Part #11 : AKU DAN BINTANG
Awan datang melayang ke dalam hidupku,
tidak lagi membawa hujan atau mengantar badai,
tapi untuk menambah warna langit matahari terbenam.
– Rabindranath Tagore
Ah. Bangun pagi dengan badan pegal itu tidak nyaman sama sekali. Ke kanan pegal, ke kiri pegal, ke kanan kiri pegal-pegal. Rasanya butuh pijat, pijat yang beneran, bukan pijat plus-plus – meski kayaknya enak juga sih yang plus-plus, apapun yang belakangnya ada plusnya biasa mantap. Hehehe. Hus.
Nanto mengaduk kopi yang ia buat dengan takaran paling mantap menurutnya. Kopi satu sendok, krim dua sendok, gula tiga sendok. Semoga bisa bikin dia lumayan melek hari ini, rencana mau jalan setelah beberapa hari terakhir cuma bermalas-malasan di rumah.
Huaaahhheeem. Nanto membuka mulut untuk menguap selebar Kuda Nil. Beberapa hari belakangan ini dia memang hanya tidur-tiduran santai saja di rumah sambil mengembalikan kondisi tubuhnya. Satu-satunya interaksi yang ia lakukan yaitu sesekali WhatsApp dengan Deka – yang juga beberapa kali datang berkunjung.
“Gimana badanmu, Le? Udah mendingan?”
“Udah Tante. Lumayan udah lima hari istirahat, ga kemana-mana juga cuma makan tidur makan tidur aja.” Nanto meletakkan gelas kopinya di meja makan. Di sana ada Tante yang sedang menyiapkan sarapan dan Om Darno yang asyik membaca berita melalui Tab-nya. Nanto melirik ke arah Om-nya, ada perasan jengah dan takut di batin Nanto. Sejak pulang babak belur beberapa hari yang lalu, baru hari inilah Nanto bisa sarapan bareng keduanya.
Si bengal menunduk penuh penyesalan, ia benar-benar tidak ingin merepotkan Om dan Tante-nya yang begitu baik ini, tapi apa daya. Hampir seminggu yang lalu dua malam berturut-turut dia malah berantem, bikin motor penyok, pulang-pulang badan bengap. Oalah.
“Maaf ya Om, motornya jadi penyok gitu. Sungguh semua di luar apa yang aku…”
Maafkan aku, Om, Tante. Aku ternyata masih belum bisa menghindar dari kehidupanku yang lama, selalu berjalan di jalur kekerasan.
Tante Susan duduk di samping Nanto, tangannya mengelus lengan putra tunggal dari almarhum kakaknya. Wajahnya tenang, penuh pengertian, tanpa bias, dan tak ada pandangan menghakimi.
“Temanmu si Deka sudah cerita pada kami kejadiannya beberapa hari yang lalu, kamu dipojokkan dan dikeroyok. Kalau ini terjadi di tempat lain, kami akan bertanya-tanya. Tapi karena ini di UAL dan ini kamu… maka kami paham bagaimana ini bisa terjadi dan percaya semua yang disampaikan Deka.” Suara Tante Susan terdengar lembut meski tegas dan jelas. “Walaupun…! Walaupun kita semua berharap kejadian seperti ini tidak akan pernah terulang kembali.”
Nanto mengangguk. Ia melirik Om Darno yang masih memainkan tab sambil makan kue pukis.
Suami Tante Susan itu sama sekali tidak bicara.
Nanto meneguk ludah dengan tegang. Waduh, jangan-jangan marah beneran nih?
Tak lama kemudian Om Darno menarik sebatang V*cks Inhaler dari dalam kantong celananya, ia membuka tutup dengan gerakan memutar, lalu menghirupnya. Wajah pria itu terlihat sangat serius. Yang begini ini yang bikin Nanto selalu merasa tidak enak – wajah serius Om Darno berbanding lurus sama dengan deg-degan di dada Nanto, rasanya lebih dagdigdug daripada nembak cewek yang udah pasti nolak.
“Ga apa-apa. Namanya alangan.” kata Om Darno yang hanya menebar senyum. “Berapa, Le?”
“Berapa apanya, Om?”
“Berapa yang roboh?”
“Belasan.”
“Ada yang…?”
“Tidak ada, Om. Udah saya tahan, sudah sejak lama saya bisa mengatur seberapa besar yang ingin saya keluarkan. Semua berkat latihan bareng Ibu dan Kakek.”
“Kalau pakai separuh tenaga harusnya bisa lebih dari dua puluh.” Om Darno terkekeh. “Mereka kan cuma keroco.”
Nanto nyengir sambil garuk-garuk kepala.
“Ealah, podo wae kowe ki, Mas.” Tante Susan tertawa. “Sama aja kamu ini.”
Nanto ikut tertawa. “Saya kurang latihan akhir-akhir, Om.”
“Mumpung belum ada kerjaan dan belum masuk masa kuliah, kamu latihan aja di rumah, garasi kan luas itu, di sana juga lengkap ada punching bag, ada wooden dummy, ada treadmill ala kadarnya, semua bisa dipakai.” Om Darno mengedipkan mata. “Apalagi Tante-mu itu biar kesannya santai tapi juga anaknya Kakek, jangan remehin kemampuannya. Bisalah dia ngajarin. Bujuk Tante-mu, le.”
“Wealah, malah diobong-obongi.” Tante Susan menggelengkan kepala. “Malah dibakar. Memang Om-mu ini agak-agak kok, le.”
Nanto hanya tertawa, perangai Om dan Tante-nya sangat mengingatkannya pada si kakek tua konyol, susah ditebak. Dikira serius eh malah sableng, pas kitanya becanda mereka malah serius. Mirip juga seperti almarhum Ibunya yang memiliki perangai unik.
“Saya malah senang Tante, kalau Om dan Tante bersedia menurunkan apapun ke saya. Pelajaran dari Kakek masih belum tuntas. Masih banyak yang harus saya ketahui, saya masih harus banyak belajar. Tante dapet ilmu dari kakek sebagai putri beliau, Om juga murid kakek. Saya merasa sangat beruntung dan bangga kalau dapat kawruh dari Om dan Tante berdua.”
Om Darno tertawa. “Intinya adalah pengendalian diri.”
“Haish, udah to. Malah koyo sopo kae kowe kih, Mas. Jadi malah kayak siapa itu.” Tante Susan beralih ke Nanto. “Itu nanti gampang diatur, Le. Yang penting sekarang banyakin istirahat. Ingat jaga fisik dan mental. Masa-masa kuliah belum tiba, kamu sudah kena masalah. Oalah jan pancen anake Mbak Sari tenan. Bener-bener anaknya Mbak Sari kamu tuh.”
“Nanto pasti bisa mengatasi semuanya. Dia sudah dewasa.” Kata Om sambil menarik pukis dari piring, ini sudah pukis keenam. Laper ato doyan?
“Ya wes, tidak apa-apa, le. Seperti Om, Tante juga yakin banget kamu pasti bisa mengatasi semuanya. Asal ingat jangan pernah mengulang yang…”
Kalimat Tante Susan terhenti saat ia sadar hampir keceplosan. Om Darno menggeser kursinya ke belakang, berdiri, dan meletakkan tangannya di pundak sang istri. Seakan menahannya menyampaikan sebuah kalimat. Tapi Nanto tahu dengan pasti apa yang akan disampaikan oleh sang Tante dan kenapa Om Darno menahan supaya tidak terucap. Beruntung, Nanto sudah tahu bagaimana menjawabnya.
“Saya tidak akan mengulang kesalahan yang telah lalu, Te.” Nanto kembali menundukkan wajah, jika ada satu penyesalan yang teramat mengganggunya, maka penyesalan itu karena kesalahan yang membuat Ibunya terpukul dan sakit parah yang terakhir kali. “Saya akan berusaha keras mengendalikan sebisanya.”
“Yang dulu itu bukan kesalahanmu, le.”
“Itu memang sudah kehendak Kanjeng Gusti.” Tambah Om Darno.
Nanto terdiam.
Om Darno mengambil gelas dan menarik tuas dispenser untuk mengisi gelas dengan air hangat. Supaya suasana cair dan merubah mood, pria itu menanyakan hal lain. “hari ini kamu mau pergi, Le?”
“Rencana sih begitu, Om. Jalan-jalan aja di sekitar kampus, hapalin rute sambil cari-cari warung.”
“Kamu wes kuat kah?” tanya Tante Susan.
“Sudah Tante.”
Om Darno menepuk bahu Nanto dan tersenyum. “Ati-ati yo, Le.”
“Iya Om.”
“Kalau terpaksa… hanya kalau terpaksa, jangan cuma belasan lah. Kamu bisa dua puluh minimal.”
