Part #12 : KHAYALAN TINGKAT TINGGI

Sama sepertimu, aku juga menikmati buah-buahan terlarang dalam kehidupan.
– Mike Tyson

Bangun pagi seharusnya terus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Tapi Nanto yang sudah bangun saat matahari belum lagi bersinar malah sudah bersiap-siap dengan kaus santai, celana training, dan sneaker warna abu-abunya. Sambil bersiul-siul mendengarkan lagu The Godfather of Broken Heart dengan menggunakan earphone yang disematkan ke smartphone-nya, si bengal melakukan pemanasan sebentar di depan pintu gerbang rumah Om Darno.

“Jalan kemana, Le?”

Om Darno meregangkan badan sembari menguap lebar-lebar di teras rumah. Ia hanya mengenakan kaus kutung warna putih digulung sampai ke dada dan sarung cap G@jah Duduk diikat kencang di pinggang. Semua outfit mewah itu gagal menyembunyikan pusarnya yang bagai menantang fajar yang belum menyingsing sepenuhnya.

“Paling keliling komplek aja, Om. Sampai di sport hall depan sana.”

Sport Hall atau gedung olahraga yang disediakan oleh komplek perumahan di sini memiliki outdoor space area yang juga dikelilingi oleh taman yang asri. Menyenangkan duduk dan berolahraga di tempat yang hijau dan sejuk seperti itu.

“Mau pakai sepeda? Tinggal ambil di garasi. Kalau bannya kempes ada di situ pompanya.”

“Ga usah, Om. Pengen lari-lari aja.”

“Oke, sip.”

“Berangkat dulu, Om.”

Om Darno mengangguk melepas Nanto yang berlari kecil meninggalkan rumah nyaman tempat Om Darno kini duduk santai sambil minum kopi dan baca cerita-cerita menarik dari forum dewasa.

Si bengal lebih suka lari pagi dibandingkan jenis olahraga lain, santai, gratis, dan dapat bonus menyaksikan berbagai macam pemandangan indah di sepanjang jalan. Nanto menikmati setiap tetes keringat yang turun di sekujur tubuhnya, atau rasa penat yang muncul kala urat nadi mulai melancarkan peredaran darah, atau bahkan hembusan angin sepoi sejuk yang hanya muncul di pagi hari.

Jika mengawalinya pagi begini, masih belum banyak orang yang akan beranjak dari pembaringan dan berolahraga. Sebagian dari mereka yang sudah berkeluarga lebih suka keluar dan jalan pagi kala matahari sudah mengintip di balik awan, bukan saat lampu jalan masih lebih terang dari cakrawala. Itu sebabnya suasana jalanan masih sepi dengan satu dua orang saja sesama penghuni komplek yang saling sapa. Nanto berlari-lari mengikuti lajur jalan, menikmati musik di telinga, dan membiarkan tubuhnya lentur dengan berolahraga.

Hampir setengah jam berlari-lari kecil, Nanto sudah sampai di kawasan olahraga. Sudah ada satu dua orang yang bermain bulutangkis dengan raket dan shuttlecock yang mereka bawa sendiri. Si bengal naik ke bagian samping sport hall dengan menaiki beberapa baris anak tangga, lalu turun, kemudian naik lagi, turun lagi, naik, begitu terus berulang-ulang.

Ding!

Bunyi notifikasi WhatsApp berdering mengalahkan lagu yang sedang ia dengarkan. Nanto masih berlari kecil sampai akhirnya ia menemukan tempat untuk beristirahat. Si bengal mengambil botol minum yang sejak tadi ia bawa menggunakan tas selempang. Nanto membuka tutup tumbler-nya dan menenggaknya sampai sepertiga. Barulah kemudian ia membuka layar ponselnya dan mencari tahu siapa yang mengirim WhatsApp pagi-pagi begini.

Eh? Bu Asty!?

Pagi anak bandel. Sibuk ga nanti malam? Ada tiket nonton konser di concert hall kawasan TTT. Mau ikut?

Si bengal menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum.

Wadidaw.

.::..::..::..::.

“Jo, orang yang tempo hari… yang kita keroyok…” Bondan menekuk jari-jari tangannya yang pegal usai begadang ga jelas di Kandang Walet, pria yang hobi boxing itu masih penasaran dengan sosok Nanto. “kamu pernah bilang kalau dulu dia tidak sekuat itu? Seperti apa dia dulu?”

Jo menjulurkan lidah, ngobrolin Nanto membuat dia jengah. “Nanto dulu lebih berangasan dan liar, tidak seperti terakhir kali kita ketemu. Dia yang sekarang sangat fokus dan disiplin. Mungkin gara-gara itu menurutku dia sekarang berasa jadi lebih kuat – mampu mengatur ritme gerakan dan bisa mengatur strategi dalam bertarung. Bangsat emang.”

“Begitu saja? sepertinya ada yang lebih lho. Bagaimana soal tenaga? Percaya atau tidak, ada yang aneh dari dia, kayak ada yang ditahan, ada yang belum keluar seluruhnya. Anjing satu itu bikin aku penasaran. Mau rasanya sparring lagi.”

“Tenaga?” Jo menggeleng, “biasa saja. Tidak ada yang istimewa, atau jangan-jangan sewaktu kami bertarung dulu dia juga menahannya? Entahlah, tidak banyak yang aku tahu tentang orang satu itu, tapi dia sudah mengerikan sejak dulu. Begitu masuk SMA CB, dia dan kawanannya berhasil menguasai satu sekolah ga pake lama. Mereka mengalahkan anak-anak kelas dua dan tiga yang terkenal jago berantem dengan mudah. Setelah itu Nanto dan kawanannya menyerang dan menaklukkan satu persatu SMA di sekitarnya. Gede dulu komplotan dia sebelum kejadian tragedi di…”

“Jo! Bondan!”

Surya datang menghampiri kedua kawannya yang sedang duduk santai di taman samping kantin UAL. Lokasi paling sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak DoP di bawah kepemimpinan Remon.

“Bos Remon mau ngasih tugas ke kita tuh. Hukuman yang dia bilang minggu kemarin.” Kaya Surya setengah bersungut, dia memang masih merasa jengkel.

Ga ikut ngeroyok, ga apa, eh ikut dihukum gara-gara diajak Jo. Kalau tugasnya enteng sih ga apa-apa, tapi Remon itu jarang ngasih tugas yang enteng buat hukuman. Awas aja kalau sampai tugas dari Remon susah, bakal Surya sunat ulang itu si Jo.

Ketiga preman kampus itu pun melangkah dengan gontai ke tempat Remon berada, pagi-pagi gini kok ya ada aja orang satu itu, dapet wangsit apa dia semalam? Remon duduk di kursi outdoor amphitheatre yang mengelilingi arena kosong yang biasanya digunakan sebagai tempat manggung band atau stand up comedy. Seperti biasa kapten DoP itu mengenakan kacamata hitam dan terlihat tegas bagai marinir. Pagi-pagi kok pake kacamata hitam, ini preman atau dukun? Di samping Remon terdapat tas plastik hitam.

