Part #101 : Jangan bersedih Amira

“WIU WIU WIU WIU WIU WIU WIU WIU…”

Aseng masih sangat kesal sekali dengan ‘kentang’ yang menimpa dirinya akibat tak bisa berlama-lama bersama dengan Iva di peraduannya. Ia hanya berhasil menamatkan satu ronde saja bersama binor hamil itu hingga rencananya berantakan. Suara berisik bising yang berasal dari alarm mobilnya yang mengganggu ketenangan malam syahdu ini.

Beberapa tetangga sudah mulai keluar, melongok dari pintu rumah mereka untuk mengintip, mobil siapa sih yang berisik di dini hari begini? Kenapa pemiliknya tak kunjung mematikan alarm itu? Kalo ada maling, pasti sudah lari jauh tu garong kaget suara bising ini. Beberapa tetangga lain malah keluar rumah dan mendekati mobil yang terparkir di halaman rumah Aseng yang dalam keadaan kosong sebab sedang direnovasi berkat kedip-kedip lampu-lampunya.

“Mobil siapa, sih yang parkir di situ?”

“Mana, nih yang punya mobil? Gak tau berisik apa, ya?”

“Gak tau apa anakku masih tidur…”

Aseng ada di antara para jiran tetangga itu. Melihat hanya dari kejauhan dan mematikan alarmnya dari kantongnya saja. Ia bisa melihat istrinya ada di dekat mobil itu bersama Tiara. Tapi ia tak kunjung mendekat, hanya tetap memperhatikan saja. Perempuan itu tampak sangat kesal karena suaminya tak kunjung muncul walau sudah demikian kebisingan yang disebabkannya. Kalau orang normalnya akan malu datang, menon-aktifkan alarm dan meminta maaf kepada warga yang telah terganggu tidur malam berharganya. Itu yang dituju istri Aseng dan seharusnya itu yang dilakukan Aseng.

Tapi tidak Aseng kali ini. Ia tidak bergeming. Ia hanya menatap. Menatap dengan kesal karena kegiatannya telah diganggu. Ia malah berbalik arah, pergi menjauh dari tempat itu.

“Halo… Pulang sekarang juga… dan jangan mempermalukan dirimu lebih jauh…” hanya pendek saja pesan yang disampaikannya pada istrinya yang kiranya mendapat kabar baik, tetapi malah berbuah kekecewaan. Hubungan telepon langsung dihentikan dan tak bisa dihubungi lagi.

“Gini nih jadinya kalo maen di kampung…” ngedumel Aseng karena kesulitan yang dihadapinya karena melakukan skandal ini di perkampungan penduduk yang notabene adalah tempatnya sehari-hari. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan memilih tempat yang lebih kondusif ke depannya. Tapi mata awasnya melihat kelebatan yang segera menarik perhatiannya. Seperti terkembangnya sayap lebar, gelap dan hitam di balik bayangan rumah-rumah penduduk. Hal itu menarik perhatiannya karena sepertinya ia tahu siapa pemilik sayap seperti itu.

“Wiu wiu wiu wiu wiu wiu wiu wiu!!!”

Di kejauhan terdengar lagi suara alarm mobil itu kembali membahana. Sepertinya perempuan itu naik darah karena kelakuan Aseng barusan yang sepertinya menjauhi dirinya dan membuat masalah seperti ini. Besar kemungkinan kalau ia menendang mobil itu lagi. Atau memecahkan sesuatu…

Aseng tak memperdulikan itu melainkan mendekati sosok bersayap itu. Ia seperti memasuki satu lorong gelap dan hingga berakhir di suatu tempat yang gelap pekat. Walau gelap gulita tak ada sumber cahaya sedikitpun, ia bisa mengetahui keberadaan sosok di depannya ini. Sayap lebar berwarna hitamnya itu berayun-ayun mengembang lebar seolah sedang bermain dengan alat terbang itu.

“Apa kabar, baginda raja? Baik-baik saja?” tanya sosok itu.

Awyati

“Sehat, Awyati… Kau masih berani menemuiku?” ujar Aseng dingin. Peri kasta tertinggi peri Candrasa itu dengan berani menghadapi raja atau mantan raja yang telah dikhianatinya ini. Tetapi apa tujuannya melakukan kontak ini?

“Kenapa harus takut, baginda raja? Bukankah hamba ini adalah warga kerajaan baginda raja? Boleh tentu warganya menemui rajanya sendiri…” jawab sang Awyati dengan berani. Sayapnya bergerak-gerak seakan mengepak hendak terbang.

“Kau sudah terpengaruh musuh dan membelot!” hardik Aseng bangkit amarahnya. Tentunya ia berhak marah. Awyati adalah satu dari lima peri kasta tertinggi yang diubahnya, yang merupakan hasil keturunannya dan Eka—peri Aruna nomor pertama di kerajaan Mahkota Merah. Besar harapan Aseng atas mereka berlima untuk dapat memenangkan peperangan sebelumnya. Tapi mereka dengan mudahnya dapat dibajak oleh peri berambut ungu itu yang entah menggunakan jurus apa.

“Kalian juga sudah menyerap semua ratu-ratu periku dan mengambil semua kekuatannya!”

Awyati menyeringai di kegelapan. Aseng sudah siaga sedari tadi. Ia bertekad akan menghabisi peri Candrasa kasta tertinggi ini bila pecah konfrontasi seperti saat ini. Untung saja hanya satu yang muncul, tidak kelima-limanya.

“Wusshh…” peri Awyati yang juga bernama sesuai jenisnya itu menyambar cepat. Kecepatannya sangat luar biasa. Aseng tidak gugup karena sudah mengira ini bakal terjadi. Dengan kaki kanannya ia menghalau serangan Awyati. Tangan itu menyambar cepat hendak menghajar bagian kepala Aseng. Benturan terjadi hebat karena hantaman kuat jurus Gugur Gelugur yang digunakannya untuk langsung menghancurkan tangan si peri bayangan itu. Keduanya terjajar mundur. Aseng mengenakan bakiak Bulan Pencak di kedua kakinya untuk pertarungan ini.

“Khi khi khi khiii… Menyenangkan sekali baginda rajaaa… Tapi ini adalah lingkungan hambaa… Hamba ada di kegelapan yang sangat nyaaamaaan…” bergerak lagi peri Awyati itu menyerang kembali. Tangannya sambar-menyambar ke arah kepala Aseng terus. Terus menerus juga Aseng memblok semua serangan itu dengan kedua kakinya. Bakiak kayu berwarna merah itu sampai berasap karena benturan bergesekan keras berkali-kali. Aseng lalu mengeluarkan mandau Panglima Burung-nya di tangan kanan dan pedang Paksapeti di tangan kiri untuk membantu serangannya.

Untuk sekilas, Aseng berhasil mendesak Awyati tetapi dengan cepat peri kegelapan itu pulih kembali. Hanya dengan tangan kosong ia bisa menahan serangan senjata-senjata berbahaya Aseng yang tentunya dilambari kekuatan yang tak bisa dibilang lemah. Mungkinkah karena ia lebih kuat? Mati-matian menyerang Awyati semua kemampuan terbaiknya dengan menggunakan kedua pedang di tangan dan dua bakiak di kaki. Serangan bertubi-tubinya disambut ringan saja oleh peri Awyati itu. Seperti tak akan ada celah untuk Aseng sekedar menyentuh peri bayangan itu.

“Cundamanik!!” putus asa, Aseng memanggil peri Anaga itu. Segera peri itu muncul di hadapan Aseng dan ikut bertarung di tempat gelap ini. Bagian tubuhnya yang mengandung api memberi sedikit cahaya di tempat gelap ini. Bahu membahu raja dan hambanya ini menyerang Awyati yang seperti tak tersentuh. Peri itu sepertinya belum terlalu serius meladeni lawannya di pertarungan ini. Padahal kedua lawannya sudah sangat serius hendak menghabisinya.

“Berubahlah jadi naga!!” Aseng tak sabar lagi dan memerintahkan hal itu pada Cundamanik karena lawan tak kunjung terdesak. Malah semakin di atas angin. Wajah Cundamanik terlihat ragu mendapat perintah yang tak boleh dibantahnya itu. Tapi ia sudah cukup banyak mendapatkan energi selama ini dari baginda rajanya. Seharusnya ia berbakti sebaik-baiknya untuk momen penting seperti saat ini.

“WRRAAAAAAAUUURRRRHHH!!” Cundamanik meregangkan tubuhnya. Elemen api di dalam tubuhnya bergejolak. Ia ingin membuktikan dirinya pada sang baginda raja. Dengan cepat terjadi beberapa perubahan drastis tubuhnya. Membesar, mengeras, bersisik, bersayap, seekor naga yang sangat besar.

 

Tempat ini mendadak menjadi sangat terang oleh api yang membara di sekujur tubuh bentuk naga Cundamanik. Hal ini jelas menyilaukan Awyati yang mundur menjauh dari naga tiba-tiba menjelma dari bentuk peri Anaga yang dimiliki Aseng. Naga api itu meraung-raung dan menyemburkan api yang sangat panas sekali. Bentuk kebanggaannya telah berhasil memenuhi jati dirinya sebagai peri Anaga yang bisa menjadi naga yang sesungguhnya. Aseng puas dengan pencapaian yang bisa diraih Cundamanik. Ia sudah melakukan banyak hal untuk memperkuat peri Anaga ini dan inilah tujuannya.

“Whaa ha haa haa…” Awyati di kejauhan sana malah tertawa-tawa senang melihat ada naga di tempat yang gelap ini. Ia bertepuk-tepuk tangan kegirangan ada cahaya yang menerangi tempat ini. “Hebaaatt! Hebaaatt!!” ia mengacung-acungkan kedua jempolnya pertanda ia sangat senang melihat mahluk sebesar itu hendak mengamuk di tempat ini.

