Part #100 : Roro akan berikan semua milik Roro

“Itu pilihannya antara aku yang mati ato dia…” itu kalimat yang keluar dari Nasrul alias Aseng alias baginda raja kerajaan Mahkota Merah ini pada Roro. Tentu aja pernyataan itu mengejutkan perempuan yang sangat ngebet dinikahi Aseng walau hanya sekedar nikah siri rahasia saja.

Roro

“Kenapa harus ada mati-matinya, yank? Kan tinggal umpetin semuanya rapat-rapat… Kalau perlu kita sembunyi-sembunyi aja ketemunya… Roro rela, kok…” tentu masih bingung perempuan kaya raya ini.

“Terlebih dahulu… kamu harus tau siapa saya dan bagaimana hidup saya berjalan… Secara umum saja bisa dikatakan saya ini bukan orang biasa-biasa aja… Katakanlah pendekar gitu…” di tangan kanannya, ia mengeluarkan bilah senjata tajam mandau Panglima Burung itu. Tentu kaget melotot Roro melihat benda sepanjang itu muncul begitu saja di tangan Aseng. “Ada banyak hal yang terjadi di dalam hidup saya… Termasuk perkataan dan sumpah… Mengenai sumpah… ada hukuman yang akan menimpa jika saya berani-berani melanggarnya…”

Sampai disitu, Roro sepertinya mulai menangkap apa yang dimaksud pria ini. Ia seorang pelaku usaha dengan berbagai bidang yang tentunya sudah bertemu berbagai macam orang dan kepribadian yang bermacam ragam juga. Sekali waktu, ia pasti akan bersinggungan dengan hal-hal semacam ini. Ia merasa ia harus mendengar keseluruhan ceritanya dengan jelas.

“Saat akan menikahinya dulu… saya pernah bersumpah hanya ada dia di dalam hidupku… Dan ditegaskannya kalau hanya dia yang menjadi istri saya… Jadi makanya… kalo saya berani-berani melanggar sumpah ini… akan ada hukuman fatal yang menimpa saya… Suka tidak suka… itulah kenyataannya…”

Roro terdiam. Roro berhitung. Roro bukan perempuan yang bodoh tentunya. Tentunya ia tak sembarangan menetapkan hatinya seperti saat ini. Roro ngebet banget pengen mengikat Aseng dengan tali pernikahan yang selemah ikatan siri ini tentunya karena ia yakin kalau akan masih ada lagi batu-batu berharga lainnya yang akan menyusul setelah blue diamond 50 karat tadi. Ia bahkan merelakan tubuhnya dijamah habis-habisan oleh pria yang baru ditemuinya beberapa jam ini. Tanpa caps lagi.

Roro tak tahu, bualan macam apa yang sedang keluar dari pejantan kuat bertubuh kekar yang sudah membuatnya orgasme berkali-kali hingga akhirnya ejakulasi banyak sekali di dalam tubuhnya. Sumpah mati yang sesungguhnya. Kalau sang pria ini melanggar sumpahnya, pria ini akan mati. Apa gunanya kalau dia sudah mati bagi Roro. Aseng hanya berguna jika dia hidup. Dengan begitu, ia akan membawakan batu-batu berharga itu lagi. Dan jika beruntung, Roro akan mengetahui sumber benda berharga itu berasal.

“Sumpah seperti itu betul-betul ada?” hati-hati Roro menanyakannya. Khawatir sang pria akan tersinggung bualannya terdengar bullshit.

“Di duniaku itu mutlak… karena harus ada yang menjaga integritas kami… Baru-baru ini ada kenalanku yang tewas kecelakan akibat melanggar perjanjiannya denganku… Baru beberapa hari yang lalu saja… Saya tidak heran kejadiannya begitu karena memang begitulah keadaannya…” jelas Aseng tak begitu rinci agar ia juga tak melanggar perjanjiannya dengan Julio dan Amei. Julio tewas karena berani mengumbar hubungan ganjil ia, istrinya dan Aseng di ranjang yang berbuah kehamilan Amei.

“Dunia pendekar-pendekar ini… apa maen bunuh-bunuhan gitu?” lirik Roro pada mandau yang masih dipegang Aseng di tangan kanannya.

“Kalo perlu… ya… Sudah banyak yang mati di tanganku juga… Ada juga yang hanya disadarkan…” jawab Aseng taktis.

“Disadarkan? Seperti tobat dari kejahatannya?” tanya Roro yang dijawab Aseng dengan senyum yang tak tulus. Entah apa yang akan Aseng lakukan di keadaannya seperti sekarang ini mengingat sisi dirinya sebagai Menggala. Aseng ada di sisi kegelapan. Seperti kondisi gelap yang ada di daerah kekuasaannya saat ini, jauh dari dua sahabat Ribak Sude-nya, dan semakin tenggelam dalam kegelapan hatinya.

“Jadi… Roro… Maaf… saya tak bisa menikah denganmu…”

“Roro akan berikan semua milik Roro pada ayank beib… Semua-muanya… Asal ayank beib mau menikahi Roro… Pleeeease, yank…?” rayu Roro dengan dekapan erat. Ia merasakan sensasi yang berbeda dari pandangan seorang pendekar Menggala kegelapan yang membuatnya merinding penasaran. Hingga rela menyerahkan semua harta benda bahkan jiwa raganya. Ia bahkan tak mengerti, mengapa ia jadi begini submisif pada pria yang hampir bangkut dari kekayaan yang tak ada seujung kuku miliknya ini.

Mata mereka bertatapan erat. Seerat dekapan yang mereka lakukan. Well… hanya Roro yang mendekap penuh pengharapan agar proposalnya disetujui. Proposal untuk dinikahi siri saja. Kalau ini disetujui, ia rela menukarkan semua-mua yang dimilikinya pada sang pria pujaan hati. Ia begitu tergila-gila pada pria yang baru dikenalnya ini. Ini cinta yang gila.

Banyak sekali pria-pria yang setara dengan dirinya ataupun yang lebih lagi darinya berusaha mendekati dan memiliki. Tapi semuanya hanya dianggap angin lalu. Tak ada yang menarik perhatiannya. Ia tak butuh itu semua. Ia sudah mendapat apa yang dibutuhkannya hingga semua yang ia mau bisa ia dapatkan sendiri. Jadi kenapa harus memerlukan seorang pria untuk memberikan dan membelikan semua hal itu? Jika ia membutuhkan kehangatan pria di ranjangnya, ia bisa memilih dan membayar apa yang disenanginya. Selesai dan pergi.

Sudah kembalikah ‘luck’ Aseng? Kenapa ia bisa mendapatkan jackpot semeriah ini?

Tanpa diminta, Roro membeberkan kepemilikannya atas beberapa jenis usaha dan property yang ia miliki juga pimpin. Roro punya beberapa usaha tambang batubara di beberapa pulau, usaha jual beli batu mulia yang mempertemukan keduanya lewat Suhendra, beberapa unit gedung perkantoran dan apartemen hingga showroom mobil import. Saat ini sedang menjajaki masuk partai besar agar memuluskan jalannya ke kursi dewan saat pemilu nanti.

“Lalu kenapa… seorang Roro dengan banyak kelebihan sebanyak itu… mau-maunya jatuh ke pelukanku yang gak seberapa ini?… Kalo orang Medan bilang ya, Roo… Awak ini apalah…” sempat-sempatnya Aseng menggunakan frasa itu untuk mengulur waktu. Hanya saja saat itu, payudara yang menempel penyet di dada bidangnya, diremas-remas juga. “Gak worth it gitu…”

“Ayank beib pantas untuk ini semua… Tau gak~~? Roro mendadak jatuh cinta sama ayank beib…”

Meledak tawa Aseng mendengar pengakuan gila janda kaya ini. “Haak haak haak ha haa haa haahaa… Huuuhh…” dan diakhiri dengan helaan nafas. “Mendadak jatuh cinta, ya? Itu terlalu luar biasa, Roro… Terlalu luar biasa untuk jadi kenyataan… Itu lelucon yang bagus, Roro…” wajah Aseng berubah datar setelah tadi tertawa terbahak-bahak.

“Ihh~~… Beneran loh, yank beib. Masa becanda, sih?… Suer beneran… Apa semua yang Roro berikan pada ayank beib itu bisa dibilang bercanda? Terlalu mahal untuk harga sebuah lelucon, dong…” Roro gemes mendapati tanggapan yang kurang yakin dari sang pujaan hati yang telah menancapkan panah asmara beracun karat mendadak ini. Digoyang-goyangkannya dekapan tubuhnya. Ia bisa merasakan tonjolan junior Aseng di bawah dadanya, menggeliat karena terkungkung.

“Lebih baik tidak Roro… Cukup begini saja hubungan kita dan saya juga tak menginginkan yang banyak-banyak… Cukup agar apa yang ada sekarang tidak hilang… Itu sudah cukup… Saat sekarang ini adalah bonusnya…” kata Aseng makin menambah debar-debar beracun yang semakin membuat Roro lebih ingin memiliki Aseng sepenuhnya. Dipeganginya bahu Roro agar sedikit menjauh. Didekap erat begini plus gerakan erotis sang perempuan elegan dengan make-up mahal ini membuat junior-nya menuntut yang lebih dari sekedar sekali ejakulasi. Aseng mengaku, ia hanya perlu menyelamatkan apa yang ia ia miliki saat ini dari hilang selama-lamanya. Harta benda pemberian ajo Mansur yang terancam disita pihak bank harus ia selamatkan. Sejauh ini ia sudah menghimpun dana 25 miliar hasil penjualan blue diamond kepada Roro. Cukuplah itu semua. Dan masih ada sisanya untuk keperluan lain.

“Ayank beib~~… Apa karena Roro lebih berumur dari ayank beib, ya~~? Jadinya ayank ogah sama Roro? Iya, ya~~?” manjanya terus mempergunakan kemolekan tubuhnya yang telah mengeluarkan ratusan juta mungkin miliaran rupiah perawatan agar tetap prima seperti ini. Perawatannya sesuai dengan hasil didapatkan. Di umur akhir 30-annya masih seperti 20-an. Apalagi rasa onderdil vitalnya yang sudah sempat dicicipi Aseng sebelumnya.

Aseng mendengus karena junior-nya melejit keras dan menusuk payudara perempuan cantik paripurna ini. Beberapa kali koreksi posisi yang dilakukan Roro, junior yang sudah sempat menjejali dirinya sudah berada di antara lembah kenyal berukuran masif itu. Roro menjepitkan susunya yang bebas tak bertutup, membekap erat daging gemuk yang meradang merah penuh urat kasar. Roro dapat tahu birahi lelaki ini memuncak lagi dari nafasnya. Ditatapnya dengan genit lelaki bugil di himpitan tubuhnya itu supaya lebih masuk dalam pengaruhnya. Menyetujui proposalnya.

“Bukan itu, Roro… Roro sangat cantik dan seksi… Bahkan tampak jauh lebih menarik dari ABG sekalipun saat ini…” Aseng berhenti karena rasa nyaman yang melenakan saat junior-nya dikocok-kocok di belahan dada perempuan telanjang yang sebagian punggungnya tertutup selimut. Plung… Kepala junior-nya nongal di puncak belahan itu. Megap mencari udara segar. Tak ada udara segar dimanapun di kamar hotel elit ini. Hanya ada udara penuh birahi saat ini. Nafsu yang memenuhi segalanya.

Dipuji seperti itu Roro merasa senang. Dipuji oleh pujaan hatinya saat ini. Rasanya benar-benar seperti anak perawan lagi rasanya saat merasakan cinta pertama. Dipuji oleh sang kekasih hati. Maka dari itu rela menyerahkan segala-galanya. Apapun yang ia punya, ia serahkan. Harta juga jiwa dan raga bila perlu.

