Part #10 : Dihujani bibirku dengan ciuman Aurel
“Ini ke mana Yo?” tanya Aurel begitu sadar bahwa motor Kami sudah memasuki area perbukitan. Sisi kanan dan kiri hanyalah hutan yang gelap dan dingin. Kami sudah berjalan hampir sejam ke arah timur kota.
“Kamu percaya sama Aku kan Rel? Aku juga ga ingin pulang malam ini.”
“Iya Aku percaya t-tapi…,” ucapnya, sebelum kemudian bibirnya terdiam dan balik memelukku erat.
Saat ini Aurel sudah mengenakan jaket yang ku berikan di lampu merah sejak tadi. Tidak perlu analisis cerdas juga sebenarnya untuk menyadari bahwa dinginnya malam cukup menyiksa lengan dan tubuhku. Angin dari pepohonan rindang yang berlomba bertiup ke arah kami mampu membuat tubuhku sesekali bergidik. Seakan sadar, Aurel makin melekatkan tubuhnya padaku. Tangannya kanannya digunakan untuk mengelus dadaku pelan.
Entah mengapa sentuhan Aurel membuatku merasa hangat. Tak pernah sebelumnya Aku dekat dengan wanita mana pun dalam hidupku. Baik itu SMA, SMP, bahkan hingga semester pertama kuliah sekali pun. Aku selalu merasa kamar adalah tempat ternyaman untuk tinggal dan berdiam. Hingga belakangan ini petualanganku dengan wanita dimulai. Baru hari ini Aku sadar bahwa menikmati momen berdua dengan sosok wanita bisa terasa begitu menentramkan hati.
Tak lama lagi kami akan tiba ke tempat yang dituju. Setelah menempuh dua tikungan, kegelapan yang sedari tadi menemani kami pun akhirnya berakhir. Barisan cahaya lampu neon berjejer di sisi kanan jalanan. Aroma jagung dibakar menusuk hidung diiringi suara manusia yang saling berbincang. Nampak juga sekumpulan muda mudi duduk di pinggir jalan sambil memandang ke bawah, tempat cahaya-cahaya kota di bawah sana mampu menyerupai kerlap-kerlip bintang.
Di bukit ini terdapat beberapa warung dengan pemandangan langsung ke arah cahaya lampu dari perkotaan. Udara dingin dan pemandangan cahaya statis yang syahdu mungkin dapat membuat malam ini jadi lebih romantis bagi Kami. Aku tahu Aurel mengharapkan kamar hotel, namun inilah yang bisa Aku berikan malam ini. Ku harap dia menyukainya dan ternyata memang benar, Ia menyukainya.
Begitu motor berhenti, Aurel langsung turun dan berlari menuju pinggir bukit. Aku pun ikut menyusulnya. Nampak wajahnya terlihat begitu antusias, sungging senyum terpapar dari wajahnya. Rambut pendek hitamnya nampak berkibar diterpa angin malam.
“Ih Aku suka! Memang lagi butuh diajak jalan nih,” ucap Aurel. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Kamu mau duduk di mana?” tanyanya kali ini.
“Di dalam aja gimana?” tanyaku.
“Yaudah ayo.” Aurel pun menarik tanganku lalu berjalan ke arah jejeran pondok kayu yang terletak di tepi tebing.
Karena belum terlalu larut dan esok adalah akhir pekan, Kami pun kesulitan mencari pondok yang masih memiliki tempat duduk kosong. Tempat itu nampak begitu ramai. Beruntung, setelah mencari cukup jauh ternyata masih ada tempat kosong di sebuah pondok ujung. Kami pun duduk di lesehan paling pojok setelah memesan jagung bakar dan air mineral untukku serta mie rebus dan es jeruk untuk Aurel.
Sambil memandangi cahaya kota ke arah luar, kami duduk bersampingan. Mengabaikan makanan kami yang sudah tandas tak lama setelah dibawakan. Sepanjang malam kami banyak mengobrol. Jika pada obrolan di rumahnya tempo hari Aurel banyak menceritakan tentang latar belakang keluarganya, kali ini Aurel membuka diri tentang kehidupan personalnya.
Sekarang akhirnya Aku tahu bahwa sebelum ini Aurel sebenarnya memiliki pacar. Mantannya yang bernama Dimas itu merupakan anak rekan kerja ayahnya. Sepertinya Ia juga berasal dari kalangan borjuis.
