Part #13 : WANITAKU
Jika kamu menjalani hidup yang mengapresiasi kebetulan-kebetulan dan maknanya,
maka kamu akan terhubung dengan dasar dari kemungkinan tanpa batas.
– Deepak Chopra
“Kamu mau minum apa?”
“A-apa aja mau, Bu.”
Nanto masih tidak percaya ia sekarang duduk di ruang tamu bekas guru BK-nya. Napasnya memburu, kembang-kempis. Antara percaya tidak percaya, bagaimana ceritanya ia bisa tiba-tiba duduk di sini? Ini bukan kebetulan kan? Ini beneran terjadi kan? Kok bisa ya? Bertahun-tahun lalu dia sering membolos masuk kelas demi mampir ke ruang BK hanya untuk bisa berduaan saja dengan Bu Asty yang bagai bidadari. Sekarang mimpi itu terwujud lebih jauh lagi.
Apalagi saat ini kebetulan rumah Bu Asty sedang kosong. Kebetulan kosong. Betapa dua kata itu membuat dirinya berasa digidigidam digidigidum.
“Yakin mau apa aja? Air aquarium mau?”
“Masa tega sih bu.”
“Makanya, ayo mau minum apa? Teh? Kopi? Soda?”
“Kelapa muda ada, Bu?”
“Emangnya ini warung?”
“Abis kayaknya lengkap banget penawarannya.”
Asty tertawa, Nanto makin terpesona.
Hayooo! Siapa yang dulu punya guru yang cakep banget waktu sekolah? Pasti kebayang kan pengen ngapain gitu sama beliau? Wajar kok jadiin sosok guru cakep itu sebagai fantasi, buanyaaaak yang seperti itu.. Tapi itu kan fantasi. Lha, Nanto sekarang dihadapkan dengan kenyataan! Trus piye ikih? Gimana ini?
Nanto saat ini sedang duduk di sofa ruang tamu Asty yang nyaman. Ia sempat melihat sekeliling dan melihat foto suami dan anaknya di sudut. Waduh. Jadi ada perasaan bersalah juga ini. Diterusin rasanya kok gimana, tapi ga diterusin kok ya sayang kesempatan begini dilewatkan.
“Jadi mau apa?” sekali lagi Asty bertanya, ia sudah siap berdiri dan menyiapkan minuman. Namun tangan si bengal menahannya pergi. Asty yang sudah sempat berdiri pun kembali duduk di samping pemuda itu. Wajah sang ibu guru antara tegang, panik, namun juga bahagia. Bingung banget! Ia bahkan tak berani menatap mata Nanto.
Kepala si bengal mendekat ke telinga Asty.
“Aku mau kamu.” Bisiknya.
Mata Asty terbelalak, wajahnya merah. “Ma-maksud kamu ap…”
Bibir Nanto langsung menjemput impiannya, menangkup bibir sang guru muda yang jelita. Salah sendiri kamu terlalu jelita dan indah, Bu. Tidak akan ada orang yang sanggup bertahan dari pesonamu. Tidak akan ada yang menghindar dari tatap indah mata bulatmu, bibir mungilmu, tubuh sintalmu. Aduhai Asty… Nanto menginginkanmu.
Ini bukan pertamakalinya Asty berciuman dengan si bengal dan ia sungguh terkejut karena bocah satu ini ternyata mahir sekali memainkan bibirnya. Tidak keras, tidak menuntut, tapi tidak juga lemah, dan tidak berkesan pasrah. Bibir Nanto bagaikan gurita yang bergerak bebas menjelajah dengan lidah yang serupa tentakel yang menelusup ke dalam rongga mulut dan menjajah.
Lidah mereka berpadu, saling berkait, saling memuja, saling menghendaki satu sama lain. Tak dirasa satu air mata menetes dari pelupuk mata indah sang ibu guru. Asty merasa bersalah terhadap suaminya, tapi di saat yang sama ia tak sanggup menghindar dari pesona si bengal. Ada sesuatu yang berbeda dari Nanto yang membuatnya takluk.
Ia tak mampu menolak bahkan ketika jemari bengal Nanto ikut bermain di dadanya, mengelus, meremas, menjamah bongkahan payudara di balik pakaian yang ia kenakan. Asty membalas ciuman Nanto dan mulai membuka baju si bengal yang mengenakan kaus. Ia melepas kaus Nanto dan menatap takjub. Guru jelita itu memeluk mantan anak didiknya dengan perasaan rindu teramat sangat.
“Bu… Bu Asty…” tiba-tiba Nanto berbisik di sela-sela bibirnya terus mengecup tiap jengkal wajah Asty yang masih mengenakan hijab, “aku mau… kamu.”
Asty mengangguk tanpa kata. Ia tak akan menolak, Nanto boleh melakukan apa saja. Apapun yang dia inginkan. Asty akan melayaninya dengan semua yang ia miliki. Tapi…
Tangan Asty lembut menahan dada Nanto, menghadang, dan menghentikan. Ia mendorong Nanto agak menjauh.
Si bengal pun terkejut dan bertanya-tanya. Kenapa nih?
“Kamu pake pengaman ya, aku sedang subur.” kata Asty yang juga sedang berusaha menahan gejolak nafsu birahinya yang amat membuncah sampai-sampai suaranya terdengar parau dan patah-patah.
Nanto langsung kaget.
Hah? Harus pake pengaman ya?! Kampret kampret kampret!
“Kamu ga bawa?”
Nanto menggelengkan kepala dengan wajah kecewa. Ya jelas ga bawa lah, emang dia kepikiran hari ini bakal ada adegan ena-ena? Kalau saja tahu, dia udah beli tuh yang model bentol-bentol bergerigi, biar nambah sensasinya.
“Duh… aku sedang subur banget ini… kalau pakai punya Mas aku gimana?” wajah Asty terlihat khawatir.
“Punya siapa?”