“Maaasssss! Awakmu ki lho! Kok malah bocahe diobong-obong sihhh? Gemes aku!” Tante geleng-geleng kepala sementara Om Darno hanya tertawa dan kabur dari meja makan sembari mencomot kue pukis sekali lagi.
Nanto ikut tertawa.
.::..::..::..::.
Sore itu belum malam minggu, tapi sudah menjelang. Hujan turun deras merata di seluruh penjuru kota. Apalagi di Kalipenyu, kawasan dingin di utara kota yang juga merupakan tempat wisata yang menempel di lereng gunung. Tempat dingin identik dengan hotel mantap-mantap. Nah, Kalipenyu punya banyak yang seperti itu. Di sana dan di sini banyak sekali motel dan hotel dari berbagai kelas dengan berbagai tipe dan rate harga. Lebih asyiknya lagi, tidak ada yang akan menanyakan kamarnya akan dipakai oleh siapa dan untuk apa, karena KTP palsu pun oke yang penting bayar.
Salah satu yang hari ini datang ke sebuah hotel di Kalipenyu dengan niat tidak untuk menginap tapi untuk alasan yang tidak perlu diceritakan adalah Deka dan Ara. Sesuai janji, Ara mengijinkan Deka mengajaknya ke Kalipenyu di malam minggu.
Saat ini Deka bahkan sudah berada di depan pintu kamar hotel.
Ia meneguk ludah, eh bener nih? Yakin nih? Dia masih tidak percaya akan melakukan ini semua dengan Ara. Gila aja, gengs.
“Kok di pintu aja? Masuk dong. Aku malu nih.”
Maka Deka pun melangkah masuk ke dalam kamar hotel dan menutup pintunya. Jantung Deka berdegup kencang. Ara berdiri di tengah ruangan. Tersenyum, cantik, menarik, seksi, dan menggairahkan. Saat itu Deka hanya mengenakan kaus produksi distro lokal dan celana pendek selutut bermotif army sedangkan Ara mengenakan kaus mini warna gelap yang ngatung memperlihatkan pusar dan celana jeans.
Deka menutup pintu dan melangkah pelan menuju Ara, lalu memeluk gadis mempesona itu. Deka memeluknya dengan erat. Merasakan tubuh Ara menghangatkan tubuhnya, lalu berpelukan lebih erat lagi. Seakan menyadari bahwa mereka saling membutuhkan dan tak ingin lepas. Ara memandang ke wajah Deka dan ada sedikit garis air mata membayang di pelupuk matanya. Entah kenapa.
Deka mencium bibir sang bidadari, Ara membalasnya. Bukan pertama kalinya mereka berciuman, tapi sekali ini, rasanya begitu spesial.
Saat berciuman, Ara bisa merasakan batang kejantanan Deka yang mulai mengeras menekan di perutnya meski masing-masing masih tertutup pakaian. Deka melesakkan lidahnya ke dalam bibir Ara sementara tangannya mengelus pinggang dari samping dan perlahan-lahan turun ke pantat Ara. Saat Deka meremas bokongnya, ciuman keduanya makin bernafsu, lidah mereka bertautan seiring desah nafas yang kian tak beraturan.
Tangan Deka kian nakal, ia menyelipkan jemarinya memasuki bagian terbuka di celana Ara dan masuk ke dalam untuk merasakan mulusnya pantat sang kekasih. Saat satu tangan meremas-remas pantat Ara, sedangkan tangan yang lain menelusup dari depan dan mengelus-elus bagian selangkangan sang kekasih.
“Mmmmhhhhh!” desah Ara keenakan, lidahnya memutar dan bermain liar saat sentakan birahi yang dilancarkan Deka meraja di tubuhnya. Meski memejamkan mata, Ara tahu saat kancing celana jeans-nya dibuka dan ritsleting-nya diturunkan. Deka menelusupkan tangannya di bagian depan celana Ara, memainkan jemarinya di rambut-rambut lembut sang dara dan turun terus hingga bertemu dengan celah bibir pintu surgawi yang ia cari-cari.
“Hmmmmhhhh…!”
Ara melenguh, membuat pertemuan bibir keduanya terlepas. Hanya sesaat, karena kemudian Deka menghisap kembali bibir mungil sang kekasih. Jemari nakalnya bermain di bibir kemaluan Ara, naik turun berulang, membuat dara jelita itu berkali-kali melonjak dan terkinjat seperti tersengat. Nafas Ara mulai terengah, panas rasa tubuhnya, mendaki birahinya.
“Mas Deka nakal. Aku kan jadi pengen.” Bisik Ara pelan sambil tersenyum. Deka membalas senyumannya dan mengangguk. Ia juga menginginkan Ara.
Tangan pemuda itu keluar dari celana Ara, lalu menggandengnya ke tepi pembaringan. Sekali lagi keduanya berciuman dan sekali lagi lidah mengambil peran. Dengan lembut Deka mulai mengangkat kaus yang menggantung indah di dada Ara. Gadis itu pun melepas ciumannya dan mengangkat kedua lengan agar Deka mudah melepas atasan yang ia kenakan. Deka meletakkan kaus Ara secara asal di lantai dan memandang keindahan tubuh bagian atas sang kekasih yang terbuka, menikmatinya, mengaguminya. Ara mengenakan pakaian dalam warna hitam yang senada atas bawah.
Ara melakukan hal yang sama, melepas kaus Deka melalui atas. Tangan lentik sang dewi meraba-raba sabuk yang dikenakan Deka dan membuka kaitnya, berturut-turut kancing celana dan ritsleting juga akhirnya dibuka. Begitu senang hati Deka, sampai-sampai dia tidak sabar dan mendorong celana pendeknya ke bawah dengan cepat, begitu pula dengan Ara yang melepas celana dan celana dalamnya dengan sedikit terburu-buru.
Akhirnya Deka dapat melihat dengan jelas bagian yang paling disembunyikan dari sang kekasih, putih mulus indah menawan dengan rambut-rambut lembut melindungi mahkota utama. Mahkota yang sudah mulai basah membanjir.
Dengan hanya mengenakan bra, Ara menyibakkan selimut di tempat tidur dan masuk ke dalamnya. Ia hanya memperhatikan saja saat Deka melepas celana pendek dan celana dalamnya. Pandangan mata Ara langsung fokus dan terpusat pada batang kejantanan Deka yang mengeras membesar, tegak tapi bukan tiang. Liang cinta Ara makin terasa basah karena membayangkan bahwa dirinyalah yang mengakibatkan Deka seperti itu, keindahan tubuh Ara-lah yang membuat Deka nafsu luar biasa.
“Ta… tapi, Mas… ada yang harus kamu tahu, ada yang harus aku sampaikan. Aku mau minta maaf sebelumnya…” Ara menenggelamkan wajahnya dengan malu di bawah selimut, ia tidak tahu apa reaksi Deka. Bisa saja kekasihnya itu tiba-tiba saja keluar dari pintu dan meninggalkannya. “Aku harus jujur kalau aku sudah tidak…”
Deka hanya tersenyum, ia membuka selimut yang dipegang erat oleh Ara, meletakkan telunjuknya di bibir Ara, lalu menggelengkan kepala seperti paham dengan apa yang akan diucapkan oleh bidadarinya. Deka pun mengecup kening dan bibir sang kekasih menandakan ia tidak pernah ada masalah dengan hal itu.
Pemuda itu kemudian memainkan tangannya di perut langsing Ara, sembari menatap dalam-dalam indah bulat dua matanya. Cantik, sungguh cantik sang kekasih hati. Tangan Deka turun, membelai paha dan pantat mulus yang tak terkira sembari menurunkan wajah dan menangkupkan kembali bibirnya ke bibir Ara, saling menyapu, menguas, mengelus, meminta lebih hingga napas terengah. Jari Deka semakin nakal, turun lebih ke bawah lagi, menangkup kemaluan sang kekasih dan memasukkan jemarinya ke bibir liang cinta Ara perlahan-lahan.
“Mmmhhh…” Ara mendesah manja kala jari bandel Deka merasakan memek Ara yang telah basah.
Ara tak mau kalah, ia mengelus tubuh Deka yang lumayan kencang, mengagumi perut bak roti sobek Deka dengan elusan jemari lentik yang lantas turun ke bawah dengan cepat untuk menggamit batang kejantanannya. Jemari cantik milik Ara menggenggam penis Deka dengan erat. Wah, sudah keras sekali! Digerakkannya jemari itu naik turun sementara pinggulnya sendiri bergoyang seiring gerakan jari Deka di dalam liang cintanya.
Deka menarik jemarinya dan Ara mulai bersiap.