“Mengamuklahhh! Whaa haa haahaa…” ia meluncur maju kembali. Bayangan yang terbentuk di belakangnya semakin lebar dan panjang begitu ia bergerak cepat mendekati sumber cahaya yang dipancarkan sang naga api. Naga perubahan Cundamanik itu bersiap akan menyemburkan apinya lagi pada peri Awyati yang melaju menerjangnya cepat.

“WRRRAAAAHHHH!!!” semburan api yang sangat besar menyembur dari bagian mulut naga Cundamanik. Ini lebih besar dari Adi Pawaka yang pernah diperagakan Aseng di beberapa kesempatan. Ini juga karena ukurannya yang sangat masif. Panas yang luar biasa sekelas ini pasti bisa melumerkan apapun. Sanggupkah Awyati menahannya?

Ternyata Awyati hanya perlu menghindari semburan api sebesar itu. Mungkin lebih masuk akal menghindarinya daripada melaga kekuatan dengan kekuatan mentah juga. Lincah ia melompati semburan panjang itu, bersalto beberapa kali, bergulung dengan cepat dan melewati kepala naga berukuran besar itu. Ia menjejak belakang kepala naga api yang keseluruhan tubuhnya membarakan panas. Tendang dan ia meluncur lebih jauh ke depan menuju ke arah Aseng yang ada tepat di belakang Cundamanik.

Aseng ternyata tidak siap menerima serangan mendadak ini. Tadinya ia sudah merasa unggul dengan kemunculan bentuk naga Cundamanik. Ternyata dirinyalah yang ditarget lawan. Kelabakan ia menyiapkan diri menyambut lesakan teramat cepat peri Awyati itu. Bayangannya membuatnya sangat unggul di tempat segelap ini.

“Aahkk…”

Aseng tercekat kaget karena kepalanya disambar dengan cepat oleh salah satu tangan Awyati. Tubuhnya melayang terjatuh ke belakang oleh kekuatan besar yang menariknya. Terjengkang sang baginda raja Mahkota Merah ini oleh daya tarik mendadak itu. Awyati menggenggam erat tanduk yang tumbuh dari mahkota sebelah kiri Aseng. Tanduk hitam yang mendadak tumbuh mencuat saat kejadian kontra raksasa Batara Kala yang memangsa keluarga Tiwi.

Tubuh Aseng dibanting dengan kasar ke tanah hingga pria itu mengeluh kesakitan kala punggungnya terbentur keras.

“BOOMM!!”

“Akkh…” bagian belakang kepalanya juga membentur tanah gelap ini. Bentuk naga Cundamanik berbalik hendak kembali menyerang kembali musuh seperti yang diperintahkan baginda rajanya. Tapi ia hanya melihat sang raja di permukaan tanah sedang berusaha bangkit setelah dijatuhkan dengan serangan mendadak barusan. Awyati tidak terlihat lagi dimana-mana.

“Pukimaak!!” maki Aseng kesal telah dipecundangi dengan mudahnya. Mata nyalang mencari keberadaan peri kurang ajar itu tapi ia tak menemukannya di mana-mana. Malah gelap pekat di sekitarnya mulai menjadi gelap biasa kembali. Gelap biasa itu artinya kita masih bisa melihat cahaya lain di latar kegelapan itu. Lebih tepatnya lingkungan disekitarnya terlihat. Apalagi langit malam yang punya satu dua titik bintang berkelip. Awyati telah mengeluarkan mereka dari kegelapan absolut tadi.

Keduanya, raja dan bawahannya celingak-celinguk mencari lawan yang tiba-tiba menghilang begitu saja setelah melakukan serangan yang telak menghajar lawan. Saat ini mereka ada di sebuah tanah kosong yang lumayan luas, lokasinya ada di gang sebelah rumah Aseng berada. Tanah kosong ini ditanami berbagai macam jenis pisang. Lokasi yang sama dimana Aseng pernah memulai skandalnya dengan Aida dulu. Tentu saja saat ini ladang pisang hancur berantakan karena bentuk besar tubuh Cundamanik yang berubah menjadi naga. Buru-buru Aseng menyuruh Cundamanik membatalkan perubahannya menjadi naga, kembali ke wujud awalnya.

“Kimak-nya peri satu itu… Kemana dia perginya? Suara alarm mobilku masih kedengaran aja sampe sekarang… Hu-uh…” kesal Aseng hendak marah-marah tapi segera sadar diri ia sedang ada dimana. Dipandanginya sekitar lingkungannya yang hancur berantakan karena diacak-acak bentuk naga Cundamanik. Pohon-pohon pisang besar-kecil, berbuah-belum berbuah hancur berantakan.

“Apa??!” sergahnya karena peri Anaga berelemen api itu memandangi wajahnya seperti keheranan. Cundamanik ragu-ragu menunjuk kepala Aseng lalu menunjuk ke arah jidatnya sendiri sebagai penunjuk arah. “Kenapa kepalaku? Berdarah?” pria itu segera meraba bagian jidat kirinya seperti yang dicontohkan Cundamanik. Memang ada perubahan di sana.

“Tanduk di mahkota baginda… hilang…” sahut Cundamanik.

——————————————————————–
“Kita mau kemana ini, Citra?” tanya Amira yang terpaksa harus mengikuti sosok perempuan asing berambut ungu itu. Ia sebenarnya ragu-ragu, kenapa ada perempuan berpakaian ganjil seperti itu ada di tengah hutan. Terpaksa ia ikut karena ia mengaku diutus oleh Bobi untuk mengantarnya ke tempatnya sekarang juga. Bobi sudah ada di sana bersama ibunya sedari tadi. Amira ditinggalkan karena tadi sedang tidur lelap, gak tega membangunkannya.

“Kita ke tempat maha… uh-Bobi berada, Amira… Mereka sudah menunggu… Silahkan ikuti saya…” katanya menjaga betul-betul perkataannya. Bagaimanapun perempuan ini adalah wanita yang sangat dicintai maharaja junjungannya. Ia berjalan di jalan setapak hutan yang sepertinya baru saja dibuat agar misi ini berjalan dengan baik. Jalan setapak ini bersih walau hanya berbentuk tanah yang dipadatkan, bebas dari halangan apapun.

Bagaimanapun, Amira bukanlah wanita yang bodoh. Ia tahu ada yang tidak beres di kejadian ini. Perempuan ini terlalu mencurigakan. Penampilannya mencurigakan, gerak-geriknya apa lagi—lebih mencurigakan. Terlalu banyak yang disembunyikan perempuan yang mengaku bernama Citra ini. Bagaimana mungkin perempuan baik-baik berpakaian seperti itu di dalam hutan? Mirip pakaian renang yang terlalu banyak menampakkan kulit. Tidakkah ia bakalan menjadi sasaran serangan serangga hutan yang setidaknya membuat kulitnya gatal-gatal. Belum lagi kalau bertemu manusia lain, lelaki pasti akan tergoda melihat penampilannya yang tak biasa.

Dan rambutnya… Rambutnya berwarna ungu yang sangat ganjil. Apa itu namanya? Cosplay? Apakah Citra ini pelaku cosplay itu? Suka berpenampilan mengikuti idolanya dari anime-anime Jepang itu. Apakah itu rambut wig atau malah rambut aslinya yang dicat ungu? Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala Amira.

“Citra…? Kamu siapanya Bobi, sih?” tiba-tiba ia merasa cemburu hingga merasa perlu mengajukan pertanyaan ini. Apakah selama ini Bobi menghabiskan waktunya bersama si Citra-Citra ini? Ataukah ada Citra lainnya di tempat mereka menuju ini? Belasan tahun ini, keberadaan Bobi yang dipercaya telah mati, tiba-tiba muncul hidup kembali. Terlalu naif mengatakan kalau ia hidup kembali. Akan lebih masuk akal kalau Bobi sebenarnya memalsukan kematiannya. Amira belum pernah mengungkit masalah ini pada Bobi secara langsung karena ia terlalu bahagia dengan kemunculan tiba-tiba Bobi di hadapannya hingga ia lupa segala-galanya.

Perempuan bernama Citra itu tersenyum sangat manis. “Saya adalah bawahan maharaja… Saya melakukan semua perintah-perintahnya…”

“Maharaja?” Amira meneguk ludah setelah mengulang kata itu. Omong kosong apa ada maharaja-maharaja segala. Mereka ini sedang bermain apa? Semakin aneh semuanya bagi Amira. Ia berkali-kali melirik ke arah HP miliknya untuk mengecek jaringan. Sepertinya tak ada sinyal di dalam hutan ini. Hutan Alas Purwo tadi katanya?

“Itu sebutan resmi bagi Bobi-mu itu… Kami menyebutnya sebagai maharaja… Yang artinya tentu saja raja dari segala raja…” lanjut Citra.

Amira makin mengernyit. Raja dari segala raja. Amira bukan perempuan bodoh. Ia tau seluk-beluk daerah ini semuanya walau tidak secara mendetail dan ia tahu beberapa cerita tentang Alas Purwo tentunya. Hutan purba angker yang lebih seringnya dijauhi dari pada dikunjungi. Ia segera maklum kalau tak ada sinyal HP di tempat ini. Tapi ia masih tak mengerti tentang jam yang tertera di layar HP-nya.

“Ada banyak kerajaan yang saat ini bertekuk lutut di kaki Bobi-mu ini, Amira… Maaf… Saya boleh memanggil kamu Amira bukan?… Soalnya bisa-bisa nanti kamu malah menjadi ratu dari maharaja kami… Setidaknya saya sudah permisi terlebih dahulu, begitu…” kata Citra terus mengarahkan tamu agungnya untuk menuju tempat dimana Bobi dan ibunya berada.

“Ratu?… Bisa aja kamu, Citra…” keduanya tertawa dengan kompak walau terdengar tak tulus.

“Koreksi… Maharatu lebih tepatnya…” Citra memperbaiki penyebutan untuk Amira kelak. Kembali keduanya tertawa. Walau tak terlalu keras bagi Amira. Ia tentu menjaga dirinya di hutan berbahaya. Ada terlalu banyak cerita seram yang terjadi di hutan ini akibat prilaku tak terpuji pendatang hingga menjadi bumerang yang mengerikan. Tapi bagi Citra tidak begitu. Suara tertawanya tak ditahan-tahan walau tidak terlalu berlebihan juga. Hanya secukupnya.