“Suami aku…”
Asty berdiri dan berlari kecil masuk ke kamarnya yang ada di samping kamar tamu. Ia langsung menuju ke meja kecil di samping pembaringan, menarik rak dan mengambil sekotak pengaman yang memiliki bungkus kardus merah kecil. Ia membukanya dan langsung memasang wajah kecewa. Rupa-rupanya kosong. Aduh, gimana nih?
Asty kembali ke ruang tamu dan menggelengkan kepala sembari menunjukkan kardus yang kosong pada Nanto.
“Yahhh.” Si Bengal menarik napas panjang. Wajahnya kecewa, mimpinya sejak lama bisa hancur hanya gara-gara plastik pengaman.
Asty mendatangi Nanto, lalu memainkan jemarinya dengan berani di dada si bengal yang sudah terbuka. Asty makin kagum dan mendamba dada bidang serta perut bak roti sobek yang dimiliki si bengal. Ia tidak menyangka tubuh Nanto seperti ini.
Asty ini gimana sih? Apa dia sudah lupa statusnya? Apakah saat ini dia sudah bukan lagi seorang guru, atau istri, atau ibu, atau bahkan lupa perannya sebagai sosok yang seharusnya santun? Kehadiran Nanto dalam hidupnya membuat Asty lupa diri dimabuk candu asmara yang tabu. Mana janji suci yang seharusnya ia jaga? Lepas semudah itu tanpa dijaga? Entahlah, pikirannya sekarang hanya ada satu: membahagiakan dirinya sendiri dan Nanto. Dasar asmara jahanam.
“Aku sih ga akan mau ngapa-ngapain tanpa pengaman. Tapi… malam masih panjang, aku juga masih ada di sini… dan aku masih pengen banget sama kamu.” bisik Asty menggoda. Senyumnya bikin Nanto mabuk darat laut dan udara. “Mungkin… mungkin kamu mau beli dulu?”
Kampretoz. Apa ga bisa gitu nanti kalo mau orgasme dikeluarin di luar aja? Daripada harus capek-capek kabur ke Alfam@rt atau Indom@ret? Kentang banget ini woy!
“Mau kan?” Asty mengecup bibir Nanto perlahan. “Mau ya? Ga kasihan apa kalau aku sampai hamil?”
Asty mengangkat kausnya sendiri sampai di atas bahu untuk menampilkan buah dadanya yang sempurna. Mata Nanto terbelalak takjub, edan ini indah banget! Montok coy!
Kembali Asty mencium Nanto. Si bengal tidak mengira Bu Asty bisa sebinal ini dengannya. Tentu saja hanya ada dua orang yang dapat merasakan kebinalan guru jelita ini – suaminya sendiri dan Nanto. Orang lain tentu tidak ada yang bisa menjadi VIP.
Dada Nanto yang bidang menjadi sandaran dada montok sang guru BK. Buah dada sempurna milik Asty menempel dan dioles-oleskan. Edan! Nakal banget ternyata Bu Asty! Gairah si bengal pun terbakar hebat. Bibir sang guru yang cantiknya bagaikan bidadari itu mengelus-elus bibir Nanto, menjelajah perlahan, mengoles, mengecup, menangkup, dan menuntut ingin segera dipeluk dan dijelajahi tubuhnya. Kalau udah gini apa ya mau dianggurin to yo? Ga baik loh membuang rezeki itu! Ga baik kan? Iya ga baik. Betul betul betul.
“Ta… tapi, Bu…”
“Kamu ga kepengen ya sama aku?” Asty menundukkan wajahnya yang memerah, meski ia yang menggoda, ia sebenarnya sangat-sangat malu. Siapa yang tidak malu dihadapkan pada situasi seperti ini? Begini-begini dia kan bukan wanita nakal. Dia hanya bertindak sesuai dengan perasaannya yang sangat ingin menjadi satu dengan Nanto.
“Pe… pengen.”
Ya jelas pengen lah! Normal aqutuh. Kucing oren ga akan menolak disuguhin sarden.
“Mau beli kan?” tatapan mata Asty membuat Nanto makin tak karuan. “Kalau kamu beli… aku janji tidak akan menolak kamu apain aja. Gimana?”
Uwoooh!! Menyalalah api abadi!! Yang terbaik ada di pucuknya!!
Nanto tidak perlu menjawab pertanyaan itu karena semangatnya langsung bangkit bak meletus menjadi Super Saiyan. Kapan lagi bisa eue dengan binor yang guru, yang seksi, yang cantik, yang mau, yang siap diapain aja? Kapan lagi ada kesempatan macam ni? Siapa tau ga ada lain kali kan? Makanya tidak perlu dijawab karena jawabnya hanya ada di ujung langit, kita ke sana dengan seorang anak, anak yang tangkas dan juga pemberani!
“Siap, Bu! Siyaaaaap!! Saya pergi dulu!!”
Nanto langsung melesat keluar dari kamar diiringi tawa manis dari Asty.
Peduli setan dengan segala etika! Nanto harus ngebut sekarang juga!
.::..::..::..::.
Roy mengumpulkan barang-barang yang berserakan, kamar adik kembarnya ini memang luar biasa jorok. Baju kotor bertebaran, puntung rokok di setiap sudut, tulang ayam sisa seminggu yang lalu masih teronggok di piring, dan yang paling parah adalah botol-botol minuman keras yang seenaknya saja tergeletak di meja, kursi, dan lemari.
“Kamu sebenarnya bisa lebih bersih dari ini. Emangnya ini kandang babi?”
“Bisa. Tapi aku males, Dab.”
Sang adik tidur-tiduran di atas kursi sofa yang sudah bolong-bolong dengan santainya, menjawab pertanyaan Roy sekenanya sementara jemarinya asyik bertualang di permainan Snake di ponselnya. Meski wajah mereka hampir, Rubianto Effendi – yang biasanya dipanggil Bian – memiliki kulit yang lebih kecoklatan, memiliki codet memanjang di pipi kiri, kumis dan jenggot tipis dipotong sekenanya, dan rambutnya dipotong model mohawk dengan pinggiran botak mirip tokoh yang ada di serial Viking.