“… Hanya saja… Uuhhh… Enaak, Roro~~” perempuan itu beringsut memundurkan tatapannya dan mencaplok kepala junior Aseng yang mencuat dari belahan dadanya yang montok menjepit. Kepala penis itu segera menjadi mainan lidah dan mulutnya. Mendadak basah dan terasa precum yang menitik dari lubang di ujung kepala junior. Roro menyukainya—apapun itu. Semua dari pria pujaan hatinya ini ia suka.

Cinta membutakan segalanya.

Kepala perempuan yang tadinya berpenampilan elegan itu kini tak lebih dari seorang pelacur binal. Kepalanya mengangguk-angguk cepat mengopyok penis Aseng dengan mulutnya. Tangannya juga ikut membantu mengocok batang penis dan memijat biji pelirnya dengan mesra. Aseng hanya bisa menikmati dan mengacak-acak tatanan rambut perempuan itu, membuatnya berantakan bak dihantam badai. Tapi Roro tak perduli. Kesenangan pujaan hati yang utama. Apalah itu semua demi rasa cintanya.

Apakah sekarang Aseng punya semacam pengasihan atau semacamnya gitu, sih? Kenapa wanita sematang dan sedewasa Roro ini begitu mudah jatuh ke dalam cheesy-nya cinta yang membuai angan-angan hingga memabukkan? Hingga melupakan segala-galanya. Dan Aseng sepertinya menikmati sekali semua yang menimpanya ini. Terlalu banyak pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban pasti. Hanya saja, Aseng yang baru ini terlalu banyak menyimpan misteri sekaligus. (*bahkan Narator hanya sesekali bisa meng-hack nurani Aseng untuk mengetahui jalan fikir sang baginda raja Mahkota Merah)

Dengan junior basah oleh liur Roro, dikitarinya perempuan yang mabuk dalam rasa cintanya yang berapi-api, hingga tepat berada di belakangnya. Disibaknya selimut hotel yang tadi menutupi bagian belakang tubuh sang milioner betina ini. Dirabanya sebentar belahan selangkangan yang menungging mencuat itu. Ternyata sudah cukup basah untuk segera dicoblos lagi. Tanpa kesusahan, Aseng mengarahkan junior-nya kembali untuk masuk. Merintih-rintih sang betina saat gesekan-gesekan dilakukan Aseng ke belahan vaginanya.

“Aaaahhh… Yaankk… Uhhh… Enaakk bangeett, yaankk…” sekali sodok, Aseng melesakkan junior-nya sedapatnya masuk. Hanya setengah batang berotot itu masuk ke liang sempit penuh perawatan prima itu. Seperti memasuki liang sempit mama muda satu anak saja laiknya. Padahal janda kaya raya ini sudah punya anak empat. Yang sulung malah sudah di bangku SMA dan yang bungsu sudah kelas 2 SD. Aseng tanpa ragu terus menggasak janda cantik yang sedang tergila-gila padanya ini sampai minta dinikahi segala. Tangannya mencengkram erat pinggul Roro dan menghantamkan perutnya cepat berulang-ulang. Junior Aseng bekerja keras untuk mengentaskan birahinya kembali pada betina penuh cinta ini.

Beberapa menit menggenjot, Aseng membalik tubuh montok itu dan menggagahinya dari posisi konvensional, gaya misionaris katanya. Disodok dari sudut mana saja, Roro tetap menawan dan menggairahkan karena penampilannya prima dan memukau. Kulit halus-mulus, payudara besar, wajah cantik rupawan, pun lagi banyak hartanya.

Aseng selama menggagahi betina haus cinta ini sepertinya sangat fokus menikmati. Sebenarnya sedang berfikir. Makanya, durasi Aseng jadi jauh lebih panjang dari pada seharusnya. Ketahanan Aseng yang diakuinya sekitar 15-20 menit itu sudah lewat dari tadi. Dibolak-baliknya tubuh bugil menggemaskan Roro beberapa posisi tetapi tak kunjung ejakulasi. Padahal Roro sudah berkali-kali menjerit histeris orgasme yang membuatnya tubuhnya lemas. Hanya sebagai eja-wantah bukti cintanya, ia meladeni semua nafsu birahi sang pujaan hati.

Naahh… Narator kembali mendapat sekilas nurani Aseng. Sekilas aja… Mungkin karena sedang terlepas sebab rasa nikmat ini. Tapi ini mengerikan, man-teman. Sumpah mengerikan. Semoga saja itu cuma ide. Tidak akan dilakukan. Tidak akan benar-benar dilakukan menjadi nyata. Cukup sudah kegilaan Aseng di masa gelapnya ini. Semoga ini cuma sementara.

“Pffaaahhh… Aahh… Ahhh… Akh!” Aseng melepaskan semuanya dalam beberapa kali semburan sperma yang terjamin kesuburannya. Tubuh Roro melejit-lejit terlontar merasakan orgasme kembali bersamaan dengan pujaan hati. Bersamaan mereka orgasme yang berujung pada pelukan erat dan pagutan mulut yang mesra. Bahagia sekali rasanya Roro yang merasakan kalau cintanya sepertinya berbalas. Ia merasakan kalau Aseng berniat memenuhi keinginannya.

“Bahagia banget~~~ ayank beib… Huh huh huhh…” bisiknya masih ditindih Aseng. Tak diperdulikannya sperma kental itu mengalir menetes dari dalam kemaluannya. Biar saja jadi anak yang akan jadi bukti cinta kasih mereka berdua. Menjadi tempat pembuangan pejuh saja sudah menjadi kesenangan, kegembiraan tersendiri di hatinya, apalagi kalau sampai dipercaya mengandung anak darinya. Hatinya semakin berbuncah berbunga-bunga. Dunia ini semakin indah rasanya.

Aseng sembarangan aja melepas junior-nya dari vagina sang perempuan cantik di bawahnya. Beringsut ia menyodorkan junior-nya ke arah mulut Roro, memintanya untuk membersihkannya. Bergidik-gidik ia merasakan after-taste kenikmatan ejakulasi, masa nikmat yang tersisa di glans pria sehabis ejakulasi. Rajin dan patuh Roro menggelomoh, membersihkan, menjilat-jilat sekujur batang kemaluan sang kekasih hati hingga bersih kembali, berkilauan hanya oleh liur mengkilapnya. Ditelannya semua sperma Aseng sebagai bagian ketulusan hatinya bagi sang pria.

Pria itu membaringkan dirinya lagi ke samping Roro, menarik selimut kembali agar mereka terbungkus hangat. Roro menatap penuh cinta dan takjub akan begitu indah dan perkasanya pria yang mendadak dicintainya ini. Sementara Aseng menatap pola yang ada di langit-langit kamar hotel. Sepertinya Aseng tengah mengilustrasikan rencana-rencana selanjutnya. Semoga rencananya yang tadi tidak termasuk di dalamnya. Roro mengecup-ngecup pipi dan rahang Aseng. Tangannya mengelus-elus dada bidang pria-nya lalu turun…

“Aku akan menikahimu…” lirik sedikit dari posisi wajah Aseng.

Bukan main senangnya hati Roro mendengar ucapan barusan. Ia melonjak dan menciumi bibir Aseng penuh cinta. Seperti gayung bersambut. Cintanya sepertinya tak sia-sia. Semua kerja kerasnya bertahun-tahun ini dalam bentuk harta benda dan prestasi tak ada dapat dibandingkan dengan momen ini.

“Tapi aku butuh waktu…”

Wah… Aseng sudah mulai pakai aku-aku, nih. Tadinya ia masih pakai saya-saya ke Roro. Ia ingin menunjukkan keseriusannya dari pilihan katanya.

“Roro akan tunggu… Roro akan menunggu ayank beib… Hi hihihihihi… Ayank beib paling ganteeeeeng seduniaaaa pokoknya…” balik ia yang menindih tubuh Aseng dan menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi. Pipi, bibir, kening, hidung, mata semuanya tak ada yang luput dari serangan mulutnya. Buncahan rasa gembira digambarkannya dengan ciuman ini. Gerakan-gerakan tubuhnya juga bermaksud memancing sang pejantan untuk kembali bergairah menggauli tubuhnya. Gerakan erotis bagian bawah tubuhnya membuat geliat junior ganas itu kembali bangkit greng kembali. Mematuk-matuk menyengat bagian bokong Roro. Siap untuk melesak masuk lagi.

Nasrul alias Aseng dari kecil hingga dewasa bukanlah orang berada. Pas-pasan kalau boleh dibilang tidak kekurangan. Ayahnya hanya seorang pemilik kedai kopi sederhana dengan kios papan lapuk yang berwarna kehitaman penuh jelaga debu pasar di seputaran pasar Simpang Limun, Medan. Tak tepat juga disebut kios karena itu hanya warung sederhana di atas parit di pinggir jalan dengan susunan kayu dan papan dimana sehari-hari orang tua Aseng berjualan kopi, teh manis dan berbagai pengganan lain. Warung ini juga menjadi base camp tak resmi Ribak Sude di kala senggang.

Masa kecil sederhana hingga remaja. Hanya sederhana, cukup makan itu artinya sudah mewah dan bisa bersekolah hingga SMA karena semuanya di sekolah negeri yang minim biaya. Hal-hal mewah yang sempat dikecapnya itupun karena ikut kecipratan bergaul dengan Bobi Putranto yang jauh lebih berada dibanding tiga anggota Ribak Sude lainnya. Tau itu apa namanya video game, belajar mengendarai mobil, merasakan sejuknya AC, bisa merasakan makanan lezat orang kaya dan hal-hal semacam itu.

Mulai bekerja memasuki dunia industri-pun harus merangkak dari dasar sekali. Nol sebagai buruh kasar. Kebaikan seseorang bernama kak Sandra yang membuat hidupnya membaik hingga berani melamar gadis pujaannya hingga sekarang punya anak dua. Cobaan berat mulai dilancarkan Lord Purgatory hingga pelan-pelan ia mulai mendapatkan banyak kekayaan. Karirnya diproyeksikan melejit sebagai calon pengganti Factory Manager yang berencana resign setelah melahirkan, SPBU yang beromset besar, rumah dan tanah yang berharga fantastis, tawaran investasi menguntungkan dari dua sahabat kentalnya.

Lalu itu semua hilang begitu saja. Tentunya menyebalkan sekali. Ia hanya menikmatinya sebentar saja. Kenapa tidak bisa lebih lama? Kenapa tidak bisa selamanya? Lebih banyak. Lebih berlimpah. Lebih segalanya…

Harus ada pengorbanan. Itu kesimpulannya.

Perempuan yang sedang kuentot ini harus mendapatkan bukti nyata segera dengan menikahinya. Aku bisa mendapatkan semua harta kekayaannya dengan mudah dengan menikahinya. Hal yang selama ini tak kudapatkan dari istriku sekarang. Berganti istri dengan perempuan sekaya Roro tentunya menjamin itu semua. Terlalu berat kalau harus menggantungkan diri dari kutukan batu-batu berlian itu. Tak selamanya trik Cundamanik akan berhasil terus membawa benda itu ke dunia nyata.

Maaf ibu kedua anak-anakku. Kau harus dikorbankan. (*merangkum sekilas nurani busuk yang ditangkap Narator sebelumnya)

——————————————————————–
Perjalanan yang menyenangkan. Sepanjang perjalanan Amira dan ibu Bobi Putranto sangat gembira sekali. Orang tua itu duduk di kursi belakang bersama Amira yang mendampinginya. Banyak hal yang mereka bicarakan. Sebagian besar adalah memori masa lalu yang membuat masing-masing mereka tertawa.