Ara merentangkan pahanya lebar-lebar saat kaki Deka kemudian menyelinap di antara kedua pahanya. Saat itu kemaluan Deka yang sudah teramat keras benar-benar di depan pintu gerbang kenikmatan milik Ara. Bagai ada magnet memancar dari bibir pintu surgawi milik Ara, ingin sekali rasanya menusuk dan membuat keduanya sama-sama mencapai kenikmatan, dia ingin melakukannya, dia sangat menginginkannya, tapi Deka menahannya.
Dengan perlahan sekali, Deka menarik turun bra yang dikenakan oleh Ara, sedikit demi sedikit memperlihatkan bulat indah areola merah muda merona yang kuncupnya menonjol naik dengan keras. Pemuda itu pun dengan nakal memainkan lidahnya di ujung mungil puting Ara.
Ara hanya bisa pasrah terbaring dan terengah berulang saat bibir Deka memainkan pentil susunya dengan lidah dan bibir, bagaikan ada setrum yang menyentak dari ujung puting ke selangkangannya yang ingin dimanja. Deka melepas bibirnya dari pentil susu sang kekasih dan mulai mengecup bulat balon payudara Ara, lalu ke atas, menyusuri tulang bahu. Tiap jengkal tubuh Ara adalah area indah yang tidak ingin ia lepas dan ingin ia nikmati selamanya.
“Mau masukin sekarang, sayang.” Kata Deka dengan lembut.
Kalimat yang diucapkan Deka membuat Ara tersenyum.
Ara ingin memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi Deka di saat pertama kali mereka berdua menjadi satu seperti ini, ia pun membalikkan badan dan menjadikan lengan dan lututnya sebagai tumpuan, ia mengangkat pantatnya tinggi-tinggi sehingga memeknya benar-benar menjadi berada di depan muka Deka. Oho! Who let the dogs out? Doggie Style!
Gadis itu pun mengangkat tubuhnya, meraih ke bawah selangkangan Deka dan menyiapkan penis itu di depan liang cintanya. Ia menggoyangkan sesekali ujung gundul penis Deka di bibir kemaluannya sendiri, menyentakkan birahi keduanya. Dengan hati-hati dan sangat pelan, Ara memasukkan batang kejantanan Deka ke dalam memeknya. Ia memejamkan mata saat dirinya sendiri mengijinkan batang kemaluan Deka masuk perlahan dan memenuhi liang senggama yang menyesuaikan diri, melentur, melemas, mengeras, dan meremas. Penis Deka akhirnya masuk hampir sepenuhnya.
“Ooooohhhhhh…” keduanya melenguh nikmat hampir bersamaan. Kesan pertama yang tak akan terlupakan ini wes.
Liang cinta Ara merasakan desakan benda asing yang memenuhi rongga hingga membuat sang bidadari tak kuasa menahan nikmat yang membuncah. Deka yang sedang memejamkan mata mencari-cari bulat pantat Ara dan saat menemukannya ia meremas pipi montok bokong sang kekasih, lalu menggunakannya sebagai pegangan saat ia perlahan-lahan bergerak maju mundur, merasakan tiap sudut yang ditawarkan oleh sang dara.
Deka melirik ke bawah, melihat bagaimana pantat indah Ara maju mundur menampar-nampar kantung kemaluannya. Deka menarik penisnya hingga sampai hampir ke ujung kepala gundulnya, ia menahannya sebentar, melihat bagaimana batang itu sudah basah oleh cairan pelumas dari dalam liang cinta sang dara. Ara mengerang manja ingin segera disayang, saat ia sama sekali tak menduga, Deka justru mendorong maju dengan kekuatan penuh dan menenggelamkan kemaluannya dalam-dalam.
“Hnggghhhkkkkk!”
“Eh… gimana sayang?”
“Enak banget…” desah Ara manja.
Ia mengangkat pantatnya kembali, lagi-lagi untuk memberikan akses lebih mudah pada Deka. Ara juga menggoyang pantatnya ke atas tiap kali sodokan dari Deka datang, dan rasanya enak sekali! Penis kencang dan keras milik Deka makin berkuasa di liang cinta Ara, makin mendesak masuk, makin menggali lebih dalam dari yang pernah ia gali sebelumnya.
Deka luruh dan memeluk sang kekasih dari belakang, sembari tetap memaju-mundurkan pinggulnya dengan nyaman. Ini enak sekali! Asli!
Liang cinta Ara yang hangat dan rapat membuat tiap kali penisnya tergesek, Deka merem melek keenakan. Begitu enaknya sehingga dia menggunakan sodokan yang lebih cepat dan lebih lama ditariknya untuk kemudian dihantamkan dalam-dalam. Ara bisa merasakan napas Deka di dekat telinganya saat penis sang kekasih menusuk dalam-dalam.
Deka bagai mematok lututnya di pembaringan sembari menggiling kemaluan Ara bertubi-tubi. Makin lama gerakan Deka makin cepat dan makin cepat, ia makin buas dan makin lapar dengan sajian ternikmat yang pernah diberikan oleh Ara.
“Aaaahhhh… aaaaahhhh… aaaahhh….” lenguhan demi lenguhan Ara bagai musik bagi Deka, “I-ini enak banget… enak banget, sayaaaang.”
Terengah-engah Ara disodok bertubi-tubi oleh Deka yang bergerak bagai mesin bor. Rasa nikmat yang diucapkan oleh Ara membuat Deka menjadi semakin bersemangat. Pria itu memaksa dirinya mencapai puncak penyerangan yang paling dahsyat, ia maju mundur dengan sangat cepat, memeluk tubuh sang kekasih, dan mencium pipinya berulang-ulang dari belakang. Ara menoleh ke belakang dan mencium bibir Deka dengan penuh rasa sayang.
Lidah bertemu lidah kembali saat Deka menyetubuhi Ara dari belakang. Gadis itu mengangkat pantatnya ke atas dan mendorongnya ke belakang berulang, berlawanan dengan gerakan menumbuk yang dilakukan oleh Deka. Lagi dan lagi dan lagi dan lagi. Berulang, bertemu, dan berpadu. Nikmatnya? Jangan ditanya!
“Hnnghhh! Hnnghhh! Hnnghhh! Hnnghhh!” suara jeritan nikmat Ara mungkin bergema di sepanjang lorong hotel saat kemaluan Deka menghantamnya berulang-ulang dari posisi doggy style begini, kemaluan yang keras dan panjang yang memberikan kenikmatan tak terperi di dalam liang cintanya. Ara berulang kali menggemeratakkan gigi sambil menahan kenikmatan yang membuat seluruh tubuhnya seperti tegang, sementara Deka tak berhenti menggejot terus dan terus dan terus.
Ara terkesiap berulang, menggeliat di bawah deraan organ keras yang tengah menghentak-hentak bagian paling rahasia dalam tubuhnya dengan menggebu-gebu. Kakinya yang jenjang melebar dan direntangkan lebar-lebar sementara jari-jari lentiknya mencengkeram seprei dengan teramat erat. Sepertinya Ara sudah hampir mencapai puncak kenikmatan karena ia membuka mulut seakan berteriak namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya, berkali-kali ia mengejan penuh kepuasan. Hal itu dipahami oleh sang kekasih.
Deka pun memaju-mundurkan penisnya untuk beberapa kali lagi dengan santai, membiarkan Ara memulihkan diri dan menarik napas. Gadis itu kembali memejamkan mata dan membuka mulut tanpa suara saat Deka menarik batang kejantanannya keluar dari memek sang kekasih.
Deka menggulirkan pinggang Ara, meminta gadis itu berganti posisi. Ara pun berputar dengan posisi telentang, Ara mengangkat kakinya tinggi ke atas, melebarkan kakinya. Deka mengaitkan kaki Ara ke pundak dan cepat-cepat menempatkan ujung gundul penisnya ke bibir kemaluan sang kekasih. Ara memejamkan mata dan bersiap sekali lagi.
Satu gerakan menyodok maju diterima dengan mudah oleh memek Ara karena lahannya yang sudah basah. Rasa hangat nikmat membungkus batang kejantanan Deka, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itupun melenguh bersama. Mata Ara yang tadinya terpejam terbuka lebar, menatap mata Deka yang juga sudah terbuka, tusukan Deka berasa semakin dalam saat Ara menatapnya seperti itu.
Deka bergerak dengan lebih cepat, mendorong kemaluannya keluar masuk liang cinta Ara yang sudah terangsang hebat dengan sentakan-sentakan kencang. Setiap erangan dan lenguhan sang kekasih bagai musik di telinga Deka, matanya terpejam tiap kali ia merasakan lipatan liang cinta Ara bagai amplop yang membungkus dan meremas, sementara buah dadanya memantul atas bawah pada tiap sentakan.
