Boleh, Bos.”

Nanto melangkah ke depan dengan kepalan tergenggam.

“Bos.” Ucap Bian lirih sebelum Nanto benar-benar jauh.

“Ya?”

“Terima kasih.”

Nanto tersenyum, ia mengangguk sambil mengangkat jempolnya. Dengan tertatih-tatih, Bian pun melangkah menuju motor yang diparkirkan Nanto.

Sisa anggota PSG yang masih berdiri tidak terlalu banyak, Nanto yakin Roy, Deka, dan Hageng mampu menghadapi mereka. Saatnya ia berkonsentrasi untuk menghabisi pentolan mereka yang ada di sini, Si kumis Chaplin! Seandainya dia bisa dijatuhkan, maka mental yang lain pasti runtuh. Masalahnya Si Chaplin ini sepertinya bukan kaleng-kaleng.

Dua serangan datang saat Nanto berjalan melewati banyak orang menuju ke si kumis Chaplin.

Jbooogkkkhhhh! Bghhhhhhhhhhkkk!

Kaki kanan si bengal masuk untuk menghantam dada lawan yang datang dari sisi kiri sementara siku tangannya merombak tatanan wajah musuh yang datang dari kanan. Kedua lawan langsung jatuh tak berdaya.

Satu lagi datang dari depan!

Swooooosh!

Pukulan sang penyerang menemui angin saat si bengal beringsut dengan mudah.

Jbooogkkkhhhh!

Lontaran pukulan teramat kencang masuk mengenai wajah! Membuat si penyerang limbung! Nanto menarik bagian belakang kepala lawan dan menariknya turun dengan cepat!

Bledaaaaaaaghhhhkkkkk!

Wajah bertemu lutut dengan kencangnya. Darah pun berberaian. Si bengal melemparkan lawan yang sudah tidak berdaya itu ke samping.

Melihat Nanto mendatanginya, tentu saja Chaplin sudah tahu si bengal akan mengincarnya, ia pun berjalan santai mendekat ke arah Nanto. Keduanya berhadapan dan bertatapan mata. “Jadi kalau aku tidak salah menduga skenarionya, berdasarkan rancangan hebat kalian, kamu yang akan jadi malaikat penyelamat orang-orang ini ya, lur?”

Nanto menggeleng, “aku cuma kebetulan lewat saja.”

Chaplin terkekeh tapi kemudian terdiam, saat sejenak mengamati wajah Nanto ia merasa tidak asing dengan orang ini. “Pernah lihat di mana ya? Wajahmu sepertinya tidak asing.”

“Aku sering main film. Biasanya sama Chelsea Islan atau Tatjana Saphira. Film porno.”

“Bahahahaha. Jingan. pelawak Tae kocheng.” Chaplin melirik ke arah bangku kayu yang ditinggalkan tukang parkir yang sudah buru-buru kabur saat keributan bermula. Dengan santai salah satu petinggi PSG itu duduk di sana sementara di sekitarnya baku hantam masih terjadi. “Jadi kamu itu semacam pimpinan mereka atau bagaimana? Kamu orang Patnem?”

“Bukan. Seperti yang tadi aku bilang, aku cuma lewat saja. Kebetulan kami berlima pernah beli rujak eskrim di tempat yang sama, di dekat Puri Pasakdonya, rumah Wakil Gubernur. Sekali-kali kita bisa makan bersama kalau kamu sempat. Maknyus rujak eskrimnya.”

“Heheh, wasu. Logikamu jalan to, lur? Sekarang coba aku bertanya, kamu menjawab. Kenapa kamu menyelamatkan cecunguk Patnem seperti dia? Bukankah itu tindakan bodoh ya? Dia itu perampok yang meresahkan, musuh masyarakat, buronan polisi. Kami aja memburu dia karena Patnem melakukan perampokan di jalan yang korbannya adalah keluarga kami. Di mana letak kesalahan kami kalau mau mencari keadilan? Apa ya kami ini salah? Apakah kami tidak boleh balas dendam?”

“Aku tidak kenal kalian tapi aku kenal dia, dan dia yang aku tahu tidak akan melakukan hal pengecut semacam itu.”

“Heheheh. Terserah kamu lah itu. Aku bicara fakta saja. Tugas dari pimpinan kami juga sudah jelas, Patnem hancur jadi debu hari ini. Jadi kita sama-sama tahu kalau ini semua harus diselesaikan dengan kepalan.” Chaplin tersenyum lebar.

