Part #99 : Roro
“Yang paling berbahaya dari dua peri anak buahnya Lord Purgatory yang mana menurutmu?” tanya Kojek saat itu. Pertanyaan ini dikemukakannya saat mereka masih berada di dalam daerah kekuasaan Aseng yang sudah gelap gulita akibat sumber terangnya dimakan raja raksasa Batara Kala alias Lord Purgatory sendiri. Jadi ini adalah kejadian beberapa waktu lalu.
“Menurutku yang rambutnya abu-abu itu… Bayangin aja, Jek… bisa ngidupin yang udah mati jadi zombie… Serem gak itu?” tukas Iyon masih bersembunyi di balik pepohonan yang tak terbakar. Mereka berdua kala itu baru saja menghabisi peri Agni bagian masing-masing dan bersembunyi dulu di tempat itu karena merasakan ancaman yang datang.
“Kataku yang rambut ungu itu, Yon… Kekuatannya gak maen-maen… Sekali tunjuk… sekali melotot aja langsung mati gitu yang diserangnya… Cemana gak kuat itu dia…” sahut Kojek. Keduanya menjaga suara tidak terlalu tinggi agar persembunyian keduanya tidak ketahuan siapapun. Bersembunyi di kegelapan seperti saat itu sangat menguntungkan karena sumber cahaya yang tersisa adalah api yang masih berkobar-kobar di beberapa tempat.
“Yaa~~… Kuat, sih… Buktinya mereka bisa keluar masuk gitu seenaknya dari tempat ini…” ujar Iyon masih tetap waspada walaupun posisi mereka saat ini cukup menguntungkan. “Tadi mereka udah pada pergi, kan? Ini kenapa balik lagi?” bingungnya. Ini mungkin karena perbedaan waktu yang terjadi di dalam daerah kekuasaan Menggala Aseng yang tak sinkron dengan dunia nyata. “Waduuhh…”
Keduanya melihat dengan jelas bagaimana kedua peri berbahaya bawahan Lord Purgatory itu dengan ganasnya langsung menyerbu tempat si burung Enggang bernama Panglima Burung itu bertengger di salah satu pohon pucuk tertinggi. Keduanya ragu bagaimana harus bersikap tanpa kehadiran Aseng pemilik tempat ini. Apakah mereka harus membantu burung itu ataukah membiarkan entitas ghaib itu bertarung membela dirinya sendiri? Apalagi mereka berdua tentunya udah kelelahan habis pertempuran besar yang berakhir pada kekalahan. Secara moral, mereka berdua sudah kalah dan tak ada keinginan untuk bertarung lagi tetapi secara insting mereka masih penasaran.
Burung Enggang kharismatik itu bertarung dengan tangguh. Apalagi burung itu juga bukan burung sembarangan. Hanya saja kedua peri itu, berdua mereka keroyokan dengan jurus-jurus aneh berbahaya tingkat tinggi terlalu merepotkan baginya untuk melawan sendiri. Burung Enggang itu tak kuasa lagi menahan serangan kedua peri bernama Asweta dan Citra itu. Burung yang hanya bertengger di ketinggian itu akhirnya jatuh berdebam di tanah.
Saat itu, Iyon dan Kojek sudah hendak bergerak untuk membantu karena dari gelagatnya, kedua peri itu terlihat seperti hendak menghabisi burung suci dari tanah Kalimantan itu. Tapi terhenti saat melihat satu hal yang mengejutkan—peri berambut kelabu itu menarik satu sosok pria muda dari jasad lemah sang burung. Sosok yang mereka kenali sebagai bentuk pemuda teman lama mereka yang telah meninggal, Bobi Putranto.
WOW?
Betapa kagetnya mereka. Tapi mereka segera sadar kalau sosok itu adalah jin khorin Bobi Putranto, teman mereka. Tentunya mereka paham persis apa itu yang namanya jin khorin. Tetapi mengetahui kalau dua bawahan Lord Purgatory sudah repot-repot untuk menangkap jin khorin tertentu ini, pasti ada tujuan besar dibalik itu semua. Biasanya ada maksud-maksud tertentu kalau jin-jin khorin ini sampai menjadi sasaran.
Dengan semua yang terjadi, Iyon dan Kojek mendapat alasan kuat untuk membiarkan saja itu semua untuk menjadi peletakan batu pertama penyelidikan mereka. Berdua saja tanpa Aseng, yang telah menyeberang ke sisi kegelapan. Iyon dan Kojek mengikuti kedua peri itu kembali ke kerajaan mereka. Tentu tidak sulit bagi Iyon untuk kembali masuk ke kerajaan Maharaja Lord Purgatory tetapi mereka harus menyamar untuk dapat memata-matai apa keperluan musuh terhadap jin khorin Bobi.
Tentunya sangat riskan untuk memasuki daerah musuh dengan gegabah. Mereka sudah gegabah di awal pertempuran dan harus berakhir pahit dengan kekalahan telak yang sangat besar memakan korban. Ribuan peri kerajaan Mahkota Merah harus musnah sebagai tumbal kegegabahan mereka. Apalagi, komando pergerakan ada di tangan Iyon yang menentukan pergerakan pasukan yang perintahkan oleh sang baginda raja mereka—Aseng.
Eforia kemenangan sepertinya sangat pekat merasuk pihak lawan, hingga mereka tak menyangka kalau lawan sekaliber Iyon dan Kojek akan menyusup masuk. Melonggarkan pengawasan yang selama ini ditugaskan untuk memata-matai kedua Ribak Sude ini. Mungkin karena sang Maharaja sudah mendapatkan semua yang ia butuhkan dari trio manusia biasa itu. Hal itu membuat Iyon dan Kojek bergerak bebas di dalam istana serupa keraton zaman kuno ini.
Kojek membesarkan ukuran tubuhnya seperti raksasa yang berbadan hitam dengan teknik Nabalga-nya dan berkeliaran di dalam istana dengan bebas, seolah-olah adalah bagian dari pasukan raksasa Batara Kala yang kelasnya di kalangan mahluk ghaib bawahan Lord Purgatory ada di tataran atas sejajar dengan kedua peri berambut kelabu dan ungu itu. Iyon bersembunyi di punggung Kojek untuk menyamarkan keberadaannya, dibalik juntaian rambut gimbal palsu yang dibuatnya dari banyak cambuk koleksi miliknya.
“WEERRRHHH… SAMPEYAN TANYA KENAPA AKU HANYA DUDUK SAJA DAN MENJAGA BATU INI?? WEERRRRHHH…” melotot satu Batara Kala yang duduk diam di salah satu bangunan yang dikelilingi banyak prajurit bertombak. Kojek diberi akses masuk karena dikira adalah rekan sesama Batara Kala.
“YAAA… TENTU MEMALUKAN HANYA DUDUK MEM-BERENG’I (melihat) BATU TAK BERGUNA KEK GINI?? APA PENTINGNYA? LEBIH ENAK CARIK MAKAN-LA…” Kojek membesar-besarkan suaranya. Hanya saja sepertinya masalah lingual jadi masalah bagi keduanya. Batara Kala asli itu sepertinya lebih fasih berbahasa Jawa. Sedangkan Kojek boro-boro, bahasa Indonesia-nyapun kadang belepotan.
”MAHARAJA YANG LANGSUNG MEMBERIKU TUGAS INI, BIAR SAMPEYAN TAUU… WEEERRRHH… BANYAK SEDULURKU YANG SUDAH GUGUR DEMI MENGUMPULKAN INI SEMUA SATU DEMI SATU… POTONGAN TERAKHIR BARU SAJA DIDAPATKAN, WEERRHHH… SEKARANG SUDAH LENGKAP, WEEERRHHH…” seru sang Batara Kala itu bangga akan tugas mulianya yang diperintahkan langsung padanya dari sang maharaja untuk menjaga benda-benda berharga ini.
“PATEN! PATEN KALI KAU, BAHH!!” puji Kojek.
“SOPO SENG NEK DIPATENI? KUWI? KUWI JALUK DIPATENI? IYO?? WERRRHHH…” terjadi kesalahpahaman yang mendasar akibat bahasa seperti yang dikhawatirkan di awal tadi. Kojek yang bermaksud memuji dedikasi Batara Kala satu itu dalam tugasnya malah mendapat tanggapan minta di-matiin. Wadidaw…
“BUKAN! BUKAANN…” kelabakan Kojek untuk meralatnya.
“Matiin, Jeekk…” bisik Iyon yang bersembunyi di punggung raksasa sobatnya ini.
“KUWI DUDU BATARA KALAAA… KUWI SUKERTAA!!” sadar Batara Kala bertubuh besar, gemuk dan berwajah jelek menyeramkan itu setelah memperhatikan sosok lawan bicaranya yang jauh berbeda dengannya. Mungkin karena kebodohan dirinyalah ia hanya diberi tugas simpel menjaga batu-batu ini daripada diberi tanggung jawab bertarung di garis terdepan. Masa Kojek yang bertubuh kurus hitam begitu ia lambat sekali menyadari perbedaannya? Hanya ukuran tubuhnya saja yang besar menjulang seukuran raksasa yang membuatnya sejajar dengan para Batara Kala.
Tapi itu semua terlambat baginya. Tangan Kojek melesak masuk menghantam mulutnya yang terbuka lebar. Taring-taring runcingnya sampai hancur berantakan begitu melesak masuk hingga menggerogoti tenggorokan dan menembus dada. Kelar itu semua, Kojek meremas hancur jantung Batara Kala itu hingga raksasa itu mati tak berdaya lagi mendapat serangan mendadak dari tamu tak diundang ini. Ruangan ini penuh dengan genangan darah. Keributan yang terjadi di dalam tidak membuat pasukan penjaga di luar curiga karena para Batara Kala selalu berisik dan suka keramaian. Kericuhan barusan dianggap bagian biasa dari tingkah polah para raksasa itu.
