Part #7 : Nissa jago nyepong kontol
Aku dan Nissa tiba ke rumah pada pukul 5 sore. Tidak seperti kemarin, hari ini Kak Sasha belum ada di rumah. Sepanjang sore ku habiskan dengan mengobrol dengan Nissa sebelum akhirnya pada pukul 6, Kak Sasha dan mobilnya pun tiba ke rumah.
“Kak Sasha!” seru Nissa kencang begitu melihat sepupu kesayangannya itu tiba.
“Ada apa nih heboh-heboh?” balas Kak Sasha sambil tersenyum. Semua orang di rumah tentu sudah terbiasa oleh energi Nissa yang menggebu-gebu ini.
“Ga ada Kak, hanya kangen hehehe,” jawab Nissa sambil memeluk erat tubuh Kak Sasha.
“Iya deh, Kakak juga kangen. Kamu udah ga nangis lagi kan? Masa kemarin Kakak sampai ditinggal gitu aja di teras.”
“Maaf ya Kak, tapi Aku janji deh gak sedih kayak gitu lagi,” ucap Nissa balas tersenyum. Selagi dipeluk oleh Nissa ku lihat Kak Sasha melempar pandangan bangga padaku, seakan memberi makna “Betul kan Aku bilang? Remaja cewek kayak gini kalau sedih gak akan lama.”
“Apa? Mau pergi?!” teriak Nissa dengan nada terkejut di meja makan.
“Iya, Kakak dapat job meneliti seminggu di kota S.”
“Jangan pergi Kak! Nanti Nissa nangis lagi,” ucapnya. Dasar manja.
“Biarin Kak Sasha makan loh Nis. Supaya bisa cukup istirahat. Besok dia udah harus berangkat,” timpaku.
“Aku berangkatnya malam ini kok,” balas Kak Sasha.
“Hah hari ini?! Mendadak banget,” kini gantian Aku yang terkejut.
“Iya, nih habis makan jemputannya datang.”
Alhasil malam ini rumah Kami menjadi lebih sepi lagi. Hanya Aku berdua dengan Nissa. Sepertinya ini pertama kali Aku dan Nissa ditinggalkan berdua saja di rumah. Biasanya tiap kali keluar kota sebelum ada Kak Sasha, Mama akan memanggil Bibi Kami untuk menginap di sini menjaga Kami. Risiko tumbuh dewasa memang, harus lebih terbiasa untuk tinggal di rumah yang sepi.
Setelah Kak Sasha berangkat, Aku dan Nissa ngobrol di meja makan. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 10 malam kami pun berpisah menuju kamar masing-masing. Malam hari itu tak henti-hentinya hujan petir menghujam kota Kami.
“Lumayan juga nih, ga perlu nyalain AC,” pikirku. Aku pun memainkan ponsel sambil menunggu rasa kantuk menghujam. Ku cek profil Instagram Elma namun tak menemukan adanya unggahan baru.
Duk! Duk! Duk!
Huh, Nissa, apalagi kali ini? Aku pun membuka pintu dan menemukan Adikku sedang berdiri dengan wajah takut di depanku. Ia sedang mengenakan daster selutut berwarna biru.
“Lagi-lagi dasternya terlalu kecil untuk payudaranya,” pikirku sepintas.
“Kak, Nissa takut petir,” ucapnya dengan wajah memelas.
“Takut apaan? Emang sebelumnya ga pernah hujan deras apa?” jawabku sedikit memberikan sindiran.
“Ih Kakak selalu gitu. Katanya mau jaga Nissa,” kini Dia memberikan ekspresi manyun sekali lagi.
“Yaudah, Kamu mau Kakak buatin mie instan sebelum tidur?” ucapku sambil melangkah keluar kamar. Namun Nissa justru menarik tanganku.
“Ga usah Kak! Temenin Nissa tidur aja.” Oh sialan, sudah kesempatan ke berapa ini? ucapku dalam hati.