“Nah! Mantep tenan! Kalian sudah datang.” Kata Remon sambil bertepuk tangan. “Sesuai perjanjian, aku akan memberikan kalian tugas yang seru!”

Jo, Surya, dan Bondan menatap tegang ke arah Remon. Seru atau serem nih?

“Kalian tahu itu apa?” tanya sang kapten sambil menunjuk ke sebuah arah yang cukup jauh dari lokasi mereka berada.

“Patung?” jawab Bondan sambil memicingkan mata.

“Betul sekali. Patung siapa?”

“Kalau tidak salah itu patung Dra. Amora Lamat, pendiri kampus kita.”

Mantep tenan! Ketahuan kalau kalian kuliahnya beneran. Bagosss!”

Jo memperhatikan patung itu dengan tegang dan kembali menatap Remon. Waduh. Mau diapain patungnya? Jangan main-main dengan patung keramat pendiri kampus ini! Mereka boleh saja jadi preman, tapi haram hukumnya bermain-main dengan patung itu. Pernah ada kabar beredar, kalau siapa saja yang mengganggu patung itu, besoknya akan ditemukan di rumah dengan mengenakan sempak bolong! Lha iya lah, kalau ga bolong sempaknya ga bisa dipakai. Bukan, maksudnya pernah ada kabar beredar kalau mengganggu patung itu, ada nasib sial menghantui.

“Nah tugas kalian adalah…”

Jo dan kedua temannya menatap Remon dengan tegang. Jadi, tugasnya apaan nih?

Remon tersenyum sambil mengeluarkan kaleng pilox dari dalam sebuah tas plastik hitam yang sejak tadi ada di sampingnya, “tugas kalian… adalah datang ke Universitas Zamrud Khatulistiwa, masuk ke dalam, lalu cari patung pendiri kampus itu. Kalau tidak salah lokasinya ada di dekat gedung yang paling tengah. Kalau sudah ketemu, kalian coret patung itu dengan pilox kuning ini. Tulis besar-besar DoP di sana, coret muka patung pendirinya! Paham?”

Jovi, Surya, dan Bondan saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka meneguk ludah. Ma… masuk ke Unzakha? Markasnya Sonoz?

Alamaaaaak.

.::..::..::..::.

Hujan seharian membuat motor Deka yang tadi malam dibiarkan terparkir di halaman hotel melati menjadi kotor terkena rontokan daun dan cipratan tanah. Itu sebabnya di pagi menjelang siang yang ceria ini, dia memilih untuk mencuci motornya supaya lebih bersih. Hati pemuda itu sedang berbunga-bunga karena semalam dia dan Ara sudah melangkah ke tingkatan yang lebih jauh lagi dalam hubungan mereka, yang membuatnya yakin sepenuhnya bahwa dia dan Ara memang ditakdirkan untuk berjodoh.

Sayang Ara mendadak ada acara penting dengan keluarga siang ini jadi Deka harus mengantarnya pulang pagi-pagi tadi. Sayang banget, kalau saja mereka bisa ngamar lebih lama kan bisa mantap-mantap seharian. Langit memang tidak memihak tindakan anak nakal sepertinya.

Omong-omong soal langit, Deka menatap ke atas dan berharap hari ini tidak hujan. Bukankah sudah sangat sering kita dengar tuh… paginya kendaraan dicuci, pas jalan keluar eh malah kehujanan? Mudah-mudahan gak lah ya. Sungguh anekdot yang tidak lucu.

Deka bernyanyi-nyanyi kecil melagukan sajak-sajak asmara sembari membasuh dan membilas motornya yang berjasa mengantarkan ia dan Ara ke tempat wisata semalam. Ia berdendang seperti layaknya seorang pria yang sedang menikmati mekar bersemi untaian kasih. Tidak aneh kan? Tidak aneh lah ya. Yang aneh itu kalau dia sedang kasmaran tapi menyanyikan lagu soundtrack Crayon Shin-chan dengan berbunga-bunga.

Duh, rasanya kangen banget sama Ara. Padahal baru tadi pagi ia antar pulang ke rumah. Apa ditelpon aja sekarang ya? Video call gitu. Abis rindunya terlalu membuncah! Tau sendiri dong gimana rasanya kangen sama kekasih tercinta. Eh, udah tau kan ya gimana rasanya punya pacar atau istri? Kalau ga tau googling dulu deh.

“Kun.”

Deka terdiam. Pupus sudah lamunan indahnya. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu di dunia ini, sang Kakak. Kakak kandungnya yang menjadi salah satu dedengkot kumpulan orang-orang bajingan.

“Iya, Mas.”

“Dari mana aja kamu semalem?”

“Nginep rumah temen.”

“Temen cowok apa cewek?”

Bukan urusan kamu, bawel! Kamu malah tiap hari pulang pagi melulu! Terserah aku dong mau sama temen cowok atau cewek! Apa urusan kamu!?

“Cowok lah, Mas.”

“Mau nanya aja. Kalau tidak salah kamu dulu punya temen yang namanya Nanto ya? Aku agak-agak ingat wajahnya.”

Ha? Kenapa tiba-tiba kakaknya menanyakan soal Nanto ya? Deka melongok dari balik jok motornya dan melihat ke arah sosok laki-laki yang ternyata sedang duduk di teras rumah sambil minum segelas wedang uwuh.

“Ada Mas. Kenapa emang?”

Amar Barok adalah orang yang memiliki tubuh kekar, rambut panjang sebahu dengan sedikit semir kecoklatan, alis, kumis dan jambang tebal bak Jason Momoa sang pemeran Aquaman. Dia juga sangat jarang mengenakan baju yang rapi dan lebih memilih mengenakan baju singlet kutung warna hitam yang merknya berawalan GT dan berakhiran Man. Sebagai pelengkap Amar mengenakan celana jeans biru tua yang sudah sobek di bagian lutut, dan sepatu hiking atau sepatu gunung warna coklat tua. Pokoknya sangar dan mbois.

Amar mengambil ponselnya di meja, membuka aplikasi video, lalu mencari sesuatu di folder dan menunjukkannya ke Deka. Buset, ponselnya baru lagi. Dapet duit darimana sih orang ini? Malak ya? Deka memicingkan mata untuk melihat ke arah video yang ditunjukkan Amar.

“Ini Nanto itu bukan?”

Tidak kelihatan dari posisinya sekarang.

Deka yang penasaran berdiri dan berjalan ke arah sang kakak. Ia mengambil ponsel itu dan melihat sosok Nanto yang sedang menghajar tiga orang pemuda punk di lokasi yang nampaknya seperti sebuah lapangan atau alun-alun.