“Paok juga ya raksasa satu ini… Lama kali loading-nya…” kata Kojek yang membersihkan noda darah dari tubuhnya.
“Kau juga yang aneh… Mana ada Batara Kala kurus kerempeng kek kau ini… Tapi memang paok-nya dia…” kata Iyon yang turun dari punggung raksasa Kojek. Perhatiannya tertuju pada dinding batu yang dijaga seonggok Batara Kala tadi. “Tau kau batu apa ini?” tanyanya sambil menatap dinding batu besar di hadapannya. Dinding batu ini untuk ukuran manusia sangat besar. Seperti dinding bangunan bertingkat dua. Tapi bagi Batara Kala tadi hanya setinggi lututnya.
“Manalah kutau… Entah bahasa apa-pun itu?” jawab jujur Kojek. “Gak usah kau tanya yang kek gitu sama aku… Gak bakalan tau aku… Kalok kau tanya dimana tukang tuang tuak yang cantik… aa… tau aku itu…” tapi dicoba diperhatikannya benda itu. “Kek pernah liat aku, Yon… Tapi dimana, ya?”
“Di dekat tahta kerajaan Istana Pelangi, Jek… Bagian dinding ini baru saja digabung dengan yang lain…” ungkap Iyon. Ditunjuknya satu bagian, “… singgasana ratu Kanaka tadinya di sini… Ini bekasnya…” imbuhnya. “Dan itu artinya bagian-bagian lainnya berasal dari empat kerajaan lain, Jek… Ini benda yang sangat berharga… Punya kerajaan si Aseng juga salah satu dari ini semua…” segera ia menyimpulkan itu.
“DOK DOK DOK!!” terdengar ketukan yang berupa gedoran di pintu. Keduanya langsung bersiaga. “YANG PERKASA, WAHAI BATARA KALA… MAHARAJA MENGINGINKAN KEHADIRAN BATU BERHARGA ITU DI PASEBAN AGUNG… DIPERSILAHKAN MENGHADAP…” suara koor dari beberapa sumber suara sekaligus berteriak-teriak untuk memberitahu sang Batara Kala penjaga dinding batu berharga itu untuk menghadap ke junjungan tertinggi kerajaan kuno ini.
“Gimana nih, Yon? Kita embat aja batu ini?” bingung Kojek. Mencuri benda berharga ini adalah tindakan yang paling tepat untuknya sementara ini. Tapi sepertinya Iyon berpikiran lain.
“Jangan Jek… Kita pasti nanti diuber-uber Lord Purgatory lagi kalo nyuri benda-benda ini di depan hidungnya… Kau tentu gak mau bernasib kek keluarga si Aseng, kan?” cegah Iyon. Ia tentu dengan mudah mengeluarkan dinding batu ini dengan kemampuannya. Tapi dengan buntut panjang yang pastinya menyulut kemarahan Lord Purgatory yang mengerikan. Sudah ada bukti nyata bagaimana musuh ini bertindak. Tanpa ampun dan berdarah dingin.
Iyon dan Kojek meneguk ludah dengan berat. Tapi mereka harus cepat. Waktunya tidak banyak.
Akhirnya Kojek kembali menyamar menjadi raksasa Batara Kala. Pakaian yang tadi dikenakan sang Batara Kala mati itu kini dipakai Kojek. Itu untuk menyamarkan aura manusianya di hadapan banyak pihak yang ada di paseban agung. Apalagi ada Lord Purgatory langsung disana. Aroma atau bau dari Batara Kala yang khas itu menyamarkan keberadaan dua anggota Ribak Sude itu di sarang musuh. Kojek membawa dinding batu itu ke paseban agung dibantu arahan beberapa prajurit yang tadi menjemput.
Lord Purgatory melirik sekilas pada Kojek yang menyamar. Pakaian itu disumpal beberapa benda agar ia terlihat gemuk dan buntal seperti Batara Kala umumnya. Aroma Batara Kala itu untungnya meyakinkan Lord Purgatory bahwa raksasa itu adalah raksasa yang sama yang telah diberinya tanggung jawab di ruangan itu menjaga dinding batu berharga itu. Iyon dan Kojek menemukan jin khorin Bobi itu lagi di hadapan tahta Lord Purgatory.
“…Kuhabiskan waktu untuk belajar dan mengumpulkan sumber daya…Teman adalah bayangan… Tau artinya dalam kebudayaan bahasa yang menyebalkan sekaligus indah ini?… Artinya teman adalah segalanya… Melebihi harta dan kemasyuran… Sedangkan dalam hidupnya (Bobi)… ia menganggap tiga orang ini sebagai teman sejatinya… Jadi yang mana di antara tiga ini yang memegang kunci hidup kembali itu? Satu-satunya jalan adalah aku harus melakukan banyak hal dalam hidup mereka… Memancing mereka untuk menunjukkan keberadaanmu…”
Tercekat Iyon dan Kojek mendengar paparan itu. Semua masalah yang menimpa mereka bertiga selama ini adalah gara-gara ambisi egois. Menemukan sang jin khorin yang selama ini menempel di burung Enggang si Panglima Burung. Dan akhirnya Lord Purgatory menemukan apa yang dicarinya di Aseng, di burung Enggang yang bersembunyi di dalam daerah kekuasaannya. Apalagi mereka segera mengenali sebentuk peti mati yang berisi jenazah Bobi ada di tempat ini. Lord Purgatory keparat itu sudah mengambilnya dan membawanya kemari.
“Tanda-tandanya muncul di kalimat berikutnya… ‘Bara apinya ada di lima kelopak bunga surga’… Awalnya kami benar-benar tak tau apa itu bunga surga… Jadinya Iyon, Aseng dan Kojek kuberikan berbagai ‘cobaan’ yang setara… sembari menunggu munculnya kelopak bunga surga itu… Ketiganya terus menerus dipantau dan diawasi terus tanpa henti… Satu petunjuk yang sangat penting malah muncul dari satu spesies peri Padma yang sejak lama sudah mengabdi padaku… Patuh dan selalu kueksploitasi hingga nyaris punah populasinya… Salah satunya berceloteh tentang asal usul jenisnya yang merupakan deviasi peri murni berelemen api yang bernama peri Aruna… Peri Aruna adalah satu dari lima peri yang berasal pecahan cermin dewi kahyangan… Bukankah itu kebetulan yang sangat indah… Peri Aruna baru saja mengalami suksesi kepemimpinan dan lebih indahnya permainan ini—di tangan Aseng… Raja Mahkota Merah… Mungkin saja bunga surga ini akan muncul dari salah satu perinya-pikirku begitu…”
Iyon dan Kojek hanya bisa diam dan mendengarkan dengan seksama. Hanya menjadi pendengar budiman.
“Disini semuanya semakin menarik… Dari semua permainan ini… dengan segala macam intrik dan dramanya… berujung pada perang yang luar biasa dahsyat itu… Kau tentu sempat melihat sedikit bagiannya… Kau sempat hadir di sana walau sebentar… Kemenangan gemilang berkat pengamatan cermat dan seksama… juga perhitungan akurat… Hasilnya… lima kelopak bunga surga sudah kudapatkan…” Lord Purgatory mengulurkan telapak tangan kanannya, muncullah kelima permata peri itu mengambang perlahan, berputar-putar dengan anggun. Rubi api, safir biru, opal pelangi, bidara bulan, dan onyx hitam. “Bara api telah kudapatkan di tanganku…”
“Sementara… kau hanya tau untuk lari menjauh dariku… Jauh dan menjauh… Padahal waktu itu kita dekat, kan? Saat Bobi masih hidup… sesekali kita sempat ngobrol… Hingga akhirnya Bobi lebih memilih untuk menyerah dari menemukan bunga surga ini…”
“Karena itu salah! Bobi tau itu dan tak meneruskan petualangannya mencari bunga surga tak berguna itu… Kau tau aku juga tak setuju dengan semua ini…” jin Khorin itu dengan berani membantah Lord Purgatory.
“Itu karena kau bisa hidup abadi sebagai jin khorin… Lihat saja… selepas Bobi meninggal kau tetap hidup dan sehat-sehat saja… Tetap terlihat muda terperangkap di umur yang segitu-segitu saja… Lihat aku… Aku terpisah dengannya dan hidup begini… Hidup yang tak jelas eksistensinya… Bukan manusia, bukan jin—bukan APAPUN!!” Bahkan Iyon dan Kojek yang sedang menyamar-pun ikut kaget karenanya. “Setelah berusaha sana-sini… yang terbaik yang kudapatkan adalah bisa mengenali aroma sambel terasi yang nikmat dari desa Kanci… Hanya mengendus… tak lebih… Kalau bisa… segala-galanya pasti lebih nikmat rasanya…”
Lord Purgatory bergerak cepat ke arah jin khorin itu dan menyambar bagian kepalanya. Tak berdaya sang jin khorin yang diseret ke arah peti mati yang berisi jenazah mengering Bobi. Lagi-lagi Iyon dan Kojek hanya bisa melihat, tak dapat berbuat banyak. Padahal Lord Purgatory akan melakukan sesuatu yang pasti akan melecehkan jenazah teman mereka berdua.