“Bah. Kalau tiap hari males emang kamu mau jadi apa.”
“Ga tau lah. Kamu itu kok ya ribet banget. Lagian ngapain malem-malem ke sini? Mending pulang kerja istirahat deh, daripada ngrecokin aku begini.”
“Kuliah belum masuk?”
“Belum masuk, baru musim daftar ulang.”
“Uang pendaftaran ulang sudah dibayar kan?”
“Sudah. Jangan khawatir kalau soal itu.”
“Bukan khawatir. Cuma aneh aja. Kamu dapat uang buat beli Vodka, Kahlua segala macem Johnnie Walker begini dapet duit dari mana? Emang ga boleh curiga?” Kata Roy sambil menunjuk botol-botol yang ia pinggirkan agar rapi. Pemuda berambut brown itu melanjutkan niatnya bersih-bersih dengan menyapu kontrakan sang adik yang kotor. “Awas aja kalau duit yang aku kirim cuma buat beli beginian.”
Sang adik bangkit dari kursi dengan malas dan menggerutu, dia menggeliat untuk melancarkan peredaran darah. Tubuh Bian bagai seorang body-builder dengan sosok berotot yang jauh lebih besar dan kekar dibandingkan Roy. “Opo sih rewel ae. Aman wes tah. Duit dari kamu cuma buat bayar kuliah sama kontrakan aja.”
Roy hanya diam, mudah-mudahan saja begitu.
“Kulonuwun. Permisi.”
Terdengar suara dan ketukan di pintu depan. Siapa pula malam-malam begini datang bertamu?
Bian berdiri dengan malas dan berjalan pelan menuju ke arah pintu. Adik Roy merogoh pantatnya dan menggaruk-garuk sembari membuka pintu dan menguap lebar. Saat dibuka pintunya Roy melihat ada seorang pemuda dengan topi dibalik, sweater warna gelap dan celana jeans pendek.
“Malam Bang Bian.” Sapa si pemuda.
“Kamu toh. Ada apa?”
Pemuda itu nampak terburu-buru saat menyadari keberadaan Roy di dalam rumah kontrakan Bian. “Maaf datangnya ga bilang-bilang sebelumnya, Bang. Tadi saya telpon ponselnya tidak diangkat.”
“Oh tadi yang telpon kamu? Lain kali jangan pakai nomer baru. Belum aku save. Aku males ngangkat telpon yang nomernya ga aku kenal.”
“Siap, Bang.” Sang pemuda mengeluarkan amplop coklat yang sepertinya membungkus sesuatu yang tebal dari dalam sweaternya. “Ini setoran untuk yang minggu ini.”
Saat menyerahkan amplop itu, Roy sempat melihat sekilas tato bertuliskan nomer empat dan enam di tangan kiri sang pemuda. Geng Patnem?
“Oke sip. Aku terima. Bilang sama Beni Gundul dan Toro kalau sudah aku terima.” kata Bian sembari cengengesan.
“Siap Bang, mereka masih narik duit di kota sebelah. Kapan Abang datang ke mabes? Anak-anak sudah lama ga liat Bang Bian, bocah-bocah yang baru masuk pengen banget ketemu sama pimpinan katanya.” Kata pemuda itu sambil melangkah menuju pintu.
“Gampang lah nanti diatur. Ntar aku bilang ke Beni Gundul kapan aku bisa datang.”
“Siap Bang.” Kata pemuda itu di depan pintu. Tak lupa ia mengangguk ke arah Roy dengan hormat. “Saya duluan, Bang.”
Roy membalas anggukannya.
Bian terkekeh-kekeh sembari meletakkan amplop yang tadi dibawakan oleh sang pemuda di atas pesawat televisi model tabung yang sedang menyiarkan acara musik entah apa. Semacam audisi-audisi dangdut yang bakal tayang sampai larut malam nanti – bahkan mungkin sampai pagi.
“Gitu cara kamu cari duit? Emangnya kamu sekarang jadi apa di sana?” tanya Roy.
Bian hanya diam dan kembali tiduran di sofa rusaknya. Ia meraih ponsel dan langsung asyik main game lain yang seru. Roy menggeleng melihat kelakuan adik kembarnya. Sejak pindah dari SMA Cendikia Berbangsa dan masuk SMA 6, Bian memang langsung terlibat dengan Patnem. Meski geng itu berasal dari SMA, akhir-akhir ini Patnem menjadi kekuatan baru yang lebih besar dari sekedar geng SMA dan ditakuti khususnya di daerah utara. Mereka juga berafiliasi dengan kelompok lain seperti geng kampus Sonoz.
“Aku kesini bukan tanpa alasan.” Ujar Roy sembari mengumpulkan baju Bian ke satu kantong plastik besar.
“Terus?”
“Deka datang nemuin aku.”
Bian mengangkat bahu tanda tak peduli.
“Dia mau kita kumpul lagi.”
“Bodo amat.”
“Nanto sudah balik ke kota.”
Bian tertegun sejenak, sepertinya dia sedikit terkejut. Tapi tak lama kemudian dia mencibir. “Bodo amat. Kita sudah ga ada urusan dengan dia, toh dia sendiri yang pergi.”
“Aku sudah tahu kamu bakal bilang gitu.”
“Yo wes.”
Roy mendekati Bian.
“Jangan pernah lupa kalau dulu ga ada Nanto, kamu sekarang sudah jadi mayat. Jadi pikirin baik-baik.”
Bian mendesis, ia menatap mata Roy tajam. “Yang dulu dulu, yang sekarang sekarang.”
Roy meletakkan tas berisi pakaian kotor di dekat Bian. “bawa itu ke laundry.”
Bian hanya terdiam saat Roy melangkah keluar dan meninggalkan kontrakannya. Adik Roy itu lantas meletakkan ponsel dan menatap ke arah pintu. Berjuta pikiran menghempas pikirannya bagai ombak kencang mengikis batu-batu karang.
Bian hanya diam sementara malam semakin larut.
.::..::..::..::.
Nah di sini lebih aman.