“Hnggh! Hngghh! Hngghh!” suara Ara terdengar liar, sementara Deka tahu perlahan-lahan dia juga sudah menanjak ke puncak kenikmatan.
“A-aku sudah mau…” Deka mencoba bicara di sela-sela napasnya yang kembang kempis. Setiap kata yang ia ucapkan menambah sensasi berlebih di liang cinta Ara. Bagaimana ini…? Dilepas di dalam? Di luar? Di dalam? Bagaimana kalau nanti dia hamil? Bagaimana kalau nanti dia… tapi Ara tidak ingin kenikmatan ini lepas dengan cepat. Bagaimana jikaa… aaaaahhh! Ini terlalu enak untuk dicabut!
“Di… di dalammm! Unggh!!” kembali Ara melenguh.
Duh, yakin kamu, Ra?
Gadis itu dapat merasakan batang kejantanan Deka makin mengencang di dalam vaginanya saat kata-kata di dalam diucapkan. Makin keras seperti batang kayu! Kali ini Deka memompa dengan kecepatan tinggi bak seekor hewan buas yang sedang birahi, menggenjot batang kemaluannya dalam-dalam di liang cinta Ara bak diberi mesinn turbo.
“Ooooohhh!!!” Ara mencapai puncak, lagi.
Batang yang mengeras dipadu dengan gerakan kasar Deka saat mendorong penisnya melempar gadis itu ke titik terakhir pertahanannya. Dinding kemaluan Ara meremas-remas batang kejantanan Deka yang maju mundur dengan cepatnya dan kaki jenjang gadis jelita itu direnggangkan lebar agar Deka bisa bergerak lebih bebas lagi.
Deka melesakkan penisnya hingga paling mentok di dalam liang cinta sang kekasih dan menahannya di sana, pemuda itu melihat kekasihnya yang cantik mencapai titik klimaks yang diinginkan. Kaki Ara turun dari pundak Deka dan melingkar di pinggangnya, mengunci tubuh sang kekasih agar tetap dekat dan hangat dalam pelukannya. Penis Deka mengejang sesaat di dalam vagina Ara, dan cairan kental membanjir hingga memenuhi setiap sudut di liang cinta Ara. Deka melenguh dan sekali lagi penisnya mengejang. Sekali lagi banjir cairan cinta membludak di dalam vagina Ara.
Tangan gadis jelita itu memeluk leher Deka dan menariknya, membimbing bibir sang kekasih untuk mendekat hingga bibir keduanya saling bertemu. Baik Deka ataupun Ara sama-sama menekan bibir satu sama lain, hanya menekan saja sambil merasakan deburan-deburan ombak orgasme menghantam batin mereka masing-masing. Dinding liang cinta Ara meremas-remas batang kejantanan Deka yang masih melepaskan cairan bertubi. Keduanya melenguh, menggilas selangkangan masing-masing. Lidah keduanya saling mengular, mencari, mengait, sementara bibir keduanya terus menerus menikmati ciuman yang tak kunjung lepas sembari melepas sisa-sisa orgasme.
Sampai akhirnya semua benar-benar usai dan lepas tuntas.
“Aku cinta sama kamu, sayang.” Bisik Deka sembari mengatur napas yang terengah.
“Aku juga…” Desah Ara. “…sama kamu.”
Ia memeluk Deka dan saat itu pula batang kejantanan Deka mulai lemas di dalam liang cintanya. Deka tidak menariknya, ia biarkan saja lunglai di dalam wanita yang ingin ia peluk sepanjang sisa usianya.
.::..::..::..::.
Tanpa direncanakan oleh siapapun kecuali para petani dan kodok yang riang, hujan pun turun. Deras berderai berbaris menghunjam bumi. Matahari bersembunyi di balik mega gelap yang menguasai paparan langit. Tetesan hujan mengenai apa saja yang bisa dikenai, atap, tembok, aspal, gedung, jalan, pohon, daun, dan ranting. Mengucur deras dari setiap sudut, dari atas turun ke bawah, mencari yang kering, membasuh yang berdebu.
Jalan yang basah tak pernah lepas dari pandangan kosong Nanto yang berdiri berteduh di bawah teritisan ruko kosong di pinggir jalan. Ia tak mengira hujan akan turun jadi ia tidak membawa jas hujan. Motornya dipinggirkan namun karena posisi antara ruko, jalan besar dan parkir motor agak jauh, ia harus berlari-lari dan meninggalkan motornya basah di bawah derasnya hujan di ruang parkir. Baju dan celana si bengal juga basah sebelah karena sempat terkena cipratan mobil yang lupa bahwa air juga bisa meloncat naik dari genangan.
Awan sangat-sangat mendung. Sepertinya hujan akan turun cukup lama dan awet.
Tiba-tiba saja ada seorang gadis berhijab yang ikut berteduh di sebelah Nanto, bajunya basah setelah didera hujan tanpa ampun. Ransel yang ia kenakan juga terkena hujan, untung saja ransel itu sempat dilindungi oleh cover sehingga tidak sampai benar-benar basah total. Ranselnya sepertinya berat, mungkin bawa laptop.
“Mas… saya numpang neduh ya.” kata gadis itu dengan suaranya yang merdu.
“Bo-boleh aja, Mbak.” Kata Nanto sedikit kikuk, lha yang punya teritisan pertokoan ini kan bukan dia, Kok dia yang dimintain izin. Nanto pun bergeser ke kanan, memberi tempat lebih luas untuk si gadis berhijab.
Langit masih sangat gelap dari ujung ke ujung, hujan juga sangat deras, tetesannya berdebam, seperti hendak melubangi tanah dengan dentuman air langit. Beberapa kali kilat menyambar dan pekat petang mendung sang awan. Hujannya beneran awet nih kalau kayak begini. Duh, mana perut Nanto keroncongan pula.
“Hujannya deres banget.” Kata si gadis tiba-tiba setelah ia dan Nanto tak berbincang hampir lima menit.
“Iya nih, kayaknya sih bakal lama. Langitnya gelap banget.” Nanto melirik ke samping. Saat itu barulah ia sadar… lha, jebul cakep juga ya cewek ini, ramah pula. Gigi-gigi putih berderet rapi di wajah lembut yang tersenyum lembut. Tipikal akhwat idaman ikhwan banget ini.
Deras makin tiada ampun, berderai menabuh atap dan mengalir ke segala arah, menguasai sudut demi sudut, membilas, membasuh, mencuci gedung-gedung tinggi dan atap-atap berdebu. Tumpahan air yang ceria, bermain dan bercanda, melompat dari satu titik ke titik lain, lalu pecah menjadi basah. Guyuran hujan tak kenal posisi, atau lokasi, atau status tiap insani. Semua sama semua rata. Basah ya basah aja.
Dua anak manusia terdesak oleh rintik rinai hujan yang nampak bahagia tak lagi berjumpa sang surya, semua bermain dengan gembira.
“Sudah lama di sini, Mas?” tanya gadis berhijab.
“Lumayan, Mbak. Sudah sejak tadi.” kata Nanto yang secara reflek lantas memeriksa ponsel untuk melihat jam. “Mbaknya ga bawa jas hujan?”
“Eh, udah aku kasih ke orang, Mas. Hehehe. Kasihan sih tadi lihatnya, dia jualan bakso tusuk tapi dagangannya masih penuh.”
“Oh gitu.”
“Masnya kerja? Kuliah?”
“Mau kuliah dan lagi cari kerja.”
“Ha?”
Nanto tertawa.
Ternyata justru si gadis berhijab yang dengan ramah mengajak berbicang dengan Nanto dan mencairkan suasana kaku. Basa basi standar sih, kerja atau kuliah, kuliah di mana, dan sebagainya. Ia juga bertanya tentang Nanto yang bercerita bagaimana ia akan masuk kuliah malam di UAL dan sang gadis bercerita tentang kehidupannya semasa satu tahun kuliah yang diselingi bermacam kegiatan lain.
Basa-basi layaknya dua orang yang baru pertama kali ini berjumpa, lalu diam lagi tak lama kemudian. Mungkin kehabisan bahan basa-basi.
Senyap menjadikan suasana jauh dan asing, memang lebih asyik berbincang.
Gadis itu meletakkan tangannya ke depan, seakan menadah dan air pun menetes ke telapak tangannya yang putih bersih tanpa noda. Ia menarik kembali tangannya yang basah. “Deres banget ya. Kalau menurut Mas, hujan itu bagaimana?”
“Ha? Bagaimana gimana maksudnya?”
Bajilak. Susah amat pertanyaannya. Ini cewek anak filsafat? Kayaknya sih bukan.
“Pendapat tentang hujan. Apapun itu.”