Hubungan mereka berjalan baik sejak SMA. Sampai akhirnya kala menginjak bangku kuliah, mantannya perlahan berubah sikap dan mulai sering berkata kasar pada Aurel. Puncaknya pada dua bulan lalu kala mantannya itu gelap mata dan menampar pipi Aurel di muka umum. Aurel yang tak terima lalu memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Sejak hari itu, sang mantan sebenarnya masih sering menghubungi Aurel namun diabaikan.
“Aku kalau sudah kecewa ga bisa dibujuk lagi.”
Wajahnya terlihat agak sendu kala membahas masa lalunya. Sambil menatap lurus ke arah kota nampak garis kesedihan muncul dari wajahnya. Membuatku bingung harus menanggapinya seperti apa.
“Kalau kamu Yo? K-Kamu punya pacar ga?” tanyanya kali ini.
“Enggak Rel, Aku gak pernah pacaran,” jawabku sambil menggeleng.
“Oh ya!? Masa udah kuliah ga pernah pacaran?” tanya Aurel lagi sebelum buru-buru menutup mulutnya seakan sadar akan pertanyaannya yang sensitif.
“Berarti dari awal kita kenal Kamu udah punya pacar ya?” tanyaku balik, mencari-cari topik percakapan yang lain. Jujur saja agak aneh bagiku untuk menjelaskan kejomloan akutku. Aku lebih senang jika mendengarkan cerita orang lain.
“Iya, selain teman-teman SMA aku, hanya Elma yang tau tentang hubunganku… Tapi sekarang aku udah ngasih tau kamu Yo. Berarti…” Ia menggenggam tanganku di atas lantai. “Aku udah percaya sama kamu sekarang.”
Ucapannya membuat wajahku tersipu. Tiba-tiba saja hatiku terasa begitu hangat. Sepertinya memang kedekatanku dengan Aurel belakangan ini cukup memengaruhi caraku melihat dirinya. Ia yang awalnya hanya merupakan teman yang kebetulan setongkrongan denganku kini jadi seseorang yang menghabiskan banyak waktu berkualitas denganku. Wajahnya begitu manis, keceriaannya mampu membuatku turut merasa senang, senyumnya yang lebar berhasil mempengaruhi moodku. Terlepas apa yang kami lakukan di kamar Elma sore tadi, sepertinya diriku memang suk…
“Yo, tentang yang tadi sore,” ucap Aurel membuyarkan pikiranku.
“Iya Rel?”
“Aku tadi kebawa suasana.” Genggamannya di tanganku semakin erat.
“Aku juga Rel,” jawabku.
“Tapi Aku suka kayak tadi hehehe,” tambahku setengah bercanda.
“Ih kamu kok nakal banget?!” teriak Aurel sambil mencubitku.
“Hehehe bercanda aja tau.”
Seketika Aurel langsung memalingkan wajah dariku. Sepoi angin menyapu rambut poninya, dengan menggenggam tanganku lebih erat Aurel berkata, “Memang Kamu suka apanya Yo?”
Aku mengintip ke arah wajahnya di sampingku. Nampak Ia tertunduk malu dengan wajah yang condong menjauh. Lucu juga, Aurel yang pernah terang-terangan menegur penisku berdiri di kantin yang ramai ternyata bisa merasa malu saat membahas hal-hal seksual seperti ini. Melihatnya malu seperti itu membuatku bergairah. Pelan-pelan ku rasakan penisku berdiri lagi.
Ku dekatkan wajahku ke telinganya. Bulu-bulu halus di sekitar lehernya nampak mulai berdiri. Sepertinya Aurel mulai terbawa suasana. Keadaan pondok juga telah sepi, kami sudah ngobrol selama hampir tiga jam, orang-orang telah pulang. Ku intip si pemilik warung juga telah tertidur di balik laci mejanya. Keadaan telah cukup intim bagi kami berdua. Ku taruh bibirku ke telinganya lalu berbisik.