Ibu Grace yang mengalami dementia-pun sepertinya sepanjang harinya lebih waras dari seharusnya. Pengaruh kemunculan putra semata wayangnya memberinya semangat baru yang selama ini absen di hidupnya yang penuh ilusi. Ia tak lagi membayang-bayangkan Bobi ada di sekitarnya karena secara nyata jasad Bobi memang sedang bergerak di dekatnya. Itu membuatnya lebih hidup dan gembira.

Amira

Apalagi bagi Amira. Tak terbayangkan betapa bahagia dirinya kini. Ia telah benar-benar bersatu dengan cinta sejatinya—yang selama ini tinggal kenangan. Tak ada lagi hari-hari suram. Tak ada lagi masa-masa galau. Senyum tak pernah lepas lagi dari wajahnya yang semakin cantik saja. Cinta memberi gambaran baru yang mencerahkan hati yang suram.

Riang ketiganya bercengkrama gembira selama perjalanan menuju tempat wisata yang bisa melepaskan stres setiap orang. Terkadang mereka bernyanyi-nyanyi mengikuti alunan musik. Ditingkahi celotehan wanita tua tentang masa kecil Bobi dan Amira, bagaimana mereka dekatnya saat itu. Mengingatkan kembali kenapa mereka harus berpisah saat Bobi mulai masuk SMA karena papanya ditugaskan untuk memimpin cabang perusahaannya di Medan. Bermain tebak-tebakan lucu atau cerita-cerita konyol lainnya.

Pendeknya hari itu sangat menyenangkan.

Tak pernah bu Grace sehidup itu sebelum ini. Ia tetap terjaga hingga menjelang siang karena bersemangat berceloteh kian kemari bersama anaknya. Menyampaikan kerinduannya, sayangnya yang tak pernah putus sedetikpun. Bobi dan Amira juga merasakannya, mereka dalam keadaan yang sama bahagianya. Berbagi kebahagiaan. Amira tak putus-putus tersenyum lebar. Tangannya berkali-kali memegang paha Bobi dan tetap di sana sepanjang perjalanan. Sesekali ia mengelusnya. Mengingat kehangatan yang telah mereka reguk sejak kemarin. Berulang-ulang mereka melakukannya sampai pada taraf kemaruk bak pengantin baru. Tak lelah ia melayani Bobi yang juga tak bosan-bosan merengkuh tubuh Amira hingga sama-sama puas. Tak terkira berapa ronde yang telah mereka lakukan untuk diulang dan diulang lagi.

“Budhe dah tidur, tuh… Bahagia banget dia…” kata Amira melirik ke kursi belakang. Wanita tua duduk bersandar dengan damainya, seat belt melintang di dadanya dan kepalanya miring ke samping. Mobil berjalan lancar tetapi tidak melakukan gerakan yang tiba-tiba.

“Ya tentu, dong… Wong cah bagusnya udah pulang begini, og… Pasti bahagia mama…” kata Bobi tetap menyetir dengan aman. Menjaga agar ibunya tidak terguncang-guncang di belakang sana. “Kamu?… Bahagia juga-kah?” liriknya ke kiri. Jawaban awal, Amira hanya meremaskan tangannya dengan lembut pada paha Bobi.

“Tentu bahagia, dong…” senyumnya tambah lebar. Tangannya mengelus-elus terus.

“He hehehe… Ini mau kemana ini?” tanya Bobi mengenai elusan tangan Amira yang bergerak teratur di pahanya. “Geli loh ini…”

“Ihhh~~… Bobi, kaaan~~? Amira masih kangen tau…” jawabnya manja dan mencubit paha itu.

“Katanya udah perih… Apa masih mau?… Apa tadi…? Ledhes?” goda Bobi masih terkekeh-kekeh geli. Ia menggeliat-geliat karena cubitan Amira di pahanya makin gencar. “Eeh… eh… Ada mama loh di belakang… Itu loh mama nanti bangun, Mirrr… Hushh…” hindar Bobi menggeliat seperti cacing kepanasan karena cubitan Amira sekarang beralih ke arah gundukan selangkangannya. Tepatnya pada benda yang telah membombardir dirinya berulang kali hingga kelojotan kesengsem setengah mati. Sekian lama kering kerontang kasih sayang, sekalinya ketemu cinta lamanya yang telah mati langsung tancap gas berulang-ulang. Bagaimana ia tidak kelojotan mau lagi dan lagi.

Tanpa bisa dicegah, Amira sudah mengeluarkan batang kekasih hatinya yang sudah menjulang tinggi dari celananya yang tak terbuka sempurna. Amira duduk menyamping ke arah Bobi dengan tangan nakalnya yang mengelus-elus mengocok perlahan. Bobi hanya bisa menikmatinya dengan mendesah-desah tanpa suara. Amira senang sekali melihat kekasihnya ini puas hanya dengan sentuhan tangannya. Tangan halusnya terus merancap penis Bobi penuh perasaan. Padahal di bawah sana ia pun sudah basah. Merembes bagai mata air cairan kemaluannya menitik nikmat ingin dipuaskan juga. Tapi keadaan tidak memungkinkan. Ingin rasanya meminta Bobi menepikan mobil ini di tepian jalan dan melanjutkannya saja on the spot. Tapi ada budhe Grace yang pastinya akan terbangun begitu tahu kendaraan tidak melaju lagi.

Setidaknya, ia bisa memuaskan Bobi. Itu saja sudah menyenangkan. Melihat Bobi mendesah-desah gelisah ketika batang penisnya dirancap sedemikian rupa hingga merah gelap seperti sekarang. Urat-urat kasar di sekujur batangnya sudah sangat jelas menegang tertekan otot penisnya yang mengembang maksimal. Amira membayangkan benda itu merangsek masuk di dalam vaginanya. Mendesak menyesak. Mantan suaminya tak punya kejantanan seperkasa itu. Tak pernah membuatnya puas apalagi bayang-bayang Bobi selalu menghantui pernikahannya.

Bobi makin gelisah. Tangan Amira makin lancar bergerak. Cairan pelumas Bobi mengucur melancarkan gerakan tangannya hingga licin. Bagian kepala penisnya mengembang berkedut-kedut. Amira tahu sang kekasih akan segera muncrat dan ia segera mengantisipasinya dengan berani.

“Hap!”

Mendelik mata Bobi merasakan mulut Amira langsung melahap penisnya yang hampir meledak. Lidah Amira langsung bergerak lincah, membuat Bobi tak dapat bertahan lebih lama lagi. Ia meremas-remas rambut Amira yang berada di pangkuannya. Ia menjaga kewarasannya dan kewaspadaannya sekaligus agar tidak celaka di jalan. Ia tak dapat menahannya lebih lama hingga…

“Aaah… Mirr… Enak bangeeett…” Bobi melepaskan semua muatannya di dalam mulut Amira yang menampung pejuhnya. Rasanya sangat plong sekali ada wadah yang menampung dan menyedot-nyedot dengan rela semua semburan spermanya. Amira tak ragu menelan semua benih kekasih hatinya sama sekali. Ia dengan senang hati melakukannya sekaligus membersihkan sisa-sisanya. Bobi mengelus-elus rambut Amira dengan sayang.

“Enak banget, Fatima-ku…” puji Bobi saat Amira bangkit dan membersihkan sisa-sisa permainan mereka di sisi mulutnya dengan tisu. Tak ada selain senyum lebar yang terukir di wajah Amira untuk itu. “Giliran kamu, ya?”

Amira menggeleng-geleng tanda tak perlu. Tapi pria itu menunjuk-nunjuk ke depan. Ada sebuah rumah makan yang tidak begitu besar di depan sana. Amira tak mengerti apa maksud Bobi tapi mobil sudah menepi dan memasuki pelataran parkir rumah makan itu. Ia melirik pada ibunya yang masih tertidur di kursi belakang dengan damainya dan memberi kode Amira untuk segera keluar dari mobil. Mesin mobil masih menyala agar ibunya merasa masih dalam perjalanan dan AC tetap berhembus.

Ia diarahkan untuk ke arah toilet rumah makan yang bisa diakses dari samping bangunan rumah makan tersebut. Saat ini tempat ini tidak begitu ramai karena memang pangsa pasar rumah makan ini adalah kendaraan antar kota yang melintas. Tak ada bus yang sedang merapat sehingga hanya beberapa warga lokal saja yang sedang bersantap siang.

Bobi menggiring Amira yang kebingungan ke arah toilet yang tentu terpisah pria dan wanitanya. Hanya saja karena sepi, Amira diarahkan ke salah satu toilet wanita yang biliknya kosong. Tanpa ba-bi-bu, Bobi langsung mencumbu Amira yang disambut dengan semangat juga karena memang sudah tinggi dari tadi sejak menyepong penis kekasihnya. Keduanya berciuman dengan panasnya dan saling remas—saling melucuti pakaian bagian bawah saja. Amira dengan lincah kembali membangkitkan kejantanan Bobi sementara Bobi menggesek-gesek belahan kemaluan Amira yang semakin basah saja. Hanya sebatas paha celana keduanya melorot, baju Amira tersingkap untuk bebas diremas dan dipilin.

Dirasa cukup untuk quickie yang panas, Amira berbalik dan menungging di bilik toilet sempit yang relatif bersih walau masih ada bau-bau toiletnya. Tapi atas nama nafsu yang membara, tak diperdulikan itu semua. Kemaluannya langsung disodok dengan segala macam kekurangan akomodasinya. Untung sudah cukup basah dan meluncur masuk dengan lancar. Keduanya lalu tenggelam dalam balutan nafsu tak ingat tempat lagi. Bobi mengguncang-guncang dunia Amira dengan sodokannya yang membenamkan penisnya sedalam mungkin.

Amira menggigit gulungan bawah bajunya untuk meredam suaranya yang seharusnya mendesah-desah bising oleh nikmat yang luar biasa. Bercinta dengan kekasihnya ini selalu mampu membuatnya melayang hingga awang-awang. Hanya saja ia sadar ini di tempat umum yang rentan digerebek khalayak ramai. Rentetan nafsu terlalu manis untuk diabaikannya. Berkejat-kejat tubuhnya saat sengatan orgasme membuatnya menggigit kuat-kuat kain pakaiannya. Bobi menahan tubuhnya agar tidak melorot saat membiarkannya beristirahat.

Lanjut lagi dan lagi hingga keduanya puas berakhir dengan Bobi menyemprotkan pejuhnya lagi di dalam tubuh Amira, seperti yang sudah-sudah. Amira membiarkannya. Mereka pernah membicarakan hal ini sehabis bercinta sebelumnya dan setuju akan menyenangkan kalau hubungan indah ini berbuah manis. Bersih-bersih sepantasnya, Amira keluar dahulu dari bilik sempit itu untuk menilai situasi. Tempat ini masih tetap sepi yang pertanda aman untuk Bobi menyusul keluar. Amira masuk ke dalam rumah makan, memilih tempat sementara Bobi menjemput ibunya karena ini waktu yang tepat untuk makan siang.

Sehabis makan siang, perjalanan di lanjutkan. Di depan sana terlihat penunjuk jalan yang mengarahkan mereka ke kota Batu, Malang.

Mereka berlibur di kota yang terkenal akan kesejukan udaranya dan keasrian daerahnya. Apalagi bagi ibunya yang sudah sepuh akan sangat cocok. Udaranya yang relatif segar pastinya akan membuatnya lebih sehat. Mereka menyewa sebuah bungalow kecil dua kamar yang dikelilingi berbagai macam kebun buah yang berlimpah di daerah ini.