Kami pun berbaring berdampingan di kasurku. Melihat Nissa berbaring di sisi kanan ranjang membuatku teringat akan mimpi tentang Mama dua hari lalu. Memikirkan mimpi itu membuat penisku perlahan mengeras. Tunggu- kalau dipikir-pikir, jika memang apa yang terjadi dua hari lalu hanyalah mimpi lalu mengapa ingatanku masih begitu jernih? Pada umumnya manusia bahkan tidak bisa mengingat mimpinya lebih dari 5 persen jika telah terbangun beberapa jam. Apakah analisis itu tidak berlaku pada mimpi basah?
“Mikirin apa sih Kak? Serius amat,” ujar Nissa padaku.
“Mikirin Kamu Nis, harus serius emang,” Aku balik menggodanya.
“Apa sih, ga jelas.”
Dalam hati Aku ingin sekali membahas peristiwa tadi subuh padanya. Namun kenangan pahit akan perbincanganku dengan Kak Sasha kemarin membuatku menahan diri. Bagaimana jika Ia membalas dengan “Lupakan aja ya Kak?” Oh tidak, pasti Aku tak akan berpikir dua kali untuk menanam diri jika itu yang Dia ucapkan. Namun Aku beruntung, Nissa memiliki sifat yang sepenuhnya beda dengan Kak Sasha.
“Kak, tentang tadi subuh,” ternyata Nissa-lah yang membuka obrolan terlebih dahulu. Aku secara antusias langsung menghadapkan tubuhku ke sisi kanan. “Seandainya tadi masjid gak bunyi Kakak bakal beneran… beneran… beneran ngentotin Nissa ya?” tanyanya, wajahnya memerah. Ia bahkan sampai tutup mata untuk menyelesaikan kalimat itu.
“E—eh Nis, memangnya Kamu mau?” Ah sialan, keberanianku tak ada apa-apanya dibandingkan dia. Aku justru malah balik bertanya layaknya pecundang.
“Ih kan Nissa yang tanya duluan,” jawabnya, kini tubuhnya juga menghadap kiri ke arahku.
“I—iya Nis, Kakak bakal beneran bersenggama dengan Kamu.”
“Ngentot tau bukan senggama!” Katanya meluruskan ucapanku. Jujur saja Aku tidak terbiasa menggunakan terminologi yang frontal seperti itu.
“Iya ngentot.”
“Enak aja, Nissa masih perawan tau Kak,” ucapannya membuatku memicingkan mata. Diam-diam Aku merasa senang ternyata Adikku belum senakal itu di luar sana.
“Tapi Kamu kok udah jago banget ciumannya?”
“Ya, karena mantan Nissa dulu suka nakalin Nissa Kak,” jawabnya kesal. “Untung ga ku bolehin ngentot beneran.”
“Baguslah kalau Kamu sadar Nis,” ucapku sambil mengacak-acak rambutnya.
“Tapi Nissa ga hanya jago ciuman aja loh Kak,” kini senyum simpul yang ganjil muncul dari bibirnya.
“Maksudnya?”
“Kakak kepo deh.”
“Kan Kamu yang ngomong duluan.”
“Yaudah khusus untuk Kakakku yang cakep ini Nissa bakal kasih tau,” ucapnya, kini jemarinya sudah berjalan naik turun di dadaku.
Nafasku perlahan semakin berat. Masih terasa nafsuku selama beberapa hari ini yang belum sepenuhnya tersalurkan.
“Kata mantan Nissa, Nissa jago nyepong kontol Kak,” ucapnya nakal di telingaku. Kini keringat mulai membasahi dahiku. Ah, seandainya saja Aku menyalakan AC tadi.
“Oh ya? Kamu sering cunillu- eh nyepong penis dia?”
“Gak cuma nyepong Kak,” katanya, kini tangannya sudah meraba-raba penisku dari luar celana.
“Menurut Kakak salah gak kalau misalnya Nissa pengen sepongin kontol Kakak,” kini dia sudah berbaring di atas tubuhku. Ku rasakan payudaranya menimpa tubuhku. Kekenyalan payudaranya lebih terasa kali ini, jangan-jangan? Ternyata benar, begitu mengintip dari celah dasternya Nissa memang sedang tidak menggunakan bra. Membuat payudaranya yang berukuran jumbo menggantung bebas.
“Kamu emang mau sepongin Kakak sendiri?”