Lord Purgatory mengangkat sang jin khorin dan membantingnya ke dalam peti mati yang telah terbuka itu. Dinding batu yang ada di depan Iyon dan Kojek berpendar bersamaan dengan permata-permata peri yang ada di tangan Lord Purgatory. Berpendar sesuai dengan warna elemennya. Mungkin dari sudut pandang Iyon dan Kojek di sebelah sana, mereka tak dapat melihat kejadiannya secara detail. Tapi bisa digambarkan kalau jin khorin itu meronta-ronta kala dirinya dipaksa dijejalkan kembali memasuki wadah lama yang dulu pernah didiaminya. Tapi rontaan itu sia-sia belaka, tenaga Lord Purgatory lebih superior. Sosok jin khorin itu dipaksa merasuki jasad Bobi Putranto secara tak wajar dengan bantuan lima permata peri beserta dinding batu yang dipercaya sebagai pecahan cermin dewi kahyangan itu.
Lord Purgatory melakukan gerakan berputar bak memutar kunci brankas untuk menemukan kombinasi angka yang tepat untuk membuka rahasia alam ini. Tangan, kaki dan kepala jin khorin itu masih sesekali terlihat mencuat dari jenazah Bobi lalu diam sama sekali. Lord Purgatory telah membuka semua kuncinya. Terlihat senyum puas tergambar di mulutnya.
Apalagi, seperti boneka plastik yang telah kempis, diisi angin kembali, jenazah Bobi Putranto mendapatkan kembali wujud wajar sehatnya. Kembali lagi segar seperti masih hidup saja layaknya. Dapat dipastikan kalau Lord Purgatory mengorbankan jin khorin itu untuk mengembalikan keadaan tubuh Bobi seperti semula.
Marah tentunya Iyon dan Kojek melihat jenazah Bobi diperlakukan begitu oleh Lord Purgatory. Tapi tak ada yang dapat mereka lakukan lagi-lagi. Mereka hanya harus menahan diri. Semoga dari sini akan ada yang bisa mereka lakukan untuk membalas semua kekurang ajaran Lord Purgatory.
Tubuh Bobi yang kini lebih fleksibel didudukkan pada sebuah kursi dan Lord Purgatory sedang mengagumi karyanya. Paras wajahnya berbahagia berbinar-binar. Campuran antara tak sabar lagi dan cemas sekaligus. Sepertinya ia sedang menantikan sesuatu. Sementara ini ia sudah puas dengan mendapatkan tubuh Bobi yang kembali segar dan utuh. Ia mengelus-elus tangan tak bergerak yang terlihat sangat hidup itu.
“Tamu hendak menagih janji, maharaja…” peri bernama Citra itu datang menghadap. Di belakangnya ia membawa Cayarini yang hendak menagih janji.
“Ah… Selamat datang… ratu peri Candrasa… Sudah seharusnya begini… Ratu Cayarini…” senyumnya terlihat sangat licik kali ini.
Benar. Cayarini yang datang sendirian ke kerajaan Lord Purgatory yang terletak di dalam lapisan tertentu hutan Alas Purwo yang angker. Cayarini yang sepertinya, entah bagaimana mendapatkan status baru yang diakui maharaja berwujud core itu sebagai ratu peri Candrasa. Bukan lagi calon semata.
“Perjanjian kita, maharaja…” hanya itu saja yang hendak ditagih Cayarini pada Lord Purgatory.
“Tentu saja, ratu Cayarini… Tentu saja… Saya selalu menepati janji… Lagipula saya tak membutuhkan kelima kerikil ini lagi… Urusan saya denganmu sudah selesai…” Diserahkannya lima permata peri itu lewat tangan Asweta.
“Silahkan…” peri berambut kelabu itu melaksanakan tugasnya dengan baik dan manis.
“Boleh tau sedikit? Kenapa aku tidak menjadi zombie seperti saudara-saudaraku yang lain? Kenapa hanya aku yang tersisa?”
“Mm… Itu karena…” jawab Asweta.
“Biarkan maharaja-mu ini yang menjawab itu semua… Asweta? Satu pertanyaan yang juga berharga jutaan dollar… Itu pertanyaan yang sangat penting, bukan? Semuanya sudah di-plot sedemikian rupa dengan susunan orkestra yang sangat indah, kamu tau? Kerajaan Gua Kresna memiliki fragmen yang merupakan bagian dari cermin dewi kahyangan… seperti juga yang dimiliki kerajaan-kerajaan lain… Maka daripada itu menguasai kelima-lima kerajaan peri yang berasal dari pecahan cermin itu adalah langkah awalku… Tentunya untuk mendapatkan bara api itu harus juga mendapatkan kelopak bunga surga terlebih dahulu… Kelima kerikil itu…”
Dari kasus ini, dapat diketahui betapa njelimet rencana dan trik-trik yang dilakukan Lord Purgatory. Dia duduk di balik meja kecilnya di kota Pasuruan yang tenang itu untuk merancang ini semua dari kejauhan. Tetapi perpanjangan tangannya lewat banyak bawahannya, selalu berjibaku siang dan malam untuk sang maharaja-nya.
“Berikutnya adalah lima bunga yang sangat indah dan cantik-cantik ini… Kau mungkin mengenali mereka… Baginda rajamu dengan simpelnya menamai mereka sebagai Agni, Rasa, Rukma, Praba dan Awyati… Ahh… Kamu tak mengetahui bagian ini karena saat itu kamu sudah pergi bersembunyi… Intinya mereka adalah para champion dari tiap jenis peri berelemen alam ini… Pemuncak semua kekuatan dan keindahan yang pernah dianugrahkan dewi kahyangan ke bumi ini… Hanya saja hikayatnya cermin itu pecah berkeping-keping… dan menjadi pionir-pionir kalian di masa lalu… Ribuan tahun lalu mungkin…”
Kelima peri kasta tertinggi itu muncul. Iyon dan Kojek mengenali mereka sebagai Agni, Rasa, Rukma, Praba dan Awyati. Peri kasta tertinggi yang sama yang telah menyerap para ratu peri, kecuali ratu peri Candrasa. Mereka langsung bisa menebak kemana arah permainan Lord Purgatory setelah ini. Melengkapi menyerap ratu peri terakhir!
“Saat saya sudah memiliki kelima kuntum bunga indah ini lengkap dengan kelopaknya… sang bara api surga ini akan muncul, tentunya… Kamu tau… Saya berasal dari pria ini… Bukan… saya bukan jin khorin seperti yang sudah kami cari-cari selama ini… Pria ini telah meninggal dunia belasan tahun lalu… Mayatnya telah mengering terbujur kaku di peti jenazah itu… Dan kami telah berhasil membangkitkannya kembali dengan menggunakan jin khorin-nya… tentunya dengan bantuan gabungan pecahan cermin dewi kahyangan ini… Tubuhnya kembali hidup… Mencapai bentuk sempurnanya… Seorang manusia yang sempurna…” kembali ia berlutut di depan tubuh Bobi.
“Wadah yang tepat bagiku… untuk menjadi sempurna…” Kalimat itu seakan menjadi kode bagi Awyati itu membekap Cayarini. Ratu peri Candrasa itu dipeluknya sangat erat dan kuat bagaikan hendak diremukkan. Bukan. Bukan hendak dihancurkan. Awyati hanya ingin menyerap Cayarini. Ratu peri Candrasa itu larut di dalam tubuh Awyati sebagaimana ratu-ratu sebelumnya telah diserap oleh peri kasta tertinggi lain.
“Sekarang saya sudah punya kelima bunga surga ini lengkap… Sekarang kalian bisa mengambil kerikil-kerikil itu masing-masing satu…” puas sang Maharaja dengan kinerja peri terakhir yang akhirnya berhasil menyerap ratu peri yang terakhir dalam koleksinya. Permata peri yang tadinya dipegang Cayarini itu lalu dibagi-bagi Awyati pada empat peri lainnya. Rubi api, safir biru, opal pelangi, dan bidara bulan.
“Sekarang kalian bisa meneruskan fungsi istimewa kalian itu sebagai lima bunga surga untuk memanggil sang bara api yang suci itu… Hidup… sebagai manusia…” ujar sang maharaja yang penuh kebahagiaan. Kebahagiaan atas penderitaan orang lain.
Dari jarak yang cukup, kelima peri kasta tertinggi itu mengelilingi Lord Purgatory dan jasad Bobi. Mereka berlima menggumamkan semacam mantra atau doa-doa yang hanya diketahui para peri kasta tertinggi. Tangan saling dekap kala memusatkan konsentrasi mereka atas mantra itu. Diulang-ulang hinga terdengar seperti dengungan yang semakin seirama kelimanya. Sinkronisasi kelimanya mencapai tahap yang selaras ditandai dengan berpendarnya tanduk dan sayap kelima peri kasta tertinggi itu.
Apa yang akan dilakukan kelima peri ini pada Lord Purgatory dan jasad Bobi? Hanya ada satu yang terlintas di pikiran Iyon dan Kojek… Lord Purgatory hendak memakai tubuh Bobi untuk hidup sebagai manusia!
Sebagai manusia!
Sebuah gelembung hijau besar muncul, gelembung yang sering digunakan Lord Purgatory. Gelembung itu mencakup tubuhnya dan jasad Bobi. Semua energi yang diselaraskan kelima peri kasta tertinggi itu terkonsentrasi di dalam gelembung. Berbagai macam elemen bergejolak di dalam gelembung. Berbagai macam energi menggelegak—energi yang bertolak belakang, energi yang selaras, dan energi yang tak terbatas.