Nanto tersenyum, ia memandang sekeliling. Teman-temannya satu persatu mulai mengalahkan anggota PSG. Bagus, ini artinya dia bisa fokus.

“Aku tidak tahu namamu dan tidak berminat mencari tahu. Tapi aku suka sikapmu yang masa bodoh. Sikapmu yang seperti itu membuatku tidak perlu mengalah. Jujur tadinya aku takut bakal bikin sanak kadang kamu mewek, tapi sepertinya itu juga tidak perlu dikhawatirkan.” Ucap Nanto tenang sambil menekuk jari-jari tangannya, “Sejauh yang aku perhatikan kamu orang yang sangat percaya diri. Entah apakah itu karena kamu yakin dengan kemampuanmu atau karena ada pasukan lain akan segera datang. Apapun alasannya, aku janji, hari ini aku bakal menghapus senyum dari wajahmu yang kumisnya nggak banget itu.”

Chaplin menunduk sambil tertawa terbahak-bahak. “Ndaho banget! Menyenangkan! Ini baru seru! Hahahaa! Bagus! Aku juga tidak akan mengalah! Tapi sekali lagi aku ingatkan, di drama kali ini kamu tidak akan memerankan lakon utama, lur. Kali ini justru kamu antagonisnya, ingat kalau kami yang sedang melakukan balas dendam, bukan sebaliknya. Jadi aku tidak akan takut sama kamu. Paham ya? Wes! Kesuwen iki! Kita mulai saja!”

Nanto memejamkan mata dan tersenyum, ia menarik napas panjang. “Kalau itu yang kamu mau. Aku tidak akan…”

Belum sampai Nanto menyelesaikan kalimatnya, bangku kayu yang tadi diduduki oleh Si Chaplin sudah terlempar ke arahnya dengan kencang. Beruntung si bengal membuka mata tepat waktu! Wah edan! Meski kurus si Chaplin punya kekuatan yang luar biasa karena bangku itu jelas sangat berat! Nanto bergerak cepat menyabetkan kakinya ke arah kursi yang melayang dan menyingkirkannya ke samping. Kakinya bergetar mengejang kencang karena harus tiba-tiba menendang. Bangsat!

Braaggkkkhh!

Begitu kursi disingkirkan setelah disambar tendangan Nanto, si kumis Chaplin memulai serangan dengan melompat tinggi ke arah si bengal, serangan yang sama seperti ketika ia menyerang Hageng dan Deka tadi. Lutut si kumis Chaplin maju menerjang!

Bgkkhh!

Nanto menutup jalur serangan dengan punggung atas lengan kanannya. Tak ada kesempatan untuk membalas karena si kumis Chaplin langsung menyusul dengan satu pukulan kencang dari kanan!

Bgkkhh!

Kembali Nanto melindungi diri dengan tangan kanannya, kali ini dengan bagian bawah punggung lengan, dengan begini si bengal dapat melindungi wajah. Yang tidak ia duga adalah pukulan dari sang bedebah berkumis Jojon itu ternyata sangat sangat kencang! Tubuh Nanto terdesak ke bawah sampai-sampai dia terduduk bertongkat lutut.

Si kumis Chaplin mendarat dengan ringan dan mundur beberapa langkah dengan cepat untuk mengatur serangan berikutnya.

“Oho… jangan bilang kalau kamu sudah kepayahan hanya dengan dua pukulan saja.” Si Chaplin terkekeh. Kepalanya mendongak dan diayunkan ke atas, seakan mengundang Nanto untuk berdiri. “Bangun! Itu tadi cuma intro! Bagaimana kalau kita mulai serius?”

Nanto berdiri dengan tenang.

Si Chaplin terheran-heran dengan Nanto yang tidak memasang kuda-kuda dan hanya diam dengan santai. “Tidak mau menyerang duluan? Oke kalau begitu.” Ia pun menyeruduk ke depan dan mengirimkan rentetan pukulan.

Jab! Jab! Jab!

Dbbh! Dbbh! Dbbh!

Tiga serangan Chaplin ditangkis Nanto dengan mudah. Si bengal membalas dengan satu pukulan kencang untuk mengincar kepala. Mudah sekali dihindari oleh si Chaplin yang licin seperti belut! Lawan Nanto itu tersenyum jumawa, “begitu saja? Kena kamu sekarang!”

Bkkkgg!

Satu tendangan kencang mendarat di perut Nanto. Si bengal terhenyak kaget karena tersengat, ia mundur dua langkah ke belakang.