“Mau Kak, Nissa pengen Kakak tahu seberapa hebatnya Nissa,” ucapnya sambil memainkan jemarinya ke penisku dari balik celana dalam.
“Sepongin penis Kakak Nis,” ucapku dengan penuh gairah.
“Kontol Kak! Hih,” jawabnya kesal sambil meremas penisku keras. Membuatku sedikit meringis.
“Iya Nis, sepongin kontol Kakak.”
“Tapi Nissa mau tau dulu Kak.”
“Apa Nis?” ucapku, Dia benar-benar menguji kesabaranku malam ini.
“Kalau Kakak jagonya apa?”
Pertanyaan itu membuat wajahku memerah. Aku jagonya apa? Lihat vagina saja tidak pernah.
“Jangan diam aja Kak. Kakak ga pernah ginian ya?”
Sekali lagi Aku terdiam. Bukan malu, melainkan karena bingung harus menjawab apa. Aku sudah pernah melakukannya dengan Elma, namun tidak benar-benar sampai jauh.
“Kalau memang ga pernah sini Nissa yang ajarin. Nissa mau jadi orang pertama yang rebut perawannya Kakak,” ucapnya menggoda, kini tangannya dimasukkan ke dalam celanaku. Namun belum ada sedetik di sana, tangannya tiba-tiba berhenti bergerak.
“Ke-kenapa Nis?”
“Ini besar banget Kak, pantas tadi Nissa pegang dari luar kayak kegedean,” ucapnya sambil kembali menggerakan jemarinya di penisku. “Kontol Ramli ga ada apa-apanya dibanding ini.”
Nissa kemudian menarik celanaku turun, lalu benar-benar memerhatikan penisku. Aku sebelumnya tak pernah sadar akan ukuran penisku. Pasalnya selama ini Aku hanya sering menonton film porno barat, biasanya Aku hanya melihat bahwa ada penis beberapa aktor yang memang sedikit lebih kecil dariku. Namun Aku tak menyangka bahwa di mata Adikku penisku sebegitu besarnya. Lagipula, Nissa adalah wanita pertama yang melihat penisku.
Setelah puas memandangi penisku, Nissa pun mulai mengocoknya kembali. Tangannya naik turun mengikuti ukuran penisku.
“Ah, Kakak seksi sekali. Aku jadi ga mau suka cowok lain lagi,” ucapnya nakal. Tanganku juga mulai meraba payudaranya dari luar. Aku meraba payudara besar itu dari luar, hingga jemariku menemukan putingnya yang timbul dari daster tipisnya. Ku mainkan puting payudara itu, membuat Nissa ikut kenikmatan.
“Ahhh Kakak nakal,” ucapnya tersenyum.
Ku dudukkan tubuhku dan ku raih wajahnya. Kami pun berciuman seperti subuh tadi. Ku pandangi wajah adikku yang berkulit kecoklatan, ku tatap hidung mancungnya, oh dia memang rupawan.
“Nissa mau Kakak mainin Kamu kayak mantanmu?” tanyaku, hormon yang keluar dari tubuhku kini membuatku jadi lebih berani.
“Mau Kak, Nissa pasti bakal puas banget sama Kakak.” Aku pun membuka kaosku, memamerkan tubuhku yang mulai berkeringat ke adik kandungku itu.
“Ah, badan Kakak seksi banget, nikmatin tubuh Nissa Kak.”
“Tapi Kakak mau lihat yang lebih seksi lagi,” ujarku, lalu ku singkaplah daster tipis adikku. Membuatnya nyaris telanjang, hanya dilapisi oleh celana dalam tipis berwarna putih yang sudah terlihat basah. Ternyata benar, tubuh Adikku memang sangat seksi. Payudaranya begitu besar, dihiasi oleh areola kecil, dan puting kecil berwarna pink kecoklatan. Payudara itu menggantung tegak di atas perutnya yang kurus, membuatnya terlihat tidak proporsional. Namun ketidakproporsionalan itulah yang membuatnya terlihat begitu seksi.
Langsung ku lumat payudaranya yang sebelah kiri, ku jilat putingnya yang berwarna pink itu. Membuatnya mendesah keras, sampai-sampai melepas penisku dari genggamannya.