Nanto berusaha mencari Indom@ret yang tidak jauh namun tidak juga yang paling dekat dengan rumah Bu Asty. Kenapa? Insting saja. Entah kenapa si bengal selalu tidak nyaman membeli kondom di lokasi yang paling dekat dengan lokasinya eksekusi. Ada semacam perasaan malu-malu wagu.
Pertama-tama mari mencari tissue dulu, cari jumlah sheet-nya paling sedikit. Lalu apalagi? Hmm… beli snack lah ya. Kenapa harus beli tissue sama snack? Supaya tidak terlalu kelihatan gimanaaa gitu cuma beli kondom doang. Kamuflase, Nyuk. Kamuflase.
Oke, snack sudah tissue sudah. Saatnya melangkah dengan yakin menuju kasir. Mari kita menuju ke masa depan yang indah dan cemerlang!
Kamprets! Ada ibu-ibu!
Oke, santai. Tenang. Semua aman, semua tenang, persiapkan diri menghadapi tantangan. Kan ibu-ibunya duluan, Nyuk. Kamu kan belakangan, jadi tinggal tunggu aja di belakangnya. Nanto pun senyum-senyum simpul. Ohoho. Sudah tidak sabar rasanya dia kembali ke rumah Bu Asty. Malam ini bakal ena-ena. Ohoho. Mimpi yang ia idamkan sejak berjuta purnama yang lalu akhirnya menjadi kenyataan. Inilah yang dinamakan pucuk dicinta ulam pun tiba.
Dengan hati gembira dan bahagia, Nanto berdiri antri di belakang sang ibu.
“Mari Mas, duluan aja.” Kata si Ibu-ibu yang beringsut ke samping, “anak saya masih milih-milih minuman. Saya belakangan bayarnya.”
Kampreeets!! Yo malah jadi malu, cah! Kan jadi ketahuan dia beli apaan!
Tapi ya udahlah. Kasihan Bu Asty menunggu lama-lama. Dia juga ga tahan nih. Uwuwu. Nanto meletakkan tissue dan makanan ringan di counter.
“Ini saja, Mas? Ada kartu anggota?”
Nanto menggeleng, sesaat kemudian ia menunjuk rak di dekat mbak-mbak penjaga kasir yang dandanannya tiktok banget.
“I-itu satu Mbak.”
“Rokok, Mas?”
“Bukan yang sebelahnya.”
“Hah? Bedak?”
“Bu-bukan yang bungkus merah.”
“Ooooh. Kondom?”
“Iya.”
“Yang ini?”
“Iya.”
Ibu-ibu di samping Nanto tersenyum. Nanto pun membalas senyumannya dengan salah tingkah, si bengal pun menyiapkan dompetnya. Mbak-mbak kasir mencoba mengangkat kardus kondom di depan Barcode Scanner, namun tidak terdengar bunyi mesin bekerja. Ia pun mencoba mengetik kode yang ada di kardus ke mesin kasir, tapi entah kenapa ada masalah.
“Toooo… Maryotoooo.” Teriak si mbak kasir memanggil temannya yang sedang menata rak.
Nanto gelisah. Ada masalahkah?
“Toooo…”
“Iya, Nung. Ngopo je? Ada apa?” seorang pemuda yang mengenakan pakaian seragam melongok dari ruas bagian peralatan mandi.
“Mreneo. Ke sini bentar.”
Nanto makin gelisah.
“Nanggung, Nung.”
“Iki kondom kodenya apa yaa?”
Tobaaaaaaat! Mau ditaruh mana muka Nanto?
“Apaan?”
“Kondoooom.”
Mati. Mati. Mati. Habis ini dia mau terjun ke kolam bebek.
“Emang ga bisa? Kan ada di kardusnya. Salah kali masukin kodenya. Kondom kan?”
“Iya, udah bener kok. Iya. Kondom.”
Terus-terusin aja, Mas, Mbak. Biar orang satu kelurahan tau.
Mbak kasir mencoba sekali lagi. Eh ternyata bisa.
“Oh iyooo. To, udah bisa. Kurang satu angka tadi masukin angka di kardus Kondomnya.”
“Oke sip. Kondom yang merah ya?”
“Iya Kondom yang merah.”
Nanto rasanya pengen nelen mesin kasir. Si bengal melirik ke arah ibu-ibu di samping yang sepertinya menahan tawa. Tobaaaat.
Usai membayar di kasir, Nanto pun melangkah keluar sambil mengumpat. Asem tenan, malah jadi malu ini beli di sini. Ya sudah lah, apa sih yang nggak buat Bu Asty? Sekarang saatnya…! Nanto buru-buru naik ke atas motor.
Tiba-tiba saja Si bengal terdiam, tertegun.
Saat itu Nanto melihat ke sebuah arah dan melihat sosok yang sepertinya ia kenal.
Apa yang sosok itu lakukan di sini?
“Tumben banget. Ngajakin aku makan malam di sini.” Kata Ridwan.
Pria itu lumayan surprise dengan kejutan yang disiapkan oleh sang kekasih. Nuke hanya tersenyum melihat laki-laki yang dicintainya bahagia. Betapa ia sangat senang bisa membahagiakan Ridwan yang tak hanya ganteng, tapi juga mandiri, baik, perhatian, dan sangat mencintainya – meski okelah, agak sedikit gemuk. Bagi Nuke, mereka berdua ibarat pasangan yang telah digariskan untuk menjadi suami istri kelak.
Nuke tampil cantik malam ini. Gadis yang biasanya tomboy itu mengenakan rok panjang yang menutup kakinya hingga betis, baju lengan panjang garis-garis vertikal hitam putih yang makin membuat terang kulitnya yang sudah terang dari sananya, dan rambutnya yang biasa dikucir kuda dibiarkan tergerai. Asli, bener-bener cantik dan anggun malam ini! Kesambet apa nih cewek?