“Aku suka waktu kamu duduk di pangkuanku karena takut. Aku suka rasanya tadi kamu gesekin pantatmu di penis aku. Aku suka bentuk payudara kamu di tanganku. Aku juga suka saat…,” Kali ini ku arahkan tanganku menyentuh pahanya, dengan penuh keberanian jemariku ku arahkan menyentuh ke arah vaginanya yang masih dilapisi celana kain. Ku pencet vaginanya dengan menggunakan sedikit tenaga, membuat bibir Aurel membuka. “Aku suka rasanya nyentuh vaginamu yang basah kuyup sore tadi,” ku tambah tekanan gesekan tanganku ke vaginanya. Membuat kakinya yang sebelumnya bersila kini mulai terkangkang.
“Ka-Kamu nakal Yo,” balasnya dengan nafas yang tak teratur. Sepertinya bisikanku di telinganya berhasil membuat Aurel terangsang.
“Tapi kamu suka kan?” tanyaku sambil menjilat telinganya.
“I-iya ahhh,” ku lihat Aurel menengadah, lehernya tegang menjulur ke atas. Tangannya kini digunakan untuk menopang tubuhnya yang tengah bersandar pada angin.
“Kamu ngerasain penis Aku ga tadi sore?”
“I-Iya Yo, kerasa banget pas kegesek di vaginaku.”
“Kamu mau penisku sekarang?”
“M-mau Yo, sini kita nyari hotel sekarang,” balasnya sambil menggigit bibirnya.
“Memang Kamu ga suka di sini?”
“Suka, tapi ada orang.”
“Ga ada orang kok, Mas penjaganya udah tidur,” kataku sambil menarik turun retsleting jaket Aurel. Kini nampak kemeja putihnya dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka memancing gairahku.
“H-hhh Aku basah Yo.”
Tanganku dengan cepat sudah membuka dua lagi kancing kemeja Aurel, hanya menyisakan kancing terbawah agar kemejanya tak sepenuhnya terbuka. Ku elus perutnya yang berwarna seputih susu, tanganku merayap pelan ke atas menuju ke bra berwarna putihnya. Ukuran payudaranya yang mungil tertutupi dengan mudah oleh telapak tanganku.
Ku angkat kedua cup branya ke atas membiarkan kedua payudaranya keluar bebas. Bersamaan dengan itu, semilir angin dari barisan pepohonan di bawah berterbangan menimpa tubuhnya, menimpa kedua payudaranya yang menantang untuk dinikmati.
“Dingin Yo, tanganmu dingin,” ucapnya begitu ku gunakan telapak tanganku untuk meremasnya.
“Sebentar akan hangat kok,” balasku, sambil mempererat remasanku di payudaranya.
“Hhhhh…. Yo,” desah Aurel sambil menggigit bibirnya. Berusaha agar suaranya tidak terlalu kencang.
Aurel sudah sepenuhnya menginginkan tubuhku malam ini. Bisa terlihat dari putingnya yang telah mengeras penuh menyentuh telapak tanganku. Bisa dilihat dari tetes keringat yang meluncur dari lehernya di tengah udara bukit seperti ini. Begitu pun Aku, penisku telah mengeras penuh saat ini. Namun bagaimana pun Aku harus berhati-hati, kalau tertangkap basah sedang mesum di sini bisa-bisa kami diamuk warga.
Setelah puas meremas payudara mungilnya, kini ku gunakan jemariku untuk memelintir puting payudaranya. Membuat Aurel semakin menggelinjang sejadinya. Pahanya kini telah dijepitkannya erat seakan sedang menahan sensasi basah di vaginanya. Jemariku mulai memilin-milin putingnya berkali-kali. Puting yang berwarna merah muda itu nampak begitu ranum. Oh seandainya bisa memainkannya sepanjang hari pasti akan ku lakukan dengan senang hati.
“Yo, hhhh, enak.”
“Rel, Aku jilat ya,” tanyaku sambil menurunkan wajahku ke payudaranya. Kini lidahku bertemu dengan puting Aurel membuatnya hampir sepenuhnya terbaring saking tak tahan. Ku putari putingnya dengan lidahku sebelum akhirnya menyedot putingnya kencang.
“Ahhh, Yo Aku horny…”
“Aku juga Rel.”
