Part #9 : Aku, Nissa dan Mama
Pagi ini Aku memanggang enam potong roti. Selain itu, Aku juga menyiapkan tiga cangkir susu panas untuk diriku, Mama, dan Nissa. Ku makan dua potong bagianku lalu kemudian meminum secangkir susu. Hari ini rasa makanan terasa lebih hambar, namun tak apa Aku tetap harus sanggup menjalani hidup dengan normal.
Mama dan Nissa tak kunjung meninggalkan kamar hingga hampir pukul 7 pagi. Meski sudah ku ketuk, tak ada jua jawaban dari kamar mereka. Semoga saja mereka tidak berdekam terlalu lama di sana.
Jujur saja tidurku juga tidak enak. Kepalaku terus dihantui dengan pemandangan yang sama. Aku, Nissa, dan Mama saling menatap dengan pandangan nanar. Pandangan yang menyiratkan kehancuran dalam keluarga Kami. Kehancuran yang bahkan tidak terjadi kala Papa meninggalkan Kami.
Hari ini kuliah berjalan bagaikan kaset pita rusak yang kedua ujungnya begitu kusut hingga tak jelas di mana titik awal maupun titik akhir. Rasanya baru saja meninggalkan rumah, tanpa ku sadari waktu mata kuliah sore telah berakhir begitu saja. Ku tatap ke arah pintu keluar kelas, “Berat sekali rasanya harus pulang ke rumah,” batinku.
“Hei Yo, ngelamun aja dari tadi,” ucap Harun sambil menjentikkan jarinya berkali-kali di depan mataku.
“E-eh Run,” jawabku terbata.
“Oh pasti dia gak dengar nih,” ucap Harun sambil tersenyum ke arah Aurel dan Elma. “Mau ikut gak?”
“Ikut ke mana?”
“Rumah mereka, kita mau nonton Hereditary. Katanya plotnya seru,” jawab Aurel. Ku lihat ke arah Elma dan Harun, “sejak hubunganku dengan Elma dimulai, Aku belum pernah ke rumah mereka lagi ya?” batinku.
“Gimana, mau ikut?” tanya Elma.
“Udah ga usah ditanya lagi, ayo ikut,” timpa Aurel sambil menarik tanganku berdiri. Saking linglungnya akan realita, tubuhku jadi begitu enteng kala ditarik Aurel. Sampai-sampai tubuh bagian depan Kami beradu, membuat jidatnya bertemu dengan bibirku. Kesannya seakan Aku mengecup Aurel meski sebenarnya benturannya agak kencang juga.
“E-eh Rel maaf. Gak sakit kan?” tanyaku sambil memegang jidat Aurel. Tabrakan itu membuat pikiranku yang sedari tadi melamun sepenuhnya sadar.
“Ga-gapapa kok, yuk berangkat,” jawab Aurel sambil memalingkan wajah. Ku lihat rona wajahnya memerah. Kami pun berjalan meninggalkan kelas.
“Aku bawa motor, jadi ngikut dari belakang aja,” ucapku ke mereka ketika tiba di lapangan parkir.
“Oh yaudah, ketemu di rumah kalau gitu,” jawab Harun.
Aku pun berbelok ke arah motorku yang memang dekat dengan tempatku berdiri. Aku duduk di atas jok sembari memasang helm. Masih ada satu lagi helm tergantung di depan jok. Aku lupa menurunkannya dari gantungan tadi pagi karena terburu-buru. “Kabar Nissa gimana ya? Dia masuk sekolah apa tidak?” batinku. Aduh, seharian ini Aku tidak bisa menghapus pikiran tentang Nissa dan Mama dari kepalaku.
Selagi terpaku tiba-tiba saja helm milik Nissa itu ditarik dari samping oleh seseorang.
“E-eh…”
“Eh kenapa? Aku udah ngomong ke Harun sama Elma kalo bakal ikut Kamu,” ucap Aurel sambil mengancingkan helm ke kepalanya. “Yuk berangkat!”
“Kamu kenapa nggak naik mobil Rel?” tanyaku di perjalanan.
