Part #8 : Puasin Nissa Kak
Cahaya matahari menimpa wajahku. Membuatku terbangun dari tidur yang begitu nyaman. Ku lihat Nissa yang hanya dengan ditutupi selimut sedang berdiri di dekat jendela. Dengan senyum ceria Ia menatap ke hutan di halaman belakang rumah melalui jendela yang baru Ia buka gordennya itu. Ia melangkah balik ke kasur begitu melihatku sudah terbangun.
“Pagi Kak,” ucapnya sambil mengecup bibirku. Ia memelukku erat. Oh jepitan payudara telanjangnya di dadaku membuatku terangsang kembali. Penisku yang sudah keras sejak terbangun mulai memancarkan nafsu. Aroma tubuh pagi harinya begitu membangkitkan gairah. Aku pun menyentuh vaginanya, memainkan klitoris Nissa dengan jariku.
Dengan cepat vaginanya telah dipenuhi cairan.
“Ahhh, puasin Nissa Kak,” Nissa balik mengocok penisku.
“Ahhh, iya Nis. Kakak bakal ngentotin Kamu hari ini,” desahku.
“Ahhh iya Kak,” erangan Nissa semakin kencang begitu jari tengahku masuk ke lubang vaginanya.
“Hari ini ahhh, ahhhh, ga usah sekolah dulu Kak.”
Astaga. Ucapan itu membuat tanganku berhenti bergerak.
“Jam berapa ini Nis?!” kataku sambil meraih kacamataku di meja dekat ranjang. Tanpa menunggu jawaban dari Nissa aku menengok ke arah jam dinding yang sudah menunjuk pukul 06:20 pagi. Sontak tubuhku langsung terduduk tegap.
“Gapapa Kak, lanjut pegangin ih,” ucap Nissa sambil menarik tanganku yang baru saja ku lepaskan dari vaginanya.
Ku tatap Adikku itu. Ku lihat Ia memasang wajah sayu dengan bibir cemberut. Rambutnya yang sedikit pirang berwarna merah kini telah diikat agar tak terlalu kusut karena baru bangun. Payudara besarnya menghadapku nakal. Kakinya mengangkang lebar memamerkan vaginanya. Penisku benar-benar tak tahan lagi.
Ah tidak! Tidak! Jeritku dalam hati sambil memukul jidatku sendiri. Baru saja bangun hatiku sudah harus mengalami dilema hebat seperti ini.
“Ga bisa Nis. Mama udah ngasih amanah buat nganter Kamu sekolah, kita harus berangkat sebelum terlambat!”
“Tapi Kak… memek Nissa udah basah. Kontol Kakak harus bertanggung jawab udah bikin Nissa sange pagi-pagi,” ucapnya sambil menurunkan mulutnya ke arah penisku.
Sambil memejamkan mata Aku menggeleng. Tanganku sontak menahan kepalanya.
“Nggak Nis, Kita harus siap-siap sekarang. Pulang sekolah nanti rumah masih kosong kok, Kakak bakal ngentotin Kamu semalaman sampai ga bisa berdiri. Kita bisa ngentot sepuasnya,” ucapku sambil mengusap pipinya. Matanya menatapku sayu. Jujur saja, Aku pun sama tersiksanya dengan Nissa saat ini.
“Tapi mandinya bareng ya Kak!” Meski dengan rasa kecewa Ia tetap menuruti perkataanku.
Di kamar mandi, Nissa tetap berusaha menggodaku. Ia mengambil sabun cair dan mulai menyabuni diri menghadap tubuhku. Ia memulai dengan memainkan puting susunya yang dipenuhi sabun lalu kemudian mulai menyabuni vaginanya. Ia mengeluarkan desahan kecil yang membuat penisku tak kunjung berhenti tegang. Ia membiarkan pancuran air menimpa kulitnya yang agak kecoklatan.
“Kontol Kakak kok ga turun-turun?” tanyanya sambil menyentil kepala penisku.
“Memang selalu begini kok.”
“Kalau Nissa bantu supaya ga tegang lagi mau ga Kak?” kali ini jemarinya yang penuh sabun mulai meraba zakarku.