Kembali ia melirik jam di layar HP-nya. Pengaturan setting jam di HP-nya sudah benar mengikuti Waktu Indonesia Barat… Tetapi kenapa di layar ini tertera pukul 02:26 dini hari padahal terang benderang begini. Apakah rusak? Nah-loh, kan? 02:25. Ini hitung mundur!

Ada apa ini?

Apakah dirinya masuk ke dunia ghaib yang terkenal di seantero pulau Jawa. Kerajaan ghaib terbesar di Alas Purwo??

Dan itu menjelaskan sosok yang berjalan menunjuk arah, berambut ungu dan berpakaian ganjil ini. Mengaku bernama Citra. Apakah ia bukan manusia? Lelembut, siluman atau apa? Amira berusaha menyembunyikan tubuhnya yang mendadak dingin menggigil.

“… miraaa…”

“Ah?”

“Tolong jangan dijawab panggilan itu, ya?” cegah Citra yang mencegah Amira dari berbalik dan menjawab panggilan yang terdengar di belakang sana. Mereka berdua berhenti di tengah jalan. “Dan jangan berbalik untuk melihat siapa yang barusan memanggilmu tadi… Tolong jangan perdulikan mereka… OK? Amira paham, yaa? Ck-ck…” kata Citra melakukan kode menembak dengan dua tangannya membentuk pistol bayangan. Kembali perjalanan menelusuri hutan kembali berlanjut. Berkali-kali Amira memeriksa HP-nya untuk melihat progres hitung mundur aneh dari jam yang terlihat di sana.

Dengan begini, Amira baru bisa berpikir. Selama ini pikirannya selalu terfokus pada kegembiraan bertemu Bobi kembali. Abai pada fakta sebenarnya. Harusnya hal seperti ini bukanlah hal yang lumrah. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa yang mereka kuburkan hari itu adalah Bobi yang sebenarnya. Setelah sempat sakit beberapa waktu, memburuk dan akhirnya meninggal dunia. Bobi bahkan sempat mengucapkan beberapa kalimat perpisahan. Ada bagian khusus untuk dirinya. Dan itu sangat berbekas di hatinya sampai sekarang

“Jangan bersedih Amira… Jangan bersedih hanya karena satu kalimat bernama kematian. Hanya ada satu hal yang pasti untuk kita yang hidup di dunia ini; yaitu mati itu sendiri. Lebih pasti dari pada sejuknya embun. Lebih pasti dari pada hangatnya matahari. Lebih pasti dari pada dinginya malam. Kelak kalau kita akan bertemu lagi di kehidupan selanjutnya… kupastikan akan menemukanmu terlebih dahulu…”

Ini belum kehidupan selanjutnya. Ini masih dunia yang sama. Ini belum akhir. Kenapa Bobi sudah menemukanku? Entah apa yang sudah dilakukannya dan entah apa yang sudah terjadi, sekarang Amira menjadi ragu.

—–oo0O0oo—–

“Jadi beberapa kematian yang ada disekitar Lord Purgatory sebelumnya berfungsi untuk apa, bah? Ada terlalu banyak nyawa yang melayang untuk ambisi gilanya ini… Termasuk pengorbanan… tumbal ato semacamnya?” tanya Iyon lagi saat itu.

“Bisa berarti banyak hal, Yon… Kojek… Ibarat bungai rampai… kemenyan… persembahan apa macam-lah itu… Tentunya ia harus menarik perhatian dulu pihak-pihak yang ditujunya ini… Dalam hal ini adalah pihak yang memiliki akses ke ‘surga’ itu… Berbaik-baiklah si Lord Purgatory ini dengan mengumpulkan kelima pecahan cermin dewi kahyangan ini, kan… Selama mengumpulkan yang tak sebentar itu… tentunya ia harus membayar semacam pajak-lah kita sebut… untuk mengulur waktu agar pemilik akses itu mau bersabar menunggu Lord Purgatory melakukan janjinya itu…”

“Ada banyak, ya… yang sudah tewas selama ini?” tanya abah Hasan.

“Secara langsung sulit dihitung abah… Kalau dari pihakku… ada sekitar 2-3 orang-lah gitu… Kebanyakan adalah dukun-dukun sesat gitu… Kalau hantu, siluman, setan gitu udah gak kehitung lagi…” jelas Iyon. Sepertinya pria ini juga mengalami berbagai masalah di dalam hidupnya akibat campur tangan Lord Purgatory.

“Sama, bah… Akupun kek gitu juga… Dukun, datu-datu sesat banyak kali ‘dah kubante… Sama setan, begu dan kawan-kawannya… Jadi yang kita lakukan itupun dimanfaatkan si borjong Lord Purgatory itu juga keuntungannya? Enak kali idupnya… Kita yang susah… pening mikiri gimana mengatasi mereka… dia pulak yang untung… Tahe… tahe!” Kojek ngedumel kemudian dalam bahasa yang ia sendiri yang dengar. Takut kedengaran abah Hasan.

“Jadi sama juga artinya yang dialami Aseng… Kalian juga harus berhati-hati… Jaga-jaga karena dia melakukan hal yang sama dengan kalian berdua… Menarik kalian ke sisi kegelapan… Kira-kira kalian tau tidak tujuannya menarik Aseng ke seberang?” tanya abah Hasan.

“Supaya jadi bawahan dia? Karena di perang itu kerajaan Aseng sudah kalah…” jawab Kojek. Iyon masih memikirkan kemungkinan jawabannya. Tetapi abah Hasan menggeleng tanda jawaban itu kurang tepat.

“Supaya Aseng tidak mengejar Lord Purgatory lagi?” tebak Iyon yakin.

“Benar… Di ambang keberhasilannya tentunya akan sangat mengganggu sekali kalau Aseng… dibantu kalian berdua ini… menyerangnya lagi dan lagi… Tentunya ia harus konsentrasi dengan tujuan utamanya ini… Langkah-langkah yang ditempuhnya, semua rencana-rencan terperincinya… dari menemukan jin khorin teman kalian yang sudah meninggal itu, Bobi… yang ternyata menyelinap di burung Enggang… Menghidupkan kembali jasad Bobi dengan khorin tadi dengan bantuan cermin itu dan merasukinya… Dan menjelang ia mencapai puncak semua itu… kalian mengganggu… Tentu itu akan sangat menyebalkan sekali bukan?”

“He he he hehehe…” Iyon dan Kojek tertawa terkekeh bersama. “Berarti tanpa Aseng kami juga bisa mengganggunya ya kan, bah?”

“Naah… Itu kalian berdua paham… Tapi semuanya jangan atas nama dendam… Kalian tentu sudah lebih tahu apa alasannya… Anggap saja kalian sedang menebus dosa-dosa kalian dengan mencegah kemungkaran dengan level tertinggi… Dengan tangan kalian sendiri… Dengan kekuatan… Itu lebih baik dari pada hanya ucapan atau di dalam hati saja. Karena kalian bisa…” malah diberi tausiyah keduanya. Hanya saja dalam konteks yang benar-benar pas.

—–oo0O0oo—–

Gagal bersenang-senang bersama Iva semalam suntuk tak menyurutkan semangat Aseng untuk menikmati siang malamnya demi kenikmatan tubuh wanita. Apalagi ada keuntungan besar menanti di balik semua kenikmatan yang diraihnya itu. Keuntungan besar dalam bentuk kekuatan yang luar biasa mendapatkan telur-telur peri Anaga. Sejauh ini ia sudah mendapatkan dua butir telur peri Anaga baru dan berencana untuk mendapatkan beberapa butir lagi.

Kapok bermain di kampung sendiri, ia memancing sang binor untuk keluar dari kediamannya dan berakhir di sebuah hotel. Saat ini Aseng sedang asik masyuk berduaan dengan salah satu binor pilihannya. Di hotel yang sama yang pernah mereka singgahi berdua, bersama Pipit.

pipit

Pipit berbaring menyamping sementara Aseng sibuk menggenjot dari belakang agar tak menekan bagian perutnya yang sudah buncit membesar. Dielus-elusnya perut buncit berkilap itu bergantian dengan payudara membengkak itu. Pipit mendesah-desah mengungkapkan rasa rindunya karena sudah terlalu lama tak bertemu dan berbagi kehangatan seperti ini.

Aseng memuja-puji sang binor setinggi langit demi mendapatkan kepuasan semaksimal mungkin yang berimplikasi pada maksimalnya energi yang didapatnya dari perempuan hamil ini. Ia melakukan apa saja walau harus berbohong sekalipun demi tujuannya ini. Pipit merintih-rintih merasakan penis sang pria pejantan yang telah menghamilinya terus menyodok-nyodok vaginanya yang terus meminta lagi dan lagi. Terus dan terus dipuaskan demi kenikmatan yang sungguh membuatnya ketagihan. Sang binor sudah dua kali orgasme dibuat Aseng dan sebentar lagi keduanya sedang mengusahakan klimaks bersama-sama.

“Ugghh… uhh… Uhhh…”

Menikmati momen berdua saja, berpelukan erat setelah menuntaskan hasrat. Kemaluan Pipit masih becek oleh sisa sperma Aseng yang tertinggal. Perutnya kembali dielus-elus perlahan, Pipit menikmatinya. Apalagi perutnya merasa nyaman diperlakukan begitu setelah sebelumnya disodok-sodok kencang. Janin di dalam rahimnya sepertinya juga senang telah dikunjungi. Ahh… Perasaan itu yang membuat Pipit nyaman dan rela-rela saja diapakan kembali oleh pria yang bukan suaminya ini.