“Bahahahahah! Bagaimana rasanya?” Chaplin bertubi-tubi mengirimkan pukulan ke Nanto dengan terus saja nyerocos tanpa henti. “Bagaimana rasanya mulai menyadari kalau pertarungan ini tidak akan berakhir seperti yang kamu rencanakan? Kamu pikir ini bakal mudah? Kamu pikir kamu bakal menang cepat melawan aku? Ngeri kan begitu sadar kamu ternyata salah?!”

Bkkkgg! Bkkkgg! Bkkkgg! Bkkkgg! Bkkkgg! Bkkkgg!

Pukulan demi pukulan dilancarkan oleh Chaplin tanpa jeda, bagai serangan senapan mesin yang terus menerus mengincar lawan. Nanto hanya dapat bertahan dengan memasang pertahanan dengan menyilangkan kedua lengannya di depan wajah. Keningnya mulai berkerut karena ia tidak juga mendapatkan kesempatan menyerang. Ia akhirnya sadar kalau orang ini sengaja menampilkan kumis yang konyol agar orang meremehkannya, padahal ia memiliki kemampuan yang luar biasa.

“Kamu pikir hanya gara-gara aku punya kumis yang lucu, aku bakal jadi samsak tinju buat kamu? Aku perkenalkan bagaimana sejatinya pertarungan jalanan, lur! Jangan pernah memandang remeh lawan yang manapun!” Chaplin masih terus mengumbar kata-kata, serangan dan pukulannya masih terus dilancarkan. “Ayolah… katakan sesuatu! Jangan diam saja! Katakan apakah kamu kesulitan menghindari pukulanku? Hahahaha!”

Shhpp! Swooosh!

“Heh?”

Tiba-tiba saja pukulan Chaplin menemui ruang kosong, alur tinjunya dialihkan oleh gerakan ringan tangan Nanto. Tanpa ia sadari, kaki kanan si bengal sudah terangkat tinggi dan meluncur mengait pundak dengan kencangnya!

Bggkkkhh!

Chaplin jatuh terduduk dengan bahu terasa remuk terkena tendangan.

“A-apa!?”

Mata lawan Nanto itu terbelalak. Sejak kapan si bengal bisa meluncurkan serangan? Dia tidak mengendorkan serangan kan? Lalu bagaimana bisa…

“Kamu itu lagi bertarung atau jualan obat?” Nanto menatap mata Chaplin dengan tajam. “Kamu sendiri yang bilang jangan anggap remeh lawan! Makanya jangan nyerocos terus ga karuan. Tarung ya tarung aja. Ga usah kebanyakan bacot.”

“Heheh.” Chaplin meringis, “kamu pikir kamu bisa menang hanya gara-gara kebetulan berhasil memasukkan satu tendangan saja? Tidak ada kebetulan berikutnya!”

Nanto hanya diam sambil menatap lawannya tanpa sekalipun melepas pandangan, ia sudah benar-benar fokus. Keunggulan utama dari si belut ini adalah kemampuannya berkelit, ia juga cepat sekali meluncurkan tinju – tapi Nanto sudah pernah menghadapi yang jauh lebih jago dari ini.

Lawan Nanto bangkit dan meregangkan tangan. Bahunya terasa linu, ia meluruskannya dan mencoba melancarkan peredaran darah. Asem! Sakit juga tendangan bocah bedebah ini. Chaplin mencoba mengamati mata sang lawan. Sial. Bertahun-tahun mengabdi pada Gunar, baru kali ini Chaplin bertemu dengan orang yang membuatnya jeri. Oke, serius sekarang!

Swoooosh!

Sekali lompat, si kumis kotak sudah sampai di hadapan Nanto. Dengan cepat Chaplin mengirimkan jab kanan yang dikirimkan tanpa babibu. Cepat sekali! Tapi si bengal dapat menghindarinya dengan beringsut mundur. Si kumis Chaplin tidak berhenti, ia menandak maju dan mengirim satu lagi! Lalu satu lagi, satu lagi, satu lagi!

Swoooosh! Swoooosh! Swoooosh!

Jab kanan dan kiri silih berganti meluncur dari si Chaplin! Tapi tidak ada yang berhasil menemui sasaran karena Nanto dengan mudah bisa menghindar. Si belut akhirnya bertemu dengan belut!

Coba sekali lagi!

Swooosssh!! Bkgghhh!

Masuk! Kaki kanan Chaplin yang bergerak cepat melakukan tendangan kait ke bawah berhasil menyepak bagian belakang lutut Nanto! Mamp… heh!?