“Humm, Kamu ga suka ya Aku nebeng?”
“Ng-Nggak kok, kan cuma nanya,” jawabku. Aurel tertawa melihat polahku yang gampang sekali dibuat salah tingkah.
“Lagi pengen aja naik motor. Jarang banget naik motor ternyata kemarin seru juga bisa nyalip-nyalip di jalanan hehehe.” Dasar orang kaya.
“Ya udah, berarti Aku harus nyalip-nyalip nih?” tanyaku seraya menancap gas lebih kencang. Menyalip mobil Harun yang berjalan di depan Kami lalu menembus jalan raya dengan cekatan.
“Eh Yo, Yo! Aku bercanda doang,” teriak Aurel dari belakang. Aku tetap mengabaikannya, motor melaju semakin kencang.
Terpaan angin sore kota menimpa wajahku dengan telak. Puluhan hingga ratusan kendaraan Kami lewati dalam sekejap. Bagai mesin permainan arcade, motor matic-ku meliuk-liuk dengan entengnya. Seluruh adrenalin yang Ku tahan selama lima hari belakangan perlahan terlampiaskan.
“Yo! Udah Yo! Pelan-Pelan aja!” jerit Aurel, sebagian suaranya terbawa angin. Kini kedua tangannya merengkuh perutku erat. Telapak tangannya mencengkeram erat pakaianku seakan tubuhnya bisa melayang jika melepasnya. Namun motor tetapku pacu dengan kencang. Maaf Aurel, berpeganganlah yang erat.
“Apa sih Kamu,” ucap Aurel sambil mencubit perutku bertubi-tubi kala Kami tiba di depan rumah Harun.
“Hehehe maaf ya, kan Kamu yang suka kalau nyalip-nyalip.”
“Ih sekali lagi Kamu kayak gitu Aku ga mau lagi nebeng Kamu.”
“Iya, iya, gak gitu lagi.”
“Nah gitu dong, nurut sama Aku.”
Kita sudah sampai sejak tadi namun kedua tangan Aurel masih tetap memelukku erat. Ia juga menyandarkan kepalanya di pundakku. Jemarinya tidak lagi mencubitku hanya saling terkait saja di perutku. Ia menempel erat pada tubuhku entah disengaja atau tidak. Aku juga tak kunjung berdiri, ku biarkan tubuh Kami menyatu. Hingga lima menit kemudian mobil Harun pun muncul.
“Udah jadian kalian?” tanya Harun begitu turun dari mobil.
Ucapannya sontak menyadarkan Aurel. Dengan cekatan Ia menarik lengannya yang sebelumnya merangkulku. Aku juga seketika langsung berdiri melangkah dari motor.
“Apaan sih, orang ini baru tiba. Si Dio bawa motornya kayak orang gila tadi, iya kan Yo?” balas Aurel sembari menyikutku.
“I-Iya hehe.”
“Tapi emang kencang banget Kamu nyalip mobil kita tadi. Mendadak sakit perut apa gimana nih?” tanya Harun. Aku hanya membalasnya dengan cengengesan saja. Di saat yang bersamaan Elma pun turun dari mobil. Elma hanya menatapku sejenak lalu tanpa mengatakan apa-apa Ia melangkah masuk ke dalam rumah.
Oh ya, saat ini Maura, anak Harun dan Elma sedang dibawa ke rumah Nenek Harun yang terletak sekitar setengah jam dari pusat kota. Karena itu pulalah Harun sengaja mengajak kami untuk mampir ke rumah mereka. Mereka sedang ingin menikmati akhir pekan kali ini tanpa Maura dulu.
Ternyata Kami tidak menonton film di ruang tengah, tempat Aku dan Harun biasa bermain PS. Alih-alih Kami malah diajak untuk masuk ke kamar tidur Harun dan Elma. Tempat di mana seunit televisi 40 inchi telah tergantung di dinding. Kamar mereka ternyata begitu luas, dengan cat putih dan set interior yang berwarna coklat muda, khas kamar modern pada umumnya. Ranjang mereka berhadapan langsung dengan televisi.