Tetapi tujuan yang hendak dicapai Lord Purgatory ini adalah penghinaan atas kemanusiaan. Yang sudah mati lebih baik dibiarkan tetap mati. Tak ada hubungannya lagi atas dunia fana ini. Apakah sebagai non-manusia, dirinya merasa bebas saja melakukan ini? Melangkahi kebijakan ilahi atas kodrat manusia fana yang mendapat gilirannya. Giliran Bobi sudah selesai dan dirinya sudah terputus dari dunia ini. Bukan kewenangan Lord Purgatory untuk melanjutkan terputusnya Bobi akan dunia ini dengan menggunakan dirinya.
Hanya demi tujuannya ini, ia tega mengorbankan banyak pihak. Mencabut banyak nyawa. Menghancurkan lima kerajaan peri. Menyebabkan Aseng berpindah sisi…
Bara Api Suci…
Gelembung itu semakin penuh energi. Tak dapat terlihat lagi dua sosok di dalamnya dengan jelas. Amukan berbagai energi silih berganti sambar menyambar. Gejolak semakin hebat dan akhirnya memecahkan gelembung itu dari dalam. Lonjakan api, cipratan air, raungan angin, kilatan cahaya dan kepulan asap hitam mewarnai pecahnya gelembung itu. Meninggalkan hanya satu sosok tubuh yang dari tadi duduk di atas kursi itu. Sosok jasad Bobi Putranto yang mulai bergerak. Matanya terbuka.
Itu sudah cukup bagi Iyon dan Kojek. Mereka sudah cukup melihat itu semua. Tak tahan lagi dengan buncahan perasaan dan emosi yang meluap-luap karena jasad Bobi sudah dilecehkan sedemikian rupa oleh mahluk itu. Iyon dan Kojek meninggalkan tempat itu dengan jurus Bayangan Bunga Bujur.
Kesal dengan tujuan asli Lord Purgatory yang ternyata ingin hidup sebagai manusia. Kesal dengan perubahan yang terjadi pada Aseng, apa yang dilakukan kedua pria itu? Pertama-tama harus menenangkan diri dahulu. Metode masing-masing individu untuk menenangkan diri sehabis mendapatkan masalah berat dan bertubi-tubi itu terbeda-beda. Ada yang melakukan hal yang disukainya, ada yang makan makanan kesukaan, ada yang menyepi ke tempat yang teduh dan indah. Berbeda juga metode yang dilakukan Iyon dan Kojek.
—–oo0O0oo—–
“Hari ini aku minta waktu libur lagi…” ujar Iyon tepat di depan Buana yang pagi itu masih sarapan di halaman rumah bersama keluarganya. Ia ikut sarapan dengan bos sekaligus temannya itu.
“Masih masalah si Aseng?” tanya Buana yang masih mengunyah sarapannya pelan-pelan.
Iyon hanya perlu mengangguk. “Dan masalah lainnya… Ini semakin pelik… Akan sangat memalukan kalo aku ceritakan disini… Ada anak-anak dan lainnya…” katanya pelan agar hanya Buana saja yang mendengar.
“Baiklah… Biar nanti driver lain aja yang nyupirin aku… Kalau ada waktu… aku dan Ron juga akan membantu…” jawab Buana. Ia hanya memandangi anak-anaknya yang berlari-lari di antara mereka, dikejar-kejar baby sitter-nya agar menghabiskan sarapan. “Putri… Dewi… Kasian mbaknya ngejar-ngejar gitu-ah… Duduk yang manis sarapannya… Liat tuh Satria sama Hafiz anteng sarapannya… duduk begitu…” tegurnya pada kedua putri kembarnya yang berlarian riang.
“Aku bawa keluargaku sebentar, ya?” permisi Iyon lagi. Lagi-lagi Buana mengizinkan. Iyon lalu menghampiri istrinya yang juga bekerja mengabdi di keluarga ini. Anaknya bahkan juga tinggal di tempat ini dan menjadi teman bermain bagi ketiga anak kembar Buana.
Tak lama Iyon sudah berada jauh sekali dari tempat itu. Ia membawa keluarga kecilnya menjauh, sejauh-jauhnya. Tak ada yang lebih mendamaikan selain bersama keluarganya saat ini. Istrinya tentu tahu persis apa yang tengah dirasakan suaminya saat ini. Tapi ia berusaha tak banyak tanya. Hanya menikmati liburan mendadak ini sebaik-baiknya demi meredam kecemasan yang kini melanda pria yang dicintainya ini.
—–oo0O0oo—–
“Maju kalian semua!!” teriak Kojek lantang pada semua mahluk aneh yang melata, terbang, menandak-nandak, melayang mengerubunginya. Mahluk-mahluk aneh itu bisa dipastikan adalah mahluk ghaib yang dikurungnya di dalam daerah kekuasannya. Dikurung di kandang-kandang besar yang banyak bertebaran untuk menahan mereka dari menebarkan angkara murka di dunia nyata lewat jurus Parbegu-nya yang mengerikan.
Dengan jurus Angka Silgang yang dirancang abah Hasan, ia memurnikan mahluk-mahluk ghaib dari golongan jahat ini. Tapi kali ini ia melakukan hal yang berbeda. Ia membiarkan angkara murka murni dirinya sekali lagi melawan semua mahluk-mahluk itu sekaligus, di tempat yang lebih aman. Ia bisa melepaskan stres dirinya dengan menghajar jin-jin jahat ini tanpa ampun tanpa menahan diri. Ia bisa melepaskan semua rasa kesalnya dengan menghajar mereka semua.
Berbagai macam jin, siluman, setan, hantu-blau semua tak ada yang selamat dari gempuran pukulan-pukulan penuh lambaran amarah itu. Mereka tak punya pilihan lain. Dikurung lagi bukanlah pilihan yang menyenangkan. Lebih baik berusaha bertarung dan mungkin bisa menang, membalas. Kojek meradang maju, menghajar apapun yang bergerak di depannya. Untuk sesaat ia bisa melupakan kegundahan hatinya akibat apa yang telah disebabkan Lord Purgatory di hidupnya. Semua masalah yang telah ditimpakan oleh mahluk gak jelas asalnya itu lewat berbagai tipu dayanya.
Keparat itu lebih berbahaya dari iblis sekalipun.
“PUKIMAAAK KLEEEN SEMUAAA, BUJAANGG INAAAMMM!!!”
—–oo0O0oo—–
“SPBU-nya untuk sementara ini tidak akan dijual dulu, bu…” jawab Aseng di satu cafe yang terlihat sangat elit dan elegan di salah satu sudut jalan protokol kota Medan siang ini. Kursi yang ada empat buah hanya diisi tiga orang menghadapi tiga cangkir kopi dan beberapa penganan ringan. Suhendra duduk di samping seorang wanita elegan. Bukan-dia bukan istri elegan si Suhendra yang bernama Miranda itu. Ini orang lain.
“Bagaimana kalau investasi?” usul Suhendra. Pria ini mengantarkan sang perempuan banyak duit ini untuk bertemu dengan Aseng karena ia berminat membeli SPBU Aseng yang sudah terbakar itu. Ia bermaksud memperbaiki usaha yang profit-nya menjanjikan itu dengan proses pindah tangan.
“Bagaimana kalo kau cabut dulu, Ndraa… Biar aku aja yang ngomong dengan ibu ini dulu…” sahut Aseng dingin. Ditatapnya Suhendra yang meneguk ludah dan buru-buru permisi. Meninggalkan Aseng dan perempuan elegan itu berdua saja. Empat mata.
“Opsi lain dari Hendra tadi bagus juga, pak Aseng… Saya bisa menginvestasi dana saya untuk me-rehab galon ini seperti semula…” ujar sang wanita condong memajukan dirinya hingga tubuhnya terpapar jelas di depan sang pria. “Saya dengar… pak Aseng perlu dana besar untuk membayar semua tunggakan yang akan jatuh tempo…”
“Saya dengar juga ibu adalah seorang business-woman yang sangat sukses…” potong Aseng dengan cerdasnya. “Tetapi juga sangat kering di waktu tidur malam… Bukan begitu?” tapi yang ini terdengar sangat sangat kurang ajar. Itu bukan urusan siapapun. Apalagi diri seorang Aseng. Aseng mengucapkan itu semua tanpa tedeng aling-aling. Menghujam kuat bahkan seperti ledakan petir di siang bolong.
Tentu saja ucapan Aseng barusan sangat menyinggung perasaan sang pengusaha wanita terhormat ini. Apa urusannya hingga masalah ranjangnya yang kering sampai harus dibawa-bawa? Sifat tinggi hati dirinya tiba-tiba menyeruak keluar dari dalam dadanya. Ia yang merasa superior dengan banyaknya uang yang dimilikinya, banyaknya property yang dikuasainya, banyaknya jenis usaha yang dipimpinnya, ranjang yang kering akan dengan mudah dibasahkannya dengan percikan duit segepok dua dari pria-pria muda perkasa. Apa bisanya pria seperti Cina yang ternyata KW lokal ini lakukan dengan menyinggungnya seperti ini? Merendahkan sekali… Belum tahu dia siapa Roro Widiastuti sebenarnya?
Bisa kubeli semua usahamu yang ada, semua property-mu, bahkan aku bisa membeli tubuhmu kalau perlu—begitu di benaknya.
“Tidak usah pake emosi, buu… Rileks… Tenang aja… Saya memang butuh dana besar saat ini… Kalo tidak semua milikku bisa disita bank dan aku balik kere lagi… Dengarkan penawaranku ini…” Aseng mengeluarkan sebuah bebatuan dari kantung kemeja yang dipakainya. “Saya tau ibu Roro punya usaha batu berharga yang sangat sukses di Indonesia ini bahkan sampe luar negeri… Gak tau berapa harganya di pasaran… Bisa tidak ibu Roro menaksir harga berlian biru ini…”
“Blue diamond!” hampir menjerit wanita elegan itu melihat bebatuan mentah yang belum dipotong itu. Tetapi sebagai seorang pengusaha bidang itu, ia langsung tahu benda apa yang terhampar di hadapannya. Ia lalu menyabar-nyabarkan dirinya. Belum pernah ia mendapatkan batu mentah sebesar yang ada di hadapannya ini. Susunan mineral unik yang berbentuk karbon keras hingga skala kekerasan 10 Mohs ini harganya sangat tinggi di pasaran dunia. Rekor harga yang dipernah dijual di balai lelang terkenal pernah mencapai $3.93 juta per karat-nya. Batu berlian di hadapannya ini setidaknya 50 karat.