Bunga-bunga asmara Amira dan Bobi makin berkembang pesat di tempat ini. Perjalanan mereka bak sebuah bulan madu saja yang disertai oleh sang mertua yang pengertian dan mendukung penuh. Amira pun tak segan-segan lagi mengumbar kemesraan mereka di depan bu Grace yang juga senang dengan perkembangan ini. Mereka bertiga berbahagia.

Sedianya Amira dan bu Grace tidur di satu kamar berdua, tetapi saat perempuan itu sudah tidur dengan damainya dibalutan hangat selimut, mimpi indah oleh semua harapannya yang telah terpenuhi, perempuan 30-an tahun dimabuk cinta itu menelusup masuk ke kamar Bobi dan mengajaknya bercinta lagi seperti yang sudah-sudah. Cuaca sejuk mendukung pergumulan mesra mereka berdua menghangatkan malam. Mereguk madu cinta sepuas-puasnya. Melampiaskan semua rindu dendam yang tak pernah puas direngkuhnya, menyodoknya dengan ayunan penuh.

“Ah ahh ahh ahh ahh…” erang Amira berkali-kali kala Bobi menggoyangkan tubuhnya dari belakang gaya doggie. Kemaluannya penuh disesaki penis Bobi yang keluar masuk lancar. Bobi sudah ejakulasi sekali tadi dan mereka melanjutkannya lagi ke ronde berikutnya dengan penuh birahi. Tempat yang bagus, cuaca mendukung, pasangan yang sempurna, perasaan yang berbalas. Sungguh indah.

Amira orgasme kembali dan rebah telungkup di ranjang yang awut-awutan. Tubuhnya dibalik dengan mesra dan beradu kecup kembali sebelum penis perkasa Bobi kembali mengobrak-abrik kewanitaannya. Payudaranya dikenyot-kenyot menambah banyak rasa nikmat yang sangat melambungkan rasa cintanya hingga tinggi ke awan. Bobi mulai menggenjot kembali Amira penuh vitalitas, hal yang sama-sama keduanya sukai. Suara-suara pergesekan kelamin mereka kalah binal dengan suara jeritan lenguhan dua insan itu yang memadu kasih dengan hubungan badan. Kecupan-kecupan mewarnai persetubuhan keduanya yang bertambah panas saja tiap saatnya.

Menanjak dan terus menanjak hingga akhirnya dengan kompak keduanya mengakhirinya dengan indah lewat orgasme berbarengan. Pagut mulut ditingkahi gerakan kecil mengocok, meratakan pejuh Bobi dalam rahim Amira yang penuh oleh bibitnya.

“Mau?”

“Mau bangeet~~…” jawab Amira malu-malu mau. Ia semakin berbunga-bunga setelah bisikan yang membuatnya melejit ke langit ke tujuh. Hanya satu kalimat simpel. Keduanya makin berpelukan erat. Gelimang cairan lengket di kelamin masing-masing tak membuat keduanya risih.

“Beneran mau? Beneran mau nikah sama Bobi?”

“Beneeerrr, loh…” gemes Amira memencet hidung Bobi.

Ini benar-benar malam yang paling bahagia untuk keduanya. Dunia seakan hanya milik mereka berdua. Yang lainnya cuma ngontrak aja. Bisa ditendang keluar kalau terlambat bayar kontrakan. Diulang lagi dan lagi hingga menjelang terang. Ini benar-benar bulan madu yang dipercepat.

—–oo0O0oo—–

Mimpi yang sangat indah. Amira merasa tak ingin terbangun dari mimpi indah ini selamanya. Ia menemukan kembali cinta sejatinya di kembalinya Bobi. Semua yang diharapkannya ada di Bobi dan ia yakin Bobi-lah jawaban semua doa-doanya akan hidup yang bahagia. Ia merasa sudah mendapatkan itu semua.

Mobil berhenti di tepian hutan. Sinar matahari menembus susah payah lebatnya dedaunan pohon. Sinarnya berkelip-kelip karena daun di pucuk sana bergerak-gerak di hembus angin. Hutan ini sangat sejuk dan tenang. Sudah berapa lama ia tidur? Sampai gak tau sudah tiba dimana. Mungkin Bobi berhenti sebentar untuk buang air kecil di balik pepohonan itu. Ini mungkin jalan pintas karena dari tadi ia tak melihat ada kendaraan lain yang lewat. Ukuran jalannya juga kecil dan kondisi aspalnya juga tidak merata.

Beberapa serangga hinggap di kaca depan lalu terbang lagi karena terganggu oleh jatuhnya dedaunan dari atas sana. Daunnya bertumpuk-tumpuk di atas kap mesin mobil. Sudah berapa lama mobil ini berhenti? Ia menoleh ke belakang. Budhe Grace tidak ada di tempatnya. Apa ibu Grace yang meminta berhenti di tempat ini? Ini hutan apa, sih?

Susah payah Amira membuka pintu mobil di samping pengendara ini karena sepertinya terganjal sesuatu. Ia harus mengeluarkan tenaga ekstra mendorong dan akhirnya bergeser. Ada gundukan daun kering yang banyak di samping pintu yang mengganjal pintu dibuka tadi hingga harus keluar dari mobil lewat celah kecil yang terbuka. Payudaranya terjepit celah kecil itu hingga ia harus menahan perihnya bergantian. Daun-daun kering lainnya juga ada banyak di atas kap atas mobil. Sudah berapa lama mereka di sini sehingga ada tumpukan daun kering sebanyak ini. Daun yang menguning ada di atas daun kering berwarna coklat.

“Budhe Grace… Bobi sayaaang??” Amira mulai memanggil karena mulai khawatir.

Amira tak tau harus kemana mencari kedua orang itu. Di satu pihak adalah kekasihnya yang sudah melamarnya untuk menikah. Satu lagi adalah budhe-nya yang telah mulai sehat kondisi mentalnya akibat dementia. Amira dan Bobi sudah menyampaikan ke budhe Grace soal lamaran Bobi yang tentu saja didukung penuh ibunya yang sedari awal sudah menjodohkan mereka berdua. Mereka dalam perjalanan pulang ke Pasuruan setelah perjalanan darat berlibur ke Batu, Malang.

“Sayaannngg??” Amira memanggil-manggil di dekat mobil saja, tak berani beranjak jauh. Takut bila nanti mereka kembali dari arah lain, malah mereka yang gantian mencari Amira jadinya. Amira semakin cemas karena tempat ini benar-benar sepi sekali. Yang terdengar hanyalah suara angin yang mendesau-desau di antara dedaunan pohon hutan yang kalau diperhatikan dengan lebih seksama berukuran besar-besar. Yang paling kecil malah seukuran paha orang dewasa.

Amira mulai berpikir yang tidak-tidak. Seperti, mereka tersesat setelah Bobi mencoba jalan pintas yang tak jelas ini sampai kehabisan bensin karena ia sempat memberitahu Bobi untuk mengisi bahan bakar lagi yang mulai menipis. Tak mau membangunkan Amira dan ibunya, Bobi keluar sendiri mencari bantuan. Setelah sekian lama, penyakit dementia budhe Grace kambuh dan keluar menyusul Bobi. Tinggallah Amira sendirian di dalam mobil. Memang ia lelah setelah semalaman terjaga karena memadu kasih dengan Bobi. Berkali-kali ia orgasme dahsyat yang membuatnya lemas. Masih terasa perih bercampur nikmat di kemaluannya sampai detik ini akibat digempur Bobi terus menerus.

“Selamat datang di Alas Purwo, nona…”

“PUJI TUHAAN!!” kaget Amira disapa dari belakang oleh seseorang secara tiba-tiba. Ia hampir melonjak kaget hendak melemparkan botol minuman 600 ml di tangannya ke pemilik suara sapaan itu. Seorang wanita cantik datang menghampirinya dengan senyum yang teramat manis bak dioles madu. Amira saja yang sesama wanita sampai terpana melihatnya. Tubuhnya indah tinggi semampai dengan pakaian seksi yang ganjil dan rambut panjang yang berwarna kelabu.

——————————————————————–
“Nih… Udah abah rangkum nih semuanya di sini… Abah tulis sementara aja di sini agar setelah selesai… bisa langsung dimusnahkan…” ujar abah Hasan menyerahkan beberapa lembar kertas HVS yang ditulisinya dengan bolpoin. Ada beberapa kata atau kalimat yang hanya berupa tanda silang xxx pertanda ia tidak tahu atau tidak yakin karena ini adalah terjemahan dari tulisan batu di cermin dewi kahyangan itu.

“Loh… Harus dimusnahkan, bah? Gak boleh disimpan aja?” tanya Iyon yang menerima bundel kertas itu takut-takut. Malah Kojek yang menerima jadinya dan langsung mencoba membacanya.

“Ini benda yang sangat berbahaya, Yon… Jangan sampai terjemahan ini bocor ke pihak lain… Kain Batara Kala itu saja sudah abah musnahkan… Makanya setelah kalian selesai menggunakannya kembalikan ke abah biar abah bakar…” peringat lelaki paruh baya berbadan tambun itu.

“Yah… Sebanyak ini harus kami hapal, bah… Bah bah bah… Poning kepalaku, abah…” pungkas Kojek setelah membacanya sekilas.

“Makanya hapalin yang penting-penting saja… Lagian kalian juga gak menggunakannya, kan? Apa kalian mau ‘mengintip surga’ juga?” sergahnya agak melotot bila kedua pria dewasa ini punya pemikiran lain. Iyon dan Kojek cepat-cepat menggeleng. Padahal godaannya sangat besar. “Baguuss… Bagus kalian gak pengen ‘mengintip surga’… Kalau tidak gak ada bedanya kalian berdua sama si tori-tori itu…” disambarnya kembali bundel kertas dari tangan Kojek.

“… karena manusia yang dilingkupi kegelapan saja yang mampu melakukan semua persyaratan ritual itu… Kalian tentu gak akan sanggup, deh…” lanjut abah Hasan lagi.

“Itu maksudnya dengan mengorbankan semua yang terkasih di dalam hidupmu… agar cermin itu terbuka… menjadi cermin kahyangan yang sesungguhnya?” Iyon coba mengingat bagian penting yang dilingkari abah Hasan dengan stabilo warna pink. Abah menandai beberapa bagian yang krusial dari terjemahan yang dapat di-decipher-nya dari jiplakan darah Batara Kala itu.

“Kata-kata persisnya gak seperti itu… tapi kira-kira begitulah artinya…” jawab abah Hasan melepas kopiah Turki-nya untuk mengusap rambut cepak pendek yang selalu dipeliharanya sangat pendek karena menipis, lalu dipakai kembali untuk beralih mengelus-elus janggutnya. “Kalian tentu gak mau mengorbankan istri… anak-anakmu hanya untuk mengintip surga… Keluargamu adalah surgamu bukan? Untuk apa itu semua…” katanya mengutarakan pendapatnya. Tentu itu pendapat pribadinya karena pengalaman pahitnya selama ini.

Iyon dan Kojek setuju hingga mengangguk-angguk membenarkan. Mereka semua adalah pria berkeluarga yang mempunyai anak dan istri yang sangat disayangi juga dicintai. Semua perjuangan untuk membahagiakan keluarga masing-masing. Jadi apa jadinya kalau semua itu harus dikorbankan demi hal lain yang belum pasti kebenarannya. Berikutnya malah kedua pria bersahabat (minus seorang lagi yang entah dimana) itu diceramahi abah Hasan dengan wejangan mengambil contoh pengalaman hidupnya. Mereka sudah berulang kali mendengar cerita ini, tapi karena kebiasaan orang tua yang suka mengulang-ulang hal yang sama, mereka terpaksa harus maklum.