“Ahhhhh… mainin vaginaku Yo,” ucapnya sambil menarik tanganku ke arah pinggangnya. Aku menurutinya, ku masukkan tanganku melalui celah celana jinsnya. Ku terobos celana dalamnya yang ketat, menyentuh celah vaginanya yang nyaris gundul. Sudah basah sekali di sana. Cairan hangat menumpuk berhamburan kala Aku menyentuh bibir vaginanya.
“Ahhhh Yo…”
Aurel langsung menarik tubuhku dan mencium bibirku dengan penuh nafsu. Wajahnya berwarna begitu merah, wajahnya nampak sedikit basah jejak keringat. Melihatnya semakin bernafsu, Aku pun semakin nakal memainkan vaginanya. Kini jemariku mulai memilin-milin klitorisnya. Desahan Aurel makin tidak terkontrol.
“Enak hhhhh.”
“Aurel Kamu tahan ya. Aku mau lakuin satu hal lagi,” bisikku di telinganya. Tepat di saat bersamaan ku masukkan jemariku ke dalam vaginanya. Seketika mulut Aurel langsung membuka, bersiap mengeluarkan desahan kencang sebelum akhirnya Ia redam dengan kedua tangannya. Satu hal yang ku sadari sejak tadi sore dan malam ini, Aurel memiliki kecenderungan untuk bersuara nyaring kala vaginanya disentuh. Bayangan akan nyaringnya desahan Aurel kala menikmati penisku kelak membuatku semakin terangsang.
“Sakit Rel?” tanyaku begitu jemariku ku masukkan ke lubang vaginanya.
“Ahhhh Yo, lanjut Yo,” ucapnya dengan wajah sayu.
Jemariku pun semakin kencang keluar masuk di vaginanya. Aurel membuka sendiri restleting celananya dan menurunkan celananya sampai paha agar tanganku leluasa. Suara jemariku yang menyentuh vagina beceknya terdengar begitu sensual.
Plop… plop… plop… begitu terus berulang-ulang.
“Ahhhh ahhhhh Aku pengen ngomong kasar Yo…” desahnya.
“Ngomong aja Rel,” ucapku sambil menjilat payudaranya. Ku percepat gerakan tanganku, ku gunakan jari jempolku untuk memainkan klitorisnya.
“Ahhh anjing Yo, ini enak banghhh. Badanku kejang ahhhh jancuk Yo,” balas Aurel sambil berpegangan ke lenganku. Tubuhnya hampir ambruk ke bawah.
“Kamu suka Rel?” mataku tak lepas menatapnya dari bawah. Ku perhatikan dagunya yang memiliki sedikit belahan, urat-urat lehernya yang menonjol karena kenikmatan.
“Sini Yo, masukin penismu,” ucapnya hampir tak terkendali.
“Pasti dilihat orang Rel,” balasku. Berusaha keras mempertahankan akalku. Jika ku biarkan menuruti nafsu, mungkin saja saat ini Kami sudah bersenggama liar di meja pendek itu.
“T-tapi Aku udah ahhhh…. Aku udah ga tahan, anjing ahhh,” kini tangannya sudah dialihkan ke pahaku, merayap di sana mencari tonjolan penisku.
“Rel…”
Ctakkkk
Seperti biasanya, hal ganjil selalu menimpaku di saat seperti ini.
Bersamaan dengan tangan Aurel sudah menyentuh retsletingku, listrik pun padam. Sayup-sayup suara kecewa pengunjung di sekitar bukit terdengar. Kegelapan total seketika memenuhi bukit ini.
Keringat langsung menetes ke dahiku. Apakah Aku harus memanfaatkan momen ini? Apakah ini waktunya Aku memberanikan diri dan bersenggama dengan Aurel di sini? Tapi… bagaimana jika lampunya menyala sebelum kami masih berbuat mesum. Aduh, memikirkan itu saja tubuhku langsung gemetar.
“Yo?” Aurel menyadarkanku dari lamunan.
“Iya Rel?”
Tanpa mengucapkan apa pun tiba-tiba tubuhnya menghujamku. Bibirnya mencari bibirku dalam kegelapan, jilatannya tak karuan, Ia menjilat kacamata, leher, sampai akhirnya bertemu dengan lidahku. Sambil meraba-raba Ia menemukan retsleting celanaku yang langsung dibuka dan diturunkannya sampai selutut.
“Yo Aku udah gatal banget, vaginaku mau penismu.”