“Kayaknya sih, Mas. Ada apa ya?”

“Suruh dia hati-hati, kamu juga sementara jangan deket-deket dia dulu.”

“Kenapa emang?”

“Video itu disebarin di grup preman Pasar Gede, anak buahnya Joko Gunar. Kamu tahu siapa dia?”

Deka menggelengkan kepala.

“Lebih baik memang tidak tahu. Pokoknya kamu jauh-jauh dari Nanto dulu. Orang-orang yang dia hajar di video itu anak buahnya Gunar. Mereka beringas dan tangguh. Hobi malak, begal, dan pegang jaringan penjual miras di sekitar Pasar Gede.”

“Wah, kalau begitu Nanto pasti jadi…”

“Ya, dia jadi incaran preman-preman Pasar Gede anak buahnya Gunar. Mereka pasti akan menemukannya dan kalau sudah ketemu, jangan harap keselamatannya terjamin.”

Keringat Deka perlahan-lahan bercucuran, gawat ini gawat. “Kok Mas bisa dapet videonya?”

“Aku ada telik sandi di jaringan-nya Gunar. Ada mata-mata.” Kata Amar Barok dengan suaranya yang dalam dan berat. Telik sandi? Mata-mata? Hal yang sekali lagi mengingatkan Deka kalau kakaknya ini adalah salah satu dedengkot geng Dinasti Baru. “Kalau ada orang yang akan menghancurkan Gunar dan komplotannya, orang itu bukanlah Nanto temenmu yang sok pamer ini. Orang yang akan menghancurkan Gunar… adalah aku.”

Deka menatap kakaknya dan meneguk ludah, ia menatap video itu sekali lagi, dan menatap kakaknya.

Dia harus segera melakukan sesuatu!

Tapi apa?

.::..::..::..::.

Sore menjelang dan Nanto berlari-lari kecil dari tempat parkir motor, mencoba mencari lokasi yang menjadi titik pertemuannya dengan Bu Asty. Dia masih belum hapal betul wilayah ini, beberapa tahun yang lalu gedung-gedung di sini belum ada. Masih jadi petak-petak sawah. Begitu cepat waktu berlalu dan sawah sudah menjadi gedung, pematang menjadi ruas jalan. Entah kemana bebek-bebek yang dulu biasa jogging di sini.

Berulang kali Nanto memeriksa Google Maps dan memastikan posisi, takut kalau salah jalan atau terlambat. Kalau salah kostum sih kayaknya nggak, meski si bengal hanya mengenakan kaus hitam bergambar Mickey Mouse dan celana jeans biru tua, mudah-mudahan tidak terlalu malu-maluin lah pakaiannya. Cuma nonton konser kan? Bukan sidang paripurna.

Mana sih Bu Asty? Mana di mana anak kambing saya? Anak kambing saya ada di… ah. Itu diaAkhirnya aku menemukanmu!

Nanto terpesona melihat sosok Bu Asty yang sedang berdiri di samping sebuah papan pengumuman yang dipasang di jalan. Ini bidadari kiriman dari surga tingkat berapa ini. Cantiknya bikin jakun naik turun, otong maju mundur. Ah, kalau saja bukan hak milik orang sudah dia bawa kabur ke hotel melati terdekat untuk melaksanakan transaksi mantap-mantap.

“Hai, Bu.” sapa Nanto sembari mendekati mantan guru BK-nya yang jelita.

“Hai kamu.” Asty tersenyum saat Nanto datang mendekat.

Ada perasaan aneh dalam diri guru muda itu saat ia mengatur janji berdua saja dengan Nanto seperti ini, perasaan yang hanya pernah ia rasakan saat ia masih remaja, saat ia sedang berdekatan dengan suaminya. Ia tahu pergi keluar dan janjian dengan mantan muridnya seperti ini salah, sangat salah, teramat salah malah, tapi… si bengal ini punya magis aneh yang membuat guru muda jelita itu tak mampu jauh darinya.

“Sendirian aja, Bu?”

“Emangnya kenapa? Ga boleh nonton sendirian?”

“Yakin ini kita berdua saja? Si kecil? Suami ibu?”

“Mereka berdua sedang liburan akhir pekan bersama mertua di kota lain, pergi sejak kemarin. Aku tidak ikut karena kemarin harus memantau server yang akan digunakan untuk ujian nasional berbasis komputer besok senin, kebetulan jadi panitia ujian. Jadi aku tinggal di rumah karena sabtu kemarin masuk. Kebetulan juga aku punya tiket nonton konser hari minggu ini. Nah, karena ga ada temen yang bisa diajak, aku ajakin kamu. Biar kamu ga ndeso-ndeso banget, sekali-kali nonton konser lah. Begitu ceritanya. Jadi jangan baper dulu ya.”

“Ah, ga baper juga kok, Bu. Biasa aja.”

Asemik, padahal wes kadung degdegan jebul mung ndilalah. Tiwas sudah makdeg-makser, ternyata cuma masalah kebetulan saja. Ngene iki lho seng bikin baper.

Oalah Bu… Bu… sampeyan kok ayu men to yo yo.

Hanna Dwi Bestari

Malam menjelang, di sebuah sudut di dalam mall yang ada di tengah kota. Jauh dari lokasi Nanto sekarang berada. Seorang pemuda sedang berkemas-kemas untuk pulang dari pekerjaannya.

Rahayu Effendi namanya, seorang pemuda dengan postur tubuh proporsional dan memiliki tinggi badan sekitar 179cm. Wajahnya oval dengan rambut yang dicat warna brown, sengaja dicat begitu biar dikirain anggota BTS – yang boyband Korea, bukan singkatan Bakul Taplak dan Seprei. Badannya cukup atletis, meski tidak terlalu kekar dan tidak juga kurus.

Ia hanya mengenakan kaus warna putih yang dimasukkan rapi dan celana jeans belel biru pudar sambil mengenakan kacamata hitam yang tidak dikenakan karena silau tapi karena mbois. Kaus putih ketatnya mencetak jelas dadanya yang bidang.

Oh iya, meski namanya Rahayu – jangan sekali-sekali manggil dia pakai nama itu, dia paling tidak suka. Entah apa yang dipikirkan oleh orangtuanya saat menamakan anak lanang ini dengan nama Rahayu yang biasanya diberikan ke anak wedhok.

Dia lebih suka dipanggil dengan nama panggilannya, Roy.

Iya, Rahayu jadi Roy. Entah gimana. Sudah-sudah, jangan ketawa.

Roy bekerja di sebuah rumah makan yang berada di dalam mall di jalan utama kota, disebut jalan yang utama karena memang jalan di depan mall adalah jalan yang paling populer di seluruh negeri. Jika disebutkan nama kotanya, maka akan langsung teringat keberadaan jalan yang terkenal ini. Begitu juga sebaliknya, jika disebutkan nama jalannya, pasti sudah langsung ngeh kota mana yang dimaksud.