Meski tendangannya masuk, tapi si bengal masih tetap tegak berdiri, serangan itu gagal. Tak mau berhenti begitu saja, si kumis Chaplin merangsek ke depan – tubuhnya turun tepat di hadapan Nanto siap meluncurkan uppercut sembari mengucapkan kalimat lirih. “Mati kamu sekar…”

Bletaaaaakghhh!

Tangan kanan Nanto meluncur deras bak palu menghajar sisi kiri kepala si kumis Chaplin. Punggawa Pasargede itu terlontar ke bawah dan terjerembab.

Jan kakehan lambe, kowe ki, su.” Desis Nanto.

“Hah?” Chaplin terkaget-kaget dengan serangan itu. Ia pun berdiri lagi, kali ini dengan wajah penuh amarah. “Dasar baji…”

Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi tinjunya bergerak dengan cepat menyerang bertubi-tubi. Kanan, kiri, kanan, kiri, depan, atas, bawah. Siaaaaaal! Tidak ada yang berhasil mengenai si bengal. Gerakan tangan Nanto mampu menepis dan mengalihkan alur serangan Chaplin. Hujan tinju dan tendangan dilepaskan bergantian. Semua gagal menemui sasaran.

Saat Chaplin mulai mengendur, sekali lagi kepalan Nanto melaju kencang.

Bletaaaaakghhh!

Masuk! Justru si Chaplin yang terlempar ke belakang kini.

Si bengal memanfaatkan momentum. Ia menyusul ke depan mengejar posisi si kumis kotak, tangan kanannya ditarik ke belakang sepersekian detik lalu dilepaskan kembali dengan kekuatan penuh ke wajah si Chaplin! Deras menghunjam mulut dan hidungnya!

Jboooooooghhh!

Si kumis Chaplin kembali jatuh, kali ini dia terjerembab ke belakang dengan punggung terbentur paving block. Telentang menatap awan, napas lawan Nanto itu pun mulai tersengal-sengal. Darah akhirnya mengucur dari hidung, kepala puyeng, dan pandangan berkunang-kunang.

“Kenapa malah tiduran? Ayo bangun.” Kata Nanto.

“Bajingaaaaaaaaaaaaaan!!” maki Chaplin sembari berdiri dengan kesal. Pusingnya masih belum terkondisi, tubuhnya masih limbung, tapi kekesalan dalam hati melebihi rasa sakit yang ia rasakan. “Anjing kudisan macam kamu berani-beraninya menghinaku…!? Tidak ada lagi kata ma-…”

Swoooosssh!

Sekali lagi pukulan Chaplin tidak mencapai sasaran karena Nanto beringsut ke kiri dengan tenang. Tapi kali ini si bengal tidak lagi menunggu serangan, dia berniat mengakhiri pertarungan. Tangan kiri si bengal maju ke depan dan mencengkeram rambut si kumis Chaplin yang terkejut! Lawan Nanto itu tak dapat menggerakkan kepala! Tangan si kumis kotak mencoba membongkar cengkeraman jari Nanto di rambutnya.

“Sudah cukup.” Bisik Nanto.

Mata Chaplin terbalalak. Kepalan tangan kanan si bengal melaju kencang ke wajah Chaplin yang sudah terkunci tak dapat bergerak.

Jbooogkkkkkhhh! Jbooogkkkkkhhh! Jbooogkkkkkhhh! Jbooogkkkkkhhh! Jbooogkkkkkhhh! Jbooogkkkkkhhh! Jbooogkkkkkhhh!

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat. Lima. Enam. Tujuh.

Tujuh ledakan pukulan Nanto masuk tanpa halangan ke wajah lawan yang makin bengap, si Chaplin bahkan tidak sempat mengangkat tangan untuk melindungi wajah. Tubuhnya langsung lemas dan luruh. Nanto menarik tangan kanannya ke belakang sekali lagi dan ia meledakkannya dengan sekuat tenaga.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Boooooooom!

Wajah si kumis kotak terbongkar, hidung, mulut, dan bibirnya tak lagi berbentuk utuh. Tubuh si Chaplin terlempar ke belakang dengan rambut tercabut, darah terlontar dan gigi rontok terlepas. Tubuh lawan Nanto itu kembali jatuh terjerembab dan terguling. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Ia tak lagi dapat berucap, matanya terpejam, dan ia hanya sanggup mengerang.

Selesai sudah.

Melihat orang yang mereka anggap sebagai kapten tumbang, dua orang cecunguk PSG maju menerjang Nanto dengan kekuatan penuh. Tapi si bengal yang sudah siap justru maju menyambut.