Sebetulnya tidak kesambet apa-apa, dia melakukan ini semua karena memang malam ini malam yang spesial. Nuke sengaja mengajak sang kekasih menyempatkan waktu untuk makan malam berdua saja dengannya. Malam kencan pertama setelah beberapa hari yang lalu Ridwan datang ke rumah dan berbagi kata dengan wali Nuke untuk melamarnya dalam waktu dekat dan hendak mengajak orang tuanya untuk hadir sepekan lagi. Jadi malam ini benar-benar spesial.
Selain itu Nuke juga sudah menyiapkan kado untuk ulang tahun sang kekasih.
Kado yang pertama untuk Ridwan adalah makan bersama di rumah makan romantis yang tak jauh dari pintu masuk kawasan wisata Kalipenyu, sebuah rumah makan yang dibelah oleh sebuah sungai kecil yang airnya jernih dan pemandangan sawah membentang di sekeliling. Lampu-lampu temaram seakan berpadu dengan bunyi musik gamelan Jawa ringan yang makin membuat malam ini serasa begitu santai dan tenang.
Kado yang kedua?
“Niiiih.”
Nuke merogoh ke dalam tasnya dan meletakkan sebuah box kecil yang dibungkus dengan kertas bergambar tokoh superhero Marvel yang diikat dengan pita cantik berwarna biru.
“Eeeeh, apaan sih kamu, Dek. Ngapain mesti pakai begini-begini segala.” Meski protes, namun senyum mengembang di wajah Ridwan. “Kan jadi boros beliin aku macem-macem.”
“Ih, dikasih kado malah marah.”
“Ga marah, Dek. Cuma sayang aja sama uangnya. Kan bisa buat beli yang lebih penting.”
“Kamu yang paling penting buat aku.”
“Eeeaaaaa.” Ridwan tertawa digombalin Nuke seperti itu. Ia membuka bungkus kado dengan hati-hati sekali agar tidak rusak, di dalamnya terdapat sebuah kotak jam tangan bermerk terkenal, harganya lumayan ini – nabung berapa lama Nuke biar bisa dapet jam tangan semewah ini? Hati Ridwan jadi adem banget. Beruntungnya dia mendapatkan perhatian berlebih dari Nuke. Ia pun memandang sang kekasih dengan pandangan yang sangat hangat. “Makasih banget ya.”
Ahhh… meleleh rasanya hati Nuke.
“Nggak, Mas. Aku yang makasih. Melihat kamu datang serius menemui keluarga aku dan minta izin untuk melamar itu sudah lebih dari apapun yang aku inginkan. Selama ini aku mencari-cari orang yang serius bener-bener mau nikah sama anak… mantan preman, tapi baru kamu yang beneran berani. Almarhum Bapak pasti bangga banget aku dapet calon seperti kamu.”
“Hidih. Baper amat, Dek.”
“Ih Mas ih! Lagi heart to heart malah digituin. Males ah.”
Ridwan tertawa, ia mengelus tangan Nuke dengan lembut. “Aku akan selalu menyayangimu, aku akan selalu mencintaimu, aku berjanji akan menikahimu.”
Senyum Nuke terkembang. Hatinya berbunga.
.::..::..::..::.
Bondan dan Surya berlari sangat kencang menuju lokasi mereka memarkir motor, tak lama kemudian Jovi menyusul keduanya. Keringat deras mengucur di sekujur tubuh ketiganya, jantung berdebar kencang dan hampir copot rasanya. Terengah-engah mereka mencoba meredam adrenaline yang terpacu dengan cepatnya.
Seperti perintah Remon, ketiganya baru saja melakukan aksi vandalisme dengan mengotori patung pendiri Universitas Zamrud Khatulistiwa dengan cat pilox. Entah kenapa kampus Unzakha amat sepi malam ini sehingga ketiganya berhasil melakukan aksi mereka nyaris tanpa masalah berarti kecuali para satpam yang ngamuk-ngamuk saat menyadari apa yang mereka lakukan.
Ketiga pemuda itu berhasil melarikan diri dari para satpam yang mengumpat dan mengejar namun kalah cepat dari ketiga anggota DoP tersebut. Jo, Bondan, dan Surya melompati pagar untuk sampai di tempat mereka meletakkan motor dan para satpam pun kehilangan jejak.
“Kenapa… kenapa kampus ini sepi banget ya? Bukannya anak-anak Sonoz biasanya patroli malam di kampus?” tanya Jo keheranan.
Surya mengangkat bahu sambil mengenakan helm. “Entahlah, aku tidak berminat mencari tahu. Yang penting kita sudah melakukan apa yang diminta Bos Remon dan sudah kita kirim buktinya lewat WhatsApp. Selesai perkara. Sekarang waktunya kita pulang, ayo!”
Bondan menggeleng kepala, “serasa ada yang aneh.”
Jo mengangguk, “bener, rasanya ada yang aneh. Terlalu sepi kampusnya.”
Surya menghela napas panjang, “makanya buruan kita pergi dari sin…”
Deru motor yang saling menyahut tiba-tiba terdengar, raungan gas yang diputar berulang bagai teriakan amarah yang siap menghukum. Lampu motor menyala dan menghujani ketiga punggawa DoP yang terkaget-kaget dengan cahaya teramat terang.
“Jooo! Jooooo!! JOOOOO!!” Surya berteriak dan langsung membonceng motor Bondan. “kabuuuur!!”
Jo menekan tombol starter dan menarik gas dengan kencang. Motornya melaju kencang disusul motor Bondan yang juga dinaiki Surya. Kedua motor itu melaju sekencang-kencangnya karena mereka tahu, nyawa mereka sedang berada di ujung tanduk.
Benar saja, begitu motor Jo dan Bondan melesat, hampir tujuh motor dengan ragam jumlah penumpang mengejar dengan buas di belakang. Orang-orang Sonoz dengan wajah marah dan geram di balik helm hanya punya satu niat, tak ada ampun! Perburuan dimulai!
Jo dan Bondan bukan kelas abal-abal, mereka memacu kendaraan dengan kencang dan ingin secepat mungkin lepas dari lokasi Unzakha menuju area yang lebih mereka kenal. Daerah ini daerah yang masih teramat merah – rawan, terlarang dan sakral bagi Sonoz. Selama mereka berada di sini, mereka tidak akan aman.