“Ahhh, nan-nanti telat Nis.”
“Kalau gitu, sabunin Aku dong Kak,” ucapnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Dengan patuh tanganku langsung menyabuni tubuh Adikku. Mulai dari punggung yang tadi kesulitan Ia capai, lalu anggota tubuh lain, tangan, paha, betis, leher, perut.
“Toket dan memek Nissa ga dibersihin ya Kak?” tanyanya dengan raut sedih.
Aku pun mengarahkan tanganku ke payudaranya. Membersihkan payudaranya yang luas itu.
“Ini belum bersih Kak,” Nissa menunjuk puting payudaranya.
Sepertinya Aku memang tak bisa menghindar. Ku letakkan sabun itu ke tempatnya. Kini tanganku dengan nakal mulai memainkan payudara dan vaginanya yang sudah dibasahi oleh cairan hangat. Tanganku kini memilin puting Nissa. Setelah puas meraba, kepalaku mulai turun perlahan hingga celah vaginanya. Di bawah luncuran air shower Aku terduduk menjilat vagina Nissa.
“Ahhhh- ahhhhh, enak Kak.”
Lidahku bergerilya menyedot-nyedot klitoris Nissa. Saking kenikmatannya kaki Nissa perlahan mulai melemas tak mampu untuk berdiri. Ku gunakan tangan kananku untuk menopang pantatnya. Kekenyalan pantatnya yang bulat kini berada dalam genggamanku. Ku percepat jilatanku. Ah persetan dengan sekolah dan kuliah, hari ini Aku hanya mau memuaskan diri dan Adikku.
Siraman air dari shower membasahi badan kami. Menghapus sisa sabun dari tubuh Nissa. Aku kesulitan bernafas kala menjilat vagina Nissa tiap kali limpahan air shower menimpa wajahku. Namun tetap, rasa vaginanya yang hangat begitu nikmat, membuatku tak bisa berhenti. Sedotanku semakin kencang.
“Ahhhhh memekku untuk Kakak!” erangan Nissa semakin tak karuan. Tangannya berpegangan di kepalaku dan menariknya kencang ke vaginanya. Aku kesulitan bernafas dalam posisi ini, vaginanya benar-benar mendekap wajahku. Entah ide mana yang datang padaku, tiba-tiba saja jariku yang sebelumnya hanya meremas pantat Nissa mulai ku arahkan ke lubang pantatnya. Sambil tetap menjilat vaginanya, ku masukkan jari telunjukku ke lubang pantat Nissa yang basah.
“AHHHH, enak b-banget,” Ia berteriak semakin hebat. Ku tarik jariku perlahan lalu ku masukkan lagi menusuk-nusuk lubang pantatnya. Pelan-pelan ku naikkan kecepatan kocokan jariku di pantat Nissa, membuat tubuhnya semakin menegang. Kakinya makin tak sanggup menopang diri sampai Aku harus menggunakan tanganku yang satu lagi untuk turut menahannya.
“Hihhh Kak m-mau cum.”
Tempo jilatanku semakin cepat di vaginanya. Cairan hangat Nissa semakin membanjiri mulutku. Tak lama kemudian Nissa menarik kencang rambut basahku dan mulai berteriak.
“AHHHHHH A-Aku cum!” desah Nissa. Tubuhnya mulai jatuh lunglai dengan pelan. Pantatnya menimpa kedua lenganku yang tertindih di lantai. Bersamaan dengan itu air pipis keluar dari vaginanya. Tidak seperti Elma, cairan yang dikeluarkan oleh Nissa adalah air seni sungguhan. Mengalir deras dari tubuhnya yang masih duduk mengangkang. Sementara itu Aku sibuk mengatur nafas yang baru saja dibuat sesak oleh vagina Adikku.
“Sekarang Kakak ya,” ucapku sambil memperbaiki posisi Nissa yang masih kelelahan. Ku arahkan penisku ke vagina Nissa.
“Nggak Kak, kan tadi Kakak bilang kalau kita harus masuk sekolah,” jawab Nissa sambil menepis tanganku pelan. Nampak senyum mengejek tersimpul dari wajahnya.
“Hah kok gitu?”