Cuddling beberapa waktu saling cumbu rayu, keduanya kembali berpacu nafsu, bertarung birahi. Pipit berbaring mengangkang sementara Aseng bekerja keras di atas tubuhnya, berguncang-guncang memacu dirinya. Suara terengah-engah berpadu dengan rintihan keenakan bergema di kamar hotel ini. Saling memuaskan diri mengejar kenikmatan. Kecupan pagutan selagi berpacu, remas-remas kenyal bagian tubuh. Lalu meledak lagi dan lagi dalam klimaks yang memuaskan. Bulir-bulir keringat bukanlah yang dicari tetapi didapatkan.

Aseng bermanis-manis memalsukan semua kasih sayang yang bisa ia tumpahkan pada binor yang kemudian digaulinya hingga beberapa kali ronde lagi. Kenikmatanlah yang selalu direguknya. Teringat ia akan beberapa binor lain yang ada di dalam jadwalnya sepanjang hari ini. Ia sudah mendapat kepastian akan bertemu binor-binor hamil lainnya setelah janji ngentot ini. Janji bertemu di beberapa hotel lain seputaran Medan. Karena sudah lelah plus kondisinya yang berbadan dua, Aseng dan Pipit tak bisa terlalu gila-gilaan bersenggama tanpa mengganggu kondisi janinnya. Pipit cukup puas dan beristirahat sendirian di dalam kamar, bakalan pulang sebelum suaminya sampai di rumah sore nanti.

Di parkiran hotel, di dalam mobil, Aseng menelan mentah-mentah telur bebek berturut-turut 10 butir. Pada telur kesembilan ia hampir muntah, tetapi ditahankannya dan menghabiskan yang kesepuluh. Dikendarainya mobilnya kembali menuju hotel berikutnya. Ini akan jadi pertempuran yang melelahkan karena ini akan menjadi threesome yang sangat panas. Ada Dea dan Farah yang sedang menantinya di kamar hotel itu. Maka daripada itu, ia menguatkan dirinya menelan telur-telur berbau berbau amis itu.

Cundamanik yang duduk tak kasat mata di kursi penumpang di samping Aseng duduk tercenung. Lelah tak terlihat di wajahnya karena sepertinya masalah stamina tak ada di dirinya. Hanya saja mungkin ia merasa dimanfaatkan sekotor-kotornya oleh sang baginda raja-nya. Tetapi ia tak dapat menolak sedikitpun kala dirinya diikut sertakan dalam pesta birahi sang baginda raja kala menyetubuhi para perempuan-perempuan hamil itu. Ia tak dapat memungkiri besarnya energi yang diperolehnya dari sana, tetapi kenapa harus dengan cara ini. Apalagi, ia sudah menghasilkan dua butir telur dan ada satu lagi yang menunggu disempurnakan di dalam tubuhnya. Kira-kira nanti setelah kegilaan yang akan datang, telur akan segera keluar.

Ia masih belum siap kalau nanti telur-telur itu menetas. Akankah ia harus bertarung dengan keturunannya sendiri? Ia sama sekali tak punya rasa keibuan yang mengikatnya dengan isi telur-telur itu saat ini, tapi siapa tau? Bagaimana bila nanti ada perang insting di dalam dirinya? Insting egois hanya ingin menjadi satu-satunya dan insting menjaga keturunan.

Diliriknya telur-telur yang bergantung di kalung ghaib di leher Aseng. Ia berasal dari satu telur seperti itu juga belum lama lalu. Baginda raja menemukan cara memanipulasinya untuk menghasilkan telur secara instan saat menyetubuhi tubuh gelap bersayapnya. Saat hanya dirinya yang digenjot sang raja, tak ada yang terjadi dan ia berusaha melayani sang raja sebaik-baiknya. Entah darimana ia mendapat ide menyandingkannya dengan para wanita hamil itu?

Aseng sudah terbukti banyak menemukan ide brilian bila menyangkut soal kesuburan dan keturunan. Terbukti bibit-bibit suburnya bisa menghamili belasan binor dengan tingkat kesuksesan sempurna. Para binor yang awalnya dianggap tidak subur, bermasalah–dikondisikan lebih dahulu tentunya. Apalagi penemuan metode memperbanyak telur peri yang sangat brilian sebelumnya hingga menghasilkan ratusan telur sekaligus dari satu indukan saja. Jadi tidak terlalu mengherankan kalau Aseng menemukan cara membuat Cundamanik menghasilkan telur ini. Mungkin di sana bakatnya.

Seorang pembuat bayi yang bernama Aseng.

Sebelum masuk kamar, ditenggaknya sebotol minuman energi lagi dan, “… Halo cantik-cantik~” sapanya menyambut kedua binor itu. Dea dan Farah sudah bersiap-siap di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat lebih montok berisi dari sebelumnya karena dalam kondisi hamil walau belum terlalu besar. Tetapi mata Aseng sudah melotot membayangkan kenikmatan yang akan diperolehnya dari dua binor yang lezat ini sekaligus. Kedua binor itu histeris senang menyambut kemunculan Aseng.

Segera Aseng dirubungi kedua binor yang sudah menunggu lama untuk kesempatan ini kembali. Dan sebentar saja mereka sudah larut menjadi satu…

——————————————————————–

Amira

Amira masih tak dapat mempercayai matanya ada sebuah kraton sebesar ini di dalam hutan Alas Purwo. Tempat ini bagi ukuran manusia modern seperti dirinya tetap saja menakjubkan. Bagaimana mungkin fasilitas sebesar, seluas dan semegah ini tak pernah diketahui masyarakat sebelumnya? Dan para dayang-dayang, para emban, para prajurit yang memenuhi tempat ini, siapa yang pernah mikir akan ada orang yang mau membaktikan dirinya seperti ini?

“Tidak usah terlalu dipikirkan, Mirr… Nikmati sajalah… Kapan lagi kita menikmati perawatan kecantikan kelas kraton seperti ini, iya ndak?” kata bu Grace yang sedang rileks sedang dilulur dengan ramuan wangi berwarna keemasan pada bagian punggungnya. Seorang emban yang sigap melakukan itu semua dengan telaten. Taman kraton ini khusus untuk melakukan berbagai aktifitas luar ruangan yang dijamin keamanannya oleh barisan prajurit yang selalu siaga.

“Kita seharusnya pulang kan, budhe… Kenapa kok malah belok kemari, sih Bobi-nya?” matanya masih liar mengitari tempat ini. Ia masih gelisah. Setiap gerakan tiba-tiba yang terjadi membuatnya menjadi waspada. Hingga daun-daun yang jatuh gugur saja membuatnya kaget.

“Kamu gak sabar lagi untuk menikah, kan? Kita lakukan pernikahan itu di sini saja, Mirr… Masalah pemberkatan gereja-nya bisa menyusul nanti… Ini pasti akan jadi pengalaman yang sangat menyenangkan sekaligus agung buatmu, nduk…” ujar bu Grace dengan mata terpejam menikmati lulurnya yang luar biasa nyaman. Burung-burung liar yang berkicauan memberikan atmosfir yang semakin melenakan. “Pasti kamu bakalan cantik banget deh sehabis perawatan di sini…”

“Tapi ini kerajaan apa, budhe? Ini sudah seperti film-film silat kolosal itu-loh, budhe… Amira masih bingung banget ini-loh… Masa budhe tenang-tenang aja?” tak ada sedikitpun perkataan bu Grace yang meredakan kegelisahannya. Yang ada, Amira malah bertambah waspada.

“Maharatu-ku yang cantik…”

Suara yang terdengar kuat itu membuat Amira berpaling kaget ke asal suara. Itu Bobi! Ia agak lega menemui kekasih hatinya lagi. Tapi pandangannya menangkap dua sosok wanita lain yang menyertainya. Satu sudah ia kenal sebagai Citra, sosok seksi berambut ungu. Dan satu yang baru, tak kalah seksi cara berpakaiannya dan berambut kelabu. Kenapa perempuan-perempuan ini harus berpenampilan seperti demikian?

“Sudah lihat-lihat kraton ini? Tempat ini akan menjadi rumah kita… istana kita setelah kita menikah nanti… Amira suka, kan?”

“Suka-suka… Tapi… Bobi pakai baju apa sih ini? Kok kayak karnaval budaya gitu, deh…” risih Amira melihat pakaian yang dikenakan Bobi. Sebagian atas tubuhnya sama sekali terbuka kecuali beberapa lilitan kalung dan rantai-rantai berjuntai. Bawahannya berupa kain batik yang terlihat sangat indah dan mahal, dibalut semacam sabuk emas dan juntaian selendang. Apalagi mahkota emas di kepalanya.

“Ini pakaian kebesaranku sebagai maharaja di sini, Amira… Bentar lagi Amira juga akan memakai padanannya saat kita menikah dan duduk di singgasana nanti…” Dijelaskan seperti itu tak membuat Amira menjadi lebih paham apa yang sedang terjadi saat ini. Pandangannya malah tertuju pada dua sosok perempuan yang dari tadi mendampingi Bobi. Mereka luar biasa cantik. Hubungan apa keduanya dengan Bobi, begitu pikiran Amira.

“Yaa… Mungkin Amira bertanya-tanya siapa mereka berdua ini… Yang ini namanya Citra… Sudah kenal tentunya… Dia adalah peri Ananta yang sangat unik…” Bobi berbaik hati dan memperkenalkan dua peri yang mengikutinya patuh. “Nah yang ini namanya Asweta… Rambutnya unik, kan? Dia adalah peri Byuha…”

“Sebentar-sebentar… Gak salah dengar Amira? Peri.. tadi katamu?” ulang Amira dengan kening berkerut. Bobi hanya mengangguk-angguk. “Bukan cewek manusia biasa?” tegasnya. Bobi menggeleng. “Peri… seperti di dongeng-dongen itu?” Bobi mengangguk membenarkan. “Ini Bobi dan teman-temanmu ini… enggak sedang bercanda, kan? Prank-prank-an gitu… Tenan’an-loh ini, Bob?”

“Tenan-loh ini, Amira sayang… Mereka berdua ini memang peri… Cantik sudah pasti… Tapi tetap tak ada yang dapat menyaingi dirimu…” malah jatuhnya ke gombalan receh. Amira terlambat untuk tersipu dan menyadari kalau itu barusan dimaksudkan untuk merayu dirinya.