Keluar dari jalan utama Unzakha, Jo dan Bondan memacu motor untuk mencapai ruas lingkar ringroad, mereka bisa lebih leluasa memacu kendaraan di ruas jalan yang lebih lebar untuk lepas dari area rawan. Sesekali Surya melirik ke belakang dan dengan pandangan ngeri ia menatap motor-motor yang masih dipacu untuk mengejar mereka. Ini tidak main-main! Kalau mereka sampai terkejar, nyawa mereka terancam!
Ada satu orang yang tak mengenakan helm dan hanya mengenakan bandana dari slayer. Dari sela-sela bandana terlihat rambutnya yang gondrong dicat warna hijau zamrud. Orang itu adalah salah satu punggawa Sonoz yang cukup ditakuti – jabatannya setara dengan Remon di DoP. Kalau tidak salah namanya Roni.
Kejar-kejaran di jalan raya berlangsung teramat seru, deru motor dipacu meliuk-liuk melewati keramaian mobil yang melintas di jalur cepat membuat beberapa pasang mata menatap dengan amarah sembari mengumpat, apa-apaan sih. Pakai motor kok ugal-ugalan banget. Mereka tidak tahu kalau saat ini Jo, Surya, dan Bondan yang sedang mengkhawatirkan nasib mereka dan berusaha kabur secepat-cepatnya dari kejaran Sonoz yang memburu beramai-ramai.
“Monumen ke selatan! Masuk jalan kecil! Kita menyebar!” teriak Bondan.
Jo mengangguk.
Lepas dari ringroad tepat di kawasan yang disebut kawasan monumen, kedua motor masuk ke jalur besar, lalu belok lagi masuk ke gang kecil, berkelok-kelok melewati kawasan kampus negeri, tembus lagi ke selatan, ke kanan, ke kiri, meliuk, menghindar, memacu, melalui jembatan yang memisahkan kampus negeri dan area menuju kawasan kota.
Ketiga jalan mulai bercabang, motor berpencar.
Bondan dan Surya memisahkan diri dari Jo yang menggunakan motor seorang diri, sebagian pengejar turut terbagi. Empat motor mengejar Bondan dan Surya, tiga motor lagi mengejar Jo – termasuk Roni. Jo pun berusaha mencari jalur yang paling aman untuk melarikan diri. Untung tadi dia pakai motor bebek modifikasi yang bisa digeber parah, meski entah sudah sampai di mana dia sekarang, dia terus melaju saja mengikuti naluri.
Memasuki jalan kecil memang lebih beresiko, karena yang harus dihindari sekarang bukan lagi motor atau mobil besar melainkan orang lalu-lalang. Jalan yang licin karena baru saja selesai hujan membuat kondisi makin tidak kondusif.
Benar saja. Saat melalui sebuah kelokan di sebuah jalan sepi, Jo terkejut melihat seekor anak kucing meringkuk di tengah jalan. Stang dibanting ke kanan, namun karena kubangan licin, ban motor Jo selip dan ia tak lagi bisa menguasai kendaraan.
BRAAKKKGHHKKK!!
Jo terguling beberapa kali setelah terlempar dari motor yang membentur tembok dan lampu jalan. Untung saja ia mengenakan helm standar, sehingga kepalanya terjaga. Meski begitu lutut dan lengannya sobek tersayat aspal jalanan. Jo melepas helmnya karena ngap dan terengah-engah, ia mengerang kesakitan sembari tergeletak di tengah jalan.
Terdengar suara kekehan dari ujung jalan. Roni turun dari motornya beserta empat kawan lain. Si rambut hijau memberi kode dan keempat anggota Sonoz langsung berlari dan menghajar Jo. Mereka bergerak beringas, menendang, menyepak, menginjak seluruh tubuh Jo yang sudah kesakitan tanpa ampun. Jo hanya dapat berteriak kesakitan tanpa ada yang dapat menolong.
Beberapa saat berlalu dan Jo benar-benar sudah kepayahan tak dapat bergerak. Roni pun berjalan pelan menghampiri Jo dan saat melihat pemuda itu sudah kesulitan bernapas, ia terkekeh. Dengan keji Roni menyepak kepala Jo.
Bgkkkhhh!
Jo tak lagi dapat berteriak, mulutnya muncrat darah saat kepalanya bagai mau lepas dari tubuh.
Bgkkkhhh! Bgkkkhhh! Bgkkkhhh! Bgkkkhhh!
Sekali! Dua kali! Tiga kali! Empat kali!
Sepakan kaki Roni seakan tidak pernah berhenti. Dunia Jo makin gelap. inikah saatnya dia mati?
Jo tersenyum sinis, kalau saja tadi tidak ada anak kucing, mungkin dia tidak akan terjerembab dan terjatuh begini. Dia tidak akan dihajar seperti ini. Kebetulan memang kadang di luar nalar, tapi terjadi karena ada alasan. Entah itu untuk pembelajaran atau untuk kebaikan.
Roni merunduk dan berbisik pada Jo, “Ini akibatnya kalau kamu bikin masalah dengan Sonoz, bayarannya nyawa. Paham? Tidak kan? Bajingan dari DoP mana pernah paham. Sekarang saatnya kamu mohon ampun dan kami bawa ke pengadilan Sonoz.”
Jo menatap Roni dengan sengit, demi apa dia menyerah mohon ampun. Roni tertawa melihat pandangan mata Jo yang masih menyala penuh benci. Mata si rambut hijau nanar menatap kesana kemari mencari sesuatu, ah – ia menemukannya. Roni mengambil sebongkah batu dari tepi jalan dan memainkannya.
“Tidak mau dikasih kesempatan ke pengadilan Sonoz? Tidak apa-apa. Ayo kita coba seberapa keras kepalamu, Nyuk.”
Roni mengangkat tangan dan siap meremukkan kepala Jo. Ia berteriak kencang. “Modyaaaaaar!”