“Aku suka dengan suasana hujan. Hawa jadi adem, tumbuh-tumbuhan terpenuhi dahaganya, aspal yang basah bagaikan dicuci, suasana dingin juga bikin kita pengen memeluk guling dan menarik selimut. Apalagi kalau sambil memutar lagu-lagu yang nyaman didengar. Kalau kamu?”
“Entahlah. Ada yang membuat aku sedih tiap kali hujan turun.”
“Kok sedih? Kenapa? Turun di saat yang tidak diduga?”
Gadis berhijab itu kembali tersenyum, asli senyumya manis banget! Gawat ini. Siap-siap insulin anti diabetes nih. “Mungkin juga itu salah satu penyebabnya.”
Keduanya kembali terdiam saat rintik hujan makin keras dan makin deras.
Tak jauh dari posisi Nanto dan gadis berhijab berteduh, ada warung burjo kecil yang buka dan tak begitu ramai. Sesuai namanya, warung itu biasanya menyediakan bubur kacang hijau, aneka olahan Ind*mie, nasi telur atau nasi sarden, dan aneka minuman sachet. Sederhana, tanpa banyak prasangka, tapi bikin kenyang.
“Ke sana yuk. Segelas teh anget atau bubur kacang hijau hangat kayaknya enak juga. Lumayan sambil nungguin hujan reda. Gimana?” tanya si gadis berhijab dengan ramahnya. Karena kerasnya suara hujan si gadis terpaksa mengulang kalimatnya sambil menunjuk ke arah warung burjo.
“Hmm…” Nanto melongok ke tempat itu, kayaknya lumayan juga. Ia pun mengangguk. “Hayuk.”
Si gadis berhijab berjalan di depan Nanto yang membuntutinya dengan bahagia, melangkah kecil menyusuri pinggir trotoar dengan berlindung di bawah kanopi toko demi toko. Kaki-kaki mereka pintar menapak, mencari celah pijakan yang terhindar dari derai hujan. Tak berapa lama keduanya telah sampai di depan warung burjo. Warna hijau dengan kombinasi merah dan kuning menghiasi dindingnya.
Ada beberapa orang yang sudah berteduh di sana, menikmati segelas hangat teh atau kopi. Ada juga yang sibuk menyeruput Ind*mie hangat dengan topping telur setengah matang dan irisan sayur seadanya. Ada setidaknya dua pasangan muda-mudi yang cekakak-cekikik sembari saling sentuh dengan mesra, bagi mereka hujan ini mungkin berkah yang menyatukan keduanya.
Dua gelas teh manis hangat dan dua mangkok bubur kacang hijau dihidangkan di depan Nanto dan si gadis berhijab yang duduk bersebelahan tepat di sebuah meja panjang. Lumayan lah untuk menghangatkan badan yang menggigil karena hawa dingin yang dibawa hujan dan dihembuskan angin.
Si gadis berhijab menyendok bubur kacang hijau dan menyeruput sedikit di antara bibir mungilnya yang basah. Aaahh… anget-anget sedep. Ia yang tadi sedikit menggigil kini mulai segar. Tuangan teh manis juga membuat kerongkongan lebih nyaman oleh semilirnya air hangat.
“Eh iya, udah ngobrol ngalor-ngidul tapi kita belum kenalan.” ucap gadis itu sambil menatap Nanto dengan pandangan mata bulat imutnya.
Gawat ini gawat! Gawat gaes! Gawat! Ancaman banget cakepnya. Ancamaaaan!!
“Jalak Harnanto. Panggil saja aku Nanto.” jawab si bengal sambil tersenyum dan berusaha sok jaim.
“Aku Kinan. Kinan Larasati.” Kata gadis itu sembari mengulurkan tangan yang lembut. Jari jemarinya lentik dan kukunya bersih bening.
Keduanya lantas berbincang-bincang sembari menikmati burjo dan teh hangat, melupakan sejenak hujan yang tak kunjung reda, malah bertambah kian menjadi. Suara air beradu dengan genting bagai musik sore itu.
Rasa jenuh yang sejak tadi menaungi si bengal saat berteduh sendirian berangsur sirna, karena suasana menjadi hidup kala tawa Kinan ada. Gadis jelita berhijab yang ramah dan senyumnya memabukkan. Tanpa sadar mereka bercakap-cakap tak tentu arah, membincangkan suasana kampus, kerja sambil kuliah, persiapan masuk kampus, bagaimana mencari kerja, semua terlontar begitu saja dengan santainya.
Sampai tak terasa setengah jam lebih waktu berlalu dan mereka berdua kehabisan bahan pembicaraan yang seru. Baik Kinan ataupun Nanto sama-sama tenggelam dalam diam, saling mengurai bahan canda tawa namun menyadari keduanya masih asing satu sama lain. Apa yang akan diungkapkan lagi? Bagaimana mencari bahan cerita yang tidak menyinggung dan tak menyelidik?
Hujan makin deras di luar sana, guntur terpancar berulang, membuat gedung takut dan bergetar, bagai balas dendam terhadap matahari yang terik sepanjang hari, atau memang awan tak lagi mampu menahan beban yang dikandung dan menumpahkan seluruhnya pada para penghuni bumi.
Di luar warung burjo, di seberang jalan, ada sebuah tempat duduk di samping mesin ATM tunggal yang berdiri di pelataran parkir sebuah ruko. Di sana duduk seorang pria paruh baya, duduk terpekur diam di tengah hujan. Mata Kinan tak pernah lepas dari sosok pria itu.
“Kasihan juga dia, kehujanan begitu.” Ujar Nanto menyadarkan Kinan dari lamunan, sekaligus memberanikan diri menyambung pembicaraan yang tadi sempat terputus.
“Tidak tahu juga. Siapa tahu dia sedang di sana karena dia menyukai berada di bawah siraman air hujan, sedang menikmati suasana dingin yang sudah lama tidak ia rasakan, atau karena dia seorang laki-laki yang tak pernah ingkar janji dan menunggu seseorang datang, seseorang yang sangat penting baginya.”
“Welah. Mana ada orang yang rela berhujan-hujan begitu kecuali dia…”
“Gila? Ada lho yang rela. Aku dulu pernah seperti itu. Setia menunggu seseorang karena sudah berjanji, rela menanti berjam-jam. Tadinya berteduh, tapi karena takut orang yang ditunggu tidak melihat dari pinggir jalan, lantas rela berdiri di tengah hujan. Berdiri kedinginan lama menunggu orang yang tak pernah datang sampai ada seorang ibu tak kukenal yang baik hati yang memberikan payungnya untukku.”
Nanto mendengarkan gadis itu dan terus menatap ke arah si pria di seberang jalan. Dia teringat Ara. Seberapa lama dulu Ara bersabar menunggunya? Bersabar berhubungan jarak jauh dengannya? Berapa lama ia merasa sakit dan hancur? Berapa lama sebelum Ara akhirnya memutuskan menerima Deka? Nanto memutuskan hubungan mereka agar Ara mendapatkan yang lebih baik darinya, apakah orang itu benar-benar Deka?
“Sebelumnya aku tidak pernah bermasalah dengan hujan lho, tapi sejak saat itu hujan selalu membuat aku sedih, atau mungkin baper saja. Ada yang kacau dalam hati. Seperti gini: perasaan percuma menanti seseorang yang tak pernah mengerti ada orang yang menunggunya dengan setia sampai rela mengorbankan banyak hal.”
Kembali kalimat Kinan memukul batin Nanto, apakah itu yang dirasakan Ara? Dulu Nanto-lah yang telah merenggut keper… semuanya. Nanto-lah yang telah mengambil dan mendapatkan kasih sayang tanpa syarat dari Ara dan ia memutuskan hubungan mereka begitu saja. Betapa bedebahnya seorang Nanto yang kala itu tak berperasaan di mata seorang Ara, meskipun hal itu dimaksudkan untuk memberikan hal yang terbaik.
“Hebat kamu. Menunggu sampai berkorban begitu, berhujan-hujan, menghabiskan waktu dan kesehatan yang berharga demi seseorang yang tak pasti akan datang. Sekarang bagaimana kabar orang yang kamu tunggu itu? Masihkah kamu bersedia menunggu?” tanya Nanto.
“Hahaha, apaan. Kalau aku hebat, sampai saat ini pun aku masih akan menunggunya. Tidak. Aku tidak hebat. Aku sudah menyerah. Biar hujan yang membawanya pergi, dia pernah bilang kalau aku ini bagai pelangi yang ia rindukan, yang membuat senang siapapun yang melihat dan memandang. Puitis ya? tapi ternyata hanya sepenggal kalimat tanpa makna, karena dia kemudian pergi entah ke mana. Mungkin menemukan pelangi lain yang lebih indah baginya.”