“Kalau lampu menyala gima….” sebelum Aku selesai bertanya, Aurel langsung menghujam bibirku lagi dengan ciuman. Kali ini Aku telah sepenuhnya membulatkan tekad. Kalau Aurel memang berani, maka tentu Aku tak boleh takut. Lagipula jika dipaksa nikah oleh warga pun Aku tak rugi. Sekelas Aurel loh ini.
Kini penisku telah sepenuhnya dibebaskan oleh Aurel. Penisku telah keras sepenuhnya lagi saat diterjang Aurel tadi. Ia mengocok penis sambil terus mencium bibirku.
“Hhhh, jancuk, ini besar Yo. Aku jadi pengen lihat,” ucapnya sambil mengocok penisku naik turun dengan kencang. Sejenak tangan Aurel begitu dingin hingga membuat penisku menggigil, namun setelah mengocok beberapa lama genggamannya berubah menjadi hangat.
Pujian Aurel membuat nafsuku semakin menggebu. Kini gantian Aku menggulingkan tubuhnya.
“Brakkk”
Punggung Aurel menabrak meja pendek saat ku gulingkan.
“Oh maaf Rel, sakit?”
“Hehehe nggak,” jawab Aurel sambil menahan tawa. Aku langsung mencium bibirnya lagi. Lidah kami saling berpagutan, menukar kehangatan air liur. Aurel terus-terusan memasukkan lidahnya sedalam mungkin di mulutku seakan ingin mencapai tenggorokanku. Sensasinya menyenangkan.
Kini gantian Aku yang menurunkan celana Aurel sampai tumitnya. Ku raba ke vaginanya yang sudah semakin basah. Ku gosok-gosok klitorisnya.
“Masukin sekarang Yo hhh.”
“Tahan suaranya ya Rel.”
“Hmpphhh Iya Yo,” jawab Aurel kala ku sentuhkan penisku di vaginanya. Cukup sulit menemukannya di tengah kegelapan. Kini ujung penisku telah ku gerakkan naik turun menyentuh bibir vaginanya. Cairan vaginanya telah membasahi ujung kepala penisku.
“Hhhhh ayo…”
“Iya Rel,” akhirnya Aku menyodokkan penisku ke dalam vaginanya.
“Ahhhh,” desahnya.
Penisku telah sebagian masuk ke dalam vagina Aurel. Vaginanya terasa begitu hangat dan sempit. Daging-daging dalam vaginanya seakan menjepit batang penisku yang mencoba masuk.
Karena masih terkait celana, kaki Aurel jadi tidak bisa mengangkang penuh. Membuatku harus berbaring agar senggama ini berjalan lancar. Ku hantamkan lebih keras lagi sampai akhirnya masuk semua. Dengan bantuan cairan vaginanya akhirnya ujung penisku pun lancar menghujam dinding vaginanya.
“HMMMPPH, HMPPHHH,” Aurel berusaha mungkin menahan desahannya dengan menggigit sisi lenganku yang tertutup kemeja.
“Ahhhh,” desahku juga. Rasanya begitu enak.
“AHHH ngepas banget Yo,” desahnya, begitu sudah mampu mengontrol nada suaranya.
Vaginanya menelan penisku dengan utuh. Membuat mataku merem melek di tengah kegelapan ini.
“Ahh vaginamu enak banget Rel.”
“Aku mau nangis Yo ahhhh ini enak banget bajingan ahhhh.”
Dengan posisi baring kami bersenggama. Penisku keluar masuk dari vaginanya dalam posisi yang sulit namun rasanya menyenangkan. Desir angin gunung tak mampu menahan rasa hangat yang menimpa kami.
“Ahhhhh Kamu pasti terlihat cantik sekarang Rel.”
“Ahhh iya, Aku terlihat horny Yo, ahhh.”
Vagina Aurel mulai meregang, membuat penisku semakin terjepit.
“Yo, Aku gak lama lagi cuk hhhh,” tangannya berpegangan erat ke kaki meja.
Semakin cepat pula Aku menggenjotnya. Sensasi bersenggama di tempat umum dan ketakutan akan ketahuan membuat penisku dengan cepat merasa hampir ejakulasi. Apalagi umpatan kasar dari mulut Aurel ternyata berhasil memancing nafsuku semakin menjadi-jadi. Penisku kini sudah semakin merasa nikmat, setiap kali melakukan penetrasi semakin dekat juga spermaku tumpah.