Hpp!
“Oke, sepertinya itu sudah cukup.”
Tangan Roni dipegang erat oleh satu tangan kuat yang mencengkeram pergelangan tangannya. Begitu kuat, sampai-sampai dia tak bisa menggerakkan tangannya itu. Pemuda Sonoz itu pun melirik ke arah samping dan menjumpai wajah yang tak ia kenal.
“Baji… culke ra, su? Lepasin nggak? Mau dibuntungin tangannya?” ujar Roni mengancam. “CULKE ORA?!”
Tapi orang itu hanya tersenyum.
“Dia sudah kalian hajar sampai babak belur, sudah teler, tidak perlu dihabisi. Kalian terusin dan dia bakal cacat atau mati. Rasa-rasanya kita semua akan menyesal jika itu sampai terjadi. Sudah aja ya, tidak perlu sampai sebegitunya menghajar orang.” Kata si penyelamat Jo sambil melepaskan genggamannya di pergelangan tangan Roni. “Kalaupun ada salah, saya yakin dia yang sudah babak belur begitu pasti menyesal – atau jika memang dia melakukan tindakan kriminal, maka bisa dibicarakan dengan pihak kepolisian.”
Roni geram bukan kepalang. Iki ki jane sopo je!! Munyuuuuk! Siapa sih benernya orang ini? Berani-beraninya menghentikan mereka?!! Tidak bisa tidak harus ikut dihajar juga orang ini! Roni pun memberi kode untuk dua teman lain mengepung sang penolong. Sementara yang lain menjaga Jo yang masih terkapar.
Jo yang sudah sangat kepayahan mencoba bangkit meski sekujur badannya remuk redam, tapi tiap kali dia berdiri, tubuhnya lunglai dan memilih untuk ambruk. Tidak bisa, dia tidak bisa berdiri bagaimanapun susah payahnya dia mencoba. Jo hanya bisa menelisik melihat siapa yang sudah menolongnya dari tempatnya terkapar. Siapa yang telah… bangsaaaat! Si kampreeet!??
Kebetulan memang kadang di luar nalar.
Yang baru saja menghentikan Roni menghajar Jo adalah Nanto.
Mata Jo terbelalak dalam pedihnya. Nanto ada di depan sana!! Menolongnya!! Tiba-tiba saja! Sejak kapan si bengal hadir?
Bajingan! Dia tidak butuh dibantu! Jo mencoba berdiri dan sekali lagi luruh tak berdaya. Dia mengumpat dan marah dengan keadaannya yang payah. Pandangan matanya sengit menatap ke arah Nanto.
“Majuuuuu! Diajurke wae ki munyuuuuke! Hajar aja monyet satu ini!” Roni memberikan komando.
Nanto berdiri di depan Roni dengan pose santai tanpa perasaan takut sedikitpun. Ketika dua orang kawanan Roni maju ke depan dan bersiap. Si bengal menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jemarinya dengan menangkupkan tangan.
Si bengal tersenyum sinis, “Maju. Monyetnya sudah siap.”
.::..::..::..::.
Nuke memeluk Ridwan dengan kencang saat motor yang mereka naiki melaju sedang menuruni jalan dari pintu utama Kalipenyu menuju kota. Jaket tebal yang mereka kenakan serasa kurang tebal malam itu, karena dia masih tetap merasa dingin. Ini lagi Ridwan malah jaketnya dibuka, jadi anginnya langsung masuk ke dalam kan. Mana kausnya tipis lagi.
“Kok ga dikancingin jaketnya, Mas?” tanya Nuke penasaran.
“Tadinya mau dikancingin tapi rusak nih ritsletingnya.”
Nuke manggut-manggut. “Mau pakai jaketku dulu?”
“Hidih, kan size-nya S. Mana muat. Ngledek ya? Mentang-mentang perut buncit.”
“Satu permintaan deh, Mas. Besok kalau pas lamaran, diet dulu ya. Hahaha.”
“Dih!”
Nuke tertawa.
Ridwan mempercepat laju motor matic-nya. Kenapa juga tadi dia ga bawa mobil aja ya? Suasana di sini gelap dan lampu jalan tidak begitu banyak. Agak rawan melalui jalanan ini menjelang tengah malam. Ridwan sebenarnya bisa melalui jalur yang lebih cepat sampai, tapi beberapa hari yang lalu ada berita pembegalan di jalur yang sana, jadi ia memilih jalur turun ke kota yang agak memutar. Mudah-mudahan tidak apa-apa.
Terdengar suara motor di belakang mereka. Ah, aman. Ada teman turun.
Motor yang pertama berjalan lebih cepat dan melaju kencang sekitar empat meter di depan Ridwan dan Nuke. Lalu dua motor lain berjalan lebih pelan dengan suara canda tawa terdengar, kedua motor itu berjalan lebih pelan dari mereka.
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba saja menaungi pria itu. Jantung Ridwan mulai berdetak dengan cepat. Ah, jangan negative thinking.
Tiba-tiba motor di belakang mensejajari motor Ridwan, sementara motor di depan melambatkan laju! Gawat!
Ridwan mencoba membelok, namun motor di depan selalu menutup jalurnya, ia juga tidak bisa bergerak lincah ke kanan atau kiri karena jalan ini ada di atas tebing dan usaha ke jalur berlawanan ditutup oleh motor yang disamping. Gawat!
“Mas?”
Sepertinya Nuke juga sudah menyadari bahaya yang mengancam mereka berdua.
“Maaasssss!!!???”
Motor yang di samping mulai beraksi, sang pembonceng mengeluarkan parang dari balik jaketnya dan mulai menggerakkan parang itu secara asal ke arah Ridwan dan menunjuk ke samping, meminta Ridwan berhenti di tepi jalan. Ridwan tidak bisa melihat dengan jelas wajah di balik helm dan masker.
“Masssss!!”