Nanto tersenyum, “kita berdiri berseberangan, aku pernah menjadi orang yang ditunggu oleh seseorang dan karena aku kasihan melihat dia menunggu terlalu lama, aku memintanya untuk tidak lagi berdiri di tengah hujan. Aku memintanya untuk menepi dan berteduh di teritisan yang lebih kering dan sejuk.”
“Hahaha, dasar.” Kinan memukul pundak Nanto pelan, “Begitu pun tidak apa-apa, meskipun mengecewakan tapi setidaknya ada ucap kalimat minta maaf supaya meneduh di tempat lain, Mas. Tidak ditinggal begitu saja di tengah hujan.”
Nanto tertawa, tawa yang untuk sesaat menutup percakapan keduanya. Kalau dipikir-pikir lucu juga sebenarnya. Mereka berdua ini belum pernah bertemu sebelumnya, belum pernah kenal, jangankan berbincang akrab, ngomong berdua aja baru kali ini. Tapi seperti ada sesuatu yang berbeda dari Kinan yang membuat setiap orang yang ngobrol dengannya merasa akrab, merasa dekat, merasa dihargai, dan merasa diorangkan – begitupun Nanto yang santai menanggapi.
“Mas Nanto…”
“Ya?”
“Pernah nggak Mas melakukan kegiatan sosial?”
“Kegiatan sosial?”
“Iya. Kegiatan sosial. Aku saat ini tergabung dengan kegiatan sosial yang membantu anak-anak jalanan. Aku sama teman-teman aku mengajarkan anak-anak jalanan itu ilmu yang secukupnya supaya mereka yang tidak pernah merasakan sekolah memiliki bekal dalam hidupnya.”
“Hmm, menarik juga. Asyik kedengerannya.”
“Iya, Mas. Tapi kami saat ini kekurangan orang sebagai tenaga pengajar. Tidak banyak yang bisa kami lakukan karena memang kami bekerja secara sosial, tidak ada yang dibayar, dan semuanya atas dasar sukarela. Tidak banyak yang bertahan. Aku dan temenku sih sudah mulai semua ini sejak kami masih SMA.”
“Hebat banget kalian.”
“Hmm. Ga juga sih. Kami bukan orang hebat ataupun pahlawan. Kami hanya orang-orang yang menyempatkan diri. Meluangkan waktu demi orang-orang yang membutuhkan. Apa yang kami lakukan sederhana saja, tapi kami berharap bisa berguna untuk kehidupan mereka kelak.”
“Menarik. Boleh kapan-kapan aku ikut melihat?”
“Boleh dong. Apalagi kalau mau bergabung!”
“Hahaha, lihat dulu deh seperti apa.”
Kinan menarik dompet dari dalam tasnya, mengeluarkan sepucuk kartu dan memberikannya pada Nanto. Ada nama Kinan Larasati, nomer ponsel sekaligus WhatsApp-nya. Di tengah-tengah kartu terdapat logo bertuliskan K3S – Kelompok Sahabat Sejati Selamanya.
“Boleh minta nomer Mas Nanto?”
“Ha?” Nanto terkesiap, eh iya. Nomernya. Nomernya. Walah. Ditanyain nomer sama bidadari begini gugupnya kayak ketemu lampor. “I-ini…” Nanto menyerahkan ponselnya.
“Lho? Kok dikasih hape? Nomernya aja, Mas.” Kinan tertawa.
“Ealaaah. Iyaaa.” Nanto membuka kontak di ponselnya dan mencari-cari nomernya sendiri yang dicatat di sana. Setelah ketemu ia memberikannya pada Kinan yang kemudian mencatat nomer Nanto di ponselnya.
“Kapan-kapan kalau kita ada acara, aku kontak Mas Nanto deh. Siapa tahu Mas Nanto mau lihat. Kalau mau bergabung akan lebih baik lagi.”
Nanto mengangguk dan tersenyum.
Bersamaan dengan senyuman si bengal, hujan di luar akhirnya reda. Reda dengan begitu saja, tiba-tiba, tanpa aba-aba, tanpa basa-basi, tanpa permisi. Sinar mentari menyeruak terang diantara mega. Wah, padahal Nanto baru saja mulai nyaman dengan hujan dan duduk berdua dengan Kinan.
“Eh, hujannya sudah berhenti, Mas. Sudah waktunya aku pulang.”
“Aku juga.”
Usai membayar ke mamang-mamang penjaga warung, Nanto dan Kinan berjalan bersebelahan menyusuri ruas parkir ruko menuju tempat parkir motor mereka. Nanto melirik ke arah Kinan yang berjalan di sebelah kanannya, tubuh gadis ini tak seberapa tinggi, mungkin hanya sebahunya. Mungil tapi adem, ramah, ceria, baik hati, dan menyenangkan.
“Awas hati-hati, jalanan licin. Jangan sampai tergelincir.” Kata Nanto.
Gadis itu tersenyum, sekali lagi menampilkan deretan gigi putih rapi bersih dan mempesona. Ah, gadis ini bener-bener adem sekali, kayak es baru keluar dari freezer.
“Mas, lihatin deh tuh.” Kata Kinan tiba-tiba.
Nanto menengok ke arah yang ditunjuk Kinan. Tempat bapak-bapak yang berhujan-hujan tadi duduk. Seorang gadis bermotor matic datang dan menjemput. Gadis bermantol itu menangis dan menunduk-nunduk, berulang kali mencium tangan si bapak yang hanya tersenyum dan mengelus kepala sang gadis.
Nanto tersenyum dan mengangkat jempolnya, Kinan terkikik geli sambil juga mengangkat jempol.
“Motor Mas diparkir di mana?”
“Itu tadi di sana, yang tempat kita meneduh awal.”
“Kalau aku di sebelah sana. Sepertinya kita berbeda arah, Mas.”
“Oh begitu. Ya ya.”
“Udah dulu ya, Mas. Senang meneduh bersama begini. Hahaha.”
“Aku juga senang.”
“Bye, Mas Nanto. Kapan-kapan kita kontak lagi.”
“Bye, Kinan.”
Keduanya berpisah dengan senyuman, melangkah menuju arah yang berbeda dan berseberangan. Nanto ke kanan, Kinan ke kiri. Selangkah, dua langkah.
Hmm.
Nanto membalikkan badan, bersamaan dengan Kinan yang ternyata juga melakukan hal yang sama. Keduanya tertawa. Kinan tersenyum manis dan melambaikan tangan. Nanto juga. Kembali keduanya berjalan ke arah berlawanan, entah kapan akan kembali berjumpa.
Langit yang muram kini berubah warna, terang jingga di atas kota.
Ada pelangi di ujung ufuk senja.
Si bengal jalan lagi dengan motornya, menyusur jalan perlahan saja, hatinya masih berbunga-bunga karena perjumpaannya dengan Kinan tadi. Kampus demi kampus ia lewati. Banyak bener kampus di daerah ini ya? Selain banyak kampus yang berkumpul di kawasan yang dibelah oleh satu sungai besar tepat di tengah-tengahnya, banyak juga warung dan kos-kosan bertebaran. Mau cari apa aja ada di daerah sini. Mulai dari penjual siomay dan batagor sampai mie nyemek dan sego godog.
Tapi malam ini Nanto sepertinya pengen ngerasain sego kucing. Si bengal melirik ke arah satu sudut pertigaan jalan – tepat di depan gang masuk di samping gedung kosong yang biasa dipakai sebagai tempat pertemuan. Ada satu warung angkringan sederhana di sana.
Asyik nih.
Nanto memarkirkan kendaraannya di depan mulut gang. Supaya tidak terlalu mengganggu aktivitas kendaraan yang kemungkinan keluar masuk. Usai parkir, Si bengal masuk ke warung remang-remang asoy. Ia tadinya hendak duduk di kursi papan panjang, tapi niatnya diurungkan saat melihat bentuk kursi yang meliuk karena ada pria gendut duduk di sana. Ya udah duduk di samping aja ada kursi plastik. Di sebelah Nanto hanya ada seorang pemuda berjaket kulit warna hitam yang sedang makan nasi kucing dan ceker dengan sedepnya.
“Halad, Dab? Mau makan juga?” tanya si jaket kulit.
Enggak Mas, saya ke warung angkringan mau nyari sempak, nggelar tiker, nitip sendal, bangun tenda.
“Iya, Mas. Mau makan.”
Lah iya udah tau masuk sini jelas cari makan lah, masa iya cukur rambut, Mbut.
Si jaket kulit manggut-manggut.