Berulang-ulang ia meneguk ludah karena tiba-tiba tenggorokannya kering. Kepalanya terasa ringan. Ia tak ingin cepat memutuskan sesuatu secara tergesa-gesa karena ia bukan pemain baru dalam bisnis ini. Penipuan bisa terjadi sewaktu-waktu. Ia harus berfikir dengan cepat tetapi tepat lagi cerdas.
“Boleh saya pegang batu ini, pak Aseng?” ujarnya permisi dahulu. Sebenarnya ia sedang memantapkan mentalnya untuk memegang benda yang sangat berharga ini. Jangan sampai tangannya terlihat gemetar saat menyentuh benda itu. Berlian itu masih sangat kasar. Bahkan masih ada kotoran berupa batuan lain yang menempel di sana.
“Silahkan, bu…”
Roro menyentuh batu itu. Sekali sentuh saja ia sudah yakin kalau benda ini adalah berlian biru. Tetapi agar lebih yakin tentunya harus melalui pengamatan ahlinya yang lebih berkompeten. Ia tak berani menerawang batu yang seperti transparan dengan warna utama biru muda yang berkilauan bila terkena cahaya. Diletakkannya kembali di atas meja dan ia minta izin untuk menghubungi ahli gemologist terpercayanya untuk memeriksa lebih lanjut.
(*Ini adalah percakapan pendek mental Aseng yang bisa disadap Narator saat di hadapan Roro…)
“Bukankah kau sangat licik, Cundamanik…” sindir Aseng pada peri Anaga yang selalu mengikutinya itu.
“Baginda raja yang mengajari hamba, bukan?” jawabnya. “Dengan begini baginda raja tak akan pernah kekurangan uang bila memanfaatkan kerikil tak berharga di dunia kami ini di dunia manusia yang penuh dengan materialisasi hawa nafsu yang lebih tak berbatas…” lanjutnya. “Batu itu diambil dari istana lama baginda raja sendiri di bawah danau itu… Baginda-lah yang paling berhak atas batu itu… Terserah pada baginda hendak diapakan… Mau dijual? Mau dilemparkan ke anjing yang menggonggong? Bukan begitu?”
Wah-wah… Aseng menjual sebongkah kecil batu berharga dari istana kuno di bawah danau Toba itu untuk menyelamatkan asetnya? Aseng malah menyindir si peri Anaga Cundamanik itu. Kemungkinan besar peri itulah yang memberi usulan pada baginda rajanya yang sedang pusing mencari dana dalam jumlah besar dalam waktu cepat. Sebagai penguasa resmi kerajaan itu, tentu Aseng punya wewenang untuk melakukan apapun atas istana yang sudah tak terpakai itu.
Ia sebenarnya sudah tak memperdulikan tempat itu, tetapi Cundamanik demi mendengar cerita asal muasalnya mendapat ide ini. Mereka mendatangi tempat itu lagi, yang masih diingat betul oleh Aseng. Di sana mereka menemukan bagian tahta kuno sudah dihancurkan, karena bagian lantainya yang mempunyai tulisan kuno itu sudah dicuri oleh pihak Lord Purgatory sebagai bagian dari cermin dewi kahyangan. Dari keping-keping kehancuran itu, ada banyak sebenarnya bebatuan berharga yang bisa diambil tetapi Cundamanik hanya perlu memungut satu kepingan kecil berwarna biru ini.
“Aku dulu sering tergoda dengan bebatuan seperti ini saat memasuki lorong masuk kerajaan ghaib lain… Tetapi kutukannya sangat mengerikan hingga aku lebih sering tutup mata saja…” kata Aseng lagi pada peri Anaga itu.
“Itu karena semua itu adalah kepunyaan si empunya kerajaan, baginda raja… Lain halnya kalau ini milik baginda sendiri…”
“Luar biasa, pak… Ibu Roro…” seru si gemologist kepercayaan ibu Roro setelah meneliti kepingan batu berharga itu. “Blue diamond ini sangat jernih… Saya tak dapat meng-appraisal harga per karat pastinya saat ini sebelum dibersihkan dan dipotong… Tapi ini… ini flawless… Tanpa cela!” simpulnya.
“Sebutkan harganya bila ibu berkenan…” tembak langsung Aseng pada wanita elegan itu yang masih merasa ringan isi kepalanya mendengar penilaian orang kepercayaannya. Banyak yang ingin ditanyakannya pada Aseng perihal blue diamond ini. Seperti; menambang dimana? Itu pertanyaan utama. Sebab blue diamond sebesar ini sangatlah super rare di dunia. Pemiliknya bisa mendadak menjadi milioner. Apalagi itu adalah orang yang tak dikenal dari pelosok Medan yang ujug-ujug menawarkan blue diamond sebesar ini.
“Saya ragu… lebih tepatnya tidak berani menawarkan harga untuk blue diamond ini, pak Aseng… Tapi boleh saya bertanya satu pertanyaan yang sangat penting?” ia tak tahan untuk menanyakan ini. Aseng mengangguk malas. “Bapak mendapat ini dari mana? Dari India?… Afrika Selatan? Atau mungkin dari Kalimantan?”
“Ibu tak akan percaya ceritaku… kalo itu aku cuma sekedar mungut aja… di jalan…” umbar ngasal si Aseng. Tentu saja harus asal-asalan. Gimana mau membuat orang-orang percaya kalau di bawah danau Toba ada sebuah kerajaan peri elemen api kuno yang penuh dengan bebatuan berharga seperti ini. Bukannya nanti akan membuat orang tak waras untuk percaya dan menambang sesukanya di sekitar danau wisata itu.
“Sebaiknya ibu tidak perlu menanyakan asal usulnya… Lebih baik saya buka harga aja… Kalo kemahalan mungkin bisa ditawar… Asal jangan kelewatan aja… 25 miliar… Gimana?” usul Aseng dengan harapan kalau ditawar mungkin jatuhnya 10-15 M.
“Deal…” bu Roro langsung menyodorkan tangannya tanda setuju. Aseng yang tak tau pasaran harga blue diamond dunia tentunya kaget penawaran pertamanya langsung disambar dengan cepat oleh perempuan itu. Itu artinya harga seharusnya lebih tinggi dari itu. Tapi itu sudah lebih dari cukup baginya. Kalau perlu ia bisa membawa lebih banyak batu berharga lain untuk dijual lagi di masa depan.
“Deal…” Aseng menyambut uluran tangan setuju tentang harga itu. Keduanya berjabat tangan disaksikan sang gemologist yang berbinar-binar hepi atasannya mendapat blue diamond sebesar itu dengan harga murah. Tapi ia tak tahu kulikan jari penjual blue diamond yang sedang menggaruk-garuk telapak tangan bosnya yang ditimpali dengan senyum malu-malu sang wanita elegan.
—–oo0O0oo—–
Lord Purgatory di dalam tubuh Bobi berbinar-binar matanya bisa membeli pecel lele kesukaannya di tempat favoritnya. Ia langsung membeli empat bungkus tak seperti kebiasaannya yang hanya sebungkus. Saat ditanya Yu Nanik, sang penjual, yang belum pernah bertemu sebelumnya, ia dengan ramahnya mengatakan ia adaah orang yang sedang berkunjung ke salah satu kerabat. Padahal ia berencana memakan semua hidangan perdana itu sendirian. Makanan manusia pertama yang bisa dimakannya.
Terburu-buru ia berjalan pulang untuk sampai ke rumahnya. Ia sudah punya beberapa gambaran mental bagaimana ia akan menikmati pecel lele yang sambel terasinya sudah harum semerbak sedari tadi. Untuk pertama kalinya perutnya berbunyi pertanda lapar. Tubuh yang dipakainya ini sudah tak pernah dimasuki makanan sejak belasan tahun lalu. Tubuh Bobi sudah tak pernah mendapat asupan makanan sudah sejak sangat lama. Setelah tak wajar hidup kembali, sel-sel jasad ini mulai aktif lagi. Mendapat energi entah dari mana, jantungnya berdetak, otaknya bekerja lagi, darah kembali mengalir di tiap helai pembuluh darahnya, organ-organ tubuh kembali berfungsi… Dengan kesadaran baru.
Kesadaran seseorang sosok bernama Lord Purgatory.
“Weis… Buru-buru, mas… Ayuk numpak becak ae, toh…” sapa pebecak dayung yang mensejajari langkahnya. Sekian lama bercengkrama, bertahun-tahun Lord Purgatory gak pernah mau naik becak pria itu. Entah hari ini berbeda.
Ternyata tidak. ia terus berjalan. Fokus hanya untuk sampai dengan selamat di rumah kontrakannya. Sementara di belakangnya becak itu berkerut-kerut seperti tersedot ke dalam satu black hole yang menghisap kendaraan manual itu beserta pengayuhnya yang malang. Jalanan sepi tak ada yang mengetahui kejadian mengerikan itu. Bobi Putranto terus berjalan meninggalkan lalat mengganggu itu.