Sebelum berkumpul di kamar, beberapa dari Kami telah mengganti pakaian terlebih dahulu. Elma telah terlebih dahulu mengganti pakaiannya dengan kemeja piyama lengan panjang, Ia juga tak lagi mengenakan jilbab, memamerkan rambut yang sebagian berwarna abu-abu. Aurel mengenakan kaos lengan pendek dan juga celana pendek milik Elma menampilkan tubuhnya yang bening. Harun juga sudah mengenakan celana pendek dan kaos biasa. Sedangkan Aku kebetulan sedang menggunakan boxer sebagai dalaman sehingga bisa mencopot celana panjangku. Dengan tetap memakai kemeja, Aku menaiki kasur dengan celana boxerku. Semoga mereka tak sadar jika di balik boxerku ini aku tak mengenakan celana dalam.
Setelah menyiapkan segala snack, Kami pun duduk berbaris di ranjang yang lebar itu. Aku duduk di ujung kanan, di sebelahku ada Aurel, di sebelah kirinya ada Elma, dan Harun duduk di ujung kiri. AC telah dinyalakan ke suhu terdingin, selimut telah dibentangkan lebar menutupi sebagian tubuh kami. Film pun dimulai.
Aku kurang memerhatikan selama awal film berlangsung. Selain karena sudah pernah menonton film ini sebelumnya, juga karena perilaku Aurel yang membuatku susah fokus. Baru lima belas menit film berjalan Ia sudah berkali-kali bereaksi ketakutan. Padahal belum ada setan yang muncul dalam filmnya, Ia terus mencubit lengan kiriku dengan kencang.
“A—ahh kok bisa gitu?” teriak Aurel begitu adegan kepala sang Adik tertabrak tiang listrik sampai putus. Ia meraih lenganku lalu membenamkan kepalanya.
“Husstt, jangan berisik kali Rel! Jadi ga serem nih kalau dengar suaramu terus,” balas Harun di seberang.
Aurel memasang muka sewot begitu ditegur. Ia langsung mendekatkan ke kepalaku lalu mulai berbisik.
“Si Harun sensi amat,” ucapnya dengan wajah kesal. Aku yang melihatnya seperti itu hanya tertawa kecil.
“Tapi Kamu ga kesal kayak Harun kan Yo?” tanya Aurel. Ia menatapku lekat dengan tatapan memelas.
“Iya gapapa kok,” ucapku sambil mengusap kepalanya. “Tapi awas kalau cubit lagi!”
“Jadi kalau Aku takut gimana dong?” tanyanya.
“Begini aja…” jawabku sambil meraih tangan kanannya. Menggenggam telapak tangan Aurel dari balik selimut, membiarkan jemari Kami yang kedinginan bertemu. “Tiap Kamu takut tekan tangan Aku yang kencang,” bisikku di telinganya.
“I-iya,” ucap Aurel sambil memalingkan wajah.
Film pun terus berjalan. Posisi dudukku dengan Aurel semakin dekat. Kini kedua kaki Kami saling menindih. Berkali-kali Aurel meremas jemariku ketakutan sejak tangan Kami bergenggaman. Sementara di sisi sebelah, ku lihat Elma saat ini sedang bersandar di pundak Harun. Entah mengapa perasaanku sedikit kesal melihat mereka begitu dekat. Aduh, Aku harus tahu diri! Mereka itu suami istri dan Elma bukanlah siapa-siapa untukku selain teman, batinku mengingatkan diri.
Untuk beberapa detik ku lihat Elma balik menatapku. Membuat wajah Kami bertemu dalam kegelapan. Entah apa yang dipikirkannya, namun Aku merasa bahwa Elma juga kurang memerhatikan film sedari tadi. Dan ya, selagi kami bertatapan seperti itu, Elma langsung menarik lengan Harun lalu mencium punggung tangannya. Ia melakukannya tanpa melepaskan pandangan dariku. Kali ini Aku benar-benar merasa cemburu.