Nanto memilih-milih bungkusan nasi yang tidak ada tulisannya. Waini, bagaimana seorang bakul angkringan menyusun nasi memang jadi misteri Ilahi. Yang mana isi sambel teri, yang mana isi oseng tempe? Bedo-bedo je carane mbungkus. Tidak ada ya aplikasi yang bisa mendeteksi isi bungkusan nasi?
“Mas. Ini yang mana isi teri yang mana tempe yo?”
“Bentar ya, Mas. Sedelok.” kata mas penjual angkringan sambil tersenyum dan menunjuk ke ponsel yang sedang ia pegang di telinga, rupanya dia sedang melayani panggilan telepon melalui HP legend Nokia 5510. Mungkin mas-mas penjual angkringan ini semacam call-center pelayanan nasi kucing. “Pripun, Pak? Sekule sedoso, susu jahene sekawan, es teh setunggal? Nggih Pak, Nggih. Mengke kulo kirim mriku. Santuy. Rokoke nopo? Oh nggih-nggih.”
“Kang Nur baru sibuk melayani pembeli pake hape, Mase. Itu yang teri yang sebelah kiri, yang tempe sebelah kanan.” Kata si jaket kulit.
“Suwun, Mas.”
Si jaket kulit tidak menjawab, ia kembali sibuk menggerogoti ceker.
Nanto pun self-service, ia mengambil masing-masing satu, biar adil. Siapa tahu nasi teri iri sama nasi tempe, atau sebaliknya. Lebih baik tidak mengambil resiko itu, kasihan para nasi tempe kalau sampai mereka jealous. Si bengal juga mengambil sate telur puyuh untuk menambah nikmat hidangannya, plus tempe goreng. Wuiss mantep, Nyuk!
“Ngunjuke nopo, Ndan?” Kang Nur sudah selesai melayani panggilan telepon. “Minumnya apa?”
“Teh anget mawon, Kang.”
“Delapan enam.”
Nanto mengambil sendok, membuka bungkus nasi dan mulai beraksi. Teri dan tempe dipisah terlebih dahulu lalu diletakkan di tumpukan nasi yang sudah digabung. Uih sedep. Ia pun mulai makan. Wes kalau sudah makan, ora usah diganggu. Kadang-kadang gigit.
“Lebih enak diaduk, Mas.”
Heh?
Nanto melirik ke samping, ke arah si jaket kulit. Kali ini ia benar-benar mengamati orang di sebelahnya. Kaos putih dengan logo Indom@ret di dada kanan, celana pendek hitam sedengkul dengan banyak kantong, rambut potong pendek model faux hawk, codet kecil di pelipis, dan satu yang mencolok adalah sobek kecil di bagian atas telinga kirinya.
“Ya nggak lah, Mas. Enak begini. Ga perlu diaduk.” Nanto menggeleng.
“Cobanen wes, sampeyan aduk. Sambele biar nyampur sama teri tempe, sedep wes.”
“Ah, nggak. Begini udah enak.”
“We lha, ora percoyo. Aduk Mas.”
Apaan sih? Maksa banget.
Nanto duduk miring biar tidak perlu dilihat cara makannya sama si jaket kulit.
“Aduk, Mas. Aduklah. Plis.”
“Nggak mau, Mas. Saya kalau makan sego angkringan yo begini ini. Mana ada nasi kok diaduk-aduk.”
“Tak tambahi sego teri meneh, sampeyan aduk.”
Bajilak! Ngeyel banget toh!
Nanto mendengus kesal.
“Anu mase. Pertanyaan diaduk sama tidak itu kan lebih cocok kalau diterapkan ke bubur ayam. Kalau sego sambel angkringan begini yo masa bodo’o. Mau diaduk mau nggak seng penting mlebu weteng.” Kata Kang Nur si penjual angkringan yang langsung ditanggapi dengan tawa beberapa langganan lain, termasuk mas-mas gendut yang menjadi ancaman bagi kursi yang sudah melengkung. Kang Nur menambahkan lagi. “nek perlu ditambahin gorengan ato sate bacem gitu lho.”
Nanto dan si Jaket Kulit bertatapan, wajah yang tadinya keras menjadi lemas, pipi mereka terangkat, senyum tersungging, dan keduanya lantas tertawa terbahak-bahak. Iya juga ya. Kenapa harus mendebatkan sesuatu yang konyol? Yang penting kan masuk perut.
Si jaket kulit mengambil sebungkus lagi nasi teri, ia meletakkannya di depan Nanto. “Ini aku tambahin, Mas. Gratis. Mau diaduk atau nggak terserah sampeyan, haahaha.”
Nanto ikut tertawa, ia mengambil nasi tempe dan meletakkannya di hadapan si jaket kulit. “Kalau yang ini diaduk wae, Mas. Sedep.”
Keduanya tertawa bersama. Indahnya dunia. Kang Nur bahagia. Asyik nambah pelanggan anyar tanpa harus debat segala.
Setelah itu percakapan para pengunjung warung menyebar kemana-mana, mulai dari penyebaran virus yang menyeramkan, pembangunan bandara baru, pembangunan jalan layang, penerapan satu arah yang dinilai wagu, banjir, korupsi sapi, sampai daftar artis yang bisa di-booking. Kemana-mana ngelanturnya, seakan-akan warung angkringan ini adalah arena debat-nya Om Karni.
Usai dirasa cukup kenyang, Nanto melangkah keluar dari warung angkringan Kang Nur. “Bayar sebentar lagi ya Kang, aku ngudud sek.”
“Siyaaap. Delapan enam.”
Nanto berjalan santai ke ujung gang, menengok tempat motornya parkir. Masih aman. Di ujung gang ia kembali bertemu si jaket kulit yang sedang duduk santai di pinggir tembok sambil memainkan tusuk gigi di mulut, gelas kopi susu dari Kang Nur ada di dekat kakinya.
“Udud?”
Nanto mengeluarkan bungkus rokok dari kantong, mengambil sebatang, dan menawarkannya pada si jaket kulit.
“Behhhh! Cocik, Masbro.” Si jaket kulit menarik sebatang. Ia mengeluarkan korek api dari sakunya sendiri dan menyalakannya. Asap membumbung dari wajah yang tersenyum, “memang paling mantep itu ngudud abis makan. Ya to, Dab? Ibarate jadi gong, abis tetembangan harus ada yang ditabuh paling belakang. Kalau ga ada kurang mak lesss gitu rasane.”
Nanto manggut-manggut sambil tersenyum. Asap terhempas dari bibirnya yang terbuka sedikit. Terbang keluar, mencari langit, berbaur di angkasa, menjadi polusi yang konon akan menghancurkan banyak generasi.
“Kuliah daerah sini, Dab?” tanya si jaket kulit lagi.
Nanto mengangguk dan menunjuk ke arah kampusnya tanpa menyebut nama. “Di depan situ.”
“Woh arah sana yo?” Si jaket kulit menjulurkan bibir bawahnya, sambil mengecap manis puntung rokok. “banyak bener kampus di sini sekarang. Dulu di kawasan ini cuma ada dua kampus besar. Yang sana yang di depan ringroad sama yang di tengah sini yang samping hotel. Sekarang udah magrok-magrok berdiri di sana-sini. Sampai-sampai ruko pun jadi akademi.”
“Sampeyan jangan-jangan juga mahasiswa, Mas?”
“Hahahaha! Iyo e, Dab. Arahnya juga di depan sana tadi kayak sampeyan. Tapi tuwek-mekekek. Tua bangka. Cuti setahun, masuk setahun, cuti lagi, masuk lagi. Gitu terus sampai Belanda datang. Mbuh sekarang wes semester berapa aku. Mau masuk wes males nemen pegang bolpen. Tahun ini cuti lagi kayake.”
Nanto tertawa, “ga pengen namatin, Mas?”
“Mungkin kapan-kapan. Sekarang lagi sibuk sama kerjaan, Dab.”
“Transfer ke kelas malam aja, Mase. Kayak aku gini. Biar bisa kerja sama kuliah.”
“Ooo, situ ambil kelas malam toh, Dab?”
“Iya Mas.”
Si jaket kulit manggut-manggut. “Bisa aja sih dipertimbangkan.”
Suasana malam yang dingin kian semilir, udara sejuk setelah hujan, dan rasa kenyang membuat Nanto kian larut dalam perasaan ngantuk, terutama karena perut penuh. Sepertinya sudah saatnya dia balik ke rumah.
“Aku mbayar sek, Mas.”
“Siyaaaap, Dab.”
Saat Nanto sudah hendak melangkah meninggalkan si jaket kulit, beberapa orang laki-laki datang dari arah jalan utama. Wajah mereka ditutup masker sehingga hanya terlihat pandangan matanya yang galak, jelas sekali mereka bukan hendak minta tanda tangan. Berduyun-duyun rombongan itu mengelilingi Nanto dan si jaket kulit.