Tergesa-gesa ia memasukkan kunci. Salah kunci tertukar dengan kunci kamar, ditendangnya pintu utama itu hingga terbuka paksa dengan suara menggelegar di dalam rumah. Ia hampir berlari ke arah kamar, menyapu bersih apapun yang ada di atas meja—satu-satunya furniture beserta kursi yang ada di rumah ini. Dibukanya satu bungkus pecel lele dengan gugup dan perut lapar…
Seekor lele yang digoreng dengan rempah yang gurih, setumpuk nasi hangat, dua potong tempe, suwiran kol dan sejumput daun kemangi. Dibukanya bungkus terpisah sambel terasi dan dituangkannya di pinggiran nasi. Sejurus kemudian ia sudah mencocol sobekan daging lele goreng itu di sambel lalu membenamkannya ke nasi—langsung OTW ke mulut.
*kunyah-kunyah-kunyah.
Bobi bersandar ke kursi menikmati makanan perdananya. Matanya terpejam erat merasakan rasa gurih, juicy, pedas, manis dan pulen nasi bercampur lumer di dalam mulutnya. Air liurnya menyembur-nyembur membasahi mulutnya yang menikmati ekstasi terindah di dalam hidupnya yang kini fana.
—–oo0O0oo—–
“Bisa antum berdua jelaskan benda busuk apa yang sudah antum bawa ke rumah ane ini?”
Iyon dan Kojek sedang membentangkan sebuah kain yang tadinya merupakan sebuah pakaian yang berukuran sangat besar. Baunya busuk minta ampun karena ada noda darah mengering dan juga tentunya aroma pemilik pakaian ini.
“Sori, abah… Ini tadinya baju yang dipake sama seekor Batara Kala…” Iyon coba menerangkan. Orang tua gemuk dihadapan mereka berdua mengernyit akan penggunaan kata ‘seekor’ barusan untuk menunjukkan jumlah Batara Kala-nya. Tapi itu bukan masalah utamanya melainkan ke kata Batara Kala-nya. Ia membiarkan Iyon meneruskan penjelasannya. “Batara Kala ini sedang menjaga sebuah dinding batu dengan tulisan-tulisan yang kami tak paham… Kojek membunuhnya… Dinding itu menghisap semua darahnya… Jadi kami menjiplak tulisan itu dengan darah Batara Kala itu di pakaiannya yang bau busuk ini… Begitu, abah…”
“Tulisan kuno dengan darah Batara Kala? Ente berdua memang kreatif… Ini dari sarang si Lord Purgatory itu?” tanya pria bernama panggilan abah Hasan itu tak sudi menginjakkan kakinya di atas kain bernoda darah kering berukuran besar itu. “Angkat! Rumput halaman ane bisa meranggas asbab itu kain… Angkat buruan!”
Tergopoh-gopoh Iyon dan Kojek memungut lembaran lebar kain dengan cap tulisan bernoda darah itu. Benar saja, sudah ada jejak terbakar rumput hias halaman rumah abah Hasan yang gosong secara acak karena tersentuh kain pakaian berbahan kasar itu. Setumpuk disana, setumpuk disini. Keduanya menunduk merasa bersalah telah merusak halaman yang tadinya indah itu dengan keteledoran mereka.
“Ini benda najis, Iyooon… Kojeeek… Suci’in dulu sana pake kencing anak bayi yang banyakan…” kata abah Hasan memberi instruksi untuk mensucikan benda yang disebutnya najis itu. Iyon dan Kojek tentu aja kelabakan melipat lembaran kain itu dan buru-buru hendak permisi keluar pekarangan rumah abah Hasan untuk mencari urin bayi guna prosesi penyucian tersebut. Tapi begitu mereka hendak mulai, berhenti.
“Yaah… abah ngerjain kami nih… Ngumpulin kencing anak bayi sekecamatan juga gak bakal bisa buat mensucikan kain selebar ini…” sadar Iyon yang telah di-prank abah Hasan. Lain halnya dengan Kojek yang belum nyadar juga, ia masih terbengong akan apa yang dimaksud barusan. “Iya, Jek… Kita itu lagi diisengin sama abah… Kau pun lola kali… gitu aja gak ngerti…” celanya.
“Kau pun kenak juga-nya…”
Tak kurang abah Hasan tertawa-tawa hingga perut buncitnya berguncang-guncang karena geli dan senang prank-nya berhasil mengerjai Iyon dan Kojek. Dari sudut matanya, titik air mata membentuk. “Afwan… afwan… Ane gak sanggup ngerjain antum berdua lebih dari ini… Ane ambilin kencing anak-anak ane aja, ya… Perlu sedikit sih… cuma ditambahi aer se-empang…” kata abah Hasan masuk kembali ke dalam rumah. Rumah terdengar banyak dipenuhi anak-anak. Anak abah Hasan bahkan ada yang masih bayi malahan.
Kojek memegang pakaian Batara Kala itu, bahkan sampai dipeluk agar tidak mengotori rumah abah Hasan yang sudah mereka anggap sebagai orang tua sendiri. Tak lama pria paruh baya itu kembali lagi dan membawa seember air yang sudah dicampur dengan pipis suci anak bayi. Air seni bayi di berbagai kebudayaan sering digunakan sebagai alat penyuci yang handal, tak terkecuali metode yang kini digunakan abah Hasan untuk pakaian dan darah Batara Kala ini.
Mereka berdua disuruh memegang pakaian berbahan kasar itu selagi abah Hasan mengguyurnya dengan air penyuci itu. Siram dan siram terus hingga semua benda itu basah dan airnya menetes-netes. Setelah dideklarasikan sudah suci, kain itu kembali dibentangkan terbalik menghadap sinar matahari karena jiplakannya terhadap pahatan huruf timbul.
“Hmm… Ini bahasa yang abah sendiri tidak paham… Ada bahasa yang mirip-mirip ini tapi itupun bahasa yang sudah punah ratusan tahun lalu… Tapi melihat pengulangan beberapa simbol-simbol lingua-nya abah bisa menerka-nerka maksudnya hanya dalam garis besar saja…” kata abah Hasan yang sedang termangu-mangu di bentangan kain itu. “Selain metode untuk hidup kembali… Ada sesuatu di bagian akhir yang menyinggung tentang harta karun terbesar di jagat dunia lelembut yang hanya bisa diakses oleh orang tertentu…”
“Harta karun?” ulang Iyon.
“Terbesar…” mata Kojek berbinar-binar mendengarnya.
“Jangan jadi rakus begitu, Iyoon… Kojeek… Ini harta ghaib… Tidak akan bisa membuat antum kaya raya juga…” cegah abah agar mata kedua pria itu balik lagi ke warna asalnya, gak ijo lagi. “Orang tertentu pula yang bisa mengaksesnya… Antum sekarang tentu tak bisa menyentuhnya… Mungkin karena itu pula si Lord Purgatory ini mati-matian mencari cara agar bisa menjadi manusia… walau harus memakai tubuh Bobi sekalipun…” jelas abah Hasan.
“Jadi tertentunya itu maksudnya apa, bah? Mahluk ghaib yang berubah menjadi manusia seperti si borjong itu?” tanya Kojek penasaran karena disebut mereka saat ini tak berkualifikasi untuk menyentuh harta karun itu.
“Namanya saja harta karun… Lebih dekat konotasinya ke kondisi royal… kebangsawanan persisnya… Jadi Lord Purgatory sudah menggenapi kriteria dasarnya… Manusia dan raja… Lord Purgatory bahkan seorang maharaja saat ini dengan membawahi begitu banyak kerajaan ghaib di banyak tempat dan memusatkannya di Alas Purwo… Begitu menurut cerita kalian selama ini, kan?” jelas abah Hasan yang duduk saja bersilang kaki memakai sarung di atas lantai teras rumahnya.
“Harta karunnya apa ini, bah… Emas… permata… dolar-poundsterling?” tanya Iyon. Ia pastinya membayangkan harta yang banyak hingga bisa membayar hutangnya di bank dan mengembalikan pinjaman surat tanahnya pada Aseng.
“Kalau itu… emas permata dan lain-lainnya itu cuma selingan aja… Di dunia ghaib asal tau jalurnya akan sangat mudah mendapatkan itu semua… Antum semua bisa berenang-renang di dalam kolam koin emas dan permata tiap hari… Tapi bagaimana kalau yang lebih luar biasa dari itu semua?… Ini harta berharga di atas harta yang paling berharga… Best of the best… Momen dimana antum dapat akses untuk mengintip surga…”
Keduanya hanya bisa melotot.
——————————————————————–
Rumah ini selalu sepi tiap waktunya. Hanya ada dua manusia yang merupakan penghuni tetapnya. Sore inipun tak jauh berbeda seperti hari-hari sebelumnya. Lengang sepanjang tahun.
Bunyi krincing becak yang memperingatkan pengguna jalan lain kalau ia melintas sesekali terdengar dari jalan di depan sana. Dari pagar bercat putih dari besi yang selalu diperbaharui tiap tahunnya itu, bisa terlihat kesibukan jalan yang tak terlalu padat. Jiran tetangga kadang dapat menemui sang penghuni rumah berjalan-jalan di sekitar halaman, membicarakan hal remeh-temeh. Tentang harga cabai, brambang, berbagi resep hingga gosip murahan.
Seorang wanita yang di usia pertengahan 30-an terlihat baru saja membuka gembok gerbang dan masuk ke dalam kompleks rumah. Dia adalah saudara pemilik rumah yang sehari-hari mengurus wanita tua yang divonis mengalami dementia ini. Tak dapat membedakan khayalan dan kenyataan. Sebelum menemui budhe Grace-nya, terlebih dahulu ia membersihkan wajahnya dengan membasuh muka. Penat dan lelah terlihat jelas di wajahnya setelah beraktifitas seharian dan harus mengurus budhe Grace lagi. Untung saja ia melakukan ini semua dengan ikhlas hingga ia seperti mendapat boost tenaga tambahan untuk ini semua.