Roy merapikan apron yang baru saja ia lepas setelah selesai mengaduk-aduk bubur. Iya, pekerjaannya memang berkaitan dengan bubur. Ya bukan bubur biasa sih, lebih tepatnya disebut Chinese Porridge, bukan bubur ayam karena menggunakan kaldu ayam dan sapi, di dalamnya juga terdapat potongan-potongan daging sapi dan ayam. Bubur ini dimasak dengan menggunakan minyak wijen, sehingga lebih terasa gurih dan wangi.

Roy melangkah keluar dari restoran tempatnya bekerja sesaat setelah menempelkan jarinya di mesin pemindai sidik jari, tak lupa berpamitan dengan teman-temannya yang masih bekerja dengan mengenakan seragam warna marun.

Sambil menenteng tas ransel yang kebetulan tali cangklongannya lepas, Roy bergerak lincah keluar dari mall, berbelok ke kiri, lalu kiri lagi, masuk ke sebuah gang yang memiliki banyak sekali motel-motel kecil. Entah apakah usaha menengah ke bawah seperti penginapan di sini bisa memenuhi target hunian perhari atau tidak. Ia lalu berbelok ke sebuah gang lain yang lebih kecil dan sepi. Jalan ini terkenal rawan kalau malam, karena meskipun jauh lebih cepat sampai ke lokasi berikutnya, namun banyak preman dan begal berkeliaran.

Roy lebih memilih jalan ini karena ya itu tadi, lebih cepat sampai ke kost-kostannya. Dia sudah telalu lelah untuk mengambil jalan memutar. Lampu remang-remang membuat suasana selain seram – juga angker. Apalagi untuk melalui jalan ini harus menelusuri tembok hotel yang teramat tinggi dan memiliki banyak tanaman merambat yang membuat gang ini semakin lembab.

Roy mencoba membuka ponselnya supaya tidak terlalu sepi. Cahaya layar smartphone Roy membuat gang sepi itu menjadi lebih terang sedikit. Lumayanlah ga terlalu mengundang jin iprit.

Sayangnya cahaya layar smartphone itu justru mengundang sosok-sosok lain.

Sosok seperti tiga orang berparas keras, tubuh penuh tatto, dan bau mengalahkan selokan Pasar Gede. Dua orang di depan, satu di belakang. Satu orang di depan memegang pisau, demikian juga satu yang lain di belakang. Roy mengernyitkan mulut, memandang tajam ke arah pria berambut gondrong yang memegang pisau di hadapannya.

“Kamu sudah tahu kan kenapa kami di sini?”

Roy tidak menjawab. Bajinguk! Kenapa justru pas dia baru saja ambil duit gaji dari ATM! Mana uang itu diawet-awet buat bayar kost pula. Kampreeet! Roy menggemeretakkan gigi, kepalannya tergenggam. Ia tidak mungkin mengalahkan tiga orang ini sekaligus dengan kondisi sangat lelah seperti sekarang.

“Gimana ya, Bang?” tanya Roy.

Pemuda berambut coklat itu mencoba santai. Positive thinking. Siapa tahu mereka cuma nanya tukang jual batu asahan pisau di mana.

“Masukkan ponsel ke dalam tas, lempar tasmu ke sini, trus lempar juga dompet kamu ke belakang. Paham ya? Atau perlu diulangi lagi? Perlu diulang ora?”

“Ampun Bang. Saya juga cuma karyawan kecil, Bang. Saya ga punya apa-apa, Bang.”

“Masukkan ponsel ke dalam tas, lempar tasmu ke sini, trus lempar juga dompet kamu ke belakang. Wes! Sudah kuulang! Tidak ada tiga kali!”

Mau tak mau Roy terpaksa menuruti permintaan pria gondrong pembawa pisau yang wajahnya lempeng kayak pengki. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan melemparkan tas itu ke dekat si Muka Pengki, sementara dompet dari saku celana dilempar ke belakang.

Sambil terkekeh-kekeh, salah seorang teman si Muka Pengki yang giginya tonggos mendekati tas yang dilempar Roy sementara orang di belakang juga beranjak mengambil dompet. Bagus. Roy memang sengaja melempar dompet itu tidak jauh darinya. Lihat posisi. Pelan-pelan, amati gerakan mereka. Amati. Cermati terus.

Sekarang!

Dengan satu teriakan kencang, Roy mengagetkan orang yang hendak mengambil dompet dan dalam posisi tidak pas untuk menusukkan pisau yang ia bawa. Roy hanya butuh dua gerakan saja untuk melompat dan meluncurkan tendangan yang membuat pisau lawan terpental.

Satu gerakan ringan lagi dan sambaran kaki Roy ke dada membuat orang yang tadinya hendak mengambil dompet terlempar ke belakang. Ini adalah kelebihan Roy, gerakannya terkesan ringan dan lembut bahkan lembek, tapi sebenarnya memiliki sentakan yang kuat dan mengerikan, bagaikan air yang terkesan lemah namun mampu melubangi bebatuan.

Asssuuuuuuuuu!” si Pengki menyerang maju. Ia menggerakkan pisaunya dengan brutal.

Tidak sampai beberapa detik, sambaran kaki Roy membuat si Muka Pengki berteriak kesakitan memegang tangan sementara pisaunya terlempar entah kemana. Si tonggos menyerang Roy dengan pukulan membabi buta.

Wssh. Wssh. Wssh. Wshh. Wssh. Wssh.

Mentah semua! Dengan gerakan ringan bak mengendarai angin, Roy menghindar dari semua hantaman si tonggos. Tapi ia tidak mungkin menghindar dari serangan si Muka Pengki yang datang dari arah depan!

Dpp! Dpp! Dpp! Dpp! Dpp!

Kedua tangan Roy terangkat melindungi kepala, lengannya tak pernah meninggalkan wajah. Si Muka Pengki sempat terkejut melihat Roy mampu berlindung di balik lengan. Munyuk olo! Basiyo satu ini rupanya sudah biasa bertarung ya!? Mana itu gerakannya juga kayaknya natural banget, bisa goyang ke kanan kiri dengan lincah, tidak kaku seperti kincir angin Petruk Gareng di atas genteng.

Wssh. Wssh. Wssh. Wshh. Wssh. Wssh.

Kejar teruuuuus!

Keringat Roy mulai menetes. Bangsaaaat! Belum lagi ia bisa menundukkan si Tonggos, si Muka Pengki sudah menyerang kembali. Belum lagi yang di belakang, gimana kabarnya ya ga ada suara, ia tidak bsia menengok ke belakang karena harus fokus dengan dua orang yang di depan.