—–oo0O0oo—–

Hitung mundur di penunjuk waktu di layar HP Amira kini memasuki 00:12. Yang artinya 12 menit lagi sebelum menyentuh angka 00:00. Tubuhnya masih sangat lemas setelah kembali bergelut dalam nafsu dengan Bobi tercintanya. Tubuhnya masih berbaring malas-malasan di atas ranjang besar luas yang kaki-kakinya dibuat dari kayu jati dengan ukiran yang luar biasa rumit dan indah. Kesadarannya juga melayang-layang, terimakasih pada aroma cendana dan dupa wangi yang mengharumkan ruangan ini bak aroma terapi.

Dua orang abdi dalem masuk setelah meminta ijin masuk ke dalam kamar ini. Mereka akan membersihkan tubuh Amira dan membantunya memakai pakaian untuk pernikahannya. Amira tak begitu bersemangat awalnya, tetapi demi mendengar kata pernikahan yang sakral, antusiasnya melejit tinggi melewati bubungan kraton.

Amira tak memperdulikan lagi count-down itu. Ia hanya bersenang-senang dengan keadaannya yang akan menikah sebentar lagi di kraton yang sangat megah ini. Entah dengan cara apa dan adat kuno apa, ia tak terlalu perduli dan mempermasalahkannya. Yang penting, ia bisa bersatu dalam ikatan suci bersama Bobi.

“EO sekarang ini ada-ada aja ya idenya buat kejutan begini…” desisnya menggumam sendiri.

—–oo0O0oo—–

“Makjang… Gelap kali… Amangoi… Padahal masih siang ini, kan?” bisik pria jangkung kurus itu.

“Ssttt…” rekannya mengingatkan untuk tidak berisik padahal hanya berbisik.

“Yakin kao kita gak ketauan masuk kemari dengan cara ini?” bisik si kurus itu lagi.

“Kalo dua peri yang mengambil jin khorin dari burung Enggang itu bisa masuk kemari kek gini… itu artinya kita juga bisa, kan?” jawab Iyon. “Lagian… si Aseng itu lagi sibuk kali di luar sana… Kau tengok tuh…” tunjuknya pada semacam layar virtual yang merupakan pandangan pemilik daerah kekuasaan Menggala ini. Ini adalah layar seperti yang saat itu dilihat Agnès saat menetap lama di tempat ini untuk berjemur impiannya.

“Maak… Entah binik siapaaa aja yang dikentotnya lagi… Em-em… Cantik pulak ya kan, Yon?” kagum Kojek pada tampilan cantik seorang perempuan yang sedang digenjot Aseng di dunia nyata sana. Bila menilik dari wajahnya yang sedang mendesah-desah seperti kepedasan, sepertinya itu Vony sang notaris. Berguncang-guncang tubuh wanita cantik itu dilimpahi rasa nikmat yang membuatnya lupa segalanya.

“Lagi bunting juga tuh… Liat…” tunjuk Iyon pada bagian perutnya yang lebih besar.

“Iyaaa… Kimak-nya si Aseng ini… Katanya hokinya uda abis… Masih bisa-nya dia ngentoti cewek bunting… Enak kali itu pasti…” si Kojek sepertinya mupeng dengan luck Aseng yang sudah kembali bersinar.

“Udahlah… Kita bukan mau nengok’in itu kemari… Ada urusan yang lebih penting, kan?” Iyon mengingatkan sahabatnya tujuan asli mereka menyelinap masuk ke daerah kekuasaan Aseng secara diam-diam begini. Cara khusus digunakan keduanya adalah gabungan jurus Bayangan Bunga Bujur Iyon yang sangat unik dan bocornya mantel rubah hitam yang menjadi sumber panas matahari di tempat ini. Dengan ini dipastikan pemilik tempat tidak mengetahui penyeludup telah menyelinap masuk.

Para peri kelompok pembangun berusaha membangun kembali istana Mahkota Merah yang telah porak poranda. Tapi kecepatan bekerja yang pernah mereka peragakan saat dukungan dari baginda raja mereka penuh, sudah tak ada lagi. Hanya sekedar bekerja saja tanpa semangat yang berapi-api seperti sebelumnya. Tempat ini tetap suram sebagaimana tak ada cahaya terang lagi. Istana yang pernah ceria ini seperti istana setan saja layaknya karena gelap dan harus diterangi pencahayaan obor untuk penerangan.

“Berhenti!” henti satu peri Aruna yang berjaga di pintu utama yang berdaun pintu. Kelompok pembangun belum selesai membuat pintunya. Ia adalah Dwadasa, salah satu peri Aruna kelompok pemburu yang ditugaskan menjaga pintu istana dengan pedang merah besarnya. “Kalian ada perlu apa?”

“Kau tak mengenali kami lagi? Liat wajah kami baik-baik…” Iyon menyodorkan wajahnya agar sinar yang berasal dari rambut merah peri Aruna itu menerangi wajahnya untuk dikenali. Kojek juga melakukan hal yang sama.

“Aku tau siapa kalian berdua… Kalian adalah teman baginda raja… Kita sama-sama berperang di kerajaan Alas Purwo… Tapi aku harus tetap menanyakan apa perlu kalian kemari? Karena baginda raja tidak ada di sini…” tanya Dwadasa tegas karena ia bertanggung jawab akan keamanan pintu masuk istana yang sangat penting ini.

“Ada yang harus kami diskusikan dengan kalian… Setidaknya dengan yang bertanggung jawab disini selama raja kalian sibuk di luar sana…” kata Iyon mencoba bernegosiasi dengan penjaga pintu ini.

“Lebih baik berbicara langsung dengan baginda raja saja di luar sana… Bukankah kalian teman beliau… Tentunya mudah menemukan baginda raja di luar sana… Saat ini kami tidak bisa membiarkan orang lain masuk…” Dwadasa bersikeras tak membiarkan kedua manusia ini masuk.

“Kamu tau sendiri kan… kalo rajamu itu tak bisa diajak bicara saat ini… Kamu tau sendiri kondisinya… Apa kau gak khawatir tentang keberlangsungan kerajaan kalian ini? Yang ingin kami bicarakan ini tentang kerajaan kalian ini, tau gak?” Iyon terus ngotot agar diberi izin masuk ke dalam istana dan berbicara dengan lebih banyak peri lainnya.

Dwadasa tetap tak memberi mereka berdua izin masuk hingga terjadi keributan kecil di pintu masuk itu. Peri anggota kelompok pemburu itu bertekad bila perlu bertaruh nyawa akan dilakukannya. Saat ini terlalu banyak kesulitan yang terjadi di kerajaan Mahkota Merah dan ada banyak yang harus dilindungi. Tidak hanya peri Aruna saja, ada peri-peri jenis lain yang juga berlindung di sini.

“Aa… Dwi dan Tri… Permisi… Boleh kami berbicara dengan kalian? Kalian berdua sepertinya lebih berwenang dari pada nomor 12 ini…” ternyata keributan kecil di pintu masuk itu mengundang Dwi dan Tri untuk memeriksa apa gerangan. Peri Aruna nomor dua dan tiga dari trio petarung itu segera mengenali Iyon dan Kojek. “Lebih lengkap lagi kalo ada Eka sekalian… Dia yang nomor satu, kan?”

“Maaf, tuan-tuan sekalian… Saat ini kami memang menjaga ketat siapa yang boleh masuk dan siapa yang tidak…” Dwi juga tak memperkenankan kedua sahabat baginda raja mereka ini untuk masuk lebih jauh ke dalam istana. Tri mengawasi gerak-gerik dua tetamu ini dengan seksama, antisipasi bila keduanya melakukan gerakan yang berbahaya. “Lagipula… sejak peperangan itu… Eka sampai sekarang belum sadarkan diri juga… Ia belum siuman hingga sekarang… Kalau boleh… kita berbicara di luar sini saja…”

“Eka belum sadar juga?” kaget Kojek mendengar info terbaru itu. Sejak berakhirnya peperangan besar itu, peri Aruna nomor satu itu masih belum terjaga dari pingsannya.

“Takutnya kedatangan kami ini akan diketahui raja kalian… Dwi, Eka… Dwadasa nomor 12… Karena kondisinya saat ini Menggala sisi gelap…” liriknya pada kondisi tempat ini yang gelap gulita, “… kami sudah tidak lagi sejalan… Mungkin kalian terima-terima saja ada di sisi yang mana sesuai apa yang dikehendaki baginda raja kalian itu… Tapi ini semua tidak benar… Kalian sempat merasakan, kan… waktu semua tempat ini terang benderang… Raja kalian sangat baik dan perhatian… Semua kebutuhan kalian tercukupi… Liatlah sekarang… Rusak… Tak teratur… Kusam… dan gak asik lagi…” papar Iyon berusaha memberi pengertian pada ketiga peri Aruna ini.

Gunung berapi di kejauhan itu bergemuruh kembali memuntahkan magma dan lahar panas hingga gempa menggetarkan semua yang ada di tempat ini. Kojek hendak membisikkan sesuatu. “Si Aseng dah nembak, tuh…” kesimpulan yang diambil Kojek adalah tiap kali pemilik tempat ini memuncak emosinya, gunung itu meletus. Seperti barusan, Aseng ngecrot.

Dwi menggeleng dan menunjuk jalan keluar. Iyon dan Kojek lemes karena lagi-lagi gagal mendekati para peri bawahan sahabat mereka yang kini berganti sisi.

“Jadi gimana, nih? Kita ribakkan aja peri-peri itu? Kita cari peri rambut ungu itu di dalam sana…” bergolak jiwa Ribak Sude di dada Kojek karena mendapat penolakan. Padahal mereka dalam satu misi penting. Misi ini penting untuk membalikkan keadaan.