“Sudah bangun dari tadi, budhe?” sapanya pada wanita tua yang masih menyisakan kecantikan masa lalunya.
“Sudah dari tadi, Mir…” jawab budhe Grace-nya yang bersandar di headboard tempat tidur sambil membolak-balik album foto dengan tatapan sumringah.
“Seneng bener, budhe… Liatin foto siapa?” tanyanya sambil membawakan segelas air hangat untuk sang budhe.
“Liat foto Bobi, loh… Gagah bener-loh cah bagus-ku pakai kemeja begini… Ini waktu kita tamasya ke kebun binatang Gembira Loka di Jogya itu-loh, Mir… Ada foto kamu berdua nih dengan Bobi di depan kandang badak…” tunjuknya pada susunan foto-foto jadul yang masih terpelihara gambar dan kejernihannya. “Bobi barusan tadi tertawa-loh melihat foto ini…”
Amira hanya tersenyum saja mendengar ocehan wanita tua yang sangat merindukan anaknya itu. Ia sering membayangkan bertemu dengan Bobi dan bercengkrama tentang banyak hal di rumah ini. Amira hanya memaklumi saja semua khayalan budhe Grace agar hari-harinya tenang dan menyenangkan, penuh memori yang indah. Setidaknya ia tidak merasakan sakit. Bahkan ia mengatakan baru saja bertemu Bobi dan menunjukkan foto-foto lama ini.
“Gimana tawaran budhe waktu itu? Lebih baik kamu sama Bobi saja… Bobi anak yang baik-loh… Walaupun kalian sepupu… Tapi ya gak apa-apa, toh?” bahkan sang budhe sering menjodoh-jodohkan dirinya dengan Bobi.
“Waduuh… Budhe iki… Piye, toh? Takutnya Bobi-nya yang malah gak mau karo aku… He he he…” Amira ikut saja apapun yang dikatakan perempuan tua itu. Apapun agar dirinya senang. Budhe Grace terus nyerocos dan terus saja diladeni Amira. Dirinya terus dijodoh-jodohkan dengan anak semata wayangnya yang sudah berbelas tahun lalu menghadap Yang Kuasa. Disabar-sabarkan terus dirinya.
“Krieeet…”
“Nah… Dengar, kan?” budhe Grace menunjuk ke atas. Tepat di atas kamar perempuan tua ini adalah kamar Bobi yang tetap dipertahankan seperti apa adanya sejak dulu. Dibersihkan dan ditata tetap begitu, tidak dirombak dan tidak direnovasi sesuai perkembangan zaman. Amira mengernyitkan keningnya, ia dengar dengan jelas ada suara yang berderit dari lantai atas. Seperti suara digesernya kursi kayu yang bergesekan dengan ubin lantai. Itu kursi belajar milik Bobi. Bagaimana mungkin bisa bersuara sejelas itu kalau tidak ada yang menggerakkan?
“Temuilah Bobi… Dia masih ada di atas… Buruan sebelum dia pergi lagi, nduk…” desak budhe Grace mendorong Amira untuk beranjak ke lantai atas. Amira tentu saja penasaran. Ia tentu bukan mengharapkan bertemu Bobi Putranto, sepupu lelakinya yang telah meninggal dunia, ia khawatir ada maling atau apa gitu yang memasuki kamar mendiang Bobi. Budhe Grace sempat-sempatnya mengacungkan kedua jempolnya ke arah Amira untuk lanjut.
Amira menggeleng-geleng walau menyiagakan dirinya menenteng sebuah sapu yang akan digunakannya sebagai senjata bila benar-benar ada maling yang menerobos masuk. Bila itu benar-benar terjadi, ia sudah bersiap akan langsung mengunci kamar itu dari luar, biar sang maling kelimpungan mencari jalan keluar karena semua jendela berteralis kuat.
“Siapa di dalam?!” Amira berseru melakukan efek kejut agar siapapun yang tak berhak di dalam kamar itu terkaget diteriaki demikian begitu ia membuka pintu setengah terbuka. Amira tak menemukan sosok yang melompat kaget. Sosok tubuh pria yang ditemukannya berdiri di depan lemari kaca sedang mengamati beberapa mainan antik yang ada di dalamnya. Berpaling dan tersenyum padanya. “Ya Tuhan…”
“Apa kabar, Amira?”
“Bobi??” ia langsung menutup mulutnya tak percaya kalau sosok pria yang ada di depannya ini benar-benar Bobi. Tapi bagaimana mungkin? Bukankah tubuh Bobi masih terbujur kaku di dalam peti matinya di pemakaman yang ada tak jauh dari rumah ini. Amira melihat sendiri bagaimana tubuh Bobi dimasukkan ke dalam peti itu. Ia juga sempat menangisi sepupunya itu belasan tahun lalu. Cinta pertamanya sejak masih kecil, sejak ia mengenal perbedaan anak laki-laki dan perempuan. Ketiadaan Bobi juga menjadi menjadi sebab rumah tangga yang coba dibinanya bersama seorang pria menjadi hambar. Bayang-bayang Bobi yang selalu menghantuinya. Bahkan sampai hari ini, sore ini. Muncul begitu saja secara nyata di hadapannya.
“Iyaa… Ini aku Bobi, Amira… Ini bukan mimpi… Ini aku…”
“Tidak-tidak… Bobi sudah meninggal… Aku-aku ketularan budhe Grace… Ini tidak nyata… Kau sudah meninggal lama sekali Bobi… Ini hanya delusi-ku saja… Pikiranku menipu diriku karena terlalu memikirkan dirimu… Ini tidak nyata…” Amira terus menyangkal penampakan Bobi yang terlalu tiba-tiba ini hingga ia tidak siap. Siapa yang bakal siap mendapatkan kejutan sebesar ini?
“Ini beneran aku Bobi, Mir… Aku membawakanmu makanan kegemaran kita berdua… Pecel lele… Kau masih suka pecel lele Yu Nanik di gang tengah, kan?” Bobi mengangkat satu kantung kresek berisi dua bungkus pecel lele. “Terasinya langsung dari Kanci Cirebon… Mantab banget-loh ini… Aku dari tadi menunggumu pulang… untuk memakan ini bareng-bareng…” Amira berdiri di sana dengan ekspresi yang campur aduk. Tak terasa air mata meleleh di pipinya-kedua pipinya. Bibirnya bergetar hendak mengeluarkan suara.
“Tidak mungkin…” suara yang keluar sangat lirih.
“Maaf kalau Bobi terlalu lama hilang sewaktu di Medan dulu…” diturunkannya acungan plastik berisi dua bungkus pecel lele itu. “Bobi bertemu Fatima palsu di sana… yang mengalihkan perhatianku sekejab… Membuatku lupa akan Fatima sejati yang selalu menungguku dengan setia di sini… Maafkan, Bobi… Fatima-ku…” ia mengacungkan tangannya ke bawah, minta diraih. Minta dicintai.
Setelah itu tak ada keraguan di diri Amira lagi. Ia berlari dengan cepat menyongsong Bobi tak perduli apapun lagi. Derai air mata mengiringi pertemuan mereka kembali dalam pelukan hangat setelah beku belasan tahun lamanya. Amira memeluk erat tubuh Bobi yang terasa sangat hidup baginya. Tak ada keraguan lagi kalau Bobi masih hidup. Ia bisa merasakan hangat tubuhnya, hembusan nafasnya, deguban jantungnya, dan rasa yang kembali pelan-pelan mengisi angannya kembali bersemi.
—–oo0O0oo—–
Kenapa jadi terdengar cheesy gini ya kisah hidup Lord Purgatory setelah menjadi manusia? Sebelum-sebelumnya noir dan dark sekali kehidupannya di kelilingi berbagai mahluk ghaib kegelapan yang patuh akan semua perintah-perintahnya. Nyawa tercabut dan darah tertumpah tak diperdulikannya. Ternyata goal-nya adalah bisa menikmati pecel lele dan menemui sang Fatima sejatinya; bernama Amira.
“Kamu gak tau betapa kangen aku, Bob…”
“Bobi gak tau… Mmhh…”
“Aku aku kanget bangeeett…”
“Bobi juga samaaa…”
“Jangan tinggalin aku lagiii~~! Jangann!!”
“Tidak akan…”
“Mmmahh…”
“Clek clek clek…” suara kelamin bergesekan basah terdengar syahdu. Gesekannya terjadi perlahan-lahan saja penuh perasaan. Dinikmati secara perlahan-lahan ditandai dengan menempelnya sekujur tubuh polos tak berbusana dengan eratnya. Saling rengkuh, remas, menuntut kenikmatan, mencari pelampiasan, meminta kasih.
“Ooaahh… Bobbb… Uuhh… Mmmm… Sayaanng…” mulut keduanya saling pagut berpilin saling melepas rindu. Amira tak memperdulikan lagi. Dianggapnya Bobi hanya sekedar menghilang saja selama ini gak pulang-pulang, menafikan keadaan sebenarnya. Begitu juga dengan Lord Purgatory yang ada di daam tubuh Bobi, ia ikut tenggelam dalam pekat harum kenikmatan dendam birahi yang selama ini dipendamnya saat di wujud arc form core-nya. Tak ada yang lebih ditujunya saat ini selain Amira.
Amira semata.