Namun selagi Aku terbakar api cemburu tiba-tiba saja adegan seram kembali muncul dalam film. Kali ini bermacam teror telah ditampilkan di layar kaca. Membuatku mau tak mau kembali fokus melihat televisi. Mungkin karena terlalu takut atau apa, Aurel sontak melompat kaget ke arah tubuhku. Posisinya yang sebelumnya di sampingku kini berganti menjadi di sela pahaku. Ia kini duduk sambil menyandar di dadaku.
“A-Aku takut banget Yo,” kebetulan memang cahaya matahari sore sudah mulai menghilang, membuat kamar menjadi gelap hanya disinari oleh sinar dari televisi. Membuat keadaan semakin menyeramkan bagi penakut seperti Aurel.
Ia merapatkan diri di dadaku.
“Kamu tenang ya,” balasku sambil mengecup pelan rambut Aurel.
Setelah mengecup Aku sontak langsung sadar diri, “aduh, apa yang ku lakukan sih?” batinku. Syukurnya Aurel tidak menunjukkan reaksi tak suka setelah ku kecup, Ia hanya diam sambil tetap menatap layar kaca. Sepertinya sifat manja Aurel dan rasa cemburuku pada Elma tanpa disadari telah mengontrol perilakuku menjadi lebih liar.
Mengecup rambut Aurel tanpa ku sadari telah merangsang tubuhku. Aroma rambutnya yang wangi, juga kedua pahanya yang bersentuhan dengan betisku telah membuat penisku berdiri. Apalagi ditambah suhu dingin yang membuat darah mudah berdesir. Sialan! Penisku yang perlahan terbangun dan mengeras mulai menyentuh pinggang dan pantat Aurel.
Ku rasakan tubuh Aurel tiba-tiba terdiam kaku. Ia pasti sudah merasakan sentuhan penisku di tubuhnya. Menyadari perubahan pada Aurel, Aku pun menarik tubuhku ke belakang. Melepaskan penisku dari jepitan tubuhnya.
“Ma-maaf Rel,” ucapku di telinganya.
“Yo?” balasnya.
“Rel…”
“Peluk Aku Yo,” ucapnya sambil meraih lenganku. Ia lalu memundurkan tubuhnya hingga benar-benar menempel dengan tubuhku. Pantatnya kini menjepit penisku dengan lebih kencang. Kedua tanganku Ia letakkan ke bawah payudaranya. Kedekatan Kami membuat nafasku memburu. Aku terus-terusan menghembuskan nafasku di lehernya.
Di sisi lain, gerakan perut Aurel di lenganku juga mulai naik turun tak beraturan. Nafasnya menjadi lebih kencang. Pelan-pelan Ia mulai menggerakkan belahan pantatnya naik turun dari penisku. Tidak kencang, hanya sesekali saja pantatnya dan penisku bergesekkan. Ku lihat ke arah Harun Ia masih sibuk memerhatikan film, namun berbeda dengan Elma. Tepat kala Aku menengok padanya Ia juga sedang sibuk memerhatikan kami. Matanya tajam menatap ke mataku seakan hendak mengatakan sesuatu. Ku perhatikan Ia lebih lama, namun kata-kata itu tak kunjung muncul mulutnya.
“Kali ini gilirannya Elma-lah untuk merasa cemburu,” kataku dalam hati. Tepat di saat yang bersamaan ku gunakan lengan kiriku meremas payudara Aurel. Tangan kananku mulai ku masukkan ke dalam kaosnya menuju lapisan luar bra yang Ia kenakan. Semua kejadian itu ku lakukan tepat di depan wajah Elma.
“H–hhhh,” suara nafas Aurel semakin kencang. Ku kecup telinga kirinya kali ini, Aku sengaja memilih telinga yang berada dekat dengan wajah Elma, agar Ia bisa melihat seluruh perbuatanku pada Aurel.
Pinggang kami yang masih tertutup selimut masih terus bergerak pelan. Ku angkat sedikit posisi Aurel agar duduk di pangkuanku, Ia dengan ringan turut membantu agar celah vaginanya tepat menindih penisku.