“Aaaah Kakak, bikin Nissa cum Kak.”
“Bodoh banget cowok yang nyia-nyiain Kamu Nis,” ucapku sambil membaringkan tubuhnya.
“Ahhh Kak-”
Ku masukkan jariku ke dalam celana dalamnya. Inilah pertama kalinya Aku menyentuh vagina wanita. Rasanya basah dipenuhi cairan hangat yang lengket. Aku memainkan jari tengahku ke sana naik turun. Nissa menarik celana dalamnya turun. Kini vaginanya yang ditumbuhi bulu samar-samar terpampang di hadapanku. Seakan menantangku untuk memainkannya sepanjang malam.
Setelah puas menatap tubuh telanjangnya, lidahku mulai beraksi lagi. Ku jilat payudaranya yang kanan, payudaranya terus bergoyang selama ku jilat. Sungguh sensasi yang berbeda.
Tiba-tiba tangan Nissa menggenggam jariku yang sedang memainkan vaginanya. Jari tengahku itu Ia tarik sedikit, kemudian diarahkan ke daging kecil yang timbul di vaginanya. Ini pasti klitoris, pikirku.
“Ahhh, mainin yang itu Kak.” Desahannya semakin menjadi.
Lidahku ku perlahan ku turunkan, mulai dari menjilat perutnya, lalu turun ke pinggang, sampai akhirnya sampai pada klitoris yang sebelumnya ku kocok dengan jari. Ku jilat klitoris itu sekali dan Nissa pun mendesah hebat. Ku tambah jilatanku, sampai akhirnya ku sedot klitoris itu, sampai mendadak tubuh Nissa menegang.
“Ahhhh enak banget Kak, Nissa mau keluar.”
Mendengar hal tersebut Aku langsung menyedot klitorisnya berkali-kali. Cairan dari vaginanya semakin banyak yang keluar. Ku cari celah di vaginanya, hingga akhirnya menemukan lubang vagina. Lubang itu benar-benar telah basah kuyup, ku masukkan satu ruas jari tengahku ke dalam, membuat Nissa semakin menggila. Ku keluar masukkan jariku sebagaimana yang dilakukan oleh Elma beberapa hari lalu.
“Ahhhh, Ahhhh, Kak, Nissa mau cum.”
Semakin nakal Aku memainkan lubang vagina dan klitorisnya. Jariku masuk semakin dalam meski belum sampai dua ruas jari. Sedangkan tanganku yang satu mulai memegang putingnya.
“AHHH, Kakakku! Niss- Nissa AHHH Nissa keluar Kak,” Tubuhnya menegang hebat, kedua kakinya menekuk, tangannya membenamkan wajahku makin dalam ke vaginanya, membuatku sulit bernafas. Bersamaan dengan itu cairan vaginanya perlahan menetes keluar. Cairannya tidak meluncur deras seperti Elma, namun reaksi tubuhnya tidak kalah heboh dibandingkan Elma kala orgasme.
Kini Aku berbaring di samping Nissa, memandanginya yang baru saja mengeluarkan cairan kenikmatannya. Nafas yang tersengal-sengal benar-benar membuat payudaranya semakin besar. Di sisi lain penisku masih berdiri tegak, nafsuku belum terpenuhi. Ia berbaring seperti itu dengan tangan yang masih meremas sprei selama beberapa menit.
“Sekarang gantian Nissa,” ucap Nissa sambil menunduk menghadap penisku setelah puas menikmati orgasmenya.
Ia memulai dengan mengocok pelan ke arah penisku. Sesekali Ia meludahinya membuatnya semakin ringan untuk dikocok. Perasaan penis yang diludahi ini sekali lagi mengingatkanku pada mimpi basah kemarin. Ah mimpi sialan, Aku berusaha menghapus pikiran itu dan menikmati kocokan Nissa saja.
Nissa mulai mengecup kepala penisku sambil menatapku dengan tatapan penuh menggoda. Sebelum akhirnya, bless, Ia memasukkan mulutnya ke penisku. Setengah penisku Ia masukkan ke mulutnya, membuat darahku seakan mengalir lamban.