SI Muka Pengki makin penasaran dengan gerakan Roy yang bagai pengendara angin, selalu menghindar dengan gerakan ringan bagaikan terbang, bajinguk! Iki terus kapan gelute kalau dia menghindar melulu? Masa bodoh! Hajaaar teruuuus sampai dapeeeet!!

Dpp! Dpp! Dpp! Dpp! Dpp!

Kini giliran serangan si Tonggos yang dapat di-block oleh Roy.

Wssh. Wssh. Wssh. Wshh. Wssh. Wssh.

Begitu juga dengan serangan si Muka Pengki, tidak ada yang berhasil mengenai sasaran, semua pukulan dan tendangan yang dilepas dari segala sisi hanya mengenai angin.

Dpp! Dpp! Dpp! Dpp! Dpp!

Saat Roy menghadang pukulan si Tonggos dengan lengannya, si Muka Pengki memutar badan dan dengan kekuatan penuh melakukan tendangan putar kencang yang mengincar kepala si pengendara angin. Roy melenguh kencang, lalu melompat dengan cepat untuk menangkis tendangan si Muka Pengki dengan tendangan.

Dua tendangan beradu, tapi tendangan Roy-lah yang lebih kuat. Ia mampu membuat si Muka Pengki terlontar ke belakang karena arah putaran tendangannya berbalik!

Sayang Roy harus mengorbankan fokus sehingga beberapa pukulan kencang dari si Tonggos masuk.

Bggh!! Bgghh! BGGhhKK!!

Roy terhuyung-huyung dan mencoba bertahan.

Bghhh!!!

Satu pukulan lagi dan pemuda itu terjerembab ke bawah. Kampret!! Keras juga pukulan si Tonggos! Puh! Roy membuang ludah. Harus ada satu yang diselesaikan dengan cepat supaya ia tidak dikeroyok satu lawan tiga begini.

“Setaaaaaaan!!”

Si Tonggos tiba-tiba saja berteriak kencang, otomatis Roy pun bersiap dengan lengan kembali naik. Tapi ternyata pemuda yang kelebihan ukuran gigi itu tidak menyerang Roy. Si pengendara angin melirik ke samping kanan dan ia melihat orang yang tadi menyerangnya dari belakang sudah pingsan di kejauhan. Ada seseorang lagi yang hadir dan sepertinya ia membantu Roy!

Siapa dia!?

Belum sempat Roy mengamati, dia harus menerima serangan dari si Muka Pengki. Tapi kali ini dia tidak perlu khawatir dikeroyok! Bagus!

Wssh. Wssh. Wssh. Wshh.

Roy berguling dan menggunakan satu tangan untuk melakukan salto memutar. Si Muka Pengki terkejut karena tiba tiba saja Roy sudah ada di belakangnya. Ketika ia berbalik, wajahnya berubah dari sadis menjadi ngeri.

Roy yang sudah berdiri berlari dengan sangat kencang, lalu bak pegas melompat ke tembok dan menggunakan tenaga pijakan untuk menyentakkan tubuhnya bagaikan terbang ke atas si Muka Pengki. Tubuh si pengendara angin berputar dengan entengnya dan tendangan yang diarahkan ke si Muka Pengki pun dilabuhkan.

BgggGGGKKHHH!

Si Muka Pengki terhuyung-huyung karena baru terkena satu tendangan saja ia sudah langsung goyah, apalagi kemudian dengan cepatnya datang tendangan berikutnya menyusul. Tidak! Ia tidak mau…

BggghKKKKKHHH!!

Si Muka Pengki bahkan tidak sempat berteriak ketika kemudian tendangan berikutnya menyusul dari Roy dan menghajar sisi wajahnya, ia terlempar ke samping. Tendangan kali ini benar-benar sangat kencang dan kuat sehingga akhirnya begal yang ketemu nasib sial itu terjerembab dan hanya dapat menatap gelap. ia pingsan.

Roy terengah-engah, mencoba menghapus keringat dengan punggung tangannya. Pabu sacilad! Siapa lagi ini yang butuh merasakan tendangannya? Roy menatap ke arah jauh tempat tadi si Tonggos berlari membantu kawannya yang pingsan.

Tapi ternyata si Tonggos pun sudah terkapar tak berdaya di tanah, menyusul temannya yang sudah tidur terlebih dahulu. Asemik, wangun nan. Kuat juga orang yang tadi membantunya? Siapa dia?

Roy mencoba berjalan pelan dengan waspada untuk tahu wajah orang yang sudah meluluhlantakkan si Tonggos dan temannya. Gelapnya lampu remang membuat Roy harus benar-benar mendekat untuk tahu siapa orang itu.

“Roy si Tukang Gerutu. Gimana kabarmu, Nyuk?”

Orang itu menyapa dan Roy akhirnya tahu siapa dia.

Bagaimana ceritanya dia bisa sampai di sini?

.::..::..::..::.

Panggung yang hingar bingar dengan musik yang syahdu atau sesekali menghentak, paduan warna lampu yang terang dan gelap silih berganti membuat semarak. Orang-orang yang hampir semuanya berdiri, menghentakkan kaki, bertepuk tangan, tertawa, bahagia, fokus ke satu area. Sang biduan dari negeri jauh berdendang menghibur dan membuat hati senang.

Jadi seperti ini ya yang namanya konser musik di ruang tertutup itu?

Nanto sih kurang paham dengan penyanyi ataupun lagunya. Tapi konon penyanyi satu ini adalah salah satu bintang panggung yang populer di era 90-2000an dengan lagu-lagu mendayu bergenre… apa ya sebutannya? Rhythm and Blues? RnB? Keroncong Dangdut? Mbuhlah. Yang penting lagunya enak.

Yang lebih enak lagi melihat perempuan indah di sampingnya meliuk-liukkan badan dengan seksinya saat satu lagu rancak dimainkan. Aduhai, mimpi apa dia semalam bisa menghabiskan malam berdua dengan Bu Asty begini? Wanita yang tidak hanya indah hati atau wajahnya, tapi juga bikin merem melek lekuk tubuhnya. Apalagi malam ini Bu Asty tampil sangat cantik dengan baju ketat ala-ala jilboobs. Tambah bikin Nanto panas dingin ga ada obat.

Asty melirik ke samping, melihat ke wajah Nanto yang ternyata sejak tadi mengamatinya.

“Apa sih?” tanyanya manja sambil menutup mulut menahan tawa dan malu.

Duh, malah tambah manis, asem tenan. Nanto menggeleng, tambah terpesona.

“Apaaaa?” Asty makin manja dan mencubit pelan lengan Nanto.

Nanto hanya tertawa saja.

“Ih malah ngetawain!” sekali lagi Asty mencubit Nanto.