“Rel.”
“H-hhh ya?”
“Kamu marah gak kalau gini?” tanyaku sambil memasukkan tanganku ke dalam branya. Di situ Aku menyentuh payudaranya yang mungil dengan telapak tanganku. Jemariku lalu memainkan putingnya yang sudah mulai keras.
“A-ada Elma sama Harun Yo,” jawabnya sambil berbisik. Mendengar nada khawatirnya membuatku sedikit sadar.
Sepertinya Aku terlalu memaksakan diri pada Aurel dan menyentuhnya sesuka hatiku. Ku tarik tanganku meninggalkan payudaranya. Hanya saja belum sempat tanganku terlepas dari branya, Aurel langsung memasukkan tangannya ke dalam kaosnya. Ia menahan tanganku yang hendak keluar, menuntun jemariku agar memilin putingnya.
“H-hhh, A-Aku ga marah Yo, jangan dilepas.”
Aku memilinnya putingnya berulang-ulang. Pantat Aurel masih terus bergoyang pelan, sampai akhirnya penisku yang hanya dilapisi oleh boxer jadi tersingkap. Tonjolan penisku yang sudah benar-benar mengeras kini keluar bebas dari celah boxerku. Kini penisku bergesekkan dengan kain celana tipisnya.
“Ahhh,” Aku mencoba menahan desahanku agar tak didengar oleh Harun namun tetap sengaja mengeluarkan desahan dari bibirku agar Elma bisa melihatnya. Untungnya posisi Elma mampu menutupi pandangan Harun sehingga tidak bisa langsung melihat perbuatan Kami.
Ku tengok tangan kanan Elma sudah dimasukkan ke dalam selimut, entah apa yang dilakukannya. Imajinasi nakalku yang memikirkan Elma sedang bermasturbasi sambil menonton Aku dan Aurel bermesraan membuat nafsuku semakin menggebu-gebu. Berkali-kali Aku mengecup leher belakang Aurel untuk menunjukkan tingginya nafsuku ini.
Penisku yang sudah dibuat menggantung seharian kemarin kini akhirnya bisa merasakan nikmatnya hampir ejakulasi. Ku jilat jemariku lalu ku gunakan jari basah untuk memilin payudara Aurel.
“A-ahhh!”
Melihat Aurel semakin keenakan, ku gunakan lenganku yang satu lagi untuk menyentuh pahanya. Ku naikkan perlahan pahanya lalu menyingkap celana pendeknya. Ku lihat genggaman Aurel pada selimut semakin erat. Kini tanganku sudah berada di celana dalamnya, ku sentuh perlahan vaginanya dari luar membuat Aurel melenguh.
“Hhhh Yo.”
Celana dalamnya nampak sudah mulai basah. Dengan nafsu yang sudah diubun-ubun ku singkap celana dalam itu dan ku sentuh vaginanya langsung. Vaginanya terasa hangat dipenuhi oleh cairan lengket. Dengan jari yang dipenuhi cairan itu Aku pun menemukan dan menyentuh klitoris Aurel.
“A-AHHHHH!” desah Aurel begitu kencang.
Desahannya begitu keras. Membuatku langsung menarik kedua tanganku dari tubuhnya. Aurel juga seakan tersadar langsung memperbaiki pakaiannya. Meski kamar masih belum diterangi cahaya namun suara desah Aurel bisa membuat Harun mencurigai Kami.
“Apaan sih Rel?! Berisik banget,” tentu saja suara itu muncul dari Harun.
“H-h maaf, kaget banget Aku sama adegan tadi,” balas Aurel dengan ekspresi takut. Karena Ia masih duduk tepat di hadapanku, terlihat jelas matanya yang begitu sayu dan wajahnya dipenuhi oleh tetes keringat. Ku lihat juga tangan Elma yang tadi bersembunyi di balik selimut sudah ditaruh di atas bantal.
“Kamu bikin adegan terakhirnya jadi kurang serem tau!” tegur Harun lagi.