“Sabar ya kontolku sayang, nanti sore Kamu ku puasin,” ucap Nissa sembari mengecup kepala penisku. Ia lalu berdiri dan mulai meraih handuk. Memamerkan bulatan pantatnya yang bergetar tiap jalan sebelum menghilang dari pandanganku. Penisku mulai berdenyut-denyut seakan ikut mengejekku.
“Kenapa sih Yo lesu banget?” tanya Aurel, begitu melihatku yang uring-uringan di bangku kelas. Aku masih kepikiran batalnya bersenggama dengan Nissa tadi pagi.
“Gapapa kok, ini senyum,” jawabku sambil memamerkan senyum manis ke wajahnya.
“Idih apaan sok ganteng.”
“Kalau lesu ditanyain kalau senyum sok ganteng, salah mulu Aku.”
“Iya deh ganteng beneran. Udahan ya lesunya,” ucap Aurel sambil mengelus rambutku.
Tanpa disangka ucapan Aurel itu membuatku salah tingkah. Tatapanku yang awalnya ku arahkan ke dinding kelas langsung teralihkan menatap wajahnya. Sejak kapan dia jadi perhatian seperti ini? Tidak seperti biasanya, kali ini Ia tak membalas dengan jawaban sinis yang menantang perdebatan. Jangan-jangan peristiwa kemarin mengubah sifatnya.
“I-Iya, gak lesu lagi kok,” ucapku kaku.
“Ya udah, mau ikut ke kantin gak? Harun sama Elma udah duluan loh,” ucapnya sambil memalingkan wajah dari tatapanku. Aku pun mengikutinya berjalan ke kantin.
“Tumben make celana Rel,” tegur Harun, begitu kami duduk di kantin.
“Kalo ga make celana telanjang dong,” balas Aurel sengit. Oh, ternyata dia masih sama blak-blakan seperti biasanya.
“Maksud Aku kan biasanya pake rok mulu, gitu loh yang mulia Aurel,” sindir Harun.
“Ku kirain isi lemarimu rok sama kemeja doang Rel,” timpaku, membuat Elma dan Harun tertawa.
“Tadi sopir ga bisa nganter ke kampus, jadinya naik ojek. Kan ga enak motoran pake celana,” jawabnya. Sekali lagi Aku bingung, Ia tak balik membalas ledekanku.
“O-oh,” jawabku bingung.
“Eh kalian udah dengar kabar terbaru belum?” tanya Harun.
“Kabar apaan?” tanyaku balik.
“Pak Yono kemarin ditemukan jatuh di kelas XXX,” ucap Elma datar.
“Iya benar! Dan jatuhnya itu pas banget setelah ngajar kelas kita. Untung dia masih sempat ngehubungin satpam untuk minta tolong. Sampai ada ambulans masuk ke kampus loh! Kata anak-anak dia bakal lama ga mengajarnya.” timpa Harun. Ekspresi Harun yang penuh semangat sungguh tak cocok dengan kabar tragis seperti ini.
Aku dan Aurel hanya saling memandang. Tanpa mengutarakan apa pun Kami sudah tahu isi pikiran masing-masing. Kami harus meneruskan sandiwara ini lebih jauh, apalagi jika memang gosip yang beredar seperti itu berarti nama Kami berdua masih bersih sampai saat ini.
“Oh, semoga lekas sembuh kalau gitu,” ucapku. Aku memang benar-benar berharap seperti itu. Bagaimana pun Aku tak berniat membuatnya sakit parah.
“Kabar baiknya ya, tugas kelompok Kita ga perlu dikerjain, kan dosennya ga ada,” jawab Harun dengan riang. Oh, pantas saja dia senang. Di sisi lain peluangku untuk berduaan dengan Elma…
“Masa Kamu belum tau? Pak Yono kan digantiin sama dosen pengganti untuk mata kuliah kita. Tugasnya tetap jalan,” balas Elma. Harus diakui Ia memang paling cepat tahu untuk urusan tugas seperti ini.
“Hah?! Berarti Aku tetap harus ngerjain tugas itu?” ucap Harun dengan nada penuh nestapa. Kami hanya bisa menertawai tingkah bapak satu anak itu.