“Ketemuuu!! Ini orangnya!!” teriak salah seorang dari mereka.
Para pria sigap dengan badan tegap bersiap di hadapan Nanto dan si jaket kulit. Mata bertemu mata, tatapan garang rombongan pemuda itu tajam ke arah Nanto dan si jaket kulit.
“Hmm… kayaknya mereka berhasil menemukan aku. Padahal udah ngumpet lho.” Kata si jaket kulit sambil terkekeh.
“Siapa nih, Bro?” Nanto penasaran.
“Cuma sekedar begal kurang duit. Lebih baik kamu pergi saja, Dab. Mereka ga ada urusan sama kamu kok. Mereka ini datang nyari aku, maklum begini-begini aku ngetop. Pernah main sinetron Kembaran Si Anak Tunggal, sekuel Adik Si Bungsu.”
Terdengar suara bergumam dari rombongan para penyerang.
“Dia ada temen, gimana ini?”
“Bah! Habisin dua-duanya!”
Salah satu dari pemuda yang datang tanpa babibu mengayunkan kayu berukuran satu lengan ke arah Nanto, si bengal jelas langsung menghindar. Rokoknya terlempar.
Jinguk! Durung entek, Nyuk!
“Et… et dah!! Tunggu dulu nih, Bang! Ada urusan apa nih, Bang? Kok main samber aja!?”
Nanto mencoba melempar pertanyaan, namun tentu saja kunci jawaban tidak tersedia. Ia melirik ke kiri, dan melihat si Jaket Kulit sedang dipegangi oleh satu orang dari belakang yang mengunci kedua lengannya sementara ada orang lain bersiap-siap menghajarnya dari depan.
Wssshhhh!!!
Ayunan kayu kembali membuat Nanto mundur – ia tidak sempat melihat lagi ke arah si Jaket Kulit. Ayunan kedua! Nanto kembali berhasil menghindarinya. Tapi gerakan Nanto sudah diperkirakan satu orang lagi yang menyergap dari samping. Satu pukulan menyambar lengan si bengal.
Bghhhkk!
“Kuhhh!” pedes juga rasanya. Apalagi belum beres rasa linu yang kurang pijat. Terhuyung si bengal ke samping.
“Jangan menghindar melulu, suuuuu!!” sekali lagi si pembawa kayu mengejar Nanto.
Enak aja jangan menghindar! Terus kita harus diam di tempat dan menerima dengan lapang dada gitu? Emangnya apa ini? Acara tukar menukar kado? Arisan?
Tidak ada gunanya menunggu dipukul, Nanto bergerak maju menyerang dengan gerakan yang tidak dapat disaksikan si pemegang kayu. Cepat sekali! Tangan si bengal ditarik mundur dengan satu hembusan napas dan dilepaskan tanpa perlu menunggu lama.
Bghhhkkk!
Rahang si pembawa kayu hampir copot rasanya saat pukulan Nanto mendarat, ia terlempar ke kanan, si bengal belum berhenti, sepakannya meluncur menyabet pinggang. Tubuh lawan pun terbanting ke aspal, ia mengerang kesakitan. Kayunya entah kemana.
Si bengal tidak berhenti, lawan yang tadi memukul lengan datang dari samping dan sudah mengincar kepalanya. Dengan satu sentakan, si bengal menghentikan gerakan kaki si pemukul lengan. Pria itu terkejut, namun terlambat. Si bengal sudah meluncurkan dua pukulan beruntun menggunakan siku tangan ke dada dan sentakan telapak ke rahang bawah.
Bghhhkkk! Bghhhkkk!
Si pemukul lengan terlempar ke belakang.
Satu lagi orang datang, namun belum sampai orang itu bisa masuk ke area pertahanan Nanto, si bengal sudah menyambar dengan kakinya. Pertama ke lutut, lalu ke dada, dan akhirnya pukulan beruntun ke kepala.
Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!
Tidak ada kesempatan, pria itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengaduh kesakitan. Salah sendiri. Siapa bilang ini arisan kompor gas yang menyenangkan? Nanto memutar badan dan dengan sekali sambar, kepala si penyerang terkena libasan kaki si Bengal. Tak perlu diprediksi hasilnya, karena tak berapa lama kemudian ia ambruk menghantam aspal.
Si bengal menyentil hidung dengan jempolnya. Huh! Satu, dua, tiga. Tiga orang sudah ia jatuhkan. Tiga orang mengerang kesakitan tak berdaya. Ada lagi?
“Gila. Mantap, Dab. Ga main-main kemampuanmu.” Terdengar suara Si Jaket Kulit dari arah belakang sambil bertepuk tangan.
Nanto membalikkan badan.
Si bengal terkejut, Si Jaket Kulit duduk di atas pagar beton sembari menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain dengan santainya. Di bawahnya, delapan orang berandalan sudah tergeletak tak berdaya. Ada yang mengerang kesakitan dan ada yang pingsan. Semua tak bergerak – atau tak berani bergerak. Weladalah, wangun tenan! Keren banget! Bagaimana mungkin orang ini bisa bergerak secepat itu tanpa suara?
Si Bengal mengangguk-anggukkan kepala sembari meletakkan tangan di pinggang. “Wow.”
Si Jaket Kulit hanya tersenyum. Dengan ringan ia melompat ke bawah, lalu menepuk tangan untuk membersihkan debu. Saat itu pula, para penyerang kabur meninggalkan Nanto dan si jaket kulit. Yang sehat membawa yang pingsan atau kesakitan.
Si jaket kulit tersenyum. “Hati-hati kalau jalan malam, di sini banyak begal.”
“Mereka ini begal?”
“Lihat tato di tangan kiri mereka?”
“Angka 46? Valentino Rossi?”
“Iya. Kebetulan itu nomernya Rossi. Tapi itu juga bisa berarti mereka ini tergabung ke geng Patnem. Dulunya cuma kumpulan anak sekolah dari SMA yang ada di kawasan Triban dan saling berhadapan, SMA 4 dan SMA 6. Tapi setelah pentolan-pentolan Patnem lulus dari SMA, mereka jadi begal kambuhan dan sering nggabung ke geng yang lebih besar lagi. Kalau tidak salah sekarang sering gabung ke Sonoz, geng yang asalnya dari kampus yang di sana itu – Universitas Zamrud Khatulistiwa.”
“Begitu ya. Ribet.”
“Memang.” Kata Si jaket kulit sambil melangkah ke angkringan Kang Nur yang bengong melihat aksi Nanto dan si jaket kulit.
“Ono opo e? Kok teko-teko main tangan wong-wong kuwi? Kok datang-datang main pukul mereka siapa je, Mas?” Kang Nur bertanya-tanya. Khawatir juga ia melihat banyak orang bergeletakan di dekat warungnya.
“Santai. Wes rasah digawe pikir, Kang. Aku arep mbayar kih. Tidak usah dipikir.”
Nanto menatap bintang di langit. Sekali lagi, hari ini ia diberikan petualangan yang panjang dan seru. Luar biasa hari-harinya di kota, padahal ini belum nyari kerja tambahan atau masuk kuliah lho. Apa dirinya ini jadi magnet preman ya?
Tak lama kemudian si Jaket kulit sudah berada di samping Nanto, ikut mengintip langit. “Ga ada bintang ya? Ketutup awan. Bau-baunya juga basah. Bentar lagi hujan, Dab.”
“Sepertinya begitu.”
“Aku wes wareg kih. Berhubung sudah kenyang, sudah saatnya aku pergi, Dab. Kapan-kapan kita seru-seruan lagi. Kalau sampai ga ketemu begal yo kita cari. Hahaha.” celoteh Si Jaket Kulit sambil tertawa dan memutar-mutar kait gantungan kunci dengan jari telunjuknya. “Wes tinggalen wae ya. Bagianmu sudah aku bayar.”
“Lah, kok bisa gitu? Ora ah! Aku ada duit kok.” Buru-buru Nanto merogoh kantongnya.
“Simpenen. Ga butuh receh! Hahaaha! Kita ketemu lagi kapan-kapan di sini.” Si Jaket Kulit tertawa.
Nanto menghela napas, tak urung si Bengal tersenyum dan mengulurkan kepalan. “Nanto. Namaku Nanto.”
Si Jaket Kulit tersenyum, memukul pelan kepalan Nanto, fist bump. Tanpa banyak bicara ia naik ke motor Kawasaki Ninja-nya yang diparkir di dekat tembok, memutar kunci, dan menghidupkannya dengan sekali sepak. Motor itu meraung-raung siap dipacu melahap aspal di tengah malam.
“Rao. Aku biasa dipanggil Rao.”
Bersambung