“Ahhhh, Kamu memang jago Nis,” desahku, membuatnya semakin bersemangat. Ia menggerakkan kepalanya naik turun. Ia mencoba memasukkan sebanyak mungkin penisku ke dalam mulutnya. Namun tidak bisa, seberapa jauh pun Ia berusaha penisku hanya masuk tiga perempat. Diameter penisku membuatnya agak kesulitan untuk memaksakan diri. Ku rasakan penisku sudah menyentuh ujung tenggorokannya, Ia menahannya seperti itu beberapa saat hingga matanya mulai berkaca-kaca. Aku ingin melarangnya namun kenikmatan yang dihasilkan membuatku tak sanggup berkata-kata lagi.
“Plop… Plop…” suara penisku diisap oleh Nissa.
“Ahhh, sperma Kakak mau keluar Nis.” Semakin semangat pula Ia mengulum kontolku di mulutnya.
“Kon…tol Ka…kak bi…kin Nis…sa se…sek,” ucapnya sambil tetap mengulumku.
“Ahhh, Ahhh, Nis Nis,” Aku sudah benar-benar hampir keluar, sampai akhirnya Nissa mencabut mulutnya dari penisku. Membuat cairan pre ejakulasiku keluar sedikit.
“Ahhh, kenapa berhenti Nis?” Namun Nissa tidak menggubrisku. Ia malah berlari meninggalkan kasur. Penisku masih menegang begitu keras, menyaksikan pantat adikku bergoyang naik turun kala berlari menuju meja belajarku. Tak lama kemudian Ia kembali membawa sebuah penggaris dan tali benang.
“Apaan sih Dek?”
Nissa hanya tertawa kecil sambil kembali mengocok penisku. Memastikan bahwa ukurannya sudah tegang sempurna sampai akhirnya Ia mulai mengukur panjang penisku dengan penggaris. Selanjutnya Ia melingkarkan benang ke penisku sebelum menandainya untuk diukur dengan penggaris.
“Kontol Kakak emang gede banget. Panjangnya 20 hampir 21 cm, diameter tebalnya sampai 4,5 cm.”
“Emang beneran gede ya Nis?”
“Iya Kak, Ramli yang cuma 11 cm aja nakalnya bukan main Kak.”
“Lanjutin Nis, Kakak sudah mau keluar.”
“Gak mau! Weeek…”
Bukannya menuruti, Nissa justru naik berbaring di atas dadaku. Ia mencium bibirku selama beberapa detik sambil menjepit penisku di celah pahanya. Puting payudaranya membuat dadaku sedikit merasa geli. Tubuh Kami sama-sama dipenuhi keringat sehingga terasa dada Kami berbenturan licin.
“Kak, Nissa basah lagi,” katanya sambil menggigit bibir bawahnya.
“Oh ya? Kamu mau Kakak jilat lagi?”
“Mau digesek Kak,” ucapnya lalu duduk di atas penisku. Dia membasahi penisku yang mengarah ke arah perut sebelum kemudian menindih dengan vaginanya yang basah.
“Ahhhh,” desahnya, sambil menarik tanganku ke arah payudaranya.
“Ahhhh,” desahku juga. Rasa vagina basahnya begitu empuk kala didudukkan di atas penisku. Cairan vaginanya membuat gesekan kemaluan Kami terasa begitu licin.
“Kontol Kakak enak, aahhh.”
“Vaginamu juga empuk banget Nis, basah, ahhh,”
“Me-memek Kak bukan vagina ahh,” ujarnya sambil mengencangkan goyangannya.
“Memekmu empuk Nis.”
“Kak Aku udah basah banget Kak. Kakak lagi yang di atas,” ucapnya sambil berbaring.
Aku menuruti dengan duduk di antara kedua celah pahanya. Penisku ku goyangkan seperti caranya tadi. Butir keringat dari wajahku jatuh menetes ke payudaranya. Begitu juga Nissa, tubuhnya benar-benar dipenuhi keringat saat ini. Aroma keringat kuat membanjiri kamar ini. Desahan kami semakin tak teratur, mengalahkan suara hujan di luar sana.
“Kak, Nissa mau cum lagi.”
“Ahhh, iya Nis, Kakak juga bisa cum enak gini.”
“K-kak?”
“Iya Nis?”