“Udaah… Kau pura-pura marah aja terus… Kita ke sebelah sana…” Iyon malah menyuruh Kojek pura-pura marah terus sementara senyum lebar tersungging di mulutnya. Mereka menjauh ke arah yang ditunjuk Dwi barusan, patuh untuk pergi. Kojek mungkin tak melihat kedipan mata Dwi yang berdiri paling depan di antara tiga peri Aruna tadi. Secara gak langsung, Dwi memberitahu mereka berdua untuk memasuki istana lewat jalan lain. Kojek masih heran apa yang akan mereka lakukan tetapi segera menyadari begitu ia melompati sungai kecil yang airnya hanya tergenang sedikit. Ada pintu gua di depan sana. Ia mengangguk-angguk paham.

“Lebih gelap lagi disini…” keluh Kojek saat mulai masuk gua.

“Fokuskan aliran lini-mu ke mata, Jek… Kek pemain baru aja-pun kau… Gitu aja harus diingatkan…” kata Iyon. Tapi tak urung mereka harus ekstra hati-hati menuruni tangga curam dan licin terbuat dari tanah yang dipadatkan ini untuk memasuki gua bawah tanah yang sedianya dibangun untuk para peri Candrasa. Mata kedua pria itu kini terlihat seperti mata kucing yang bercahaya untuk membantu mereka melihat di kegelapan dengan lambaran tenaga lini tentunya. Mereka menyusuri lorong yang langsung menuju bagian bawah istana lalu kamar-kamar yang sudah disiapkan untuk para peri Candrasa. Di salah satu sudut ada terlihat cahaya terang obor dan satu sosok yang berdiri menunggu.

“Kemari…” ternyata sosok itu adalah Dwi. Iyon dan Kojek diarahkan untuk masuk ke dalam sebuah ruangan yang lumayan terang dengan penerangan banyak obor di dindingnya. “Maaf penyambutan kami harus begini… Di atas tadi ada banyak peri Aruna lain yang sangat fanatik pada baginda raja… Makanya secara tidak langsung saya harus mengusir kalian berdua…” Ternyata mulai terjadi faksi-faksi tertentu di kerajaan Mahkota Merah ini. Faksi yang sangat loyal pada baginda raja Aseng apapun kondisinya dan mungkin faksi yang ingin kembali ke kondisi semula—kondisi terang, nyaman dan aman itu.

Dwi ada di faksi kedua dan sepertinya Tri beserta Dwadasa tadi di faksi satunya.

Isi kamar ini ternyata ada banyak penghuninya. Kebanyakan adalah para peri Kencana yang merupakan warga asli dari kerajaan Istana Pelangi yang terdampar di kerajaan milik Aseng. Tapi yang paling menarik perhatian mereka berdua adalah beberapa peri berambut ungu. Dwi mengarah pada beberapa peri berambut ungu itu yang sedang melakukan sesuatu.

“Eka sedang dirawat di sini… Para peri Ananta ini punya kelebihan di bidang penyembuhan… Untung ada mereka karena kami tak punya sumber daya yang bisa menyembuhkan luka dan penyakit…” jelas Dwi yang duduk di samping alas tidur yang digunakan Eka. Peri nomor urut pertama yang dinamai Aseng itu berbaring damai masih tak sadarkan diri paska perang di Alas Purwo.

“Dia kenapa?” tanya Iyon yang duduk di seberang Dwi bersama Kojek. Lebih tepatnya Iyon menanyakan itu pada satu peri berambut ungu yang sepertinya yang paling tinggi keahliannya. Semacam dokter atau tabib kepala gitu. Dwi memberi gestur agar peri yang dimaksud Iyon itu yang menjawabnya.

“Ada trauma yang sangat berat di jiwa Eka… Syok karena perang mungkin… atau juga sebab lain… Saat ini kami hanya bisa membantu melancarkan kembali semua arus lini di sepanjang alirannya… Beberapa sedang dalam masa pemulihan dan sebagian besar sudah sembuh… Sebenarnya kita hanya menunggu Eka untuk bangun sendiri saja… Entah mengapa ia sendiri yang enggan…” jawab si peri berambut ungu itu.

Iyon manggut-manggut. “Peri Ananta, ya?” malah itu yang ditangkap Iyon. “Peri yang tanpa batas… Itu arti nama jenis perimu… Apa kau kenal dengan peri Ananta lain yang bernama Citra?” langsung tanya tembak langsung. Kaget peri Ananta itu ditanya tiba-tiba soalan yang entah dari mana. Masak gara-gara sesama peri berambut ungu, harus saling kenal gitu?

“Maaf? Peri Ananta bernama Citra?” malah Dwi yang menanggapinya.

“Begini… Sebab mendasar kita kalah di peperangan di Alas Purwo kemarin… adalah karena kita terlalu gegabah menilai lawan. Tanpa tau kekuatan lawan dan terlalu percaya diri dengan kekuatan sendiri membuat kita pongah dan berujung kalah… Liat kan buktinya… kita habis digulung rata oleh pasukan Lord Purgatory… Hampir semua pasukan peri kerajaan Mahkota Merah musnah… Hanya segelintir saja yang berhasil pulang… dan itu semua adalah kalian para peri Aruna… Minus para ratu yang sayangnya diserap oleh pembelot-pembelot itu…”

“Lord Purgatory hanya punya dua peri kepercayaan… Dua peri kuat… Satu peri Ananta bernama Citra tadi… dan satu peri berambut kelabu bernama Asweta…”

“Dia itu disebut peri Byuha… berambut kelabu…” imbuh Dwi.

“Makasih tambahannya… Kalo kita bisa mengetahui kekuatan kedua peri andalan si Lord Purgatory ini… akan lebih mudah mengatasi mereka nantinya… Karena percayalah ini semua belum berakhir… Baginda raja kalian yang sedang entah lagi ngapain di luar sana itu teman kami… Walopun entah apa yang sedang dilakukannya tapi kami tetap berusaha mengembalikannya ke tempatnya semula…” Iyon dan Kojek beralih lagi ke peri Ananta yang masih gugup dan bingung campur aduk. “Apa kamu kenal dengan si Citra itu?”

“Maafkan hamba…”

“Gak usah pake hamba-hamba denganku… Aku bukan rajamu… Kau tentu belum punya nama…” potong Iyon risih dengan sebutan hamba peri Ananta itu. Kebiasaan mungkin, sebagai warga kerajaan di hadapan anggota kerajaan. Disela begitu, peri Ananta itu tergagap lagi.

“Sa-saya secara pribadi tidak mengenalnya… Tetapi secara reputasi memang peri Ananta bernama Citra itu sudah melegenda di kalangan kami sendiri… Koloni peri Ananta tidak ada yang besar… Hanya kecil-kecil yang berbentuk kelompok yang tak lebih dari 20-30-an peri saja… Asal-usul Citra sendiri masih simpang siur kebenarannya… Malah lebih mirip dongeng… Ada yang meriwayatkan kalau sebenarnya ia adalah ratu peri Ananta yang tak mau menjadi ratu… Ada juga yang mengkisahkan kalau Citra adalah keajaiban tertinggi di antara kami peri Ananta… Entah mana yang benar…” peri Ananta tabib ini memulai penjelasannya tentang Citra.

“Prodigy, ya? Berarti kalian para peri Ananta bisa memilih spesialisasi kemampuan masing-masing, ya? Misalnya kau… milih ke… penyembuh gitu… Ada yang milih kekuatan sihir… Gitu? Sebab si Citra-Citra ini kekuatan sihirnya sangat kuat luar biasa… Hanya dengan pandangan mata… dengan gerakan tangan… ia bisa menghabisi banyak target sekaligus…” tebak Iyon berandai-andai. Peri Ananta itu mengangguk membenarkan tebakan Iyon. Pria kumisan itu hanya bisa menganga dan beralih ke rekannya, Kojek yang juga menganga.

“Glek…”

“Sebenarnya… menurut cerita… Citra ini bisa melakukan semuanya… Dia peri Ananta yang sempurna… Mungkin karena itu ada anggapan kalau ia adalah ratu peri Ananta… karena peri Ananta tak mengenal konsep ratu… Yang ada hanya ketua kelompok saja yang berfungsi memimpin kelompok-kelompok kecil kami… karena kami sebenarnya setara…” lanjutnya.

“Setara?”

“Diantara kami berenam ini… sesama peri Ananta yang memilih sebagai penyembuh… kekuatan kami setara… Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lainnya… Juga bila ada peri Ananta penyembuh lain di luar sana… kami tetap sama setara…”

“Berarti si Citra ini memang sudah luar biasa bahkan sebelum bertemu Lord Purgatory-lah, ya?” kagum Kojek. Mengagumi lawan memang tak ada salahnya. Mungkin lebih tepatnya menghargai.

“Apa tidak ada kelemahan tersendiri bagi peri Ananta? Seperti kalian akan lemah terhadap apa gitu…” Iyon tak ingin berlama-lama melakukan tanya jawab ini melantur hingga kemana-mana. Mereka hanya ingin tahu bagaimana cara mengalahkan Citra sebaik mungkin dan kemudian berikutnya adalah Asweta si peri Byuha.

“Kelemahan? Kami peri Ananta punya banyak kelemahan… Secara fisik kami lemah… Kami juga tidak dapat menahan tekanan terlalu banyak… Kami selalu pilih-pilih kalau soal makanan… Tetapi Citra tak punya kelemahan-kelemahan ini… Ia melampaui semua kelemahan kami ini dengan sangat baik dengan berpetualang sendirian… Mungkin karena itulah ia jadi segitu kuatnya…” papar sang peri Ananta.

Iyon dan Kojek manyun. Satu aja sulit. Belum lagi si peri Byuha yang sama berbahayanya. Gimana mau mengalahkan maharaja-nya lagi?