Abah Hasan di masa muda termasuk Don Juan, playboy kelas kakap perkasa dengan banyak harta yang mendukung libidonya. Banyak perempuan di atas muka bumi ini yang takluk oleh kharismanya. Bertahun-tahun ia menebar kehangatan dan keperkasaannya namun tak pernah ada yang bisa memberikannya keturunan. Puluhan wanita singgah di ranjang dan hatinya tapi tak satupun yang dapat memberikannya kesempatan menjadi seorang pria yang sempurna—berketurunan.

Secara medis ia sehat. Itu dibuktikan berkali-kali saat periksa ke ahlinya. Para wanita itu juga sama. Tapi ada faktor X, yang tak klop dengan dirinya. Bertahun-tahun ia terus berusaha dan berusaha tanpa henti. Hingga ia menemukan satu wanita yang sangat spesial ini. Secara fisik normalnya, Hasan yang beranjak tua tidak akan melirik seorang perempuan udik dan cacat di pelosok tempat penampungan pengungsi di pinggiran Spanyol. Pengungsi kerusuhan sektarian keagamaan di Iraq yang lari bersama keluarganya ke daratan Eropa. Perempuan ini cacat dua tangannya yang diamputasi akibat ledakan bom dan mata kanannya buta. Tapi ia merasakan hal yang berbeda hingga memantapkan hati untuk memintanya pada keluarganya. Ternyata perasaannya benar, dari perempuan yang tak lengkap secara fisik itu ia malah mendapatkan keturunan yang didamba-dambakannya. Ia kini hampir memiliki 5 anak.

“Sebenarnya untuk melihat surga itu tidak harus melakukan hal yang mengerikan seperti ini bisa, kan?” kata abah Hasan lagi mulai menyulut kertas-kertas tadi menggunakan korek api. “Asbab… memelihara keluargamu dengan baik… penuh kasih sayang dan perhatian… Itu sudah merupakan versi surga dunia yang mendekati surga sebenarnya… Keluarga yang tenang berbahagia… Istri yang sholehah… anak-anak yang berbakti pada kedua orang tuanya… Tentu saja surga aslinya jauh-jauh tak terbayangkan nikmatnya… Itu tentu saja bagi kaum yang mau berfikir…” kertas-kertas itu terbakar habis hingga meninggalkan arang tipis hitam yang segera hancur musnah.

Iyon dan Kojek manggut-manggut entah mikirin apa.

——————————————————————–

Vivi

“Bang Aseng…” panggil ragu-ragu suara seorang wanita. Ia berdiri dari posisi duduknya di depan resepsionis hotel. Aseng melambatkan langkahnya lalu sama sekali berhenti. Mata lamurnya perlu beberapa saat untuk mengenali siapa yang memanggilnya barusan. Didekatinya pemilik suara tadi.

“Vivi… Kau harus berhenti mengikutiku seperti ini…”

“Ini demi kebaikan bang Aseng juga… Vivi tidak mau abang terus seperti ini…” mata gadis itu sembab dan agak merah. Aseng tahu perempuan itu sudah mengikutinya kemana-mana beberapa hari ini dengan kemampuan core ajaibnya yang bernama Ameng. Core yang berbeda tingkatannya dengan jin dan mahluk ghaib yang biasa dihadapi Aseng, tidak bisa diusir dengan mudah oleh pendekar Menggala sekaliber Aseng sekalipun.

“Itu bukan lagi urusanmu, Vi… Perjanjian kita sudah selesai, bukan? Aku sudah mengabulkan satu permintaanmu… Terima kasih Vivi sudah merawat Cut-Cut itu selama ini… Sekarang mereka tanggung jawabku… Dalam pengawasanku…” Aseng mengingatkan apa yang sudah mereka sepakati bersama. Aseng sudah mengambil keperawanan Vivi yang sejak lama ditawarkannya sebagai ganti mengambil alih keempat Cut inong itu.

“Tapi kenapa bang Aseng bisa menjanjikan akan menikahi perempuan bernama Roro itu dengan mudahnya?” suara Vivi mulai meninggi dan Aseng menghentikannya. Sungguh tidak pantas melakukan keributan di tengah lobi seperti ini. Diarahkannya gadis itu ke tempat yang lebih kondusif. Bisa teriak-teriak sepuasnya kalau perlu. “Kenapa dia dengan mudahnya?? Tetapi Vivi… Vivi duluan yang minta itu ke abang… Vivi cuma minta cinta abang aja… Tapi si Roro itu malah akan abang nikahi… Sakit hati Vivi, bang…”

Aseng terdiam tetapi menatapnya tajam.

“Apa karena dia sangat kaya? Apa karena hartanya sangat banyak jadi abang tertarik dengannya? Apa karena Vivi gak bisa memberikan sebanyak yang dia bisa? Gak nyangka ya, bang?” cecar Vivi penuh emosi.

“Jujur… itu benar, Vi… Vivi tau sendiri… aku hampir bangkrut… Kalau dihitung-hitung kekuatan keuanganku hanya bisa bertahan untuk dua-tiga bulan saja… setelah itu habis semua… Ini ada penawaran yang sangat menggiurkan… Kenapa dilewatkan?” papar Aseng. “Aku bisa membayar agunan semua milikku yang saat ini di bank… Kalau perlu bunga dan penaltinya sekaligus… Tapi sebenarnya aku gak perlu menjelaskan semua ini pada Vivi… Kita bukan siapa-siapa, Vi…” ketusnya dingin.

“Lalu kenapa Vivi tidak, bang? Kenapa Vivi tidak abang terima…?? Kenapa abang membiarkan Vivi begini? Vivi gak bisa begini terus, bang Aseng…” pipinya telah basah oleh aliran air mata yang mengucur deras tanpa dapat ditahan lagi. Matanya benar-benar merah oleh kesedihan. Ia merasa semakin jauh dari Aseng. Semakin tak terjangkau bahkan setelah ia menyerahkan kesuciannya yang paling berharga.

“Kau terlalu berharap banyak, Vivi… Mimpi-mimpimu terlalu tinggi… Aku tidak bisa ada di dalam mimpimu itu… Sori-maaf-goodbye…” Aseng hendak berpaling dan pergi.

“Bang Aseng hendak ke rumah istri-istri orang itu lagi?! Hendak meracuni istri-istri orang lagi?! Berhenti, bang!!” Vivi bermaksud mencegahnya beranjak pergi dengan memprovokasinya dengan pengetahuannya.

“Itu benar-benar bukan urusanmu, Vi… Apapun yang kulakukan, itu bukan urusanmu… Kita bukan siapa-siapa dan tak akan jadi siapa-siapa… Jadi pertahankan jarak itu ato kau bisa celaka…” malah ancaman yang keluar dari mulut manisnya Aseng. Vivi sampai bergidik ngeri melihat dan mendengarkan, menyaksikan versi baru Aseng yang sangat asing baginya. Ia tak mengira Aseng jadi sebegini berubahnya.

Merasakan aura yang mengancam begitu, otomatis core bernama Ameng yang kodratnya sebagai pelindung—muncul bermaksud melindungi. Ameng meradang hendak mengintimidasi lawan agar berhenti mengancam pemiliknya dengan penampilannya yang relatif aneh. Gestur tubuhnya siap bertaruh nyawa bila perlu di hadapan Aseng.

Tetapi core itu bahkan bukanlah lawan yang sepadan bagi Aseng saat ini. Hanya dari sentakan energi yang berasal dari gelantungan beberapa benda di leher Aseng, core itu terpental menjauh. Menghantam sebuah mobil boks yang sedang melintas terlambat di jalanan sepi tengah malam ini. Ini malam yang sungguh sial bagi mobil boks itu. Kotak boksnya jebol dan kendaraan itu terjungkal terbalik terseret di jalanan aspal.

Melotot mata Vivi melihat Ameng terpental sedemikian kuatnya hingga jauh ke jalan raya sana. Beberapa kendaraan yang melintas berhenti untuk memeriksa apa yang telah terjadi. Cepat-cepat Vivi menarik kembali Ameng dan nanti memeriksa keadaannya. Pengemudi mobil boks keluar dari sana dibantu oleh beberapa orang.

“… Dengar? Itu bukan urusanmu…” Aseng memadahkan perbincangan mereka dan pergi begitu saja dari Vivi. Pergi untuk menyambangi urusan-urusannya yang lain. Vivi hanya bisa menangis. Tak lama Benget datang menghampirinya tergopoh-gopoh, kebingungan atas apa yang telah terjadi. Ia ternyata mengawasi dari kejauhan semua yang terjadi. Ia hanya berusaha menenangkan sahabatnya itu dari sedih mendalamnya.

“Hush… hush… Sudahlah, Vi… Kita gak bisa berbuat apa-apa lagi…” ujar Benget mengelus-elus punggung Vivi untuk sedikit meringankan kegundahannya.

“Aku udah berusaha, Bensss!! Mana usahamu? Kau biarkan aku sendirian… Kau kemanaa?!” sergah Vivi menepis tangan Benget lalu beranjak juga. Lelaki kekar tetapi kemayu itu hanya bisa menghela nafas panjang akibat ketidak becusannya menemani Vivi menghadapi Aseng. Padahal ia punya agenda sendiri di permasalahan ini. Tapi ia bisa apa menghadapi Aseng yang begitu menakutkan?

—–oo0O0oo—–

Aseng yang telah menyelesaikan urusannya dengan Roro dan Vivi sekaligus saat ini melanjutkan petualangan birahinya ke pelukan wanita lain. Ia hanya perlu berpindah hotel untuk menemui binor berikutnya. Seorang binor yang baru saja tiba di kota ini karena ada sedikit urusan. Gayung bersambut dan mereka berpelukan melepas kangen lama tak bertemu. Pagutan mulut terjadi berikutnya.

“Kangen kali, bang Aseeeng…” ujar sang binor yang terlihat perutnya membuncit.

“Sama kangen, Andini…” jawab Aseng menyambut dekapan erat binor ini. “Siap buat tereak-tereak enak lagi?” goda Aseng mengingatkan skandal mereka dahulu di warung makan lesehan di waktu hujan dahulu.

Andini

“Siap, boss… Laksanakan!” Andini mengimutkan wajahnya dengan tambahan posisi tangan menghormat lentik. Binor yang berasal dari kota Siantar ini katanya ada pertemuan reuni dengan teman-teman ceweknya. Padahal itu cuma akal-akalannya saja. Gimana mungkin alumni sekolah di Siantar tapi reuninya di Medan. Suaminya aja yang bego termakan ngibulnya Andini dan membiarkan istrinya pergi ke Medan tanpa pengawalan darinya. Ia tahunya, istrinya pergi beramai-ramai dengan teman-teman ceweknya. Padahal ia juga satu sekolah, satu angkatan dengan istrinya. Sungguh keluarga yang kacau. Pe’a.

“Wah-waah… Kamu makin seksi aja, Dinn… Tambah bohay…” puji Aseng pada bentuk tubuh binor yang sedang berbadan dua ini. Matanya jelalatan menatap bagian-bagian tubuh Andini yang semakin bertambah berisi di kondisi hamil ini. Ia berdecak-decak kagum menjilati rakus tubuhnya yang bohay dengan mata mesumnya. Andini baru saja melepas pakaian terakhir dari tubuhnya. Dipuji begitu, binor itu menggeol-geolkan pinggulnya menggoda sang pejantan yang telah menghamilinya. Ia tertawa bangga ia masih bisa membuat pria ini terpana akan kemolekan tubuhnya.