Kali ini Nanto sigap, ia memegang tangan kanan Asty yang hendak mencubitnya, erat. Jari jemari Nanto menelusup di antara jemari lentik sang bidadari. Nanto mengangkat tangan Asty dan meletakkannya di dadanya. Mata sang guru muda terpatri ke mata si bengal. Terikat, terkait, tenggelam. Mungkin tidak banyak orang yang tahu, tapi pandangan mata Nanto itu bagai magis, mempesona, tajam, dalam, dan membuat mabuk kepayang.

Saat itu ruangan begitu gelap dan permainan cahaya hanya nampak di panggung. Tidak ada satu orangpun yang bakal memperhatikan ke samping, ke posisi Asty dan Nanto yang ada di pinggir. Meski amat gelap, namun Asty yang posisinya sangat dekat dengan si bengal dapat melihat dengan jelas pemuda yang kini memegang erat jemari tangan kanannya itu. Ada yang bergetar dalam hati Asty saat menatap mata mantan muridnya yang bandel, perasaan yang mungkin tak pernah ia rasakan dalam beberapa tahun terakhir.

“Nakal.” Bisik Asty lirih, hampir-hampir tak mengeluarkan suara. Nanto mungkin tak bisa mendengarnya ditelan deru musik dari atas panggung.

Nanto mendekatkan wajahnya ke wajah Asty. Makin dekat… makin dekat… semakin dekat… mulut si bengal terbuka sedikit, demikian juga bibir mungil sang guru muda yang membuka. Asty memejamkan mata dengan jantung sangat berdebar.

Jangan… jangan… jangan… batin kecilnya berkata.

Tiba-tiba saja terdengar suara tepukan tangan yang menandakan lagu telah usai. Ruangan tiba-tiba terang benderang sementara si penyanyi lebih memilih duduk santai dan melanjutkan konser dengan menyanyikan sebuah lagu yang hanya diiringi gitar akustik.

Asty tersenyum menatap Nanto. Dengan telunjuk tangan kiri, guru muda itu menyentil hidung sang mantan murid. Nanto ikut tersenyum.

Keduanya kembali lanjut menonton konser itu dalam diam, tak bergerak dan menikmati semua sajian dari sang penyanyi hingga akhir kadang duduk, kadang berdiri, selalu menempel berdua. Kelingking tangan kiri Nanto terkait erat dengan kelingking lentik tangan kanan Asty.

.::..::..::..::.

“Roy si Tukang Gerutu.” Kata Deka sambil tersenyum sumringah. “Gimana kabarmu, Nyuk?”

Roy terkejut menyaksikan kehadiran sosok Deka di situ. “Kamu!? Ngapain kamu di sini!? Bajigur, aku pikir sopo e. Aku tidak butuh bantuanmu! Ini semua bisa aku atasi sendiri!”

“Santuy. Aku juga bukan bantuin kamu, Nyuk. Aku lagi lemesin jari aja, mau nge-gym ga kuat di ongkos. Kebetulan aja aku apal jalur kamu pulang kerja, mau ke kost-an kamu, nanya kali-kali aja kamu tahu di mana olahraga yang sehat dan gratis. Untung aja pas aku lewat sini, beneran lagi ada sirkus.”

Deka duduk di badan salah seorang penyerang Roy yang pingsan. Ia menarik sebungkus rokok dari dalam kantong jaket, saat membukanya ia menarik sebatang rokok dan korek api yang terselip di dalam. Deka menyematkan batang rokok itu di mulut dan mulai menyalakan korek, membakar ujung rokok yang lantas dihisapnya dengan penuh nikmat.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Roy.

Deka mengangkat bungkus rokok dan menawarkannya pada sang pemuda berambut coklat. Roy menggeleng kepala.

“Terakhir kali aku merokok aku masih pake putih abu-abu. Sekarang sudah tidak lagi.”

Deka hanya mengangkat bahu, ia melesakkan bungkus itu kembali ke dalam saku.

“Ada yang kamu butuhkan dari aku atau hanya sekedar mampir?” Roy mendengus. Ia mengemas barang-barangnya yang tadi sempat dilempar kesana-sini. “Apapun yang ingin kamu tawarkan atau tanyakan, jawabannya tidak. Aku tidak mau.”

“Padahal kamu belum denger apa-apa.”

“Setiap kali kamu datang, urusannya pasti masalah tawuran. Njelehi. Emang apaan.”

Deka terkekeh. “Nah itu namanya nuduh. Sadis banget kamu, Roy. Emang kita ga bisa gitu ngobrol santai sambil reunian? Kita ini japemethe, temen sendiri, seduluran saklawase. Ga semua yang aku omongin itu masalah berantem. Bisalah kita ngobrol soal lain.”

“Misalnya apa?”

“Opo ya? Oh ini! Dari tadi aku ngendus-ngendus… kamu kayaknya sekarang wangi banget. Dulu mandi aja jarang, sekarang lebih segeran, pakai parfum apa? @xe ya? Cieee… akhir-akhir suka merawat diri ya? Cowok mana yang lagi deket sama kamu sekarang? Cembokur akika.”

Pabu! Malah nggilani kowe, Ndes!

Deka tertawa.

Roy menenteng tasnya dan melangkah pergi dengan cuek, meninggalkan Deka seorang diri dengan rombongan orang-orang tergeletak pingsan atau melenguh kesakitan. Dari intonasi bicara sepertinya kalimat yang diucapkan Roy untuk Deka sudah tidak seketus seperti saat awal mereka bertemu tadi. Deka tersenyum, pemuda itu pun buru-buru mengejar Roy, sebelumnya ia sempat melirik ke belakang.

Nyuk, gimana itu yang pada tepar – moso dinengke podo klekaran?”

Ha mbok biarin aja. Apa yo mau kamu openi? Emang mau kamu jadiin peliharaan?”

Wasu.”

Wes biar aja di situ, nanti juga pada bangun sendiri.”

Berjalan beriringan, Deka dan Roy melalui lorong demi lorong jalan tikus yang menghubungkan restoran tempat Roy kerja dan kos-kosannya yang ada di belakang gedung-gedung tinggi, di antara hutan beton yang ada di pinggir sungai besar, di antara rumah-rumah yang berbaris saling dempet dan ruas jalan yang hanya bisa dilalui oleh pas satu motor.

Keduanya berjalan dari jalan protokol utama yang populer di seantero nusantara dengan sajian khas berselera hingga masuk ke kelok-kelok sempit becek yang berderet rumah dengan banyak pintu dan jendela. Kawasan yang menjadi surganya kos dan rumah kontrakan, terutama untuk karyawan-karyawan toko yang berjualan di jalan protokol utama di depan sana.

“Serius kamu ga pengen nerusin kuliah? Kamu bisa mendapatkan lebih dari apa yang kamu jalani sekarang, Roy. Seingatku dulu kamu juga sering jadi juara kelas kalau pas ga dugab gara-gara mabuk.”