“Tidak ada jalan lain… Kita harus memisahkan si Citra ini sendirian aja dan mengeroyoknya kalo perlu, Jek… Ini peri kualitas super kalo kek gini ceritanya…”

“Gawat! Terjadi sesuatu di atas sana!” seru Dwi terkaget merasakan bahaya yang mengancam kerajaan baginda rajanya. Ia langsung bangkit dan bergegas keluar dari kamar bawah tanah ini. Iyon dan Kojek yang kebingungan juga merasakan tekanan yang mengerikan ini, ikut keluar juga menuju permukaan kerajaan. Dari kamar-kamar lain muncul puluhan kepala dari peri-peri yang merasakan keadaan bahaya di kegelapan ini. Dari warna rambutnya bisa dipastikan kalau itu adalah para peri Candrasa yang sudah menetas dari telurnya. Keturunan Cayarini sudah terlahir!

Iyon dan Kojek tak sempat tanya-tanya lagi, hanya ikut bergegas keluar dan mereka sudah muncul di dungeon hingga mencapai balairung yang belum sepenuhnya pulih. Beberapa peri Aruna lainnya berlarian keluar merespon kericuhan yang terjadi di luar sana. Ada sesuatu hal gawat terjadi dan semua kompak merespon untuk mengatasinya. Sejauh ini mereka bisa diandalkan walau ditinggal sang baginda rajanya.

“HA HA HAA HAA HAAA HAAA!” satu berambut hitam dengan sayap lebarnya sedang terbang mengambang di ketinggian. Di sekitarnya, di tanah ada beberapa peri Aruna yang terjatuh kesakitan dari kelompok pemburu.

“KEGELAPAN ADALAH ELEMENKUUU!! BISA APA KALIAN DI TEMPAT BERMAINKU INI?!! HA HA HAA HAA HAAA HAAA!” sesumbar peri kasta tertinggi Candrasa bernama Awyati itu. Kali ini ia membawa-bawa senjata yang sebelumnya tak pernah ia miliki. “APALAGIII… APALAGI SEKARANG AKU PUNYA SENJATA INI DI TANGANKUUU!! KALIAN HANYA SEMUT TAK BERAAAARTI SEKARANG!! HA HA HAA HAA HAAA HAAA!” makin sesumbar peri berambut hitam itu menantang siapapun untuk maju menghadapinya. Sendirian ia berani menyerbu satu kerajaan, merasa tak perlu menyertakan peri kasta tertinggi lainnya.

“Dwi… kenapa kerajaan kita sangat mudah dimasuki musuh sekarang?! Barusan dua manusia itu masuk seenaknya… Sekarang peri penghianat ini menyusul!” seru Tri tak jauh. Nafasnya tersengal-sengal. Sepertinya ia barusan bertarung dengan Awyati juga bareng kelompok pemburu.

“Matahari hitam itu! Mereka semua masuk lewat sana…” tunjuk Dwi pada matahari hitam di atas langit gelap yang merupakan mantel rubah hitam yang dipakai Aseng sebagai sumber panas tempat kekuasaannya ini dan sumber panas bagi serangan-serangan tipe apinya. “Ada lubang yang ditinggalkan ratu Fatima di sana… Musuh masuk dari sana!!” jelas Dwi masih berteriak-teriak juga. Tri menoleh lagi pada Awyati yang dengan sombongnya memikul sabit bergagang panjang itu bak malaikat pencabut nyawa.

“Kalian tikus-tikus menyedihkan akan kubantai sambil tertawa… HA HA HAA HAA HAAA HAAA!” senyum seram Awyati lalu meluncur turun dengan senjata siap menyabet mangsanya. Ia mengarah pada Dwadasa yang paling dekat dengannya. Peri Aruna dari kelompok pemburu yang tadi ditugaskan menjaga pintu masuk buru-buru bangkit dari posisi terpuruknya. Dikutipnya pedang merah besarnya yang sempat lepas untuk menangkis serangan cepat Awyati yang menukik cepat. “CTANKK!!” tapi tak urung Dwadasa tetap terpental dan pedangnya terlepas lagi. Awyati melayang ke sasaran berikutnya. Dasa yang memutar-mutar tombak miliknya, bersiap menyambut serangan lawan.

Kelompok Petarung

Kelompok Pemburu

“Ctank ctank ctank ctank!” berulang-ulang sabit panjang Awyati beradu dengan putaran cepat tombak Dasa. Awyati menarik satu tangannya dan terbentuk gumpalan hitam pekat yang segera dilemparkannya ke arah Dasa yang segera memukulnya hingga hancur. Serpihan bola hitam itu masih berfungsi dan itu malah merupakan serangan aslinya. Sekujur tubuh Dasa tersayat-sayat pecahan bola bayangan itu. “Ukhh…”

“Mundur Dasa!!” seru Dwi merangsek masuk dengan tarian pedang miliknya. Ia langsung berusaha mendesak Awyati yang tertawa terbahak-bahak meremehkan.

“Dasaa… Dimana Asthaa?? Aku belum melihatnya lagi sejak ia pergi bersama si Cayarini itu…” tanya Tri yang bahu-membahu bertarung bareng Dwi. Hanya saja serangan mereka seperti kurang menggigit tanpa adanya Eka yang masih tak sadarkan diri.

“HA HA HAA HAA HAAA HAAA! Cayarini katamu?? HA HA HAA HAA HAAA HAAA! Peri bodoh yang baru jadi ratu itu sudah terserap di dalam tubuhku ini kalau kalian semua mau tau…” tepuk Awyati pada bagian perutnya seolah kenyang. “Dengan demikian tujuan maharaja kami sudah terpenuhi! HA HA HAA HAA HAAA HAAA!” Tapi tawa girangnya yang menyebalkan itu dihentikan oleh gempuran serangan berderu-deru Dwi dan Tri bekerja sama, kesal pertanyaannya disambar peri penghianat itu. Lengkap lima ratu peri berelemen telah diserap oleh kelima peri kasta tertinggi yang telah dibajak lawan.

Denting logam beradu terdengar menggetarkan nyali bagi yang kurang mental. Luka sobek bisa terjadi dengan mudah bila kurang tangkas, terbacok, terpotong, tertebas adalah resikonya. Dua anggota kelompok petarung dan empat anggota kelompok pemburu mengeroyok sekaligus Awyati. Kedua kelompok yang sama-sama kehilangan ketuanya itu bahu membahu menyerang invasi kurang ajar peri penghianat ini. Peri Awyati yang telah menyerap bahkan ratu Cayarini yang bermaksud menagih kembali janji Lord Purgatory. Tapi sepertinya Awyati tak keteteran dikeroyok 7 peri Aruna sekaligus. Ia menikmati pertarungan ini sambil tertawa-tawa, membuat lawannya semakin geram.

“Yoon… Yoon? Tengok itu, hah… Gawat kali, Yoon… Mau diapainnya orang rumahnya itu?? Mau dimatiinnya apa??” Kojek menunjuk-nunjuk pada layar virtual dimana point of view Aseng; pemilik daerah kekuasaannya ini bisa terlihat apabila sang empunya sedang tak berada di dalam sini. Iyon yang sedang asik menyaksikan pertarungan dahsyat para peri Aruna bersatu melawan satu peri Awyati yang terlalu kuat buat mereka, menoleh pada apa yang ditunjukkan Kojek. Matanya segera melotot. Kalau bisa keluar, keluarlah bola matanya.

——————————————————————–
Selesai mengarungi samudra kenikmatan bersama Vony tak lama lalu, kemudian memacu nafsu kemudian bersama binor hamil lainnya ada di agenda Aseng berikutnya. Saat ini ia OTW menuju hotel tempat ia janjian dengan istri orang ini. Hingga ia mendapat peringatan ini…

“Kendaraan itu dari tadi mengikuti kita terus, baginda…” pungkas sang peri Anaga malas-malasan.

Aseng hanya perlu melirik pada spion tengah mobilnya untuk mengenali mobil siapa itu gerangan. “Amatir… Kenapa dia gak pake si Ameng itu lagi? Apa udah mati mahluk anehnya itu?” gumam Aseng tak perlu melirik penguntitnya itu lagi. Dibawanya penguntit itu berkeliling-keliling mencoba membuatnya bosan setengah mati. Ikuti aku keliling Medan hingga saatnya menyergap tiba.

“Pecahkan bannya…” perintah Aseng pada Cundamanik yang malah ikut bosan. Dengan sigap peri Anaga itu bergerak cepat dan memecahkan salah satu ban mobil Vivi yang menguntit dari tadi. Mobil itu langsung berhenti mendadak akibat letupan yang mengagetkan. Ini jalanan sepi yang merupakan perumahan yang sedang dalam tahap pembangunan. Mereka tak bisa kemana-mana lagi, kecuali pantauan Ameng saja. Aseng putar balik dan mendekati mobil itu. Ia bermaksud mengejek pengemudi mobil saat mobil bersisian…

Tapi apa yang dilihatnya membuatnya terkaget setengah mati. Itu karena tak lain dan tak bukan ada istrinya di kursi penumpang di samping Vivi. Berkendara menumpang mobil Vivi. Ikut menguntit bareng. Mata perempuan itu merah penuh amarah. Rahangnya ketat, seketat mukanya. Di lain pihak, Vivi mengangguk-angguk menyumpahi Aseng tanpa suara dengan geram.

“Turun…”

 

Tanpa tedeng aling-aling, Aseng menyuruh istrinya untuk segera turun dari mobil Vivi dan pindah ke mobilnya.

“Papa kemana aja beberapa hari ini? Mobil ditinggalkan di rumah Mabar… Terus nge-rental mobil lain… Pergi kesana-kemari entah berbuat apa… Kalau papa sedih kehilangan Selvi bukan begini caranya, paa… Ibu… Ibumu juga sedih… Setidaknya dukung dia… Hibur dia… Bukan menjauhinya… Menjauhi mama… anak-anak… Bukan begini caranya, paa… Mama tau papa mau balas dendam pada siapapun itu yang telah menyebabkan Selvi begitu… Tapi itu gak akan menghidupkan Selvi kemb…”

“DIAM MULUTMU, PEREMPUAAAN!!” hardik Aseng dengan suara menggelegar. Suaranya bak petir menusuk masuk dari bukaan jendela kedua mobil. “GAK USAH KAU AJARIN AKU GIMANA HARUS BERSIKAP!! DIAM-DIAM AJA DI RUMAHHH… DAN TUNGGU AKU PULANG!!”