Tanpa tunggu banyak waktu, ia sudah diterkam Aseng yang asik menggeluti tubuhnya dengan ganas. Diciuminya binor itu dengan rakus yang ditimpali dengan rakus juga. Andini sudah lama menunggu momen ini berulang. Ia sudah lama ingin bertemu Aseng kembali dan bergelut birahi lagi seperti waktu itu. Hanya Aseng yang diketahuinya bisa membuatnya sangat-sangat puas saat bercinta. Sang suaminya tak punya kemampuan itu. Ia haus akan semua kepuasan seksual seperti waktu itu. Walau hanya beberapa hari saja, ia seperti menemukan arah kepuasan seks-nya dan itu hanya bisa diberikan Aseng. Bahkan bisa membuatnya sampai hamil.

Aseng kembali menemukan kesenangan dirinya bisa menggeluti perempuan hamil lagi. Ada kegembiraan tersendiri bagi dirinya karena ia bisa mendapat kenikmatan yang hanya bisa diberikan perempuan hamil. Walau kehamilannya belum setua Aida waktu itu, Aseng tetap menemukan kenikmatan yang sangat luar biasa sekali. Ia menggila di atas tubuh Andini. Ia menggenjot istri orang itu dengan sepenuh hati demi kenikmatan. Hal yang juga dirasakan sang wanita hamil ini. Tubuhnya menggelinjang-gelinjang merasakan vagina montoknya disodok-sodok penis keras yang akan segera menyemprotkan muatan kentalnya.

Keduanya benar-benar menikmati kebersamaan tak dibolehkan ini. Andini tak memperdulikan sama sekali bahwa pria yang sedang bekerja keras di atas tubuh telanjangnya ini bukanlah suaminya. Begitu juga Aseng yang tak mau perduli lagi siapa yang sedang digaulinya—di bulan puasa pula. Menyeringai dan memejamkan mata, tanda-tanda ia sedang berusaha mati-matian menahan lonjakan yang sedang mendesak keluar. Ia menahannya agar bisa berbarengan dengan orgasme Andini yang menjerit-jerit menyatakan akan segera keluar.

“FHHAAAAHHH!” Aseng melepas nafas dan mukanya memerah. Setelah sekian lama di tahan ia melepas beban itu sepuas-puasnya ditandai semburan pejuh yang memenuhi kemaluan binor bunting itu. Sang binor montok itu juga mendapatkan hal yang setara, orgasme dan disirami pejuh hangat memenuhi liang kemaluannya. Berpelukan erat dan berpagutan bibir keduanya menikmatinya berbarengan. Puas.

Keduanya berbaring berdampingan. Andini mendorong tubuh Aseng agar tak menghimpit perutnya lebih lama. Junior pejantan itu masih mengacung keras berkilauan oleh campuran dua jenis cairan. Nafasnya sedang diatur agar tetap normal dengan pengelolaan nafas ala beladiri. Dengan begitu ia bisa menjaga keperkasaan dan vitalitasnya sekaligus. Lain halnya dengan Andini yang tahu apa tentang beladiri dan pernafasan. Binor itu memejamkan matanya dan membiarkan rasa nikmat menguasai dirinya. Kedut-kedut membuat beberapa bagian tubuhnya gemetar sisa orgasme dahsyat barusan. Ia puas bisa berteriak-teriak seperti yang dijanjikan Aseng.

Ada yang tak diketahui Andini. Ia tak tahu kalau Aseng saat ini sedang tersenyum sangat lebar. Ada hal lain yang sangat memuaskan pria yang kini juga diliputi banyak misteri itu sekarang. Tangannya terbentang. Satu bagian yang dekat tangan Andini menggenggam pergelangan tangan sang binor. Seolah menahannya agar tidak kemana-mana. Tapi itu adalah pandangan mata awam.

Bagaimana kalau ditilik dengan mata bathin?

Ada sosok lain di posisi Andini yang sedang terbaring begitu… Sosok lain?

“Belum juga?” gumam Aseng. “Lagi!” pria itu kembali bergerak mendekati sosok itu dan Andini yang bertumpang tindih. Aseng segera mengarahkan junior-nya yang masih perkasa, ke arah kemaluannya.

“Bagindaa… Ahhh…”

“Banng… Laggihh?” rintih Andini yang merasakan kemaluannya yang mungkin masih ngilu akibat orgasme dahsyat sebelumnya kini disodok kembali dengan penis perkasa sang pejantan. Dengan garang, Aseng kembali menggasak binor semok ini. Berguncang-guncang tubuh keduanya menikmati seks ini kembali. Melepas rindu dan nafsu.

Andini dan sosok ghaib itu dibolak-balik Aseng demi menemukan formula kenikmatan yang hakiki. Formula yang menjamin kenikmatan terparipurna. Kenikmatan sejati yang bisa membawa mereka ke awang-awang bersama. Seperti saat ini, Aseng men-doggie Andini dan sosok itu. Posisi yang kabarnya relatif paling aman bagi wanita hamil karena kurang menekan perut yang membesar.

“Ahh ahh ahh… Ahh ahh ahh… Uhh… Enaak, baaangg… Aahh… ahh ah…” desah Andini berguncang-guncang maju mundur disodok Aseng berulang-ulang dari posisi menunggingnya. Aseng menahan tubuh Andini dengan mencengkram bagian semok pinggul lebarnya. Aseng menekan-nekan bokong Andini dengan bagian perutnya yang bertepukan, junior-nya melesak masuk membelah dan menembus lepitan daging gemuk di selangkangan binor bunting menggairahkan itu. Suara becek gesekan kelamin keduanya terdengar sangat mesum sekali di kamar hotel ini.

“Enak, yaa?” geram Aseng terus menekan tanpa menurunkan tempo.

“Enaaak, baangg… Uhh…” jawab Andini menengadah. Payudara montoknya yang bertambah besar saja berayun-ayun bebas seirama goyangan tubuhnya.

“Enaak, bagindaaa… Jyaaa…” jawab mahluk ghaib itu berbarengan. Aseng tak perduli siapa yang menjawab karena ia hanya memperdulikan rasa enak yang juga dirasakannya merajai tubuhnya. Menjalar dari kemaluannya yang bersenang-senang sekaligus menggagahi dua mahluk sekaligus. Wadaw… Aseng saat ini melakukan threesome? Threesome dengan mahluk ghaib dan manusia sekaligus.

Siapa? Siapa mahluk ghaib itu? Salah satu peri miliknya, kah?

Bila ada yang kemampuan memakai mata bathin, pasti akan bisa melihat ada sosok wanita lain yang overlapping di tubuh Andini. Tubuh ghaib-nya ada di posisi yang sama dengan Andini. Saat Andini menungging begini, sosok itu juga sedang menungging dengan vagina yang disodok Aseng sekaligus. Itu ide yang sangat gila yang hanya bisa dilakukan seorang pemuja kenikmatan tingkat akut. Aseng contohnya.

Aseng saat ini ternyata merasakan nikmat yang amat sangat karena memasuki dua vagina sekaligus berbarengan. Satu milik manusia seksi semok bernama Andini dan satunya adalah peri Anaga bertanduk dan bersayap bernama Cundamanik. Yu-huu… Aseng sudah mulai menggagahi peri Anaga ini sekarang? Benar-benar gila ini orang sekarang. Apakah ia sedang mengumpulkan telur peri Anaga juga sekarang? Sudah sejak kapan ini berlangsung? Entah dengan cara apa Aseng mensinergikan posisi peri Anaga itu dengan perempuan manusia yang sedang digumulinya.

Tentunya bukan pertanyaan penting karena yang hanya ada di pikiran mereka bertiga saat ini adalah mereguk kenikmatan sebanyak-banyaknya. Apalagi nikmat yang didapat Aseng dobel dari dua vagina yang digenjotnya sekaligus. Sejak kapan ia melakukan ini? Apakah sejak bersama Roro sebelumnya ia sudah melakukan ini? Kenapa kita baru menyadarinya sekarang? Fuckin’ shit! (*sorry)

“Uuuhh… Uuhhh…” Aseng tak menahan-nahannya lagi. Disemprotkannya saja spermanya dalam-dalam di vagina Andini yang melolong keras merasakan hangat pejuh Aseng membasahi rahimnya. Menjadi pupuk penyubur kandungannya. Begitu juga Cundamanik yang berteriak lirih mendapatkan hal yang setara. Kedua perempuan itu menelungkup bersamaan di atas ranjang dengan nafas terengah-engah. Aseng menunggu sebentar dengan terus menatap ke arah kemaluan Andini sekaligus Cundamanik.

Ia tersenyum. Aseng mendapatkan apa yang ditunggunya dari tadi. Dipungutnya benda yang baru saja keluar itu.

—–oo0O0oo—–

“Kenapa? Kau berani marah pada baginda rajamu?” pepet Aseng pada peri Anaga itu yang memalingkan wajahnya ke samping. Tak berani menatap wajah junjungannya sama sekali. Dadanya ditekan erat oleh dada Aseng yang mendesaknya di dinding tangga darurat tak jauh dari lift hotel. Mereka baru saja keluar dari kamar hotel Andini.

Cundamanik

“Tidak berani, baginda…”

“Naah… Begitu baru betul… Kalo kau masih mau menganggapku rajamu… ikuti saja semua perintahku…” katanya melepaskan cengkramannya pada bagian rahang peri bengis tetapi cukup manis itu. Tubuh keduanya merenggang. “Aku sudah membuktikannya dua kali, kan? Kalo kau ada langsung di sumber semua emosi itu… Berbagi semuanya… Peluangnya akan semakin tinggi… Rata-rata perlu 5 sampai 6 ronde untukmu memproduksi telur-telur imut ini… Dan itu 2 sampai 3 ronde bila perempuannya sedang hamil…” ujar Aseng sembari dengan nakalnya meremas-remas dada Cundamanik yang tak begitu besar. Di kalung ghaib yang bergantung di leher Aseng, di dalam keranjang kecil penampungnya ada dua butir telur mungil berwarna hitam dengan bintik-bintik putih.

“Aku bisa memanfaatkan semua binik orang yang sudah kubuntingi itu untuk keuntunganku sekarang… Sedikit di-spik-in sama janji-janji surga mereka semua mau aja mengatur jadwal ketemu begini… Sampe jauh ke Medan aja ditempuh Andini… Gak sulit untuk belasan yang lainnya tentu…” gumam Aseng tak langsung pada Cundamanik yang bersungut-sungut setelah tak dibekap rajanya lagi. Ia sedang memeriksa HP-nya untuk mengecek kesiapan janji temunya berikut.

“Tidak usah sok sakit ati gitu… Dengan begini juga kau juga berkembang, kan? Kau sendiri yang bilang kalo kekuatanmu bertambah… Semakin sering kita melakukan ini, percaya aja kalo kau bakal bertambah kuat…” ia berpaling lagi pada peri Anaga itu yang kembali buang muka. “Gak usah boong… kau juga keenakan gitu, kok…” coleknya pada belahan kemaluan Cundamanik yang membuatnya terkesiap kaget bergidik geli.

“Uhh…”

“Sasaran kita berikutnya malam ini… Iva yang cantik… Bersiaplah kita akan bersenang-senang lagi… Lakik paok-nya itu lagi mancing ninggalin biniknya di rumah tak terjaga…” ujar Aseng mematikan layar HP-nya dan mengantonginya dan bergerak untuk keluar dari hotel. Mobil Aseng meninggalkan hotel dan beranjak ke arah rumahnya di daerah Mabar untuk menemui Iva.