“Heleh, ya kali kuliah. Emang kamu mau bayarin?”

“Bukannya gaji kamu lumayan?”

“Lumayan buat hidup sebulan, bukan untuk kuliah. Tidak semua orang celengannya gede, Ndes. Emangnya aku raja minyak?”

“Serba salah sih ya. Kalau kuliah lagi ujungnya memang bisa dapet pendapatan yang lebih tinggi dari standar ijazah SMA. Tapi biaya kuliah jelas tidak murah, butuh investasi.”

Mbuhlah. Aku udah ga ngurusin kuliah lagi, Ndes. Begini aja dulu. Emangnya aku mau kerja apaan.”

Deka mengangguk. Mereka menuruni tangga yang makin lama makin turun ke bawah, mendekati bantaran sungai. Rumah-rumah yang ada di sana dicat dengan warna-warni terang yang apik yang membuat suasana kampung bak pelangi. Terlebih ada beberapa sudut yang sengaja dibuat lucu agar instagrammable.

Wes omong wae, Ndes. Ngomong aja apa maksudmu ke sini.” Tukas Roy saat mereka hampir separuh jalan, jari telunjuknya menunjuk ke atas. “Itu langitnya udah gelap, bentar lagi pasti hujan. Emangnya kamu bawa payung?”

Deka menghela napas panjang, “Nanto balik ke kota, Nyuk.”

Roy tidak menjawab. Ia diam saja, tapi terlihat dari keningnya yang berkerut, kalau ia juga sedang teringat sosok si Bengal.

“Masih kayak dulu?”

“Sudah beda.”

Roy mengerutkan bibirnya dan mengangguk-angguk. “Baguslah kalau begitu. Lalu apa masalahnya? Jangan bilang kalau kamu mau kita berlima reunian. Njijiki koyo opo wae. Emang kita bocah?”

Ora, Nyuk. Aku tidak kesini sebagai panitia reuni.” Deka menepuk dan memijat pundak Roy dari belakang, sembari mereka masih terus menuruni tangga demi tangga. Sesuatu yang dulu sering ia lakukan pada Roy si Tukang Gerutu. “Dia kuliah di UAL sekarang, kelas malam.”

“UAL? Bareng sama kamu sama Ara, dong?”

“Iyoe.”

Modyar kowe.”

Deka tertawa, “Nggak kok. Ara sama Nanto sudah saling cuek sekarang, kita aman. Kita juga udah ketemu bertiga kemarin.”

“Yakin? Nanto sih aku percoyo ga bakal ngapak-ngapakno kowe. Kamu tidak akan berantem sama Nanto hanya gara-gara cewek, aku tahu pasti karena aku percaya Nanto bukan orang yang seperti itu. Tapi Ara-nya itu lho, kamu tahu sendiri dulu dia manjanya kayak apa sama Nanto. Emang kamu ga ingat?”

Wes to, percaya aja sama aku, Nyuk.”

“Kode etik laki-laki kuwi jan-jane ada yang tidak sering disebutkan secara gamblang kata perkata tapi sudah diketahui banyak orang. Misalnya larangan mengencani mantan pacar sahabat sendiri. Masa ya kowe harus diajari to, Ndes… Ndes… harusnya kamu juga paham.”

Lha piye to, Nyuk… aku itu…”

“Memang cantik si Ara, Ndes. Tapi kok kaya kurang-kurang aja cewek di luar sana. Masih banyak janda-janda tua yang butuh kehangatan dari kamu.”

Wasu.”

“Tapi yo aku tidak peduli lagi urusan kalian sih. Terserah mau ngapain. Aku mau begini saja di sini tanpa gangguan, tanpa tawuran. Hidup damai, tenang, aman. Emang aku mau minta apa lagi.”

“Aku tidak akan nekat begini mencari kamu, kalau bukan karena Nanto, Nyuk.”

“Kenapa lagi si bengal satu itu?”

“Dia sedang dalam bahaya karena diincar banyak orang.”

Roy mendesah dan geleng-geleng kepala, “padahal lagi wae mulih lho. Baru aja pulang udah banyak masalah. Emang siapa yang ngincer?”

“Di kampus – belum lagi mulai kegiatan kuliah, dia sudah diincer geng yang namanya DoP. Asal mulanya dari si Jovi yang juga masuk ke UAL dan jadi member DoP. Masih inget Jovi kan? ”

Capet-capet. Ga begitu inget. Males aku ngapalin cowok. Kalau cewek lain urusan.”

Wasu.”

“Lanjut.”

“Oke, berikutnya Nanto ternyata pernah bantuin beresin tukang palak di lapangan dekat Pasar Gede. Dia hajar tiga orang preman di sana. Ternyata eh ternyata, preman-preman itu punya jaringan yang lumayan luas. Karena mau balas dendam, mereka gantian memburu kepala Nanto dengan nyebarin videonya.”

Kampreeet, kok ya ada-ada saja.”

“Nah itu dia, Roy. Nanto memang hebat dan punya kemampuan, tapi dia pasti tidak bisa sendirian, musuhnya terlalu banyak. Dia butuh bantuan kita. Kamu tahu sendiri bagaimana kuatnya kita berlima kalau sudah gabung. Serius ini.”

“Tapi gini lho, Ndes…”

“Roy, setidaknya kita berkumpul aja dulu, demi kenangan jaman SMA kita dulu. Kita pernah menjadi yang terhebat. Kita berlima adalah lima jari yang seharusnya bersatu agar tetap bisa menjadi tangan yang mengepal erat dan menghancurkan semua tantangan dengan kepalan itu, bukan malah jadi Es Kepal Milo.”

Roy tersenyum, mungkin definisi hebat antara dirinya dan Deka berbeda, karena dia lebih ingin bisa hebat dalam kehidupan nyata, bukan hebat yang fana dan bukan hebat yang ditempuh dengan mengarungi jalur kekerasan. Hidup lebih berarti daripada sekedar adu jotos dan berebut tahta gelar yang terkuat. Emangnya ini apaan, WWE SmackDown?

Tapi ada hal yang selalu membuat jiwanya bersemangat dan hangat jika teringat masa lalu. Hal itu bukanlah bagaimana mereka dikenal karena kekuatan mereka dulu, tapi karena persahabatan yang terjalin yang mungkin hanya tinggal kenangan. Mereka dulu bubar karena lem penguat dan pengikat mereka pergi tanpa harapan akan kembali. Kini saat lem itu sudah kembali hadir, akankah mereka dapat dipersatukan?

Pisan meneh, sekali lagi… aku ga janji, Ndes.” Kata Roy sambil geleng kepala.

Deka tersenyum dan mengangguk, kalau memang Roy tidak berkenan, ia tidak akan memaksakan, ia hanya bisa berusaha. Deka pun membalikkan badan dan beranjak pergi dari hadapan Roy. Tidak butuh lima langkah sebelum pemuda berambut coklat itu memanggilnya.