Ucapan itu membuatku langsung menengok ke arah televisi. Benar saja, kredit film sudah ditampilkan. Aku pun pelan-pelan mengembalikan posisi penisku ke dalam boxer.
“Gapapa Run, Aurel memang gampang kaget anaknya,” secara mengejutkan Elma turut membela Kami.
“Tapi seru ya memang filmnya,” balasku juga. Aurel meresponsnya dengan mencubit pahaku kencang sambil berbisik “dih kayak nonton aja!”.
“Ya udah, sudah gelap nih,” Harun pun meninggalkan kasur lalu menyalakan lampu kamar. Membuat sinar lampu neon menimpa tubuh Kami.
“Mau pipis dulu,” timpa Aurel yang salah tingkah dan langsung berdiri meninggalkan kamar. Hampir langsung setelahnya Harun juga berjalan meninggalkan kamar membawa sampah snack dari kamar.
Aku belum mau berdiri karena terasa penisku masih berdiri keras. Tentu akan kelihatan jelas dari balik boxer tipisku.
“Gimana tadi, enak?” tanya Elma tiba-tiba. Ia mengirimkan tatapan sinis ke diriku.
Ternyata menghadapi Elma dengan lampu menyala jauh lebih sulit dibanding dengan cahaya samar seperti tadi. Tatapan sinisnya membuat adrenalinku melunak. Namun kali ini Aku tak mau terlihat culun lagi di depannya. Ku tatap balik matanya lalu berkata, “Ya begitulah.”
“Kamu jangan lupa sama orang yang ngajarin Kamu semuanya,” ucapnya sembari tersenyum. Ingin sekali Aku menerjangnya saat ini juga, melepaskan nafsu dan kerinduan yang sudah tak tertahankan selama ini. Elma masih terus menatapku sebelum akhirnya melangkah meninggalkan kamar. Meninggalkanku sendiri dalam keadaan bingung. Sudah lama Kami tak bertukar dialog seperti ini.
Setelah pamit, Aku dan Aurel pun meninggalkan rumah Harun dan Elma. Sudah hampir pukul 9 malam. Kami memang sempat makan malam sebelum berangkat tadi. Aku harus mengantar Aurel sampai ke rumahnya dengan selamat dulu.
Begitu sudah melewati rumah Harun dan Elma, Aurel tiba-tiba memeluk tubuhku erat. Kedua lengan putihnya mengitari perutku, Ia menempelkan tubuhnya padaku.
“Kamu kedinginan Rel?” tanyaku.
“Kamu mau bawa Aku ke mana Yo?” tanya Aurel balik, tanpa mengindahkan pertanyaanku. Pertanyaannya begitu telak sampai membuatku tertegun.
“M-maksud Kamu Rel?”
“Setelah yang kita lakuin tadi, Aku ga ingin pulang Yo,” ucap Aurel.
“Aku mau Kamu Yo,” tambahnya lagi.
Sambil memacu motor sedikit pelan, ku gunakan tangan kiriku untuk menggenggam tangannya. Sepanjang perjalanan Aku berpikir sejenak. Aku tahu maksud Aurel dan ke mana seharusnya kami pergi. Ya, tentu saja menyewa kamar hotel dan bermesraan semalam. Aku pun tak ingin pulang ke rumah malam ini. Rasanya sulit harus memaksakan diri dan berpura-pura tidak ada hal tabu yang baru saja terjadi di rumah. Sebaiknya Aku, Mama, dan Nissa menghadapi hari kami masing-masing dulu saat ini. Tapi sungguh, tabunganku tak banyak saat ini. Memangnya Aurel mau dibawa ke hotel yang tidak mewah? Ah ya, suatu ide tiba-tiba terbersit di pikiranku.
“Ga ada yang bakalan nyariin Kamu kan Rel?”
“Orang tuaku aja jarang di rumah Yo. Kalau Aku ga ada juga ga bakal nyadar mereka.”
Aku pun hanya mengangguk lalu memacu motorku lebih laju. Kami menembus dinginnya malam dengan hati yang hangat.
Bersambung