“Nanti Kamu pulangnya sama kita aja Rel kalau sopirmu ga bisa jemput,” ucap Elma.
“Jalan dekat rumah Aku lagi ditutup seharian ini, ada kondangan soalnya. Makanya mobil ga bisa lewat. Kamu bawa motor kan Yo?” tanya Aurel tiba-tiba.
“Ba-bawa,” balasku.
“Aku nebeng Kamu ya kalau gitu,” jawabnya sambil menatapku lekat.
“Boleh, Aku bawa dua helm kok.” Di saat yang sama ku lihat Elma sedang menatap Aurel dengan tatapan yang janggal. Mungkin dia juga menyadari perubahan gelagat sahabatnya itu.
Selepas dari kantin, Aku melangkah ke parkiran motor bersama Aurel. Masih pukul 12:30, memang tak ada kelas lagi setelah ini. Jadi waktuku masih panjang sebelum akhirnya menjemput dan mengeksekusi Nissa.
“Kamu gak buru-buru kan Yo?” tanya Aurel begitu menaiki motor.
“Nggak kok, kenapa emang?”
“Gapapa hehe,” jawabnya sambil bersandar ke punggungku. Motor pun berjalan meninggalkan kampus.
Aku belum pernah ke rumah Aurel sebelumnya. Cuma Harun dan Elma saja yang pernah beberapa kali mengantar Aurel pulang. Kalau dipikir-pikir, kayaknya Aku hanya akrab dengan Harun saja ya sebelum ini? Berkat Harun-lah Aku bisa bergabung dalam kelompok pertemanan yang sama dengan Elma dan Aurel. Kebetulan pula banyak sekali peristiwa aneh yang menimpaku belakangan dan membuatku bisa lebih dekat dengan mereka berdua.
Sepanjang perjalanan Aurel duduk cukup rapat denganku. Mungkin agar bisa lebih mudah menunjukkan jalan menuju ke rumahnya. Entah Dia sadar apa tidak, namun payudaranya yang menempel di punggungku benar-benar membuatku sulit fokus pada jalanan. Apalagi setelah melihat betapa putihnya kulit payudaranya kemarin. Sejauh ini Aku sudah melihat payudara tiga wanita dan ketiganya memiliki bentuk indah yang berbeda.
Kami pun tiba di rumah Aurel setelah 15 menit berjalan. Setelah pagar dibukakan oleh seorang pria yang sepertinya penjaga rumah namun tidak mengenakan seragam satpam, motorku pun memasuki pekarangan rumah Aurel. Aku tak mau terlihat seperti orang udik di hadapannya, tapi sungguh, rumah Aurel benar-benar terlihat seperti istana. Jika digambarkan secara sederhana, Aurel tinggal di rumah besar dengan pagar tinggi dan halaman luas. Rumah yang kelilingi oleh taman bunga yang segar, sepertinya dirawat dengan tekun oleh tukang kebun. Bahkan teras rumahnya pun lebih luas dari kamar tidurku.
“Kamu masuk dulu aja,” kata Aurel sambil mencopot helm.
Namun karena masih kagok melihat rumahnya, seketika perasaan canggungku muncul. Aku sadar kalau gaya Aurel sehari-hari terlihat necis, namun Aku tak menyangka kalau Ia sungguh sekaya ini. Pantas saja Harun sering meledeknya dengan panggilan “Yang mulia”.
“Kok diam aja? Katanya gak buru-buru, masuk yuk!” ucap Aurel, menyadarkanku dari lamunan. Kami pun masuk ke dalam rumah.
“Tunggu Aku gantian dulu!” seru Aurel begitu memasuki rumah. 10 menit kemudian dia kembali dengan pakaian rumahnya. Ia mengenakan tanktop berwarna kuning dan celana pendek putih. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan poni pendek.
Dari banyaknya sofa di ruangan ini, Aurel mengambil duduk tepat di samping kiriku. Menempatkan pahanya tepat bersebelahan dengan pahaku.
“Rumah Kamu emang sepi gini Rel?”