“Apa kau masih belum bisa merasakan si Ameng itu?” tanya Aseng sembari asik mengemudi. Core itu masih dianggapnya terus mengikuti dan memata-matai dirinya hingga taraf mengganggu. Ia bertekad lain kali kalo bertemu lagi akan dimusnahkannya saja mahluk asing itu. Cundamanik hanya menggeleng, lebih pada ia tak pernah dapat mengerti mahluk apa Ameng itu hingga ia tak dapat mendeteksi posisinya.

Tak lama, mobil Aseng sudah mencapai Mabar dan segera memasuki gang tempat tinggalnya. Diparkirkannya mobilnya di halaman rumahnya sendiri lalu berjalan kaki sesenyap mungkin ke arah rumah Iva. Ia sudah mengirim pesan ke binor hamil itu untuk membukakan pintu jalannya masuk. Ini sudah lewat jam 2 pagi. Orang-orang seharusnya sudah pada tidur.

Ditutup dan dikuncinya kembali pintu rumah Iva. Hapal mati layout rumah binor ini, ia langsung saja menuju kamar dimana perempuan itu sudah bersiap menyambutnya. Satu-satunya lampu ruangan yang masih menyala. Aseng meremas junior-nya yang menggeliat di dalam celana dalamnya, antisipasi akan menggauli perempuan cantik hamil lainnya malam ini.

“Malam bu Ipa cantik…” sapa khas buaya darat yang merayu mangsanya. Ditahannya liurnya menetes di mulut menyaksikan kesiapan sang binor hamil akan kedatangannya. Iva hanya memakai pakaian minim berbaring pasrah menggoda di atas ranjang. Sang binor tersenyum lebar gembira bukan buatan Aseng datang menyambanginya malam-malam begini. Mengulang kisah indah yang masih melekat erat di memorinya.

Iva

“Malam, bang Aseng…” jawabnya merdu sekali. Aseng yakin sekali, belahan indah di antara kaki si binor sudah basah hingga bisa langsung dicoblos. Aseng masuk kamar dan merapatkan pintu kembali. Ia duduk di tepian ranjang dengan senyum terbaik yang bisa dibuatnya menghiasi wajahnya agar tak terlihat begitu buru-buru menerkam mangsanya. Hanya saja ia menangkap pergelangan kaki Iva dan mulai mengelus-elusnya.

“Bang Aseeeng~~…” manja Iva. “Kangeeeen~~…”

“Abang juga kangen bu Ipa, kok…” elusan tangannya naik ke betis saat ia beringsut naik lebih ke tengah ranjang dimana Iva berbaring menantang. Daster tipis, lembut dan pendek itu tak dapat menyembunyikan bentuk perutnya yang membuncit besar. Iva dianugrahi tubuh yang tak melar berlebihan saat hamil hingga ia tak menjadi gembrot. Hanya bagian perut dan payudaranya saja yang memuai drastis. Itu yang membuat Aseng gemas. Tangannya sudah sampai di paha, merasakan mulus paha Iva. Iva melebarkan kakinya, mengundang Aseng untuk berada di tempat yang diinginkannya. Memang itu yang diinginkan Aseng. Memasuki binor cantik ini.

“Ups…” Aseng mencegah tubuhnya dari menindih Iva sepenuhnya dan menghimpit perutnya yang buncit. “Hati-hati-loh, bu Ipa… Udah berapa bulan nih?” tanya Aseng mengelus bagian perut itu dari permukaan daster tipisnya. Modus sih sebenarnya.

“Lima bulan, bang Aseng… Mau tau cewek apa cowok?” jawab Iva dan menawarkan informasi ini. “Atau bang Aseng mau buat surprise aja?”

“He he hehehe… Abang bisa tau-loh… Ada cara yang mudah tanpa USG…” kata Aseng membual. Iva manyun karena Aseng tak bermain dengan kemauannya.

“Apaan coba?” tapi Iva malah termakan bualan Aseng.

Merasa diberi izin, Aseng melancangkan tangannya menyibak bagian rok daster tidur yang dikenakan Iva dan langsung saja meloloskan celana dalam yang dikenakan sang binor. Tangannya lincah melakukan itu semua dan jarinya langsung menemui titik basah di kain celana dalam pertanda Iva sudah becek dari tadi, sudah siap buat dicoblos. Tapi Aseng bukan hendak melakukan itu.

“Ahhh…” Iva melonjak kaget karena Aseng menyeruduk ke arah selangkangannya dan langsung mencaplok kemaluannya. Bibir dan lidah Aseng langsung bergerak aktif, berkecipak-kecipak, menyedot, menyeruput, menjilat, menusuk. “Aahmm…” Berkelojotan binor ditinggal mancing ini merasakan permainan Aseng pada kemaluannya. Terasa semakin basah dan becek kemaluannya. Pinggulnya bergerak-gerak menggerus muka Aseng yang masih asik dengan vaginanya.

Sedikit lagi Iva akan mencetuskan ledakan orgasme, Aseng menghentikan aksinya. Berdecap-decap ia merasakan sisa rasa yang tertinggal di mulutnya.

“Banghh… baangghh… Dikit lagi… dikit lagi Ipaahh…” penasaran tentu sang betina bunting ini kentang hampir sedikit lagi.

“Dari aromanya… tekstur dan konsistensi rasanya… gak salah lagi ini pasti cewek yang cantik banget kek mamanya…” bual lanjutan Aseng yang membuat Iva tergelak menutup mulutnya. Padahal barusan ia gak sabaran karena telah digantung sedemikian rupa. “Bener, kan?”

“Kok bisa tau, sih?”

“Aseng gitu loh…” jawabnya songong. Ia mengelus kedua bagian paha dalam yang terbentang terbuka itu. Membuat sang binor melenguh keenakan. Ia menaikkan lagi lebih ke atas rok daster itu hingga perut buncitnya terlihat jelas. “Waah… Indah sekali…” terpukau Aseng menatap perut membesar berisi janin yang kemungkinan besar adalah darah dagingnya. “Ini indah sekali…” tapi gak tentu juga karena perut buncit itu karena di bawahnya masih terbentang lebar juga vagina lezat Iva.

Lebih terbuka lagi ke atas hingga gundukan sepasang payudaranya yang membengkak lebih besar dari biasanya. Puting yang dahulu mungil kini membesar melebar dan gelap. Semua daster Iva kini bergulung di bawah lehernya. Aseng berdecak-decak mengagumi keindahan tubuh Iva yang kini terlihat semua. Aseng benar-benar menyukai tubuh wanita hamil karena menurutnya wanita hamil adalah perempuan yang sempurna karena menyempurnakan kodratnya untuk meneruskan keturunan. Perempuan yang sempurna adalah perempuan yang bisa hamil.

Aseng kemudian menindih tubuh terbuka Iva. Yang menjadi incarannya tentu saja adalah bagian mulut sang binor. Keduanya berciuman panas bermain lidah berdecap-decap. Tangannya tak lupa menggerayangi sekujur tubuh Iva dan hinggap akhirnya di payudara montoknya. Diremas-remasnya gumpalan susu kenyal itu sambil terus berciuman dengannya. Iva menyambut semua manuver mulut Aseng dengan riang gembira setara nafsu. Tapi dibalik itu, ada sosok lain yang ogah-ogahan menyambut mulut baginda rajanya; Cundamanik.

Peri Anaga dikunci tubuhnya di tubuh Iva hingga apapun yang terjadi pada jasad binor itu, hal yang sama terjadi juga pada Cundamanik. Seperti halnya payudara Iva yang diremas-remas, payudara Cundamanik yang tak terlalu besar juga ikut diremas-remas Aseng. Paha Iva yang diraba-raba, paha Cundamanik juga diraba-raba. Hanya saja peri Anaga itu tak mengeluarkan suara sama sekali. Hanya Iva yang merintih-rintih.

Apalagi saat Aseng mulai mengarahkan junior-nya yang sudah tegang mengeras ke arah vagina Iva yang terbentang pasrah, mulai masuk dan menusuk. Iva melengkungkan punggungnya menerima rasa nikmat dimasuki kemaluan Aseng kembali setelah sekian lama, Cundamanik merasakan hal yang sama. Plus energi dalam jumlah banyak yang banjir memasuki tubuhnya. Cundamanik hanya bisa membiarkannya sekaligus ikut terlibat dalam semua urusan Aseng dan para binor buntingnya. Termasuk rasa nikmat.

Aseng terus menyodok-nyodok kemaluan Iva yang sangat nikmat mengatup junior kerasnya. Tubuh Iva berbaring, kepalanya bertumpukan bantal, kakinya terbentang lebar. Aseng semi duduk dengan lutut berlipat. Kemaluan keduanya bertaut keluar masuk dengan kecepatan sedang, menikmati sepuas-puasnya rasa nyaman gesekan kelamin becek yang berbunyi saru. “Clek clek clek clek…” Suara gesekan itu masih kalah menyenangkan dibandingkan suara rintihan Iva yang menikmati sodokan pejantan yang sedang mengebor kemaluannya. Pria yang sama yang telah menghamilinya lima bulan lalu.

Terus dipertahankannya posisi itu. Ia duduk tegak dengan terus menggenjotkan pinggulnya maju mundur. Sesekali ia menyaksikan proses keluar masuk kelaminnya ke dalam vagina Iva, sesekali ia memuaskan netranya akan gelombang gerakan payudaranya yang bergelayutan, sesekali juga memperhatikan ekspresi keenakan binor cantik itu. Di lain pihak ia juga mengawasi apa yang terjadi pada Cundamanik. Peri Anaga itu sering tidak jujur dengan apa yang dirasakannya. Pura-pura tak menikmati tetapi ia tetap orgasme juga bila saatnya tiba.

Dielus-elusnya perut Iva untuk menenangkan, mengurangi ketegangan tubuh perempuan hamil ini saat orgasme yang datang bergulung-gulung. Dilakukannya itu berulang-ulang karena ia telah menyebabkan sang binor klimaks berkali-kali juga. Iva merasa nyaman di posisi ini terus dan menikmatinya secara pasif. Hanya berbaring mengangkang, membiarkan sang pejantan melakukan semua tugasnya. Karena itu memang tugas sang pejantan yang sesungguhnya.

Ronde pertama berlalu begitu Aseng menyemprotkan pejuhnya pada tubuh Iva (dan Cundamanik). Aseng perlu melakukan sekali atau dua kali lagi untuk melaksanakan rencananya. Sesuai dengan yang sudah diketahuinya, ia perlu 2-3 ronde seks pada wanita hamil untuk menyebabkan Cundamanik mengeluarkan sebutir telurnya. Cundamanik yang ditandem-kan di tiap perempuan yang digauli Aseng akan menghasilkan telur. Apakah Aseng tak memperdulikan fakta bahwa hanya ada satu peri Anaga di satu masa? Setidaknya Aseng sudah mempunyai dua buah telur Anaga saat ini yang sedang digantung di kalungnya.

“Enak, ya?” kata Aseng mengelus-elus sebelah paha Iva. Binor itu sedang ngos-ngosan dengan dada turun naik. Vaginanya berlepotan sperma kental Aseng. Junior sang pejantan tepat ada di atas vaginanya, hanya digesek-gesekkan saja selesai tugas ronde pertamanya. Iva hanya mengangguk pelan sambil menggigit bibir bawahnya untuk membasahi. Berkali-kali ia meneguk ludah untuk melegakan tenggorokannya yang kering. Cundamanik juga terdiam mengangkang. Pertanyaan itu untuk mereka berdua.