“Amiiraahh… Mirahh… Uuhh…” erang Bobi mulai berdentum-dentum diatas tubuh Amira. Keduanya saling berpacu birahi bersama-sama. Peluh menitik di sekujur tubuh merajut kenangan dan keinginan. Apa yang selama ini hilang telah kembali. Bobi menciumi pipi halus perempuan itu sembari terus menggenjotnya. Tubuhnya terasa sangat panas dan nyaman sekaligus. Tak pernah ia merasakan sensasi ini sebelumnya. Ia hanya pernah membaca semua hasrat ini ataupun sekedar menyaksikannya. Ia bisa sangat terbiasa dengan ini semua.
Makanya semua yang telah dipengaruhinya begitu tergila-gila pada seks. Ulang dan diulangi lagi berkali-kali dengan segala paradigmanya. Ia paham sekarang begitu berada di tubuh Bobi yang merasakan semuanya secara langsung.
“Bobbiii… Uhh… Akhirrrnyaa… akhirrnnya kita bersamaaa… Uuhh… Aauhh… Teruss, Bobii… Teruusss… Tubuhkuu hanyaa untukmuuhhh…” Amira membiarkan Bobi melakukan apapun yang ia mau atas tubuhnya. Digenjot-genjot dengan ganas. Ditusuk-tusuk dengan kemaluan mengeras seperti tonggak kayu.
“Amiirraaa… Aaahhh… Fatimaaa-kuuhhh…” Bobi juga meraung-raung menikmati kebersamaannya dengan sang pujaan hatinya ini. Tubuh keduanya berguncang-guncang di atas ranjang yang sudah lama tak ditiduri ini. Kusut masai oleh pergelutan liar keduanya dalam melepas rindu. Setelah lama terpisah, ada banyak kata yang harusnya diucapkan, semuanya dijawab dengan persatuan badaniah yang liar. Bobi meremas-remas payudara perempuan itu seirama sodokan yang dilakukannya pada vagina janda tanpa anak ini.
Sang wanita merangkulkan kakinya, mengunci sang pujaan hatinya agar tetap rapat dengan dirinya, merasakan seluruh jiwa raga mereka bersatu padu dalam jalinan satu perasaan yang sama. Rindu yang sama. Berkali-kali mulut keduanya berpagutan, saling kulum, saling hisap. Berdecap-decap mengkomunikasikan rasa rindu dendam yang setara. Peluh telah menitik berbekas di tubuh dan mengecap di kain ranjang.
“Bobii… Bobiii… Mau keluarrrhh… Maauu…”
“Barengan, Mirrr…”
Keduanya menggerutu nikmat bersamaan saat melepaskan puncak orgasme persetubuhan yang akhirnya terwujud juga setelah sekian lama terpisahkan oleh waktu dan alam. Semua hasrat dilepaskan selepas-lepasnya. Semuanya puas semuanya bahagia.
—–oo0O0oo—–
Berdecap-decap mulut keduanya kembali antara kepedasan dan sayang melewatkan rasa. Bukan, keduanya tidak lagi saling berpacu birahi. Keduanya sedang asik menikmati pecel lele yang tadi dibawa Bobi. Duduk lesehan di atas lantai menjilati jari sisa sambel terasi yang katanya asli dari desa Kanci Cirebon. Pemrosesan terasinya masih menggunakan metode tradisional yang sama seperti ratusan tahun lalu, hanya ditumbuk di lumpang dan alu—murni kegigihan dan keuletan para pengrajinnya.
“Kamu masih ingat aja dengan pecel lele Yu Nanik… Datang-datang langsung bawa pecel lele…” ujarnya habis menjilati jarinya dari sisa sambel.
“Yang kutau cuma Fatima-ku dan pecel lele ini… Pernah nyobain pecel lele lain… tak kurang sreg dengan terasinya… Kalau orang Medan nyebutnya belacan…” Bobi melakukan hal yang sama, menjilati jarinya. Nasi di bungkusan miliknya sudah tandas tak bersisa sampai remahpun tak ada. Amira tersenyum melihat itu semua.
“Jadi urutannya gak kewalik (terbalik), kan?” goda Amira.
“Tentu… Amira yang pertama… dan pecel lele Yu Nanik di gang Tengah… Ora Yu Nanik-nya loh… Pecel lele-nya saja…” dibungkusnya kembali sisa bungkus makanannya bersama milik Amira untuk nanti dibuang. “Makanya yang kusentuh dahulu adalah Amira… lalu ini…”
Amira tertawa tanpa suara malu-malu. Sehabis bercinta barusan, mereka melanjutkan sesi temu kangen mereka dengan menyantap makanan kesukaan mereka dengan lahap. Sepertinya setelah mengisi tenaga, mereka akan melanjutkan lagi ronde pertama tadi.
“Kamu masih ayu seperti dulu, Amira…”
“Makasih, Bob… Kamu malah terlihat lebih muda…” keduanya saling memuji. “Seperti masih dua puluhan gitu-loh…” keduanya lalu beringsut mendekat dan bersandar di pinggiran ranjang, masih lesehan di lantai kamar. “Kamu kemana aja selama ini, Bobi? Siapa yang kami tangisi dan kubur waktu itu?”
“Tidak usah dipikirkan hal itu… Yang penting aku sudah kembali… Bobi udah ketemu mama… Bobi udah minta maaf karena sudah membuatnya jadi begitu… Yang sering dibicarakannya malah Amira… Mbak sepupuku yang cantik ini… Bobi dengar pernikahanmu gagal di tengah jalan, yaa?” goda pria itu sambil mengelus-elus rambutnya.
“Heh… Gara-gara siapa coba? Gara-gara orang yang hilang entah kemana… Pulang-pulang malah jadi mayat… Siapa yang gak sedih coba?” jawab Amira malah menjadikan kegagalannya sebagai candaan. Hatinya saat ini sedang memasuki musim berbunga yang sangat indah sekali. “Budhe itu-loh sering banget ngejodohin kita terus… Lha padahal anaknya itu sudah ditanam di pemakaman gitu, og…”
“Muaah… Yang penting Bobi Putranto sudah kembali, kan?” dikecupnya ubun-ubun wanita itu dengan penuh sayang. Menghapus semua derita dengan sukacita. “Gimana kalau… merayakan kepulanganku ini, kita jalan-jalan… Tamasya gitu-loh… Seperti yang sering kita lakukan dulu… Kita ajak mama sekalian… Mama pasti suka… Gimana?”
Amira tersenyum manis dan mengangguk setuju.
——————————————————————–
“Yakin, bu Roro? Saya ini gak punya banyak harta seperti ibu Roro, loh… Gak sepadan…”
“Yakin, dong abang ganteng… Apalagi saya kan janda… Tidak ada yang menghalangi saya, kan?” kata perempuan cantik yang malah jatuh ke pelukan Aseng tak lama mereka deal atas transaksi jual beli batu mulia tadi. Roro barusan selesai digarap Aseng sekali dan memeluk erat lengannya, pasrah dalam pesona durjana yang baru saja menemukan sisi kepribadian terbarunya ini.
“Tapi saya punya istri, bu Roro…”
“Kok panggil ibu-ibu terus, sih bang Aseng… Panggil sayang aja gituu~~… Mentang-mentang Roro udah tua begini, yaa? Jadi lebih pantas disebut ibu-ibu?” sepertinya sang wanita itu sudah kesengsem berat pada Aseng hingga rela bermanja-manja begitu. Mungkin setelah merasakan kedahsyatan permainan ranjang pejantan itu, sesuatu lumer di dalam hatinya.
“Maaf, Roro… Bukan itu maksudnya… Tapi saya punya istri, Roro…” diperbaikinya ucapannya.
“Halah… Istri-istri terus… Ada berapa banyak sih lelaki di luar sana yang ngelapor punya istri lagi?… Abang sayang tidak perlu membiayai hidupku dan anak-anakku… Roro sendiri sudah lebih dari berkecukupan untuk semua… Apalagi blue diamond tadi bisa membiayai anak-anak kita nantinya hingga tujuh turunan kalau perlu… Roro hanya mau… hanya ingin bersama dengan abangku sayang yang paling perkasa ini…” Roro mengutarakan semua keinginannya yang terparipurna.
“Jadi~~ Ayank beib gak usah ngelapor sama istri ayank kalau punya istri lain yang secantik Roro ini… Gituu~~ Mesti diajarin, nih ayank beib…”
“Tapi harus nikah?”
“Ya, iya dong, beib… Supaya semuanya afdhol dan barokah harus diresmikan… Walaupun cuma siri… Roro rela, kok cuma nikah siri… Asal itu ayank beib Aseng prianya… Yang paling perkasa… Yang paling jantan… Dan yang paling ganteng… Hi hi hihi…” ia mencubit pipi Aseng dengan genit. Tangannya yang satu lagi menelusup masuk ke dalam selimut hotel dan meremas junior pria itu yang menggeliat bangun.
“Itu akan menimbulkan masalah, Roro…”
“Masalah apa sih, ayank beib? Kalau perlu kita menikah jauh-jauh dari Medan… Katakan pada istri ayank kalau ada bisnis di luar kota, kita menikah di sana… Gimana mungkin dia bisa tau, kan?” Roro tentu tak tahu apapun tentang keadaan Aseng sebenarnya. Apa dirinya dan apa perjanjian yang telah dibuatnya untuk meyakinkan istrinya mau menikah? Aseng sudah sering mendapat opsi ini sebelumnya dari Vivi dan sudah berhasil menghindarinya berulang kali. Pilihannya tentu hanya berselingkuh saja tanpa menggunakan hati atau perasaan dan tak ada kata ‘menikah’.
“Itu pilihannya antara aku yang mati ato dia…”
Bersambung