“Umm, Papi Mami Aku masih kerja sih jam segini. Tapi kayaknya emang sepi terus deh, soalnya mereka sibuk,” ucapnya dengan nada yang sedikit pelan. Sepertinya Aku salah bertanya.
“Sa-sama kok rumahku juga pasti sepi kalau siang.”
“Makanya Kamu nanti aja pulangnya, temenin Aku ngobrol dulu,” ucap Aurel sambil menyandarkan kepalanya di lenganku.
Kami pun mulai mengobrol. Kami membahas apa saja kecuali urusan kuliah. Dari pembahasan ini Aku tahu jika Aurel adalah ahli waris dari perusahaan garment paling terkenal di kota ini. Selain itu orang tuanya juga memiliki banyak usaha lain yang bahkan Aurel pun tak hafal. Sebagai anak tunggal yang akan mewarisi segala harta bisa dibilang Ia hanya cukup perlu bertahan hidup untuk tetap menjadi kaya raya. Latar belakangnya tentu sangat berbeda dengan keluargaku yang hanya bergantung dari upah dosen Mama dan tinggal di rumah peninggalan Nenek.
“Tapi Aku ga mau ambil pusing sih, lebih enak hidup biasa aja kayak remaja pada umumnya,” ucap Aurel begitu selesai menceritakan latar belakang keluarganya.
“Ya ga akan jadi biasa juga sih Rel. Kalau mau hidup biasa, coba Kamu hidup sama Aku gitu, ke mana-mana naik motor, kalau beli buku nabungnya lama, nah itu baru orang biasa hehehe,” kataku, menertawai diri.
“Aku mau kok!” balasnya sengit. Seakan menyadari ucapannya sendiri, pipi Aurel perlahan merona.
“Mau jadi orang biasa ya maksudnya?” tanyaku berusaha meluruskan. Namun Aurel tidak menjawab, tubuhnya menjadi semakin dekat denganku. Sampai akhirnya sesuatu menyadarkanku.
“Rel?”
“Ya?” jawabnya sambil mendongak ke atasku. Aduh mana wajahnya langsung terpampang begitu dekat dari wajahku. Matanya yang setengah sipit, kulitnya yang putih, hidungnya yang tidak mancung maupun pesek, bibirnya yang berwarna sama merah jambunya dengan puting payudaranya yang ku lihat kemarin, Ia terlihat begitu cantik siang ini.
“Kata Kamu jalanan dekat sini ditutup, tadi kok lancar aja?”
Pertanyaanku ternyata membuat Aurel salah tingkah. Ia mencubit tanganku keras.
“Apa sih, siapa tau udah kelar tadi acaranya,” ucapnya memasang wajah cemberut.
“Tapi Aku senang Kamu bisa ke sini Yo,” timpa Aurel. “Sejak kita berteman kita ga pernah benar-benar akrab selama ini. Ternyata Kamu orang yang menyenangkan diajak ngobrol.”
Aku hanya membalas dengan mengelus kepalanya saja. Aurel semakin rapat bersandar pada tubuhku. Aroma rambutnya begitu wangi membuatku betah pada posisi itu.
Setelah itu Kami tetap melanjutkan obrolan. Siang itu Kami banyak bertukar canda sehingga ruangan yang lengang itu pun dipenuhi oleh tawa riang Kami. Sampai akhirnya setelah lama berbincang, seorang Paman Aurel datang ke rumah. Ku tengok waktu telah menunjukkan pukul 3:30 sore, sudah waktunya menjemput Nissa. Setelah berpamitan dengan Aurel dan Pamannya, Aku pun mengendarai motor menuju sekolah.
Motorku menembus jalan raya dengan sangat gesit. Aku tak sabar untuk segera bertemu Nissa. Terbayang di kepalaku hal apa saja yang akan ku lakukan dengannya begitu tiba di rumah. Saking tak sabarannya, Aku sudah tiba di depan sekolahnya pukul 3:40, 20 menit sebelum waktu pulang sekolah.
Wanita yang ditunggu-tunggu pun tiba. Nissa dengan wajah gembira berpamitan dengan teman-temannya lalu berlari menghampiriku.