“Yo Aku udah mau… sempithhh,” ucapnya sambil menarik kepalaku. Kami berciuman lagi.
“Aku juga Rel… Aku juga Rel…. Ahh.”
“Anjing ahhh Aku ga tahan…”
“Aku hhhh, keluar di mana Rel?” genjotanku makin kencang. Suara pantulan kelamin kami mulai terdengar di kegelapan sunyi ini.
“Yo, Aku ga bisa tahan lebih lama.”
“Hhhh Iya Rel,” jawabku sambil menghujani telinganya dengan ciuman.
“A-Aku cum HMPPPHHHHHH,” balas Aurel sambil menggigit lenganku kencang. Ia menahan desahannya begitu kencang sampai-sampai gigitannya membuatku sakit. Tangannya mencengkeram punggungku erat.
Ku rasakan cairan dalam vaginanya mengucur. Denyut vaginanya semakin kencang menjepit penisku. Aku tak tahan lagi.
“Ahhhh Rel Aku akan cum.”
“Aku hhhh lagi masa su…bur Yo,” jawabnya.
Dengan cepat langsung ku tarik penisku keluar.
“Ahhhh Rel.”
Tepat waktu. Bersamaan dengan keluarnya penisku, spermaku langsung bertumpahan keluar. Semprotan pertama menghantam bibir vagina dan pinggang Aurel, sebelum akhirnya Aku mengangkat penisku lagi dan menumpahkan sisanya ke perut dan payudara Aurel. Sebagian sperma menyemprot terlalu jauh hingga menyentuh wajah Aurel, bahkan ada yang terdengar terjatuh bebas ke alam luas dan menyentuh dedaunan di luar, atau mungkin hanya perasaanku saja.
Nafas kami masih ngos-ngosan. Dengan susah payah Aku langsung memasang celanaku kembali. Tanpa sempat beristirahat, Aku lalu melap sisa sperma pada tubuh Aurel dengan tisu. Ku turunkan cup bra Aurel lalu mengancingkan kemeja selagi Ia masih berbaring mengambil nafas. Ku minum sisa air mineral yang ku punya dalam satu teguk.
“Yo?”
“Iya Rel?” saat ini Aku sedang memasang kembali celananya.
“Spermamu kental banget.”
Aku hanya tersenyum lalu lanjut merapikan pakaian Aurel.
“Aku suka kayak tadi Yo, hhhh.”
“Aku juga Rel,” balasku sambil mencium punggung tangannya.
Ctakkkkkk
Tepat di saat yang bersamaan listrik menyala. Cahaya lampu yang tiba-tiba muncul membuat mataku silau. Perlahan Aku menunduk ke bawah melihat Aurel. Beruntung Aku telah selesai memakaikan pakaiannya. Kulit wajahnya yang putih kini merona begitu merah, nampak wajahnya terlihat begitu basah akan keringat. Matanya masih sayu, bibirnya masih sedikit membuka. Rambut pendeknya acak-acakan, sebagian poni menutupi mata kanannya. Dengan segera Ia pun langsung mendudukkan dirinya.
Parasnya nampak begitu rupawan di bawah sinar lampu. Hormon yang keluar dari tubuhnya setelah bercinta membuat Aurel nampak lebih dewasa dari biasanya. Penisku masih begitu keras di balik celanaku, seandainya bisa mengulangi lagi perbuatan kami.
Kami melihat ke sekitar, sepertinya aman tak ada warga atau siapa pun yang menghampiri kami. Rasanya sangat lega seperti baru saja melepas gajah dari punggung. Apalagi birahiku yang sudah tertahan berkali-kali sejak terakhir ku keluarkan di payudara Nissa beberapa hari lalu akhirnya bisa terpuaskan. Ku tatap lagi wajah Aurel.
“Rel?”
“Iya Yo?” tanyanya.
“Kayaknya ada sisa sperma di sini,” jawabku sambil menunjuk dagunya.
Dengan terkejut Ia refleks menyentuh cairan putih di dagunya, menciumnya sebentar. Sepertinya memang sisa spermaku.
“Ih apa sih Kamu,” balas Aurel sambil mencubit lenganku keras.