“Bang Aseng kasar banget…” gumam Vivi hanya berbisik lirih lemah. Sementara istri Aseng hanya berusaha bertahan saja sekuatnya mendapat hardikan suaminya yang sangat kasar. Digigitnya daging bibir bawah bagian dalamnya untuk meredam emosinya. Bila ia juga emosi, semuanya bisa terbakar menjadi sepanas neraka.

“TURUN DARI SITUU!!” Aseng sampai harus menunjuk-nunjuk istrinya untuk menekankan emosi amarahnya lebih dipahami. Menuntut untuk dipatuhi dan diikuti.

“Jangan kasar begitu, bang…” lirih Vivi berlinangan air mata melihat perempuan yang merupakan istri sah pria yang dicintainya itu diperlakukan sekasar itu. Ia tak sampai hati harus menjadi saksi ini semua. Ia tak menyangka Aseng bisa berubah jadi begini menyeramkan. Tapi perempuan itu menegarkan diri. Disentuhnya lengan Vivi, menyatakan kalau ia baik-baik saja.

“Ini perintah suamiku, Vivi… Makasih ya sudah menemani kakak keliling-keliling hari ini…”

“Sama-sama, kak… Hati-hati, kak…” pesan Vivi terakhir. Ia punya firasat jelek akan terjadi sesuatu yang buruk pada kakak angkatnya itu. Seorang kakak yang menawarkan diri menjadi saudaranya yang yatim piatu. Tentu ia sangat perhatian pada perempuan satu itu walau semarah apapun ia pada suaminya. Ia sempatkan menanyakan kesiapan Vivi untuk mengganti ban mobilnya yang sudah meledak tadi.

“Assalamu alaikum, Vi… Da-dahh…” ia melambaikan tangan begitu Aseng tancap gas secepat kilat menjalankan mobil rentalnya. Vivi hanya bisa menoleh berbalik masih berlinangan air mata, menatap mobil melaju sangat cepat itu berbelok di persimpangan. Secara fisik ia tak dapat menguntit lagi sebelum mengganti ban. Hanya penggunaan Ameng yang memungkinkan. Ameng dengan cepat dan patuh menjalankan tugasnya.

—–oo0O0oo—–

Di tengah jalan, Aseng berhenti dan menyuruh istrinya berpindah ke kursi pengemudi. Padahal perempuan itu belum terlalu mahir mengendarai mobil. Ia baru beberapa kali sesi saja belajar mengemudi. Patuh saja ia menurut mengikuti perintah Aseng karena pria beralasan ia sudah sangat lelah. Tersendat-sendat mobil itu seperti mengangguk sebab belum becusnya pengemudinya. Tapi pelan-pelan dicobanya terus walau beberapa kali malah mesin mobil malah mati entah kenapa.

Dan satu ketika…

Mobil melaju sangat cepat seperti tak terkendali. Gawat! Istri Aseng salah menginjak rem malah menginjak tuas gas dibejek dalam-dalam hingga mesin mobil meraung di indikator tuas matic D. Mobil rental ini melesat cepat.

Ameng berusaha menghalangi begitu ia merasakan bahaya yang sedang menghantui pengemudi mobil itu. Ia yang secara spesifik diperintahkan Vivi untuk mengawasi, menjaga kakak angkatnya itu mengendus bencana mematikan. Dimasukinya kompartemen mobil SUV itu dan menilai kondisi. Kaki kanan Aseng menelusup ke arah tuas akselerasi dan menginjaknya dalam-dalam, menggunakan kaki yang sama untuk menghalangi kaki istrinya menginjak tuas rem. Tangannya menahan stir bundar mobil ini lurus ke satu target, sebuah pohon yang tumbuh di tepian jalan!

Dengan sikunya, Aseng menyerang muka Ameng yang berusaha mencegahnya menyebabkan kecelakaan fatal ini. Dihantamnya muka segitiga core itu berkali-kali tetapi Ameng tetap berkeras mencegahnya. Langkah awalnya adalah melepas tangan dari stir mobil yang ditahannya.

Aseng tak membiarkan core itu mengganggu rencananya. Di tangan kirinya, ia mengeluarkan pedang Paksapeti dan langsung saja tanpa basa-basi menikam bagian dada kurus mahluk tak teridentifikasi itu. Habis usaha Ameng dan lepas cengkramannya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang melaju cepat.

Mobil terus melaju tak terkendali…

—–oo0O0oo—–

“HA HA HAA HAA HAAA HAAA!” Awyati masih tertawa-tawa begitu. Sekali serang dengan tebasan kuat, ketujuh peri Aruna itu terjungkang terjatuh, terdorong cukup jauh dengan berbagai variasi luka-luka.

“Uhh… Dia terlalu kuat buat kita sekaligus bahkan…”

“HA HA HAA HAA HAAA HAAA!” ia mengepakkan sayapnya membumbung tinggi. Tinggi sekali. Mereka beranggapan kalau peri Awyati itu akan melakukan serangan pamungkas dari ketinggian, menyapu turun dan menghabisi mereka semua sekali libas.

“Kalian tahu… sabit mematikan ini asalnya dari tanduk di mahkota baginda raja itu… Aku mengambilnya dan menjadikannya senjata yang sangat kuat ini… Senjata yang bisa mengalahkan kalian semua… Senjata yang bisa mengalahkan semua musuh… Senjata yang bisa mengoyak tabir takdir… Tabir kegelapan!” diacungkannya sabit bergagang panjang itu ke langit yang jaraknya sangat dekat sekarang. Suaranya terdengar jelas ke semua yang ada di darat.

“LIHAAAT DAN SAKSIKAAAAN!!”

Dibentangkannya sabit itu ke sebelah kanan, ia lalu nge-charge tenaganya hingga selaras dengan kekuatan sabit itu sendiri. Sabit sakti itu ternyata dibuat dari bahan besi hitam domainnya para peri Candrasa. Energinya berlipat ganda, meluap-luap, aura kegelapan semakin pekat.

“WHOOOOOPPPFF!!”

“WEEEEEIIIIISSSHHHHH…”

Bagi para pemberani di bawah sana, menatap detik-detik hidup mereka berakhir adalah menyambut malaikat maut dengan gagah berani. Menyambut dengan tangan terbuka. Kilau terang bersamaan dengan hasil sabetan lebar Awyati. Ada sesuatu yang pecah bersama dengan kilau terang itu.

Tatap pasrah siap menerima maut itu tak kunjung selesai. Seperti fajar yang baru menitik di ufuk Timur. Keadaan gelap pekat yang mewarnai langit hingga menyebabkan kegelapan perlahan-lahan menjadi terang kembali.

“Apa yang terjadi?? Langit kembali terang… Cahaya telah kembali…”

Apa?? Langit kembali terang? Kok bisa? Kenapa serangan Awyati malah merobek tirai kegelapan dan menggantinya dengan terang kembali. Bukannya Awyati adalah kasta tertinggi peri Candrasa yang merupakan peri bayangan yang lebih suka kegelapan. Kenapa ia malah pro keadaan terang?

Pelan-pelan semua kegelapan diusir dan digantikan terang kembali. Jelas tampak semua lingkungan yang ada di daerah kekuasaan Aseng ini kembali terlihat lagi. Hutan, istana, laut dan pantai, gunung berapi di kejauhan serta tanah kosong melompong itu. Semua dapat terlihat kembali sekarang setelah sempat ditelan kegelapan yang membatasi netra.

Dalam keadaan rusak, tapi semuanya masih bisa diperbaiki tentu.

Iyon dan Kojek lebih tertarik pada kejadian di luar sana. Mobil itu tetap menabrak pohon yang diincarnya. Moncong mobil penyok ringsek hingga mengupas kulit pohon yang keras. Ada asap uap mengepul dari radiator yang bocor di depan sana. Mobil itu benar-benar berhenti di pinggir jalan akibat menghantam pohon dengan keras.

Beberapa pengguna jalan berinisiatif memberi pertolongan pada pengguna kendaraan itu demi menemukan sepasang manusia berpelukan erat di barisan depan mobil. Sang pria memeluk melindungi sang wanita, menghalangi benturan menggunakan punggungnya yang menempel di stir, menyebabkan bunyi klakson terus berbunyi nyaring, menarik perhatian orang-orang untuk memberi bantuan. Mobil rental ini belum memiliki teknologi airbag, jadi selamatkah mereka berdua?

Bila menilik posisi Aseng yang memeluk istrinya, apakah aman mengatakan bahwa di detik-detik terakhirnya Aseng tersadar akan kesalahannya akan mencelakai istrinya dan berbalik melindungi? Tepat waktu tidak perubahan gelap ke terang itu memperbaiki kepribadian Aseng? Dari tidak baik kembali baik lagi?

Bersambung

belahan dada pembantu
Nikmatya Memek Sempit Pembantu Ku
Mbak Yuni terima kasih atas semuanya
Foto Bugil Gadis Abg Spa Setelah Ngentot
kembang desa
Cerita dewasa petualangan sex geng joni bagian 3
rekan kerja sange
Menolong Teman Kerja Yang Pengen Merasakan Orgasme
Aku Diperkosa Oleh Guruku Sendiri
toket gede
Tidur Bareng Sama Pembantuku Yang Lugu Bagian Dua
cewe pantai parangtritis
Cerita sex di pantai parangtritis yang tak terlupakan
Foto Bugil Jilbab Telanjang Bulat Dalam Mobil
Cerita Dewasa Ngentot Dengan Adik Angkat
Skandal SMA pakai seragam pamer memek tembem
cantik pembantu bugil
Tidur Bareng Sama Pembantuku Yang Lugu Bagian Satu
istri binal
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT Bagian Dua
gadis mandi
Hubungan Tabu Dengan Pacar Saudara Ku Sendiri
rekan kerja
Menikmati Lubang Surga Rekan Kerja Ku
sepupu hamil
Cerita hot ngentot kakak sepupu yang lagi hamil