“Tumben cepat banget Kak, padahal kemarin telat,” ucapnya sambil memasang wajah meledek. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Dengan kecepatan kilat Kami pun tiba di rumah dengan selamat.
Setelah membanting pintu rumah, bibirku dan Nissa langsung berpagutan. Kami saling bertukar ciuman dan berbagi lidah di belakang pintu. Ku dorong tubuhnya dengan penuh nafsu. Ku sandarkan tubuhnya ke pintu dan mulai membuka seragam sekolahnya. Terpampang payudara besarnya yang masih dibalut bra berwarna putih. Ku remas payudaranya dari luar, membuat nafas Nissa memberat.
Tak mau kalah, Ia langsung meraih celanaku, membuka ikat pinggang dan mencopotnya dari kakiku. Ia memasukkan jemarinya ke dalam celana dalamku, mengocok penisku dengan lembut. Kini gantian nafasku yang memberat. Aku pun membuka jaket dan kemejaku, membuangnya sembarangan, dan membiarkan tubuhku telanjang bulat di hadapan Adikku itu. Nafsu yang ku tahan sejak pagi akan ku tuntaskan semalaman ini.
Nissa hendak membuka branya sebelum tanganku menahannya.
“Biar Aku saja,” kataku dingin.
Namun ternyata membuka bra tidak seperti yang Aku pikirkan. Selalu ada kaitannya yang nyangkut tiap kali ku tarik. Nafas frustasi perlahan keluar dari mulutku, Kami sudah tertahan di posisi ini selama semenit. Akhirnya dengan tertawa kecil Nissa pun membuka branya sendiri.
“Gitu aja gak bisa, hihi.”
“Ya siapa suruh branya aneh gitu,” jawabku dengan alasan yang dibuat-buat, padahal tak ada yang aneh dengan bra Nissa, kecuali ya tentu saja ukurannya yang besar.
Ia membalas dengan menyusutkan tubuhnya, kini Ia berjongkok di hadapan penisku. “Tadi pagi kan memek Nissa udah dijilatin sama Kakak, sekarang waktunya Nissa yang bayar,” ucapnya lalu menjilati penisku layaknya permen lolipop. Matanya tetap memandangku dari bawah seakan memerhatikan reaksi wajahku.
“Ahhhh,” Penisku yang sudah tidak karuan sejak tadi kini mendapatkan apa yang diinginkannya.
Plop… plop… plop… nampak terampil sekali Nissa memainkan penisku.
Ia memamerkan teknik mengulumnya dengan elok. Wajahnya yang masih sedikit berminyak pasca seharian sekolah, jilbab putih yang masih dipakainya, juga rok sekolah yang ditarik sampai paha. Payudara sebesar itu terlihat semakin seksi kala tertutup sebagian oleh jilbab. Benar-benar memberikan pemandangan yang berbeda dari Nissa yang semalam.
“Enak Kak?”
“Ahhh jangan berhenti,” ucapku sambil menarik kepalanya. Ia hanya tersenyum sambil menatapku dari bawah. Penisku yang sudah mengeras sejak di motor kini mulai merasakan tanda-tanda akan memuntahkan sperma.
“Gak lama lagi ahh,” ucapku.
Namun bukannya mempercepat gerakannya, Nissa malah menarik mulutnya.
“Nissa mau ngerasain kontol Kakak.”
Baiklah kalau begitu. Aku pun menarik lengannya menuju sofa, membaringkannya di sana. Namun Nissa menolak.
“Di kamar Nissa aja Kak,” katanya memelas.
Tanpa berpikir lama, Aku pun mengangkat tubuh Nissa ke kamarnya. Sambil ku gendong, Nissa menjilat leher dan dadaku dengan buas seperti hewan yang membaui makanannya. Setelah membaringkan Nissa di kasur, Aku langsung menarik celana dalam Nissa.
“Roknya ga dibuka Kak?”
“Gapapa, kita nyoba kayak gini dulu ya,” jawabku yang dibalasnya dengan anggukan. Nampak cairan hangat telah membasahi celana dalamnya. Baru saja mau membuka jilbab, tanganku langsung menahan Nissa.
“Aku mau ngentot Kamu pakai jilbab.”