“Aduh,” kali ini rasanya benar-benar sakit. Aurel mencubit sisi yang sebelumnya Ia gigit saat orgasme. Ku singsingkan lenganku, nampak sedikit jejak darah terlihat dari bekas gigitan Aurel.
“Astaga Yo! Itu bekas gigitku?”
“Ga tau Rel, kayaknya tadi keisep vampir pas mati lampu.”
“Ih orang nanya serius,” ucapnya sambil manyun, kali ini cubitannya beralih ke perutku. Aku hanya membalas dengan mengacak rambutnya saja.
Ku lihat waktu sudah hampir menunjukkan pukul 3 dini hari. Mata Aurel juga terlihat sudah mulai lelah. Mungkin lain kali saja permainan kami dilanjutkan. Perjalanan menuju rumah membutuhkan sejam lebih, sebaiknya kita pulang sebelum benar-benar tak bisa menahan kantuk.
“Balik yuk?” tanyaku.
“Humm masa pulang, Aku mau tidur di sini aja Yo.”
“Penjualnya juga butuh tutup kali Rel,” jawabku sambil mengangkatkan tasnya. Ia pun memakai jaket, lalu berdiri dan menerima tasnya dari tanganku.
Penjaga warung itu terbangun begitu Aku mendekat. “Berapa Mas?” tanyaku padanya.
“100 ribu,” jawabannya membuatku terhenyak. Ia menembak harga tinggi seperti tanpa menghitung.
“Pesanan Kami tadi jagung bakar, mie ins…”
“Makannya 25 ribu, sisanya untuk tutup mulut. Saya sebenarnya tau Mas.” jawabnya sambil melirik pada kami berdua.
Seketika Aku langsung mengeluarkan selembar uang merah dari dompetku, mengucapkan terima kasih, lalu buru-buru pergi meninggalkan pondok itu.
Begitu di luar kami berdua terbahak-bahak.
“Astaga, berarti sedari tadi Masnya dengerin kita haha,” ucap Aurel, Ia tertawa sambil berpegangan tangan denganku.
“Sumpah, tau gitu tadi Aku ga protes haha,” balasku.
“Hampir aja kita digebukin warga Yo hahaha.”
“Ia bayangin kita dinikahin di tengah bukit gini hahaha.”
“Kalau nikahnya sih gapapa Yo haha.”
Seketika tawaku berhenti, ucapannya barusan membuatku terkejut. Ia beneran mau dinikahkan sama Aku? Melihat ekspresiku berubah Aurel buru-buru menimpa ucapannya.
“Ih orang bercanda kok,” ucapnya sambil mencengkeram telapak tanganku lebih kencang.
“Ha-ha,” tawaku datar.
“Sering-sering ajak Aku jalan lagi ya Yo,” ucapnya sambil tersenyum padaku.
“Itu Aurel kan? Eh iya, itu Aurel. Aurel!” sebuah teriakan berasal dari seberang jalan. Tepat di saat yang bersamaan dua orang perempuan berlari menghampiri kami.
Satu dari mereka berpostur tinggi, putih, dan berambut panjang lurus bagai model, sedangkan yang satu lagi berambut panjang setengah ikal dan memiliki postur yang mirip dengan Aurel. Ku lihat perubahan ekspresi pada wajah Aurel begitu sosok mereka mendekat dan berdiri di hadapan kami. Wajahnya nampak tertegun kaku sebelum buru-buru melepas genggaman tanganku dari tangannya.
“Eh, Jessie, Dina,” ucapnya.
“Hai Rel, lama banget ga ketemu,” teman-temannya itu semakin mendekat lalu bergantian memeluk tubuh Aurel. Aurel perlahan beradaptasi dan balik memeluk mereka dengan keceriaan yang sama. Ku lihat tubuh Aurel perlahan condong menjauh dariku.
“Sama siapa Kamu Rel? Kok gak sama Dimas?” tanya perempuan mirip model yang sepertinya bernama Jessie tadi.
“Ha-ha ini sama teman habis kerja tugas, ada kok Dimas di rumah,” ucap Aurel.
Setelah itu Aku tak sanggup lagi mendengar percakapan mereka. Hatiku seketika merasa panas. Aku berusaha sebisa mungkin tak terlihat, lalu perlahan berjalan mundur menjauh. Sekali lagi pikiranku tak karuan. “Pa-padahal baru saja kami bergenggaman tangan,” batinku.