“Nissa ga mau perawan lagi Kak.”
“Maksud Nissa?” jawabku sambil terus menggesekkan kemaluan Kami. Jemariku mulai ku gunakan untuk memainkan klitorisnya.
“Nissa mau dientot kontol Kakak.”
“Ahhhh, yakin Nis? Kakak juga pengen nyoba memek Nissa.”
“Ayo sekarang Kak, sebelum ahhh sebelum Nissa cum!”
Aku pun menarik penisku. Mengarahkannya lurus menuju vagina Nissa. Vagina yang tebal itu terlihat begitu sempit. Meski telah banyak cairan keluar dari vaginanya, tetap saja lubang vaginanya terlihat sempit. Ku sodok perlahan penisku ke arah vaginanya. Namun karena dilakukan dengan penuh keraguan, penisku tidak berhasil masuk.
“Cepat Kak!” Desaknya.
Karena melihatnya begitu ingin, Aku pun memaksakan penisku yang sudah ku basahi untuk masuk di vaginanya. Ahhh, berhasil. Vaginanya membuka, kepala penisku berhasil masuk. Cairan-cairan dalam vaginanya mulai mengalir keluar. Ah meski baru sedikit saja yang masuk rasanya sudah senikmat ini.
“Ahhhh,” desah Nissa sambil menggigit jarinya. Pemandangan itu membuatku terpancing untuk memasukkan lebih dalam. Ku sodok lagi lebih jauh, memasukkan separuh penisku.
Nissa menutup matanya, seakan menahan rasa sakit.
“Sakit Nis?” tanyaku, menahan diri. Kenikmatan kini semakin besar ku rasakan.
“Lanjut aja Kak, ahhh, mumpung masih banjir. Ni-Nissa kuat kok,” ucapnya masih menutup mata.
Kali ini dengan lebih perlahan ku mundurkan penisku, merasakan daging vaginanya memijat penisku. Sebelum ku majukan lebih jauh lagi sampai penisku hampir masuk seluruhnya.
Nissa merintih pelan, matanya mengeluarkan air mata. Kali ini Aku benar-benar merasa iba.
“Tahan bentar dulu Kak, jangan ditarik keluar,” ucapnya merintih.
Aku pun menurutinya. Tanganku meraih lengannya, membiarkan jemarinya menekan tanganku sembari menahan sakit. Tak berapa lama, Ia menarik jemariku untuk memainkan putingnya.
“Ahhh– ahhh, udah enak Kak.”
Aku pun mengeluarmasukkan penisku perlahan-lahan di vaginanya. Membuat vaginanya semakin basah. Sampai akhirnya ujung penisku mencapai dinding dalam vaginanya yang membuat Ia mendesah begitu hebat.
“Ahhh enak Ahhhh… kontol Kakak enak ahh…”
“Ahhh nikmat banget vagi-memek adik kandungku, ahh.”
Ku nikmati pemandangan penisku yang keluar masuk dari vaginanya. Pemandangan yang begitu indah, nampak penisku dijepit dengan begitu sesak oleh vaginanya yang nyaris gundul. Terasa sekali dinding dan cairan dalam vaginanya seakan sedang memberikan terapi yang menyenangkan pada penisku. Perasaan ini begitu indah, Aku semakin bersemangat untuk menggenjot tubuh adikku.
“Ahhhh Nis sempit banget, Kakak ga tahan.”
“I-Iya Kakhhh, Nissa juga ga tahan… kon-hhh-tol Kakak,” ucapnya sambil menggelinjang. Payudaranya turut naik turun mengikuti irama genjotanku. Ku lihat lidah Nissa sedikit menjulur keluar. Keringat dari dahiku mulai meluncur ke atas perutnya.
Desahan Kami saling bersaut, keringat Kami bertumpuk membuat sprei terlihat seperti kain yang baru saja diguyur hujan. Malam ini Kami bersenggama begitu hebatnya. Dengan penuh nafsu dan penuh kasih sayang.
“Plok, Plok, Plok,” berkali-kali suara tubuh kami beradu.
“Ahhhh Nis, enak tubuhmu.”
“I-Iya Kak ahhhh.”