Nuke mulai panik, demikian juga Ridwan. Ia jelas tidak ingin ada sesuatu apapun terjadi pada mereka, terutama pada Nuke. Ia mencoba berpikir jernih – orang-orang ini sepertinya sudah terbiasa dengan aksi mereka. Tidak ada jalan lain nih, keselamatan jiwa lebih penting. Ridwan masih mencoba beberapa kali lagi, namun tidak hanya jalur ke depan ditutup dan dipepet, tapi dari samping ada parang melambai-lambai ganas.
Terpaksa motor yang dikendarai oleh Ridwan berhenti, tidak bisa tidak. Mereka dipepet oleh tiga motor yang mengepung bersamaan – satu di depan, satu di belakang, dan satu lagi sudah siap di samping, terjebak sudah. Tiap motor ada dua orang yang berboncengan dan sang penumpang memegang benda-benda tajam.
Ridwan tidak mempedulikan dirinya sendiri, dia hanya mengkhawatirkan Nuke. Kalau saja dia tadi jalan sendiri, dia akan menendang motor di samping atau menubruk motor di depan tanpa peduli, tapi karena ada Nuke dia harus berpikir lebih cermat.
“Mas… kenapa berhenti, Mas…” bisik Nuke. Tangannya erat memegang sweater sang kekasih. Ini bukan main-main, mereka sedang dalam bahaya besar. “Mereka ini…”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. kita berikan saja apa mau mereka, yang penting kamu aman.”
“Mas…”
Ridwan mengangkat tangannya dan berusaha tenang, ia turun dari motor dan menelisik satu persatu begal yang mengepung dirinya dan Nuke. Ia mencari salah satu dari mereka yang mungkin menjadi pemimpinnya, agak susah karena mereka semua mengenakan helm dan masker dari slayer. Parang dan pisau langsung disiapkan oleh orang-orang yang mencegat.
Begitu Ridwan turun, tiga orang pembonceng juga ikut turun.
“Piye, lur? Gimana? Kalian butuh apa? Kami berikan apa yang kami punya. Santai saja.” Ridwan berusaha menenangkan. “Kita tidak usah…”
“KABEEEH!! TOKNO KABEEEHH, SUUUU!!”
Salah satu dari begal yang memegang pisau berteriak kencang. Ia meminta semua barang yang dibawa Ridwan dan Nuke dikeluarkan. Tidak ingin memperparah keadaan, Ridwan mengeluarkan dompetnya dan menarik lembaran-lembaran uang di dalam. Namun, salah satu orang yang memegang parang menarik dompet itu dengan kasar dari tangan Ridwan. Dia mau semua, bukan hanya uangnya.
“KABEEEEH, SUUUU!!”
“Massss!” Nuke menjerit panik.
Salah satu pemegang pisau secara reflek mendekat ke arah Nuke. Melihat kekasihnya terancam, Ridwan pun bergerak cepat dan menutup akses pemegang pisau itu.
“Jangan! Jangan pakai kekerasan ya! Apapun yang kalian mau! Apapun! Tenang yaaa. Tenaaaang.”
Bgghhhkkk! Shhwwggg!
“Hnnngghhkk!!”
Si pemegang pisau memukul perut Ridwan yang langsung menunduk karena kesakitan, Nuke kembali menjerit dan memegangi lengan Ridwan supaya tidak ambruk. Air mata gadis itu mulai meleleh. Nuke sebenarnya menguasai beladiri, namun ia tidak dapat melawan orang-orang ini berbarengan apalagi mereka memegang senjata tajam. Terlebih lagi Nuke juga mengkhawatirkan Ridwan.
“Jangaaaan! Jangan sakiti dia! Saya mohon! Kalian ambil semuanya! Ambil!” teriak gadis itu ketakutan. Bukan takut dengan para begal, tapi takut dengan nasib kekasihnya tercinta.
Tiga orang yang memegang senjata tajam bergerak cepat. Semua barang-barang yang dibawa Ridwan dan Nuke mereka ambil, mereka juga melucuti jaket yang dikenakan oleh pasangan kekasih itu. Salah seorang dari mereka mendekati motor Ridwan, memutar kunci dan menganggukkan kepala pada teman-temannya.
Dari postur tubuh dan suaranya, orang-orang ini sepertinya masih muda, mungkin seusia anak sekolah? Atau mungkin baru lulus SMA? Dari mana mereka? Nuke melirik ke arah salah satu lengan yang terbuka dan sekilas melihat tato angka empat dan enam.
Patnem? Jangan-jangan ini ulah klithih unit Samber Gelap-nya geng Patnem yang sering meresahkan warga? Kampreeeet!
Nuke mencoba menghapalkan postur, perawakan dan gerak-gerik para begal – hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ia juga coba memperhatikan satu persatu nomor kendaraan yang digunakan oleh para begal, namun karena ia masih memegangi Ridwan yang merunduk setelah dipukul tadi, Nuke kesulitan untuk menghapal semua plat nomor itu. Salah gerak dan mereka berdua bisa menjadi sasaran amukan para begal ini.
Mendapatkan semua apa yang mereka mau, gerombolan itu lantas melarikan diri dengan suara motor yang meraung-raung dan tawa serak di malam yang dingin – tanpa lengah membuka identitas. Mereka pergi begitu saja, membawa tas, dompet, ponsel, motor bahkan kado yang tadi diberikan oleh Nuke pada Ridwan. Meninggalkan kedua sejoli itu di tengah jalan, di dingin malam, tanpa uang, tanpa ponsel tanpa dompet.
“Su… sudah aman… sudah aman kamu sekarang… tidak apa-apa… tidak apa-apa… yang penting kamu selamat. Biarkan saja semua dibawa, aku ikhlas. Yang penting kamu selamat…” kata Ridwan sambil menatap Nuke dengan senyum lebarnya. Keringatnya deras bercucuran, Ia terus menerus memegang perutnya, kausnya yang putih perlahan-lahan berubah menjadi merah. “Aku ikhlas… aku…”
Nuke terpaku dan terbelalak saat melihat Ridwan ambruk bersimbah darah.
Sedetik kemudian ia berteriak histeris.
Kencang sekali.
Bersambung