Ku lihat Dina nampak melirik padaku. Aku hanya meliriknya sebentar sebelum akhirnya membuang muka ke arah pinggir tebing. Menyembunyikan wajahku yang memanas dan sedang sibuk mengasihani diri ini.
“Kita udah mau pulang nih Rel, Kamu ga mau ikut?” suara Jessie meninggi, mau tak mau Aku jadi mendengarkan obrolan mereka lagi.
“Hmm kalian duluan aja, Aku masih nunggu teman-teman yang lain,” ucap Aurel berbohong,
“Yakin nih ga mau? Kamu naik apaan memang?”
“Naik mobil nih sama teman Aku,” ucap Aurel sambil menunjukku. Ia terus saja berbohong sedari tadi.
“Yaudah kita duluan ya,” ucap temannya sebelum bergantian memeluk Aurel lagi.
“Ingat ya Mas jangan aneh-aneh nanti diaduin Dimas loh,” ucap Jessie padaku sambil tertawa kecil.
“Ih apa sih, sana pulang!” jawab Aurel sambil mendorong kecil ke arah Jessie. Aku hanya memberikan anggukan kecil. Mereka pun berjalan meninggalkan kami.
Kami berdiri di situ cukup lama, sampai mobil mereka sepenuhnya menghilang dari pandangan. Aurel langsung berjalan menghampiriku dengan raut yang lebih serius. Ku lihat Ia menatapku seakan ingin mengucapkan sesuatu.
“Yo.”
“Gapapa, yuk pulang,” ucapku tersenyum, lalu melangkah menuju motor.
Sepanjang perjalanan yang sepi dan panjang kami hanya berdiam diri. Aurel juga tak lagi duduk sambil memelukku seperti kala berangkat tadi. Pikiranku terus saja memikirkan perlakuan Aurel tadi. Membuang genggaman tanganku, terus berbohong tentang hal-hal, “pulang naik mobillah, nunggu teman-temanlah,” batinku panas. Ia bahkan masih bersama Dimas saat ini. Kenapa sih dia harus berbohong padaku? Setelah beberapa waktu ini membuatku membuka hati padanya dan ternyata dia…
Tepat di saat yang bersamaan, tiba-tiba kepala Aurel terantuk di punggungku. Tubuhnya yang sebelumnya menjauh kini perlahan mendekat lalu menggenggam kemejaku erat. Ia berdiam seperti itu cukup lama hingga Aku tersadar bahwa Aurel sedang tertidur saat ini. Sambil menarik nafas panjang Aku pun balik fokus mengendarai motor.
“Nanti saja kesalnya, sebaiknya antar Aurel sampai selamat dulu ke rumah,” batinku lalu melambatkan laju motor agar Ia tak terjatuh.
Kami tiba ke rumah Aurel pada pukul 4:20 pagi.
“Udah sampai Rel,” ucapku sambil menyentuh tangannya.
“Hah,” balasnya bingung sebelum akhirnya melihat gerbang rumahnya dan tersadar. “Oh udah di rumah,” sepertinya Ia masih belum sepenuhnya terhubung dengan realita.
“Makasih ya Yo,” ucapnya sambil mencopot helm dari kepalanya begitu turun dari motor.
“Sama-sama Rel,” jawabku agak dingin. Aku masih merasa aneh harus berhadapan dengan wajahnya, seakan hatiku merasa sakit lagi.
“Yo tentang tadi…”
“Itu udah ditunggu Pak Satpam Rel, Aku duluan ya,” ucapku sambil menunjuk ke arah gerbang yang telah dibuka oleh penjaga rumah Aurel. Belum sempat Aurel membalas, motorku telah melaju pergi meninggalkannya. Aku sedang tak ingin mendengar apa pun saat ini.
Angin subuh ku terjang dengan kecepatan penuh. Kosongnya jalan raya ku hadapi dengan berani. Ku biarkan emosiku menguap seiring dengan lajunya motorku subuh ini. Hari ini Aku belajar hal baru lagi tentang seorang perempuan. Hari ini Aku tahu bahwa sebuah hubungan tak selalu hanya diikuti oleh kesenangan.
Bersambung