Dengan kerlingan menggoda Nissa balik mendorong tubuhku. Membuatku baring terlentang lalu duduk di atas penisku. Kini Ia yang di atas. Ku rasakan vaginanya yang basah sudah menempel di penisku. Ia mengangkat kedua tangannya lurus ke atas, memamerkan postur tubuhnya secara utuh. Ketiak yang tidak berbulu, payudara seukuran melon yang turut terangkat tegak, dan perut yang tidak memiliki lipatan lemak sama sekali.
“Kakak mau ngapain aja ke Nissa hari ini?” tanyanya sambil meludahi dadaku. Entah di mana Ia belajar sebinal ini. Penisku makin keras tak karuan.
“Mau ngentotin Kamu sampai pagi.”
“Terus mau apa lagi?” tanyanya sambil meludahiku lagi.
“Ma-mau tumpahin sperma Aku di vaginamu.”
“Memek Kak, kan udah Nissa bilangin,” ucapnya sambil meludahiku lagi.
“I-iya Nis,” dadaku semakin bergemuruh. Ludah Nissa di dadaku menetes pelan hingga ke perut lalu masuk ke pusarku.
“Kakak sudah nakal ya sekarang.”
“Hehehe,” pujiannya membuatku salah tingkah.
“Kalau gitu tunggu Nissa Kak,” ucapnya sambil tertawa. Ia kemudian berdiri meninggalkan kasur.
“Mau ke mana Nis?”
“Ambil minum Kak, biar Nissa kuat semaleman, hihihi,” ujarnya sambil membuka pintu. Sepertinya Aku harus melakukan sesuatu pada pantatnya yang begitu bulat itu.
“AAAH!” teriak Nissa kencang beberapa detik setelah meninggalkan kamar.
Apa yang terjadi padanya? batinku, tanpa mengambil ancang-ancang Aku meninggalkan kasur. “Nissa!” tanyaku balik, berlari menyusulnya.
“Jangan ke sini! Jangan ke si-” namun terlambat Aku sudah telanjur meninggalkan kamar Nissa.
“Ma-Mama?” dengan mata terbelalak Aku memandangi wanita yang sedang berdiri di ruang tamu itu. Wanita yang keberadaannya membuat Nissa menjerit kaget begitu hebatnya. Mama yang balik terkejut tanpa sadar menjatuhkan koper dari tangannya.
Nissa berdiri dengan tubuh bergetar di depanku dengan hanya memakai rok dan jilbab saja. Sedangkan Aku di sini dengan tubuh basah dan telanjang bulat hanya tertegun kaku mencoba mencerna peristiwa yang sedang terjadi saat ini.
Mama menatap Kami dengan diam. Ia sedang mengenakan pakaian kerjanya saat ini, dengan kemeja, celana panjang, dan jilbab. Matanya berulang kali memandangiku dan Nissa bergantian. Sebelum akhirnya Ia memungut koper dari lantai dan mengangkatnya ke depan. Matanya tetap memandang lurus ke depan, menolak melihat wajah anak-anaknya yang sedang melakukan perbuatan tabu. Ia menghindari tubuh Nissa yang berdiri di jalannya, lalu melintas melewati Kami berdua.
“Huhuhu Ma, Ma, Nissa bisa jelasin,” rengek Nissa sambil menangis histeris. Ia terus mengejar Mama. Namun percuma Mama tetap tak acuh sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya. Masuk dengan tenang, bahkan pintunya pun tak dibanting. Sedangkan Aku hanya bisa berjalan ke ruang tamu, memunguti pakaian Kami yang masih berceceran.
“Huhuhu, maafin Nissa,” deru tangis Nissa masih berlanjut di depan kamar Mama. Ia menggedor-gedor pintu itu, berharap Mama membuka kunci pintunya.
Aku berjalan mendekatinya dan menyodorkan tanganku padanya.
“Sini berdiri dulu, nanti Kakak saja yang jelasin ke Mama,” namun Nissa tidak menerima sodoran tanganku. Dengan tatapan yang sinis Ia berdiri meninggalkanku.
“BRAKKK!” suara pintu kamar yang dibantingnya terdengar bergema.
Bersambung