Ndes!”

Deka menengok ke belakang. Asap rokoknya terbang mengudara.

“Kamu sudah ke tempat saudara kembarku?”

Deka tersenyum dan menggeleng.

“Aku yang akan menanyakan ke dia soal ajakanmu, hanya aku yang tahu tempat kost dia yang baru. Tapi sekedar menyampaikan di awal… dia bakal lebih susah lagi diajak, jadi jangan terlalu banyak berharap.”

Deka mengangguk lalu memberikan salam hormat.

Roy berbalik dan meneruskan langkahnya.

.::..::..::..::.

Hujan kembali turun dengan derasnya, sama seperti kemarin saat Nanto harus berteduh di pinggir sebuah ruko. Sama seperti kemarin pula, ada dua insan berbeda jenis berdiri berdekatan dan bersebelahan yang salah satunya adalah si bengal. Tapi kali ini tidak ada warung burjo, tidak ada kafe, tidak ada tempat untuk melangkah lari dan meneduh di ruang yang lebih luas kecuali emperan toko yang kotor dan sudah sejak lama tidak digunakan.

Tempat itu bahkan menjadi lebih penuh ketika seorang bapak-bapak dan dua orang ojek online turut meneduh di tempat yang sama. Hujan yang membadai membuat badan kedinginan dan bergetar, karena tak hanya derasnya air tumpah ruah ke bumi, namun juga angin menyebar menggila ke segala penjuru.

“Dingin?” tanya Nanto saat melihat Asty menggigil.

“He’em.” Kata guru BK jelita itu sambil mengangguk. Kedua tangan Asty memeluk dirinya sendiri, jari jemarinya hilang masuk ke dalam lubang panjang sweater rajut garis-garisnya.

Agak menyesal juga dia tidak mengenakan pakaian yang lebih tebal dan lebih mampu melindungi dirinya dari dinginnya hujan. Kenapa juga dia tidak memperkirakan hari ini akan turun hujan? Kan lagi musim? Untungnya hujan ini turun usai konser selesai dan saat Nanto mengantarnya pulang, bukan saat berangkat.

Wajah Nanto memerah ketika ia menggerakkan tangannya yang bebas dan merangkul Asty dengan berani, mendekatkan tubuh indah sang guru muda hingga menempel pada dirinya sendiri, membantu agar Asty menjadi lebih hangat.

“Hayooo… tangannya nakal.” bisik Asty pelan agar orang-orang di samping mereka tidak mendengar percakapannya dengan sang mantan murid.

“Biar nggak kedinginan.”

Asty tersenyum. “Jangan keterusan.”

“I-iya.” Nanto termangu sesaat, iya juga ya. Semolek apapun Asty, dia kan istri orang! Gimana sih Nanto ini? Sadar woi sadar! Siapa kamu? Jangan begini ah! Pemuda itupun mencoba melepas tangan yang merangkul Asty.

Tapi mantan gurunya itu justru menahannya dengan cepat, tangan guru muda itu memegang erat tangan Nanto di pundaknya supaya tak melepas rangkulannya. Nanto menatap mata indah sang guru muda yang cantiknya bikin mabuk kepayang banyak orang ini. Tadi katanya jangan keterusan? Kok sekarang ditahan?

“Jangan dilepas.” Asty berujar perlahan dengan wajah memerah.

Tangan guru BK jelita itu terus memegang tangan Nanto, tak dilepasnya, menggenggamnya erat. Hujan makin deras dengan petir meraung silih berganti, tidak ada tanda-tanda cuaca cerah segera hadir dan beralih. Dapat dipastikan, akan ada banjir di beberapa sisi kota dengan hujan sederas ini.

Bu Asty menyandarkan kepalanya di pundak Nanto, memasrahkan tubuhnya ke dada mantan muridnya itu. Tangan Nanto yang tadi berada di pundak Asty kini pindah ke pinggang ramping sang ibu muda.

“Mmmhh.” Desah Asty lirih, nyaman di pelukan si bengal.

Entah apakah Nanto mendengarnya atau tidak, namun tak lama kemudian pemuda yang dulunya menjadi murid Asty itu lantas mengecup kening sang guru muda dengan lembut, peduli amat dengan orang-orang di samping mereka!

“Nakal…” wajah Asty merah padam.

“Suka?”

“He’em.”

Asty mengangguk, jantungnya berdegup makin cepat saat Nanto memeluknya kian erat, guru muda itu mengangkat kepala dan menatap mata Nanto lekat. Ia kembali memegang tangan Nanto dengan erat sementara matanya tenggelam dalam pesona mata indah si bengal.

Bagaimana ini? Bagaimana dengan statusnya sebagai seorang istri? Seorang ibu? Seorang guru? Apakah semua akan ia buang begitu saja demi pemuda bengal ini? Asty memejamkan mata, meneguk ludah, dan membuang semua yang pernah ia pelajari dan ketahui. Ia tahu ia akan menyesal mengucapkan kalimat berikut.

“Ru… rumahku kosong malam ini.” Bisik Asty lirih.

Nanto menatap ke depan dengan pandangan kosong. Ia tidak serta-merta menjawab, ada yang berkecamuk dalam batinnya. Dua sisi. Yang putih dan yang gelap, yang baik dan yang nakal, yang ingin menjawab tidak dan ingin menjawab yuk tunggu apa lagi.

Hujan kian deras dan malam kian larut.

Gawat gawat gawat.

Apa yang harus dilakukan Nanto?

Bersambung

Kenangan indah dengan bu guru bawel ketika mendaki gunung bersama
siswi maggang mesum
Cerita mesum dengan siswi cantik yang lagi maggang
Cerita Panas Bercinta Dengan Sepupu Yang Sedang Hamil
cantik
Cerita dewasa petualangan sex geng joni bagian 2
sma sange minta di entot
Menikmati Keperkasaan Penis Guru Ganteng
tante genit
Tak kuasa menahan rayuan tante ginit yan super sexy
500 foto chika bandung habis mandi udah seger pengen ngentot
Abg Jembut Lebat Masturbasi Pakai Lipstick
pembantu lugu
Melampiaskan hasrat ku pada pembantu tante yang hot
Foto Ngentot Abg Cantik di Hotel Melati
tante sexy
Ngentot tante sexy selingkuhan bule kaya raya
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
tkw cantik bugil
Menikmati Vagina Bidadari Cantik Calon TKW Malaysia
mamah muda hot
Kehidupan Sex Having Fun Yang Ku Dapatkan Dari Ibu Muda Beranak Tiga
cewek perawan bugil
Melly, Pacarku Yang Masih Perawan
Cerita Sex Janda Yang Udah Lama Gak Dipuasin