Aseng membaringkan tubuhnya di samping tubuh Iva, menariknya agar saling berhadapan. Mengelus-elus dan mencumbui sang binor, bermaksud istirahat sebentar untuk melanjutkan ronde berikutnya. Ia memanfaatkan rasa haus sang binor untuk keuntungannya saat ini. Iva memeluk Aseng sepenuh hati saat keduanya cuddling setelah seks yang luar biasa barusan. Diremas-remasnya otot perkasa di sekujur tubuh Aseng yang tak pernah gagal memberinya rasa puas. Kecup-kecup basah bibir berterimakasih telah sama-sama puas.

“Apa bang Aseng mau menemani Iva sampe pagi di sini?” tanya Iva semanis mungkin agar Aseng tertarik dengan tawarannya. Tentu saja ia membiarkan tangan pria itu memainkan payudaranya yang tumpah ruah bertumpukan. Apalagi tawaran seks yang bisa didapatkannya semalam suntuk.

“Lakikmu pulang jam berapa rupanya? Kalo dia pulang tiba-tiba gimana?” tunda Aseng. “Abang sih mau-mau aja… Sampe gempor Iva abang buat…” dipilin-pilinnya puting susu yang mulai gemuk gelap itu.

“Paling-paling waktu pagi udah terang dia sampe rumah, bang…” kata Iva mengingat kebiasaan suaminya kala mancing bersama teman-teman sehobinya. Padahal biniknya dirumah sedang dijala orang lain, tangkapan berharga besar.

“OK-lah kalo begitu… Sampe pagi ayok…” girang Aseng membayangkan berapa banyak telur peri Anaga yang dapat diperolehnya dari satu binor bunting saja. Cundamanik yang masih terperangkap di tubuh Iva hanya bisa memutar bola matanya kesal tapi tak terlalu berani mengekspresikannya secara frontal di depan baginda rajanya. Cumbuan terus dilakukan Aseng pada tubuh Iva hingga ia merasa sudah tiba saatnya ia melakukannya lagi.

Tubuh Iva dibalik lagi ke arah sebaliknya hingga memunggungi dirinya. Ia menatap punggung Iva dan merapatkan kemaluannya ke arah belahan bokong. Disodok-sodoknya hingga Iva mendesah merintih. Walaupun begitu, posisi ini belum pas. Aseng harus menyesuaikan posisinya lagi agar ia bisa memasukkan junior-nya ke tubuh Iva yang sudah menyiapkan dirinya. Aseng beringsut turun hingga berposisi seperti melakukan gaya doggie, hanya saja sambil berbaring. Diarahkannya ujung junior-nya ke bukaan vagina Iva yang terbuka karena sebelah kakinya lebih renggang. Dengan mudah kepala junior-nya terselip berkat becek ronde sebelumnya.

“Ehhmm…” lenguh Iva merasakan tubuhnya menerima benda pejal itu akan mengacak-acak bagian dalam kemaluannya lagi. Aseng memeluk bagian pinggul sang binor hamil yang berbaring miring, sekaligus dengan peri Anaga yang bersamaan disetubuhinya.

“Wiu wiu wiu wiu wiu wiu…”

Terkaget keduanya mendengar suara bising dari alarm mobil yang terdengar nyaring di tengah malam begini. Aseng segera mengenali suara alarm itu sebagai suara alarm dari mobil Jazz-nya yang terparkir di halaman rumahnya. Walau jaraknya lumayan jauh, tapi kesunyian malam membuatnya terdengar sangat jelas. Siapa yang berani mencolek mobilnya di tengah malam begini? Maling-kah? Atau hanya kucing? Atau malah anjing? Bebek mungkin?

Suaranya panjang dan tak berhenti-henti. Pasti beberapa tetangga sudah merasa terganggu dengan suara itu dan mulai keluar untuk melihat alarm mobil siapa yang berisik menggangu waktu kelon.

Aseng menggerutu dan menyumpah-nyumpah tak bersuara. Mau tak mau ia harus keluar dari rumah Iva dan menon-aktifkan suara alarm itu karena sinyal remotnya gak akan nyampe dari sini.

“Kimak!” gerutunya yang merasa kentang. Tapi ia berhenti di tempat gelap begitu ia menyadari siapa yang ada di dekat mobilnya yang didekati beberapa tetangga yang penasaran. Mungkin mengira ada maling. “Kentang nih…” umpat pada dirinya sendiri.

—–oo0O0oo—–

“Bahaya-loh ini, kak? Dua perempuan keluar malam-malam begini… Tuh liat… Jalanan sepi begini…” ujar gelisah gadis yang dibonceng seorang MILF cantik berambut pendek yang celingak-celinguk menajamkan matanya. Keduanya memakai jaket tebal untuk mengusir angin dingin.

“Makanya bantuin nyari… Liatin mungkin dia ada nongkrong di sekitar sini… Masa udah berapa hari gak pulang-pulang… Gak ingat anak binik apa di rumah? Kebangetan banget jadi orang…” geram campur dongkol sang pengemudi motor matic terus memperhatikan sudut-sudut jalan untuk menemukan target yang dicarinya.

“Lebih sereman orang sekarang kak daripada hantu… Kita kalo ketemu hantu tinggal pingsan… Nah kalo kalo ketemu begal… kan lain ceritanya…” sambung Tiara lagi memegang erat-erat pinggang istri Aseng yang nekat berkeliaran malam ini demi mencari Aseng yang gak pulang-pulang.

Tiara

Tiara

“Iyaa… Tau kakak itu… Tapi ini demi lakikku, Tirr… Teman-temannya yang paling akrab aja gak tau dia ada di mana… Padahal itu mereka juga sakti-sakti kalo kau mau tau… Sama orang itu bertiga kalo masalah berantem-beranteman sejak sekolah dulu… Ini memang gak beres si Aseng ini sekarang… Entah hapa-hapa aja yang sedang dibuatnya sekarang…” gerutu istri Aseng tetap nyalang matanya mencari jejak suaminya yang entah ada di mana. Nomor miliknya diblokir, dihubungi pakai nomor lain gak diangkat-angkat, permisi gak masuk kerja sampe seminggu. Gimana gak bingung?

“Iya, kak… Ingat Tiara waktu kita masuk alam aneh dengan banyak pohon-pohon waktu itu… Itu kuntilanak merah katanya, ya? Kok bisa bang Aseng berantem sama hantu-hantu gitu?” tanya Tiara masih juga celingak-celinguk.

“Itu masih kecil, Tirr… Itu gimana caranya enam orang dari Surabaya dibawa ke rumah kek gitu mudah? (saat Iyon membawa jenazah Selvi dari Surabaya ke Medan dengan jurus Bayangan Bunga Bujur-nya, 3 Ribak Sude, ibunya, suami Selvi dan jenazah)… Kakak pun gak begitu paham apa aja yang mereka bisa lakukan… tapi ini ada yang gak beres sama lakik kakak ini… Pokoknya dia harus ketemu bagaimanapun caranya…” curhat seorang istri yang sedang kebingungan mencari suaminya.

“Kaaak… KIta kok lewat sini sih, kaaak? Disini terkenal banyak begalnya-loh, kaakk…” menggigil Tiara di boncengan belakang mengenali daerah yang mereka lalui ini. Tak ayal lagi, pemegang kendali motor matic ini langsung aja tancap gas sekencang-kencangnya. Tiara yang duduk belakang memeluk pinggang emak-emak langsing di depannya itu seerat mungkin. Motor meraung melaju cepat. Bila benar-benar ada begal beneran, semoga mereka tak berniat mengejar yang melaju cepat bak dikejar setan.

“Selamat kita, kak… Liat tadi itu sepanjang jalan sepi semua, kan? Mana rumah-rumah penduduk masih jarang begitu…” lega Tiara karena mereka sudah memasuki perkampungan penduduk yang lebih padat hingga relatif lebih aman bagi keselamatan mereka berdua.

“Abis ini aku akan belajar nyetir mobil aja… ” tekadnya. “Jantungan kakak tadi, Tirr… Fiuh… Tapi ini belum selesai… Di belokan sana ada kuburan yang lumayan angker katanya…” ia baru teringat ini susunan perkampungan ini yang mendekati rumah lamanya di Mabar.

“Yaah, kakak…”

Lanjut-lanjut mereka berkendara di heningnya malam. Hanya ada beberapa pengguna jalan lain yang mereka papasi. Kebanyakan adalah pekerja pabrik yang baru pulang shift malam, karena daerah ini memang daerah industri. Insting seorang istrinya mungkin memang kuat hingga ia malah tiba di tempat ini. Ia sudah mencoba kemana-mana, tempat yang kemungkinan menjadi tempat nongkrong Aseng dan berakhir di daerah rumah mereka sendiri di Mabar.

“Ini gang ke rumah kami yang lagi direnovasi itu, Tirr…” ia menurunkan kecepatan hingga suara mesin motor yang memang sudah halus itu, bertambah makin senyap. Matanya langsung mengenali sebuah kendaraan yang diparkir dengan manis di halaman rumahnya yang sedang direnovasi.

“Itu mobilnya, kak…” Tiara langsung tanggap dan mengenali Honda Jazz hitam itu juga. Padahal hanya sedikit penerangan yang mengenai kendaraan terparkir itu, banyak tertutup teduhan bayangan pohon mangga golek di atasnya. Motor matic-nya langsung diparkirnya disamping mobil.

“Mobilnya udah mulai dingin… Udah lama ditinggal di sini mobilnya…” tanpa menyentuh bodi mobil, ia tahu kondisi mobil ini sudah lumayan lama berhenti. “Ngapain dia ada disini? Tapi yang pasti dia gak ada di dalam rumah…” ia berbicara pada dirinya sendiri. Tiara hanya plonga-plongo aja gak ngerti apa yang sedang dipikirkan perempuan ini.

Malah kakinya bergerak cepat dan menendang bemper belakang mobil hatchback tipe automatic ini.

“Wiu wiu wiu wiu wiu wiu wiu wiu!!!” suara alarm sang mobil langsung meraung-raung bising memekakkan telinga. Ia tak dapat memikirkan hal lainnya selain melakukan ini. Aseng pasti tak jauh dari mobil ini terparkir dan pasti dia akan mendengar suara bising ini. Ia pasti akan datang kemari.

“Suamiku… Cepatlah kau keluar, Aseng… Dimana kau bersembunyiii??” geramnya tak sabar.

Bersambung

Pembantu cantik
Nikmatnya ngentot pembantu cantik yang masih perawan
500 foto chika bandung bugil di luar kamar hotel jembut lebat
dukun cabul
Cerita dukun cabul yang menikmati tubuh pasien nya bagian satu
Foto bugil ABG nungging pamer memek mulus
Foto bugil anak sma bispak montok memek masih sempit
cantik indonesia cerita sex
Ohh Aku Telah Menghancurkan Gadis Yang Tulus
Wanita Panggilan Pelanggan Setia Ku Bagian Dua
Foto telanjang anak SMP cantik bisyar
Adik keponakan ku yang centil dan sexy
ayu
Menikmati memek ayu gadis cantik berkerudung
Hanya Demi Nilai Aku Rela Digoyang Dosenku
pengantin baru ngentot
Ga sengaja melihat tetangga sebelah rumah sedang main di kamar
spg cantik
Cerita ku ngentot pertama kali dengan seorang SPG
cewek pendiam lagi sange
Selingkuh Dengan Kakak Ipar Karena Kesepian
Cerita Dewasa Kisah Cinta Anak ABG SMP Bohay
suster hot
Ceritaku waktu di mandiin suster cantik waktu di rawat di RS