Aku membalik tubuh Nissa. Membuatnya menungging. Penisku sempat susah masuk lagi, meski pada akhirnya bisa masuk sepenuhnya, bahkan dengan rasa yang lebih nikmat. Gerakan Kami semakin lama semakin kencang. Nissa juga turut menggerakkan pantatnya yang indah naik turun dengan cepat mengikuti irama pinggangku. Suara pinggangku menghantam pantatnya terdengar begitu nyaring. Bagaimana bisa Nissa yang kurus memiliki ukuran pantat yang semok seperti ini? Entah sudah berapa lama Kami saling berpenetrasi sebelum Nissa benar-benar tak sanggup lagi menahan orgasmenya.
“Ahhhh Kakak kon-kontolmu…”
“Ahhh Nis Adikku.”
Wajah Nissa nampak binal sekali. Dengan bibir membuka, sedang menikmati orgasmenya yang akan keluar. Matanya dipejamkan dengan alis terlipat seakan sedang membiarkan indranya meresapi segala rasa di vaginanya. Jepitannya semakin kencang, ah penisku juga sudah hampir jebol.
“Hhhh Nissa adikku memekmu rapet…”
“Ahhhh K-Kak Nissa cum, ahhh Ni-Nissa cuuuu…,” Ia pun orgasme. Lengannya tak sanggup lagi menahan bobot tubuh, membuatnya terjatuh. Penisku di vaginanya diserbu oleh cairan hangat. Aku pun menarik pelan penisku dari vaginanya, membawa cairan itu menetes bersamanya. Ku lihat terdapat campuran darah yang turut keluar dari lubang vagina Nissa.
Bersamaan dengan itu penisku sudah sangat siap menumpahkan lahar sperma. Pijatan dalam vaginanya kala orgasme benar-benar membuat penisku keenakan.
“Haaah– Hahhh,” Nissa masih berteriak keenakan.
Setelah beberapa detik terbaring lemas, Nissa seakan sadar dan langsung meraih penisku yang masih basah akibat vaginanya. Ia mengocoknya sebentar, mengelap sedikit bekas darah dengan tangannya, sebelum kemudian mulai mengulumnya kembali. Tanpa membuang waktu Ia memainkan lidahnya di batang penisku.
“Enak ya rasa memek Nissa,” ucapnya sekilas sebelum lanjut menyedot penisku. Ucapan itu membuat nafsuku semakin membahana.
“Kakak tau gak Nissa jago apalagi?”
“Apa lagi Nis?”
“Ini,” jawabnya sebelum kemudian menjepit penisku di payudaranya.
“Ahhh enak Nis,” penisku yang sudah dibuat basah dijepit di payudaranya yang empuk dan sempit. Rasanya benar-benar membuatku melayang.
“Kakak mau keluar Nis,” ucapku berpegangan ke rambutnya. Ia mempercepat gerakan naik turun payudaranya.
Bentuk payudaranya yang bulat bergoyang-goyang seiring naik turunnya penisku. Wajah Nissa yang dipenuhi keringat membuatnya terlihat begitu menggoda. Kepalaku menengadah ke atas, penisku benar-benar sudah tidak sanggup menahan lagi.
“AHHH NISS, AH,” ucapku sambil menengadah. Ternyata dibuat ejakulasi oleh wanita memang indah rasanya
Akhirnya semprotan itu keluar, berkali-kali semprotan spermaku berterbangan ke arah wajah Nissa. Semprotanku dengan kencang terbang mencapai rambutnya, lalu kemudian menetes ke matanya. Wajah dan dadanya pun dipenuhi oleh spermaku. Sangat indah rupa Adik sendiri yang dipenuhi spermaku ini.
“Air mani Kakak kental banget.”
“Kamu hebat banget Nis, masih perawan tapi bisa buat Kakak merasa melayang saking puasnya.”
“Kakak juga masih perawan juga tapi bisa bikin Nissa habis tenaga kayak gini,” ucapnya sambil mengecup pipiku.
Aku hanya tersenyum lalu kemudian terbaring. Nissa lalu pergi membersihkan diri ke toilet dan langsung terlelap di sampingku. Kemudian gantian Aku yang membersihkan diri dan menyusulnya terlelap.
Bersambung