“Hraaaaaaaaaaahhh!!”

Boooom!

Pukulan kencang Nanto beraksi, lawan terhenyak. Rahang lawan pertama bagai lepas, wajahnya panas dan tubuhnya terlempar. Napas seakan dicabut dari tubuhnya. Ia jatuh berdebam dengan tubuh kejang. Si bengal belum berhenti, ia memutar tubuh dan tendangan kaitnya beraksi.

Bletaaaakghhh!

Cecunguk kedua terlempar ke arah Roy yang langsung menyambutnya dengan tendangan berputar!

Bletaaaakghhh!!

Tiga gigi terlepas. Malang nasib cecunguk PSG itu yang terguling-guling dengan mulut berdarah-darah. Ia tak akan sanggup berdiri lagi dengan cepat.

Kali ini benar-benar selesai sudah.

Lima… hmm… Empat setengah berhasil menuntaskan dua puluh lebih.

Nanto, Roy, Deka, dan Hageng berdiri tegap di antara tubuh-tubuh bergelimpangan. Mereka pun berjalan pelan ke arah Bian yang menghisap rokok sambil duduk santai di jok motor Nanto. Si rambut mohawk mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Kelima orang sahabat itupun berkumpul kembali, meski tak ada banyak kata tapi senyum lebar sudah menggambarkan bahagia di wajah mereka.

Bahagia bisa bertemu kembali. Bahagia bisa menuntaskan pertarungan kali ini.

Hageng memeluk keempat temannya dengan senang dan berkaca-kaca. Rentangan tangannya yang besar menangkup mereka. “Zenang zekali! Zenang zekali berkumpul kembali! Ini baru zeru!”

“Hoi! Bauuuuuu!”

“Heeeerghh!”

“Waduh!”

“Sompret! Tae gajah! Aku remuk ini!” maki Bian yang tergencet.

Hageng pun melepas pelukannya dan tertawa bahagia.

Nanto mengepalkan tangan dan menghunjukkannya ke depan, kepalan tangan yang langsung disambut oleh empat kepalan lain. Fist bump.

“Saatnya kita cabut sebelum lebih banyak cecunguk PSG yang datang. Kita bawa Bian ke rumah sakit. Sebaiknya kita ke arah timur saja. Sebelum candi di perbatasan kota ada rumah sakit kecil di kiri jalan. Kita ke sana.” usul Nanto yang langsung di-iya-kan oleh keempat sahabatnya. Agak bahaya menempatkan Bian di rumah sakit umum di kota.

Kelima sahabat segera pergi dari lokasi itu, cecunguk-cecunguk PSG mencoba bangkit dan mengejar, tapi tubuh mereka sudah terlalu payah. Nanto dan kawan-kawan berhasil lolos. Salah satu anggota PSG buru-buru menghubungi mabes untuk mengirimkan kabar kalau ada satu orang petinggi Patnem berhasil kabur.

Angin semilir menghapus jejak-jejak motor kelima sahabat.

Lima jari terkepal
Melapis erat begitu kuat
Menjalin keras begitu hangat
Mematri dalam begitu cepat
Menghunjam tajam tanpa terucap

Tunggu kami
Hingga kalian menyesal
Lima jari terkepal

Bersambung

sex Sedarah dengan mama
Keperjakaanku Di Ambil Mama Ku Sendiri
pelajar sma
Menikmati memek gadis cantik berjilbab pelajar sma
tante cantik
Ngentot Dengan Calon Mempelai Yang Ganteng
jilbab bugil ngentot
Rintihan Kenikmatan Gadis Berjilbab
Foto toket gede pemandu lagu karaoke cantik
bulan madu
Cerita dewasa bulan madu yang membawa bencana
Cerita hot ngentot dengan anak bungsu ku sendiri
Foto Cewek Nakal Bugil Pamer Memek Mulus
di ajakin ngentot pembantu
Di ajakin ngentot pembantu waktu aku tidur di kamar
gadis cantik
Pengalaman masa muda yang tak akan pernah terlupakan bagian 1
ngentot teman
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 2
di pijat sex
Ngocok penis gede adik sepupu ku yang terangsang setelah memijit tubuhku
Foto bugil ayam kampus cewek kuliahan tubuh sexy
abg nakal
Wisata unik di jogja, mencoba three some dengan tiga gadis abg
Tante girang hot
Tubuh Mulus Tante Girang Bikin Aku Teggang
rintih kenikmatan
Rintihan Kenikmatan Sang Juwita Hati